Anda di halaman 1dari 6

Pengujian DNA, Prinsip Umum

Pengujian berbasis DNA dalam pengujian mutu benih memang saat ini belum diregulasikan
sebagai salah satu standar kelulusan benih dalam proses sertifikasi. Dalam ISTA Rules,
beberapa pengujian mutu benih telah mencantumkan pilihan metode dengan berbasis DNA,
contohnya pengujian deteksi kesehatan benih dan deteksi Genetically Modified Organism
(GMO). Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan
Hortikultura sendiri, sudah sejak lama melaksanakan kegiatan pengembangan metode
pengujian verifikasi varietas dengan berbasis DNA. Pada tahun 2014 dan 2015
melaksanakan pengembangan metode pengujian kesehatan benih cendawan dengan
metode DNA yaitu cendawan Colletothricum pada cabai (2014, semangka dan melon
(2015). Pada tahun 2014, sebagai penyelenggara pelatihan internasional dengan
narasumber dari ISTA, juga mengakomodir pengujian deteksi cendawan Colletothricum.

Secara teknis, prinsip umum pengujian DNA baik untuk verifikasi varietas, pengujian
kesehatan benih maupun deteksi GMO adalah sama. Pengujian terdiri dari tiga tahapan
yaitu isolasi DNA, amplifikasi DNA hasil isolasi menggunakan marka tertentu, dan terakhir
adalah elektroforesis hasil PCR dan visualisasi.

A. Isolasi DNA
Isolasi DNA dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan DNA dari bahan lain seperti
protein, lemak, dan karbohidrat. Prinsip utama dalam isolasi DNA ada tiga yakni
penghancuran (lisis), ektraksi atau pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa
dan protein, serta pemurnian DNA. Prinsip isolasi DNA pada berbagai jenis sel atau
jaringan pada berbagai organisme pada dasarnya sama namun memiliki modifikasi
dalam hal teknik dan bahan yang digunakan. Bahkan beberapa teknik menjadi lebih
mudah dengan menggunakan kit. Isolasi DNA pada tanaman dapat dilakukan dari
berbagai organ baik daun, batang, akar maupun duri, namun umumnya jaringan yang
diambil adalah jaringan yang masih muda karena belum mengandung banyak metabolit
sekunder yang mengotori DNA hasil isolasi.
Tahap pertama dalam isolasi DNA adalah proses perusakan atau penghancuran
membran dan dinding sel untuk memecah sel dan mengeluarkan isi sel. Tahap ini dapat
dilakukan dengan beberapa cara yakni dengan cara fisik seperti menggerus sampel
dengan menggunakan mortar dan pestle dalam nitrogen cair atau cara kimiawi maupun
enzimatik. Penghancuran dengan menggunakan kimiawi misalnya dengan menggunaan
detergen yang dapat melarutkan lipid pada membran sel sehingga terjadi destabilisasi
membran sel, dan cara enzimatik seperti menggunakan proteinase K untuk melisiskan
membran serta mendegradasi protein globular maupun rantai polipeptida dalam
komponen sel.
Tahap yang kedua yaitu ekstraksi DNA. Pada tahapan ekstraksi DNA, biasanya
digunakan chelating agent seperti ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang
berperan menonaktivkan enzim DNase yang dapat mendenaturasi DNA. Larutan Fenol
digunakan sebagai pendenaturasi protein, yang bertujuan menyebabkan protein
kehilangan kelarutannya dan mengalami presipitasi yang selanjutnya dapat dipisahkan
dari DNA melalui sentrifugasi. Selain fenol, dapat pula digunakan campuran fenol dan
kloroform atau campuran fenol, kloroform, dan isoamil alkohol untuk mendenaturasi
protein. Setelah proses ekstraksi, DNA yang didapat dapat dipekatkan melalui presipitasi
dengan menggunakan etanol dan isopropanol. Kedua senyawa tersebut akan
mempresipitasi DNA pada fase aquoeus sehingga DNA menggumpal membentuk
struktur fiber dan terbentuk pellet setelah dilakukan sentrifugasi. Setelah didapatkan
pellet DNA, dilakukan pelarutan DNA dengan menggunakan buffer TE atau H2O setelah
pellet terlebih dahulu dikeringkan. Larutan DNA ini selanjutnya dapat diuji kualitatif dan
kuantitatif dengan sperktrofotometer atau nanodrop serta dengan elektroforesis. Uji
dengan spektrofotometer atau nanodrop pada prinsipnya adalah dengan menghitung
perbedaan penyerapan cahaya UV dimana pita ganda DNA dapat menyerap cahaya UV
pada 260 nm, sedang kontaminan protein atau phenol dapat menyerap cahaya
pada 280 nm. Nilai kemurnian DNA dihitung dengan cara absorbansi 260 nm dibagi
dengan nilai absorbansi 280 (Å260/Å280), dan nilai kemurnian DNA berkisar antara 1.8-
2.0.

B. Proses Penggandaan DNA dengan menggunakan marka tertentu (Polymerase Chain


Reaction/PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik sintesis dan
amplifikasi DNA secara in vitro yang digunakan untuk menyalin segmen DNA hingga
jutaan kali dalam waktu yang cukup singkat. Pertama kali dikembangkan pada 1985
oleh Karry Mullis. Komponen komponen yang harus ada dalam sebuah reaksi PCR
antara lain :
a. DNA Template
DNA merupakan DNA target yang nantinya akan diamplifikasi
menggunakan PCR. DNA template didapat dari hasil isolasi dan ekstaksi
DNA. Untuk proses PCR, DNA tempate dapat diencerkan ataupun tidak
tergantung dari kuantitasnya.
b. Primer
Primer adalah sekuens DNA yang komplemen terhadap sekuens yang akan
diamplifikasi dalam proses PCR.
c. Deoxynucleoside triphosphates (dNTPs)
dNTPs merupakan material utama yang dibutuhkan untuk
sintesis DNA dalam proses PCR yang terdiri dari dATP, dGTP, dCTP dan
dTTP.
d. Enzim DNA polimerase
Fungsi dari enzim DNA polimerase adalah bekerjasama dengan dNTP agar
dapat melakukan proses polimerisasi primer
e. Larutan penyangga (buffer)
Salah satu fungsi dari larutan buffer dalam proses PCR adalah menyediakan
lingkungan yang cocok untuk aktivitas optimum dan stabilitas DNA
polimerase. Buffer ini mengandung ion Mg2+ yang sangat mempengaruhi
setiap tahapan reaksi PCR.

Tahapan yang terjadi dalam proses PCR sehingga terbentuk suatu pita adalah :
1. Pemisahan / Denaturasi DNA Template
Denaturasi adalah proses pemisahan DNA dari double strand menjadi single
stand. Proses denaturasi biasanya dilakukan pada suhu 94 atau 95oC.
2. Penempelan/ annealing primer
DNA yang terpisah pada proses denaturasi dan menjadi single strand selanjutnya
akan berpasangan dengan primer yang susunannya komplemen dengan DNA
tadi.
3. Pemanjangan/ Extension
Hasil penempelan antara primer dan DNA template selanjutnya akan
memperpanjang diri/ bereplikasi berkali kali dengan bantuan enzim DNA
polimerase dan dNTPs sebagai sumber nukleotida.
Proses PCR seperti pada gambar berikut

Gambar 1. Proses PCR


Secara abstrak, proses penggandaan DNA dalam PCR seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Proses terjadinya penggandaan DNA dalam PCR


C. Setelah proses PCR selesai, untuk mengetahui apakah proses PCR berhasil
mengamplifikasi DNA atau tidak, maka dilakukan elektroforesis. Elektroforesis
digunakan untuk mengamati hasil amplifikasi dari DNA. Prinsip kerja dari
elektroforesis berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif (anion),
dalam hal tersebut DNA, yang bergerak menuju dari kutub negatif ke kutub positif .
Hasil elektroforesis yang terlihat adalah terbentuknya band yang merupakan fragmen
DNA hasil amplifikasi dan menunjukkan potongan-potongan jumlah pasangan
basanya. Elektroforesis menggunakan media berupa gel dari agarose ataupun
akrilamid dengan pelarut menggunkan buffet Tris Asetat EDTA (TAE) atau Tris Borat
EDTA (TBE). Gel dibuat dengan melarutkan agarose atau akrilamid dengan salah
satu buffer tersebut dengan menggunakan cetakan khusus dan terdapat sumuran/
whell untuk menempatkan hasil PCR yang akan dirunning elektroforesis (Gambar 3).

Sumuran

Gambar 3. Gel agarose untuk elektroforesis.

Selain produk hasil PCR, dalam elektroforesis juga dicampurkan loadind dye yang berfungsi
sebagai pemberat agar DNA tidak keluar dari sumuran. Untuk megetahui ukuran pasang
basa hasil amplifikasi, maka pada salah satu sumuran diisi marker DNA/ DNA Ladder
dengan ukuran tertentu. DNA ladder yang digunakan biasanya menyesuaikan dengan besar
pasang basa target yang dicari, misalnya untuk pita DNA dengan target 150 basepair (bp)
digunakan DNA ladder dengan ukuran 50bp, dan untuk DNA target di atas 1000bp
digunakan 1kb ladder. Elektroforesis dilakukan dengan menepatkan gel agarose dalam
bak/chamber elektroforesis yang didalamnya berisi buffer yang sama dengan pelarut yang
digunakan untuk membuat gel (TAE atau TBE) dan terhubung dengan power supply yang
dapat diatur arusnya. Setelah elektroforesis selesai, umumnya dilakukan pewarnaan dengan
merendam agar pada larutan Etidium bromida (Etbr) 1% selama 15 menit, kemudian
membilasnya dengan merendam pada air selama 30 menit. Karena sifatnya yang
karsinogenik, saat ini telah banyak pewarna pengganti Etbr yang lebih ramah lingkungan
dan aman. Staining atau pewarnaan dapat dilakukan pada saat pembuatan agarose yaitu
dicampurkan setelah agarose larut/ masak ataupun dicampurkan pada loading dye yang
digunakan dalam elektroforesis.

Hasil elektroforesis divisualisasi dengan UV transiluminator dengan sinar infra red. Jika
amplifikasi terjadi maka akan terlihat pita pita DNA yang berpendar oleh sinar infra red
(Gambar 4.).

Gambar 4. Pita DNA yang divisualisasi dengan menggunakan UV transilluminator

Penulis : Alfin Widiastuti, S.P, M.Si


Pengawas Benih Tanaman Balai Besar PPMB-TPH

Anda mungkin juga menyukai