Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu Negara. Sebab tanpa
konstitusi negara tidak mungkin terbentuk. Dengan demikian konstitusi
menempati posisi yang sangat vital dalam kehidupan ketatanegaraan suatu
Negara. Dengan kata lain, konstitusi membuat suatu peraturan pokok
mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan Negara.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai suatu bentuk konstitusi tertulis


adalah induk dari segala perundang-undangan dalam Negara Republik
Indonesia yang memberikan landasan hukum untuk pembuatan segala
peraturan dan berlakunya peraturan-peraturan itu.

Untuk itu, kami akan menelaah lebih lanjut, bahwa UUD 1945 itu
menganut nilai apa dan bagaimana pengimplementasiannya dalam kehidupan
bernegara. Hal ini dianggap perlu karena pelaksanaan UUD 1945 harus efektif
dalam pelaksanaan nilai-nilai yang dianutnya.

2. Rumusan Masalah

1. Pembagian Nilai – Nilai Konstitusi


2. Nilai Konstitusi Indonesia Berdasarkan UUD 1945
3. Penerapan Nilai-Nilai Konstitusi dalam UUD 1945

Page 4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pembagian Nilai-Nilai Konstitusi


Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of
Constitutions” membedakan 3 (tiga) macam Nilai Konstitusi atau the values
of the constitution, dengan didasarkan pada realitas kekuasaan dan norma
konstitusi, yaitu :
a) Normative Value (Nilai Normatif)
b) Nominal Value (Nilai Nominal)
c) Semantical Value (Nilai Semantik)

Nilai Normatif apabila konstitusi tersebut resmi diterima oleh suatu bangsa


dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi
juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. Norma-norma konstitusi itulah yang mengatur dan
mejadi guideline pada proses-proses politik yang terjadi di masyarakat.

Nilai Nominal apabila konstitusi tersebut secara hukum jelas berlaku, dan


memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak memiliki kenyataan
eksistensi. Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut hanya menjadi dokumen
hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang
ada dalam konstitusi itu sendiri.

Dalam Praktiknya dapat pula terjadi percampuran antara nilai nominal dan
normatif. Hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar yang
dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik,
sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian, sedangkan
sebagaian lainnya hanya bernilai nominal

Nilai Semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya secara


hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan
bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan

Page 5
yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai
alat pelanggengan kekuasaan saja. Pada intinya keberlakuan dan penerapan
konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan
yang ada.
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting,
yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das
sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan
dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga
merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan
efektif.

2. Nilai Konstitusi Indonesia berdasarkan UUD 1945


Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni,
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki
kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945
pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi
dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa
saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu
dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini esekutif
(Presiden)  dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal 24 dan 25 Undang-
Undang Dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut dapat terlihat
dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun 1965.

Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan
hal tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan
membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang
Dasar pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar
sementara, mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan
kemerdekaan maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum
tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk
melanggengakan kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan. Maka timbulah
adigium negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan
kekuasaan”.

Page 6
Kemudian, Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4,
memberikan nilai lain pada konstitusi kita. Dalam pasal - pasal konstitusi kita
memiliki nilai nominal. Misal pada pasal 28B ayat (2) tentang HAM, yang berbunyi
“Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Walaupun dalam ayat tersebut
terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya
masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Kemudian
pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan
menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan.
Hal tersebut menjadi dilematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan
demikian, mengapa tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Hal lain
adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” . Kata-kata wajib
membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa
terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib
disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan
pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal selanjutnya adalah pasal 33
ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Kata dipergunakan dalam ayat tersebut tampaknya masih jauh
dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang
dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa
pulang ke negara asal mereka. Kondisi demikian masih jauh dari tujuan pasal
tersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34
ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara”. Kata dipelihara disini bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar
dibiarkan “berpesta ngemis” atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin
jaminan sosial dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia.

Page 7
Dari penjelasan tersebut, tampaknya UUD 1945 mempunyai nilai nominal.
Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan
dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku
secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan
dijalankan secara murni dan konsekuen.

3. Penerapan Nilai-Nilai Konstitusi dalam UUD 1945


UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama
pada tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000, Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan
Perubahan Keempat Tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945
yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi
yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah
terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi
yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD 1945.

Dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945


ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan
pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status
Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tidak terpisahkan dari
naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jika pun isi
Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, maka
jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang
terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa
yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tersebut.

UUD 1945 tampaknya menganut Nilai Nominal karena dalam


kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi tersebut berlaku secara
menyeluruh dan dijalankan dengan konsekuen. Contohnya saja pada Pasal 28
D (1) Bab XA UUD 1945 yang mengatakan bahwa Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pertanyaannya sekarang apakah

Page 8
kata-kata yang mengatakan bahwa kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum itu konsekuen dengan faktanya dalam
kehidupan bernegara? Oleh karena itu, jika UUD 1945 kita ingin diubah
nilainya menjadi nilai normatif, maka harus sesuai antara Das Sein dan Das
Sollen dalam pelaksanaannya di kehidupan bernegara.

Page 9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions”
membedakan 3 (tiga) macam Nilai Konstitusi atau the values of the
constitution, dengan didasarkan pada realitas kekuasaan dan norma
konstitusi, yaitu :
d) Normative Value (Nilai Normatif)
e) Nominal Value (Nilai Nominal)
f) Semantical Value (Nilai Semantik)

2. Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut
terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan
atau prosedur perubahan demikian sulit, karena pada saat itu, nilai konstitusi yang
berlaku adalah nilai semantik.

3. UUD 1945 mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini
berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua
pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya
diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.

Page 10
DAFTAR PUSTAKA

http://nartocalonlegislator.blogspot.co.id/2013/10/nilai-nilai-dalam-
konstitusi.html
https://kshfhunpad.wordpress.com/?s=nilai+konstitusi+indonesia
http://www.gurupendidikan.co.id/tag/perbedaan-konstitusi-tertulis-dan-tidak-
tertulis/
http://www.gurupendidikan.co.id/konstitusi-tertulis-tidak-tertulis-pengertian-
fungsi-kelebihan/

Page 11

Anda mungkin juga menyukai