Anda di halaman 1dari 2

Tokoh - Tokoh Sejarah Periklanan Indonesia

Perjalanan Periklanan Indonesia dimulai lebih awal ketimbang ilmu pemasaran. Di awal
1950-an, berbagai produk industri, seperti minyak goreng, bir kalengan, toiletries, dan bahkan obat-
obatan sudah menghiasi halaman koran. Bagaimana perjalanan periklanan Indonesia selanjutnya?
”Hanya satu nama, Nuradi yang mendirikan Intervista pada tahun 1963. Dialah bapak periklanan
modern Indonesia,“ kata Subiakto Priosoedarsono, bos Hotline lantang kepada Majalah Mix tujuh
tahun silam. “Karena beliaulah yang membuat Indonesia kemudian melahirkan tokoh-tokoh atau
murid-murid yang kemudian berbicara banyak dalam industri iklan Indonesia, “ lanjutnya menunjuk
Syahrial Djalil yang mendirikan Adforce yang sekarang menjadi JWT, Ernst Kattopo, Bondan Winarno,
dan juga Subiakto sendiri. “Kelebihannya bermain kata-kata luar biasa. Saya ikut terinspirasi oleh Pak
Nuradi,” lanjut Biakto menunjuk setidaknya empat iklan dan slogan fenomenal karya Nuradi.
Diantaranya, “Indomilk Sedaaaap” (susu kental manis); “Ini baru bir. Ini bir baru” (Anker bir); “Makin
Mesra dengan Mascot (rokok putih); dan “Lebih baik naik Vespa” (Vespa).

Sejarah periklanan Indonesia sebenarnya dimulai jauh sebelum Intervista ada. Di awal 1950-
an, berbagai produk industri, seperti minyak goreng, bir kalengan, toiletries, dan bahkan obat-
obatan sudah menghiasi halaman koran. Diantaranya kompor gas Philips, obat Panagrip, Pepsodent,
Prodent, cukup sering terlihat di koran-koran. Kendati pemain-pemainnya praktis dari asing,
utamanya Unilever dan P & G, namun Dr. M. Gunawan Alif, Dosen Brand Management dan
Komunikasi Pemasaran FEUI, MMUI mencatat, cikal bakal periklanan Indonesia diawali oleh mereka.
Cukup lama pemain-pemain asing ini berlenggang kangkung sendirian di Indonesia. Kalaupun ada
iklan lokal, sangat terbatas sebagai iklan pionir. Seperti disampaikan Gunawan Alif, pada saat itu
Djarum mengumpulkan orang-orang cebol untuk iklannya. Dan pada saat itu juga lahir yang
namanya Biro Reklame Indonesia (cikal bakal terbentuknya PPPI).

Tahun 60-an disebut Gunawan Alif sebagai era pertumbuhan perusahaan periklanan
Indonesia. Sebelum terjadi peristiwa politik tahun 65-66, Indonesia mulai kebanjiran produk-produk
asing. Bersamaan dengan itu, agensi periklanan multinasional juga ikut datang. Disaat inilah
Intervista hadir mewarnai kancah periklanan Indonesia. Sebagai perusahaan lokal, yang
mempekerjakan orang-orang lokal, Nuradi yang pernah bekerja di perusahaan periklanan SH Benson
cabang Singapura mengajarkan tatacara mengelola periklanan modern. Karyawannya diperkenalkan
dengan bidang kreatif dan produksi, media planning, account management, riset, dan bidang-bidang
pendukung lainnya. “Inilah pokok-pokok pendidikan periklanan yang diperkenalkan Nuradi kepada
anak buahnya dalam in house training,” ungkap Subiakto bangga termasuk menjadi salah satu
alumni kampus Intervista. Nuradi menularkan ide-ide kreatif kepada anak buah. Dia dikenal
konsisten mengambil akar budaya bangsa untuk iklannya dengan polesan modernisasi, dan warisan
yang tidak akan terlupakan dalam membangun periklanan di Indonesia adalah tatkala tahun 70-an
etrjadi booming perusahaan periklanan. Motornya adalah murid-murid Nuradi yang siap
membangun perusahaan periklanan sendiri. Maka, era 70-an bisa dibilang era kebangkitan
periklanan Indonesia. Kala itu muncul agency-agency iklan di Indonesia seperti Matari dan Fortune.
Dan ada beberapa agency iklan laginya seperti Metro (sekarang Publicis), Inter Ad Mark (Dentsu),
Adforce (JWT), Citra Lintas (LOWE) dan Grafik (Mc Can Erickson). Konsep iklan masih cerewet karena
harus menjelaskan edukasi tentang produk, iklan TV masih terbatas. Iklan Prind Ad masih Black and
White.
Pada tahun 1975 majalah Femina mulai mengeluarkan iklan berwarna, tapi tetap masih
mengkomunikasikan product benefit, bukan brand building. Gunawan Alif mencatat, iklan
fenomenal saat itu adalah iklan yang dibuat oleh perusahaan asing seperti Mandom, Bodrex, dan
Coca-Cola, Honda dan Mitsubishi Colt. Periode 1980an adalah masa kompetisi iklan dan Era non TV.
Pasalnya, pada masa itu, media cetak mulai bermunculan dan agresif menghadang iklan, seperti
Kompas, Tempo, Suara Pembaharuan, Femina dan Sinar Harapan. Sementara di sisi lain, menteri
Penerangan masa itu, Harmoko, membatasi iklan di media massa sebesar 30%. Akibatnya, selain
media cetak, mulai subur billboard dan radio. Masa panen radio karena bisa mendapatkan 15%
pasang iklan terjadi pada saat itu. Sementara, iklan televisi masih dilarang. Era televisi datang di awal
90-an. Seketika, iklan TV melambung tinggi. Unilever mulai beriklan agresif di RCTI karena menyadari
media ini akan tumbuh dan berkembang. Unilever mengiklankan hampir semua produknya di TV,
meskipun saat itu cuma ada RCTI. Toh demikian, kehadiran iklan televisi cukup menggoncang pasar.
Apalagi kita dapat menyaksikan iklan-iklan Lux yang menampilkan artis cantik Ida Iasha. Iklan Lux ini,
menurut Gunawan Alif, yang paling fenomenal. Masa reformasi tahun 1998 hingga sekarang ,
periklanan Indonesia seolah berlari kencang. Baik produksi maupun medianya tumbuh bak jamur di
musim hujan.

Media untuk beriklan sangat berkembang dan banyak sekali. Bahkan terjadi hiperkompertisi
karena juga bermunculan media specialist yang berasal dari konsolidasi biro iklan asing. Dari sisi
kreatif, kebebasan berekspresi juga mencapai puncaknya. Sangat bebas. Inilah yang justru
memprihatinkan Subiakto. ”Kacau! Karena mereka terbius oleh pemenang adfest dari Thailand,
Jepang dan Singapura. Budaya mereka berbeda,” ujarnya kecewa iklan Indonesia kehilangan
kepribadian. “Banyak yang mengambil referensi dari Cannes atau Clio. Jadi dari AS, seperti iklan
Macintosh yang bisa mengatakan apa saja,” ujarnya menyayangkan karena di Indonesia, dimana
merek belum sebesar merek-merek tersebut. “Janganlah memakai pendekatan tersebut”,
himbaunya. Merek baru harus diperkenalkan dulu dari segi tangible, dan intangible. Merek akan kita
kenal ketika memberikan makna produk tersebut terhadap konsumen. Menurut Subiakto, tatanan
periklanan mulai tahun 2004, sudah rusak. Sesuatu yang tak terhindarkan adalah terbentuknya
specialist seperti specialist creative, specialist media, dan lain-lain. Hal ini menurutnya, bisa
menghancurkan fondasi indutri periklanan Indonesia. “Benar-benar cuma mengandalkan segi
kepraktisan. Jadi iklan tidak lagi sebagai sesuatu yang holistik, “ sesalnya. Subiakto mengajak industri
periklanan harus mulai dibenahi. “Kalau tidak, maka akan jadi makin hancur,” katanya heran
sekarang atas nama modernisasi, orang bisa membuat apa saja. Seharusnya fungsi iklan
dikembalikan bahwa yang bagus adalah yang Tailor Made. Misalnya iklan Kecap Bango tidak bisa
brandnya diganti jadi merek lain, karena Tailor Made “kedelai hitam”. “Sesuatu yang benar-benar
didesain khusus untuk iklan tersebut,” memuji iklan Bango Unilever. Yang pasti, menurut Gunawan
Alif, di era sekarang biaya iklan mulai tinggi. Banyak eksekusi yang dilakukan untuk TV dan media
cetak. Porsi iklan kini lari ke teve (62%), media cetak (30%) dan radio sekitar (4%). Lalu, kemana lagi
anggaran komunikasi dihabiskan? Yang terbaru dan paling ngetrend sekarang adalah promosi seperti
Brand Activation, PR, dan alat-alat marketing lainnya. Walaupun iklan televisi masih sangat diminati
pada periode ini --dengan iklan paling fenomenal A-Mild karena sangat memanfaatkan situasi dan
gelombang reformasi tersebut dengan tagline-nya “Berani Ngomong”-- tapi ke depan pasti akan
terjadi penyesuaian –penyesuaian yang berujung pada optimalisasi teknologi teranyar mobile yang
sudah mulai menjelang.

Anda mungkin juga menyukai