Anda di halaman 1dari 9

PROSES DEKOMPOSISI DAN SUKSESI SERANGGA PADA BANGKAI

Oleh :
Inas Fahira Ramadani B1A018135
Indah Nonika Z1A020025
Laksamana Agadhia Z1B020720
Lisna Damayanti Rae Z1A020073
Kelompok : 8
Rombongan : I
Asisten : Nabila Putri Effendi

LAPORAN PRAKTIKUM ENTOMOLOGI TERAPAN

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut data UNODC kasus pembunuhan menyebabkan kematian sekitar


437.000 orang di seluruh dunia. Lebih dari sepertiganya (36%) terjadi di Amerika
dan untuk benua Asia persentasenya sekitar 28%. Cara kematian warga negara asing
di Bali pada tahun 2010-2012, 46,1% mengalami mati wajar, mati tidak wajar
sebanyak 24,6%, dan penyebab yang tidak dapat ditentukan terhitung 29,3%.
Sebanyak 87,6% dari kasus kematian tidak wajar disebabkan karena kecelakaan,
bunuh diri sebanyak 11,2%, dan sisanya karena dugaan pembunuhan. Salah satu hal
yang mempersulit dalam proses investigasi mayat adalah ketika mayat yang
ditemukan sudah dalam kondisi membusuk (Dwipayanti & Yulianti, 2014).
Berbagai metode telah dikembangkan dalam upaya untuk mengungkap
kasus penemuan mayat. Salah satu metode yang bisa diaplikasikan adalah dengan
menggunakan entomologi forensik. Metode ini memanfaatkan keberadaan serangga
yang ditemukan pada tubuh mayat. Beberapa jenis serangga termasuk lalat sangat
berguna dalam mengungkap misteri penemuan mayat. Mayat yang mengalami
dekomposisi merupakan daya tarik dan akan menjadi media perkembangbiakkan
bagi lalat. Dengan cara mengetahui siklus hidup serangga lalat secara lengkap maka
waktu kematian dapat diketahui. Di samping penentuan PMI, entomologi forensik
juga sangat berguna dalam menentukan lokasi kematian dan juga toksikologi (Rusidi
& Yulianti, 2019).
Entomologi forensik adalah suatu metode identifikasi mayat dengan
menggunakan serangga untuk memprediksi waktu kematian. Serangga dapat
digunakan dalam penentuan waktu kematian dengan mengetahui pola waktu
perkembangannya. Mayat akan dijadikan tempat perkembangan dan sumber
makanan bagi larva serangga pemakan daging (scavengers). Selain itu, jenis
serangga yang datang juga memiliki pola khusus dan dapat diprediksi. Biasanya jenis
serangga yang datang diawali dari ordo Diptera lalu diikuti oleh ordo Coleoptera
(Laksmita et al., 2015).
Keberadaan jasad hewan sangat mendukung terbentuknya sebuah ekosistem
baru. Selama proses dekomposisi terjadi perubahan fisik, biologi dan kimia yang
sangat cepat. Tahap dekomposisi jasad hewan akan menarik berbagai spesies
serangga untuk datang. Beberapa jenis serangga menyukai jasad hewan baru, tetapi
ada juga serangga yang menyukai jasad hewan yang sudah membusuk. Gelombang
kedatangan serangga ke jasad hewan sangat berguna untuk menentukan waktu
kematian atau postmortem interval (PMI). Beberapa faktor dapat memengaruhi
estimasi PMI seperti halnya fisik, kimiawi, iklim atau cuaca, dan serangga pengurai
(Supriyono et al., 2019).
Dinamika suksesi populasi dari berbagai spesies serangga berbeda secara
ekologi pada tubuh jasad hewan. Serangga tersebut akan saling berinteraksi baik
bersifat netral, kompetisi, maupun predasi dalam proses dekomposisi jasad hewan.
Serangga akan melakukan reaksi enzimatis pada jasad hewan tersebut dan apabila
sudah selesai, maka gelombang serangga yang berikutnya akan datang, dan
melakukan reaksi enzimatis pula, begitu seterusnya (Amendt et al., 2010). Serangga
yang datang pada bangkai mempunyai urutan sesuai pada tahap dekomposisi.
Berbagai tahapan dari proses dekomposisi menarik spesies serangga yang berbeda.
Tuzun et al., (2010) menemukan lima ordo serangga yaitu Diptera, Coleoptera,
Dermaptera, Blattaria dan Hymenoptera pada studi awal forensik di negara Iran.
Menurut Badenhorst dan Villet (2018), kelompok serangga yang paling dominan dan
penting dalam forensik entomologi adalah Diptera dan Coleoptera.
Salah satu contoh serangga pemakan bangkai adalah lalat yang masuk ke
tubuh manusia dengan tujuan untuk bertelur, pada umumnya lalat memilih dalam
lubang tubuh lembab, seperti mulut, hidung, atau mata. Setelah beberapa saat telur
menetas, dan larva lalat (belatung) muncul serta memakan pada tubuh tersebut
hingga membusuk. Ketika larva telah mencukupi kebutuhan untuk makanannya,
maka belatung akan keluar dari tubuh mayat dan mencari tempat untuk membentuk
pupa (kepompong). Pada tahap berikutnya dari siklus hidupnya, munculah generasi
berikutnya yang berupa serangga dewasa (imago) yang muncul dari pupa tersebut
yang siap memulai siklus selanjutnya. Pada kasus entomotoksikologi tersebut,
serangga-serangga yang ditemukan pada mayat dapat digunakan untuk analisis
toksikologi (Nurokhman et al., 2018).

B. Tujuan

Mengamati proses dekomposisi dan suksesi serangga pada bangkai.


II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum adalah bak plastik, loupe, pinset, botol
spesimen, dan insect net.
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah bangkai mencit/hewan
lainnya, dan alkohol 70%.

B. Metode

1. Mengamati perubahan yang terjadi pada tubuh bangkai berupa kondisi


morfologi tubuh daerah kepala (mata, hidung, mulut, telinga) tubuh, anus &
alat kelamin,
2. Mengamati waktu membengkak dan mengempisnya tubuh bangkai,
3. Membedakan bau yang dihasilkan bangkai, lama masing-masing stage,
4. Menghitung panjang dan lama masa larva per instar,
5. Mengamati komposisi spesies serangga dan larva yang ada pada masing-
masing bangkai, terutama pada bagian tubuh yang berlubang seperti mata,
telinga, anus, mulut, hidung, dan bekas luka.
6. Mengamati komposisi serangga pada bangkai dilakukan dengan pengambilan
sampel serangga dan larva pada bangkai mencit sebagai hewan model.
III. PEMBAHASAN

Praktikum proses dekomposisi bangkai dilakukan pada hari sabtu, 29 mei


2021 dengan tujuan agar mahasiswa mengetahui tahap – tahap dekomposisi suatu
bangkai. Praktikum ini menggunakan contoh bangkai babi yang telah dibiarkan
selama beberapa hari, ketika terdapat bangkai yang segar berbagai macam serangga
dekomposer dari ordo : Coleoptera, diptera, dll membantu proses dekomposisinya.

Nekrofagus atau serangga pemakan bangkai merupakan serangga yang masa


hidupnya berada di dalam bangkai hingga mencapai imago, menurut Goff, 2003
kelompok-kelompok serangga nekrofagus yang muncul berasal dari ordo Diptera,
Coleoptera, Hymenoptera (terutama semut), dan beberapa Lepidoptera

Tahap – tahap dekomposisi bangkai mempunyai 5 tahap, dimana Tahapan


Dekomposisi Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor biotik,
yakni faktor abiotik yang meliputi parameter fisik seperti temperatur, kelembaban,
dan lain-lain (Gennard, 2007). Tahapan ini juga mempengaruhi alur hadirnya
serangga, semakin bangkai itu membusuk dia akan menghasilkan gas methaneyang
dapat menarik serangga nekrofagus dan juga dapat memberikan kondisi yang tepat
serangga itu berbiak dan berkembang.

Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor biotik,


yakni faktor abiotik yang meliputi parameter fisik seperti temperatur,
kelembaban, dan lain-lain. Menurut Goff (2000) dan Gennard (2012) dalam
Arief Faizal Nurokhman,dkk, tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap
antara lain:

1) Tahap 1 (fresh stage)


Tahapan dimulai pada saat kematian dan ditandai adanya tanda
penggelembungan pada tubuh. Serangga yang pertama kali datang
adalah lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina
akan meletakkan telurnya di daerah yang terbuka seperti daerah kepala
(mata, hidung, mulut, dan telinga).
2) Tahap 2 (bloated stage)
Merupakan tahapan pembusukan yang sedang dimulai. Gas
yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob
menyebabkan penggelembungan pada pada perut mayat.
Selanjutnya suhu internal naik selama tahapan ini sebagai akibat
dari aktivitas bakteri pembusuk dan aktivitas metabolime dari larva
lalat. Lalat dari famili Calliphoridae sangat tertarik pada mayat selama
tahapan ini. Kemudian selama mengembang akibat adanya gas,
cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh dan
meresap ke dalam tanah. Cairan tersebut tersusun oleh senyawa seperti
amonia yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme dari larva lalat
sehingga akan menyebabkan tanah di bawah mayat itu untuk menjadi
alkali (basa) dan fauna tanah menjadi tertarik untuk menuju ke mayat.
3) Tahap 3 (decay stage)
Tahapan ini ditandai adanya kerusakan kulit dan
mengakibatkan gas keluar dari tubuh Larva lalat membentuk
gerombolan yang besar pada mayat. Meskipun beberapa serangga
predator, seperti kumbang, tawon, dan semut, pada tahap bloated stage,
serangga pemakan bangkai dan predator dapat diamati dalam jumlah
besar menjelang tahapan ini berakhir. Pada akhir tahap ini, lalat dari
famili Calliphoridae dan Sarcophagidae telah menyelesaikan
perkembangan siklusnya dan meninggalkan mayat untuk menjadi
pupa. Pada akhir tahap ini, larva lalat akan menghilang dari jaringan
tubuh pada mayat.
4) Tahap 4 (postdecay stage)
Pada tahap ini sisa-sisa tubuh seperti kulit, kartilago dan
usus sudah mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan
tubuh yang masih ada akan mengering. Indikator pada tahap ini adalah
hadirnya kumbang dan berkurangnya dominansi lalat di dalam tubuh
mayat.
5) Tahap 5 (skeletal stage)
Pada tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut.
Tahapan ini tidak jelas serangga apa saja yang hadir. Pada kasus
tertentu, kumbang dari famili Nitidulidae terkadang ditemukan. Tubuh
mayat sudah mengalami akhir dari dekomposisi.
Adapun contoh kasus serangga dekomposisi bangkai oleh serangga
dalam bidang forensik entomologi salah satunya adalah Analisis Propoksur
LD50 Terhadap Pertumbuhan Larva Lalat Sarcophaga sp. Dengan
Kromatografi Gas-Spektrometri Massa.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan ini adalah :


1. Nekrofagus atau serangga pemakan bangkai merupakan serangga yang masa
hidupnya berada di dalam bangkai hingga mencapai imago.
2. Tahap – tahap dekomposisi bangkai mempunyai 5 tahap, dimana Tahapan
Dekomposisi Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor
biotik, yakni faktor abiotik yang meliputi parameter fisik seperti temperatur,
kelembaban, dan lain-lain.
3. Tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap antara lain: Tahap 1
(fresh stage), tahap 2 (bloated stage), tahap 3 (decay stage), tahap 4
(postdecay stage), dan tahap 5 (skeletal stage).
B. Saran

Dalam pelaksanaan praktikum agar lebih mudah memahami proses


dekomposisi dan suksesi serangga pada bangkai kita sebaiknya lebih banyak
mempelajari faktor-faktor penyebab kedatangan serangga ke bangkai, perlu
dilakukan pengukuran terhadap produk dekomposisi bangkai, serta perkiraan
waktu kematian berdasarkan serangga sangat dipengaruhi beberapa faktor di
antaranya penyebab kematian dan letak jasad hewan.

C.
DAFTAR REFERENSI

Arief Faizal Nurokhman,dkk. 2018. Analisis Propoksur LD50 Terhadap


Pertumbuhan Larva Lalat Sarcophaga sp. dengan Kromatografi Gas-
Spektrometri Massa. Surabaya: Universitas Airlangga.
Amendt, J., Goff, M.L., Campobasso, C.P., & Grassberger, M., 2010. Current
Concepts in Forensic Entomology. London: Springer Netherlands.

Badenhorst, R., Villet, M.H., 2018. The Uses of Chrysomya megacephala (Fabricius,
1794) (Diptera: Calliphoridae) in Forensic Entomology. Forensic Science
Researh, 3(1), pp.2-15.
Dwipayanti, N.M.A. and Yulianti, K., 2014. Cara Kematian Warga Negara Asing di
Bali menurut Data RSUP Sanglah Periode Januari 2010-Oktober 2012. E-
Jurnal Medika Udayana, 1(1), pp.1-8.
Gennard, Dorothy E. 2007. Forensic entomology: an introduction. England: John
Wiley & Sons Ltd.
Goff, L., 2003. Forensic Entomology. Dalam: V.H. Resh & R.T. Carde
(editor), Encyclopedia of Insects, Academic Press, Amsterdam, halaman 919 –
926.
Laksmita, A.S., Watiniasih, N.L., & Junitha, I.K., 2015. Identifikasi Larva
Sarcophagidae (Genus Sarcophaga) pada Bangkai Mencit (Mus musculus) di
Hutan Mangrove. Jurnal Biologi Udayana, 19(2), pp.84-88.
Nurokhman, F.A., Basori, A., & Yuwono, M., 2018. Analisis Propoksur LD50
Terhadap Pertumbuhan Larva Lalat Sarcophaga sp. dengan Kromatografi Gas-
Spektometri Massa. Jurnal Biosains Pascasarjana, 20(2), pp.93-106.
Rusidi, H.A., & Yulianti, K., 2019. Gambaran Genus dan Panjang Larva Lalat pada
Bangkai Tikus Wistar dengan Perbedaan Letak Geografis di Bali. E-Jurnal
Medika Udayana, 8(9), pp.1-6.
Supriyono, S., Soviana, S., & Hadi, U.K., 2019. Pola Kedatangan Serangga pada
Jasad Hewan Sebagai Indikator dalam Kegiatan Forensik. Jurnal
Veteriner, 20(3), pp.418-427.
Tüzün, A., Dabiri, F., & Yüksel, S., 2010. Preliminary Study and Identification of
Insects’ Species of Forensic Importance in Urmia, Iran. African Journal of
Biotechnology, 9(24), pp.3649-3658.

Anda mungkin juga menyukai