Anda di halaman 1dari 5

Liputan6.

com, Jakarta - Lubang buaya adalah saksi bisu pembantaian para jenderal pada 30 September
1965. Dalam tragedi itu, tujuh pahlawan revolusi yang gugur dibuang ke dalam sumur berdiameter 75
sentimeter dengan kedalaman 12 meter.

Sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI telah melakukan beberapa persiapan yaitu melatih Pemuda
Rakyat dan Gerwani. Kemudian, menyebarkan desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal yang akan
merebut kekuasaan pemerintahan.

Dewan Jenderal adalah sebuah nama yang ditujukan untuk menuduh beberapa jenderal TNI AD yang
akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965.

Situasi semakin memanas ketika berkembang isu bahwa Dewan Jenderal merencanakan pameran
kekuatan (machts-vertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan
pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sesudah terkonsentrasinya kekuatan
militer yang besar ini di Jakarta, Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan melakukan coup kontra-
revolusioner.

Alex Dinuth (1997) dalam Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI menyebutkan, susunan Kabinet Dewan
Jenderal yang sudah disiapkan, terdiri dari:

1. Perdana Menteri: Jenderal AH Nasution

2. Wakil Perdana Menteri/Menteri Pertahanan: Letjen Ahmad Yani

3. Menteri Dalam Negeri: RM Hadisubeno Sosrowerdojo (Politikus Partai Nasional Indonesia, Mantan
Gubernur Jawa Tengah, Mantan Walikota Semarang)

4. Menteri Luar Negeri: Roeslan Abdulgani (Politikus Partai Nasional Indonesia)

5. Menteri Hubungan Perdagangan: Brigjen Ahmad Sukendro

6. Menteri /Jaksa Agung: Mayjen S Parman

7. Menteri Agama: KH Rusli

8. Menteri / Panglima Angkatan Darat: Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi waktu itu)

9. Menteri / Panglima Angkatan Laut: tidak diketahui

10. Menteri / Panglima Angkatan Udara: Marsekal Madya Rusmin Nurjadin

11. Menteri / Panglima Angkatan Kepolisian: Mayjen Pol Jasin

Pimpinan PKI DN Aidit membicarakan isu Dewan Jenderal dengan Subandrio yang merangkap ketua BPI
(Badan Pusat Intelijen). Isu itu sampai ke telinga Presiden Soekarno. Bung Karno kemudian menanyakan
kepada Pangad Letjen. A. Yani: "Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat, antara lain,
untuk menilai kebijaksanaan yang telah saya gariskan?"

Jenderal Yani menjawab, "Tidak benar, Pak. Yang ada ialah Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan
Perwira Tinggi). Dewan ini mengurus jabatan dan kepangkatan perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat,".

Lalu isu itu dikembangkan lagi dengan menyebutkan, ada jenderal-jenderal yang tidak loyal pada
Pemimpin Besar Revolusi. Dewan Jenderal akan mengadakan coup kontra-revolusioner. Isu itu
berkembang sekitar Mei, Juni dan Juli, mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.

Seperti dikutip dari Sekretariat Negara RI: "Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis
Indonesia - Latar belakang, aksi dan penumpasannya", tanggal 4 Agustus 1965, Presiden Soekarno jatuh
pingsan dan muntah-muntah. Menurut dokter terdapat dua kemungkinan dengan kondisi Soekarno
yaitu beliau akan wafat atau akan menjadi lumpuh.

Rupanya kejadian ini menimbulkan pikiran Pimpinan PKI, DN Aidit yang baru kembali dari Moskow dan
Peking untuk merebut kekuasaan.

Tampaknya ia berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului oleh TNI AD. PKI kemudian
melaksanakan rapat dalam rangka menentukan langkah-langkah yang dianggap tepat. Rapat yang
dilaksanakan tersebut adalah:

1. Tanggal 6 September 1965 membicarakan mengenai situasi umum dan sakitnya Presiden Soekarno.

2. Tanggal 9 September 1965 membicarakan kesepakatan bersama untuk turut serta dalam mengadakan
gerakan dan mengadakan tukar pikiran tentang taktik pelaksanaan gerakan.

3. Tanggal 13 September 1965 tentang peninjauan kesatuan yang ada di Jakarta.

4. Tanggal 15 September 1965, di antaranya membicarakan persoalan kesatua-kesatuan yang akan


diajak serta dalam gerakannya.

5. Tanggal 17 September 1965 membicarakan tentang kesatuan yang sudah sanggup dalam gerakan
seperti yang disediakan oleh Kol. Inf. A. Latief, Mayor Udara Sujono.

6. Tanggal 19 September 1965 membahas gerakan-gerakan di bidang politik, militer, dan observasi
dengan Sjamkamarujaman ditunjuk sebagai koordinatornya.

7. Tanggal 22 September 1965 penentuan sasaran para perwira tinggi Angkatan Darat.

8. Tanggal 24 September 1965 memantapkan kesanggupan dan kesediaan tenaga-tenaga yang telah
ditetapkan sebagai pimpinan pasukan-pasukan yang akan digerakkan.

9. Tanggal 26 September 1965 pemantapan terhadap rapat sebelumnya.


10. Tanggal 29 September 1965 penetapan nama gerakannya yaitu Gerakan 30 September dan putusan
perubahan hari H dan jam J yang dibuat oleh Sjam.

Saat Tragedi Berdarah

Gerakan G30S ini juga melibatkan sebagian pasukan Tjakrabirawa. Adalah Komandan Batalyon I Kawal
Kehormatan Letkol Untung Syamsuri yang memimpin gerakan ini.

Seperti dikutip dari Merdeka.com, Petrik Matanasi, penulis buku, "Tjakrabirawa", Untung
memanfaatkan hari ulang tahun ABRI yang jatuh pada 5 Oktober untuk menggalang kekuatan pada 30
September 1965. Dalam peringatan HUT ABRI, dia ditunjuk sebagai pengatur parade pasukan. Posisi ini
membuat dia punya kesempatan mengontak bekas anak buahnya di Kodam Diponegoro.

Pasukan G30S dibagi dalam tiga kelompok yakni Pasopati, Bimasakti dan Pringgodani dan dipimpin
perwira dari Tjakrabirawa, anak buah Untung.

Pasopati dalam penculikan membunuh langsung tujuh Jenderal AD yang akan diculik. Sebelumnya ada 8
Jenderal yang akan diculik. Namun satu nama, Brigadir Jenderal Ahmad Soekendro lolos karena sedang
melawat ke China. Satuan Pasopati terdiri dari 250 anggota Tjakrabirawa.

Sersan Mayor Boengkoes, anggota resimen Tjakrabirawa yang menjadi salah satu pelaku penculikan
terhadap tujuh jenderal mengungkap sebelum penculikan terjadi, ada pengarahan di kawasan Halim
Perdanakusuma pada 30 September 1960 pukul 15.00 WIB.

Dalam arahan tersebut, disebutkan ada sekelompok jenderal yang dinamakan Dewan Jenderal untuk
melakukan kudeta terhadap Soekarno. Boengkoes mengungkapkan, dia bersama para komandan
pasukan kemudian dikumpulkan pada dini hari oleh Komandan Resimen Tjakrabirawa, Letnan Satu Doel
Arif. Kemudian pasukan dibagi menjadi tujuh yang bertugas menculik ketujuh Dewan Jenderal. Adapun
Boengkoes masuk dalam tim yang bertugas menculik Jenderal MT Harjono, hidup atau mati.

Tepat 1 Oktober 1965 dini hari, rombongan pasukan ini pun berarak dari Lapangan Udara Halim
Perdanakusuma kemudian membelah Jakarta. Mereka menuju Menteng, dimana rumah para jenderal
berada. Sebagian lagi ke Kebayoran Baru, rumah Jenderal DI Panjaitan.

Tiga dari tujuh jenderal tersebut diantaranya telah dibunuh di rumah mereka masing-masing, yakni
Ahmad Yani, M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan.

Sementara itu ketiga target lainya yaitu Soeprapto, S. Parman dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup.
Sementara Jenderal Abdul Harris Nasution yang jadi target utama penculikan berhasil lolos. Sementara
putrinya bernama Ade Irma Suryani Nasution meninggal dunia dan ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas
Tendean yang dikira Nasution diculik.

Korban tewas semakin bertambah disaat regu penculik menembak seorang polisi penjaga rumah
tetangga Nasution. Abert Naiborhu menjadi korban terakhir dalam kejadian ini.
Menurut keterangan Boengkoes, Tjakrabirawa bukan pasukan mengeksekusi mati para jenderal. Dirinya
hanya ditugaskan membawa para jenderal itu ke Lubang Buaya. Menurut dia, ada pasukan lain yang
melakukan eksekusi tersebut.

Dikisahkan Yutharyani, Perwira Seksi Pembimbingan Informasi Monumen Pancasila Sakti dari TNI
Angkatan Darat yang diwawancarai CNN Indonesia, tiga jenderal yang masih hidup termasuk Pierre
Andreas Tendean dibawa ke rumah penyiksaan.

Rumah penyiksaan yang dimaksud Yutharyani itu merupakan kediaman salah seorang warga Desa
Lubang Buaya. Rumah itu kini berada dalam Kompleks Monumen Pancasila Sakti. Tak seperti sekarang,
dulu Lubang Buaya ialah hutan karet yang sepi penduduk.

"Sebelum dibunuh, mereka disuruh menandatangani yang namanya Dewan Jenderal, tipu muslihat PKI
bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah," ujar dia.

"Padahal itu cerita khayalan yang dikarang PKI. Pak S. Parman lalu disuruh tanda tangan. Andai dia mau
tanda tangan, berarti TNI AD benar-benar akan melakukan kudeta. Tapi beliau kukuh TNI AD tidak akan
melakukan kudeta," kata Yutharyani.

Pada titik itulah, menurut Yutharyani, penyiksaan terhadap para jenderal dan ajudan Nasution yang
masih hidup dimulai. Mereka semua Mayjen S. Parman, Mayjen R Suprapto, Brigjen Sutoyo, Lettu Pierre
Andreas Tandean akhirnya tewas dibunuh.

"Dipukul, dipopor pakai ujung senjata. Hasil visum menunjukkan ada retak di tulang kepala, tangan dan
kaki patah, karena mereka ditendang pakai sepatu lars yang keras,".

Dalam kondisi antara hidup dan mati, ujar Yutharyani, tubuh para jenderal itu lantas digeret dan
dimasukkan ke sebuah sumur di Lubang Buaya.

"Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan mayat meninggal, mereka langsung ditembak
lagi. Lalu jasad ditutup dengan sampah pohon karet, dan ditutup tanah serta ditanah pohon pisang utuh
di atasnya seakan-akan di bawah itu tak ada mayat."

Saat jasad para jenderal itu terkubur di sumur Lubang Buaya itu, hari telah berganti. 1 Oktober 1965.

Sumur ditemukan pada sore, 3 Oktober. Sumur lalu digali pakai tangan. Keesokannya, 4 Oktober, mayat
diangkat.

Sementara mengenai penyiksaan kepada para jenderal sebelum dimasukan dalam sumur tua di daerah
Lubang Buaya, Jakarta Timur, terbantahkan melalui hasil visum yang dilakukan lima dokter atas perintah
tertulis yang ditandatangani Soeharto saat itu selaku Pangkostrad.

Kelima dokter itu diperintahkan untuk melakukan otopsi dan VR (visum et repertum) atas jenazah para
jenderal tersebut. Kelima dokter itu adalah:
1. Dr. Roebiono Kertopati, Brigadir Jenderal pimpinan tinggi kedua pada Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat.

2. Dr. Frans Pattiasina, Kolonel TNI, Korp Kesehatan Militer Nrp. 14253, Perwira Kesehatan pada RSPAD.

3. Dr. Sutomo Tjokronegoro, Profesor pada Fakultas Kedokteran pada Universitas Indonesia, ahli
Penyakit dan Kedokteran Forensik

4. Dr. Liauw Yan Siang. Ahli Kedokteran Forensik Universitas Indonesia,

5. Dr. Lim Joe Thay, Dosen pada Kedokteran Forensik, Universitas Indonesia.

Hasil otopsi dan visum itu tidak menemukan adanya pencungkilan bola mata maupun sayatan pada
tubuh jenderal. Para dokter juga tidak menemukan adanya pemotongan pada alat vital salah satu
jenderal seperti cerita yang berkembang selama ini.

Anda mungkin juga menyukai