Anda di halaman 1dari 123

PERANAN FAKTOR-FAKTOR PSIKOBIOLOGIS DI

BALIK FENOMENA TRANSGENDERISME

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Civic Education dan Bahasa Indonesia

Semester II Tahun Pelajaran 2020 / 2021

Ethan Augustine Khoe Lie


11C

CAHAYA BANGSA CLASSICAL SCHOOL


Jalan Bujangga Manik Kav. 1, Kota Baru Parahyangan, Padalarang
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


“Transgenderisme” mengacu pada spektrum luas orang yang secara sementara
atau terus-menerus mengidentifikasi diri mereka sebagai jenis kelamin yang
berbeda dengan seks yang secara biologis mereka miliki saat lahir. Orang
transgender biasanya berupa individu yang mempunyai identitas gender yang
berlawanan dengan seksnya (pria trans dan wanita trans), tetapi istilahnya juga
merujuk kepada orang-orang yang tidak secara spesifik diidentifikasi sebagai
maskulin atau feminin. Misalnya, seorang transgender mungkin memiliki ciri fisik
seorang laki-laki, tetapi dia merasa dirinya adalah wanita dan lebih nyaman
berperilaku seperti perempuan. Oleh sebab itu, banyak orang transgender
mengambil langkah-langkah untuk memenuhi perasaan tersebut, seperti dengan
terapi hormon atau operasi penentuan seks, dan bahkan rela mengorbankan
reputasi serta status sosial mereka demi mencapai keinginan mereka. (Orang yang
ingin menjalani transisi permanen ke jenis kelamin yang mereka identifikasi diri
mereka sebagai biasanya disebut “transeksual”).
Menurut tinjauan sistematis terbaru, 355 orang dari setiap 100.000 orang
dewasa mengidentifikasi diri sebagai transgender (meskipun hasil ini sangat
dipengaruhi oleh perbedaan dalam ruang definisi). Dari setiap 100.000 orang, 9,2
orang pernah menerima atau meminta operasi penentuan jenis kelamin atau terapi
hormon transgender, dan 6,8 telah menerima diagnosis khusus transgender. Tetapi
meskipun konsep sebuah “komunitas transgender” sudah muncul sejak lebih dari
tiga dekade lalu, penelitian serta riset ilmiah tentang hal ini masih dalam
tahap-tahap awal. Banyak orang mempertanyakan dan mendebat apabila
perbedaan gender seseorang ditentukan oleh lingkungan di sekitarnya atau oleh
faktor-faktor biologis inheren seperti gen. Cara persis manusia “dikodekan”
dengan jenis kelamin biologis dan identitas gender sangatlah rumit; para peneliti

1
masih belum bisa menjawab sepenuhnya bagaimana sebenarnya fungsi kompleks
seperti gender diproses secara biologis. Sedikit yang diketahui tentang penyebab
transgenderisme, dan banyak penelitian, terutama studi psikologis, telah disangkal
secara luas. Namun, saat ini, mayoritas penelitian tampaknya condong pada
transgenderisme sebagai sifat biologis. Penyebab biologis yang mendasari
dimorfisme gender yang terkenal dalam perilaku, kognisi, dan emosi manusia
telah mendapat perhatian yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak
riset menunjukkan korelasi antara jenis kelamin dan faktor-faktor yang berbasis
biologis, dengan relatif sedikit bukti bahwa lingkungan sosial seseorang
berpengaruh pada identitas gendernya.
Kesalahpahaman dan ketidaksadaran umum yang dimiliki banyak orang
tentang transgenderisme telah berkontribusi pada banyak masalah diskriminasi
baru-baru ini yang bervariasi di seluruh dunia. Di Indonesia, 89,3% kaum LGBT
pernah mengalami kekerasan, diskriminasi, dan stigma di berbagai area seperti
pekerjaan, sekolah, dan layanan kesehatan, di mana mereka tidak mempunyai
kesempatan yang sama dengan orang lain. Tidak ada regulasi atau peraturan yang
dibuat oleh negara yang ramah terhadap kaum tersebut. Diskriminasi dan
intoleransi masih terus menjadi pandangan dominan masyarakat Indonesia
terhadapnya, yang setidaknya sebagian disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
tentang kaum tersebut serta doktrin dan pemahaman agama konservatif. Ini sangat
kontras dengan banyak negara Barat yang biasanya jauh lebih toleran dan bahkan
melindungi individu LGBT dari diskriminasi. Namun di sisi lain, bahkan
orang-orang yang terkesan progresif justru merefleksikan pandangan tidak ilmiah
tentang transgender dalam agenda untuk mempromosikan transgenderisme.
Berbagai media arus utama menyajikan pernyataan bias seperti bagaimana gender
seseorang sepenuhnya ditentukan diri sendiri—mereka mengorbankan akurasi
medis dan biologis untuk manfaat politik.
Penulis memilih topik ini karena masih banyak sekali orang memiliki
kesalahpahaman mengenai transgender. Terutama di Indonesia, diskriminasi dan
stigma terhadap kaum transgender bukanlah sesuatu yang langka; banyak orang
sering berasumsi bahwa transgenderisme hanya sekedar akibat pilihan seseorang

2
yang sengaja diambil dan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku. Maka, penulis
ingin menyoroti serta membangun kesadaran akan faktor-faktor biologis dan
ilmiah di belakang kondisi transgenderisme, dengan harapan bahwa demikian
akan mengurangi penganiayaan yang sering dialami orang transgender.
Selain itu, kendati segala penganiayaan dan intoleransi yang mereka derita,
banyak individu transgender tetap mengambil risiko-risiko besar dengan
menentang ekspektasi budaya mereka demi mengekspresikan diri dan merasa
nyaman. Ini membuat penulis ingin mengetahui lebih lanjut bahwa ada sesuatu
yang lebih yang berkontribusi terhadap kondisi transgenderisme daripada apa
yang tampak di permukaan. Dengan meningkatnya jumlah orang transgender di
seluruh dunia, pemahaman yang lebih dalam dan ilmiah mengenai
transgenderisme dibutuhkan untuk menentukan tingkah laku yang paling tepat
dalam menangani kaum transgender dalam aspek medis, hukum, dan sosial.
Ada banyak sekali variabel dari berbagai macam bidang dan ilmu pengetahuan
yang berkontribusi terhadap transgenderisme, dan setiap kasus pasti berasal dari
campuran unik antara faktor-faktor berbeda. Ada penyebab-penyebab biologis
yang berupa faktor bawaan seperti faktor-faktor genetik, fisiologis, dan hormon,
dan ada juga penyebab psikologis, beberapa di antaranya yang berkaitan dengan
dampak dari orang tua. Adapun juga pengaruh sosial dari lingkungan dan budaya
di sekitar seseorang yang menetapkan norma-norma jenis kelamin tertentu
terhadapnya. Namun, penulis memilih untuk memfokuskan analisis terhadap
faktor-faktor psikobiologis untuk mendapatkan gambaran paling objektif serta
untuk mengetahui seberapa besar identitas gender seseorang tidak dapat dikontrol
secara sadar. Oleh karena itu, penulis akan menjabarkan penemuan dan penelitian
mengenai dasar biologis dari perilaku transgender dan menganalisis bagaimana
faktor biologis tersebut mempengaruhi sikap orang transgender.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan berbagainya faktor dan variabel tak terketahui yang berkontribusi
terhadap transgenderisme, sangatlah penting untuk mengidentifikasi dan
membedakan sifat-sifat biologis dari faktor-faktor lainnya. Maka, penulis akan

3
membahas topik transgenderisme dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut.
1. Apakah sifat-sifat biologis yang berhubungan dengan identitas gender
seseorang?
2. Bagaimana faktor-faktor biologis dan psikologis memengaruhi seseorang
untuk menjadi transgender?

1.3 Tujuan Penelitian


A. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis kaitan sifat-sifat biologis manusia dengan seks biologisnya
dan sekaligus identitas gendernya. Dengan demikian, penulis berharap
untuk memperluas pengertiannya mengenai basis psikobiologis
transgenderisme secara objektif dan rasional. Dengan membentuk
gambaran yang lebih jelas tentang kondisi transgenderisme secara
keseluruhan, orang dapat mengambil keputusan yang lebih baik mengenai
individu transgender, baik dalam pelayanan kesehatan, hukum, atau
kehidupan sosial.
Penulis juga mempunyai tujuan untuk menghilangkan anggapan tabunya
diskusi mengenai transgenderisme dan membangun kesadaran bagi semua
orang mengenai penyebabnya transgenderisme.
B. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai dan
memenuhi tugas akhir mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Civic
Education.

1.4 Hipotesis
Penulis memiliki hipotesis sebagai berikut:
Kondisi transgender umumnya diakibatkan ketidaksesuaian antara diferensiasi
seksual dimorfik otak dan diferensiasi seksual bagian tubuh lainnya (terutama alat
kelamin) yang menyebabkan identitas gender dan seks biologis yang
bertentangan. Mekanisme dan fungsi bawah sadar di otak, beberapa di antaranya

4
inheren dan beberapa terpicu secara eksternal, mempengaruhi identitas gender
orang transgender untuk menyimpang dari jenis kelamin biologisnya; sementara
lingkungan sosial budaya seseorang tidak mampu menggantikan fungsi biologis
dalam menentukan identitas gendernya.

5
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Faktor Psikobiologis

2.1.1 Definisi Faktor


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “faktor” berarti: “hal
(keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu”.
Dalam konteks biologi, “faktor intrinsik” merupakan “faktor atau pengaruh yang
datang dari dalam”, sedangkan “faktor ekstrinsik” merujuk kepada “faktor atau
pengaruh yang datang dari luar” (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap suatu kejadian atau fenomena bisa
berasal dari berbagai macam bidang dan penyebab tertentu. Faktor biologis bisa
dikategorikan sebagai faktor intrinsik dan bukan pengaruh lingkungan atau situasi
di sekitar sebuah organisme, tetapi bisa berinteraksi dengan dan terpicu oleh
faktor ekstrinsik (Douglass Haddad, Biological Factors That Influence Child
Development, 2020). Menurut Kamus Psikologi dari American Psychological
Association, “faktor” dalam konteks psikologi adalah pengaruh mendasar yang
bertanggung jawab sebagian atas variasi dalam perilaku individu. Selain itu,
sebuah “faktor biologi” dalam bidang psikologi merupakan kondisi fisik, kimiawi,
genetik, atau neurologis yang terkait dengan gangguan psikologis (American
Psychological Association).

2.1.2 Definisi Psikobiologi


“Psikobiologi” berasal dari kata “psikologi” dan “biologi” dan melibatkan
campuran kedua unsur tersebut untuk membentuk sebuah perspektif unik dalam
bidang psikologi. Psikobiologi merupakan bidang studi yang meneliti hubungan
antara otak dan pikiran, mempelajari dampak pengaruh biologis pada fungsi
psikologis atau proses mental, dan mencakupi dasar biologis dari perilaku, emosi,
dan proses mental seseorang (Benjamin Miller, Miller-Keane Encyclopedia and
Dictionary of Medicine, Nursing, and Allied Health, 2003). Juga dikenal sebagai

6
“biopsikologi”, psikobiologi adalah studi tentang keterkaitan biologi dan psikologi
dalam fungsi kognitif, termasuk intelek, memori, dan proses neurokognitif yang
terkait dengannya (Medical Dictionary for the Health Professions and Nursing,
2012). Psikologi adalah kajian tentang pikiran dan perilaku yang bertujuan untuk
menafsirkan perilaku manusia dan memahami mengapa orang melakukan apa
yang mereka melakukan. Biologi atau ilmu hayat merupakan bidang dan ilmu
pengetahuan yang mempelajari kehidupan dan organisme hidup. Dari banyak
cabang ilmu biologi yang ada, penulis akan terutama menelusuri bidang-bidang
genetika, epigenetika, dan neuroanatomi.

2.1.3 Teori Psikologi Biologis


Teori psikobiologi juga terkenal sebagai teori psikologi biologis, yaitu area
pemikiran yang dikembangkan oleh Adolf Meyer dalam profesi kesehatan mental
yang mengatakan bahwa individu dipandang sebagai unit holistik dan terintegrasi,
dan baik perilaku normal maupun abnormal dijelaskan dalam interaksi
penyebab-penyebab biologis, sosiologis, dan psikologis (American Psychological
Association). Teori psikiatri tersebut memandang perilaku sebagai fungsi dari
organisme total dan juga mempertimbangkan faktor-faktor fisik yang secara
langsung mempengaruhi sistem saraf, seperti keturunan, hormon, dan penyakit
(Benjamin Miller, Miller-Keane Encyclopedia and Dictionary of Medicine,
Nursing, and Allied Health, 2003). Sebagai cabang psikologi yang lebih
interdisipliner, psikologi biologis berkaitan dengan dasar biologis dari perilaku,
pikiran, dan emosi serta hubungan timbal balik antara proses biologis dan
psikologis. Dalam buku How Psychology Works, psikologi biologis didasarkan
pada premis bahwa perilaku orang ditentukan oleh faktor fisik inheren seperti
genetika dan impuls kimia dan listrik antara otak dan sistem saraf. Bidangnya
dapat dibagi secara kasar menjadi tiga cabang yang fokus pada aspek-aspek
biologi berbeda:
1. Fisiologis: Bidang ini berfokus pada masalah luas tentang bagaimana
fisiologi membentuk perilaku, seperti tempat asal jenis perilaku tertentu

7
berasal dari otak, bagaimana hormon dan sistem saraf beroperasi, dan
mengapa perubahan dalam sistem ini dapat mengubah perilaku.
2. Medis: Cabang ini secara khusus menjelaskan dan menangani gangguan
mental dalam kaitannya dengan penyakit fisik dengan menekankan dasar
biologis di baliknya, seperti ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuh atau
kerusakan otak, daripada penyebab yang terkait dengan faktor lingkungan.
3. Genetik: Bidang ini menjelaskan perilaku dalam kerangka pola yang
ditentukan oleh DNA setiap orang dan menunjukkan bagaimana ciri-ciri
mental, misalnya IQ, dapat diturunkan.
(Jo Hemmings, How Psychology Works, 2018, hlm. 22-23)

2.2 Transgenderisme

2.2.1 Pengertian Transgenderisme


Supaya dapat mengerti transgenderisme dengan benar, perlu dipahami
terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin atau seks biologis seseorang
dengan identitas gendernya. Menurut World Health Organization (WHO), seks
biologis seseorang merupakan jenis kelaminnya sesuai dengan anatomi tubuhnya
dan sistem reproduktifnya (yang secara alami tergolong sebagai pria atau wanita)
dan ditentukan seperangkat atribut biologis. Identitas gender seseorang adalah
persepsinya dan identifikasi pribadi jenis kelaminnya sendiri berdasarkan
kesadaran internal. Identitas gender seseorang secara umum mengikuti golongan
seks biologisnya, tetapi tidak selalu. Seks biologis seseorang biasanya
menentukan kategori perilaku atau peran gender yang ditetapkan padanya
secara budaya berdasarkan jenis kelamin yang ditentukan untuknya saat lahir;
dalam kebanyakan budaya ada dua kategori perilaku gender, yaitu maskulin dan
feminin, tetapi ini tidak universal (Thomas E. Bevan, The Psychobiology of
Transsexualism and Transgenderism, 2014, hlm. 6).
Menurut Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental edisi kelima
(“The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition” atau
DSM-5), transgenderisme mengacu pada spektrum luas orang yang secara
sementara atau terus-menerus mengidentifikasi diri mereka sebagai jenis kelamin

8
yang berbeda dari jenis kelamin yang ditentukan untuk mereka saat lahir
(American Psychological Association, DSM-5, 2013). Identitas gender sebagian
besar ditentukan oleh predisposisi gender biologis; transgenderisme adalah
fenomena di mana predisposisi biologis ini, dan dengan demikian, identitas
gender, tidak sesuai dengan seks biologisnya (Thomas E. Bevan, The
Psychobiology of Transsexualism and Transgenderism, 2014, hlm. 5-6). Untuk
karya ilmiah ini, fenomena dan perasaan tersebut akan disebut sebagai disonansi
gender. Transgender male-to-female (MTF) atau pria-ke-wanita (wanita
transgender) menggambarkan individu yang ditetapkan sebagai pria saat lahir
tetapi kemudian mengidentifikasi dirinya dan hidup sebagai wanita di kemudian
hari, dan transgender female-to-male (FTM) wanita-ke-pria (pria transgender)
merupakan sebaliknya. Namun, ada juga orang transgender yang tidak secara
spesifik mengidentifikasi diri sebagai maskulin atau feminin (GLAAD Media
Reference Guide - Transgender).
Disforia gender adalah penderitaan signifikan yang diakibatkan oleh
ketidaksesuaian antara tubuh jasmani dan identitas gender. Banyak, tetapi tidak
semua orang transgender, mencari transisi sosial atau somatik untuk meringankan
penderitaan ini, misalnya melalui proses terapi hormon atau operasi penggantian
kelamin. Orang tersebut umumnya dikenal sebagai orang transeksual. (Thomas E.
Bevan, The Psychobiology of Transsexualism and Transgenderism, 2014, hlm. 6)

2.2.2 Latar Belakang Pengertian Ilmiah Transgenderisme


Hanya satu dekade yang lalu transgenderisme dianggap sebagai penyakit
kejiwaan dan diklasifikasikan sebagai "gangguan identitas gender" (gender
identity disorder atau GID). Istilah itu baru-baru ini diganti dengan “disforia
gender” (gender dysphoria) dan tidak lagi muncul di DSM-5 sebagai penyakit
mental (Dov Feldberg, Principles of Gender-Specific Medicine, 2017). Hingga
pertengahan abad ke-20, satu-satunya informasi yang tersedia tentang
transgenderisme berasal dari teori dan kesan klinis praktisi kesehatan mental
(Thomas E. Bevan, The Psychobiology of Transsexualism and Transgenderism,
2014, hlm. 5). Memahami prevalensi sebenarnya dari transgenderisme dan

9
disforia gender telah menjadi tantangan karena ada penelitian yang terbatas di
bidang ini. Individu mungkin merasa tidak nyaman mengidentifikasi diri mereka
sebagai minoritas gender, dan ini mengarah pada estimasi prevalensi populasi
pasien ini yang terlalu rendah. (David Call dan James Murphy, Comprehensive
Care of the Transgender Patient, 2020).
Namun, baru-baru ini ada peningkatan drastis dalam penelitian ilmu di balik
kondisi transgenderisme. Ini disebabkan oleh revolusi dalam instrumentasi dan
pengukuran ilmiah, yang dikembangkan terutama untuk meningkatkan ilmu
kedokteran dan medis. Misalnya, alat-alat genetik yang telah dikembangkan untuk
lebih memahami DNA bisa digunakan untuk mencari perbedaan genetik antara
orang transgenderisme dan orang biasa.

2.2.3 Latar Belakang Transgenderisme di Masyarakat Indonesia


Transgenderisme secara umum masih merupakan topik yang baru-baru ini
mulai diteliti lebih dalam, dan lebih jarang lagi penelitiannya di negara Indonesia.
Hukum mengenai orang transgender di Indonesia merupakan hal yang rumit.
Indonesia tidak mempunyai undang-undang yang secara khusus menargetkan atau
mengkriminalisasi orang LGBT, tetapi juga tidak memiliki peraturan yang
membantu atau melindungi kaum tersebut dari diskriminasi. Meskipun orang
transgender di Indonesia umumnya lebih diterima daripada orang homoseksual
dan biseksual, budaya Indonesia masih memandang transgenderisme sebagai hal
yang tabu. Indonesia berada dalam lingkungan “heteronormatif” yang percaya
bahwa hanya ada dua identitas seksual sesuai dengan konstruksi gender yang
mengikutinya. Mayoritas besar orang Indonesia beragama Islam, dan prevalensi
nilai-nilai agama tradisional kebanyakan tidak menyetujui LGBT. Ini
menyebabkan meningkatnya diskriminasi terhadap orang transgender. Menurut
jajak pendapat 2017 yang dilakukan oleh International Lesbian, Gay, Bisexual,
Trans and Intersex Association, 47% orang Indonesia tidak setuju bahwa orang
LGBT harus menikmati hak yang sama dengan orang heteroseksual, 37% tidak
setuju bahwa mereka harus dilindungi dari diskriminasi di tempat kerja, dan 38%
mengatakan bahwa orang homoseksual harus dituduh sebagai penjahat

10
(ILGA-RIWI Global Attitudes Survey, 2017). Oleh sebab ini, beberapa individu
berisiko menghadapi stigma dalam aspek kehidupan sosial, pekerjaan, kesehatan,
dan lain-lain. Terutama dalam kalangan kaum muda, stigma terhadap kaum
transgender terpengaruh oleh kekurangan pengetahuan masyarakat mengenai
transgenderisme dan juga oleh sikap rekan-rekan mereka—banyak orang bahkan
tidak mengenai perbedaan antara transgender dan homoseksual.

2.3 Genetika
Bidang genetika adalah cabang ilmu biologi yang berkaitan dengan ilmu
tentang gen, variasi genetik, dan keturunan dalam organisme. Gen adalah unit
dasar hereditas dan terdiri atas protein-protein yang berisi informasi atau instruksi
bagi setiap struktur dan fungsi suatu organisme. Semua gen dan informasi ini
tersusun dalam sebuah molekul yang dikenal sebagai asam deoksiribonukleat atau
DNA. DNA adalah polimer yang terbuat dari rantai panjang ribuan monomer yang
disebut nukleotida, yang semua dihubungkan oleh tulang punggung gula-fosfat.
Setiap nukleotida berisi basa nitrogen yang dibagi menjadi empat jenis, yaitu
adenina (A), guanina (G), sitosina (C), dan timina (T). Dalam struktur heliks
ganda DNA, A berpasangan dengan T, dan G berpasangan dengan C. Ke-empat
senyawa tersebut dapat tersusun dalam berbagai urutan berbeda, dan urutannya
diatur dalam DNA menentukan informasi spesifik yang mereka simpan. Satu
molekul panjang DNA membentuk sebuah kromosom; setiap sel tubuh manusia
memiliki 46 kromosom (23 pasangan).
Instruksi dalam DNA digunakan untuk membuat berbagai protein melalui
ekspresi gen. Proses ini mulai dengan tahap transkripsi, di mana DNA mentransfer
informasi yang dikodekan dalamnya ke molekul mRNA, yang pada dasarnya
adalah seperti salinan dari bagian DNA. Kemudian, informasi di mRNA tersebut
“diterjemahkan” menjadi sebuah protein polipeptida tertentu oleh ribosom, dan
protein tersebut digunakan untuk berbagai fungsi tubuh. Urutan tertentu dari basa
nukleotida dalam DNA suatu organisme adalah genotipe organisme tersebut, yang
menyimpan informasi untuk produksi protein tertentu. Ciri-ciri yang dihasilkan
dari protein itu dikenal sebagai fenotipe organismenya (Neil Campbell dkk.,

11
Essential Biology with Physiology, 2007, hlm. 62). Suatu organisme bisa
mengalami mutasi yang merubah urutan basa nukelotida dalam DNAnya ataupun
struktur kromosomnya, yang berdampak terhadap sintesis protein dan fenotipe
organisme tersebut.

2.3.1 Genetika Mendel


Beberapa prinsip paling mendasar dari genetika dan hereditas pertama kali
dikemukakan oleh Gregor Mendel. Mendel menemukan bahwa orang tua
mewariskan kepada keturunan mereka berbagai “faktor warisan” (sekarang
dikenal sebagai “gen”) diskret yang bertanggung jawab atas ciri yang diwariskan.
Faktor warisan tersebut mempertahankan identitas mereka dan jenis ciri yang
mereka menyebabkan dari generasi ke generasi, tidak peduli bagaimana mereka
tercampur. Mendel menyimpulkan tiga hukum genetika utama dari penelitiannya:
1. Hukum Dominasi: Setiap keturunan menunjukkan sifat dari satu orang tua
saja, dengan alel (satu variasi sebuah gen) dominan menutupi alel resesif.
2. Hukum Segregasi: Gamet (sel telur dan sperma) hanya memiliki satu alel
untuk setiap karakteristik yang diwariskan (berbeda dengan sel tubuh lain
yang memiliki pasangan alel untuk setiap gen).
3. Hukum Assortment Independen (Hukum Pewarisan Mendel): Pasangan
alel yang berbeda diteruskan ke keturunan secara independen satu sama
lain. Oleh sebab itu, pewarisan gen di satu lokasi dalam genom tidak
memengaruhi pewarisan gen di lokasi lain.
Namun, biasanya ada beberapa variasi pada prinsip genetik mendel yang
mengakibatkan pola ciri warisan yang lebih kompleks. Misalnya, banyak
organisme menunjukkan campuran fenotipe dari dua alel berbeda oleh karena
dominasi tidak lengkap, di mana alel dominan tidak sepenuhnya menutupi alel
resesif (Neil Campbell dkk., Essential Biology with Physiology, 2007, hlm.
145-149).

2.3.2 Kromosom Seks


Semua mamalia memiliki sepasang kromosom seks, yang disebut kromosom
X dan Y, yang biasanya menentukan jenis kelamin individu. Mereka yang

12
memiliki satu kromosom X dan satu Y adalah pria, dan mereka yang memiliki
sepasang kromosom X adalah wanita. Beberapa gen pada kromosom Y berisi
petunjuk untuk mengembangkan ciri-ciri pria seperti testis dan sperma (Neil
Campbell dkk., Essential Biology with Physiology, 2007, hlm. 164). Namun,
status seseorang sebagai XX atau XY tidak tentu menghasilkan ciri yang sesuai
dengan kromosomnya, sebab ada banyak variasi kromosom dan gen yang dapat
mengakibatkan organ pria atau wanita, sehingga pengkategorian jenis kelamin
dengan uji XX/XY tidak sempurna. Kadang-kadang, mutasi bahkan dapat
memberi seseorang susunan kromosom seks yang tidak biasa seperti XXYY.

2.4 Epigenetika
Epigenetika melibatkan studi tentang mekanisme yang memodifikasi DNA
atau mengubah ekspresinya dan dengan demikian membentuk tubuh (fenotipe)
dan/atau perilaku seseorang tanpa mengubah struktur DNA itu sendiri. Sebagian
besar mekanisme ini dimulai saat pembuahan, tetapi beberapa sebenarnya
mendahului pembuahan. Tidak hanya genom DNA yang berpotensi berkorelasi
dengan identitas gender dan transgenderisme, tetapi juga epigenom, yaitu
kumpulan penanda kimia yang mempengaruhi seberapa banyak gen-gen tertentu
diekspresikan. Contoh dampak epigenetik adalah meskipun kembar identik mulai
dengan DNA yang sama saat pembuahan, mekanisme epigenetik tetap
menyebabkan perbedaan besar dalam tubuh dan otak mereka pada saat lahir,
misalnya melalui hormon atau bahan kimia tertentu.

2.5 Sistem Endokrin


Sistem endokrin adalah sistem tubuh yang melibatkan beberapa kelenjar
endokrin yang menghasilkan berbagai hormon. Hormon tersebut bertindak
sebagai pesan kimiawi yang dilepaskan ke dalam aliran darah untuk mengelilingi
seluruh tubuh dan meregulasi berbagai jaringan atau organ target untuk
melaksanakan berbagai fungsi penting. Sel-sel yang ditarget hormon tertentu
memiliki reseptor untuk hormon spesifik tersebut. Ketika hormon mengikat pada
reseptor sebuah sel, ia dapat memicu perubahan dalam selnya dengan
mentransmisikan sinyalnya melalui serangkaian perubahan molekuler, atau

13
dengan memicu reseptornya untuk merangsang atau menghambat transkripsi gen
tertentu. Karena hormon mencapai semua bagian tubuh, sistem endokrin sangat
penting dalam mengendalikan aktivitas seluruh tubuh. Kebanyakan sistem
endokrin dikendalikan oleh bagian otak yang disebut hipotalamus, yakni pusat
kendali tubuh yang menerima sinyal dari semua bagian tubuh dan merespon
melalui hormon yang mengendalikan kelenjar-kelenjar lainnya. Beberapa contoh
penting hormon adalah hormon seks, yaitu hormon estrogen (seperti estradiol)
untuk perkembangan ciri-ciri wanita dan androgen (seperti testosteron) untuk
ciri-ciri pria (Neil Campbell dkk., Essential Biology with Physiology, 2007, hlm.
545-547).

2.6 Sistem Saraf


Sistem saraf terdiri atas kumpulan kompleks saraf dan neuron yang
mengirimkan sinyal antara berbagai bagian tubuh, membentuk jaringan
komunikasi dan koordinasi di seluruh tubuh. Sistem ini bertanggung jawab untuk
menerima sinyal dari masukan sensorik di seluruh tubuh dan untuk membawa
pesan instan dari otak ke seluruh bagian tubuh lainnya. Sistem saraf dibagi
menjadi dua bagian utama: sistem saraf pusat, yang terdiri atas otak dan sumsum
tulang belakang, dan sistem saraf perifer, yang terdiri atas saraf yang bercabang
dari sistem saraf pusat. Neuron adalah sel utama dalam sistem saraf yang
memproses informasi dalam bentuk sinyal listrik dan mengirimkannya ke neuron
lain lewat serabut saraf, yaitu perpanjangan badan sel neuron yang panjang dan
ramping. “Materi abu-abu” mengacu kepada kumpulan badan sel neuron,
sedangkan “materi putih” merupakan kumpulan serabut saraf (Neil Campbell
dkk., Essential Biology with Physiology, 2007, hlm. 585-586).

2.6.1 Otak Manusia


Otak adalah organ yang memproses berbagai informasi dan mengendalikan
banyak fungsi serta perilaku tubuh. Terdiri dari sekitar 100 milyar neuron yang
tersusun dengan rumit, otak manusia secara umum dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu otak depan, tengah, dan belakang. Berbagai struktur seperti serebrum,
talamus, dan hipotalamus termasuk dalam otak depan. Hipotalamus dan talamus

14
termasuk bagian dari otak depan yang disebut sistem limbik, yaitu sekumpulan
struktur otak yang mendukung berbagai fungsi termasuk emosi, perilaku, dan
memori. Hipotalamus terlibat dalam pengaturan perilaku respons utama serta
fungsi-fungsi yang terkait dengan homeostasis dan sistem saraf otonom seperti
detak jantung dan suhu tubuh. Serebrum merupakan bagian otak paling besar dan
canggih. Ia terdiri terutama dari materi putih di bagian dalamnya, tetapi bagian
luarnya terdiri dari korteks serebral, sebuah lapisan materi abu-abu yang sangat
terlipat di permukaan serebrum. Sirkuit saraf korteks serebral yang sangat rumit
memungkinkannya menghasilkan ciri-ciri manusia yang paling khas seperti
penalaran, imajinasi, keterampilan bahasa, dan kepribadian. Selain itu, serebrum
juga dibagi menjadi hemisfer otak kiri dan kanan; hemisfer kanan mengendalikan
belahan tubuh kiri dan hemisfer kiri mengontrol bagian tubuh kanan. Dalam
fenomena “lateralisasi”, beberapa daerah di kedua hemisfer menjadi lebih
terspesialisasi dan dominan daripada hemisfer lawannya dalam fungsi yang
berbeda. Inilah yang menyebabkan sifat-sifat seperti preferensi tangan—seseorang
kidal biasanya memiliki hemisfer otak kanan yang lebih dominan (Neil Campbell
dkk., Essential Biology with Physiology, 2007, hlm. 595-597.)

15
BAB III
ANALISIS DATA

3.1 Sifat-sifat Biologis yang Berhubungan dengan Identitas Gender


Untuk meneliti faktor-faktor biologis yang berdampak terhadap identitas
gender seseorang, penulis akan menggunakan data sekunder, yaitu data yang
diperoleh secara tidak langsung melalui sumber lain yang sudah dipublikasi
seperti situs atau website, artikel, berita, buku, dan jurnal. Data mengenai biologi
identitas gender bisa ditemukan dari berbagai penelitian dari beberapa tahun lalu,
terutama di dalam jurnal-jurnal ilmiah. Berikut rincian data sekunder yang telah
diperoleh penulis serta analisis penulis bagi setiap data.

3.1.1 Sifat-sifat Genetik dan Epigenetik


Genetika dan epigenetika berhubungan dengan berbagai bagian paling
fundamental dari tubuh manusia yang bertanggung jawab mengontrol banyak
proses tubuh tersebut, dan mereka mungkin juga berdampak terhadap identitas
gender. Genetika DNA merupakan salah satu faktor potensial yang menyebabkan
identitas gender dan sikap transgender oleh karena ekspresinya yang mampu
membentuk dan mengatur otak dan tubuh. Mutasi dan perubahan pada epigenom,
yang dapat berupa baik endogen maupun eksogen, dapat berdampak terhadap
perubahan perilaku gender seseorang.

3.1.1.1 Sifat Heritabilitas DNA


Seorang peneliti bisa memeriksa apabila ciri-ciri seperti transgenderisme
dan identitas gender tersebab oleh gen dengan meneliti kadar hereditas ciri-ciri
tersebut, terutama dalam studi keturunan dalam kembar. Studi kembar mengukur
kemungkinan bahwa jika satu kembaran identik memiliki sifat tertentu, kembaran
lainnya akan juga akan memilikinya. Ini adalah karena kembar monozigot
(identik) dikandung dengan susunan genetik yang persis sama, sedangkan kembar
dizigot (non-identik) hanya berbagi setengah gen mereka; tetapi baik pasangan
kembar monozigot maupun non-identik cenderung dibesarkan di lingkungan dan

16
kebudayaan yang sama. Maka, jika suatu sifat lebih cenderung dibagi antara
kembar monozigot daripada di antara kembar dizigot, ciri tersebut kemungkinan
besar terpengaruh setidaknya sebagian oleh genetika.
Artikel : “Transsexuality Among Twins: Identity Concordance,
Transition, Rearing, and Orientation”
Jurnal : International Journal of Transgenderism
Tanggal : 16 Mei 2016
Penulis : Milton Diamond
Dalam artikel tersebut, Milton Diamond, seorang peneliti seksualitas manusia,
menjelaskan penelitiannya mengenai kontribusi relatif faktor genetik dan faktor
lingkungan untuk pengembangan identitas gender. Artikel ini terutama
menjelaskan studi kembar yang dilaksanakan Diamond untuk melihat bagaimana
identitas transeksual dibagi di antara pasangan kembar. Diamond menyimpulkan
bahwa identitas transeksual mereka jauh lebih terpengaruh faktor genetik daripada
faktor lingkungan. Penulis mengambil hasil data dari penelitian tersebut untuk
dianalisis sendiri.

Tabel 3.1.1.1. Persentase kembar yang kedua saudaranya transgender

Data yang tercantum di Tabel 3.1.1.1 adalah hasil data penelitian Milton
Diamond, seorang peneliti seksualitas manusia, tentang kontribusi relatif faktor
genetik dan lingkungan untuk pengembangan identitas gender. Melalui survei
independen, Diamond menanyakan puluhan pasangan kembar identik/monozigot
(MZ) dan non-identik/dizigot (DZ) apakah satu atau dua dari setiap mereka
memiliki identitas transgender (secara khusus transeksual), dan beliau juga
mengambil data sekunder seperti dari data klinis serta penelitian lama orang lain

17
yang sudah diterbitkan. Tabel 3.1.1.1 berisi distribusi jawaban dari beberapa
pasangan kembar MZ dan DZ, baik seks biologis pria (“Male”) maupun wanita
(“Female”). Jumlah pasangan kembar yang mengatakan bahwa mereka
dua-duanya adalah transgender dicatat di kolom “Yes”, sedangkan jumlah
pasangan yang hanya satu dari mereka adalah transgender dicatat dalam kolom
“No”. Di kedua kolom itu, jumlah pasangan dari data sekundernya Diamond
ditambahkan dengan jumlah pasangan dari surveinya untuk memperoleh total
jumlah pasangan untuk setiap dari kedua kolom (misalnya di kolom “Yes” baris
“Male MZ” ada 7 pasangan dari sumber sekunder yang ditambah dengan 6
pasangan dari survei untuk mendapat jumlah total 13 kembar MZ pria untuk
kolom “Yes”). Kolom “N total” berisi jumlah total pasangan kembar dari kolom
“Yes” dan “No”, kolom “Con” berisi rasio pasangan “Yes” terhadap banyaknya
pasangan “N total”, dan kolom “Yes %” berisi setiap rasio tersebut diubah
menjadi persentase yang dibulatkan.
Menurut kolom “Yes %” di tabelnya, 33,3% dari pasangan kembar MZ
pria berbagi identitas transgender (kedua dari mereka adalah transgender MTF),
serta 22,9% dari pasangan kembar MZ wanita juga berbagi identitas transgender
(FTM). Sementara hanya 4,8% pasangan kembar DZ pria dan 0% pasangan
kembar DZ wanita berbagi identitas transgender. Ini menunjukkan bahwa identitas
gender cukup dipengaruhi oleh genetika dan keturunan, sebab ciri identitas
transgender tampaknya jauh lebih cenderung dibagi antara kembar identik
dibanding kembar non-identik, dan persamaan gen kembar identik jauh lebih
banyak daripada persamaan gen kembar non-identik, maka mungkin ada beberapa
gen yang berkontribusi terhadap ciri transgenderisme. (Apabila identitas
transgender lebih dibagi antara kembar MZ, itu berarti identitas gender juga lebih
dibagi karena kedua kembar tersebut akan memiliki identitas yang sama yaitu
yang tidak setuju dengan seks biologis mereka). Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, baik kembar MZ maupun DZ kemungkinan besar dibesarkan dalam
lingkungan hidup dan suasana sosial budaya yang sama, maka kemungkinan kecil
bahwa lingkunganlah yang menyebabkan kembar MZ berbagi identitas gender
lebih sering dibanding kembar DZ.

18
Hasil penelitian Diamond di Tabel 3.1.1.1 yang menunjukkan 33,3% untuk
heritabilitas transgender MTF dan 22,9% untuk FTM, yang menunjukkan tingkat
keturunan DNA yang sedang bagi identitas gender jika dibandingkan dengan
estimasi umum populasi transgender sebesar 0,1% dari populasi dunia untuk MTF
dan 0,05% untuk FTM (Thomas E. Bevan, The Psychobiology of Transsexualism
and Transgenderism, 2014, hlm. 83). Ada korelasi tingkat medium di antara
identitas gender dan genetika, terutama jika mengingat kelangkaan pasangan
kembar MZ transgender dan kemungkinan keengganan mereka untuk menyatakan
identitas transgendernya. Statistik ini masih tidak begitu tinggi apabila dibanding
dengan statistik heritabilitas ciri-ciri lain dalam studi kembar (ciri ketinggian
dibagi antara 60-80% pasangan kembar) jadi sangatlah mungkin bahwa identitas
gender tidak sepenuhnya diakibatkan oleh DNA. Masih ada “ruang” untuk
faktor-faktor lain selain genetika, misalnya faktor epigenetika. Selain itu, ciri
transgender MTF tampaknya lebih kuat terpengaruh oleh genetika daripada ciri
transgender FTM karena 33,3% kembar MZ pria transisi menjadi wanita,
sedangkan hanya 22,9% kembar MZ wanita transisi menjadi pria.
Meskipun hasil risetnya tampak lumayan konkret, harus diingat bahwa
hasil studi Diamond bukanlah representasi sempurna dari keturunan dan genetika
identitas gender, dan statistik aktual tentang seberapa banyak saudara kembar
berbagi identitas transgender mungkin menyimpang dari datanya. Bahkan jika
identitas gender hampir seluruhnya bersifat genetik, itu tidak menjamin bahwa
100% kembar MZ akan memiliki identitas yang sama karena pada saat mereka
dilahirkan, DNA mereka dan ekspresi DNA mereka biasanya cukup berbeda
akibat mutasi genetik serta mekanisme epigenetik yang memungkinkan ciri-ciri
yang agak berbeda antara kedua kembar (Thomas E. Bevan, The Psychobiology
of Transsexualism and Transgenderism, 2014, hlm. 81). Selain itu, Diamond tidak
mungkin tahu apabila ada kembar yang sebenarnya transgender tapi tidak ingin
mengakuinya. Hasil penelitiannya tidak memperhitungkan transeksual yang tidak
pernah mencari bantuan profesional dan oleh karena itu tidak dihitung dalam studi
klinis karena keengganan mereka untuk melaporkan informasi transgender tentang
diri mereka dan keluarga mereka. Data yang penulis ambil dari penelitiannya juga

19
hanya melibatkan orang transeksual (orang transgender yang secara spesifik
mencari transisi ke jenis kelamin lain, misalnya melalui proses terapi hormon atau
operasi penggantian kelamin), bukan orang transgender secara keseluruhan.

3.1.1.2 Sifat Kidal


Dari hasil studi kembar bisa dilihat bahwa genetika bukan satu-satunya
sifat biologis yang dapat memengaruhi identitas gender dan transgenderisme,
sebab statistik konkordansi identitas transeksual antara kembar menunjukkan
bahwa genetika hanya berkorelasi tingkat medium dengan identitas gender. Oleh
karena itu, ada kemungkinan besar bahwa faktor-faktor lain selain genetika juga
berperan dalam identitas gender dan transgenderisme. Salah satu cara untuk
mengeksplorasi faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan perubahan identitas
gender adalah dengan menemukan fenomena biologis lain yang lebih dalam yang
terjadi bersamaan dengan transgenderisme, dan dengan melihat faktor penyebab
apa yang terlibat dengan fenomena tersebut. (Sementara seseorang dapat saja
mencari fenomena yang terjadi bersamaan dengan identitas gender secara umum,
transgenderisme dapat mengisolasi secara lebih sempit pengaruh faktor tersebut
terhadap perubahan identitas gender saja, karena identitas gender orang
transgender lebih jelas tidak selaras dengan bagian tubuh lainnya.)
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa orang transgender dan/atau
orang dengan gangguan identitas gender (GID) lebih cenderung kidal (pengguna
tangan kiri) dibanding dengan orang cisgender dan juga dengan populasi dunia
secara umum. Satu studi telah mengumpulkan dan membandingkan data hasil dari
sejumlah penelitian sebelumnya mengenai hal ini dalam satu meta-analisis:
Artikel : “Handedness in Boys with Gender Identity Disorder”
Jurnal : Journal of Child Psychology and Psychiatry
Tanggal : Maret 2001
Penulis : Kenneth J. Zucker dkk.
Dalam artikel tersebut, Zucker dkk. meninjau berbagai studi sebelumnya
yang berkaitan dengan sifat kidal dalam transeksual. Mereka menemukan bahwa
orang transeksual mempunyai kemungkinan signifikan lebih besar untuk menjadi

20
kidal dibandingkan dengan sampel kontrol, dan juga dibandingkan dengan tiga
penelitian preferensi tangan dalam populasi umum non-transeksual. Penulis
mengutip rincian hasil data dari setiap penelitian yang mereka membandingkan.

Tabel 3.1.1.2.(1) Preferensi penggunaan tangan pada wanita dewasa dengan


gangguan identitas gender (transeksual FTM)
(NA: Tidak dinilai; ND: Tidak ada data)

Tabel 3.1.1.2.(2) Preferensi penggunaan tangan pada pria dewasa dengan


gangguan identitas gender (transeksual MTF)
(NA: Tidak dinilai; ND: Tidak ada data)

21
Tabel 3.1.1.2(1) dan (2) menunjukkan data mengenai preferensi penggunaan
tangan pada pria dan wanita dewasa dengan GID (“Patients”), serta data
preferensi tangan dalam beberapa sampel kontrol (“Controls”) menurut hasil
penelitian Zucker dkk. pada tahun 2001. (Pada waktu itu tanda-tanda
transgenderisme masih diklasifikasi sebagai GID dalam DSM-4, tetapi sekarang
GID sudah diubah menjadi disforia gender dalam DSM-5). Anak-anak yang
memenuhi kriteria diagnostik DSM-4 untuk GID menampilkan serangkaian
perilaku yang menunjukkan bahwa mereka mengidentifikasi diri sebagai lawan
gender, maka mereka sangat mirip dengan orang transgender.
Dalam Tabel 3.1.1.2.(1) dan (2), jumlah serta persentase orang yang lebih
suka menggunakan tangan kanan dicatat dalam kolom “Right-handed”, yang
lebih suka menggunakan tangan kiri dalam kolom “Left-handed”, dan yang
mempunyai preferensi untuk kedua tangan dalam kolom “Mixed”. Semua lima
penelitian dalam Tabel 3.1.1.2.(1) menunjukkan pola konsisten yaitu peningkatan
prevalensi sifat kidal dalam wanita dewasa dengan GID dibandingkan dengan
yang dalam subjek kontrol. Dari enam sampel pria dewasa dengan GID dalam
Tabel 3.1.1.2.(2), empat sampel mempunyai peningkatan tingkat kidal
dibandingkan dengan kontrol masing-masing. Penelitian Cohen-Kettenis dkk.
tidak memiliki data dari sampel kontrol, sedangkan penelitian Slabbekoorn dkk.
adalah satu-satunya penelitian dengan tingkat kidal dalam pria dengan GID yang
lebih rendah dari yang dalam sampel kontrol mereka. Hasil data Slabbekoorn dkk.
yang unik ini mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa hanya penelitian
mereka di Tabel 3.1.1.2.(2) yang menggunakan tidak lain dari pria heteroseksual
sebagai sampel kontrol (lihat tanda d di tabelnya). Meskipun demikian, prevalensi
sifat kidal dalam sampel kontrol Slabbekoorn dkk. (11,6%) tetap mirip dengan
yang dalam sampel-sampel lain. Maka harus diperhatikan juga bahwa
sampel-sampel orang GID punya Slabbekoorn dkk. dan Green & Young hanya
berisi orang homoseksual(e), baik wanita homoseksual di Tabel 3.1.1.2.(1) dan pria
homoseksual di (2). Ini mungkin menjelaskan mengapa prevalensi sifat kidal
dalam orang dengan GID dari kedua penelitian tersebut lebih rendah dibandingkan

22
dengan penelitian-penelitian lainnya; sepertinya tingkat kidal lebih rendah dari
biasa untuk orang homoseksual.
Dalam penelitiannya, Zucker dkk. juga mengumpul data-data preferensi
penggunaan tangan dalam beberapa populasi umum kontrol yang diukur berbagai
penelitian independen. Data tersebut tercantum sebagai berikut.

Tabel 3.1.1.2.(3) Preferensi penggunaan tangan pada pria dan wanita kontrol
dalam tiga studi populasi umum

Apabila data-data dalam Tabel 3.1.1.2.(1) dan (2) dibanding dengan data sifat
kidal pada pria (“Boys”) dan wanita (“Girls”) kontrol dalam Tabel 3.1.1.2.(3),
bisa dilihat bahwa statistik frekuensi sifat kidal dalam subjek-subjek kontrolnya
lumayan lebih rendah dari frekuensi sifat kidal dalam kebanyakan subjek dengan
GID. (Untuk tujuan kesederhanaan, pria dan wanita yang mempunyai preferensi
untuk kedua tangannya (“mixed”) tidak dimasukkan dalam Tabel 3.1.1.2.(3).) Dari
total 14.253 pria kontrol (hasil jumlahan dari ketiga penelitian independennya),
1.683 (11,8%) bersifat kidal, dan dari total 13.916 wanita kontrol (yang juga
merupakan hasil jumlahan), 1.256 (9,0%) bersifat kidal. Jelas bahwa prevalensi
sifat kidal dalam wanita dengan GID yang diperoleh semua penelitian dalam
Tabel 3.1.1.2.(1) (18,2%; 17,6%; 20,5%; 15,1%; dan 11.3%) lebih tinggi
dibandingkan dengan prevalensinya dalam populasi umum wanita kontrol. Bagi
prevalensinya dalam pria dengan GID, hanya yang dari penelitiannya Orlebeke
dkk., Watson & Coren, dan Herman-Jeglinska dkk. yang lebih tinggi dari
prevalensi sifat kidal dalam populasi umum pria kontrol. Tiga studi yang tersisa
dalam Tabel 3.1.1.2.(2) memiliki frekuensi sifat kidal yang lebih rendah dari
frekuensi sifat kidal populasi umum pria. Dalam kasus Slabbekoorn dkk. dan
Green & Young, seperti yang sudah dijelaskan, ini mungkin karena hanyalah

23
penelitian mereka berdua yang hanya memasukkan orang homoseksual dalam
sampel orang GID mereka(e).
Walaupun dilaksanakan terpisah beberapa tahun, ketiga penelitian dalam
Tabel 3.1.1.2.(3) menghasilkan data-data yang tidak terlalu jauh satu sama yang
lain baik untuk sifat kidal pria (10,5–12,7%) maupun wanita (8,7–9,4%),
sedangkan hasil-hasil data dalam Tabel 3.1.1.2.(1) dan (2) jauh lebih bervariasi
satu dengan yang lain. Ini mungkin disebabkan oleh perbedaan antara
metodologi-metodologi yang digunakan untuk memperoleh datanya, dan karena
penelitian-penelitian dalam kedua tabel tersebut mempunyai persyaratan yang
berbeda bagi setiap sampel mereka.
Sebagai kesimpulan, kebanyakan data yang telah dipaparkan menunjukkan
bahwa sifat kidal tampaknya lebih cenderung muncul dalam orang transeksual
dibandingkan dengan orang cisgender biasa. Mungkin ada hubungan antara
preferensi tangan seseorang dan identitas gendernya yang tidak setara dengan seks
biologisnya. Kebanyakan penelitian di Tabel 3.1.1.2(1) dan (2) juga menunjukkan
frekuensi orang transgender yang kidal lebih besar daripada prevalensi sifat kidal
dalam populasi dunia sekarang ini, yang disepakati hanya berjumlah sekitar 10%.
Oleh sebab itu, sifat kidal ini adalah fenomena yang lebih sering terjadi bersamaan
dengan transgenderisme, dan faktor-faktor penyebabnya mungkin bisa memberi
petunjuk akan faktor-faktor yang menyebabkan fenomena transgenderisme. Sifat
kidal tampaknya adalah perilaku yang menandakan proses biologis dasar yang
terkait dengan identitas gender.
Ada beberapa teori lama yang mengatakan bahwa sifat kidal seseorang
mungkin diakibatkan oleh paparan berlebihan terhadap testosteron selama
perkembangan janin, sebagian karena ada lebih banyak pria kidal dibandingkan
dengan wanita (seperti yang bisa dilihat dalam Tabel 3.1.1.2.(3)). Namun, ini
mungkin tidak akurat, sebab penelitian-penelitian menunjukkan bahwa baik
transeksual MTF dan transeksual FTM mempunyai frekuensi sifat kidal yang
lebih tinggi dari biasa dan juga mirip satu dengan yang lain. Apabila sifat kidal
hanya disebabkan oleh testosteron, (dan apabila bisa diasumsi bahwa transeksual
FTM memiliki kadar testosteron yang lebih tinggi daripada transeksual MTF,

24
sebab testosteron biasanya membuat seseorang lebih maskulin), seharusnya
transeksual MTF mempunyai frekuensi sifat kidal yang lebih rendah dari atau
sama dengan populasi umum oleh karena kadar testosteron yang lebih rendah.
Tetapi prevalensi sifat kidal transeksual MTF sebenarnya lebih tinggi daripada
populasi umum (setidaknya menurut 3 dari 6 penelitian dalam Tabel 3.1.1.2.(2))
dan hampir setara dengan dengan prevalensi sifat kidal dalam transeksual FTM.
Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa sifat kidal melibatkan faktor
penyebab genetik dan epigenetik. Ada kemungkinan bahwa preferensi tangan
dipengaruhi oleh gen-gen tertentu, tetapi beberapa penelitian seperti yang
dilakukan Medland dkk. dan McManus telah menemukan bahwa heritabilitas
preferensi tangan hanya sekitar 24% hingga 26%; maka ada kemungkinan besar
mekanisme epigenetik seperti kimia dan hormon juga memainkan peran. Sifat
genetik dan epigenetik bisa bersama-sama memberi dampak terhadap otak dan
sistem saraf untuk membuat seseorang lebih suka menggunakan tangan kiri atau
kanan. Penyebab-penyebab tersebut bisa dikaitkan dengan perilaku transgender,
sebab beberapa ilmuwan berpikir bahwa preferensi tangan mempunyai asal usul
yang mirip dengan transgenderisme. Statistik heritabilitas preferensi tangan yang
tadi disebutkan juga sangat mirip dengan statistik heritabilitas identitas
transeksual (22,9–33,3%) yang dijelaskan di sub-bab 3.1.1.1. Sebagai tambahan,
peningkatan kecenderungan kidal mungkin menunjukkan adanya perubahan
dalam lateralisasi biasa otak, yang berarti ada hubungan potensial antara
transgenderisme dan neuroanatomi.

3.1.2 Pengaruh Penanda Genetik


Penanda genetik adalah gen atau rangkaian pendek DNA yang diketahui
letak fisiknya pada suatu kromosom dan yang membedakan antara sifat tertentu,
dalam hal ini sifat transgender dan non-transgender. Banyak penelitian telah
membandingkan DNA transeksual dan non-transgender untuk mencari anomali
kromosom dan gen penanda yang berkorelasi dengan transgenderisme. Mereka
secara khusus mencari gen penanda yang berkaitan dengan reseptor hormon seks.
Salah satu penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

25
Artikel : “Androgen Receptor Repeat Length Polymorphism Associated
with Male-to-Female Transsexualism”
Jurnal : Biological Psychiatry
Tanggal : Januari 2009
Penulis : Lauren Hare dkk.
Dalam artikel tersebut, para penulis menguji hipotesis bahwa transeksualisme
MTF terkait dengan varian gen yang bertanggung jawab atas feminisasi dan/atau
kurangnya maskulinisasi. Dalam penelitian mereka, mereka menyelidiki
polimorfisme panjangnya pengulangan basa nukleotida dalam gen-gen reseptor
androgen (AR), reseptor estrogen β (ERβ), dan aromatase (CYP19) dalam
beberapa subjek transeksual MTF, dan membandingkannya dengan beberapa
subjek kontrol pria non-transgender. Mereka menyimpulkan bahwa identitas
gender maskulin mungkin sebagian ditentukan oleh gen AR. Penulis mengutip
hasil data mereka untuk dianalisis sendiri.

26
27
Grafik 3.1.2. Persentase transeksual MTF dan subjek kontrol dengan
berbagai jumlah pengulangan basa nukleotida pada gen-gen (A) reseptor
androgen (AR), (B) reseptor estrogen β (ERβ), dan (C) aromatase (CYP19)

Grafik-grafik yang tercantum adalah data hasil penelitian Lauren Hare dkk.
yang mengukur jumlah pengulangan fragmen tertentu dalam tiga gen dari 112
transexual MTF dan 258 subjek kontrol pria non-transgender, yaitu pengulangan
basa trinukleotida CAG di exon 1 gen AR, pengulangan basa CA di intron 5 gen
ERβ, dan pengulangan basa TTTA di intron 4 gen CYP19. Grafik tersebut
menunjukkan total 21 variasi (alel) untuk gen AR, 14 untuk gen ERβ, dan delapan
untuk gen CYP19. Jika dilihat sekilas, Grafik 3.1.2(B) dan (C) tampaknya tidak
menunjukkan perbedaan signifikan antara distribusi alel dalam transeksual MTF
dan subjek kontrol. Namun, di Grafik 3.1.2(A) bisa dilihat bahwa, dibandingkan
dengan subjek kontrol, terdapat persentase transeksual yang cukup lebih besar
untuk 26 dan 28 jumlah pengulangan CAG di gen AR. Rata-rata jumlah
pengulangan CAG juga secara signifikan lebih banyak pada subjek-subjek
transeksual dibandingkan dengan subjek kontrol. Oleh sebab itu, ada hubungan
signifikan antara transgenderisme dan alel AR, dengan transgender MTF memiliki
pengulangan trinukleotida CAG dalam gen AR yang lebih panjang daripada
subjek kontrol pria non-transgender. Gen AR mungkin bisa menjadi salah satu gen
penanda untuk transgenderisme.

28
Dalam penelitiannya, Lauren Hare dkk. menggunakan median jumlah
pengulangan basa dalam subjek kontrol untuk ketiga gen sebagai patokan dan
mengklasifikasi jumlah pengulangan yang di bawah patokan sebagai alel
“pendek” dan jumlah pengulangan yang di atasnya sebagai alel “panjang”. (AR:
pendek ≤ 20 ulangan, panjang > 20 ulangan; ERβ: pendek ≤ 22 ulangan, panjang
> 22 ulangan; CYP19: pendek ≤ 7 ulangan, panjang > 7 ulangan). Jumlah
transeksual MTF dan subjek kontrol yang diklasifikasi mempunyai alel pendek
(“short”) atau panjang (“long”) untuk ketiga gen adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1.2. Jumlah transeksual MTF dan subjek kontrol yang diklasifikasi
mempunyai alel pendek atau panjang untuk gen-gen reseptor androgen
(AR), reseptor estrogen β (ERβ), dan aromatase (CYP19)

Tabel yang tercantum menunjukkan distribusi pengulangan basa yang cukup rata
antara subjek transeksual dan kontrol untuk setiap gen. Namun, masih ada korelasi
antara transgenderisme dan jumlah pengulangan trinukleotida dalam gen AR,
walaupun korelasi tersebut mungkin tidak tampak se-signifikan dalam kasus ini,
dengan alel AR panjang yang hanya terjadi pada 7,8% lebih banyak transeksual
daripada subjek kontrol. Ada juga sedikit perbedaan antara persentase transeksual
dan persentase subjek kontrol bagi setiap alel untuk gen ERβ dan CYP19. Maka,
tidak ada asosiasi dengan transgenderisme yang terbukti dalam kepanjangan
pengulangan basa nukleotida untuk kedua gen tersebut. Kendati signifikansi yang
lebih rendah ini, harus diingat bahwa penelitian ini hanya meneliti tiga gen dari

29
puluhan ribuan gen manusia. Genom lengkap manusia masih harus diurutkan dan
diteliti untuk menemukan gen penanda bagi transgenderisme, sebab kondisi
tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa gen lain yang berbeda
selain gen AR. Seseorang dapat mendalilkan bahwa identitas gender tidak
ditentukan oleh satu gen individu saja, tetapi oleh jaringan gen yang saling
berhubungan, sama seperti sifat-sifat kompleks lainnya dalam tubuh. Misalnya,
warna mata melibatkan setidaknya lima gen berbeda yang berkontribusi pada hasil
dalam manusia.
Gen AR memberikan instruksi untuk membuat protein reseptor androgen
(AR), yaitu reseptor yang mengikat pada hormon-hormon androgenik seperti
testosteron. Sebagai sebuah faktor pengaturan transkripsi yang diaktifkan oleh
androgen, AR terlibat dalam diferensiasi seksual di otak. Transgender MTF
sepertinya lebih cenderung memiliki pengulangan CAG yang lebih panjang dalam
gen AR, sebab pengulangan yang lebih panjang tersebut menyebabkan
berkurangnya pengikatan AR ke ko-aktivator transkripsi. Ini mengurangi
transkripsi (dan dengan demikian ekspresi gen) yang seharusnya dihasilkan dari
paparan terhadap androgen, dan ini menurunkan efektivitas pensinyalan
testosteron, sebuah mekanisme yang biasanya terlibat dalam maskulinisasi otak
selama perkembangan awal. Karena sel-sel otak tidak bisa merespon dengan baik
terhadap testosteron, mereka akan mengalami maskulinisasi otak yang tidak
lengkap, dan dengan itu dapat mengakibatkan otak yang lebih serupa wanita dan
identitas gender feminin, meskipun orang transgendernya memiliki tubuh pria.
Selain itu, mutasi dalam gen AR yang meningkatkan jumlah pengulangan
CAG juga berkorelasi secara konsisten dengan sindrom insensitivitas androgen
atau androgen insensitivity syndrome (AIS). AIS adalah suatu kondisi dalam
perkembangan seksual di mana tubuh tidak merespon terhadap androgen selama
perkembangannya. Pada pria 46, XY (pria dengan kariotipe 46 kromosom dan
kromosom seks XY), ini mengakibatkan mereka lahir dengan ciri-ciri organ
reproduktif wanita meskipun mereka memiliki kromosom 46, XY yang biasanya
menghasilkan ciri-ciri kelamin laki-laki. Pengaruh gen AR pada AIS penting
untuk hubungannya dengan transgenderisme karena kebanyakan pria 46, XY

30
dengan AIS tidak melihat diri mereka sebagai laki-laki atau mengekspresikan
perilaku maskulin; prosedur penggantian kelamin sangat jarang terjadi pada kasus
AIS. Ini berarti varian tertentu gen AR tampaknya menghasilkan perilaku yang
lebih feminin untuk mereka, dan ini mendukung penjelasan sebelumnya tentang
bagaimana gen AR memengaruhi maskulinisasi otak. (Ini mengapa AIS tidak
persis sama dengan transgenderisme, sebab ia menyebabkan identitas gender yang
selaras dengan organ seksual biologis dan kategori gender). Maka, dapat
dikatakan bahwa gen AR memengaruhi predisposisi dan identitas gender.
Sudah dijelaskan bahwa sepertinya transgenderisme tidak ada hubungan
dengan gen ERβ dan gen CYP19. Gen ER berisi instruksi untuk pembuatan
reseptor hormon estrogen (ER), sedangkan gen CYP19 berperan dalam pembuatan
aromatase, sebuah enzim yang mengubah testosteron menjadi estradiol (estrogen)
dalam otak untuk menimbulkan maskulinisasi prenatal. (Meskipun estrogen
biasanya memicu perkembangan ciri wanita, sebenarnya estrogen yang
menyebabkan maskulinisasi beberapa bagian di otak. Estrogen tersebut harus
diubah dari testosteron karena hanya testosteron yang dapat masuk ke otak.) Oleh
sebab itu, gen ERβ dan CYP19 mungkin tidak mengalami polimorfisme dalam
transeksual sebab estrogen dan aromatase hanya diperlukan di bagian tertentu di
otak untuk maskulinisasi, maka tidak perlu berubah dengan drastis untuk
mempengaruhi perilaku gender.
Beberapa penelitian lain menemukan gen CYP17 sebagai gen penanda yang
mungkin untuk transgenderisme FTM. Gen tersebut mengekspresikan enzim yang
mengkatalisis dan meningkat produksi berbagai hormon seperti testosteron,
estradiol, dan progesteron. Transgender FTM memiliki pola alel pada gen CYP17
yang sama dengan pria, tetapi berbeda dengan wanita. Ada juga polimorfisme
nukleotida tunggal dalam gen ini yang terasosiasi dengan transeksualisme.
Sebagai tambahan, telah diteliti bahwa gen tersebut mungkin berkontribusi
terhadap sindrom ovarium polikistik atau polycystic ovary syndrome (PCOS) yang
terjadi lebih sering pada transgender FTM daripada subjek kontrol wanita
non-transgender. PCOS terlibat dengan ovarium yang menghasilkan androgen
dalam tingkat tinggi, yang dapat memicu maskulinisasi otak. Mutasi dalam gen

31
CYP17 juga berkorelasi dengan gangguan hiperplasia adrenal kongenital atau
congenital adrenal hyperplasia. Wanita dengan kondisi ini sering terpapar oleh
androgen sebelum lahir dan tampaknya memiliki risiko disforia gender yang jauh
lebih tinggi daripada populasi umum. Ini menunjukkan bahwa ada penanda
genetik yang berbeda-beda untuk transgenderisme MTF dan FTM.

3.1.2.1 Hubungan Penanda Genetik Transgenderisme dengan Sifat Kidal


Sub-bab 3.1.1.2 telah menjelaskan bagaimana sifat kidal lebih cenderung
terjadi bersamaan dengan transgenderisme dibandingkan dengan populasi umum
non-transgender. Oleh karena itu, penyebab biologis perilaku transgender dapat
terkait dengan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap preferensi tangan kiri.
Satu penelitian yang meneliti salah satu faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Artikel : “Opposite Effects of Androgen Receptor CAG Repeat
Length on Increased Risk of Left-Handedness in Males
and Females”
Jurnal : Behavior Genetics
Tanggal : November 2005
Penulis : Sarah E. Medland dkk.
Dalam artikel tersebut, para penulis menjelaskan penelitian mereka yang bertujuan
untuk menentukan apakah kepanjangan pengulangan trinukleotida CAG
berdampak terhadap preferensi tangan. Mengikuti hipotesis bahwa paparan
prenatal terhadap testosteron berkontribusi terhadap lateralitas (dominasi kiri atau
kanan), mereka memeriksa hubungan antara jumlah pengulangan CAG dalam gen
AR dan sifat kidal dalam menulis. Mereka akhirnya menemukan bahwa
kemungkinan kidal meningkat pada individu dengan varian reseptor androgen
yang terkait dengan kadar testosteron yang lebih rendah.
Penelitian ini meneliti sifat kidal dan pengulangan CAG dalam sampel pria
dan sampel wanita. Dari 242 subjek perempuan yang digunakannya, 28 (sekitar
11.6%) adalah kidal; dari 239 subjek laki-laki, 29 (sekitar 12.1%) memiliki sifat
kidal. Preferensi tangan beberapa subjek sudah diketahui dari partisipasi mereka

32
dalam berbagai penelitian sebelumnya, dan para peneliti memperoleh preferensi
tangan subjek yang tersisa lewat kuesioner.

Grafik 3.1.2.1.(1) Persentase subjek wanita kidal (left handers) dan non-kidal
(right handers) untuk berbagai jumlah pengulangan CAG pada gen AR

33
Grafik 3.1.2.1.(2) Persentase subjek pria kidal (left handers) dan non-kidal
(right handers) untuk berbagai jumlah pengulangan CAG pada gen AR

Data yang tercantum menunjukkan prevalensi setiap jumlah pengulangan


CAG (“number of CAG repeats”) dalam subjek kidal dan non-kidal, baik untuk
subjek wanita maupun pria. Bisa dilihat di Grafik 3.1.2.1.(1) bahwa semakin
banyak pengulangan CAG, kurang lebih semakin besar prevalensinya pada subjek
wanita kidal daripada non-kidal. Persentase subjek kidal yang memiliki 22 hingga
27 pengulangan CAG melebihi persentase subjek non-kidal untuk jumlah
pengulangan tersebut. Namun untuk hampir semua jumlah pengulangan di bawah
22, prevalensinya dalam subjek non-kidal melebihi subjek kidal. Rata-rata
panjang pengulangan CAG pada orang kidal (21,82 pengulangan) kira-kira satu
ulangan lebih panjang dari rata-rata yang terlihat pada orang non-kidal (20,53
pengulangan). Maka, sepertinya kemungkinan kidal pada wanita meningkat
dengan peningkatan jumlah pengulangan CAG pada gen AR. Sebaliknya, sampel
pria menunjukkan fenomena yang tampak berlawanan. Di Grafik 3.1.2.1.(2)
persentase subjek kidal yang memiliki jumlah pengulangan CAG lebih banyak
kelihatan lebih kecil dibandingkan dengan persentase dalam Grafik sebelumnya.

34
Persentase subjek non-kidal yang memiliki 23 hingga 29 pengulangan CAG
kebanyakan melebihi persentase subjek kidal. Rata-rata panjang pengulangan
CAG pada subjek laki-laki kidal (19,59 pengulangan) kira-kira satu ulangan lebih
pendek dibandingkan dengan rata-rata untuk orang non-kidal (20,83
pengulangan). Bertentangan dengan pola hasil yang diamati pada sampel wanita,
pada subjek laki-laki risiko kidal menurun seiring dengan peningkatan jumlah
pengulangan CAG. Oleh sebab itu, dari kedua sampel ini bisa disimpulkan bahwa
probabilitas kidal dalam baik pria maupun wanita terkait dengan kepanjangan
pengulangan CAG dalam gen AR. Ini berarti gen tersebut merupakan sebuah gen
penanda untuk sifat kidal.
Reseptor androgen telah terbukti mempengaruhi testosteron untuk
melindungi saraf pada jaringan otak janin manusia. Oleh karena itu, apabila
seseorang mempunyai alel gen AR dengan banyak pengulangan CAG, efektivitas
reseptor androgen dia akan berkurang, dan otak dia akan memiliki lebih sedikit
perlindungan dari testosteron saat perkembangan dalam rahim. Paparan prenatal
terhadap testosteron yang lebih besar ini dapat mempengaruhi kematian sel di
otaknya, yang mungkin dapat mengakibatkan penurunan lateralisasi fungsional
sehingga menyebabkan sifat kidal.
Selain itu, kepanjangan pengulangan CAG di gen AR berkorelasi positif
dengan kadar testosteron pada pria, dan berkorelasi negatif pada wanita. Penelitian
Sarah Medland dkk. sudah menemukan kemungkinan kidal yang lebih besar pada
wanita dengan jumlah pengulangan lebih banyak dan pada pria dengan jumlah
pengulangan yang lebih sedikit. Oleh sebab ini, dalam kedua kasus, sifat kidal
cenderung terjadi lebih banyak dalam kondisi kadar testosteron yang lebih rendah.
Penemuan penelitian ini juga tampaknya semakin mengaitkan sifat kidal dengan
transgenderisme, sebab baik sifat kidal dalam wanita cisgender maupun
transgender MTF tampaknya terpengaruh oleh pengulangan CAG yang lebih
panjang (seperti yang dianalisis tadi di sub-bab 3.1.2; sifat ini juga menunjukkan
bagaimana transgender MTF lebih serupa wanita daripada pria). Maka wajarlah
apabila kedua fenomena tersebut sering sering terjadi bersamaan dalam seseorang
(lihat sub-bab 3.1.1.2). Dan karena jumlah pengulangan CAG yang lebih banyak

35
mengakibatkan berkurangnya testosteron dalam wanita, sifat tersebut sangat
mungkin berkontribusi terhadap kurangnya maskulinisasi dalam transgender MTF
yang mengakibatkan perkembangan identitas gender feminin mereka. Harus juga
diperhatikan bahwa, karena sifat kidal tampaknya berkorelasi dengan
transgenderisme, dan karena sifat kidal dalam wanita terpengaruh oleh gen
penanda spesifik yang juga terasosiasi dengan transgenderisme, ini mendukung
dengan semakin kuat bahwa transgenderisme terdampak oleh faktor biologis yaitu
gen AR.

3.1.3 Pengaruh Paparan Obat Prenatal


Epigenom adalah pengumpulan penanda kimia pada DNA yang
memengaruhi seberapa banyak suatu gen akan diekspresikan. Salah satu cara yang
dapat memengaruhi efeknya epigenom terhadap sifat-sifat biologis adalah dengan
memaparkannya terhadap obat-obatan dan bahan kimia lainnya yang dapat
mengubah bagaimana epigenom tersebut meregulasi ekspresi gen. Pengaruh
mekanisme-mekanisme epigenetik seperti ini telah diselidiki oleh beberapa
penelitian, misalnya:
Artikel : “Prenatal Exposure to Anticonvulsants and Psychosexual
Development”
Jurnal : Archives of Sexual Behavior
Tanggal : Maret 1999
Penulis : Arianne B. Dessens dkk.
Dalam artikel ini, para penulis menjelaskan penelitian mereka tentang
dampak obat-obat antiepilepsi (antiepileptic drugs atau AED) terhadap
perkembangan dan diferensiasi psikoseksual. Mereka meneliti perilaku gender
sejumlah subjek yang ibu mereka telah mengonsumsi obat-obat antikonvulsan
fenobarbital dan/atau fenitoin saat hamil, dan mereka membandingkan
subjek-subjek tersebut dengan beberapa subjek kontrol yang tidak mengalami
paparan AED.
Dari 147 subjek (72 laki-laki dan 75 perempuan) yang digunakan penelitian
ini, hanya tiga yang akhirnya menjadi transeksual dan menjalani operasi

36
penggantian jenis kelamin (satu MTF dan dua FTM). Ini berarti sekitar 2.0% dari
subjek yang mengalami paparan AED prenatal menunjukkan perilaku transgender.
Ketika dibandingkan dengan frekuensi populasi transgender yang digunakan
Arianne Dessens dkk. pada saat itu, yaitu 0.0084% untuk transeksual MTF dan
0.033% untuk transeksual FTM, mereka bilang statistik ini cukup tinggi dan
membuktikan hubungan antara AED dan sikap transgender. Mereka mungkin akan
mendapat kesimpulan yang mirip apabila statistik ini dibandingkan juga dengan
estimasi populasi orang transgender terbaru, yaitu kurang lebih 0.355% dari
populasi dewasa dunia (lihat Bab 1). Meskipun demikian, statistik 2.0% ini
tampaknya masih kurang signifikan dan terlalu rendah untuk menunjukkan
korelasi yang pasti antara paparan AED prenatal dan transgenderisme, apalagi jika
dipertimbangkan betapa terbatasnya ukuran sampel penelitian ini dibandingkan
dengan populasi dunia. Sebagai kelompok, subjek yang terpapar AED dan subjek
kontrol tidak berbeda dalam hal perilaku gender, meskipun ada lebih banyak
subjek terpapar melaporkan perilaku disonansi atau disforia gender.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa AED, termasuk dua obat
yang digunakan Arianne Dessens dkk., memberi dampak epigenetik terhadap
mutasi dan perubahan ekspresi DNA. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
paparan prenatal terhadap AED fenobarbital dan fenitoin mengubah kadar hormon
steroid yang mengakibatkan gangguan diferensiasi seksual. AED mampu memicu
kematian sel saraf di otak selama periode prenatal ketika jumlah neuron biasanya
meningkat. Ini berarti mereka mungkin dapat mengganggu diferensiasi seksual
otak dan menyebabkan seseorang mengembangkan identitas gender yang
bertentangan dengan seks biologis mereka. Namun, saat ini data masih belum
cukup untuk membuktikan apakah efek AED ini benar-benar menyebabkan
transgenderisme.
Selain AED, selama bertahun-tahun, para peneliti dan spesialis kesehatan
masyarakat telah menilai bagaimana kesehatan manusia terdampak oleh paparan
prenatal terhadap diethylstilbestrol (DES). DES adalah sebuah obat estrogenik
yang diresepkan di Amerika Serikat dan negara-negara lain untuk mencegah
keguguran dan komplikasi kehamilan lainnya dan untuk terapi penggantian

37
estrogen dari 1941 hingga 1971. DES diresepkan untuk wanita hamil sampai
ditemukan setelah beberapa kecelakaan farmasi bahwa ia memiliki efek
teratogenik (misalnya, malformasi penis) dan mutagenik (misalnya, kanker
wanita) pada anak-anak yang sedang berkembang. Ketika efek DES yang
merugikan ini disadari, beberapa studi epidemiologi dilakukan untuk
mengidentifikasi efeknya dan membuat daftar sehingga mereka yang terpapar
dapat dilacak untuk masalah kesehatan di masa depan. Salah satu studi tersebut
adalah sebagai berikut:
Artikel : “Prenatal Exposure to Diethylstilbestrol (DES) in Males and
Gender-Related Disorders: Results from a 5-Year Study”
Jurnal : International Behavioral Development Symposium
Tanggal : Juli 2005
Penulis : Scott P. Kerlin
Dalam artikel ini, Kerlin menjelaskan hasil awal dari penelitian yang beliau
lakukan selama lima tahun melalui survei daring untuk lebih dari 500 pria yang
telah terpapar DES ketika masih dalam kandungan. Beliau mendokumentasi
adanya gangguan identitas gender dan transgenderisme MTF dari subjek-subjek
“putra DES” tersebut. Kerlin juga mengulas literatur yang telah diterbitkan yang
membahas efek samping dari paparan prenatal DES dalam anak laki-laki.
Dari sampel sekitar 500 individu yang berpartisipasi dalam penelitian ini,
300 putra DES (60%) terkonfirmasi dan 200 putra (40%) sangat dicurigai telah
mengalami eksposur prenatal terhadap DES. Data yang diperoleh dari sampel
tersebut adalah sebagai berikut:

Jumlah Total % dari


Masalah kesehatan yang dilaporkan putra DES
Putra DES* Sampel

Disforia Gender atau masalah lainnya identitas gender 150+ 30%

Depresi mayor dan/atau gangguan kecemasan 100+ 20%

Hipogonadisme atau gangguan hormon lainnya 75 15%

Infertilitas 30 6%

38
Kanker testis 7 1.4%
Tabel 3.1.3.(1) Frekuensi laporan berbagai masalah kesehatan dan medis
oleh 500 pria yang mengalami paparan prenatal terhadap diethylstilbestrol
(DES)
* Baik yang dikonfirmasi maupun dicurigai paparannya terhadap DES

Tabal yang tercantum merupakan ringkasan hasil penelitian Scott Kerlin. Bisa
dilihat bahwa tiga masalah kesehatan yang paling sering dilaporkan oleh para
subjek adalah yang berhubungan dengan identitas gender, gangguan psikologis
atau mental (terutama depresi dan kecemasan), dan masalah hormon atau
endokrin.
Sekitar 158 subjek dari 500 putra DES menyebut diri mereka transgender
dan menunjukkan sikap transgender. Seratus lima-puluh delapan subjek tersebut
selanjutnya dibagi berdasarkan kondisi gender tertentu yang mereka alami:

Tingkat Kepastian
Kondisi Terkait dengan Gender Jumlah Putra DES
Paparan DES

Transeksualisme MTF 54

Transgenderisme MTF 26
Dikonfirmasi
Disforia gender 10

Interseks 3

Transeksualisme MTF 36

Transgenderisme MTF 22
Sangat dicurigai
Disforia gender 7

Interseks 0
Tabel 3.1.2.(2) Prevalensi transexualisme, transgenderisme, disforia gender,
dan interseks di antara pria yang dikonfirmasi dan dicurigai telah
mengalami paparan prenatal terhadap diethylstilbestrol (DES)

Jika para subjek yang dikonfirmasi dan yang dicurigai dalam Tabel 3.1.2.(2)
digabung untuk setiap kondisi gender, ada total 90 transeksual MTF (baik yang
sudah maupun yang belum menjalani operasi penggantian jenis kelamin), 48

39
transgender MTF, dan 17 responden disforik gender. Dengan total lebih dari 30%
putra DES yang mengalami perilaku transgender (Tabel 3.1.2.(1)), sepertinya ada
korelasi cukup kuat antara transgenderisme dan paparan DES prenatal, korelasi
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan AED. Ini berarti identitas gender
seseorang dipengaruhi oleh eksposur prenatalnya terhadap obat-obat tertentu
(sepertinya pada tingkatan berbeda-beda, tergantung jenis obatnya), sebab obat
tersebut mampu menyebabkan perubahan epigenetik dalamnya. Namun, meskipun
signifikan, statistik 30% ini masih tidak terlalu tinggi dan kurang dari setengah
sampel putra DES. Ini mengkonfirmasi bahwa mekanisme epigenetika yang
dipicu paparan obat prenatal hanya berkontribusi sebagian terhadap
transgenderisme; masih ada “ruang” untuk faktor-faktor genetik (lihat sub-bab
3.1.1.1). Sebagai tambahan, Tabel 3.1.2.(2) juga menunjukkan bahwa kebanyakan
putra DES dalam penelitiannya dengan masalah identitas gender adalah
transeksual. Ini tampak dikarenakan intensitas sikap transgender yang diakibatkan
DES cukup tinggi sehingga sebagian besar putra DES tersebut sudah “resmi”
bertransisi ke jenis kelamin lawannya. Akhirnya, harus diingat bahwa ini semua
hanya merupakan penemuan pada pria yang terekspos DES dalam rahim dan tidak
tentu berlaku untuk wanita. Untuk wanita yang mengalami paparan prenatal
terhadap DES, penelitian lain menemukan bahwa tidak ada efek transgenderisme
atau transeksualisme FTM dari DES.
Menurut Tabel 2.1.2.(1), lebih dari 20% dari putra DES juga melaporkan
telah menderita gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, dan gangguan
makan. Fakta bahwa depresi dan kecemasan juga terdampak oleh paparan DES
semakin mendukung kemungkinan bahwa DES mampu mempengaruhi otak
seseorang sehingga mengubah perilakunya, apabila dilihat dari perspektif teori
psikologi biologis. Ini mungkin menunjukkan juga korelasi antara
transgenderisme dan gangguan psikologis (meskipun korelasinya lemah, sebab
datanya tidak menyebutkan ada tumpang tindih antara statistik keduanya). Karena
lebih banyak putra DES yang mengalami disforia gender daripada yang
mengalami depresi dan kecemasan, gangguan gender tersebut tampaknya bisa

40
(tetapi tidak selalu) memicu gangguan psikologis, sepertinya melalui penindasan
dan isolasi yang dialami orang transgender.
Selain itu, 75 dari 500 putra DES (15%) mengalami gangguan yang terkait
dengan hormon dan sistem endokrin, terutama hipogonadisme. Hipogonadisme
adalah kondisi yang menyebabkan berkurangnya aktivitas fungsional
gonad—testis atau ovarium—yang dapat mengakibatkan penurunan produksi
hormon seks seperti androgen dan estrogen. Obat DES mungkin dapat merubah
struktur kimia epigenom dalam seseorang sehingga ekspresi gen dalam kelenjar
gonadnya menjadi cacat dan tidak mampu memicu gonad tersebut untuk
menghasilkan hormon seks dalam kadar yang cukup. Ini bisa mempengaruhi
diferensiasi seksual dalam otak dan tubuh, dan dengan demikian berdampak
terhadap identitas gender.
Ada jumlah kecil putra DES yang melaporkan bermacam-macam masalah
kesehatan lainnya, seperti infertilitas, gangguan saluran reproduksi (termasuk
laporan alat kelamin yang ambigu atau kurang terkembang), kista epididimis,
kriptorkismus, hipospadia, ginekomastia, dan disfungsi ereksi. Namun, fenomena
tersebut ditemukan lebih jarang dalam laporan kesehatan secara keseluruhan yang
diberi responden penelitiannya. Semua kondisi kesehatan yang disebutkan
berhubungan dengan sistem reproduksi, maka bisa disimpulkan bahwa DES
tampaknya sedikit mempengaruhi perkembangan organ serta fungsi reproduktif
dalam janin.
DES sekarang dikenal sebagai bahan kimia beracun yang mengganggu
sistem endokrin. Ia merupakan salah satu dari sejumlah zat yang mengganggu
produksi, transmisi, dan penerimaan hormon sehingga dapat menyebabkan kanker,
cacat lahir, dan masalah perkembangan lainnya. Efek DES paling berat bila
eksposur terhadapnya terjadi selama perkembangan janin. Hormon biasanya
memiliki fungsi untuk mengubah ekspresi gen sel-sel tertentu untuk menghasilkan
efek yang diinginkan. Maka, kadar atau jenis hormon yang tidak biasa akan
menghasilkan ekspresi gen yang juga abnormal, dan dengan demikian
mempengaruhi perkembangan biologis seseorang secara epigenetik. DES dibuat
sebagai bentuk estrogen sintetis dan nonsteroid, dan bentuk molekulnya mirip

41
dengan hormon estrogen. Maka, mungkin bisa dianggap bahwa DES
mempengaruhi otak janin untuk mengembangkan lebih banyak ciri wanita (tidak
seperti estrogen endogen, DES dapat dengan bebas masuk ke otak dari aliran
darah tanpa harus diubah terlebih dahulu menjadi testosteron). Namun, bahan
kimia tersebut berperilaku jauh berbeda dari estrogen dan memiliki beberapa efek
non-estrogen yang berbahaya. Ia tidak berfungsi normal secara fisiologis
dibandingkan dengan hormon-hormon endogen, dan bahkan tidak mengikat pada
reseptor estrogen. Melainkan, DES tampaknya berkontribusi terhadap
transgenderisme MTF dengan menghambat interaksi antara hipotalamus,
hipofisis, dan kelenjar gonad (hypothalamic-pituitary-gonadal (HPG) axis).
Hipotalamus menghasilkan hormon pelepas gonadotropin (GnRH) yang memicu
hipofisis anterior untuk membuat dan mengirim hormon luteinizing (LH) dan
hormon perangsang folikel (FSH) ke gonad, memberi sinyal pada gonad untuk
menghasilkan hormon seks. DES dapat mempengaruhi ekspresi DNA untuk
menghambat produksi dari salah satu hormon tersebut ataupun reseptor yang
menerimanya, sehingga menghalangi sintesis testosteron di testis. Ini
mengakibatkan otak janin untuk berkembang menjadi lebih serupa wanita
meskipun ia memiliki alat kelamin pria.
Manusia berpotensi terpapar terhadap DES melalui rantai makanan, sebab
obat tersebut sering ditambahkan ke pakan ternak dan diterapkan pada unggas
selama periode tahun 1954 hingga 1972. Maka apabila ibu hamil mengonsumsi
makanan dari sumber-sumber tersebut, bayinya yang belum lahir mungkin
mengalami eksposur terhadap DES juga. Selain itu, efek mutagenik DES mampu
melampaui generasi. DES yang dikonsumsi seseorang terbukti memiliki efek
bahkan pada cucu-cucunya, meningkatkan kerentanan terhadap cacat lahir hingga
generasi ke-tiga. Oleh sebab itu, seseorang yang transgender pada saat ini bisa saja
sedang mengalami dampak epigenetik dari DES dalam makanan yang dikonsumsi
oleh kakek neneknya bertahun-tahun lalu.
Penelitian yang dilaksanakan Scott Kerlin menunjukkan hasil yang
signifikan dari sampel yang cukup besar. Namun harus diperhatikan bahwa ukuran
sampelnya (sekitar 500 putra DES) sebenarnya kecil jika dibandingkan dengan

42
jumlah total orang yang mengalami paparan DES prenatal, yaitu satu hingga tiga
juta orang menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for
Disease Control and Prevention atau CDC). Luasnya jangkauan eksposur
potensial pada anak laki-laki membuat analisis statistik paparan terhadap DES
lebih sulit. Sampel yang digunakan Kerlin mungkin juga bias dan karena putra
DES dengan masalah kesehatan mungkin lebih tertarik ke situs web dan surveinya
daripada putra DES tanpa masalah medis. Oleh karena itu, penelitiannya mungkin
memiliki konsentrasi orang transgender yang lebih besar daripada populasi putra
DES yang sebenarnya. Pada akhirnya, untuk sementara interpretasi dari semua
studi AED dan DES terbatas karena kurangnya pengendalian dan/atau
pengetahuan tentang dosis obat aktual yang diterima sebelum lahir dan berapa
banyak orang yang benar-benar terpapar

3.1.3.1 Hubungan Paparan Obat Prenatal terhadap Sifat Kidal


Menurut data dan analisis pada sub-bab 3.1.1.2, orang transgender lebih
cenderung kidal daripada orang non-transgender. Prevalensi sifat kidal dalam
berbagai sampel transeksual secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan
populasi umum. Maka, penyebab biologis perilaku transgender dapat terkait
dengan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap sifat kidal. Karena heritabilitas
preferensi tangan ditemukan hanya sekitar 24% sampai 26%, genetika tidak
mungkin merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhinya. Sepertinya ada
mekanisme epigenetik di baliknya juga, misalnya melalui zat kimia yang
mempengaruhi perkembangan janin dalam rahim. Satu penelitian menemukan
bahwa sifat kidal berkorelasi dengan DES, obat anti-keguguran yang dijelaskan
berkontribusi terhadap transgenderisme di sub-bab 3.1.3 sebelumnya. Penelitian
tersebut adalah sebagai berikut:
Artikel : “Psychosexual Characteristics of Men and Women
Exposed Prenatally to Diethylstilbestrol”
Jurnal : Epidemiology
Tanggal : Maret 2003
Penulis : Linda Titus-Ernstoff dkk.

43
Dalam artikel tersebut, para penulis menyampaikan hasil penelitian mereka
mengenai paparan prenatal terhadap DES dan efek-efeknya yang mungkin terjadi
pada karakteristik psikoseksual. Dalam sampel yang terdiri dari 2.684 pria dan
5.686 wanita dengan status eksposur DES yang terdokumentasi, mereka
mengevaluasi paparan DES dan hubungannya dengan berbagai perilaku
psikoseksual, salah satunya preferensi tangan.

Tabel 3.1.3.1. Distribusi preferensi penggunaan tangan pada wanita dan pria
yang mengalami atau tidak mengalami paparan prenatal terhadap
diethylstilbestrol (DES)

Data yang tercantum merupakan sebagian hasil dari penelitian Linda


Titus-Ernstoff dkk. Data tersebut menunjukkan jumlah dan persentase dari sampel
pria (“Men”) dan wanita (“Women”) yang memiliki preferensi tangan kanan
(“Right”), tangan kiri (“Left”), atau kedua-duanya (“Ambidextrous”), baik untuk
yang terekspos (“DES-Exposed”) maupun tidak terekspos (“Unexposed”)
terhadap DES sebelum lahir. Tabelnya menunjukkan bahwa, dari sampelnya,
3.946 wanita dan 1.342 pria mengalami paparan DES prenatal, sedangkan 1.740
wanita dan 1.342 pria tidak mengalaminya. Untuk subjek wanita, 424 individu
(10.7%) yang terekspos DES adalah kidal, dan 195 individu (11.2%) yang tidak
terekspos adalah kidal. Maka, prevalensi sifat kidal dalam wanita relatif sama

44
untuk yang terpapar maupun yang tidak terpapar DES. Namun, dari sampel pria
ada 192 subjek (14.3%) kidal untuk yang terekspos dan 149 subjek (11.1%) kidal
yang tidak terekspos. Sepertinya proporsi pria terekspos DES yang kidal dan
ambidextrous sedikit lebih besar daripada pria tidak terekspos; prevalensi sifat
kidal sekitar 3.2% lebih besar dalam yang terekspos dibandingkan dengan yang
tidak terekspos. Oleh sebab itu, paparan prenatal epigenetik terhadap DES
tampaknya meningkatkan sedikit sifat kidal pada pria, meskipun tidak secara
drastis; dan tidak ada indikasi signifikan bahwa DES mempengaruhi sifat kidal
pada wanita. Ini mirip dengan bagaimana hanya pria yang terekspos DES
menunjukkan sikap transgenderisme, sedangkan wanita yang terekspos tidak
berperilaku transgender (lihat sub-bab 3.1.3).
Harus diperhatikan, namun, bahwa kuesioner yang digunakan penelitian
ini menentukan preferensi tangan setiap subjek hanya berdasarkan tangan yang
digunakan untuk menulis. Kegiatan menulis saja tidak sepenuhnya menunjukkan
preferensi tangan seseorang, dan ada berbagai aktivitas lain yang membantu
mengindikasi sifat kidal, maka metode ini bisa kurang akurat. Satu penelitian lain
menggunakan metode yang lebih sensitif untuk mengukur sifat kidal:
Artikel : “Handedness in Women with Intrauterine Exposure to
Diethylstilbestrol”
Jurnal : Neuropsychologia
Tanggal : Mei 1994
Penulis : Steven C. Schachter
Artikel ini merupakan penjelasan dari penelitian Steven Schachter mengenai
hubungan antara preferensi tangan wanita dan paparan intrauterin terhadap DES.
Untuk menentukan preferensi tangan subjeknya, penelitian ini menggunakan
formulir yang berisi The Edinburgh Handedness Inventory (EHI). EHI adalah
sebuah skala buatan R. C. Oldfield yang mengukur preferensi tangan seseorang
dalam sejumlah kegiatan berbeda-beda dan memberikan nilai tertentu untuk
preferensi tersebut. Schachter membandingkan nilai preferensi tangan antara
wanita yang terekspos DES dan wanita yang tidak terekspos dan menemukan
bahwa sifat kidal lebih sering muncul dalam wanita yang terekspos.

45
Satu penjelasan akan mengapa DES dapat mempengaruhi preferensi
tangan adalah bahwa paparan prenatal terhadap obat tersebut mengganggu proses
normal lateralisasi serebral. Penelitian pada hewan di laboratorium telah
menunjukkan bahwa organisasi dan asimetri hemisfer otak, yang memengaruhi
lateralitas, mungkin dipengaruhi oleh paparan prenatal terhadap hormon.
Pemberian androgen pada tikus sebelum ia lahir dapat membalikkan lateralitas
yang biasa pada tikus betina dan membuatnya lebih seperti jantan. Maka, DES
mungkin memainkan peran yang mirip dengan androgen ini dan mengganggu
diferensiasi seksual perkembangan otak janin (yang kemudian berdampak
terhadap lateralisasi otak), sebab ia mempunyai struktur mirip estrogen, dan
estrogen menyebabkan maskulinisasi beberapa bagian otak. Di sisi lain, frekuensi
sifat kidal bisa saja meningkat dalam subjek yang terekspos DES karena ibu hamil
biasanya menggunakan DES apabila mengalami komplikasi kehamilan, dan
komplikasi medis selama kehamilan atau kelahiran biasanya berkorelasi dengan
sifat kidal. Namun, subjek dalam penelitian Linda Titus-Ernstoff dkk. kebanyakan
terekspos DES karena ibu mereka terpapar DES melalui partisipasi dalam uji
klinis, terlepas dari komplikasi kehamilan.
Akhirnya, penemuan bahwa orang yang terpapar DES mempunyai
kemungkinan lebih besar untuk kidal semakin mengaitkan sifat kidal dengan
transgenderisme, sebab ini berarti kedua fenomena tersebut tampaknya
terpengaruh oleh eksposur DES. Mirip dengan argumen dari sub-bab 3.1.2.1,
karena sifat kidal cenderung terjadi bersamaan dengan transgenderisme, dan
karena sifat kidal terpengaruh oleh obat spesifik yang juga terasosiasi dengan
transgenderisme, ini mendukung dengan semakin kuat bahwa transgenderisme
terdampak oleh faktor biologis melalui obat tersebut. Oleh sebab ini, bisa
disimpulkan bahwa sifat kidal benar-benar terkait dengan transgenderisme karena
baik faktor genetik maupun epigenetik terlibat dalam keduanya. Keduanya
memiliki gen penanda yang sama yaitu gen AR, dan mereka berdua dipengaruhi
secara epigenetik oleh paparan prenatal terhadap obat yang sama.

46
3.2 Akibat Faktor-faktor Biologis dan Psikologis terhadap Orang Menjadi
Transgender
Untuk meneliti dengan lebih detil proses dan akibat bagaimana faktor
penyebab biologis bisa mempengaruhi seseorang untuk menjadi dan berperilaku
seperti transgender, serta untuk membandingkan faktor-faktor tersebut dengan
dampaknya faktor psikososial, penulis akan menggunakan data primer dan
sekunder dalam karya ilmiah ini. Data primer adalah data yang diperoleh penulis
secara langsung (dari tangan pertama) dan dapat berupa wawancara, angket,
ataupun observasi. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung melalui sumber lain yang sudah dipublikasi, terutama, untuk karya
ilmiah ini, dari jurnal-jurnal ilmiah.

3.2.1 Perubahan Neuroanatomi dan Neurofisiologi


Untuk menyelidiki kemungkinan bahwa transgenderisme merupakan
fenomena biologis, peneliti-peneliti mulai menjalankan berbagai macam
penelitian untuk mencari struktur atau fungsi otak yang berbeda antara orang
transgender dan non-transgender. Karena otak adalah pusat kendali seluruh tubuh
manusia, perbedaan-perbedaan yang ditemukan dapat mengarah ke bagian otak
yang memengaruhi orang untuk bertindak melawan seks biologis dan kategori
peran gender mereka. Sejauh ini, semua penelitian telah dilakukan pada
transeksual dan tidak ada pada orang transgender non-transeksual, sebab para
peneliti menganggap transeksualisme (orang transgender yang secara spesifik
mencari transisi ke jenis kelamin lain) sebagai ekstremnya transgenderisme, dan
dengan demikian berharap untuk perbedaan-perbedaan yang lebih mencolok
antara orang transeksual dan non-transgender.

3.2.1.1 Struktur Bed Nucleus of the Stria Terminalis (BST)


Bed nucleus of the stria terminalis (BST) adalah sebuah struktur dalam
otak yang esensial bagi perilaku seksual. BST terletak di hipotalamus anterior
dekat garis tengah otak, dan terdiri dari banyak badan sel neuron yang
menghubungkan beberapa struktur penting di otak. Struktur tersebut tertanam
dalam sekelompok bundel serabut saraf yang mencakup komisura anterior dan

47
stria terminalis. Bundel serabut saraf (stria terminalis) dari neuron-neuron di BST
menyediakan “jalur transmisi” antar struktur. Serabut saraf komisura anterior
menghubungkan struktur antara dua bagian otak (Thomas E. Bevan, The
Psychobiology of Transsexualism and Transgenderism, 2014, hlm. 166).
BST merupakan struktur otak dimorfik seksual yang diketahui bervariasi
menurut jenis kelamin. Dalam bidang biologi, struktur “dimorfik” berarti struktur
yang mempunyai perbedaan yang mencolok antara pria dan wanita dalam bentuk,
struktur, ukuran, atau suatu kombinasi sifat-sifat ini. Menurut penelitian
Guillamón dkk. pada tahun 1998 dan penelitian Allen dan Gorski pada tahun
2004, BST dipengaruhi oleh kadar testosteron dan bahkan mempunyai konsentrasi
testosteron di beberapa selnya. Testosteron melewati pembatas darah-otak dan
diubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol yang menyebabkan BST dan
struktur-struktur otak lainnya untuk terorganisasi dalam susunan pria. (Thomas E.
Bevan, The Psychobiology of Transsexualism and Transgenderism, 2014, hlm.
167). Karena BST merupakan salah satunya struktur otak yang bersifat dimorfik
seperti ini, beberapa ilmuwan penasaran bagaimana strukturnya dalam otak-otak
orang transgender yang mempunyai seks biologis dan identitas gender yang
berbeda. Salah satu dari mereka menulis artikel sebagai berikut:
Artikel : “A Sex Difference in the Brain and Its Relation to
Transsexuality”
Jurnal : Nature
Tanggal : November 1995
Penulis : Jiang-Ning Zhou dkk.
Dalam artikel tersebut, para penulis menjelaskan penelitian mereka tentang
perbedaan volume bagian pusat BST (yaitu BSTc) antara orang-orang dengan
identitas gender, seks biologis, serta orientasi seksual yang berbeda. Penulis
mengutip gambar-gambar serta grafik yang mereka memperoleh dari pemindaian
otak-otak dari orang tersebut. Penelitian ini adalah penelitian pertama yang
menunjukkan struktur otak wanita dalam wanita MTF.

48
Gambar 3.2.1.1.(1) Bagian perwakilan dari BST yang dipersarafi oleh
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) pada orang-orang dengan seks dan
gender berbeda-beda (LV: Lateral Ventricle; BSTc: BST sentral; BSTm: BST medial)

49
Grafik 3.2.1.1. Volume BSTc yang dipersarafi oleh VIP pada orang-orang
dengan seks dan gender berbeda-beda
(Garis-garis yang berbentuk huruf “I” menunjukkan standard error of the mean (mean ± SEM),
yaitu seberapa jauh data satu sampel mungkin berada dari rata-rata setiap kelompok.)

Foto dan grafik yang tercantum merupakan data-data hasil penelitian BST
yang dilaksanakan oleh Jiang-Ning Zhou dkk. Penelitian tersebut bertujuan untuk
meneliti perbedaan volume bagian pusat BST (BSTc) antara orang-orang dengan
identitas gender, seks biologis, serta orientasi seksual yang berbeda. Ada otak dari
42 subjek yang terbagi menjadi empat kelompok, yaitu pria heteroseksual, wanita
heteroseksual, pria homoseksual, dan transeksual MTF (pria-ke-wanita); mereka
semua diamati postmortem dan mempunyai berat otak yang hampir serupa. Ada
enam otak transeksual MTF dari semua subjek penelitiannya. Otak transeksual
MTF dan otak pria homoseksual dibandingkan dengan otak-otak pria dan wanita
heteroseksual yang dijadikan variabel kontrol atau referensi. BSTc dicirikan oleh
sel-sel somatostatin dan persarafan oleh saraf vasoactive intestinal polypeptide
(VIP), sehingga penelitian ini menentukan volume BSTc dengan mencari dan
mengukur persarafan VIP. Gambar 3.2.1.1.(1) menunjukkan BSTc yang telah

50
diwarnai dan digelapkan oleh solusi anti-VIP sehingga terlihat bercak di foto.
Ukuran volume BSTc rata-rata setiap kelompok adalah sebagai berikut:
1. Pria heteroseksual (“a” di Gambar 3.2.1.1.(1); “M” di Grafik 3.2.1.1):
2,49 ± 0,16 mm3
2. Wanita heteroseksual (“b” di Gambar 3.2.1.1.(1); “F” di Grafik 3.2.1.1):
1,73 ± 0,13 mm3
3. Pria homoseksual (“c” di Gambar 3.2.1.1.(1); “HM” di Grafik 3.2.1.1):
2,81 ± 0,21 mm3
4. Transeksual MTF (“d” di Gambar 3.2.1.1.(1); “TM” di Grafik 3.2.1.1):
1,30 ± 0,23 mm3
Menurut Gambar 3.2.1.1.(1), BSTc di otak manusia tampaknya seperti
acakan atau distribusi sel dan jaringan dalam bentuk kurang-lebih oval. Terlihat
dari fotonya dan perbandingan ukurannya bahwa BSTc punya transeksual MTF
(d; TM) tampak relatif kecil dibandingkan dengan yang pria heteroseksual (a; M)
dan homoseksual (c; HM), tetapi lebih mendekati ukuran BSTc wanita
heteroseksual (b; F). Seberapa tebal dan gelap pewarnaan BSTc di fotonya
menunjukkan mereka seberapa padat atau terkonsentrasi dengan sel. BSTc wanita
heteroseksual tampaknya paling tidak padat, dengan gambar (b) menunjukkan
bercak yang sangat tipis dan hampir tidak membentuk bentuk yang dapat dilihat.
BSTc transeksual MTF adalah yang kedua paling tidak padat, dengan gambar (d)
menunjukkan bercak lebih padat dan bentuknya lebih bulat. BSTc pria
homoseksual lebih padat lagi dan lebih besar (gambar c); dan akhirnya pria
heteroseksual memiliki BSTc terbesar dan terpadat (gambar a). BSTc transeksual
MTF jauh lebih kecil dan kurang padat dibandingkan kedua BSTc
pria—volumenya hanya 52% dari volume yang ditemukan pada laki-laki
heteroseksual dan 46% volume pada laki-laki homoseksual. BSTc transeksual
malah tampak jauh lebih mirip dengan ukuran dan kepadatan BSTc wanita, yang
bisa menjelaskan mengapa transeksual MTF menganggap diri mereka sebagai
perempuan. Meskipun mereka mungkin memiliki tubuh dan jenis kelamin biologis
pria, BSTc mereka lebih seperti wanita, dan ini berkorelasi juga dengan identitas
gender mereka yang feminin.

51
Perlu dicatat bahwa volume BSTc pada pria heteroseksual 44% lebih besar
daripada BSTc pada wanita heteroseksual. Hasil ini mirip dengan penelitian
Guillamon dkk. dan Allen yang menunjukkan bahwa BNST-dpsm jauh lebih besar
dalam otak pria dibandingkan pada wanita. Perbedaan antar-jenis kelamin yang
konsisten ini menunjukkan pola dimorfik seksual antara pria dan wanita. Lagipula,
BST telah terbukti memainkan peran penting dalam perilaku seksual maskulin
tikus dan pelepasan gonadotropin (zat kimia yang mempengaruhi pelepasan
hormon seks), yang menunjukkan bahwa fungsinya berbeda antara jantan dan
betina.
Sub-bab 3.1.2 sudah menjelaskan gen reseptor androgen (AR) sebagai
salah satu gen penanda yang mungkin untuk transgenderisme, sebab
transgenderisme MTF tampak berkorelasi dengan pengulangan trinukleotida CAG
yang lebih panjang dalam gen tersebut. Semakin banyak jumlah pengulangan
CAGnya, semakin berkurang efektivitas AR dalam merespon terhadap androgen.
Reseptor estrogen dan androgen telah ditemukan di BST, yang berarti BST
kemungkinan besar dipengaruhi oleh dimorfisme seksual—tampaknya struktur
tersebut dirancang untuk menerima baik estrogen maupun androgen. Jadi
pengulangan CAG yang lebih panjang dari biasa dalam seorang transgender MTF
mungkin mengakibatkan dia untuk merespon terhadap estrogen lebih banyak
daripada androgen. Ini dapat mempengaruhi BST untuk mengubah bagian lain
otak untuk memiliki ciri-ciri yang lebih serupa wanita daripada pria, sehingga
berpotensi memainkan peran signifikan dalam cara orang memandang diri mereka
sebagai perempuan atau laki-laki. Jika itu benar, bisa dibilang ketidaksepakatan
antara seks biologis dan identitas gender disebabkan oleh perubahan interaksi
antara perkembangan otak dan hormon seks akibat faktor-faktor genetik, yang
membuat otak menerima hormon yang berbeda dari bagian tubuh lainnya.
Buku : “The Psychobiology of Transsexualism and
Transgenderism”
Tahun Terbit : 2014
Penulis : Thomas E. Bevan

52
Buku ini memberikan gambaran singkat tentang pengetahuan ilmiah
terkini terkait transgenderisme dari berbagai bidang untuk menangkap dasar-dasar
ilmu tersebut. Penulis memparafrase beberapa fakta dan penjelasan dari berbagai
bagian di seluruh buku tersebut, terutama informasi mengenai hubungan anatomis
antara BST dan beberapa struktur otak yang lain, yang dijelaskan sebagai berikut:
Cara lain BST dapat memengaruhi identitas gender adalah melalui
sambungan yang disediakannya antara struktur-struktur lain di otak yaitu
amigdala dan hipotalamus. BSTc terhubung dengan amigdala melalui bundel
serabut saraf stria terminalis. (Jalur spiral stria terminalis yang berliku-liku
disebabkan oleh pertumbuhan evolusioner dari korteks serebral yang
"mendorong" beberapa struktur dalam jalur spiral. Fakta bahwa stria terminalis
bertahan selama evolusi ini dan tidak hilang karena seleksi alam walaupun
didorong menunjukkan bahwa ia harus memiliki fungsi penting evolusioner.)
Amigdala adalah struktur yang mengatur pembelajaran emosional, perilaku, dan
memori dari beragam input sensoris yang diterimanya dari korteks serebral.
Hipotalamus terlibat dalam pengaturan perilaku respons utama (Jo Hemmings,
How Psychology Works, 2018, hlm. 26). Maka, karena BST memasok badan sel
yang menghubungkan antara amigdala dan hipotalamus, BST mungkin
memengaruhi kedua struktur itu dan bagaimana mereka memproses emosi dan
perilaku. Misalnya, jika BSTc (yang dimorfik secara seksual) berjenis seks wanita,
ia mungkin dapat menyebabkan amigdala dan hipotalamus untuk memicu perilaku
feminin dan bahkan identitas gender feminin. Mengetahui bahwa BST
berhubungan dengan amigdala dan hipotalamus dan sekaligus berperan dalam
perilaku seksual, tampaknya BST mampu mengaitkan persepsi emosional
terhadap jenis kelamin dengan sinyal seksual yang dipicu sebagai akibat dari
persepsi tersebut.

53
Gambar 3.2.1.1.(2) Diagram sederhana lokasi BST (juga dikenal sebagai
BNST), hipotalamus, dan amigdala dalam otak manusia, serta koneksi BST
dengan amigdala

BST juga terhubung dengan struktur penting di batang otak bawah yang
disebut area ventral tegmental yang memasok dopamin ke struktur otak depan.
Dopamin adalah neurotransmitter yang secara kimiawi mengirimkan informasi
dari satu neuron ke neuron lainnya. Pelepasan dopamin dikaitkan dengan hadiah,
kesenangan, dan kecanduan. Oleh karena itu, BST juga dapat mempengaruhi
perilaku melalui area tegmental ventral, mungkin dengan memicu pelepasan
dopamin ketika tubuh dan perilaku seseorang sejalan dengan jenis kelamin dan
gender mereka.
Kembali ke penelitian Zhou dkk., data hasil risetnya menunjukkan bahwa
volume BSTc tidak berbeda jauh antara pria heteroseksual dan homoseksual, dan
Gambar 3.2.1.1.(1) (a) dan (d) menunjukkan bahwa BSTc dari kedua kelompok
tersebut memiliki ukuran, bentuk, dan kepadatan yang hampir sama. Ini berarti
tidak ada hubungan antara orientasi seksual dan volume BSTc. Waria dalam
penelitian ini berusia 10-13 tahun lebih tua dari subjek pria, tetapi perbedaan usia
tersebut sepertinya tidak berpengaruh pada BSTc, karena beberapa subjek pada
kelompok kontrol pria dan wanita heteroseksual juga berbeda usia tetapi masih

54
mempunyai volume BSTc yang relatif serupa. Sebagai tambahan, volume BSTc
juga kemungkinan besar tidak terpengaruhi oleh kadar hormon seks dalam
kedewasaan. Ini karena beberapa subjek mengalami kadar hormon abnormal
(S1–S4 dan M1–M2 pada Grafik 3.2.1.1), namun semuanya masih memiliki
volume BSTc yang sama dengan kelompoknya masing-masing. Misalnya, volume
BSTc untuk salah satu wanita kontrol (“S1” di Grafik 3.2.1.1) berada dalam
rentang yang sama dengan wanita lain, meskipun ia menghasilkan tingkat
testosteron dan androstenedion (hormon yang lebih banyak pada pria) yang sangat
tinggi oleh karena tumor korteks adrenal. Salah satu pria kontrol menderita tumor
adrenal feminisasi yang menyebabkan kadar estrogen (hormon yang lebih banyak
pada wanita) yang tinggi, namun BSTc dia masih sangat besar (“S2” dalam Grafik
3.2.1.1). Dan meskipun ada kemungkinan bahwa ukuran BSTc transeksual MTF
mungkin dibuat lebih kecil karena semua subjek transeksualnya telah diobati
dengan estrogen, hal ini kurang mungkin. Sebabnya adalah karena dua waria
("T2" dan "T3" dalam Grafik 3.2.1.1) memiliki BSTc kecil meskipun mereka
berhenti mengonsumsi estrogen berbulan-bulan sebelum kematian oleh karena
masalah kesehatan. (Namun masih ada kemungkinan bahwa BSTc kedua
transeksual itu sudah diubah oleh terapi hormon sebelum bulan-bulan itu.) Oleh
karena itu, dengan semua bukti yang menentang adanya pengaruh terhadap BSTc
dari orientasi seksual, usia, atau tingkat hormon seks dewasa, data-data
menunjukkan bahwa kebesaran BSTc itu hanya berkorelasi dengan identitas
gender saja.

3.2.2 Analisis Hasil Wawancara


Penulis menggunakan wawancara untuk mendapat informasi secara
langsung mengenai perilaku dan pengalaman waria yang sebenarnya dan untuk
menganalisis bagaimana perilaku tersebut dipengaruhi baik biologi maupun
lingkungan sosial. Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi selengkap
mungkin dari narasumber terpilih dan kredibel. Target sampel untuk wawancara
ini adalah tiga orang transgender yang berbeda usia dari berbagai negara berbeda.
Penulis mewawancarai dua narasumber (yang akan disebut Subjek B dan C)

55
melalui chatting daring dan satu narasumber (yang akan disebut Subjek A)
melalui voice call daring. Wawancara dilakukan kurang lebih selama dua jam
dengan setiap narasumber yang diwawancarai melalui chatting dan selama satu
jam dengan narasumber yang diwawancarai melalui voice call. Berikut ringkasan
serta analisis penulis dari jawaban-jawaban mereka (diterjemahkan dari bahasa
Inggris).

3.2.2.1 Informasi Umum Narasumber


Subjek A:
1. Usia: 16 tahun
2. Jenis kelamin (seks biologis): Perempuan
3. Identitas gender: Pria transgender
4. Orientasi seksual: Heteroseksual
5. Pekerjaan: Tidak punya (pelajar)
6. Tempat tinggal pada saat wawancara: Bandung, Indonesia

Subjek B:
1. Usia: 15 tahun
2. Jenis kelamin (seks biologis): Perempuan
3. Identitas gender: Gender-fluid (tidak mengidentifikasi diri sebagai
memiliki gender tetap), tetapi lebih suka dipanggil dengan “kata ganti
pria” (he / him)
4. Orientasi seksual: Panromantic Gray Asexual (ketertarikan romantis
kepada orang-orang terlepas dari gender mereka; merasakan keinginan
seksual tetapi memiliki dorongan seks yang sangat rendah.)
5. Pekerjaan: Tidak punya (pelajar)
6. Tempat tinggal pada saat wawancara: Maine, Amerika Serikat

Subjek C:
1. Usia: 33 tahun
2. Jenis kelamin (seks biologis): Perempuan

56
3. Identitas gender: Pria transgender (kadang-kadang merasa non-biner, yaitu
tidak secara eksklusif maskulin atau feminin)
4. Orientasi seksual: Biseksual
5. Pekerjaan: Pengacara
6. Tempat tinggal pada saat wawancara: Britania Raya

Informasi yang tercantum merupakan informasi dan profil umum dari


setiap narasumber yang diwawancarai. Mereka semua berbeda usia, dengan
Subjek A dan B yang masih remaja dan bersekolah dan Subjek C yang sudah
dewasa dan mempunyai pekerjaan. Sepertinya ketiga narasumber tersebut bisa
kurang lebih diklasifikasi sebagai transgender wanita-ke-pria (FTM), sebab
mereka semua mempunyai seks biologis perempuan dan identitas gender pria
(Subjek B mungkin tidak sepenuhnya transgender FTM karena beliau
mengidentifikasi dirinya sebagai gender-fluid, walaupun beliau lebih suka
dipanggil dengan “kata ganti pria” (“he” atau “him” dalam bahasa Inggris) dan
oleh karena itu bisa diasumsi memiliki identitas gender yang setidaknya sebagian
serupa pria). Semua narasumber mempunyai orientasi seksual yang berbeda-beda.
Orientasi Subjek B dan C adalah non- heteroseksual dan lebih “inklusif” dalam
hal gender dan seks yang membuat mereka tertarik, dan ini mungkin terkait
dengan transgenderisme mereka. Namun, ini bukan tentu berarti transgenderisme
selalu mempengaruhi orientasi seksual, sebab Subjek A masih mempunyai
orientasi heteroseksual meskipun transgender. Menurut analisis dalam sub-bab
3.2.1.1, BSTc mempengaruhi perilaku seksual tikus, jadi mungkin ia juga dapat
merubah orientasi seksual subjek B dan C. Setiap narasumber juga berasal dari
negara yang berbeda dan oleh karena itu mengalami lingkungan sosial budaya
yang berbeda. Dari ini, penulis mungkin dapat melihat apabila
lingkungan-lingkungan yang berbeda ini berdampak terhadap transgenderisme
mereka.
Meskipun akan lebih baik jika ada lebih banyak orang transgender untuk
diwawancarai (dan beberapa transgender MTF), penulis hanya mampu
mewawancarai tiga subjek ini dan menemukan kesulitan dalam mencari

57
transgender yang lain terutama karena kurang mengenal orang transgender. (Ini
mungkin dipengaruhi juga oleh langkanya populasi transgender dan
ketidakinginan mereka untuk mengakui identitas mereka secara terbuka).
Mungkin perlu ditanda bahwa, sementara Subjek A dan B berpikir bahwa
fenomena transgenderisme dan identitas gender kebanyakan disebabkan oleh
mekanisme biologis bawah sadar seperti yang berhubungan dengan hormon,
Subjek C telah diajar bahwa identitas gender lebih ditentukan oleh pilihan diri
sendiri. Subjek C melihat gender lebih dalam arti pernyataan diri secara sadar;
beliau berpikir bahwa gender itu sesuatu yang lebih abstrak atau dinamis, yang
selalu terus bertumbuh dan berubah, terutama dengan berbagai ekspektasi sosial
kompleks yang ditimbulkan setiap budaya. Maka, ada kemungkinan identitas
transgender beliau lebih merupakan hasil dari pilihannya sendiri dan lingkungan
sosial di sekitarnya daripada ketidaksesuaian antara identitas gender dan seks
biologisnya.

3.2.2.2 Pengaruh Psikososial terhadap Perilaku Transgender


Dalam wawancaranya, Subjek A dan C mengatakan bahwa mereka telah
berkonsultasi dengan profesional medis dan psikiatris tentang disonansi atau
disforia gender mereka, sedangkan Subjek B belum berkonsultasi dengan
profesional manapun karena beliau tidak ingin orang tuanya mencari tahu tentang
transgenerismenya. Psikiater Subjek C meyakinkan beliau bahwa beliau memiliki
disforia gender yang cukup tinggi untuk memenuhi syarat terapi perubahan
hormon. Ini bisa berarti bahwa, walaupun ada kemungkinan transgenderisme
Subjek C lebih diakibatkan lingkungan di sekitarnya, rasa transgendernya itu
sepertinya sangat mungkin berasal dari pengaruh biologis, sebab beliau
benar-benar mengalami disforia gender yang kuat dan diverifikasi oleh
profesional. (Namun, perlu diingat bahwa lingkungan tanah air beliau (beliau
ingin merahasiakan tanah airnya) bersifat sangat liberal dan mendukung
transgenderisme, maka psikiaternya mungkin bersifat bias). Bagi Subjek A,
psikiater yang dikonsultasinya mengatakan bahwa beliau malah terlalu “muda”
untuk mengerti perasaannya tentang gendernya sendiri, meskipun Subject A sudah

58
berumur 16 tahun pada saat itu, dan seharusnya seorang anak sudah bisa mengerti
konsep dasar gender sejak usia tujuh atau delapan tahun. Menurut Subjek A,
psikiater tersebut tampak bias melawan disforia gender dan transgenderisme, dan
oleh sebab itu Subjek A tidak mendapat kesempatan untuk mendiskusikan disforia
gendernya dengan lebih dalam.
Semua narasumber mengatakan bahwa mereka telah didiagnosis dengan
depresi dan beberapa gangguan psikologis lainnya. Subjek A dan B telah
didiagnosis gangguan kecemasan, dan mereka berdua mengalami perasaan isolasi
dan kesendirian. Subjek C juga pernah didiagnosis dengan gangguan bipolar. Ada
beberapa hipotesis yang mengusulkan bahwa perilaku transgenderisme
disebabkan oleh gangguan atau penyakit psikologis seperti depresi dan gangguan
kecemasan (seperti yang pernah diungkapkan oleh Sigmund Freud). Namun,
hipotesis serta teori tersebut sebagian besar ketinggalan jaman dan telah terbukti
tidak benar. Depresi, kecemasan, dan isolasi yang dialami Subjek A dan B, seperti
yang dialami kebanyakan transgender, sepertinya merupakan hasil dari disforia
gender mereka, kerahasiaan identitas mereka, dan penganiayaan, bukan
penyebabnya. Ini bisa dilihat dari bagaimana perasaan isolasi dan kesendirian
Subjek B menurun ketika beliau didukung lebih banyak temannya. Subjek C
mengatakan bahwa disforia beliau sepertinya tidak mempengaruhi kesehatan
mentalnya, tetapi ini masuk akal sebab lingkungan hidup beliau sangat liberal,
maka beliau tidak mengalami isolasi atau kerahasiaan sebanyak Subjek A atau C.
Dalam kasus Subjek A, gangguan mentalnya tidak menyebabkan disforia yang
dialami beliau tetapi bisa memperburuk perasaan disforianya yang sudah ada.
Dari berbagai ide yang telah diusulkan tentang penyebab psikologis
transgenderisme, salah satu yang dulu sering muncul dan diperdebatkan adalah
bahwa sikap transgender seseorang diakibatkan terganggunya hubungan
emosional normal dengan orang tua. Ide-ide ini menyalahkan transgenderisme
pada ayah atau ibu yang jauh dari anaknya dan tidak sedia untuk pengajaran
gender atau dukungan emosional bagi anaknya. Seperti kebanyakan teori
psikopatologi yang lain tentang transgenderisme, ide-ide tersebut secara umum
telah terbukti salah oleh atau tidak diyakinkan oleh penelitian ilmiah (dan sangat

59
mungkin malah mencerminkan reaksi orang tua terhadap transgenderisme
anaknya). Namun, penulis tetap menanyakan setiap narasumber tentang masa
kecil dan hubungan mereka dengan orang tua mereka untuk mengonfirmasi ini.
Semua subjek menyatakan bahwa mereka agak jauh dari orang tua mereka, tetapi
dalam tingkat yang sangat berbeda. Subjek A relatif hanya sedikit jauh dari orang
tua beliau. Subjek C mempunyai ayah yang sering jauh darinya; ibunya meninggal
saat beliau berumur 14, dan mereka sudah mempunyai hubungan tegang
sebelumnya. Dan akhirnya Subjek B mempunyai hubungan yang paling sedikit
dengan orang tuanya, sebab beliau tinggal bersama kakek neneknya. Beliau
lumayan jauh dari ibunya dan bahkan tidak mengingat ayahnya. Namun,
meskipun setiap narasumber memiliki tingkat kejauhan dari orang tua yang
berbeda, mereka tampak mengalami disforia gender yang mirip satu dengan yang
lain, maka sepertinya tidak ada korelasi yang begitu kuat. Selain itu, beberapa
orang telah mengusulkan bahwa penganiayaan masa kecil bisa menyebabkan
disosiasi dengan peran sosial mereka, yang kemudian dapat mengakibatkan
perilaku transgender. Subjek B dan C tidak mengatakan bahwa mereka dianiaya
oleh orang tua mereka. Sebagian besar laporan penganiayaan pada anak
transgender bahkan tampaknya tidak menyebabkan disosiasi, dan lagi-lagi
mungkin merupakan akibat penolakan terhadap transgenderisme itu sendiri.
Uniknya, Subjek A mengatakan bahwa beliau dianiayai oleh orang tuanya, tetapi
dalam arti mereka memaksa beliau untuk berperilaku dan berpenampilan seperti
perempuan. Ini kontras dengan ide bahwa transgenderisme disebabkan oleh orang
tua yang membesarkan anaknya sebagai gender yang “salah”, sebab Subjek A
tetap mempunyai gender laki-laki meskipun dibesarkan sebagai perempuan.
Dalam wawancaranya, setiap narasumber menjelaskan apabila mereka
merasa bahwa transgenderisme yang mereka alami tersebab atau terpengaruh dari
lingkungan sosial mereka. Seperti yang sudah dijelaskan, Subjek A dan B merasa
bahwa ketidaksesuaian antara gender dan seks mereka berasal dari dalam diri
mereka dan dipengaruhi secara minimal oleh faktor eksternal. Ini konsisten
dengan hipotesis serta analisis yang telah dilakukan penulis bahwa
transgenderisme disebabkan oleh faktor-faktor biologis inheren seperti genetika

60
dan struktur otak. Subjek B menerangkan bahwa sebagian besar pengaruh media
tidak membuat orang menjadi transgender, melainkan membuat mereka
menyadari mereka transgender. Namun, Subjek C adalah kasus yang sangat
berbeda. Beliau merasa situasi politik negara asalnya terlalu mendukung
transgenderisme sampai-sampai dia merasa bingung tentang gendernya dan
merasa tertekan untuk transisi (walaupun beliau tidak berpikir bahwa identitasnya
sekarang sebagai pria dipengaruhi secara langsung). Beliau bahkan menyatakan
kemungkinan bahwa seandainya beliau tidak terus disarankan bahwa beliau
mungkin transgender, beliau bisa saja menganggap disonansi antara gender dan
seksnya sebagai sikap tomboi saja. Ini tampaknya terkait dengan pikirannya
bahwa perubahan gender dan transgenderisme terutama disebabkan oleh pilihan
pribadi serta pengaruh eksternal daripada biologi.

3.2.2.3 Pengaruh Biologis terhadap Perilaku Transgender


Ketiga narasumber mulai pertama kali mengalami tanda-tanda
transgenderisme pada periode berbeda-beda di masa kanak-kanak mereka. Subjek
B mulai menyadari disonansi gendernya pada usia tertua dari ketiganya, yaitu 12
hingga 14 tahun. Pada masa itu, beliau mulai menyadari beliau tidak suka menjadi
perempuan ketika temannya terus menyebutnya dengan “kata ganti wanita” (“she”
atau “her” dalam bahasa Inggris). Kesadaran ini merasa cukup kuat untuknya dan
hanya menjadi lebih intens sampai hari ini. Subjek C pertama kali mulai
mempertanyakan gendernya sedini beliau bisa ingat sekitar usia delapan atau
sembilan tahun, ketika beliau mulai menunjukkan sikap dan kecenderungan anak
laki-laki tertentu tanpa pemicu khusus (beliau mungkin sudah bertindak seperti
transgender sebelumnya, tetapi beliau tidak bisa mengingat masa kecilnya
sebelum usia demikian). Menurutnya, pada saat itu perilaku beliau masih bersifat
kekanak-kanakan, tetapi perasaannya mulai berkembang dan meningkat pada
masa remajanya ketika beliau terekspos terhadap kategori peranan gender yang
lebih ketat, dan beliau pun mengalami disforia gender yang jauh lebih kuat.
Akhirnya, Subjek A pertama kali mulai mengalami disonansi gender pada usia
yang jauh lebih muda dibandingkan dengan Subjek B dan C, yaitu usia tiga atau

61
empat tahun. Pada usia itu, beliau sudah mengklaim bahwa dia adalah laki-laki
dan memutuskan bahwa dia ingin menjadi laki-laki, dan beliau mengaku sudah
merasa seperti ini sedini beliau bisa ingat, tanpa ada pemicu khusus. Menurutnya,
pada saat itu beliau sungguh percaya bahwa dirinya adalah laki-laki meskipun
memiliki badan perempuan, bahkan sampai beberapa tahun kemudian ketika
beliau mempunyai pengertian gender yang lebih mendalami. Beliau baru
menyadari bahwa dirinya sebenarnya mempunyai jenis kelamin perempuan pada
usia enam atau tujuh tahun.
Selain itu, saat pertama muncul, perilaku transgender Subjek A dan B
tampaknya tidak disebabkan oleh pengaruh sosial atau budaya yang menekan
mereka untuk menjadi transgender. Saat Subjek A pertama kali mengalami
disonansi gender pada usia empat tahun, beliau kemungkinan besar masih terlalu
muda untuk mengerti atau terekspos terhadap tekanan sosial tersebut dan bahkan
belum sepenuhnya memahami gender itu apa. Dan walaupun Subjek B sudah
mengetahui tentang transgenderisme sebelum beliau menjadi transgender, perilaku
beliau sepertinya tidak terpicu oleh komunitas transgender sebab pada waktu itu
beliau tidak terlalu memperhatikan atau peduli dengannya. Di sisi lain, munculnya
perilaku transgender dalam Subjek C mungkin lebih terdampak oleh suasana
sosial politik tempat beliau dibesarkan yang sangat berlawanan dengan pandangan
konservatif terhadap gender. Menurutnya, pada masa kecilnya transgenderisme
dinormalisasi lebih dari yang seharusnya, dan beliau sering terindoktrinasi akan
kebebasannya dalam memilih identitas gender. Ini masuk akal apabila diingat
perspektifnya mengenai kaitan transgenderisme dan pilihan pribadi.
Semua informasi ini kemungkinan besar merupakan akibat
transgenderisme yang disebabkan oleh faktor biologis, sebab perilaku transgender
ketiga narasumber terjadi pada saat mereka masih relatif muda, sebelum selesai
menanjak dewasa. Oleh karena ini, disonansi gender yang mereka alami harus
tersebab oleh mekanisme yang memiliki pengaruh kuat atas perkembangan
mereka pada usia tersebut, yaitu genetika dan epigenetika. Ini memungkinkan
seorang anak menunjukkan kesadaran sikap transgender sejak usia empat tahun,
yang tampaknya terjadi pada Subjek A. Namun, terlepas dari semua ini,

62
lingkungan sosial tampaknya juga memainkan sebuah peran dalam
transgenderisme, seperti yang dilihat pada Subjek C. Satu hal lagi yang menarik
adalah perbedaan usia di mana masing-masing subjek mulai menunjukkan
perilaku transgender. Subjek A mulai memiliki disonansi gender jauh sebelum
masa pubertas, sedangkan Subjek C mengalaminya tepat sebelum masa pubertas
perempuan (sekitar usia 10 ke 14 tahun). Subjek B baru mulai menunjukkan
transgenderisme ketika sudah masuk rentang usia ini. Mungkin ada hubungan
antara disonansi gender Subjek B yang terjadi lebih telat di masa kecilnya dan
identitas gendernya yaitu gender-fluid. Mekanisme yang mempengaruhi disposisi
gendernya untuk berkembang lebih menyerupai laki-laki mungkin tidak sekuat
mekanisme dalam Subjek A dan C, sehingga muncul identitas gender yang bukan
sepenuhnya laki-laki atau perempuan dalam subjek B.
Mirip dengan metode studi kembar yang dianalisis dalam sub-bab 3.1.1.1,
cara lain untuk menyelidiki heritabilitas transgenderisme adalah dengan meneliti
anggota keluarga lain seorang transgender. Maka, dalam wawancaranya, penulis
menanyakan setiap subjek mengenai identitas gender dan orientasi seksual kerabat
kandung mereka. Subjek A tidak tahu pasti apakah ada kerabatnya yang
transgender atau non-heteroseksual selain dari pamannya dari pihak ibunya yang
tampak queer (memiliki gender non-cisgender atau orientasi non-heteroseksual)
tetapi identitasnya tidak dikonfirmasi. Mirip pula, semua kerabat Subjek B yang
beliau kenal adalah cisgender dan heteroseksual kecuali pamannya yang
homoseksual. Akhirnya, Subjek C menonjol lagi dari Subjek A dan B: beliau
memiliki ayah genderqueer, ibu transgender, paman homoseksual, dan ada rumor
bahwa kedua kakek nenek dari pihak ibunya adalah homoseksual. Namun, tidak
bisa dilupakan sifat lingkungan sosial tempat Subjek C dibesarkan yang pasti
membuat keluarganya lebih terbuka terhadap LGBT, dan bahkan mungkin
mempengaruhi orientasi dan identitas mereka juga secara psikososial. Gen-gen
biasanya bisa diturunkan dari orang tua ke generasi- generasi berikutnya, sesuai
dengan hukum-hukum genetika Gregor Mendel. Oleh sebab itu, karakteristik
utama dari Hukum Pewarisan Mendel adalah bahwa jejaknya suatu sifat biologis
harus ditemukan di pohon keluarga. Apabila seorang transgender seperti Subjek C

63
memiliki kerabat kandung, terutama orang tua, yang juga menunjukkan sifat
transgender, ada kemungkinan bahwa transgenderisme beliau bersifat bawaan.
Meskipun demikian, data-data dari wawancara ini sebenarnya masih tidak cukup
kuat untuk membuat kesimpulan yang pasti tentang heritabilitas perilaku
transgender. Sampel yang hanya terdiri dari tiga transgender jauh terlalu kecil
untuk menunjukkan pola dalam identitas gender serta orientasi seksual
keluarganya orang transgender. Lagipula, Subjek A dan B masing-masing hanya
memiliki satu anggota keluarga yang tampaknya queer, (walaupun ini jelas tidak
memperhitungkan kerabat yang identitasnya mungkin dirahasiakan dari
narasumber). Dan memang hanya ada sedikit kasus di mana seorang anak dan
orang tuanya bersama-sama transgender. Karena itu, transgenderisme tampaknya
tidak mengikuti hukum Mendel mengenai pewarisan orang tua langsung. Ini bisa
dikaitkan dengan tingkat sedang heritabilitas transgenderisme yang ditentukan
dari studi-studi kembar di bab 3.1.1.1. Genetika tampaknya bukan satu-satunya
faktor yang berkontribusi terhadap sikap transgender—ada faktor epigenetik yang
mungkin juga terlibat. Ini karena bahkan kembar identik yang berbagi DNA yang
sama saat kandungan tetap menunjukkan sifat biologis yang agak berbeda akibat
mutasi epigenetik dan pengaruh eksternal.
Ada beberapa bukti dan penelitian bahwa perubahan epigenetik yang
menghasilkan transgenderisme dapat terpicu oleh pengonsumsian obat saat
kehamilan. Untuk melihat korelasi antara transgenderisme dan paparan terhadap
kimia-kimia tertentu, setiap narasumber ditanyakan apakah orang tua mereka
pernah menggunakan obat atau narkoba selama ibu mereka hamil dengan mereka.
Sejauh yang Subjek A tahu, orang tuanya tidak menggunakan obat saat ibunya
hamil dengannya. Orang tua Subjek B diketahui sering menggunakan narkoba,
tetapi selain ganja, Subjek B tidak yakin dengan obat spesifik yang mereka
gunakan. Efek paparan kanabis prenatal tidak jelas, dan belum diketahui apakah
kanabis berpengaruh terhadap transgenderisme. Subjek C tampaknya memiliki
dampak paling kecil dari obat-obatan, sebab beliau lahir dari ibu pengganti yang
surogasinya diawasi dengan ketat dan oleh karena itu tidak pernah mengonsumsi
narkoba selama hamil. Kurangnya paparan obat prenatal untuk Subjek C bisa

64
mendukung kemungkinan bahwa sikap transgender beliau merupakan hasil
pengaruh lingkungan sosial budaya. Namun, jawaban-jawaban terhadap
pertanyaan ini tidak terlalu relevan sebab orang tua ketiga subjeknya bisa saja
tidak memberi tahu subjeknya apabila mereka menggunakan narkoba atau tidak.
Seperti yang dijelaskan dalam sub-bab 3.1.1.2, orang transgender lebih
cenderung kidal dibandingkan dengan orang cisgender. Maka, pada akhir
wawancaranya penulis meminta semua narasumber mengisi sebuah kuesioner
untuk menentukan preferensi penggunaan tangan dan sifat kidal mereka dengan
objektif. Kebanyakan orang berada pada sebuah “spektrum” antara preferensi
tangan kanan atau kiri; sebenarnya hanya sedikit orang yang benar-benar hanya
memiliki preferensi satu tangan. Oleh sebab itu, penulis menggunakan kuesioner
yang didasarkan pada The Edinburgh Handedness Inventory (EHI), sebuah skala
buatan R. C. Oldfield yang mengukur preferensi tangan seseorang dalam sejumlah
kegiatan berbeda-beda.

Preferensi Tangan
Kegiatan
Subjek A Subjek B Subjek C

Menulis Kanan Kanan Kanan

Menggambar Kanan Kanan Kanan

Tidak ada
Melempar Kanan Kanan
preferensi

Menggunting Kanan Kanan* Kanan

Tidak ada
Menyikat Gigi Kanan* Kanan
preferensi

Tidak ada
Menggunakan Pisau (tanpa garpu) Kanan Kanan*
preferensi

Tidak ada
Menggunakan Sendok Kanan* Kanan
preferensi

Tidak ada Tidak ada


Menggunakan Sapu (tangan atas) Kanan*
preferensi preferensi

65
Menyalakan Korek Api Kanan Kanan Kiri*

Membuka Kotak (memegang Tidak ada Tidak ada


Kanan
tutupnya) preferensi preferensi

Tidak ada
Menggunakan Mouse Komputer** Kanan Kanan
preferensi

Menggunakan Kunci untuk Tidak ada


Kanan Kanan*
Membuka Pintu** preferensi

Memegang Palu** Kanan Kiri* Kanan

Memegang Kuas atau Sikat Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Rambut** preferensi preferensi preferensi

Memegang Cangkir sambil Tidak ada Tidak ada


Kiri
Minum** preferensi preferensi
Tabel 3.2.2.3. Preferensi tangan tiga subjek transgender menurut The
Edinburgh Handedness Inventory
* Subjek pernah menggunakan tangan lawannya untuk mengerjakan kegiatan tersebut
** Bukan bagian dari inventaris standarnya The Edinburgh Handedness Inventory

Setiap jawaban responden dalam kuesioner tersebut dikalkulasi untuk mendapat


nilai akhir preferensi tangan mereka yang disebut sebagai indeks lateralitas
(laterality index atau LI). LI diukur pada skala -100 hingga 100; semakin kecil
angkanya, semakin kidal respondennya. LI -100 hingga -28 menunjukkan sifat
kidal, 48 hingga 100 menunjukkan preferensi tangan kanan, dan -28 hingga 48
menunjukkan preferensi yang lebih seimbang antara kedua tangan (Desil Tengah).
Nilai LI yang menunjukkan sifat kidal dan yang menunjukkan preferensi tangan
kanan masing-masing dibagi rata menjadi sepuluh desil, dengan desil ke-1
menunjukkan preferensi paling lemah dan desil ke-10 menunjukkan preferensi
paling kuat. LI setiap subjek adalah sebagai berikut:
1. Subjek A: 70,00 (Desil Kanan ke-3)
2. Subjek B: 40,00 (Desil Tengah)
3. Subjek C: 36,67 (Desil Tengah)
Subjek A mempunyai preferensi tangan kanan, tetapi terletak dalam desil yang
lebih dekat ke Desil Tengah, maka preferensi tersebut tidak begitu kuat—tangan
kanannya tidak sepenuhnya dominan dalam kegiatan sehari-hari. Subjek B dan C

66
memiliki LI yang berdekatan satu dengan yang lain dan terletak dalam Desil
Tengah, maka mereka mempunyai preferensi yang lebih seimbang untuk kedua
tangannya (meskipun lebih condong ke sisi kanannya). Data-data dalam sub-bab
3.1.1.1 menunjukkan peningkatan prevalensi sifat kidal yang konsisten untuk
transgender FTM, dan ketiga subjek yang diwawancarai adalah transgender FTM.
Namun, walaupun orang transgender mempunyai kemungkinan yang signifikan
lebih besar untuk kidal, kemungkinan tersebut hanya sekitar 17% hingga 18%,
maka wajarlah apabila tidak ditemukan sifat kidal dalam sampel hanya tiga orang.
Karena semua penelitian sifat kidal transgender yang dianalisis dalam sub-bab
3.1.1.1 hanya terarah kepada transeksual, dan tidak ada transgender
non-transeksual yang diteliti sifat kidalnya, mungkin tingkat preferensi tangan kiri
itu lebih kuat dalam orang transeksual. Ini mungkin bisa menjelaskan mengapa
Subjek C memiliki LI yang paling rendah antara ketiga subjeknya, namun dengan
sampel hanya tiga orang, itu bisa saja merupakan kebetulan. Selain itu, dua dari
tiga subjek berada dalam Desil Tengah, jadi walaupun tidak ada dari mereka yang
kidal mereka tetap menunjukkan preferensi tangan kanan yang lebih sedikit
daripada apa yang penulis harapkan dari orang biasa. Ini bisa mendukung adanya
faktor biologis di balik perilaku transgender, sebab sifat kidal tampaknya tersebab
oleh pengaruh biologis seperti genetika dan epigenetika yang akan dijelaskan di
sub-bab berikutnya. Apabila transgenderisme benar-benar terjadi bersamaan
dengan sifat kidal, ini adalah salah satunya data yang melawan kemungkinan
bahwa sikap transgender Subjek C dipengaruhi secara psikososial. Bagaimanapun,
hasil kuesionernya mungkin kurang akurat; Oldfield mengatakan bahwa hasil dari
EHI yang dilaporkan sendiri cenderung kurang tepat karena responden sering
melebih-lebihkan jumlah kegiatan yang dilakukan oleh tangan dominan.

67
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengumpulan dan analisis data dari berbagai sumber, dapat
ditarik kesimpulan bahwa terdapat faktor biologis dan psikologis yang dapat saja
menyebabkan fenomena transgenderisme. Faktor penyebab biologis mencakup
pengaruh genetik dan epigenetik misalnya melalui sifat heritabilitas, serta
pengaruh neuroanatomi dan neurofisiologi dari struktur otak seperti Bed Nucleus
of the Stria Terminalis (BST). Sifat-sifat tersebut secara umum mungkin
berkontribusi terhadap perubahan emosi serta perilaku yang mengakibatkan
identitas gender seseorang yang bertentangan dengan seks biologisnya. Namun,
mekanisme dan proses bagaimana sebenarnya faktor genetik, epigenetik, dan
neurologis memengaruhi identitas gender belum diketahui secara pasti. Selain itu,
wawancara yang dilakukan penulis ditemukan menkonfirmasi secara keseluruhan
informasi yang didapatkan dari data sekunder, yaitu bahwa pengaruh biologis
berkontribusi terhadap perilaku transgender. Namun, wawancara tersebut
memperlihatkan bagaimana sikap transgender mungkin juga merupakan akibat
faktor psikososial. Faktor penyebab psikologis mungkin mencakup lingkungan
sosial yang dapat memengaruhi seseorang untuk mengekspresikan sikap
transgender, terutama apabila lingkungan tersebut bersifat sangat liberal.
Meskipun demikian, masih belum jelas apakah faktor itu memengaruhi identitas
gender secara psikologis atau dengan cara lain, dan apakah dapat sepenuhnya
bertanggung jawab atas transgenderisme atau hanya memperkuat identitas
transgender yang sudah ada. Secara keseluruhan, faktor-faktor biologis
menyebabkan transgender berpikir bahwa dirinya memiliki jenis kelamin yang
tidak sama dengan seks biologisnya. Banyak transgender juga mengalami
penolakan dan isolasi oleh sebab kerahasiaan identitas mereka dan diskriminasi.

68
4.2 Saran
Berdasarkan penelitian mengenai “Peranan Faktor-faktor Psikobiologis di
balik Fenomena Transgenderisme”, sebaiknya individu transgender meminta
bantuan dan saran dari psikiater dan ahli medis. Dengan ini mereka dapat
mengetahui cara terbaik untuk menangani disonansi dan status gender mereka.
Selain itu, penulis menyarankan untuk memperlakukan kaum transgender sebagai
sesama manusia supaya membantu mereka untuk lebih terbuka dalam
mengungkapkan identitas mereka dan, dengan demikian, mencari bantuan yang
diperlukan.
Untuk penelitian selanjutnya, terutama untuk perolehan data primer, jelas lebih
baik untuk melakukan wawancara pada sampel orang transgender yang lebih
banyak dan beragam supaya dapat membuat generalisasi yang lebih mewakili
seluruh kaum transgender. Dengan sampel yang lebih banyak, data primer juga
dapat diperoleh melalui angket untuk mendapat hasil data yang mencakup banyak
subjek dengan lebih cepat dan efisien.

69
DAFTAR PUSTAKA

Buku
American Psychological Association. 2013. The Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, 5th Edition. Arlington : American Psychiatric
Publishing. Hal 451.
Bevan, Thomas E. 2014. The Psychobiology of Transsexualism and
Transgenderism. Santa Barbara : Praeger.
Campbell, Neil A. dkk. Essential Biology with Physiology. 2007. San Fransisco :
Pearson Benjamin Cummings.
Ferrando, Cecile A. 2020. Comprehensive Care of the Transgender Patient.
Philadelphia : Elsevier.
Hemmings, Jo dkk. How Psychology Works. 2018. London : Dorling Kindersley
Limited.
Legato, Marianne J. 2017. Principles of Gender-Specific Medicine. Cambridge :
Academic Press.
Miller, Benjamin. Miller-Keane Encyclopedia and Dictionary of Medicine,
Nursing, and Allied Health. 2003. London : Saunders
American Psychological Association. APA Dictionary of Psychology.
https://dictionary.apa. org/. Diakses tanggal 18 Oktober 2020.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2016. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. https:// kbbi.kemdikbud.go.id/Beranda. Diakses tanggal 16
Oktober 2020.
Farlex. 2012. Medical Dictionary for the Health Professions and Nursing.
Huntingdon Valley : Farlex.
https://medical-dictionary.thefreedictionary.com/psychobiology. Diakses
tanggal 18 Oktober 2020.
National Human Genome Research Institute. Talking Glossary of Genetic Terms.
https:// www.genome.gov/genetics-glossary. Diakses tanggal 13 Maret 2021.

70
Jurnal/Makalah/Artikel/Skripsi
Beyama, Putri Della Yuswika Argita. 2016. Peraturan Perubahan Jenis Kelamin
Menurut Ketentuan Hukum di Indonesia. Skripsi.
https://web.archive.org/web/20180127223846/
http://library.uwp.ac.id/digilib/files/disk1/15/0--putridella-720-1-03100000-8.
pdf. Diakses tanggal 22 Januari 2021.
Cohen, Mark S. 2008. Handedness Questionnaire. Situs.
https://www.brainmapping.org/ shared/Edinburgh.php. Diakses tanggal 6
Februari 2021.
Cresci, Elena. 2014. What’s It Like Being Transgender around the World? Artikel.
https://
www.theguardian.com/world/guardianwitness-blog/2014/may/16/whats-it-lik
e-being-lgbt-around-the-world. Diakses tanggal 10 Oktober 2020.
Collin, Lindsay. 2016. Prevalence of Transgender Depends on the “Case”
Definition: A Systematic Review. The Journal of Sexual Medicine. Hal.
613-626.
Dessens, Arianne B. dkk. 1999. Prenatal Exposure to Anticonvulsants and
Psychosexual Development. Jurnal Archives of Sexual Behavior. Hal. 31-44.
Diamond, Milton. 2013. Transsexuality among Twins: Identity Concordance,
Transition, Rearing and Orientation. International Journal of
Transgenderism. Hal 24–38.
Fernández, Rosa dkk. 2014. Association Study of ERβ, AR, and CYP19A1 Genes
and MtF Transsexualism. The Journal of Sexual Medicine. Hal. 2986-2994.
GLAAD. GLAAD Media Reference Guide - Transgender.
https://www.glaad.org/reference/ transgender. Diakses tanggal 19 Oktober
2020.
Hare, Lauren dkk. 2009. Androgen Receptor Repeat Length Polymorphism
Associated with Male-to-Female Transsexualism. Jurnal Biological
Psychiatry. Hal. 93-96.
Haddad, Douglass. 2020. Biological Factors That Influence Child Development.
https://www.

71
verywellfamily.com/biological-factors-affecting-child-development-2162219.
Diakses tanggal 18 Oktober 2020.
International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association. 2017.
ILGA-RIWI Global Attitudes Survey. Situs.
https://web.archive.org/web/20180113180448/http://ilga.
org/what-we-do/ilga-riwi-global-attitudes-survey/. Diakses tanggal 21 Januari
2021.
Jeanete Ophilia Papilaya. 2016. Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT)
dan Keadilan Sosial. Jurnal PAX HUMANA. Hal. 025-034.
Kerlin, Scott P. 2005. Prenatal Exposure to Diethylstilbestrol (DES) in Males and
Gender-Related Disorders: Results from a 5-Year Study. International
Behavioral Development Symposium. Hal 1-21.

72
GLOSARIUM

AED: Obat antiepilepsi atau antikonvulsan.

Alel: Salah satu dari dua, atau lebih, bentuk varian gen tertentu.

Amigdala: Struktur dalam sistem limbik di otak yang mengatur pembelajaran


emosional, perilaku, dan memori dari beragam input sensoris yang diterimanya
dari korteks serebral.

Androgen: Hormon seks pria yang dihasilkan testis dan mengatur perkembangan
ciri-ciri pria.

Aromatase: Enzim yang membantu mengubah testosteron menjadi estrogen.

Biseksual: Tertarik kepada kedua seks (baik kepada laki-laki maupun kepada
perempuan).

BST: Bed Nucleus of the Stria Terminalis. Sebuah struktur dimorfik seksual dalam
otak yang terdiri dari banyak badan sel neuron yang menghubungkan beberapa
struktur otak penting.

CAG: Susunan tiga basa nukleotida dalam DNA yang diurutkan sebagai sitosina,
adenina, dan guanina.

Cisgender: Seseorang yang identitas gender pribadinya sesuai dengan seks


biologisnya.

DES: Diethylstilbestrol. Obat yang dulu diberikan kepada wanita hamil untuk
mencegah keguguran dan komplikasi kehamilan lainnya.

Dimorfik: Mempunyai perbedaan yang mencolok antara pria dan wanita dalam
bentuk, struktur, ukuran, atau suatu kombinasi sifat-sifat ini.

Disforia gender: Penderitaan signifikan yang diakibatkan oleh disonansi gender.

73
Disonansi gender: Fenomena memiliki identitas gender yang tidak sesuai dengan
seks biologis.

Epigenetik: Berkaitan dengan pengaruh non-genetik yang memodifikasi DNA


atau mengubah ekspresinya tanpa mengubah struktur DNA itu sendiri.

Estradiol: Sejenis hormon steroid estrogen dan juga hormon seks utama wanita.

Estrogen: Hormon seks wanita yang dihasilkan di ovarium dan mengatur


perkembangan ciri-ciri wanita.

Fenotipe: Ciri-ciri fisik suatu individu, biasanya sebagai hasil dari genotipenya.

Gen AR: Gen yang memberikan instruksi untuk membuat protein reseptor
androgen.

Gender-fluid: Tidak mengidentifikasi diri sebagai memiliki gender tetap.

Genotipe: Urutan tertentu dari basa nukleotida dan kumpulan gen dalam DNA
individu; alel yang diwarisi untuk gen tertentu.

Gonad: Organ reproduksi utama (testis atau ovarium) yang menghasilkan gamet
dan hormon seks.

Heritabilitas: Kemampuan organisme untuk mewarisi sifat atau karakteristik


tertentu yang diturunkan induknya secara genetik.

Heteroseksual: Tertarik secara seksual terhadap lawan seks.

Hipotalamus: Struktur dalam sistem limbik di otak yang merupakan pusat


kendali tubuh yang mengatur sebagian besar sistem endokrin. Struktur ini terlibat
dalam pengaturan perilaku respons utama serta fungsi-fungsi yang terkait dengan
homeostasis dan sistem saraf otonom.

Homoseksual: Tertarik secara seksual terhadap orang dari seks yang sama.

74
Identitas gender: Persepsi dan identifikasi pribadi seseorang terhadap jenis
kelaminnya sendiri (yang biasanya dibagi menjadi maskulin atau feminin)
berdasarkan kesadaran internal.

Interseks: Memiliki sebuah variasi atau gabungan karakteristik seks (termasuk


kromosom, hormon seks, gonad, atau alat kelamin) yang tidak sesuai dengan
standar karakteristik seks biologis pria ataupun wanita.

Kategori/peranan gender: Kumpulan perilaku dan norma yang terkait dengan


jenis kelamin tertentu sebagaimana ditentukan oleh budaya. Peranan gender
seseorang ditentukan oleh budaya berdasarkan jenis kelamin yang ditentukan
untuknya saat lahir.

Lateralisasi: Fenomena ketika beberapa bagian kedua hemisfer otak menjadi


lebih terspesialisasi dan dominan daripada hemisfer lawannya dalam fungsi yang
berbeda. Ini mengakibatkan lateralitas, yaitu dominasi satu sisi otak atau bagian
tubuh lain dalam aktivitas atau fungsi tertentu.

Neuron: Sel utama dalam sistem saraf yang memproses informasi dalam bentuk
sinyal listrik dan mengirimkannya ke neuron lain

Non-biner: Tidak secara eksklusif maskulin atau feminin.

Nukleotida: Monomer atau bahan dasar yang digabung dengan nukelotida lain
untuk membentuk rantai yang disebut DNA. Setiap nukleotida berisi basa
nitrogen atau basa nukleotida yang dibagi menjadi empat jenis, yaitu adenina (A),
guanina (G), sitosina (C), dan timina (T).

Orientasi seksual: Ketertarikan seksual atau romantis terhadap lawan seks, seks
yang sama, atau kedua kedua seks tersebut.

Polimorfisme: Keberagaman bentuk atau struktur. Dalam bidang genetika, ini


merujuk kepada variasi genetik dalam suatu populasi.

Predisposisi gender: Predisposisi biologis yang berkaitan dengan perilaku dan


identitas gender.

75
Progesteron: Hormon yang terlibat dalam siklus menstruasi, kehamilan, dan
embriogenesis.

Queer: Memiliki gender non-cisgender dan/atau orientasi non-heteroseksual.

Seks biologis: Jenis kelamin seseorang sesuai dengan anatomi tubuhnya dan
sistem reproduktifnya (yang secara alami tergolong sebagai pria atau wanita) dan
ditentukan seperangkat atribut biologis.

Stria terminalis: Bundel serabut saraf dari neuron-neuron di BST yang


menyediakan “jalur transmisi” antar struktur otak.

Testosteron: Hormon seks pria yang mengatur perkembangan ciri-ciri pria.

Transeksual: Orang transgender yang ingin menjalani transisi permanen ke jenis


kelamin lawannya sesuai dengan identitas gendernya; transeksual mencari transisi
sosial atau somatik, misalnya melalui proses terapi hormon atau operasi
penggantian kelamin.

Transgender: Seseorang dengan identitas gender yang tidak sesuai dengan seks
biologisnya (seseorang dengan disonansi gender). Orang transgender biasanya
memiliki identitas gender yang berlawanan dengan seksnya seperti transgender
MTF (seks pria dan gender perempuan) atau transgender FTM (yang memiliki
seks wanita dan gender laki-laki). Transgender juga merujuk kepada orang-orang
yang tidak secara spesifik diidentifikasi sebagai maskulin atau feminin (seperti
non-biner dan gender-fluid).

76
LAMPIRAN

Transkrip Wawancara dengan Subjek A

Subjek A: My age is 16. My assigned sex is female. My gender identity is


male-ish. My preferred pronouns are “he” and “him”.

Penulis: What is your sexual orientation according to your assigned sex? So you
basically like guys right? So that would make you straight.

Subjek A: Toric attraction, let’s just put it as that. Toric attraction, whatever.

Penulis: What? Toric?

Subjek A: Toric means I’m attracted to masculinity and males.

Penulis: You don’t like girls at all?

Subjek A: No, I don’t.

Penulis: Do you have a job?

Subjek A: Do I have a job? No, no I do not. I am a student.

Penulis: Good. Good, good. Stay in school.

Subjek A: I live in Bandung

Penulis: Okay, first question!

Subjek A: Alright!

Penulis: So, what is your, uh, just general understanding of transgenderism and
gender identity? You don’t have to tell me every single thing you know, just, yeah,
generally what is it? What do you think causes it? Stuff like that.

Subjek A: So I think that it’s just the dissonance between someone and their
assigned sex, right? And, as root causes, well there’s like a lot of factors. You

77
know there’s theories on the biological causes. Like, hormones, hormone
malfunction, stuff. And then there’s the influence of social environment. I think
that like, the root cause, like the mental disorder part, is involuntary, but the
affirmation of gender identity, the cause, is yourself. Does that make sense? The
choice of being transgender is caused by your choice. That’s the main thing.
Transgenderism is involuntary.

Penulis: Oh yeah. Yeah, the actual phenomenon of gender dissonance is


involuntary, but the identity, you give that to yourself.

Subjek A: Yeah.

Penulis: Alright, I got it. So, have you or anyone you know ever consulted with a
medical or psychiatric professional about your gender dissonance or dysphoria?
What did they say about it?

Subjek A: I’ve consulted with a psychiatrist, and her views were that I was too
young to understand what my feelings on this were. And at the time I was sixteen,
so, great.

Penulis: Huh? Isn’t that—

Subjek A: Yeah, okay, so overall she seemed avoidant of the subject, and I’m of
the opinion that she was biased cause she tried to subvert the conversation to
religion material. So I don’t have an actual in-depth discussion on it. So I’m sorry.
But I have consulted on it. The consensus was … Shht! Shushhh!

Penulis: What, huh? What was the consensus?

Subjek A: The consensus was “shut up”.

Penulis: Oh, oh I see.

Subjek A: (imitating psychiatrist) “Gender dysphoria, what are the kids into these
days? Let me refer you to the Bible.”

78
Penulis: Hahaha, I always thought sixteen years old was like the perfect time to,
um, understand this kind of thing.

Subjek A: Yeah, I think it’s a good time to get educated on it. Like, it’s not a good
time to make decisions, duh. But it’s a good time to start thinking about it. …
Basically what she said was, “don’t think about it.”

Penulis: Okay. Next question! Have you ever been diagnosed with any
psychological disorders aside from gender dysphoria, which you were not
diagnosed with, but yeah. Uh, like depression or anxiety.

Subjek A: Yes. I have been diagnosed with general anxiety and major depression.
I have felt the feelings of severe loneliness, depression, and isolation. I think um,
what this has to do with my transgender identity, I think that before I had fully
realized transgender identity, like the feelings of dysphoria affected kinda in ways
that should’ve been obvious but I kinda didn’t realize it was gender dysphoria.
There’s like a real helplessness that comes with being dysphoric and not
understanding that it’s gender dysphoria, so you kind of just have a very
confusing, vague sense of self without realizing what’s wrong with it.

Penulis: Oh really?

Subjek A: Yeah! For sure. Cause imagine feeling like you’ve never really in the
right body, without actually knowing that there’s an actual cause to that. You
kinda go insane or start projecting onto other problems. Like, um, my appearance.
My feelings of dysphoria don’t really correlate with my appearance. But, at the
time when I didn’t understand why I didn’t like my body so much, I projected
onto the fact that I thought that I just didn’t like the way I appeared. The problem
was the whole gender thing. So there’s a lot of mistyped problems.

Penulis: Oh, I always thought it felt, like, obvious. But that’s interesting to know.

Subjek A: It’s not obvious, in fact usually when you live in a culture that has
therapists telling you you’re too young to decide whether or not you’re dysphoric.

79
It’s just that the idea gets shut down, so yeah, it’s naturally I just kind of thought
that the problem was based on other things that was not the problem.

Penulis: Are you still depressed?

Subjek A: Yeah, for sure.

Penulis: Oh no. Well I hope you find happiness. Next question!

Subjek A: As for a more scientific understanding of like how transgenderism


affects mental health, I don’t know. I think, my dysphoria often does worsen in
times of stress or during depressive episodes, so yeah.

Penulis: Ah. So, um, they are codependent on each other? Not dependent, they
just influence each other.

Subjek A: Yeah, yeah.

Penulis: Great. Wonderful. Do you have any biological relatives who are also
trans or who have any non-cis identity, non-het orientation? If so, who are they?
Like, are they your uncle? Mom? And what is their gender identity and sexual
orientation?

Subjek A: Not that I know for sure. There are rumors that I am not at liberty to
disclose. Family stuff. But seeing as how, this is probably going to be a secret, I
do think that I probably have a queer uncle. There are rumors.

Penulis: But it’s not confirmed?

Subjek A: It’s not confirmed, but it’s pretty obvious.

Penulis: Oooh.

Subjek A: I think, um, I think it’s genuinely safe to say that he’s queer, cause he’s
expressed that before, but I’m not allowed to talk about it.

Penulis: Okay, that’s okay.

80
Subjek A: He is an uncle from my mother’s side, so he is biologically and
directly related to me.

Penulis: Okay. When did you start experiencing your gender dissonance or
dysphoria? And was there a trigger, if you can remember?

Subjek A: I feel like the feelings have been present for as long as I can remember.
I think people who knew me at the time can generally attest to the fact that I
would claim that I was a boy and have voiced that I wanted to be a boy until the
age of, like, three or four. There was no trigger, but the fact that I was exposed to
the same media as my older brother may have contributed to the fact that I was,
like, confused. I don’t think I was confused, I just think that I genuinely believed,
“What’s this, this is wrong.”

Penulis: What was your brother watching?

Subjek A: A lot of just male media. Things involving guns, a lot of entertainment
that was geared towards, like, boys of his age, which would make him around, you
know, elementary school age. I projected onto male role models far more than my
female role models. Like in my mind I wasn’t like a tomboy or a girl that liked
guy things. In my mind, I was a boy. These feelings persisted until I was old
enough to have a deeper understanding of gender when I was older. Several years
later. It probably stopped and finally realized I was a girl when I was, uh, six or
seven, a little later than most people.

Penulis: I’m just gonna say, you are a textbook example of a transgender child.
Congratulations.

Subjek A: I am?

Penulis: Uh, yeah. Based on my sources, yeah.

Subjek A: You have no idea how affirming that is to me, thank you. I genuinely
don’t know if I feel as strongly now, but I have more complex feelings about it
now, so that includes, like, doubts and stuff. But at the age of three, you could say

81
that I was practically delusional and that I was simply unable to understand or care
about an alternative to how I felt.

Penulis: Yeah, as we all are at the age of three.

Subjek A: Yeah, haha.

Penulis: You still feel dysphoric right?

Subjek A: I do.

Penulis: Is it like up and down, or is it constantly dysphoric?

Subjek A: Like I said it gets worse in times of stress and certain depressive
episodes, like yesterday. It has its triggers now, cause it just comes up by
association with other things that discuss probably issues about transgenderism.
But the thing is that experience is specific only to me, cause only I have the
association that I do with certain traumatic events. So yeah, it’s up and down, but
that really depends on what side of the internet I’m on that day. Situational.

Penulis: Yeah. Got it. Thank you. So you already answered number six too I
guess cause you said ever since you were three or four, which I assume is before
you knew what transgenderism was.

Subjek A: Yeah, before I even knew what gender was.

Penulis: Before you even knew what gender was, exactly. So we’ll go to number
seven. Now I wanna know about your childhood relationship and current
relationship with your parents. How would you describe how your father and
mother treated you? Were they caring, abusive, neglectful, distant, et cetera? If it
was a result of them knowing about your transgender identity, please say so. Was
there anything you’d consider special or out of the ordinary in your relationship
with them?

Subjek A: I don’t know what counts as ordinary here. Is the standard for
“ordinary” healthy parenting

82
Penulis: Yes.

Subjek A: Oh. So no. Well, there was nothing particularly out of the ordinary.
There was some run-off-the-mill marital issues that resulted in a lot of distance
between me and them. Your average “they tried” relationship. Um, no nothing out
of the ordinary. Oh, I think there should be something worth mentioning.
Something that was out of the ordinary, for me I guess, was that they tried to
feminize me a lot growing up.

Penulis: Please elaborate, what do you mean “feminize”. Cause like they could be
forcing you to act like a girl or they could just be buying you girl clothes, which is
ordinary, I believe.

Subjek A: They tried to get me away from my brother’s media and tried to
brainwash me with more feminine media like stuff that’s more geared towards
girls. Princess stuff and Barbie stuff. And they gave me it like that. Whilst like
toeing a safe line between the stuff that I liked that was kind of guy-ish but not too
guy-ish. Growing up in my life they also had a very strong emphasis on trying to
make me look conventionally beautiful, which I hate. A lot of abuse there. Yeah,
just one of the things. That’s out of the ordinary.

Penulis: Actually, I think that’s … kind of ordinary. But that’s still valuable
information.

Subjek A: Most parents don’t starve their children, I’ll just say that.

Penulis: They starved you?

Subjek A: Yeah, to an extent.

Penulis: Oh, to make you thinner. I thought they just made you wear headbands
and stuff.

Subjek A: No, they starved me, tried to put me on pills and medications, and
probably verbally was less than sensitive about the whole issue. This was
happening throughout my entire life.

83
Penulis: Oof. Okay. Cause like my sister, when she was younger, she liked to play
with my boy toys, my transformers. So my mom also tried to get her barbies and
stuff but not to the point of starving her. And my sister plays a bunch of games my
brother and I play and my mom’s not doing anything about it. So I guess what you
got is a bit out of the ordinary.

Subjek A: It was obsessive, it was to an extent that was kind of unhealthy and
neglectful.

Penulis: I’m sorry to hear that.

Subjek A: It’s fine. Recently I’ve also distanced myself more because I know
they would feel negatively about my identity, and that’s snowballing into more
issues. There has been apparent enmity between us regarding my support of other
transgender people, however, I don’t think they’ve ever realized that I am trans.
But yes, there has been, like, debates, family arguments, and stuff like that.

Penulis: Okay, next question!

Subjek A: Okay before we move on to that I have not answered one thing from
the question about biological relatives who are also transgender who have any
other non-cisgender identity or any other non-heterosexual orientation. I forgot to
answer that my mother, when she was young, was never transgender, right? She
never thought she was a guy, never wanted to be a guy. But she did prefer to
appear masculine. She wanted to look like a guy. So, there has been, like, signs I
think that she honestly probably would be trans? Which is weird, but-

Penulis: Like, clear signs? Or she just liked to dress up masculine.

Subjek A: She didn’t like to dress up masculine she liked to crossdress to


specifically look male.

Penulis: Interesting.

Subjek A: I think that’s worth mentioning, but it’s not much. She didn’t think she
was a guy, she wanted to be a guy.

84
Penulis: Wait, she wanted to?

Subjek A: Yes, for a short period of time between the ages of like thirteen to
fifteen.

Penulis: Oh, I thought like recently.

Subjek A: No, no when she was my age.

Penulis: Interesting. That’s interesting. That is useful information. Interesting.


Like, do you still see signs currently, or was the whole crossdressing thing also
when she was your age.

Subjek A: It’s in the past. Only when she was my age. Not now, for sure. I don’t
know.

Penulis: Okay, cool! Nice. As far as you know, were your biological mother or
father ever exposed to any drugs or medicine before or while your mother was
pregnant with you?

Subjek A: No.

Penulis: Good. Thank you.

Subjek A: Lots of Skittles though.

Penulis: Hahaha. Do you think your transgender identity is in any way caused or
influenced by the people or media around you? Or do you think it’s just like
hormonal, biological, whatever?

Subjek A: My affirmation of that identity is definitely influenced by my


surroundings. As I’ve said before, until I knew what transgenderism was I didn’t
realize I was dysphoric and that that were the issues. But the dysphoria was
already there. The feelings of dysphoria, where they originated, is minimally
influenced. It was probably there since birth.

85
Penulis: So the dysphoria itself isn’t externally caused, but you realized it more
strongly as you got a deeper understanding of gender, right?

Subjek A: Yes. But hey, the common denominator between a lot of trans guys
that I know is that before they affirmed theirselves as transgender, they were
usually fat. Which is weird, but appearance affects the female to the point that it
may make them insecure to the point that it may make them want to be male.
That’s a theory that I have, based on the various people that I’ve seen and known.
So a social factor being there, that’s a huge, huge thing. I see that a lot. I mean like
you could go walk to several girls and ask them if they’d like to be a guy for like a
day, then they would, the key thing is that they would specifically because of their
appearance.

Penulis: Yeah but saying they want to be a guy for a day isn’t the same as “I think
my identity is wrong.”

Subjek A: Yeah but that’s not the point. The point is appearance is a big factor,
which is why it’s worsened today. Why are there a lot more trans people today?
Because the standard’s gotten higher. The higher standards there are, the more
insecure effects there will be. And the more insecure females are—

Penulis: The more trans. Interesting.

Subjek A: So this goes for what my answers have been as well. If trans men say
that they felt this ever since they’ve been young, appearance is probably a huge
contribution because that’s criticized at a very young age. So that’s just one of the
factors that might affect your data. If they say it’s since birth, or if they say it’s
genetics, if their appearance were inherited from the genes of their parents, and
their parents have also been gender questioning specifically because of their
appearance, then that might just be an appearance thing, and not really the
parents’ part being genetic. Do you get what I mean, that I’m saying this?

Penulis: Isn’t that kind of a forced way of saying it’s genetic? You’re just saying
their appearance is genetic. But yeah, I get it.

86
Subjek A: Yeah I’m saying the appearance might be genetic, not the trans-ness. I
mean if they have biological relatives that have had the same common
appearances and their appearance is not conventionally attractive and makes them
insecure and makes them want to be trans, the common factor there is not
trans-ness it’s their appearance. Bad genes that make you unattractive make you
more likely to be trans.

Penulis: Ah, yeah I get it. But I think that one’s a bit of a stretch because relatives
don’t look the same. Lots of gene-mixing to make you look different from your
parents and other relatives, but I get what you mean.

Subjek A: I’ve never looked into this before, I’ve never really been interested.
I’ve only ever been interested in all the other causes.

Penulis: Can you describe how exactly it feels to be transgender or gender


dysphoric, just that feeling in general? How do you feel in regards to your body,
clothes, social interactions, other aspects of your daily life?

Subjek A: Constant pain. No, uh, how it feels exactly like physically? Mentally?
Emotionally?

Penulis: All of the above.

Subjek A: Physically, it sucks. It feels wrong. It feels like there should be


something there, but there isn’t. Physically, it probably only affects me in the
ways that most other disorders do, like depression and stuff, that the distress that
comes from dysphoria makes you tired. It doesn’t feel like anything. Emotionally,
AAAAAAAAAAA (berteriak dengan dramatis untuk menandakan penderitaan dan
kekacauan emosional yang dialaminya). How do I feel in regards to my body,
clothes, social interactions? I’m definitely more self-conscious, more
self-conscious about the way I appear towards others. There’s like a natural
feeling to appear or actively try to appear more like the gender that you are
identifying as. It definitely affects social interactions. Though naturally, if you
haven’t transitioned then you’re trying to look a certain way, and you can’t look a

87
certain way. It’s like showing up to your own wedding wearing a bathrobe. It’s not
right. It’s not what should be happening.

Penulis: Wait, so you try to present as your assigned sex or your gender identity?

Subjek A: Gender identity. Well, of course there are still places where you have
to appear as your assigned sex. Such as church, like that. Other aspects of my
daily life, I’m definitely more conscious about the way that I act, the way, the way
that I appear, what I sound like, certain movements. Am I eating like a male? Am
I holding something like a man would?

Penulis: Wow.

Subjek A: Yeah, that stuff is kind of constant. That generally happens with a lot
of people who are still dysphoric. People who aren’t dysphoric are fine, it’s fine
for them. People who are transgender and have transitioned and look generally
male, that stuff doesn’t happen to them. Not always. It’s the constant feeling, for
sure. It’s the constant “wrongness”.

Penulis: Got it. There was one other aspect you said. I forgot, “mentally”? Or did
you already cover that?

Subjek A: No, I think that goes under the subsection of “AAAAAAAAAAA”, so I


think that’s covered.

Penulis: Okay, so you mentioned earlier that you have not transitioned.

Subjek A: I have not transitioned.

Penulis: Do you want to? Have you ever thought of doing it?

Subjek A: Yes. I want to so bad. Yeah, of course I do.

Penulis: What’s hindering you, what’s stopping you, aside from your parents?

Subjek A: Money. It’s expensive. There are other things that are hindering me.
Overall my general appearance, right? I can’t try to present as male without

88
hormone replacement as of right now, because I am thick. I’m curvy. I can’t pass
as male, no matter how hard I try. Other things hindering me: There are doubts
about transgenderism as well. That’s one, right? That’s like, am I actually
transgender? I don’t know. Do I actually have a disorder, or am I just really
insecure and just very obviously want to be a member of the opposite sex. Other
things that are hindering me. Hormone replacement has health risks. That is a
major thing. What else is hindering me? Religious guilt, baby. That’s it, I think.

Penulis: Very comprehensive. Very complete answer. Thank you. Do you like to
spend more time with friends of the same or different sex from yours.

Subjek A: Assigned sex?

Penulis: Yeah, assigned. Like generally, do you like to socialize more with girls or
boys?

Subjek A: I don’t know. I think I have equal social circles in both. But I do prefer
being around guys, I suppose. There are certain things I don’t relate with the
female experience, and that’s generalizing. But in my experience with specific
social circles I probably resonated with guys more than I did with the girls.

Penulis: Yes, okay. So you are still in the closet, right? Yes. I know you are still in
the closet.

Subjek A: Umm, mostly. Not really.

Penulis: Just to your parents right?

Subjek A: Just to my parents. Like if a teacher, or if a stranger, if my pastor came


up to me and asked me whether or not I was trans, I’d tell him, “Don’t tell my
mom. Yes, I am.” As long as my parents don’t find out, I’m out of the closet.

Why don’t you want your parents to find out?

Subjek A: Because I’m already a disappointment, I don’t wanna make it worse.


Because I’m still in one same house with them, and the tension and enmity might

89
make it worse. Also, they have a big problem about intervening, so I find
whenever I come out to them I would probably get some major conversion
therapy-type stuff going on.

Penulis: Oh, yikes.

Subjek A: Yeah. Thing is, if I have moved out and have transitioned, I’m
completely fine. As long as I’ve moved out, done, out of the closet.

Penulis: Alright. How supportive are the people around you that do know about
your transgenderism? Like, just in your general environment, school, not at home,
basically not online. Just the people around you that you interact with, except
from your parents, that know about your transgenderism. How supportive would
they be?

Subjek A: There are different opinions, but generally the people from my old
school, I’ve told them, and they don’t care. Except for like one person who avidly
hates it and tried to go against it. I’m not out of the closet to my current school
friends. But in my closer inner group of friends, there has been two people who
have, like, verbally acknowledged they don’t like me anymore because of that, so,
yuck. And my close friends are all very supportive of it. Very, very supportive.
Great people, wonderful people.

Penulis: That’s good to know. You already told how you think your parents would
react to it, but if you told other people like your school, how do you think they
would act towards it? How do you think they’d respond? Just people in general, in
your environment.

Subjek A: Some are strictly always religious, so I think there’d be a lot of either
complete indifference or people who are taking offense.

Penulis: Okay. And we’re done!

90
Tangkapan Layar Wawancara dengan Subjek B

91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
Tangkapan Layar Wawancara dengan Subjek C

105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
Tangkapan Layar Jawaban Subjek A untuk Kuesioner Preferensi
Penggunaan Tangan

119
Tangkapan Layar Jawaban Subjek B untuk Kuesioner Preferensi
Penggunaan Tangan

120
Tangkapan Layar Jawaban Subjek C untuk Kuesioner Preferensi
Penggunaan Tangan

121
Pengukuran Indeks Lateralitas (LI) untuk Kuesioner Preferensi Penggunaan
Tangan

122

Anda mungkin juga menyukai