Anda di halaman 1dari 3

Kebutuhan gizi anak balita

Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang dipengaruhi oleh konsumsi

makanan dan penggunaan zat-zat gizi.Status gizi diklasifikasikan menjadi 4 yaitu

gizi baik, gizi lebih, gizi kurang, dan gizi buruk. Pada status gizi buruk terbagi lagi

menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut

kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan

kekurangan kedua-duanya (disebut marasmik kwashiorkor) (Amalia, 2014 hal 1).

Status Gizi di ukur secara antropometri. Antropometri digunakan untuk

melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Pengukuran antropometri

meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan (panjang badan). Status gizi balita

erat hubungannya dengan pertumbuhan anak. Oleh karena itu perlu suatu ukuran

sehingga tidak terjadi gizi kurang dan gizi buruk (Dewi, 2014 hal 15). Gizi kurang

merupakan keadaan tidak sehat yang timbul karena konsumsi energi dan protein

kurang selama jangka waktu tertentu (Arifin, 2015 hal 2).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan adalah suatu kecukupan rata-

rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin,

ukuran tubuh, aktifitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia sebesar

2.150 kilo kalori dan 57 gram per orang per hari. Angka kecukupan gizi tersebut telah

diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 75 Tahun 2013

(Infodatin 2016 hal 1) dengan pembagian sebagai berikut:

Tabel 2.2 Kebutuhan zat gizi balita berdasarkan Angka Kecukupan


Gizi (AKG) rata-rata perhari
BB TB Energi Protein Vit. A Besi/Fe
Umur
(Kg) (Cm) (Kkal) (g) (RE) (Mg)
0-6 bulan 5.5 60 560 12 350 3
7-12 bulan 8.5 71 800 15 350 5
1-3 tahun 12 90 1250 23 350 8
4-6 tahun 18 110 1750 32 460 9
Sumber : Permenkes RI No. 75 Tahun 2013

Analisis data konsumsi pangan riskesdas tahun 2010 menunjukkan rata-rata

proporsi konsumsi energi dari lemak penduduk Indonesia saat ini sekitar 25-

29% dari total konsumsi energi. Berdasarkan anjuran WHO tahun 2010

kontribusi energi dari lemak sebaiknya tidak melebihi 30%

(Ronitawati, Setiawan dan Sinaga 2016 hal 36).

d. Masalah makan pada anak balita 2-5 tahun

Menurut National Institutes of Health masalah makan pada anak terjadi

pada 25% dari anak-anak yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan

baik dan 35% dari anak-anak yang memiliki cacat perkembangan saraf. Salah

satu definisi masalah makan adalah ketidakmampuan untuk mengkonsumsi

makanan tertentu. Masalah makan dapat menyebabkan gejala gizi kurang

yaitu penurunan berat badan, perkembangan yang tidak konstruktif (Naser dan

Alawar 2016 hal 79).

Beberapa istilah dipakai untuk menggambarkan kesulitan makan pada

anak, seperti pickiness (Amerika Serikat) dan faddiness (Inggris), yang berarti

suka memilih-milih makanan. Picky Eating atau hanya mau makanan tertentu

merupakan proses normal yang sering terjadi pada balita dan tidak akan

berlangsung lama. Anak sehat yang waktu makannya lebih lama dari 30 menit

tergolong gangguan perilaku makan. Masalah makan yang dikaitkan dengan

bidang nutrisi klinis anak adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
ketidakmampuan bayi atau anak untuk mengkonsumsi sejumlah makanan

yang diperlukannya secara

alamiah.

Menurut Sudjatmoko (2011) ada empat pola makan pada anak yaitu

(1) menolak makan; (2) meminta jenis makanan tertentu, (3) makan hanya

sedikit; (4) picky. Umumnya hal tersebut tidak mengalami pengurangan

masukan zat gizi sehingga tumbuh kembang tidak mengalami gangguan.

Terdapat enam situasi makan yang merupakan bagian dari dinamika tumbuh

kembang anak yang normal yaitu (1) food jag (makan hanya satu jenis

makanan); (2) food strikers ( menolak apa yang disajikan dan minta makanan

yang lain); (3) tv habbit (akan makan bila menonton televisi); (4) the

complainers (selalu mengeluh apa yang disajikan); (5) white food diet (hanya

makan yang berwarna putih seperti roti, kentang , makaroni,atau nasi saja);

dan (6) takut mencoba makanan baru (Sudjatmoko 2011 hal 36).

Anda mungkin juga menyukai