Anda di halaman 1dari 84

1

2
CHILDFREE, “BAGAIMANA MUSLIM
HARUS BERSIKAP”
https://www.instagram.com/auliarozaq11

maulia401@gmail.com

Copyright © 2021 Muhammad Aulia Rozaq

Ebook ini dibagikan secara gratis dalam rangka memahamkan


umat tentang konsep childfree yang kini tengah hangat
diperbincangkan.

Desain Sampul : Wulan Nuriandari

Penyunting : Muhammad Aulia

Typerface : Palatino Linotype, Traditional Arabic

Ukuran : 14,8 CM x 21 CM

3
MUQODIMAH

ِ ‫ ونَعوذ ِِب‬،‫َلِل ََنمده ونَستعِي نه ونَست حغ ِفره‬


‫هلل‬ ِ ِ ‫إِ َّن ح‬
َ َ ‫اْلَ حم َد َّ ح َ َ ح َ ح َ ح‬
َ‫ َم حن يَ حه ِد ِه هللا فَال‬،‫ات أ حَع َمالِنَا‬ ِ َ‫ِمن شروِر أَنحف ِسنَا وِمن سيِئ‬
ِّ َ ‫َ ح‬ ‫ح ح‬
‫ي لَه أَ حش َهد أَ حن الَ إِلَهَ إِالَّ هللا‬ ِ ِ ‫ض َّل لَه ومن ي ح‬ ِ‫م‬
َ ‫ضل حل فَالَ َهاد‬ ‫ََ ح‬
َ ‫َو حح َده الَ َش ِريح‬
.‫ أ ََّما بَ حعد‬،.‫ َوأَ حش َهد أ ََّن ُمَ َّم ًدا َعحبده َوَرس حوله‬،‫ك لَه‬

S egala puji bagi Allah SWT dengan rahmat


serta taufiqnya penulis mampu menuangkan
pikiran serta penjelasan-penjelasan dalam risalah singkat
ini, semoga apa yang penulis tulis bermanfaat bagi para
pembaca semua, khususnya bagi penulis sendiri yang
senantiasa mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Tidak
lupa shalawat beserta salam selalu terlimpah curahkan
pada Nabi kita semua Nabi Muhammad SAW, kepada
keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya,
dan semoga syafaatnya sampai kepada kita sebagai
umatnya Aamiin.

Berbicara mengenai pernikahan tentu bukanlah


hal yang asing, sebab ia terjadi dari masa ke masa dan
4
dari generasi ke genarasi. Dalam Islam pernikahan
merupakan hal yang agung dan amat sakral, dengan
pernikahan itulah Allah luaskan rizki hamba-Nya,
limpahkan rahmat untuknya, dan berkahi hubungannya.
Tidak hanya itu, menikah sama dengan menjaga
keberlangsungan hidup manusia, sebab dari sanalah
lahir insan yang kelak akan menjadi penerus bagi kedua
orang tuanya.

Dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam


Miftah al-Falah fii Fadho’il an-Nikah bahwa pernikahan
adalah jalan yang Allah pilihkan bagi manusia untuk
bereproduksi, memperbanyak keturunan, dan
meneruskan keberlangsungan hidup.1 Namun sejalan
dengan ini, hambatan serta rintangan selalu
bermunculan, sehingga tak jarang keluarga hancur
berantakan, pernikahan rusak tak karuan, hubungan
suami dan istri menjadi terganggu bahkan sampai pada
perceraian, dan hukum pernikahan dalam agama
dilanggar dan ditelantarkan. Di antara hambatan dan
rintangan tersebut adalah konsep pernikahan tanpa anak
atau dikenal dengan childfree. Sepintas tak ada masalah,

1
Abdurrahman bin Syaikh al-Attas, Miftah al-Falah fii Fadho’il an-
Nikah, (Sukabumi: Ma’had Masyhad an-Nur li Tarbiyah al-Akhlaq
wa al-Adab, tt), hal. 10.
5
sebab ia didasarkan pada persetujuan antara dua pihak
di atas kerelaan, namun ternyata, hal tersebut
menyelisihi fitrah manusia, karena manusia baik laki-laki
maupun perempuan, tentu ingin memiliki anak yang
menjadi penerusnya kelak. Dalam Islam, anak bukan
hanya sekadar keturunan yang hanya mengikuti apa
yang ibu dan bapaknya lakukan, ia adalah investasi
terbaik bagi kedua orang tuanya, agama, masyarakat,
dan negara. Karena doa anaknya yang shalih dan
shalihah Allah limpahkan ampunan dan rahmat bagi
kedua orang tuanya tatkala keduanya menghadap Sang
Pencipta, didikan terbaik terhadap anaknya menjadikan
ia manusia yang bermanfaat bagi sesama, menjadi
pemimpin yang gagah berani layaknya Al-Fatih dan
Shalahuddin al-Ayubi, dan menjadi anak yang sopan,
santun lagi penyayang sebagaimana sayangnya Abu
Hurairah pada Ibunya. Kebaikan yang ditanamkan pada
anak sejak kecil, akan terus ia kerjakan sehingga
bermanfaat bagi dirinya juga menjadi amal jariyah bagi
kedua orang tuanya.

Childfree atau dalam istilah lain “bebas dari anak”


bukan hanya terjadi di masyarakat Barat saja, sekarang ia
sudah menjalar ke dalam tubuh umat Islam, tak sedikit
yang mendukung, mengajak untuk melakukannya, dan
6
menyebarkannya tanpa validasi dan konfirmasi, apakah
hal tersebut benar atau salah, apakah itu baik atau buruk.
Sederhananya, mereka terbawa arus pemikiran yang
mereka tak tahu bagaimana agamanya menyikapi hal
tersebut. Dalam laman childfree.net, mereka yang
mendaku sebagai childfree menjelaskan:

“We are a group of adults who all share at least one


common desire: we do not wish to have children of
our own. We are teachers, doctors, business owners,
authors, computer experts - you name it. We choose to
call ourselves "childfree" rather than "childless,"
because we feel the term "childless" implies that we're
missing something we want - and we aren't. We
consider ourselves childFREE - free of the loss of
personal freedom, money, time and energy that having
children requires.” [Kami adalah sekelompok orang
dewasa yang semuanya memiliki setidaknya satu
keinginan yang sama: kami tidak ingin memiliki
anak sendiri. Kami adalah guru, dokter, pemilik
bisnis, penulis, pakar computer. Kami memilih untuk
menyebut diri kami "childfree" daripada "childless",
karena kami merasa istilah "childless" menyiratkan
bahwa kami kehilangan sesuatu yang kami inginkan -
dan sebenarnya tidak. Kami menganggap diri kami
7
ChildFREE (BEBAS anak) - adalah bebas dari
kehilangan kebebasan pribadi, uang, waktu dan energi
yang dibutuhkan untuk memiliki anak.]2

Anak dipandang sebagai beban, merenggut


kebebasan, memakan banyak ruang, menghabiskan
banyak uang, dan menguras banyak tenaga. Padahal,
mereka yang berkata demikian, dulunya adalah seorang
anak yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya sampai
bisa berkata “aku tak mau punya anak karena mengganggu
kebebasan,” walau tak menutup kemungkinan, ada di
antara mereka yang tidak merasakan hangatnya kasih
sayang orang tua, mereka dikerasi, dikasari, tak jarang
dipukuli. Namun solusinya bukanlah dengan berbangga-
bangga tak mau jadi orang tua dan tak mau memiliki
anak. Belajarlah dari pengalaman bahwa menjadi anak
yang kerap kali dikasari tidaklah enak dan berpengaruh
buruk bagi kehidupan, maka jadilah orang tua yang
menyayangi buah hati dengan setulus hati sampai saat
Engkau tua, anakmu berkata “Aku sayang Engkau wahai
Ibu dan Ayah, aku akan mengurusimu sepenuh hati
sebagaimana Engkau mengurusiku sejak saat diriku kecil” dan
saat Engkau bertemu Tuhanmu, Tuhan limpahkan

2
Childfree.net
8
rahmat dan ampunan bagimu, karena doa anakmu yang
tiap hari ia lantunkan “Allahumagfirli Waliwalidayya
Warhamhumma Kama Robbayani Shagiro”. Wahai Tuhanku,
ampunilah diriku dan kedua orang tuaku, serta
sayangilah mereka sebagaimana mereka mendidik
merawatku sejak diriku masih kecil. Ternyata, bayi
kecilmu yang Engkau gendong susah payah, dengan
tangisannya yang tiap hari mengganggu nyeyaknya
tidurmu, aroma tak sedap dari kotorannya yang tiap hari
Engkau bersihkan dengan kesabaran dan kasih
sayangmu, telah tumbuh dewasa menjadi manusia yang
sempurna, bermanfaat bagi sesama dan menjadi
penolong tatkala ajal datang menghampirimu.

Tentunya, mereka yang masih bingung dan gusar


terhadap masalah ini -childfree- perlu dukungan agar
mendapat penerang bagi kegelapan dan hidayah yang
mampu menuntunnya keluar dari prasangka-prasangka
buruk terhadap Tuhan dan agamanya. Maka dari itu,
penulis coba uraikan penjelasan-penjelasan berkaitan
dengan childfree ini dalam pandangan Islam, dengan
harapan, tentunya, untuk kebaikan penulis juga untuk
kebaikan para pembaca. Selamat membaca dan jangan
lupa berdoa.

9
Lembang, 23 Agustus 2021

Muhammad Aulia Rozaq

10
DAFTAR ISI
MUQODIMAH ....................................................................... 4

CHILDFREE .......................................................................... 12

SELAYANG PANDANG TENTANG MENIKAH,


TUJUAN DAN FAIDAHNYA ........................................... 21

TAHDID AN-NASL (MEMBATASI KETURUNAN) ..... 26

BAGAIMANA DENGAN CHILDFREE? .......................... 33

BERADABLAH .................................................................... 43

CHILDFREE, APAKAH PILIHAN BERADAB ............... 45

CHILDFREE DALAM PANDANGAN SYARA’............. 52

IKHTITAM ............................................................................ 60

INILAH RABI’AH AR-RAYI .............................................. 62

Tangis Ayah Ar-Rabi’ah ar-Rayi .................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 82

11
CHILDFREE

S ecara bahasa, childfree adalah “having no


childfren; childless, especially by choice” [tidak
memiliki anak, terutama didasari oleh pilihan].3Dalam
kamus lain, ia didefinisikan “childfree: used to refer to
people who choose not to have children, or a place or situation
without children” [childfree biasa digunakan untuk
merujuk pada orang yang memilih untuk tidak memiliki
anak, atau situasi tanpa adanya anak].4Lebih jelasnya,
diterangkan sebagai “childfree simply means not wanting
children and having no desire to take on the burden of
parenthood. The term "childfree" should not be confused with
"childless" as that implies a person or couple who desires
children but has none” (childfree secara sederhana
bermakna tidak menginginkan anak dan tidak memiliki
keinginan untuk memikul beban tanggung jawab
menjadi orang tua. Istilah “childfree” seharusnya tidak
dibingungkan dengan istilah “childless” yang

3
https://www.dictionary.com/browse/childfree
4
https://dictionary.cambridge.org/amp/english/child-free
12
menyiratkan seseorang atau pasangan yang
menginginkan anak tetapi tidak memiliki).5

Dari sini, kita memahami bahwa childfree adalah


sikap seseorang atau pasangan yang tidak ingin memiliki
anak sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa
childfree berbeda dengan childless. Dalam sebuah artikel
singkat bertajuk “Childfree Semantics”, Linda Drain
menjelaskan bahwa kata “childless” (tidak memiliki anak)
sama seperti kata “penniless” yang bermakna tidak
beruang dan “homeless” yang berarti tak berumah, oleh
karena itu, istilah childless mengkonsekwensikan seorang
dewasa yang “less” yakni kurangnya sesuatu, deprived
(sangat kekurangan), dan unfortunate (tidak beruntung).
Masih menurutnya, bahwa mayoritas orang yang
memilih gaya hidup bebas dari anak (free of
children/childfree) tentunya tidak merasakan hal-hal
tersebut.6 Childfree ini diartikan sebagai pilihan untuk
tidak memiliki anak, sedangkan childless memiliki dua
makna. Pertama, ia semakna dengan childfree yaitu tidak

https://www.urbandictionary.com/define.php?term=childfree&amp=
true
6
Linda Drain Underhill, “'Childfree' Semantics” Science News, Vol.
111, No. 20 (14 Mei, 1977), hal. 307.
13
memiliki anak berdasarkan pilihan. Kedua. bermakna
tidak memiliki anak karena kondisi yang mengharuskan
demikian, misalnya karena penyakit, kesehatan, dll.

Mari kita perjelas, bahwa yang kita bicarakan di


sini adalah childfree di mana seseorang memilih dirinya
untuk tidak memiliki anak atau keturunan. Oleh sebab
itu, orang yang mengatur keturunan, mencegah
kehamilan dengan maksud mengatur jarak kelahiran
anak, dan tidak memiliki anak karena kondisi yang
memaksanya demikian tidaklah masuk ke dalam definisi
childfree yang dipahami oleh Barat juga yang kita bahas
sekarang.

Childfree bukanlah sebuah ide atau tren yang baru,


karena ia sudah sejak lama berkembang di Barat dan
sampai sekarang masih berlangsung. Dalam sebuah
artikel berjudul “Childfree by Choice” dijelaskan bahwa
childfree adalah istilah untuk seseorang yang tidak punya
keinginan untuk memiliki anak. Childfree ini awal
mulanya digunakan pada tahun 1972 oleh organisasi
nasional untuk orang yang bukan orang tua atau non-
parents (National Organization for Non-Parents).7 Di

7
Christian Agrillo & Cristian Nelini, “Childfree by choice: a review”
Journal of Cultural Geography Vol. 25, No. 3, Oktober 2008, hal. 347.
14
antara akibat gaya hidup childfree ini adalah menurunnya
angka kelahiran bayi di Barat sana. Menurut angka Biro
Sensus AS, persentase pasangan tanpa anak meningkat
tiga kali lipat antara tahun 1967 dan 1971, meningkat dari
1,3% menjadi 3,9%.8 Sementara itu, berdasarkan data
National Center for Health Statistics 2002, pada tahun
2000, hampir 19% wanita di awal umur 40-an dan 29% di
awal 30-an tidak memiliki anak.9 Dalam data yang lain
disebutkan bahwa angka kelahiran menurun secara
signifikan selama 40 tahun terakhir. Di Amerika Serikat,
persentase wanita yang belum melahirkan pada usia 40-
an hampir dua kali lipat sejak 1976, sementara itu 10%
wanita tidak pernah melahirkan pada usia 40-an.10
Sedangkan di Inggris, diperkirakan sebanyak 25% wanita
yang lahir pada tahun 1973 tidak akan memiliki anak,
data ini termuat dalam artikel yang dipublikasi pada
tahun 2003, artinya sebanyak 25% perempuan berumur
30 tahun di sana berencana untuk tidak memiliki anak.11

8
Ross, J. and Kahan, J.P, “Children by choice or by chance: the perceived
effects of parity” . Sex Roles, Vol. 9.
9
Christian Agrillo & Cristian Nelini, op.cit, hal. 347.
10
Amy blackstone, “Childless… or childfree?” Contexts, Vol. 13, No. 4,
hal. 68.
11
Rosemary Gillespie, “Childfree And Feminine: Understanding the
Gender Identity of Voluntarily Childless Women”, Gender & Society,Vol.
17, 2003, hal. 122.
15
Studi menunjukan bahwa semakin banyak perempuan di
Eropa Barat dan Amerika Utara yang menolak menjadi
ibu dan memilih untuk tetap childfree.12

Di samping itu, ada banyak hal yang mendorong


orang-orang di sana melakukan childfree, yang paling
dominan adalah seperti yang diungkapkan oleh
Houseknecht S.K, dalam artikelnya “Voluntary
Childlessness13” dalam buku Handbook of Marriage and The
Family yang diterbitkan pada tahun 1987, ia
mengidentifikasi motivasi childfree yang diungkapkan
oleh partisipan childfree dalam 29 penelitian yang
diterbitkan antara tahun 1971 dan 1981. Motif dengan
frekuensi tertinggi, muncul di 79% dari semua
penelitian dan disebutkan tanpa adanya perbedaan
yang kuat antara perempuan dan laki-laki adalah
kebebasan dari tanggung jawab pengasuhan anak dan
kesempatan yang lebih besar untuk pemenuhan diri
serta mobilitas spontan14 (spontaneous mobility).15 Dalam

12
Ibid.
13
Dalam definisi lain, istilah childfree biasa disebut dengan voluntary
childless atau voluntary childlessness, tentunya ini berbeda dengan
childless, sebab kata voluntary memiliki makna sukarela, sehingga
maksudnya adalah tidak memiliki anak secara sukarela.
14
Maksud dari mobilitas spontan adalah kemampuan bergerak
kemanapun yang dibutuhkan dengan spontan, sebagai contoh,
16
wawancara lain, seorang bernama Steve yang berumur
30 tahun mengatakan, “I want to be able to travel. I want to
be able to do things that I would not be able to do if I had kids”
[Saya ingin bisa bepergian. Saya ingin dapat melakukan
hal-hal yang tidak akan dapat saya lakukan jika saya
memiliki anak].16 Hal ini dikuatkan dengan pemaparan
Amy dalam artikelnya, terkait dengan dorongan bagi
perempuan dan laki-laki untuk childfree, perempuan
yang memutuskan untuk childfree dan tidak menjadi
orang tua kebanyakan beralasan untuk mengembangkan
karir mereka, sementara bagi laki-laki, tingginya biaya
untuk membesarkan anak serta fleksibilitas finansial
menjadi alasan mengapa mereka childfree.17 Sementara
itu, alasan-alasan lain yang mendasari orang untuk
memutuskan childfree adalah karena hubungan keluarga
yang kurang baik, menjaga hubungan dirinya dengan

ketika seseorang dibutuhkan temannya untuk membantu pekerjaan,


maka ketika dia bisa melakukan hal tersebut secara spontan atau
langsung, maka hal demikian dinamakan mobilitas spontan.
15
Houseknecht, S.K, “Voluntary Childlessness” dalam ed. M.B
Sussman & S.K Steinmetz, Handbook of Marriage and The Family, (New
York: Plenum Press, 1987). Lihat juga Christian Agrillo & Cristian
Nelini, “Childfree by choice: a review” Journal of Cultural Geography
Vol. 25, No. 3, Oktober 2008.
16
Amy Blackstone, op,.cit, hal. 69.
17
Ibid.
17
pasangannya, masalah medis dan kesehatan, dan
beralasan dengan isu-isu bumi seperti kepadatan
penduduk, perubahan iklim dll., - alasan ini sebetulnya
kurang kuat, sebab pada dasarnya bumi rusak bukan
hanya karena banyaknya manusia, tetapi karena
perbuatan manusia yang kegemarannya merusak,
dikarenakan kualitas diri yang kurang, baik dari segi
adab ataupun ilmu, jika kita mengatakan “Bagaimana jika
banyaknya keturunan namun disertai kualitas iman dan diri
yang baik?” tentu ini menjadi manfaat bagi bumi, karena
dengan kualitas manusia yang baik, bumi akan terjaga
dan terpelihara. Di sisi lain, adanya ekonomi kapitalis,
tentu berakibat besar terhadap kerusakan yang ada di
bumi.-18Sebenarnya masih banyak alasan-alasan -mereka
yang childfree- yang belum disebutkan, tapi alasan-alasan
tersebut masih berhubungan dengan apa yang telah
penulis sebutkan sebelumnya.

Sekali lagi, agar menjadi jelas, bahwa childfree


adalah sikap seseorang untuk tidak memiliki anak yang
didasari oleh pilihan (having no children by choice),
sehingga ini berbeda dengan childless. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, bahwa ada banyak sekali alasan

18
Hal ini tidak kami jelaskan di sini, sebab akan membutuhkan
waktu yang lebih lama serta penjelasan yang lebih luas.
18
yang melatarbelakangi childfree ini. Kendati demikian,
alasan yang paling banyak digunakan untuk childfree
adalah alasan bahwa memiliki anak akan merenggut
kebebasan, menghalangi mobilitas, memerlukan banyak
biaya dan membutuhkan banyak tenaga. Kebanyakan
mereka yang memilih childfree adalah mereka yang juga
banyak menentang keibuan atau menolak menjadi ibu
juga menjadi orang tua, sebab menjadi orang tua adalah
hal yang melelahkan dan penuh tanggung jawab.
Sebagaimana dikatakan oleh Judy Graham yang
merupakan konselor di WomenHood, ia
mengungkapkan “child-free is used by women who decided
against motherhood” [childfree digunakan oleh perempuan
yang memutuskan untuk tidak menjadi ibu]. Selain itu,
kita harus pahami juga bahwa childfree di Barat sudah
menjadi sebuah gaya hidup. Pertanyaannya, apa boleh
childfree jadi gaya hidup seorang Muslim???.

“Although some childfree people don’t like children,


asignificant number like them a lot. Many work with
children but have no desire to have their own.”

[Meskipun beberapa orang yang melakukan


childfree tidak menyukai anak-anak, jumlah yang
19
signifikan seperti mereka banyak. Banyak bekerja
bersama anak-anak tetapi tidak memiliki
keinginan untuk memilikinya sendiri]

“Freedom, no money worries, peace and quiet, staying


young. A tidy home and my body as I like it. I wouldn’t
have kids for a million pounds! My husband feels the
same way”19 Maria, nursery nurse, Cardiff

[Kebebasan, tidak ada kekhawatiran mengenai


uang, damai dan tenang, tetap muda. Sebuah
rumah yang rapi dan tubuh saya seperti yang saya
suka. Saya tidak akan memiliki anak dengan
harga satu juta pound! Begitu pun, suami saya
merasakan hal yang sama]

19
Nicki Defago, Childfree and Loving it, (London: Fusion Press, 2005),
hal. 12.
20
SELAYANG PANDANG TENTANG
MENIKAH, TUJUAN DAN FAIDAHNYA

Dalam kitab az-Zawaj wa Majmu’atu As’ilati fii


Ahkamihi dijelaskan bahwa makna menikah menurut
syar’i adalah menjalin perjanjian antara laki-laki dan
perempuan yang dengan perjanjian tersebut satu dengan
yang lainnya bisa saling menyenangkan dan membentuk
keluarga yang shalih dan masyarakat yang sehat.20
Sehubung dengan akad nikah ini, Imam as-Sarkhasi
menjelaskan dalam kitabnya al-Mabsuth, bahwa akad
nikah ini berkaitan dengan berbagai kemaslahatan dunia.
Di antaranya melindungi dan mengurusi para
perempuan, menjaga diri dari zina. Di antara itu pula
memperbanyak populasi hamba Allah dan umat Nabi
Muhammad SAW, serta merealisasikan kebanggaan
rasul saw atas umatnya.21

20
Muhammad Shalih al-Utsaimin, az-Zawaj wa Majmuatu As’ilah fii
Ahkamihi¸(Uzaynah: Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin, 2000), hal. 12.
21
As-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), jilid. 4, hal.
192.
21
Tentunya sudah menjadi fitrah semua manusia,
laki-laki dan perempuan untuk menikah, menjalin
perjanjian suci, dan membentuk keluarga yang baik dan
shalih. Ada banyak tujuan dan maksud dari menikah,
sebagian ulama menyepakati bahwa tujuan dari
pernikahan di antaranya adalah menjaga diri dari zina
dan memiliki anak, sementara sebagian yang lain
mengatakan bahwa tujuan menikah adalah menjaga diri
dari zina juga mendekatkan diri pada Allah, sementara
memiliki anak dan keturunan dimasukan ke dalam
fadhilah atau keutamaan dalam menikah, sebab memiliki
keturunan merupakan salah satu konsekwensi dari
pernikahan dan dengan pernikahanlah sepasang suami-
istri bisa memiliki keturunan.

Dalam kitab al-Insyirah fi Adabi an-Nikah dikatakan


bahwa menginginkan anak merupakan tujuan paling
mulia dari pernikahan (‘adzomu maqashid an-nikah).22
Senada dengan ini, dalam kitab Maqashid an-Nikah wa
Atsariha, Hasan as-Sayyid Hamid Khitob menjelaskan
bahwa di antara maksud atau tujuan pokok (al-asl) dalam
pernikahan ialah mengharapkan anak, memperbanyak
keturunan umat nabi Muhammad SAW, menjaga

22
Abu Ishaq al-Huwayni, al-Insyirah fi Adab an-Nikah, (Beirut: Dar al-
Kitab al-Arabiy, 1987), hal. 93.
22
kemaluan, dan menjaga nasab.23Ia menegaskan, bahwa
tidak ada khilaf atau perselisihan di kalangan para ahli
fiqih (fuqoha) bahwa mengharapkan anak dalam
pernikahan adalah di antara pokok tujuan menikah.
Dalam kata lain, menikah dimaksudkan untuk
melanjutkan keberlangsungan hidup manusia dan
menjaganya dari kemusnahan. Masih menurutnya,
jikapun terdapat tujuan lain, maka tujuan terpenting
dalam pernikahan ialah bereproduksi atau melahirkan
anak (al-injab).24 Hal ini didasari pada hadits nabi SAW
“tazawwaju al-waduda al-waluda fainni mukatsirun bikum al-
umama yauma al-qiyamah”[nikahilah perempuan yang
penyayang dan melahirkan banyak anak, karena aku
berbangga atas banyaknya kalian pada hari
kiamat]. Masih tentang keturunan, Syaikh at-Tahtawi
25

dalam Syarh Kitab an-Nikah mengungkapkan bahwa


banyaknya keturunan merupakan kemaslahatan umum
dan kebermanfaatan yang khusus26, maksudnya, banyak

23
Hasan as-Sayyid Hamid Khitob, Maqashid an-Nikah wa Atsariha,
(Madinah: Universitas Taibah, 2009), hal. 12.
24
Ibid.
25
Diriwayatkan oleh banyak muhadits dalam kitab-kitab yang
beragam. Riwayat abu dawud, ibnu Hibban, an-Nasa’i, dll.
26
At-Tahtawi, Syarh Kitab an-Nikah, (Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2005), hal. 25.
23
anak merupakan manfaat bagi masyarakat juga bagi
keluarga. Sudah barang tentu, banyaknya keturunan
haruslah dengan perencanaan yang tepat, baik, serta
penuh pertimbangan. Jangan sampai banyaknya
keturunan justru membuat keluarga kewalahan dalam
mengurusnya sampai-sampai banyak hak anak yang
tidak terpenuhi. Oleh karena itu, bagi mereka yang ingin
menikah dan berketurunan, sudah semestinya
membekali diri dengan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
pernikahan dan berkeluarga, sebab dengan itulah
kemaslahatan mampu dicapai dan diwujudkan.

Sampai di sini, dapat dipahami bahwa tujuan


menikah di antaranya adalah memiliki anak. Sehingga,
sudah tentu umat Muslim yang mengikuti sunnah
Rasulnya, pasti menginginkan anak dalam kehidupan
rumah tangganya, sebab anak adalah investasi di dunia
dan akhirat, tentunya jika dididik dengan baik dan
dibekali ilmu yang cukup. Sampai di sini pula, nampak
bahwa childfree tidaklah sesuai dengan tuntunan nabi.
Memang betul, childfree adalah pilihan, namun pilihan
yang menyalahi syari’at dan sunnah rasul. Sebab ada
banyak kekurangan dan konsekwensi yang akan
ditanggung orang tua ketika mereka tidak memiliki
anak, di antaranya hilangnya kesempatan mendapat
24
amal jariyah dari anak yang shalih, tidak ada doa dari
anak yang shalih, silsilah keluarga yang terputus, tidak
merasakan qurrota ‘ayyun (penyejuk mata), padahal ia
mampu mewujudkan itu, dll. Adapun konsekwensi yang
baik yang akan didapatkan oleh kedua orang tua dari
memiliki anak tentunya dengan mendidik anak dengan
baik, menjadi orang tua yang baik, serta membekali anak
dengan adab, akhlak, dan ilmu. Sehingga sang anak
menjadi insan yang bermanfaat bagi agama, keluarga,
masyarakat, dan negara.

25
TAHDID AN-NASL (MEMBATASI
KETURUNAN)

Di antara perkara yang memiliki keserupaan


dengan masalah childfree ini adalah perkara tahdid an-nasl
atau membatasi keturunan. Adapun yang dimaksud
dengan tahdid an-nasl ini adalah keharusan rakyat secara
keseluruhan agar hanya memiliki keturunan dengan
jumlah dan batas tertentu yang sudah ditentukan.27
Selain itu, tahdid an-nasl ini juga diartikan sebagai
perbuatan menghentikan keturunan manusia dari
meningkatnya jumlah dan pertambahan anak, sehingga
sepasang suami-istri ketika berhubungan seksual
melakukan pencegahan agar tidak terjadinya
kehamilan.28 Terdiri dari dua kata, yakni tahdid (‫)حتديد‬

yang bermakna pembatasan atau penetapan batas dan


nasl (‫ )نسل‬yang bermakna anak atau keturunan, sehingga

menghasilkan makna membatasi keturunan. Lalu


bagaimana hukum membatasi keturunan dalam Islam?

27
Sofa Khalid Hamid Zayn, Tesis, Tandzim an-Nasl fii Fiqh al-Islamiy,
(Nablus: Jamiah an-Najah al-Wathaniyyah, 2005), hal. 60.
28
Muhammad Abdus as-Salam, dkk, Nidzom al-Usrah fi al-Islam,
(Kuwait: Maktabah al-Falah, 1986), hal. 169.
26
Pendapat yang paling kuat dan rajih menunjukan bahwa
membatasi keturunan adalah perkara yang haram
dilakukan. Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-
Maliki al-Hasani dalam kitabnya Adab al-Islam fi Nidzom
al-Usrah mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak
bisa membedakan antara membatasi keturunan sebagai
prinsip dan pemikiran dengan pembatasan keturunan
karena kondisi pribadi yang mengharuskan demikian
(darurat syakhsiyyah khossoh). Sebab pemikiran tersebut -
tahdid an-nasl- jelas merupakan pemikiran yang buruk
juga kufur.29Kemudian beliau menukil fatwa yang
dikeluarkan oleh Lembaga Ulama Saudi (Hayi’ah Kibar
Ulama) nomor 42 tahun 13/4/1396 Hijriyah yang kurang
lebih menyatakan bahwa syariat Islam menganjurkan
sepasang suami-istri berketurunan dan
memperbanyaknya, sebab anak atau keturunan nikmat
yang teramat besar yang Allah anugerahkan pada
hamba-hambanya.30 Adapun pandangan syariat
terhadap tahdid an-nasl atau mencegah kehamilan -dengan
tujuan membatasi- bertabrakan dengan fitrah manusia.
Oleh karena itu, pembatasan keturunan ini tidak

29
Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki, Adab al-Islam fii
Nidzom al-Usrah, (Mekkah: Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyyah,
2001), hal. 160.
30
Ibid. hal. 162-163.
27
diperbolehkan secara mutlak, juga tidak diperbolehkan
mencegah kehamilan jika saja hal tersebut
dilatarbelakangi karena takut hidup melarat dan jatuh
miskin. Adapun jika hal tersebut -mencegah kehamilan-
dikarenakan kedaruratan yang jelas keberadaannya,
seperti perempuan yang ketika ia melahirkan tidak
melahirkan dalam keadaan normal dan diharuskan
dilaksanakannya operasi ketika melahirkan atau karena
mengakhirkan kelahiran dengan jangka waktu tertentu31
karena sepasang suami-istri memandang adanya
maslahat di sana, maka hal ini diperbolehkan.32

Begitu pun menurut Syaikh al-Utsaimin dalam


kitabnya, menegaskan bahwa tahdid an-nasl merupakan
suatu hal yang bertentangan dengan syariat dan tidak
sesuai dengan apa yang dikehendaki syariat.33Begitu pun
dengan Lembaga-lembaga dan majlis-majlis fatwa ulama
di berbagai negeri Islam, menyepakati ketidakbolehan
tahdid an-nasl. Berikut beberapa lembaga yang
menyatakan haramnya pembatasan keturunan:

31
Disebut juga dengan tandzim an-nasl atau mengatur keturunan.
Pada hakikatnya ini bukanlah membatasi keturunan juga bukan
menolaj memiliki anak.
32
Sayyid Muhammad bin Alawi, op.cit.
33
Muhammad Shalih al-Utsaimin, op.cit, hal. 35.
28
1. Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah ( ‫جممع البحوث‬
‫)اإلسالمية‬34

2. Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami ( ‫جملس اجملمع‬


‫)الفقهي اإلسالمي‬35

3. Dairah al-Ifta (‫اإلفتاء‬ ‫)دائرة‬36

4. Hayi’ah Kibar al-Ulama (Saudi) ( ‫هيئة كبار‬


‫)العلماء‬37

5. Lajnah Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-


Ifta (‫واإلفتاء‬ ‫)اللجنة الدائمة للبحوث العلمية‬38

Kelima Lembaga yang telah disebutkan di atas,


menyatakan ketidakbolehan melakukan tahdid an-nasl,
baik dengan cara melakukan sterilisasi bagi perempuan

34
Ali Ahmad as-Salus, Mausuah al-Qodoya al-Fiqhiyah al-Muashirah,
(Qatar: Dar ats-Tsaqofah, tt).
35
Ibid.
36

https://www.aliftaa.jo/Decision.aspx?DecisionId=66#.YSLLoo4zbIV,
diakses pada 20-04-2014.
37
Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki, op.cit.
38
Ibid.
29
dan vasektomi bagi laki-laki, atau dengan cara lain.39
Dalam hal ini, maka mencegah kehamilan dengan tujuan
membatasi keturunan adalah perkara yang tidak sesuai
syariat, sehingga perkara ini -membatasi keturunan-
tidaklah boleh diterapkan secara universal dan
disebarkan di tengah umat. Masih ada banyak lembaga
dan ulama yang menegaskan ketidakbolehan ini, akan
tetapi tentu saja tidak mungkin penulis sampaikan
semua di sini, sehingga penulis cukupkan dengan
lembaga di atas dan rujukan-rujukan yang telah penulis
sampaikan sebelumnya.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya yang


melarang pembatasan keturunan secara mutlak. Penulis
menemukan beberapa pendapat yang memperbolehkan
pembatasan keturunan, tentu saja pendapat tersebut
didasari atas beberapa alasan. Pertama, adanya
kemaslahatan terhadap pembatasan tersebut.
Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan
yang jelas adanya (al-maslahat al-muhaqaqah) dan
dibenarkan oleh syariat (al-maslahat yujawizuha asy-
syar’u), sehingga alasan-alasan seperti ingin mendapat

39
Dengan kata lain, pembatasan keturunan yang dilakukan dengan
sengaja dengan cara merusak organ repoduksi hukumnya adalah
haram secara mutlak.
30
kebebasan dan fleksibilitas finansial, ingin menikmati
kebebasan pribadi, tidak mau mengurus anak karena
banyak mengeluarkan biaya, takut miskin dan
sebagainya. Hal tersebut tentu bukan maslahat yang
dibenarkan oleh syariat, bahkan bertentangan dengan
syari’at. Kedua, adanya persetujuan dari kedua belah
pihak, lagi-lagi, persetujuan yang dimaksud di sini
adalah persetujuan yang dibolehkan dan tidak
melanggar syari’at, sebab banyak orang yang
mengatasnamakan persetujuan dengan maksud yang
tidak dibenarkan syariat. Lantas mengapa harus dengan
persetujuan keduanya? Sebab baik istri ataupun suami
mempunyai hak untuk memiliki anak. Tentulah,
kesepatan ini harus didasari kemaslahatan sebagaimana
penulis jelaskan sebelumnya. Ketiga, pembatasan
keturunan ini tidak dengan cara meminum obat
pemandul, merusak organ reproduksi sehingga tidak
bisa berfungsi seperti sedia kala. Keempat, ia dibolehkan
khusus dalam perkara individu, bukan perakara umum,
sehingga menyeru umat untuk melakukan pembatasan
keturunan adalah hal yang tidak diperbolehkan.

Setelah membandingkan dua pendapat -yang


membolehkan dan melarang tahdid an-nasl-, menurut
penulis pendapat ini -yang membolehkan- adalah pendapat
31
yang kurang kuat, sebab bertentangan dengan anjuran
syari’at untuk memiliki anak, memelihara
keberlangsungan manusia, dan memperbanyak
keturunan. Sehubung dengan ini, ada banyak ayat dalam
al-Qur’an dan hadits yang menerangkan keutamaan
memiliki keturunan. Bahkan, sekelas nabi pun
mengharapkan kehadiran anak, seperti contoh Nabi
Zakariya dan Nabi Ibrahim alayhimassalam. yang
berdoa kepada Allah SWT agar dikarunai keturunan.

Selain pembahasan mengenai tahdid an-nasl, ada


pembahasan yang tak kalah penting, yakni tandzim an-
nasl (mengatur keturunan). Adapun perbedaan antara
keduanya, bahwa tahdid an-nasl bertujuan membatasi
keturunan dalam batas tertentu, sementara tandzim an-
nasl bertujuan mengatur keturunan seperti menunda
kehamilan karena maslahat yang ada, contohnya,
memenuhi hak asi anak pertama yang masih bayi,
adanya keadaan khusus yang mengharuskan penundaan
kehamilan, dll. Oleh karena itu, para ulama
membolehkan tandzim an-nasl.

32
BAGAIMANA DENGAN CHILDFREE?

Dalam kitab Nidzom al-Usrah fii al-Islam,


sebagaimana dikutip oleh Sofa Kholid:

،‫ ونقلل مجعنا‬،‫”ولذلك نعارض هنا ِبسم الدين وال نريد أن نقطع نسلنا‬
،‫ ونكفر بقدرة ربنا الذي ي رزق من يشاء بغري حساب‬،‫ونعصي رسولنا‬
“‫والتحديد قتل ألن املراد عدم الولد‬

“Oleh karena itu, kami menolak di sini -tahdid an-


nasl- dengan nama agama, sebab kami tak ingin
memutus keturunan kami, mengurangi jumlah
kelompok kami, mendurhakai rasul kami, kufur
terhadap kekuasaan Tuhan kami bahwa ialah yang
memberi rizki kepada siapa saja yang ia kehendaki tanpa
batas, dan tahdid an-nasl adalah membunuh -melenyapkan
keturunan- sebab yang dimaksud dengannya adalah
tidak adanya anak (adam al-walad)”.40

Masih dalam konteks yang sama, namun agak


sedikit berbeda dari sebelumnya, di sini tahdid an-nasl

40
Sofa Khalid Hamid Zayn, op.cit. hal. 81.
33
dimaknai sama dengan tidak adanya anak dalam
pernikahan, apakah benar demikian? Tentu benar, sebab
membatasi artinya, setelah dibatasi sepasang suami-istri
tidaklah lagi memiliki anak.

Dalam konteks childfree sebagaimana telah kita


pahami bersama, bahwa childfree adalah sikap seseorang
yang tidak ingin memiliki anak. Ingat, ini berbeda
dengan childless yang mengkonsekwensikan dua
kemungkinan. Pertama, orang yang tidak memiliki anak
karena pilihan dan kemauan, padahal secara medis ia
bisa melahirkan dan mempunyai keturunan.41 Kedua,
orang yang tidak memiliki anak namun ia ingin memiliki
anak. Biasanya, ini terjadi karena alasan medis yang
mengharuskan demikian. Tentunya, untuk kategori
kedua ini dalam Islam tidaklah mengapa, sebab
mempunyai anak atau tidak adalah sesuatu yang telah
Allah takdirkan. Tapi, bagi mereka yang Allah beri
kemampuan untuk melahirkan dan mempunyai anak,
namun tidak mau melakukannya, ini jelas tidak sesuai
syari’at, sunnah Nabi, dan anjuran-anjuran dalam Islam.

41
Dalam kata lain disebut childfree dan voluntary childless (tidak
punya anak dengan sukarela), ini berbeda dengan childless sebab
dengan ditambahi kata voluntary maknanya menjadi equivalen
dengan childfree.
34
Di sinilah childfree perlu kita dudukan, bahwa
kebanyakan dari mereka melakukan childfree
dilatarbelakangi oleh alasan-alasan yang tidak bisa
dibenarkan oleh syari’at, seperti menganggap anak
sebagai beban, anak menghambat karir dan pekerjaan,
anak perlu banyak biaya, takut miskin dan melarat,
bahkan ada juga yang beralasan hanya semata-mata
untuk kesenangan duniawi-materialistik. Sudah barang
tentu, alasan-alasan demikian adalah alasan yang tidak
akan pernah dibolehkan syari’at.

“Lantas kalau saya gak punya uang, lagi miskin-


miskinnya dan kalau punya anak nanti kurang gizi dan
segala kekurangan bagaimana??” Jika demikian
dikatakan oleh mereka yang memilih untuk childfree
maka kita jawab. Pertama, jika muncul masalah
demikian, solusi yang paling tepat bukanlah childfree,
ingat bukan childfree, sebab childfree menghendaki untuk
tidak memiliki anak didasari oleh pilihan, ini perkaranya
hampir sama dengan tahdid an-nasl (membatasi
keturunan), jika kita bahas soal pilihan tentu orang yang
memilih childfree sebenarnya memiliki dua pilihan,
antara berencana memiliki anak atau tidak memiliki anak
dan ini mengindikasikan bahwa secara medis dia bisa
memiliki anak, sementara jika orang tersebut secara
35
medis tidak bisa memiliki anak, itu artinya tidak ada
pilihan, sebab hal tersebut sudah menjadi takdir dan
kondisi yang menghendaki demikian, sehingga hal itu
termasuk ke dalam definisi childless bukan childfree. Salah
satu solusi yang tepat adalah dengan mengatur
keturunan, jarak kelahiran, atau waktu kapan berencana
memiliki anak, sambil menunggu tentunya sambil
membekali diri dengan ilmu. Oleh karena itu, konsep
dalam Islam tidak boleh hanya dipahami hanya
sepotong, ia harus dipahami secara menyeluruh, bahwa
memiliki anak tidak lepas dari serangkaian pemilihan
pasangan, menikah, membentuk keluarga, persiapan
finansial, dan sebagainya. Sehingga, ketika sang anak
lahir ke alam dunia ia bisa mendapatkan hak-haknya
dan orang tua bisa dengan senang hati memenuhi hak-
haknya. Kedua, takut melarat dan jatuh miskin karena
memiliki anak tidak diperbolehkan dan haram dalam
Islam, sebab sama dengan berburuk sangka pada Allah
SWT. Padahal, Allah yang memberikan rizki kepada
setiap makhluk yang ada di bumi, tanpa terkecuali.
Ketiga, dari pernyataan di atas sebetulnya sudah
menghasilkan jawaban dan solusi, tentu dengan mencari
mata pencaharian dan mempersiapkan finansial adalah
solusi terbaik bagi orang yang belum menikah dan akan

36
menikah serta bagi pasangan-suami istri. Seperti sudah
disinggung sebelumnya, bisa dengan merencanakan
waktu melahirkan disertai persiapan dari segi mental
sampai segi finansial.

“Bumi sudah tua dan sudah padat, kalau banyak


orang justru makin buruk” maka kami jawab. Pertama,
ya betul bumi sudah tua, tapi sebagai muslim kita harus
melihat dan merenungkan apa yang Allah firmankan
dalam Al-Qur’an:

‫ٱلس َمآِٰء‬
َّ ‫ى إِ ََل‬
ٰٓ ‫ٱستَ َو‬ ِ ِ ‫هو ٱلَّ ِذى خلَق لَكم َّما ِِف حٱألَر‬
‫ض َمج ًيعا ُثَّ ح‬ ‫ح‬ َ َ َ
‫فَ َس َّوى ه َّن َسحب َع َسََو ٍت ۚ َوه َو بِك ِِّل َش حى ٍء َعلِيم‬
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”
(QS: 2:29).

Dalam kitab al-Jami’ liahkam al-Qur’an imam Al-


Qurthubi mengutip Ibnu Kaysan terkait dengan makna
“kholaqo lakum” [Allah menciptakan untuk kalian -
maksudnya bumi dan isinya-] bahwa maknanya adalah
Allah menciptakan bumi dan isinya karena kalian (min

37
ajlikum). Disebutkan pula tafsirnya adalah seluruh yang
ada di bumi merupakan nikmat yang Allah berikan
(mun’am) kepada kalian -manusia-.42Sehingga apa yang
ada di bumi itu menjadi ketentuan Allah agar manusia
mengelolanya dan memanfaatkannya. Dalam ayat yang
lain Allah berfirman:

۟ ۟ ِ
‫ض َذل ًوال فَ حٱمشوا ِِف َمنَاكِبِ َها َوكلوا ِمن‬
َ ‫ه َو ٱلَّذى َج َع َل لَكم حٱأل حَر‬
‫ِِّرحزقِ ِهۦ ۖ َوإِلَحي ِه ٱلنُّشور‬
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi
kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan.” (QS: 67:15).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya,


ِ
bahwa maksud dari (‫وال‬
ً ‫َذل‬ َ ‫“ )ه َو ٱلَّذى َج َع َل لَكم حٱأل حَر‬Dialah
‫ض‬
yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu” adalah
“berjalanlah kalian kemanapun yang kalian kehendaki di

42
Al-Qurthubi, al-Jami’ liahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub al-
Mishriyyah, 1964), jilid. 1, hal. 251.
38
berbagai kawasan dan tempatnya, serta lakukanlah perjalanan
mengelili daerah dan kawasannya untuk keperluan mata
pencaharian dan perniagaan. Ketahuilah bahwa upaya kalian
tidak dapat memberi manfaat sesuatu pun bagi kalian kecuali
jika Allah memudahkannya bagi kalian”43Dari sini kita
menyadari bahwa bumi adalah tempat yang Allah
ciptakan untuk manusia. Oleh karena itu, manusia
memiliki tanggung jawab untuk merawat dan
memeliharanya. Di sisi lain, Allah menjadikan
pernikahan sebagai jalan yang sah untuk memiliki dan
memperbanyak keturunan dan Rasul-Nya menganjurkan
umatnya agar berketurunan dan memperbanyaknya.
Lantas bagaimana mungkin, dengan ada banyaknya
manusia bumi menjadi hancur, semakin sesak, serta
menjadi rusak?. Tentu saja mungkin, jika
memperbanyak keturunan tidak disertai dengan
pertimbangan yang baik, tidak diberikan pendidikan
terbaik, tidak ditanamkan adab dan akhlak, serta tidak
dibekali dengan ilmu yang bermanfaat. Akibatnya,
anaknya tumbuh dengan keadaan tidak dibekali apa-apa,
bukan memberikan manfaat justru menambah
kemudharatan, yang seharusnya memelihara bumi justru

43
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Kairo: Dar ath-Thayibah,
1999), jilid. 8, hal. 179.
39
malah menghancurkan. Oleh karena itu, dari sini perlu
diperhatikan bahwa banyaknya keturunan harus disertai
dengan pendidikan yang baik serta penanaman adab dan
akhlak.

Maka dari itu, tidak benar dengan banyaknya


anak bumi jadi rusak, tapi yang menjadi rusak adalah
ketika banyaknya anak tidak disertai bekal yang baik.
Kalaulah punya anak 20 tapi kualitasnya seperti
Muhammad Al-Fatih, Shalahuddin al-Ayubi, atau
minimal mereka menjadi anak yang berbakti, beradab,
dan bermanfaat bagi umat. Mengapa tidak, justru
dengan banyaknya anak tersebut menjadi anugerah bagi
bumi dan umat. Sebab kehadirannya menjadikan bumi
lebih baik dan terawat. Sekali lagi ini perlu diperinci,
bahwa banyaknya anak bukanlah satu-satunya sebab
bumi rusak44, ia menjadi rusak tatkala banyaknya anak

44
Menjadikan anak sebagai alasan bumi menjadi rusak menurut
penulis terlalu umum, sebab memiliki anak adalah fitrahnya
manusia dan jalan yang telah Allah tentukan agar kehidupan
manusia terus berlangsung. Sehingga yang menyebabkan bumi
rusak bukanlah karena banyaknya, bisa jadi karena ketidakpandaian
dalam mengelola dan mengatur anak, kualitas dan integritas sang
anak yang kurang, dan bekal ilmu sang anak yang tidak mencukupi.
Oleh karena itu, anak dalam Islam adalah amanah yang besar, kedua
orang tuanya memiliki tanggung jawab yang sangat besar, kelak di
hari kiamat akan ditanyai perihal anaknya tersebut. Oleh karena itu,
40
namun tidak disertai kualitas didikan yang baik. Kedua,
kami menjawab bahwa kepadatan penduduk tentu
menjadi sebuah permasalahan, akan tetapi didasari oleh
banyak sebab, tidak serta merta karena banyaknya anak.
Sebagai contoh, penduduk banyak terpusat di kota oleh
karena sistem ekonomi yang kapitalis, akibatnya banyak
orang berbodong-bondong dari desa menuju kota untuk
mencari mata pencaharian, sementara itu di belahan
daerah dan tempat yang lain, manusia sangatlah sedikit.
Jika tempat atau kawasan betul-betukl sangat padat
penduduknya, maka childfree bukanlah solusi, salah satu
solusinya adalah tandzim an-nasl yakni mengatur
keturunan, mengapa demikian? Sebab Allah SWT
menghidupkan juga mematikan makhluknya, ada lahir
maka ada mati, ada kelahiran ada pula kematian. Oleh
karena itu, setiap waktu ke waktu dari tahun ke tahun
tentu ada yang wafat dan meninggalkan bumi, juga ada
yang lahir menjadi insan yang baru di muka bumi.
Bayangkan jika dalam suatu kota 50% penduduknya
memilih untuk childfree yaitu tidak ingin memiliki anak,
sementara pertambahan angka kematian tidaklah bisa

penting bagi umat Islam untuk memahami hal ini, bahwa


memperbanyak anak haruslah diimbangi dengan kemampuan
finansial, kemampuan mendidik, serta kemampuan menanamkan
adab dan akhlak pada sang anak.
41
ditolak. Dalam setahun, saya bisa pastikan, bahwa angka
kelahiran akan sangat kecil, sementara angka kematian
sangat tinggi. Akibatnya, sumber daya alam yang ada
tidaklah seimbang dengan sumber daya manusia.
Dengan itu, childfree, apatah lagi sudah menjadi tren dan
gaya hidup, bukanlah memberikan solusi tapi justru
memberikan masalah baru.

Dengan demikian, childfree sebagaimana dipahami


oleh bangsa Barat sana tidaklah sejalan dengan fitrah
manusia, tujuan pernikahan, dan anjuran-anjuran
syari’at. Bahkan, sangat tidak baik dan tidak
diperbolehkan, sebab memilih untuk childfree sama
dengan memutus silsilah keturunan.

42
BERADABLAH

Sebagai seorang Muslim sudah semestinya ia


memosisikan childfree ini dengan benar, sebab seorang
Muslim yang taat tidaklah mungkin ikut-ikutan tren
yang banyak memberikan kerugian bagi urusan dunia
dan akhiratnya. Akan tetapi, perlu diperhatikan pula,
jangan sampai munculnya isu ini membuat kita menjadi
bebal, mengajak umat agar memperbanyak keturunan
tapi tidak pernah memikirkan dan mengedukasi
bagaimana menjadi orang tua yang benar.
Konsekwensinya, hak-hak anak menjadi tidak terpenuhi,
pendidikan terabaikan, adab dan akhlak tidak sempat
ditanamkan, ilmu tak sempat dibekali. Kalau sudah
begini, yang repot bukan saja keluarga, tapi masyarakat
dan negara.

Selain itu, kita sebagai seorang Muslim hendaknya


menjaga adab terhadap mereka yang memilih childfree,
ketika kita tahu bahwa itu tidak baik dan bertentangan
dengan syari’at, maka sampaikanlah dengan cara yang
baik, nasehati dengan sebaik-baik perkataan, kalaupun
perlu kritik, maka kritiklah dengan ilmu dan cara yang
objektif. Jaga lisan dan jaga perbuatan, sebab tidaklah
43
elok kita menyampaikan sesuatu yang baik, tapi justru
memilih dengan cara yang paling buruk. Kalaupun
mereka menolak nasihat yang diberikan dengan dalih
hak tiap orang, biarkan saja, karena sejatinya ia sedang
tidak menjejaki jalan yang ditempuh oleh rasulnya dan
memilih untuk menapaki jalan yang tidak dianjurkan
oleh agamanya. Mungkin dengan jalan itu, Allah
memutus keturunan orang-orang seperti itu.

Sebelum penulis tutup dan simpulkan bahasan


ini, berikut penulis tampilkan dua tulisan yang juga
berkaitan dengan childfree. Tulisan pertama adalah
tulisan Dr. Adian Husaini yang dipublikasikan pada
laman www.adianhusaini.id. Adapun tulisan kedua,
ditulis oleh Dr. (cand) Ahmad Kholili Hasib, yang
merupakan dosen di IAI Dalwa Bangil.

44
CHILDFREE, APAKAH PILIHAN
BERADAB
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Beberapa hari ini ada sejumlah pertanyaan –


dalam forum kuliah atau media sosial – tentang topik
childfree. Topik ini menghangat setelah beberapa
selebritis menyampaikan secara terbuka sikapnya. Ada
pasangan suami-istri yang memutuskan menjadi
pasangan childfree.

Artinya, mereka memutuskan untuk tidak akan


mempunyai anak. Meskipun secara medis, pasangan itu
dimungkinkan untuk mempunyai anak.

Ada lagi selebriti yang menyatakan, bahwa


dengan tidak mempunyai anak, maka ia merasa telah
membantu dunia yang sudah kelebihan populasi.
Katanya, sekarang sudah terlalu banyak manusia yang
tinggal di planet bumi ini.

Bagaimana kita memandang fenomena childfree?


Seorang praktisi pendidikan, Adriano Rusfi,
berpendapat, bahwa dalam pandangan Islam, sudah

45
tentu tidak ada istilah childfree atau menolak
berketurunan. Apalagi pada pasangan yang sudah
menikah. Dalam Islam, salah satu tujuan perkawinan
memang mempunyai anak.

Dalam Islam, menurut Adriano Rusfi, tidak


mendayagunakan fungsi tubuh adalah jahil. Sedangkan
mendayagunakan fungsi tubuh secara berlebihan adalah
zalim. Keduanya sama-sama bentuk dosa. Rasulullah
saw telah bersabda agar kita “berbanyak-banyak” atau
“berketurunan”. (Lihat:
https://salmanitb.com/2021/08/04/bolehkah-muslim-ikut-
tren-childfree/).

***

Pada tahun 2010, saat berkunjung ke Inggris, saya


banyak ditemani oleh seorang mahasiswa Indonesia
yang sedang mengambil doktor di University College of
London (UCL). Suatu saat, ia mengajak beberapa
anaknya yang masih kecil dalam acara di London.
Menurutnya, ada teman-teman kuliahnya di UCL yang
heran melihat ia ke kampus dengan membawa sejumlah
46
anak. “Apa itu tidak merepotkan?” tanya mereka, seperti
ditirukan oleh mahasiswa Indonesia tersebut.

Tentu saja, di sejumlah negara Barat, fenomena


perempuan tidak mau punya anak sudah menjadi hal
biasa. Mereka punya prinsip “kedaulatan alat
reproduksi”. Perempuan itu sendiri – bukan suami atau
orang lain -- yang berhak memutuskan apakah ia mau
punya anak atau tidak.

Dalam sistem keluarga di Barat, suami dan istri


punya kedudukan setara. Tidak boleh suami
memaksakan keinginannya untuk punya anak kepada
istrinya. Tidak ada konsep “istri harus taat suami” dalam
rumah tangga mereka. Punya anak atau tidak adalah
hasil kesepakatan. Jika anak dianggap merepotkan karir
atau kehidupan sang istri, maka lebih baik tidak punya
anak.

Sistem keluarga dan sosial seperti ini telah


memunculkan krisis penduduk di sejumlah negara di
Barat dan negara-negara modern lainnya. Tahun 2012
lalu, Jerman mengkhawatirkan rendahnya angka
pertumbuhan penduduknya. Menurut data statistik,
angka kelahiran bayi di negara tersebut menempati
angka terendah sepanjang sejarah. Rendahnya angka
47
kelahiran di negara tersebut menimbulkan kekhawatiran
persoalan populasi negara tersebut di masa depan.

Data Kantor Statistik Federal Jerman di


Wiesbaden mengungkap pada tahun 2011 terdapat
663.000 bayi yang dilahirkan di negara tersebut. Hal ini
berarti, menurun sebanyak 15.000 kelahiran lebih sedikit
dari angka tahun lalu, atau turun 2,2 persen. Sebagai
perbandingan, ada sekitar 1,4 juta bayi yang dilahirkan
di Jerman pada 1964. Setelah itu, tingkat kelahiran bayi
terus mengalami penurunan.

Sejak 1972, angka kematian telah melebihi jumlah


dari angka kelahiran bayi. Sementara jarak antara
perbandingan angka kematian dan angka kelahiran juga
meningkat selama beberapa tahun terakhir, ketika
jumlah kematian pada 2011 mengalami sedikit
penurunan sebesar 0,7 persen sehingga mencapai
852.000.

Dalam skenario tersebut, angka rata-rata kematian


akan meningkat sebagai akibat dari masyarakat yang
semakin tua. Statistik menunjukkan, warga Jerman tidak
hanya cenderung untuk memiliki sedikit anak, namun
juga kurang berminat untuk menikah. Hal tersebut
diperlihatkan dengan penurunan angka pernikahan yang
48
terjadi dari tahun ke tahun sebesar 1,1 persen. Tercatat
hanya ada 378.000 pasangan yang menikah pada 2011.
(https://www.beritasatu.com/dunia/57757/angka-
kelahiran-rendah-jerman-khawatirkan-populasi).

***

Sebenarnya soal menikah dan memiliki anak sudah


diletakkan secara adil dalam Islam. Jika seorang memiliki
worldview (pandangan hidup) yang benar, maka
seorang akan mampu memahami dan menempatkan
masalah ini secara adil dan beradab.

Perintah Nabi untuk menikah diberikan kepada


para pemuda yang sudah “mampu”. Jika tidak mampu,
ya berpuasalah. Rasulullah saw menyebut nikah adalah
sunnah beliau dan siapa yang membenci sunnah beliau
maka ia bukan termasuk golongan Nabi. Menikah juga
satu bentuk ibadah.

Tetapi, tidak setiap orang wajib menikah. Jika ia


terjatuh dalam zina, karena tidak menikah, maka
menikah menjadi wajib baginya. Ada ulama – meskipun
sangat kecil jumlahnya – yang memilih untuk tidak
49
menikah dan menyibukkan diri dalam aktivitas
keilmuan dan perjuangan.

Begitu juga soal anak. Sudah menjadi fitrah


manusia, bahwa ia senang memiliki anak (QS 3:14).
Maka, merupakan sikap yang adil dan beradab, sesuai
dengan fitrah manusia, jika suami-istri ingin punya anak.
Tidak perlu khawatir soal rizki anak, sebab Allah sudah
menjamin rizki anak-anak itu. Dalam praktiknya, jika
orang tuanya tidak mampu, maka mereka wajib dibantu
oleh saudara atau anak-anak itu menjadi tanggung jawab
negara.

Anak-anak manusia itu harta yang sangat


berharga. Anak manusia lebih berharga daripada anak
kambing atau anak babi. Logisnya, manusia didorong
untuk punya banyak anak. Tetapi, dengan syarat, orang
tua harus bisa mendidik anak-anaknya dengan baik.
Karena itulah, tugas orang tua adalah mencari ilmu agar
bisa mendidik anak dengan baik. Sebab, anak-anak yang
salah didik, bisa lebih rendah nilainya dan lebih merusak
masyarakat daripada anak kambing atau anak babi.

Jadi, soal childfree perlu diletakkan pada


tempatnya, dilihat secara adil dan beradab. Jika ada satu
penyakit atau kondisi tertentu, baik saja mengambil
50
keputusan childfree. Kata kuncinya: bertanya kepada
ahlinya!

Bagi yang mampu memiliki anak dan mampu


mendidik dengan baik, maka beranaklah sebanyak-
banyaknya. Itu perintah Nabi. Jika belum mampu
mendidik, maka belajarlah dengan benar! Carilah ilmu
yang benar!

Keputusan suami istri untuk childfree – yang


tidak adil dan beradab -- akan berakibat pada diri
mereka sendiri. Yang rugi mereka sendiri! Tuhan tidak
rugi apa-apa. Begitu juga masyarakat dan negara juga
tidak rugi apa-apa.

Jika orang zalim tidak mau punya anak, dan tidak


mau menerima nasehat yang baik, maka orang-orang
baik seharusnya memperbanyak anak. Begitu sederhana
solusinya! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 21
Agustus 2021).

51
CHILDFREE DALAM PANDANGAN
SYARA’
Oleh: Kholili Hasib

Dosen IAI Dalwa Bangil

Childfree adalah istilah yang digunakan untuk


merujuk kepada orang yang memilih tidak mau memiliki
anak setelah menikah. Chlidfree telah menjadi trend,
biasanya di negara-negara Barat, atau masyarakat yang
mengikuti gaya hidup model Barat. “Dalam al-Quran
dan Hadis tidak ada keterangan yang mewajibkan
pasangan suami istri untuk punya anak”. “Ingin
memimiliki anak atau tidak, kembali ke pilihan masing-
masing”. Demikian potongan status aktivis di media
sosial. Bagaimana pandangan Islam tentang gaya hidup
tidak punya anak ini?

Sepertinya, pilihan menjadi childfree ini hak


manusiawi tiap individu. Tetapi sejatinya lebih dari
menggunakan haknya itu. Ada yang memiliki
pandangan yang memutus hidupnya dengan agama.
Atau ada yang berdiri di atas paham materialism yang
ekstrim. Sehingga, seakan-akan pasangan suami-istri
52
itulah yang punya otoritas penuh menentukan beranak
atau tidak beranak. Padahal, tidak sesimpel itu. Sebab,
memang isu ini persoalan yang serius yang perlu diurai
dari beberapa hal.

Secara garis besar, kita perlu melihat dari dua


aspek; pertama aspek teologis, kedua aspek yuridis
Islam. Pertama, ketika sepasang suami-istri menikah,
biasanya yang mereka harapkan adalah segera
mendapatkan keturunan. Karena, salah satu tujuan
pernikahan adalah melahirkan keturunan yang baik.
Dalam hal ini terdapat penjelasan al-Qur’an, bahwa
menikah itu bertujuan melahirkan keturunan yang
mulia:

ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫اج ا َو َج َع َل لَك حم م حن أ حَزَواجك حم بَن‬
ً ‫اَلِل َج َع َل لَك حم م حن أَنحفس ك حم أ حَزَو‬
َّ ‫َو‬
‫اَلِلِ ه حم‬
َّ ْ ِ ‫اط ِل ي حِِمن و َن وبِنِعم‬
َ‫َ ح‬ َ
ِ ‫وح َف َدةً ورزقَك م ِم ن الطَّيِب‬
ِ ‫ات ۚ أَفَبِالحب‬
َِّ َ ‫َ َ َ َ َ ح‬
‫يَكحفرو َن‬
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-
isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan

53
memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72).

Rasulullah Saw juga mengajurkan memiliki anak:

‫وم الح ِقيَ َام ِة‬ ِ


َ َ‫ّن م َكاشر بِكم احألَنحبِيَاءَ ي‬ ِِ
‫تَ َزَّوجوا الح َود حوَد الح َول حوَد فَإ ِّح‬
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan
dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya
aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu
dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR.
Ahmad).

Ayat dan hadis di atas merupakan petunjuk yang


terang, bahwa sudah semestinya menikah itu dibarengi
niat meneruskan keturunan. Nabi Muhammad Saw
menyukai umatnya yang memiliki anak keturunan.
Tentu saja anak keturunan ini untuk disiapkan menjadi
generasi yang baik.

Maka, niat itu penting. Setiap tindakan, dapat


diukur dari niatnya. Menikah dengan niat untuk
menyenangkan Rasulullah Saw, dengan

54
mempersembahkan kader yang sholih adalah anjuran
agama. Janganlah menikah itu berdiri di atas paradigma
materialisme. Takut miskin, takut anak, takut tidak
bahagia, dll. Jika telah benar niatnya, meskipun tidak
terlaksana tindakan itu, maka tetap ada ganjaran dari
Allah Swt.

Akan tetapi, keturunan yang banyak, sedikit atau


bahkan tidak bisa memiliki keturunan karena alasan
medis, merupakan sesuatu yang tidak pernah lepas dari
keputusan Allah Swt. Allah Swt berfirman:

‫ض ۚ ََيحل ق َم ا يَ َش آٰء ۚ يَ َه َ لِ َم ن يَ َش آٰء إِنًَ ا‬ َّ ‫ََِِّّلِلِ م حل ك ٱ‬


ِ ‫لس َم َو ِت َوٱ حأل حَر‬
‫ور‬ ُّ ِ
َ ‫َويَ َهَ ل َمن يَ َشآٰء ٱلذك‬
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi,
Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang
Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada
siapa yang Dia kehendaki “ (QS. Asy-Syuro: 49).

Maka, yang memberi rizki anak keturunan itu


tidak lain adalah Allah Swt. Bukan seorang pria, juga
seorang wanita. Di antara pasangan suami-istri ada yang
dikaruniai anak perempuan, ada yang diberi anak laki-

55
laki. Ada pula yang Allah Swt menghendaki tidak diberi
keturunan sama sekali, baik laki-laki maupun
perempuan. Semua ini keputusan dan kehendak Allah
Swt.

Meski begitu, pasangan Muslim dianjurkan untuk


berusaha mendapatkan keturunan. Ada atau tidak ada
keturunan adalah kehendak Allah Swt. Hasan Khitab
mengatakan: “Begitu pula dalam pernikahan, tujuannya
adalah menjaga keberlangsungan jenis manusia, dan
melahirkan keturunan yang baik. Alasan ini secara
hakikat juga menjadi alasan disyariatkannya pernikahan.
Karenanya tidak mungkin terbayang adanya anak yang
baik tanpa pernikahan, sehingga menikah adalah sebab
yang menjadi perantaranya. Anak yang baik menjadi
maksud syariat dan orang berakal. Jika tidak ada
pernikahan, maka tidak akan ada anak yang
baik.”(Maqasidun Nikah wa Atsariha Dirasatan Fiqhiyyatan
Muqaranatan, 9). Namun, bila pasangan sudah berniat
untuk tidak mau memiliki keturunan, maka ia sejatinya
telah memilih untuk tidak berada dalam anjuran nas ilahi
dan Nabi.

56
Kedua, secara yuridis Islam. Dari segi niat
memperoleh keturunan, maka pernikahan itu menjadi
nilai ibadah. Dalam hal ini Imam al-Ghazali berpendapat:

‫ِف التواصل اَل الولد قربة من اربعة وجوه هي االص ل ِف الغيي َ في ه‬


‫َ اح د ان يلق ي هللا ع زِب‬ ‫عن د ام ن م ن يوائ ل الش هوة ح‬
‫االول موافق ة هللا ِبلس عي ِف حتص يل الول د ال اا طل َ ُمب ة الرس ول‬
‫طل َ الت‬ ‫تك ري م ن ب ه مباهت ه ال ال‬ ‫ص لى هللا علي ه وس لم‬
‫بدعاء ولد الصاحل بعده الرابع طل َ الش فاعة ت وت الول د الص غري اذا‬
،2 ‫إحي اء عل وم ال دين‬، ‫م ات قبل ه مأبوحام د ُمم د ب ن ُمم د الغزا‬
.)25 .‫ص‬
“Upaya untuk memiliki keturunan menjadi
sebuah ibadah dari empat sisi. Keempat sisi tersebut
menjadi alasan pokok dianjurkannya menikah ketika
seseorang aman dari gangguan syahwat sehingga tidak
ada seseorang yang senang bertemu dengan Allah dalam
keadaan tidak menikah. Pertama, mencari ridha Allah
dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta

57
Nabi saw dengan memperbanyak keturunanan yang
dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak
saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap
syafaat sebab meninggalnya anak kecil yang
mendahuluinya.”

Atas dasar itu, apabila pasangan suami – istri


sehat, secara medis memiliki peluang memperoleh
keturunan, tidak ada kendala penyakit atau hal yang
semisalnya, maka dilarang untuk menutup jalan
keturunan. Pada Muktamar NU ke-12 di kota Malang
tanggal 25 Maret 1937, masih dalam kepemimpinan
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu
keputusan hukum yang dikeluarkan adalah tidak boleh
memutus jalan keturunan. Dalam keputusan tersebut
dinukil ibarah dari kitab I’anatu at-Thalibin:

‫أف ابن عبد السالم وابن يونس أبنه ال ل للم رأة أن تس تعمل دواء‬
.‫يقطع اْلبل‬
“Ibnu Abis Salam dan Ibnu Yunus berfatwa
bahwa tidak halal bagi wanita menggunakan obat yang
bisa memutus kehamilan”.

58
Dengan demikian, pilihan childfree itu tidak
sesuai dengan keputusan agama dan menyalahi tujuan
dari pernikahan. Pendapat yang mengatakan: Memilih
tidak punya anak tidak larangan dari al-Quran dan
Hadis, seakan-akan wajar. Memang secara tekstual tidak
ada. Tapi isu ini masuk ke ranah fiqih. Oleh sebab itu,
wajib ada istinbath. Al-Qur’an dan Hadis adalah alat
utama istinbath. Jadi sebagaimana dikatakan oleh Prof.
As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki bahwa tidak
adanya teks dalam al-Quran dan hadis bukan
merupakan atau belum tentu dalil yang bisa dipakai (As-
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Manhajus Salaf fi
Fahmin an-Nushus, 418).

59
IKHTITAM

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Demikianlah


pembahasan mengenai childfree dan bagaimana
seharusnya seorang muslim bersikap. Tentunya,
selesainya tulisan ini tidak lepas dari hidayah dan taufiq
yang senantiasa Allah limpahkan dan dari dukungan
yang selalu diberikan keluarga, sahabat, juga teman.

Sudah barang tentu pula bahwa tulisan kecil nan


ringan ini penuh dengan kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karenanya, barangkali para
pembaca menemukan kekeliruan, baik dari segi bahasa,
penyampaian, sampai pada benar atau tidaknya
pendapat yang penulis tuangkan. Pembaca sekalian bisa
sampaikan melalui alamat email maulia401@gmail.com.

Saya ucapakan terima kasih banyak, jazakumullah


khairan katsiran. Terakhir, dan insyaAllah yang paling
akhir, setelah penutup ini, penulis tampilkan satu kisah
luar biasa dari seorang tabi’in. Kisah ini dinukil dari
kitab Suwar min Hayat at-Tabi’in karangan Dr. Ra’fat

60
Basya, dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia menjadi “Kisah Para Tabi’in” dan “Mereka
adalah Tabiin”. Kisah ini penuh dengan pembelajaran
hidup mulai dari semangat menuntut ilmu, semangat
beribadah, bagaimana berumah tangga, bagaimana
mendidik anak dan bagaimana indahnya memiliki
keluarga yang berpondasi keimanan. Selamat membaca.

***

61
INILAH RABI’AH AR-RAYI

Inilah saatnya kita berada di tahun 51 Hijriyah.


Tahun di mana kelompok-kelompok pasukan kaum
muslimin memporak-porandakan sarang-sarang
kekufuran di muka bumi, di Timur dan di Barat.

Mereka membawakan aqidah yang mantap bagi


umat manusia, mengelurkan tangannya untuk
kemaslahatan yang hakiki, menyebarkannya hingga
sampai ke sudut-sudut bumi untuk membebaskan
manusia dari peribadatan kepada sesama manusia dan
membawa mereka untuk mengabdi kepada Allah
semata, tiada sekutu bagi-Nya.

Saat di mana sahabat yang agung ar-Rabi’ bin


Ziyad al-Haritsi, amir di Khurasan, pembuka pintu
Sajistan dan panglima yang handal, tengah memimpin
pasukan perangnya di jalan Allah, didampingi oleh
seorang budaknya yang pemberani bernama Farrukh.

Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala


mengaruniakan kemenangan atas Sajistan dan beberapa
daerah lainnya, ar-Rabi bermaksud melengkapi
kemenangannya yang gemilang dengan melintasi sungai

62
Seyhun untuk mengibarkan panji-panji tauhid di bukit-
bukit yang disebut sebagai “negeri di belakang sungai”
itu.

Ar-Rabi’ bin Ziyad mempersiapkan pasukan


untuk menyongsong perang yang telah direncakan itu,
mengatur strategi dan memberikan pengarahan tentang
saat yang tepat untuk menyerang, juga posisi musuh
yang hendak diserangnya.

Tatkala perang benar-benar pecah, ar-Rabi’


beserta pasukannya yang militan menampilkan
kebolehannya yang selalu dikenang sejarah dengan
seruan tasbih dan pekikan takbir. Budaknya, Farrukh
juga memperlihatkan kegagahan dan ketangkasannya di
medan peperangan hingga bertambahlah kekaguman
dan penghargaan ar-Rabi’i terhadapnya.

Usailah peperangan, kemenangan jatuh di pihak


pasukan kaum muslimin. Mereka telah menggoyahkan
kaki-kaki musuh, menceraiberaikan barisannya. Setelah
itu mereka menyeberangi sungai yang selama ini
menjadi penghalang bagi penyebaran Islam di Turki dan
negeri Cina yang jauh.

63
Setelah berhasil menyeberangi sungai dan
menginjakkan kaki di tepiannya, panglima beserta
pasukannya langsung berwudhu. Semua menghadap ke
kiblat, menunaikan shalat dua rakaat sebagi ungkapan
rasa syukur kepada Allah yang telah memenangkan
mereka.

Selanjutnya, panglima besar memberikan hadiah


kepada Farrukh atas andilnya yang besar dalam
peperangan berupa kemerdekaan dirinya. Farrukh juga
mendapatkan bagian ghanimah yang banyak, ditambah
lagi dengan pemberian secara pribadi dari panglima ar-
Rabi’

Tak berselang lama pasca hari-hari bahagia ini,


ajal menjemput ar-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi, tepatnya
dua tahun sesudah cita-citanya yang agung terwujud, dia
kembali ke sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
penuh kerelaan.

Adapun Farrukh, si pemuda perkasa, dia kembali


ke Madinah dengan membawa berbagai pemberian dari
tuannya. Dia pulang menyandang tombak sekaligus
membawa kemerdekaannya yang berharga, di samping
kenangan indah tentang kejantanannya ketika bergumul
dengan debu-debu jihad.
64
Farrukh kembali ke kota Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam usia yang masih cukup muda,
lincah, perwira, dan tangkas dalam berperang. Ketika itu
usianya menginjak 30 tahun. Kini dia bertekad
membangun mahligai rumah tangga, menyunting
seorang gadis agar lebih tenang hidupnya. Dibelinya
sebuah rumah yang sederhana di kota Madinah,
dipilihnya seorang gadis yang sudah matang pikirannya,
sempurna agamanya, serasi tubuh, dan usianya.

Farrukh sangat bersyukur atas karunia Allah yang


memberinya rumah dan istri yang shalihah. Sekarang dia
benar-benar bisa merasakan kenikmatan hidup
didampingi istri yang mampu mengatur semua tatanan
kehidupan, persis seperti yang diharapkan dan dicita-
citakannya.

Namun rupanya rumah yang nyaman dengan


segala kebutuhan hidup dan istri yang shalihah beserta
akhlak dan kecantikan yang telah Allah karuniakan
kepadanya tak mampu meredam gejolak kerinduannya
terhadap jihad fi sabilillah. Pahlawan mukmin ini ingin
kembali memasuki medan tempur dengan membawa
kerinduan akan suara dentuman senjata dan dahsyatnya
jihad fi sabililah. Setiap kali mendengar berita tentang

65
kemajuan yang dicapai pasukan muslimin, makin
bertambah kerinduannya untuk berjihad, makin dalam
hasratnya untuk dapat mati syahid.

Hari Jumat, khatib masjid Nabawi memberikan


kabar gembira tentang kemenangan kaum muslimin di
berbagai medan perang. Khatib juga memberikan
motivasi orang-orang untuk terus berjihad fi sabilillah,
menjelaskan kepada mereka akan keutamaan syahid
demi meninggikan agama-Nya. Pulanglah Farrukh ke
rumahnya sedang di hatinya telah bulat tekadnya untuk
berjuang di bawah panji-panji kaum muslimin yang
bertebaran di muka bumi. Kemudian beliau ceritakan
tekadnya kepada istrinya, sehingga istrinya bertanya,
“Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau hendak
menitipkan aku beserta janin dalam kandunganku ini,
sedangkan engkau adalah orang asing yang tak punya
sanak keluarga di kota ini?”

Farrukh berkata, “Aku titipkan engkau kepada


Allah dan rasul-Nya. Kemudian aku tinggalkan
untukmu uang 30.000 dinar, hasil yang kukumpulkan
dari pembagian ghanimah peperangan. Pakailah
secukup untuk keperluanmu dan keperluan bayi kita
dengan sebaik-baiknya sampai aku kembali dengan

66
selamat dan membawa ghanimah, atau Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberi aku rezeki sebagai syuhada seperti
yang saya dambakan.” Kemudian beliau pamit kepada
istrinya, pergi memburu cita-citanya.

Beberapa bulan setelah keberangkatan Farrukh,


istrinya yang bijaksana itu melahirkan seorang bayi laki-
laki yang cakap dan berwajah tampan. Sang ibu
menyambutnya dengan penuh bahagia hingga mampu
mengalihkan perhatiannya yang telah sekian lama
berpisah dengan suaminya. Bayi laki-laki itu diberi nama
ar-Rabi’ah.

Tanda-tanda ketangkasan telah nampak pada diri


anak itu sejak kecil. Nampak pula tanda-tanda
kecerdasan pada perkataan dan tingkah lakunya. Oleh
ibunya, ar-Rabi’ah diserahkan kepada guru-guru agar
mendapatkan pendidikan dengan layak. Di samping itu,
diundang pula pengajar dalam adab untuk mendidik
budi pekertinya.

Dalam waktu yang tidak begitu lama, kecerdasan


ar-Rabi’ah berkembang begitu pesat. Pada mulanya
mahir baca tulis, lalu hafal Kitabullah dan mampu
membacanya dengan lantunan yang indah seperti tatkala
dibaca oleh para sahabat terdahulu. Sesudah itu beliau
67
mendalami hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari yang paling mudah, mempelajari bahasa
Arab yang baik dan benar, juga mempelajari perkara-
perkara agama yang wajib untuk diketahui.

Ibunda ar-Rabi’ah memberikan imbalan yang


cukup dan hadiah-hadiah yang berharga kepada para
guru putranya. Setiap kali nampak kemajuan pada diri
ar-Rabi’ah, dia tambahkan pemberiannya.

Dengan kesibukan tersebut sang ibu masih


senantiasa menanti kedatangan ayah putranya yang
pergi sudah begitu lama. Karena itulah dia berusaha
keras mendidik putranya agar kelak bisa menjadi
penyejuk pandangannya dan juga suaminya jika
sewaktu-waktu suaminya datang.

Namun ternyata Farrukh begitu lama tak kunjung


datang, kemudian terdengarlah kabar burung dan isu
yang bermacam-macam tentangnya. Ada yang
mengatakan bahwa Farrukh ditawan musuh, ada pula
yang mengatakan bahwa ia masih meneruskan jihadnya.
Yang lain lagi berkata bahwa beliau telah mendapatkan
syahid di medan perang seperti yang diidamkannya.
Ummu ar-Rabi’ah menduga bahwa pendapat terakhirlah
yang paling mungkin, mengingat berita tentang Farrukh
68
terputus sama sekali. Beliau menjadi sedih, tetapi
kemudian beliau kembalikan segala persoalan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih dan
Penyayang.

Ketika ar-Rabi’ah menginjak usia remaja dan


hampir baligh, orang-orang menasihati ibunya,
“Sekarang ar-Rabi’ah sudah dewasa. Sebaiknya dia tidak
usah lagi belajar membaca dan menulis.” Ada pula yang
usul, “Dia sudah mampu menghafal Alquran dan
meriwayatkan hadis, lebih baik engkau suruh dia bekerja
agar ia bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan
juga dirimu.” Namun Ibunya berkata, “Aku memohon
kepada Allah agar memilihkan baginya apa yang terbaik
bagi dunia dan akhiratnya. Sesungguhnya ar-Rabi’ah
memilih untuk terus menuntut ilmu, dia bertekad
senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya.”

Ar-Rabi’ah menapaki jalan hidup yang sudah


digariskan atasnya dengan penuh semangat dan tak mau
membuang waktu. Beliau rajin mendatangi halaqah-
halaqah ilmu yang memenuhi Masjid Nabawi dengan
membawa rasa haus akan sumber-sumber pengetahuan
yang baik. Beliau bersahabat baik dengan sisa-sisa
sahabat utama, di antaranya Anas bin Malik, pembantu

69
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenyam
ilmu dari para tabi’in terkemuka seperti Said bin
Musayyab, Makhul asy-Syami dan Salamah bin Dinar.

Beliau terus belajar hingga larut malam, sampai


lelah… kawan-kawannya menasihati agar dia menjaga
dan menyayangi dirinya sendiri, namun dia berkata,
“Aku mendengar dari orang-orang tua dan guru-guruku
berkata, “Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan
sebagian dari dirinya kepadamu kecuali jika kamu
memberikan seluruh jiwamu untuk mendapatkannya.”

Tak heran bila sebentar kemudian namanya sudah


tersohor, menjadi tinggi pamornya, semakin banyak
kawannya, dihargai oleh murid-muridnya, dan
diunggulkan oleh kaumnya.

Kehidupan ulama Madinah ini begitu cemerlang,


dibagilah hari-harinya. Sebagian untuk keluarganya di
rumah, sebagian lagi di masjid Nabawi menghadiri
kajian ilmu dan halaqah-halaqah. Sampai suatu kali
terjadi peristiwa yang sama sekali tak terduga dalam
hidupnya.

70
Tangis Ayah Ar-Rabi’ah ar-Rayi
Malam itu, di musim panas bulan bersinar dengan
terangnya. Seorang prajurit berusia enam puluhan tahun
memasuki kota Madinah. Dia menyusuri jalan-jalan
kampung menuju rumahnya dengan naik kuda. Dia
tidak tahu apakah rumahnya masih seperti yang dulu
atau sudah berubah, karena telah dia tinggalkan sekitar
tiga puluh tahun yang lalu.

Dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang


dilakukan istrinya saat ini? Istrinya yang masih muda
dan yang ditinggalkannya di rumah dulu, bagaimana
dengan kandungannya, lahir laki-laki atau perempuan?
Apakah anak itu hidup atau mati? Jika hidup, apa yang
tengah dilakukannya? Dia juga teringat akan uang yang
diperoleh dari jihad yang dia tinggalkan untuk istrinya,
kemudian dia pergi sebagai mujahid fi sabilillah.
Berangkat bersama pasukan muslimin untuk membuka
daerah Bukhara, Samarkand dan sekitarnya.

Masih banyak orang hilir mudik di


perkampungan Madinah, mengingat baru saja shalat isya
usai ditunaikan. Tetapi orang-orang itu berlalu begitu

71
saja. Tidak ada yang mengenalinya, tak ada yang
menghiraukannya, tak ada yang memperhatikan kuda
atau pedang yang bersandang di pundaknya, sebab
mereka yang tinggal di kota-kota Islam sudah tak asing
lagi melihat mujahidin yang pulang pergi untuk
berperang fii sabilillah.

Rasa penasaran dan was-was menggelayuti


pikiran prajurit tua ini. Saat ini ia masih sibuk
memikirkan jalan-jalan dan bangunan yang telah banyak
berubah, tiba-tiba ia dapatkan dirinya telah berada di
depan rumahnya. Dia dapatkan pintunya sedikit
terbuka. Kegembiraannya yang meluap menyebabkan ia
lupa meminta ijin kepada yang berada di dalam rumah.
Ia pun langsung masuk rumah melalui pintu tersebut.

Si empunya rumah yang mendengar suara pintu


terbuka menengok dari lantai atas rumahnya. Maka
dalam cahaya bulan dilihatnya ada seorang yang
menyandang pedang dan membawa tombak, malam-
malam memasuki kediamannya.

Laki-laki yang menghuni rumah itu pun meloncat


dengan marah dan turun sambil membentak, “Engkau
berani memasuki rumah dan menodai kehormatanku
malam-malam, wahai musuh Allah?!”
72
Dia menerkam bagaikan singa yang mengamuk
ketika sarangnya hendak dirusak. Tak ada kesempatan
lagi untuk bicara. Keduanya langsung bergulat, saling
terkam, saling tuduh dan makin lama makin panas. Para
tetangga dan orang-orang di jalanan mengerumuni dua
orang yang sedang berkelahi itu. Mereka hendak
mengeroyok orang asing itu untuk membela
tetangganya.

Beberapa jurus kemudian, laki-laki yang di rumah


itu mencengkeram kuat-kuat leher lawannya seraya
berkata, “Wahai musuh Allah, Demi Allah aku tak akan
melepaskanmu kecuali di muka hakim!”

Orang asing itu berkata, “Aku bukan musuh Allah


dan bukan penjahat. Tapi ini rumahku, milikku,
kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk.” Dia
menoleh kepada orang-orang sembari berkata, “Wahai
saudara-saudara, dengarkan keteranganku. Rumah ini
milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku
adalah Farrukh. Tiadakah seorang tetangga yang masih
mengenali Farrukh yang tiga puluh tahu lalu pergi
berjihad fi sabilillah?”

Bersamaan itu, ibu si empunya rumah yang


sedang tidur terbangun oleh keributan itu lalu menengok
73
dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat
dengan darah dagingnya. Lidahnya nyaris kelu. Namun
dengan sekuat tenaga dia berseru, “Lepaskan… lepaskan
dia, Rabiah… lepaskan dia, putraku, Dia adalah
ayahmu… dia ayahmu… saudara-saudara, tinggalkanlah
mereka, semoga Allah memberkahi kalian, tenanglah,
Abu Abdurrahman, dia putramu… dia putramu..
jantung hatimu…”

Demi mendengar teriakan itu, seketika Farrukh


memeluk dan menciumi putranya. Begitu pula ar-
Rabi’ah, beliau mencium tangan ayahnya. Orang-orang
pun bubar meninggalkan keduanya.

Turunlah Ummu ar-Rabiah untuk menyambut


suaminya dan memberi salam. Padahal dia tak mengira
bisa bertemu lagi dengan suaminya setelah hampir
sepertiga abad terputus kabar beritanya.

Suatu kali, Farrukh duduk-duduk bersama


istrinya, bercerita asyik tentang keadaannya dan sebab-
musabab terputusnya berita darinya. Namun isterinya
tak bisa menikmati ceritanya, karena tiba-tiba muncul
perkara yang menggelayuti pikirannya. Kebahagiaannya
berkumpul dengan suaminya dibayangi kekhawatiran
akan masalah uang titipan suaminya yang telah ludes.
74
Dalam hati dia bergumam, “Apa yang harus aku katakan
bila suamiku menanyakan uang yang diamanatkan
kepadaku agar kumanfaatkan dengan baik, bagaimana
kiranya sikap suamiku bila aku katakan bahwa hartanya
itu sudah habis tak tersisa. Bisakah dia menerima
alasanku bahwa uang itu habis untuk biaya pendidikan
putranya? Percayakah dia bahwa pendidikan putranya
sampai menghabiskan 30 ribu dinar? Bisakah suaminya
percaya bahwa tangan putranya lebih pemurah dari
awan yang mencurahkan hujannya? Sementara dia tidak
menyisakan satu dirham pun? Seluruh penduduk
Madinah tahu bahwa dia sangat pemurah dalam
memberikan bayaran kepada guru-guru putranya.

Selagi pikirannya terbang jauh, tiba-tiba suaminya


menoleh kepadanya dan berkata, “Aku membawa uang
4.000 dinar. Ambillah uang yang aku titipkan kepadamu
dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau
rumah. Kita bisa hidup dari hasil sewanya selama sisa
usia kita.”

Ummu ar-Rabi’ah pura-pura sibuk dan tidak


menjawabnya, suaminya mengulangi pertanyaannya,
“Lekaslah, mana uang itu? Bawalah kemari agar bisa
disatukan dengan hasil yang kubawa.”

75
Dia berkata, “Aku letakkan uang tersebut di
tempat yang semestinya dan akan kuambil beberapa hari
lagi insya Allah…

Pembicaraan antara keduanya terputus lantaran


terdengar suara adzan. Farrukh bergegas mengambil air
wudlu lalu menuju ke pintu sambil bertanya, “Mana ar-
Rabi’ah?”

Istrinya menjawab, “Dia sudah lebih dahulu


berangkat ke masjid. Saya kira engkau akan tertinggal
shalat berjamaah.”

Sampailah Farrukh di masjid, beliau mendapati


imam sudah menyelesaikan shalatnya. Dia pun segera
shalat, kemudian menuju ke makam Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucap shalawat
atasnya, setelah itu mengambil tempat di Raudhah
Muthahharah (tempat antara makam nabi dengan
mimbarnya). Betapa rindunya beliau untuk shalat. Maka
beliau memilih tempat untuk shalat sunah kemudian
beliau berdoa sekehendaknya.

Ketika beliau berhasrat untuk pulang, dilihatnya


ruangan masjid sudah padat dengan orang yang hendak
belajar, pemandangan yang belum ia saksikan

76
sebelumnya. Mereka duduk melingkari syaikh majelis
ilmu tersebut sampai tak ada lagi tempat kosong untuk
berjalan. Dia mengamati, ternyata orang-orang yang
hadir itu ada yang telah lanjut usia, orang-orang yang
terlihat berwibawa nampak sebagai orang terhormat,
juga para pemuda. Mereka semua duduk
menghamparkan lututnya, masing-masing memegang
buku dan pena untuk mencatat semua uraian syaikh itu,
kemudian dihafalkan. Semua mengarahkan pandangan
kepada syaikh majelis. Dengan tekun mereka
mendengarkan dan mencatat hingga seolah-olah kepala
mereka seperti ada burung yang bertengger. Para
mubaligh mengulangi kata demi kata dari syaikh itu,
agar tidak ada seorang pun yang keliru mendengarnya
mengingat jaraknya yang cukup jauh.

Farrukh berusaha melihat wajah syaikh yang luar


biasa itu tetapi nihil, karena orang-orang terlalu padat
dan jaraknya yang cukup jauh. Dia kagum dengan segala
perkataan syaikh itu, juga pada ingatannya yang tajam
dan ilmunya yang luas, juga antusias hadirin yang untuk
mendengarkannya.

Beberapa waktu kemudian majelis itupun usai.


Syaikh berdiri dari tempatnya, sementara orang-orang

77
langsung berkerumun dan mengiringkannya hingga
keluar masjid.

Farrukh yang belum beranjak dari tempatnya


bertanya kepada fulan yang di sebelahnya,

Farrukh: “Siapakah syaikh yang baru saja berceramah?”

Fulan: “Apakah Anda bukan penduduk Madinah?”

Farrukh: “Saya penduduk sini.”

Fulan: “Masih adakah di Madinah ini orang yang tak


mengenal syaikh yang memberikan ceramah itu?”

Farrukh: “Maaf, saya benar-benar tidak tahu karena


sudah sejak 30 tahun lalu saya meninggalkan kota ini
dan baru kemarin saya kembali.”

Fulan: “Tidak apa, duduklah sejenak, akan saya jelaskan.


Syaikh yang Anda dengarkan ceramahnya tadi adalah
seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara ulama
yang terpandang, dialah ahli hadis di Madinah, fuqaha,
dan imam kami meski usianya masih sangat muda.”

Farrukh: “Masya Allah… laa quwwata illa billah.” (tidak


ada kekuatan kecuali dari Allah).

78
Fulan: “Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu
Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sufyan
ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin
Sa’id45 dan lain-lain.”

Farrukh: “Tetapi Anda belum…”

Orang tersebut tidak memberinya kesempatan


untuk bicara. Dia melanjutkan pujiannya.

Fulan: “Di samping itu dia sangat dermawan dan


bijaksana. Tidak ada di Madinah ini orang yang lebih
dermawan terhadap kawan dan keluarga darinya. Dia
hanya mengharapkan apa yang ada di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Farrukh: “Tetapi, Anda belum menyebutkan namanya.”

Fulan: “Namanya adalah Rabi’ah ar-Ra’yi.”

Farrukh: “Rabi’ah ar-Ra’yi?”

Fulan: “Nama aslinya ar-Rabi’ah, tetapi para ulama dan


pemuka Madinah biasa memanggilnya ar-Rabi’ah ar-
Ra’yi. Karena setiap kali mereka menjumpai kesulitan
atau merasa tidak jelas tentang suatu nash dalam

45
Mereka adalah ulama-ulama besar. Sebagian madzhabnya ada
sampai sekarang, seperti madzhab Hanafi dan Maliki.
79
Kitabullah dan hadis, mereka selalu bertanya kepadanya.
Kemudian beliau berijtihad dalam masalah itu,
menyebutkan qias apabila tidak ada nash sama sekali,
serta menyimpulkan hukum bagi mereka yang
memerlukannya secara bijak dan menenteramkan hati.”

Farrukh: “Anda belum menyebutkan nasabnya.”

Fulan: “Dia adalah ar-Rabi’ah putra Farrukh yang


memiliki kunyah (julukan) Abu Abdirrahman.
Dilahirkan tak lama setelah ayahnya meninggalkan
Madinah sebagai mujahid fi sabilillah, lalu ibunyalah
yang memelihara dan mendidiknya. Tapi sebelum shalat
tadi saya mendengar dari orang-orang bahwa ayahnya
telah datang kemarin malam.”

Tiba-tiba saja Farukh melelehkan air mata tanpa


lawan bicaranya tahu penyebabnya. Kemudian beliau
mempercepat langkahnya untuk pulang.

Begitu melihat suaminya datang sambil


meneteskan air mata, ibunda ar-Rabi’ah bertanya: “Ada
apa wahai Abu Abdirrahman?” Beliau menjawab, “Tidak
apa-apa, aku melihat putraku berada dalam kedudukan
ilmu dan kehormatan yang tinggi, yang tidak kulihat
pada orang lain.”

80
Kesempatan tersebut dipergunakan oleh Ummu
ar-Rabi’ah untuk menjelaskan tentang harta amanat
suaminya yang ditanyakan sebelumnya. Dia berkata:
“Menurut Anda manakah yang lebih Anda sukai, uang
30.000 dinar atau ilmu dan kehormatan yang telah
dicapai putramu?” Farrukh berkata, “Demi Allah,
bahkan ini lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.”

Ummu ar-Rabi’ah berkata, “Ketahuilah wahai


suamiku, aku telah menghabiskan semua harta
amanatmu itu untuk membiayai pendidikan putra kita.
Ridhakah Engkau dengan apa yang telah aku perbuat?”
Farrukh berkata, “Ya, semoga Allah membalas jasamu
atasku, anak kita dan juga kaum muslimin dengan
balasan yang baik.”

Dinukil dari:

1. https://kisahmuslim.com/2821-tokoh-tabiin-ar-
rabiah-ar-rayi-bag-1.html

2. https://kisahmuslim.com/2825-tokoh-tabiin-ar-
rabiah-ar-rayi-bag-2.html

***

81
DAFTAR PUSTAKA

al-Attas, A. b. (tt). Miftah al-Falah fii Fadho'il an-Nikah.


Sukabumi: Ma'had Masyhad an-Nur litarbiyah al-
Akhlaq wa al-Adab.

al-Huwayni, A. I. (1987). al-Insyirah fii Adab an-Nikah.


Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.

al-Maliki, S. M. (2001). Adab al-Islam fii Nidzom al-Usrah.


Mekkah: Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyyah.

al-Utsaimin, M. S. (2000). az-Zawaj wa Majmu'atu As'ilat


fii Ahkamihi. Uzaynah: Muassasah Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

as-Salus, A. A. (tt). Mausuah al-Qodhoya al-Fiqhiyyah al-


Mu'ashirah. Qatar: Dar ats-Tsaqofah.

as-Sarkhasi. (1993). al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Ma'rifah.

at-Tahtawi. (2005). Syarh Kitab an-Nikah. Beirut: Dar al-


Kutub al-Ilmiyyah.

Blackstone, A. (2014). Childless... or Childfree? Contexts,


68-70.

Christian Agrillo, Cristian Nelini. (2008). Childfree by


Choice: a Review. Journal of Cultural Geography.

82
Defago, N. (2005). Childfree and Loving it. London: Fusion
Press.

Gillespie, R. (2003). Childfree and Feminine:


Understanding the Gender Identity of Voluntarily
Childless Women. Gender & Society, 122-136.

Khitob, H. a.-S. (2009). Maqashid an-Nikah wa Atsariha.


Madinah: Universitah Taibah.

Muhammad Abdul as-Salam, dkk. (1986). Nidzom al-


Usrah fii al-Islam. Kuwait: Maktabah al-Falah.

Ross J., Kahan. (n.d.). Childfree by Choice or by Chance:


the Perceived Effects of Parity. Sex Roles.

S.K, H. (1987). Voluntary Childlessness. In M. S. ed,


Handbook of Marriage and The Family. New York:
Plenum Press.

Underhill, L. B. (1977). Childfree Semantics. Science News,


122.

Zayn, S. K. (2005). Tandzim an-Nasl fii Fiqh al-Islami, Tesis.


Nablus: Jamiah an-Najah al-Wathaniyyah.

83
WEBSITE
Childfree.net

https://www.dictionary.com/browse/childfree

https://dictionary.cambridge.org/amp/english/child-free

https://www.urbandictionary.com/define.php?term=chil
dfree&amp=true
https://kisahmuslim.com/2821-tokoh-tabiin-ar-rabiah-
ar-rayi-bag-1.html
https://kisahmuslim.com/2825-tokoh-tabiin-ar-rabiah-
ar-rayi-bag-2.html
https://www.aliftaa.jo/Decision.aspx?DecisionId=66#.Y
SLLoo4zbIV

www.adianhusaini.id

84

Anda mungkin juga menyukai