Anda di halaman 1dari 3

Pancasila Sebagai Petunjuk Ideal Pemerintahan dan Petunjuk Ideal Masyarakat

Sejak dihapuskannya sebagai asas tunggal untuk partai dan organisasi massa (Ormas) oleh
kekuatan reformasi, pancasila  kehilangan kredibilitas sebagai ideologi, karena begitu banyak
penyelewengan yang mengatasnamakannya. Penyelewengan-penyelewengan keberadaan
Pancasila dapat diukur melalui tiga kriteria, yaitu konsistensi, koherensi, dan korespondensi.
Konsistensi berasal dari bahasa Latin consistere yang berarti "berdiri bersama". Jadi
konsistensi artinya "sesuai", "harmoni", atau "hubungan logis".Satu sila dalam Pancasila
harus mempunyai hubungan terpadu, teks dengan teks, dengan dokumen-dokumen lain
seperti UUD, Penjelasan UUD, Keputusan MPR, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah,
dan pernyataan pejabat.

Koherensi berasal dari bahasa Latin cohaerere yang berarti "lekat satu dengan lainnya". Jadi
koherensi ialah satu sila dalam Pancasila harus terkait dengan sila lainnya, tidak boleh
terlepas. Sila Kemanusiaan harus terkait dengan sila persatuan, sila Ketuhanan harus terkait
dengan sila Kerakyatan, dan sila Keadilan Sosial harus terkait dengan sila Kemanusiaan.

Korespondensi berasal dari dua kata Latin, yaitu co yang artinya "bersama" dan respondere
yang berarti "menjawab". Jadi korespondensi ialah samanya teori dengan praktik, murni
dengan terapan.

Orla ternyata tidak konsisten terhadap Pancasila. Pancasila yang aslinya mempunyai lima sila
itu diperas menjadi tiga, disebut Trisila, dan diperas lagi menjadi satu sila, disebut Ekasila.
Ekasila ialah gotong royong. Kata lain dari gotong royong ialah kolektivisme. Sila Ketuhanan
hilang karena PKI menganut materialisme yang tidak percaya kepada Tuhan. Sila
Kemanusiaan hilang karena PKI menganut kontradiksi kelas antara borjuasi dan buruh. Sila
Persatuan hilang karena PKI menganut internasionalisme, bukan kebangsaan. Sila
Kerakyatan hilang karena PKI menganut diktatorisme proletar, meski kata "rakyat"
sepertinya adalah monopoli PKI. Sila Keadilan Sosial tidak diperlukan lagi karena PKI
adalah representasi dari Keadilan Sosial itu sendiri.

Penyelewengan zaman Orla adalah untuk kepentingan kekuasaan Soekarno pribadi.


Penyelewengan itu adalah karena desakan PKI yang dipersangkakan oleh Presiden amat kuat.
Penyelewengan Orla bersifat simbolis, kecuali Demokrasi Terpimpin dan dibolehkannya
PKI. Sedangkan penyelewengan Orba semuanya bersifat substantif, kecuali penyelewengan
sila Ketuhanan. Penyelewengan yang substantif itu berupa inkorespondensi, yaitu
ketidaksesuaian antara ideologi dengan kenyataan.
Inkorespondensi itu terletak dalam beberapa hal, yaitu sila Keadilan Sosial diganti dengan
kapitalisme, sila Kerakyatan dengan otoritarianisme, sila Persatuan dengan militerisme, sila
Kemanusiaan dengan kekerasan politik. Hanya sila Ketuhanan yang tak tersentuh
substansinya.

Digantikannya sila Keadilan Sosial oleh kapitalisme yang melanggar Pasal 33 UUD 1945 itu
tampak dalam banyak hal, seperti Pembangunan Nasional at all cost, pembentukan kroni di
sekitar presiden, maraknya konglomerasi, suburnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme),
pemberian HPH (hak pengusahaan hutan) kepada para konglomerat, kontrak-kontrak karya
(ingrat Freeport dan Busang) kepada perusahaan asing yang penuh persekongkolan, dan
pemberian monopoli dan monopsoni kepada kroni-kroni Soeharto (pengapalan minyak dan
gas, perniagaan cengkeh, minuman keras, berbagai tender), dan penerbitan Keppres untuk
memperkaya keluarga presiden.

Digantikannya sila Kerakyatan oleh otoritarianisme itu tampak dalam beberapa hal, seperti
adanya monoloyalitas bagi PNS, lumpuhnya MPR/DPR, intervensi yang kelewat batas pada
institusi pengadilan, tuduhan PKI, tuduhan anti-Pancasila, stigmatisasi ekstrem kanan dan
ekstrem kiri, tuduhan DI/TII, dan tuduhan "mendirikan negara Islam".

Digantikannya sila Persatuan oleh militerisme tampak dalam beberapa hal, seperti
pembentukan dinas-dinas intelijen untuk memata-matai rakyat, pembentukan Bakorstranas
dan Bakorstranasda, pengaruh militer yang amat pervasif dalam banyak kegiatan yang
bersifat bisnis sampai olahraga, dan tindakan represif lain seperti DOM. 

Sila Kemanusiaan digantikan oleh kekerasan politik, berupa pelanggaran HAM di banyak
tempat, seperti Aceh, Tanjung Priok dan Lampung, pembredelan media massa, izin
pementasan, izin ceramah, izin penerbitan koran, dan sensor atas isi ceramah.

Radikalisasi dalam tulisan ini adalah revolusi gagasan, bukan orang. Karena itu, radikalisasi
hanya berarti membuat Pancasila tegar, efektif, dan jadi petunjuk bagaimana negara ini
diorganisir. Jati diri Pancasila ialah memberi visi kenegaraan. Satuan besar yang bernama
negara, bukan satuan kecil yang bernama partai, ormas, dan kelompok-kelompok sosial.
Satuan-satuan kecil itu dapat mempunyai ideologi apa saja asal secara terbuka atau
tersembunyi tidak berusaha menggugurkan ideologi satuan besar, Pancasila. Satuan-satuan
kecil itu dapat mengembangkan diri-sendiri sesuai bahan-bahan dalam yang dimiliki:
sosialisme, Marhaenisme, nasionalisme, kapitalisme, kekaryaan, moral agama, atau Islam.
Kedudukan Pancasila sebagai ideologi satuan besar terhadap ideologi-ideologi satuan kecil
ialah sebagai pemberi rambu-rambu petunjuk arah dan common denominator yang
mempertemukan ideologi-ideologi itu.

Anda mungkin juga menyukai