Anda di halaman 1dari 3

SEKOLAH YANG MEMBAHAGIAKAN DAN MENGANTARKAN SISWA UNTUK MERAIH

KEBAHAGIAAN MEREKA
(MENYELARASKAN DENGAN PESAN PAK PURWADI SANTOSO SEBELUMNYA)
oleh Nugrohodi
---ditulis sebagai bahan sambutan dalam rangka Pembukaan Tahun Ajaran Baru 2021-2022
Sekolah Umum Sugar Group di tengah masa pandemi Covid-19---

Salam sejahtera untuk kita semua. Semoga rahmat dan berkah Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Segalanya, selalu terlimpah kepada kita.
Bapak/Ibu dan seluruh warga Sekolah Umum Sekolah Sugar Group yang saya hormati, saya
cintai, dan saya banggakan, kita masih harus berjuang lebih keras untuk melanjutkan hidup
dan tugas-tugas kita di tengah masa ujian pandemi Covid-19 kali ini. Kita memang harus
lebih waspada, tetapi tidak boleh takut. Covid-19 atau ujian apa pun lainnya adalah realitas
obyektif. Takut, sedih atau hal negatif yang kita rasa dan pikirkan adalah realitas subyektif.
Covid-19 adalah dunia di luar diri kita. Takut adalah picture in our head dan ini yang
seharusnya bisa kita kendalikan dan atasi. Sekali lagi, kita tidak boleh takut apalagi
menyerah.
Bapak/Ibu, pada awal libur sekolah beberapa waktu yang lalu, ada sebuah pesan dari nomor
yang saya tidak kenal masuk ke handphone saya. “Pak, kapan anak kami mulai belajar di
sekolah? Katanya ia bosan kalau belajar dari rumah terus”. Begitu kira-kira ungkapan atau
pertanyaan yang saya terima. Kemungkinan dari salah satu orang tua atau wali murid di
salah satu dari beberapa sekolah yang kita sama-sama kelola.
Saya lalu merenung sebentar. Biasanya, pada hari-hari awal libur sekolah anak-anak
bergembira menyambutnya. Tetapi, ungkapan dari kemungkinan salah satu orang tua siswa
ini kok tidak menggambarkan keadaan yang sedemikian? Sepertinya libur panjang akhir
tahun ajaran sekolah bukan sesuatu yang diharapkan oleh anaknya. Ada kesan ekspresi
ketidakbahagiaan anaknya dalam menyambut libur panjang kali ini yang boleh jadi dialami
juga oleh teman-temannya.
Ya, anaknya gelisah dan saya menduga bahwa penyebabnya adalah sesuatu yang sedang
dipikirkannya. Ia ingin segera kembali beraktivitas dan hadir ke sekolah seperti pada hari-
hari sebelum pandemi Covid-19. Ia rindu untuk bertemu dan dapat berinteraksi langsung
dengan teman-temannya.
Memang pandemi Covid-19 benar-benar telah menyebabkan perubahan cukup drastis dunia
pendidikan. Beberapa sekolah melakukan pembelajaran dengan skema jarak jauh yang pada
umumnya hampir tidak diawali dengan persiapan yang memadai. Pembelajaran jarak jauh
(PJJ) dalam praktiknya banyak menimbulkan kebingungan, baik orangtua, pendidik, maupun
peserta didik. Berdasarkan catatan saya dari laporan dan temuan di lapangan sebelumnya,
juga dari sumber-sumber berita yang saya ikuti selama ini, tidak semua pihak siap dan
mampu untuk mengikuti PJJ secara ideal. Beberapa sekolah masih perlu banyak peningkatan
dalam mengemas kegiatan PJJ untuk dikelola secara lebih menarik. Banyak kendala dan
keterbatasan. Mungkin hal inilah yang bagi peserta didik menjadi awal terjadinya tekanan
psikologis. Mereka harus menyiapkan dan melakukan pola rutinitas yang sebelumnya belum
biasa mereka lakukan, apalagi untuk jenjang SD.
Satu di antara temuan itu misalnya, ada peserta didik yang mengerjakan tugas yang tidak
proporsional. Dalam sehari sebagian besar waktu mereka digunakan untuk PJJ, ditambah
satu sampai dua jam (bisa lebih) untuk menyelesaikan tugas-tugas dari guru. Ada yang harus
bergantian menggunakan perangkat komunikasi, ada yang sambil membantu adik, atau
aktivitas lainnya untuk membantu orang tua. Ada pula beberapa wilayah yang misalnya tidak
terdukung bahkan tidak ada sama sekali jaringan internet atau sarana komunikasi lainnya
yang memadai, sehingga memaksa sebagian dari peserta didik untuk bergerak ke luar tempat
tinggal mereka yang tentu hal ini juga mengundang risiko kurangnya pengawasan. Intinya,
energi mereka lebih terkuras. Rasa bosan dan jenuh sangat mungkin lebih mudah
menghinggapi mereka. Karena berbagai faktor inilah PJJ menjadi pengalaman yang tidak
membahagiakan, rentan menyebabkan stress karena bertentangan dengan spirit pendidikan.
Di sisi lain ada juga informasi bahwa sebagian orang tua justru yang mengerjakan tugas-
tugas sekolah anak-anak mereka karena bebagai pertimbangan dan alasan.
Masih dalam masa pandemi Covid-19 ini, awal tahun ajaran baru sudah dipastikan dengan
skema baru. Jika pada awal tahun ajaran baru yang lalu hal itu diatur melalui Surat
Keputusan Bersama (SKB) 4 Kementrian bertanggal 15 Juni 2020 tentang Penyelenggaraan
Proses Belajar Mengajar Tahun Ajaran 2020-2021 dengan penentuan awal masuk sekolah di
tiap daerah yang tidak sama --salah satu syaratnya mengacu pada status daerah terkait
apakah merah, kuning, atau hijau, dan hanya daerah dengan status zona hijau yang
diperbolehkan membuka aktivitas belajar mengajar di sekolah dan hal itu pun harus
didukung dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat-- maka kondisi saat ini berbeda.
Pemerintah pusat sejak beberapa waktu sebelumnya, telah menegaskan tanggal yang sama
untuk pembukaan tahun ajaran baru, yaitu per 12 Juli 2021, namun dalam praktiknya teknis
pelaksanaannya diserahkan kepada setiap daerah. Dengan kondisi saat ini yang lonjakan
kasus Covid-19 sedang cenderung meningkat di beberapa wilayah dan dengan risiko paparan
virus yang konon lebih besar, setiap pemerintah daerah juga melakukan kebijakan yang
berbeda-beda sesuai dengan kondisinya masing-masing. Hal yang senada dan ditegaskan
hampir di seluruh daerah di Indonesia adalah perlunya peningkatan disiplin pelaksanaan
protokol kesehatan dan kewaspadaan.
Pada dasarnya, pendidikan dengan tatap muka, PJJ, atau kombinasi antarkeduanya harus
tetap berjalan. Proses penyiapan generasi penerus bangsa harus tetap berjalan. Lulusannya
diharapkan mampu mengupayakan kelangsungan hidup sebaik-baiknya dengan segala
potensi yang dimiliki untuk tujuan kebahagiaan.
Benar, bahagia. Semua orang ingin hidup bahagia. Bahagia dan membahagiakan orang lain.
Itu artinya selama menempuh pendidikan di sekolah baik dengan skema tatap muka, PJJ,
atau kombinasi antarkeduanya perlu ditumbuhkembangkan karakter-karakter tertentu yang
membuat anak memiliki peluang lebih besar untuk bahagia. Karakter yang tertanam kuat
akan dibawa kemana pun dan sampai kapan pun anak berada. Karakter yang diperlukan
untuk menjadikan anak bahagia adalah segala jenis karakter yang mampu menghasilkan
emosi-emosi positif. Menurut Clifton dan Rath, emosi positif merupakan kebutuhan penting
sehari-hari untuk kelangsungan hidup, dan untuk hidup bahagia (Haidar Bagir, Memulihkan
Sekolah Memulihkan Manusia).
Kualitas lulusan memang ditentukan oleh berbagai faktor. Namun, pendidik tetaplah
menjadi faktor penentu. Akan lebih baik ketika pendidik mampu melakukan cara-cara yang
bijak dalam mengaktualkan potensi siswanya. Kondisi yang menyebabkan anak menjadi
tertekan dan terbebani sedapat mungkin dihindari agar siswa tidak kehilangan peluang untuk
memiliki karakter yang mendukung kebahagiaan.
Praktik untuk hal itu memang tidak mudah. Perlu niat kuat, kesadaran, kreativitas, dan
kesabaran. Jadi, mari kita ubah paradigma dalam mendidik anak. Melalui tatap muka,
PJJ, atau kombinasi antarkeduanya, kita fokuskan proses pendidikan pada pemenuhan
syarat-syarat untuk bahagia, meskipun capaian akademik juga penting.
Sudah semestinya kita, para guru dan pendidik menekankan penanaman karakter-karakter
positif anak dalam proses pendidikan. Selain itu, semestinya kita juga berupaya untuk
menfasilitasi suasana yang nyaman bagi anak-anak kita, selalu memelihara harga diri
mereka, dan memberi ruang seluas-luasnya bagi anak untuk mencoba dan tidak takut salah.
Dengan demikian, kreativitas bisa lahir dan kita bisa berharap lebih banyak untuk
kebahagiaan hidup anak-anak kita.
Sebagai penutup, izinkan saya berbagi kalimat bijak dari Allahyarham (mendiang) Guru saya,
“Orangtua adalah wasilah hidup di dunia. Guru adalah wasilah kehidupan dan
kebahagiaan abadi”
Mari bersama melanjutkan tugas-tugas kita. Selamat berkarya!

Site GPM, 11 Juli 2021

Anda mungkin juga menyukai