Anda di halaman 1dari 3

MEMPRAKTIKKAN AGAMA ITU MUDAH, MENJADI AHLI ILMU AGAMA ITU NJLIMET

Oleh: Haidar Bagir

Apakah ilmu itu? Ilmu bukan cuma soal penguasaan banyak informasi, termasuk hafalan-hafalan.
Ilmu adalah hasil dari analisis dan penyimpulan atas informasi. Dia memiliki metodologinya sendiri
yang ketat. Dalam ilmu filsafat sejak masa Aristoteles dari Yunani, ilmu dalam sifat-sifatnya seperti
ini disebut episteme. Karena sifatnya yang metodologís secara ketat ( stringent ) ini, ia biasa juga
disebut sebagai disiplin ilmu. Selain metodologinya yang ketat, bahan-bahan atau informasi yang
digunakan sedapat mungkin seluas samudera. Maka, kalau ada orang berpikir bahwa siapa saja -
tanpa proses belajar yg benar, sistematis, dan makan waktu lama - bisa menjadi ahli ilmu, maka dia
sesungguhnya tak tahu apa yang dimaksud dengan disiplin ilmu. Sayangnya, inilah problem sebagian
kita, kaum Muslim.

Sudah sejak puluhan tahun lalu, Syed Naquib menyebut fenomena ini sebagai kurangnya adab,
kurangnya penghargaan kepada otoritas (keilmuan). Kita, kaum Muslim, terbiasa menghargai ahli
sains, ahli kedokteran, ahli ekonomi, arsitek, antropolog, sejarawan, dll. Tapi ketika sampai pada
ilmu agama, semua orang merasa bisa menjadi ahli, padahal tidak pernah belajar ilmu agama
dengan benar. Maka terjadilah inflasi ustadz, yg melahirkan sebagian di antara mereka yang ilmunya
dangkal. Si ustadz tak paham apa yang dimaksud dengan ilmu, lalu merasa dirinya ilmuwan ahli
agama. Apalagi pengikutnya. Jadilah ketidaktahuan ketemu ketidaktahuan.

Padahal jelas Allah katakan: "Jangan hendaknya semua orang berangkat berjihad, hendaklah tinggal
sejumlah orang yg (dibebaskan dari kewajiban berjihad) liyufaqqihuu fid-diin (utk mendalami ilmu
agama). Dalam al-Qur'an, Allah Swt menggunakan beberapa istilah sekaligus untuk menunjukkan
para ahli ilmu ini: ulul albab (pemilik daya _lubb yang penuh kedalaman, ulun-nuha (intelektual), ulul
abshar (pemilik kewaskitaan), dan ahl al-dzikr (ahli yang menguasai ilmu). Nabi pun mendoakan sí
'Abbas: Allahumma faqqihuu fid-diin.. (Yaa Allah, perdalamlah ilmu agama orang ini). Dan, karena
dalamnya ilmu agama ibn Abbas, si ahli tafsir di kalangan sahabat, ini, pernah berdiri di atas bukit
dan berkata: "Kalau aku beritahu kalian tafsir ayat ini, niscaya kalian akan membunuhku". Nabi juga
pernah bersabda: "Kalau Abu Dzarr tahu (canggihnya) apa yg dipikirkan/diyakini Salman (salah
seorang intelektual di kalangan sahabat Nabi) , niscaya dia (Abu Dzarr yg terkenal polos) akan
membunuhnya".

Ilmu itu dalam dan luas. Makin dalam dan makin luas, ia pun menjadi makin kompleks. Perlu banyak
persyaratan agar orang bisa menjadi ahli di dalamnya. Ilmu apa saja, termasuk ilmu agama. Ini yg
sebagian kita kaum Muslim sering tak paham.

Harus dibedakan antara beragama atau menjalankan praktik agama dan menjadi ilmuwan/ahli
agama. Beragama/memraktikkan agama memang tidak perlu njlimet. Kalau kita bukan ahli, ikuti saja
ahlinya. Menjalankan fiqh itu mudah. Yg sulit, dan perlu pemikiran serta keahlian itu adalah
penyimpulan hukum-hukum fiqh. Ini harus melibatkan banyak ilmu. Dari mulai ilmu bahasa Arab,
ushul fiqh, mungkin juga sejarah sebagai konteks, pengetahuan tentang maqaashid syari'ah dan,
sampai batas tertentu, kemampuan menafsir, bahkan juga teologi atau kalaam. Sebagaimana juga,
menjadi warga negara yang taat hukum itu mudah, di balik sistem hukum itu terdapat ahli-ahli
hukum yang merancang sistem hukum itu dengan berbagai pendekatan ilmu, khususnya ilmu
hukum, sosuilogi, antropologi, dll.
Agama juga mengenal ilmu ma'rifat. Kata sebagian ulama, ma'rifat malah adalah ilmu yang paling
penting. Bahkan nilai keutamaan shalat baru menyusul setelah penguasaan ma'rifat ini. Kenapa?
Karena tanpa mengenal Tuhan, shalat kita tak akan mencapai tujuannya. Bukankah dalam hadis
shahih juga dikatakan: Awwaluddiin al-ma'rifah. "Awal agama adlh ma'rifah"? Karena memang pada
akhirnya tujuan agama itu pencerahan spiritual dan transformasi diri, perbaikan akhlak, dan
kedekatan dengan Allah Swt . Tujuan syariah adalah membantu kita - seperti diajarkan Nabi saw -
menanamkan akhlak Allah Swt dalam diri kita ( at-takhalluq bi akhlaaqilLaah ). Nah, kalau kita
misalnya tidak pernah belajar ma'rifah - setidaknya dasar-dasarnya - bagaimana tujuan ibadah ini
bisa tercapai?

Sebetulnya, kalau kita memang tidak pernah belajar menjadi ahli ma'rifah, tak apa. Belajar dan
ambil saja pengetahuan secara "mentah-mentah" dari para uang ma'rifah yg kita percayai. Mereka
inilah yang oleh al-Qur'an disebut sebagai ar-raasikhuun fil-'ilmi (orang yang mendalam ilmunya)
yakni mereka yang memahami takwil/pemahaman mendalam atas ayat-ayat al-Qur' an yang
maknanya pelik ( mutasyaabihaat).

Ya, memahami al-Qur'an itu pada umumnya juga gampang. Semua orang setidaknya bisa mengambil
makna permukaannya saja Atau kalau mau yang lebih mendalam, bertanyalah pada ahli tafsir. Nah,
kalau mau tahu lapis-lapis makna al-Qur'an yang lebih mendalam lagi, tanyalah pada ahli takwil dari
kalangan kaum 'urafa'.

Ahli- ahli ilmu inilah yg biasa disebut oleh Sayed Naquib sbg authority (otoritas) keilmuan. Para ahli.
Keberadaan mereka mutlak sebagai rujukan bagi ilmu-ilmu keagamaan yang harus menjadi dasar
cara-cara kita memahami dan mempraktikkan agama.

Dan meski sudah semestinya menjalankan agama itu mudah, tapi menjadi ahli agama - seperti juga
menjadi ahli apa saja - memang sulit dan njlimet. Maka kita harus benar-benar menghargai ahli
agama. Lalu tak sembarangan merasa diri ahli agama jika belum melewati proses belajar yang
panjang, sistematis, berdisiplin, meluas, dan mendalam.

Apakah dengan njlimetnya ilmu agama itu, maka ilmu agama dan para ahlinya boleh didakwa
sebagai menjadi sumber pertengkaran karena ilmunya yang berdakik-dakik dan terkadang
kontroversial?

Yang membuat bertengkar itu sebetulnya bukan ilmu agama atau ilmuwan agama. Tapi orang yang
tidak menguasai ilmu agama lalu merasa jadi ahli ilmu agama dan mengumbar pendapat seenaknya
sendiri, seperti yang banyak terjadi sekarang. Tambahan pula, mereka tak tahu dan tak mau
menerapkan adab dalam berbeda pendapat, alias sok tahu dan fanatik. Juga para pengikut mereka
yg awam dan tak pernah belajar ilmu tanpa berdsiiplin, tapi mau merasa menjadi ahli. Di bidang ilmu
lain, ekonomi, misalnya, ada macam-macam pandangan, bahkan tak jarang berlawanan Tapi hal ini
tidak membuat orang bertengkar (kalau pun ada yg membuat bertengkar itu biasanya ideologi
ekonomi, bukan ilmu ekonomi). Problemnya, kembali ke awal, kita kaum Muslim siap menghormati
ahli-ahli ilmu dan menjadikan mereka rujukan, tapi kalau sudah sampai ke urusan agama, semua org
merasa berhak bicara tentang apa saja terkait ilmu agama, meski tidak pernah belajar ilmu agama
dengan berdisiplin. Ini problem umat beragama sekarang.

Apa hal ini berarti semua orang awam perlu belajar disiplin ilmu-ilmu agama itu sampai mendalam
dan meluas? Tentu saja tidak perlu. Orang awam mungkin perlu belajar sekadar buat menambah
wawasan umum, dan sebaiknya dibimbing ahli. Apalagi dalam hal ilmu ma'rifah atau 'irfan. Tapi
pemahaman irfan untuk awam itu sebaiknya sudah dipopulerkan, khususnya buat memenuhi
kebutuhan jiwa-jiwa yg haus akan pencerahan spiritual dan ilmiah.
Sebagian akan bertanya, apa tak sebaiknya dando yang terspesialisasi itu dibatasi saja di kalangan
ahli dan tak perlu diajarkan kepada awam? Lebih jauh lagi, kalau disebarkan malah menyebabkan
kebingungan dan pertengkaran?

Mari kita bandingkan, misalnya, dengan ilmu fisika. Para ahli fisika menulis teori-teori yg njlimet-
njlimet di berbagai jurnal ilmiah, bahkan sekarang dengan internet bisa tersebar ke seluruh dunia.
Semua orang, ahli dan awam, punya akses kepasa teori-teori itu. Apa orang berantem karenanya?
Tidak. Ya, kita tidak usah baca saja kalau bukan ahli. Dan kita tetap hormat kepada para ahli itu.
Bagaimana halnya dengan popularisasinya? Stephen Hawking adalah ahli fisika paling besar di masa
kita. Teori-teori fisika yg paling njlimet sudah dia temukan dan kembangkan. Dan pasti semua itu dia
publikasikan di berbagai jurnal ilmiah. Kalau kita mau, pasti kita mudah mengaksesnya.Tapi kalau
kita bukan ahli, untuk apa kita mengaksesnya? Lalu dia juga menulis The Brief History of Time,
sebuah buku populer tentang fisika modern. Saya saja yang lulusan ITB dan sejak muda sampai
sekarang belajar filsafat sains, tak selalu mudah memahaminya. Tapi, buku-buku populer karya
Hawking adalah di antara buku yang paling asyik dan menambah wawasan ketika dibaca. Atau buku-
buku Stephen Jay Gould dalam ilmu biologi. Dan banyak lagi. Nah, kalau tulisan-tulisan ilmiah yang
njlimet itu diedarkan ke mana-mana saja tak menimbulkan masalah, apalagi yang populer? Bukan
saja tak ilmu menimbulkan masalah, malah penyebaran itu perlu. Termasuk, terkait ilmu agama,
memopulerkan ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu tasawuf/ma'ridah/'irfan.
Sampai batas tertentu, saya kira orang awam yg serius juga perlu mengetahui hal-hal itu. The
problem is not in the complexity of the sciences, tapi pada sikap sempit wawasan dan fanatisme
banyak di antara kita. Memang, yang mau menyebarkan dan memopulerkan perlu juga bersikap
lebih sadar batas dan dosis. Tapi hendaknya ini tak membuat kita jadi anti keahlian dan ilmu-ilmu
agama yang canggih, atau merendahkan nilai pentingnya ilmu dan keahlian. Ilmu, bagaimana pun,
harus disebarkan, meski - setelah ditimbang dan diungkapkan secara seperlunya - risikonya bisa
membuat marah kaum fanatik. Kalau tak ada Galileo yg dihukum mati, astronomi tak akan
berkembang. Demikian juga kalau tidak ada mihnah (inkuisisi) atas Mu'tazilah di zaman Bani Abbas
(pasca Ma'mun), rasionalisme dalam Islam tidak akan meluas. Kalau tidak ada Ibn Rusyd, yang buku-
bukunya dibakar, filsafat dalam Islam tidak akan berkembang, dst.

Akhirnya, mari kita kutip sebuah hadis tentang mencari ilmu yang sudah diketahui luas, tapi sering
tak dikutip secara lengkap:

‫صلَّى‬
َ ِ ‫ك قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ِ ‫يرينَ ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ب ِْن َمال‬ ِ ‫ير ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ِس‬ ٍ ‫ار َح َّدثَنَا َح ْفصُ بْنُ ُسلَ ْي َمانَ َح َّدثَنَا َكثِي ُر بْنُ ِش ْن ِظ‬
ٍ ‫َح َّدثَنَا ِهشَا ُم بْنُ َع َّم‬
)‫َب (رواه ابن ماجه‬ َّ ُ ُّ ْ
َ ‫ير ال َجوْ هَ َر َوالل ْؤل َؤ َوالذه‬
ِ ‫َاز‬ ْ ِّ َ ْ ْ ْ ٌ
ِ ‫ ُم ْسلِ ٍم َو َوا‬  ‫يضة َعلَى ُك ِّل‬
ِ ‫ض ُع ال ِعل ِم ِعن َد َغي ِْر أ ْهلِ ِه َك ُمقَل ِد ال َخن‬ َ ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم طَلَبُ ْال ِعل ِم فَ ِر‬
ْ

"Mencari ilmu itu difardukan bagi orang Islam

(Letakkan ilmu pada orang yang ahli ilmu, karena) meletakkan ilmu pada orang yang bukan ahlinya
adalah ibarat mengalungi babi dengan intan, berlian dan emas" (HR Ibn Majah).

Nabi pun pernah menukas dengan tegas: "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka
tunggulah saat (kehancuran)." WalLaah a'lam buah-shawab

Anda mungkin juga menyukai