Makalah Ppom
Makalah Ppom
Disusun oleh:
KELOMPOK 5
Dewi Puspita N., 0606070636
Pricellya, 0606070926
Tri Wahyuni, 0606071001
DEPARTEMEN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2009
Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) / Chronic Obstructive
Pulmonary Diseases (COPD)
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) merupakan penyakit yang
ditandai adanya obstruksi aliran udara progresif akibat bronkitis kronik dan
emfisema. PPOM juga didefinisikan penyakit paru kronik yang ditandai
dengan keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh proses
inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat
memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan
dapat diobati.
Gangguan aliran udara di dalam saluran napas disebabkan oleh proses
inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya kombinasi penyakit saluran
napas kecil (small airway disease) dan destruksi parenkim (emfisema).
B. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat:
1. Derajat I: PPOM ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).
Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80%
Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa
fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II: PPOM sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%;
50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas.
Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena
sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III: PPOM berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi). Terjadi
sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan
eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV: PPOM sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP <
70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi, ditambah dengan
adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.
Bronkitis Kronik
Definisi bronkitis kronik merupakan suatu definisi klinis yaitu batuk-
batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3
bulan dalam 1 tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
Beberapa penyakit lain juga memberikan gejala yang sama antara lain
tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial. Karena itu
penyakit-penyakit tersebut harus disingkirkan dulu sebelum diagnosis
bronkitis kronik dapat ditegakkan. Kadang-kadang sukar membedakan antara
bronkitis kronik dan asma bronkial, dan keduanya dapat timbul bersamaan
pada seorang pasien.
Bronkitis kronik dapat dibagi atas:
1. Simple chronic bronchitis : bila sputum bersifat mukoid.
2. Chronic atau recurrent mucopurulent bronchitis : bila sputum
bersifat mukopurulen.
3. Chronic obstructive bronchitis : bila disertai obstruksi saluran napas
yang timbul apabila terpajan zat iritan atau ada infeksi saluran napas
akut.
Emfisema
3
Definisi emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu
perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal
saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding
alveolus.
Menurut American Thoracis Society (1962), emfisema dibagi atas:
1. Paracicatricial: terdapat pelebaran saluran udara dan
kerusakan dinding alveolus di tepi suatu lesi fibrotik paru.
2. Lobular: pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding
alveolus di asinus/lobulus sekunder.
Emfisema dibagi lagi menurut tempat proses terjadinya, yaitu:
1. Sentrolobular (centriacinar/centrilobular emphysema) :
kerusakan terjadi di daerah sentral asinus. Daerah distalnya tetap
normal. Sering ditemukan pada pasien pria perokok, biasanya
pada lobus atas paru dan menyertai pasien bronkitis kronik.
2. Panlobular (panacinar/panlobular emphysema) : kerusakan
terjadi di seluruh asinus. Terdapat pada pasien definisi alfa-1 anti
tripsin dan sering menyertai proses degeneratif atau pasien
bronkitis kronik. Timbul pada lobus bawah paru.
3. Tak dapat ditentukan : kerusakan terdapat di seluruh asinus,
tetapi tidak dapat ditentukan dari mana mulainya.
C. Patogenesis
Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronkitis kronik dan
emfisema paru, yaitu rokok, infeksi, dan polusi. Selain itu terdapat pula
hubungan dengan faktor keturunan dan status sosial.
Rokok
Menurut buku Report of the WHO Expert Committee on Smoking
Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitis kronik dan
emfisema paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan
VEP (Volume Ekspirasi Paksa) 1 detik. Secara patologis, rokok berhubungan
dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus
saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut.
Menurut Crofton dan Douglas, merokok menimbulkan pula inhibisi
aktivitas sel rambut getar, makrofag alveolar dan surfaktan.
5
Infeksi
Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya pun
lebih berat. Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang pasien
bronkitis kronik hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Diperkirakan eksaserbasi bronkitis
kronik paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian
menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri. Bakteri yang diisolasi paling
banyak adalah Haemophillus influenza dan Streptococcus pneumonia.
Polusi
Insidensi dan angka kematian bronkitis kronik diperkirakan lebih tinggi
di daerah industri. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu
besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok, risiko akan lebih tinggi.
Eksaserbasi akut pada bronkitis sering ditimbulkan oleh polusi SO2 yang
tinggi, sedangkan NO2 dapat menyebabkan obstruksi saluran napas kecil
(bronkiolitis).
Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit paru kronik, terbukti
pada survei terakhir didapatkan bahwa anak-anak dari orang tua yang
merokok mempunyai kecenderungan mengalami penyakit paru kronik lebih
sering dan lebih berat, serta insidensi penyakit paru kronik pada grup tersebut
lebih tinggi.
Faktor genetik tersebut diantaranya adalah atopi yang ditandai dengan
adanya eosinofilia atau peningkatan kadar IgE serum, adanya hiperesponsif
bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein
alfa-1 anti tripsin.
Pasien dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin (AAT) yaitu suatu kelainan
ynag diturunkan secara autosom resesif, terutama pada pasien dengan gen S
atau Z sering menderita emfisema. Alfa-1 anti tripsin merupakan suatu
protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada
peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru. Dengan demikian
AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan yang disebabkan enzim
proteolitik. Orang yang mempunyai nilai AAT < 35 % normal, tidak mampu
memberikan perlindungan yang adekuat dan kerusakan parenkim paru dapat
terjadi.
7
antitripsin (alfa-1 globulin) menjadi menurun. Akibat tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan antielastase akan terjadi kerusakan jaringan
elastin paru dan kemudian emfisema.
Lingkungan Kerja
Bronkitis kronik lebih sering terjadi pada pekerja yang terpajan zat
inorganik, debu organik atau gas yang berbahaya. Pekerja yang terpajan zat
tersebut mempunyai kemungkinan bronkitis 2-4 kali daripada pekerja yang
tidak terpajan. Secara epidemiologi didapatkan penurunan fungsi paru pada
pekerja-pekerja tersebut, seperti pekerja pabrik plastik yang terpajan toluene
diisocyanate, pabrik katun, dan lain-lain.
D. Patofisiologi
Penyempitan saluran napas terjadi pada bronkitis kronik maupun pada
emfisema. Bila sudah tmbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan
adanya tanda-tanda obstruksi. Pada bronkitis kronik, sesak napas terutama
disebabkan karena perubahan pada saluran napas kecil, yang diameternya < 2
mm, menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan kadang-kadang terjadi
obliterasi. Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran
napas besar juga berubah, terutama karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar
mukus, sehingga saluran napas lebih menyempit.
Pada emfisema, penyempitan saluran napas terutama disebabkan
elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan
tekanan yang menarik jaringan paru ke luar, yaitu yang disebabkan tekanan
intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik
jaringan paru ke dalam, yaitu elastisitas paru. Bila timbul keseimbangan
antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai
KRF (Kapasitas Residu Fungsional) atau FRC (Functional Residual
Capacity) yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan
baru dan menghasilkan KRF baru pula, yang lebih besar. Volume residu (VR)
atau Residual Volume (RV) dan KTP (Kapasitas Total Paru) bertambah pula,
tetapi KV (Kapasitas Vital) menurun.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang
menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran napas bagian bawah
paru akan tertutup. Pada pasien emfisema dan bronkitis kronik, saluran napas
tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran
napas menutup serta serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan
ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya
dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang tidak ada, akan tetapi perfusi
baik sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli
tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan
antara ventilasi dan perfusi di alveoli. Timbul hipoksia dan sesak napas.
Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah
paru dan polisitemia. Terjadi hipertensi pulmonal, yang dalam jangka lama
dapat menimbulkan kor-pulmonal.
E. Manifestasi Klinik
Tanda-tanda umum PPOM :
1) Batuk produktif
Batuk produktif ini disebabkan oleh inflamasi dan produksi mukus
yang berlebihan di saluran nafas.
2) Dispnea
Terjadi secara bertahap dan biasanya disadari saat beraktivitas fisik.
Berhubungan dengan menurunnya fungsi paru-paru dan tidak selalu
berhubungan dengan rendahnya kadar oksigen di udara
3) Batuk kronik
Batuk kronis umumnya diawali dengan batuk yang hanya terjadi pada
9
pagi hari saja kemudian berkembang menjadi batuk yang terjadi sepanjang
hari. Batuk biasanya dengan pengeluaran sputum dalam jumlah kecil
(<60ml/hari) dan sputum biasanya jernih atau keputihan. Produksi sputum
berkurang ketika pasien berhenti merokok
4) Mengi
Terjadi karena obstruksi saluran nafas
5) Berkurangnya berat badan
Pasian dengan PPOM yang parah membutuhkan kalori yang lebih
besar hanya untuk bernapas saja. Selain itu pasien juga mengalami
kesulitan bernafas pada saat makan sehingga nafsu makan berkurangdan
pasien tidak mendapat asupan kalori yang cukup untuk mengganti kalori
yang terpakai. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya berat badan
pasien.
6) Edema pada tubuh bagian bawah
Pada kasus CPOD yang parah, tekanan arteri pulmonary meningkat
dan ventrikel kanan tidak berkontraksi dengan baik. Ketika jantung tidak
mampu memompa cukup darah ke ginjal dan hati akan timbul edema pada
kaki, kaki bagian bawah, dan telapak kaki. Kondisi ini juga dapat
menyebabkan edema pada hati atau terjadinya penimbunan cairan pada
abdomen (acites)
PPOM eksaserbasi
1. Peningkatan volume sputum
Terjadi karena produksi mukus yang berlebihan akibat displasia sel-
sel penghasil mukus di bronkus. Silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia sehingga mengganggu
11
sistem escalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus yang
kental dalam jumlah yang besar dan sulit dikeluarkan.
2. Adanya sputum purulen
Mukus dapat menjadi tempat persemaian mikroorganisme penyebab
infeksi dan menyebabkan mukus tersebut menjadi purulen.
3. Dispnea akut
Karena adanya mukus yang kental dan peradangan (bronkitis) serta
hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus (emfisema),
maka akan terjadi penghambatan ventilasi sehingga mengakibatkan
kesulitan dalam pernapasan (dispnea)
4. Rasa sesak pada bagian dada
Karena dispnea tersebut maka akan timbul kesulitan bernapas yang
menyebabkan rasa sesak pada bagian dada.
5. Kebutuhan akan bronkodilator
Karena terjadi spasme saluran napas yang sudah memburuk, maka
kebutuhan pasien akan bronkodilator menjadi meningkat
6. Malaise dan fatigue
Karena terdapatnya gangguan ventilasi maka kebutuhan oksigen untuk
jaringa tubuh menjadi berkurang sehingga menyebabkan malaise dan
fatigue pada penderita PPOM.
7. Penurunan toleransi aktivitas
Akibat dari malaise dan fatigue sebelumnya, maka penderita PPOM
akan membatasi aktivitas sehingga dapat dikatakan toleransi aktivitas
menjadi menurun.
F. Diagnosis PPOM
1. Anamnesis
Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat keluarga PPOM, riwayat eksaserbasi dan
perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap
aktivitas, dll.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang-
kadang terdengar ronki pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada
keluhan sesak, akan terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun
inspirasi, kadang disertai bising mengi. Juga didapatkan tanda-tanda
13
overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, diameter anteroposterior
dada bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra
sterna kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subkostal
bertambah.
Pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas
paru hati lebih kecil ke bawah, pekak jantung berkurang, suara napas
dan suara jantung lemah. Kadang-kadang disertai kontraksi otot
pernapasan tambahan. Sering didapatkan hernia inguinal. Bila sudah
ada kenaikan tekanan pulmonal, suara jantung kedua akan lebih keras,
terutama di ruang interkostal 2 dan 3 sebelah kiri. Pada pembesaran
jantung kanan akan terlihat pulsasi di dada kiri bawah pinggir sternum.
Pasien dengan bronkitis kronik yang lebih dominan, pada stadium
lanjut biasanya terlihat gemuk dan sianosis. Sesak tidak begitu berat
dan otot-otot pernapasan tambahannya pun tidak digunakan. Sering
disertai tanda payah jantung kanan. PaO2 menurun dan PaCO2 normal
Uji Bronkodilator
15
Uji bronkodilator adalah suatu pemeriksaan faal paru sebelum dan
sesudah pemberian bronkodilator untuk menilai reversibilitas penyakit.
Di Rumah Sakit Persahabatan uji bronkodilator dikerjakan sebagai
berikut :
Dilakukan pengukuran APE atau VEP1 pada pasien yang telah
dibebaskan dari bronkodilator sebelumnya. Pemakaian teofilin
dihentikan selama 12 jam, untuk lepas lambat 24 jam. β 2 agonis oral
4. Pemeriksaan Radiologis
Foto dada pada bronkitis kronik
Bronkitis kronik bukan suatu diagnosis radiologis. Menurut Fraser
dan Pare, lebih dari 50% pasien bronkitis kronik mempunyai foto dada
yang normal, sedangkan Hardiarto mendapatkan 26% pasien. Tetapi
secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Tubular shadows atau tram lines terlihat bayangan
garis-garis yang paralel, keluar dari hilus menuju
apek paru. Bayangan tersebut adalah bayangan
bronkus yang menebal. Dari 300 pasien yang
diperiksa Fraser dan Pare, ternyata 80% mempunyai
kelainan tersebut.
b. Corak paru yang bertambah. Menurut Gamsu dan
Nadel kira-kira pada 0-20% pasien.
17
PaCO2 naik. Saturasi hemoglobin menurun dan timbul sianosis. Terjadi
juga vasokontriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoiesis.
Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoietin
sehingga menimbulkan polisitemia. Pada pasien yang berumur lebih dari
55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih
berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan timbul
cepat.
6. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan ini mencatat ada tidaknya serta perkembangan kor
pulmonal (hipertrofi atrium dan ventrikel kanan)(Rubenstein, et.al.,
2007). Pada pemeriksaan EKG, untuk penderita kor-pulmonal paru
diperhatikan hal-hal seperti dibawah ini:
1) Adanya emfisema dapat menimbulkan
perubahan-perubahan pada pemeriksaan EKG
2) Perubahan pada EKG yang ditimbulkan oleh
emfisema mengaburkan penilaian perubahan
EKG yang disebabkan hipertrofi bilik kanan
jantung
3) EKG bisa normal walaupun diagnosis kor-
pulmonal telah jelas
Emfisema dan hipertrofi bilik kanan jantung secara bersama-sama
dapat menimbulkan perubahan pada EKG. Hal ini kadang-kadang dapat
menimbulkan kesalahan dalam penilaian.
Soemantri, E.S., Uyainah, A. 2001. Ilmu Penyakit Dalam : Bronkitis Kronik dan
Emfisema Paru Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
19
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08UjiFaalParu084.pdf/08UjiFaalParu084.ht
ml
http://72.14.235.132/search?q=cache:4ioH9lEjzzoJ:fkuii.org/tiki-
download_wiki_attachment.php%3FattId%3D2292%26page
%3DAktifitas+pedoman+penatalaksanaan+penyakit+paru+obstruktif+kroni
s&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id
21