Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN

GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN DAN INTEGUMEN

Disusun oleh :

EKY NUR WULANDARI 1150019005

APRILIYA AIDHA R 1150019040

NOVIA ANDRIANI 1150019054

RIRIN INDAHWATI 1150019063

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

TAHUN AJARAN 2021-2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa.Yang telah melimpahkan rahmat serta
serata hidayahnya kepada kami sehinga makalah ini dapat terselesaikan.Makalah ini di susun dalam
rangka memenuhi penugasan Makalah gerontik

Makalah ini dibuat dengan tujuan agar pembaca mendapatkan informasi mengenai Teori dan Asuhan
Keperawatan gangguan kebutuhan oksigenasi, sehingga pembaca dapat mengetahui bagaimanaTeori
dan Asuhan Keperawatan gangguan kebutuhan oksigenasi. Kami berharap makalah ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai gerontik keperawatan

Kami menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan.Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian untuk penyempurnaan
makalah ini.Agar selanjutnya kami bisa mebuat dengan lebih baik lagi.

Surabaya, 14 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan
proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami
pada semua makhluk hidup.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses alamiah
kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua
orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di
dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat
kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak
tertandingi. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya
tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun
demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum
lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa,
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain
sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupunmental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti
berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, lebih mudah terkena
konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih
harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai. Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada
organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta
menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain
. Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap
yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations),
ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan
dengan proses kemunduran. Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal,
seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya
inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut.
Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial
serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada
pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di
masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia
urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74
tahun. Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan
oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk
diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu
diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan
gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada
pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka
pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus
inkontinensia urin pada lanjut usia
4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut
usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut usia.
Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin pada
lanjut usia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau
menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine dapat
berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Inkontenensia urine
merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar
keinginan. (Brunner dan Suddart, 2002) Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat,
2006

inkontinensia dorongan Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa


sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat
setelah berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi
miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung
kemih (Hidayat,2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul
sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.

inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang


terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan
penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis,kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf
medullaspinalis, fistula, neuropati.
inkontinensiastress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan
peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih,
dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
sping teruretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang
disebabkan meningkatnya tekanan diabdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker,
2007)
inkontinensiareflex Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang
tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
kerusakan neurologis (lesimedulla spinalis). Inkontinensia
refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi
atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
intervalteratur

inkontinensiafungsional keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara


tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

B. Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih,
sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian
bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi.
Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi
perilaku harus dilakukanjika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi
feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan
yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena
produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes
melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa
diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung
kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urinmeningkat dan harus dilakukan terapi
medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik,
trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah
psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik
yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Jika
kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan,
penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi
pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol
juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas
inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot
dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat
otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan
lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon
estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot
vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia
urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung
kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

C. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus

1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga berpengaruh
terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu untuk mengontrol buang
air besar maupun buang air kecil karena sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan
baik. Manusia usia lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya
terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan
kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada mv anusia usia lanjut berisiko
mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter
sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).

2. DietPemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya jengkol,


dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena kandungan pada
jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan terbentuknya
kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran utine
menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar
terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk
mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan
tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ
perkemihan(Asmadi, 2008).

3. Cairan

Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk difiltrasi
menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat(Asmadi, 2008).
4. Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang baik
dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting bagi miksi (Asmadi, 2008).

5. Stres psikologi

Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan mengalami diare
ataupun beser (Asmadi, 2008).

6. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh karena
meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan
sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit.
Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu
terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).

7. Nyeri

Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang seimbang, maupun
nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine (Asmadi, 2008).

8. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat Amerika Utara
mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi, sementara budaya Eropa
menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersamasama (Potter & Perry,2006).

9. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan, peningkatakan
asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine. Cairan yang diminum akan
meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2006).

10. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan hilangnya tonus
kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan individu mengalami kesulitan
untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan
kondusi neuropatik yang mengubah fungsi kandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi
degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter &
Perry,2006).

11. Prosedur bedah


Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum menjali pembedahan
yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi, yang memperburuk
berkurangnya keluaran urine. Respons stres juga meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan
berkurangnya keluaran urine dalam upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter &
Perry,2006).
12. Obat-obatan

Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin), antihistamin
(sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik (inderal) (Potter &
Perry,2006).

D. Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar,
proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen
membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi
oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan
kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek
serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya
penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering
mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara
kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih
akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

E. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah

(2008) yaitu:

1. Ketidaknyamanan daerah pubis

2. Distensi vesika urinaria


3. Ketidak sanggupan untuk berkemih

4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)

5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya

6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih

7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

F. Pemeriksaan penunjang

1. Urinalisis

Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.

2. Uroflowmeter

Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah
kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.

3. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi
refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap
rangsangan panas.

4. Urografi ekskretorik

Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal,
ureter dan kandung kemih.

5. Kateterisasi residu pascakemih


Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang
tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

G. Penatalaksanaan Medis

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal
tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih

2. Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang

keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu
dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.

Terapi non farmakologi Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi,
dan

lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :


1. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.

2. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya

3. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.

4. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengankebiasaan


lansia.

5. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka
serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).

Terapi farmakologi

1. Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:

2. antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine

3. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine


untuk meningkatkan retensi urethra.

4. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfa
kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara
singkat.

Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapinon
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita).
Modalitas lainSambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal,
bedpan

BAB III
ASKEP INKONTINENSIA URIN

A. PENGKAJIAN

1. Identitas Klien
Nama : Ny. M

Tempat/Tanggal Lahir : 61 th
Jenis kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah

Pendidikan : SD
Pekerjaan : -
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia

Tanggal Masuk RS : Rabu, 15 November 2011


No. RM : 235501
Ruang : Dahlia
Penanggung Jawab

Nama : Tn. F

Umur : 64 th

Pekerjaan : swasta
Alamat : Mojokerto

2. Riwayat Sakit dan Kesehatan

a. Keluhan Utama

Klien datang dengan keluarganya ke RS dengan keluhan ingin BAK terusmenerus dan tidak bisa
ditahan sampai ke toilet.
b. Riwayat kesehatan sekarang

Klien mengatakan kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien juga mengatakan dia tidak
bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi untuk sampai toilet. klien mengaku dia
mengurangi minum agar tidak mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus. Klien
mengatakan lecet-lecet pada kulitnya. Klien mengatakan malu apabila keluar rumah, karena
mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam dirumah.

c. Riwayat kesehatan dahulu

Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumya. Klien mengatakan
pernah dirawat di RS dan dipasang kateter.

d. Riwayat kesehatan keluarga

e. Klien mengatakan keluarganya tidak pernah mengalami penyakit yang sama


sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.

3. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum : klien tampak lemas, dan gelisah

b. Tanda-Tanda Vital :

TD : 160/90 mmHg

ND : 90x/mnt

RR : 18x/mnt

S : 370C

c. Integumen
Kulit kering dan keriput
Terdapat luka tekan (dekubitus)

d. Kepala
Simetris dan tidak ada benjolan, warna rambut putih, distribusi rambut merata

e. Mata
Konjungtiva merah muda

Pupil : an isokor

f. Telinga
Bersih, tidak ada serumen

g. Mulut dan gigi


Gigi tanggal Mulut kering, air liur mudah mengental Bibir pecah-pecah

h. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid atau pembesaran limpa nodi

i. Kardiovaskuler
Peningkatan TD

j. Abdomen
Bising usus (+), Pulsasi, nyeri tekan abdomen

k. Perkemihan
Inkontinensia urine, BAK .> 10 kali, Lebih dari 1500-1600 ml dalam 24 jam Nyeri saat
mengeluarkan urine

l. Genetalia

Kelemahan otot vagina dan uterus

m. Ekstremitas
Kelemahan

n. System endokrin

Penurunan produksi hormon estrogen

4. Pengkajian psikososial

· Murung

· Mudah tersinggung

· Mudah marah

· Depresi

· Dimensia

· Isolasi social

· Perubahan peran

5. Pengkajian lingkungan

Kondisi rumah :

a. Penerangan : penerangan baik, pada siang hari ada cahaya dari ventilasi rumah

b. Lantai : lantai tidak licin

c. Keadaan rumah datar

d. Tata ruang

· Tata ruang tidak sering diubah

· Kamar mandi jauh, didekat dapur


· Peralatan yang diperlukan tidak jauh dari jangkauan

B. ANALISA DATA

NO Data Etiologi Masalah


1. DS: Sering berkemih, Perubahan
Klien mengatakan ingin BAK terus urgensi polae liminansi
menerus
Klien mengatakan kencingnya lebih
dari10 kali dalam sehari.
Klien juga mengatakan dia tidak bisa
menahan kencingnya
DO:
Klien sering mengompol
3. DS: Intake dan output Kekurangan volume
Klien mengatakan jarang minum agar yang tidak adekuat cairan
tidak mengompol
Klien mengatakan sering menahan
haus
DO:
Jumlah urine lebih dari 1500-1600 mm
dalam 24 jam
klien tampak lemas
kulit klien kering

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1) Kekurangan volum cairan berhubungan dengan intake dan output yang tidak adekuat

2) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan sering berkemih, urgensi

D. INTERVENSI

NO Dx Tujuan Kriteriahasil Intervensi Rasional


keperawatan
1. Kekurangan Setelah TTV stabil Mandiri:
volum cairan dilakukan Membranemukos ● Dapatkan ●Untuk
berhubungan intervensi a bibir riwayat pasien/ memperoleh data
dengan selama 2x24 lembab Turgor orang terdekat tentang penyakit
intake dan jam kulit sehubungan pasien, agar
output yang diharapkan elastic dengan dapat melakukan
tidak Klien Intake dan output lamanya,gejala tindakan sesuai
adekuat menunjukkan seimbang seperti muntah yang dibutuhkan
hidrasi yan dan pengeluaran
gadekuat/kek urine yang ●Indicatorhidr
urangan berlebihan asi/volum
cairan dapat ●Pantau TTV, catat
adanya perubahan
diatasi TD warna kulit sirkulasi dan
dan kelembaban- kebutuhan
nya intervensi
●Pantau masukan ●Membandingkan
dan pengeluaran keluaran actual
urine dan yang
diantisipasi
membantu dalam
evaluasi
adanya/derajat
stasis/kerusakan
● Timbang ginjal
BB setiap ●Peningkatan BB
hari yang cepat
mungkin
berhubungan
dengan retensi
●Pertahankan untuk
memberikan ● Memper-
cairan paling tahankan
sedikit keseimbangan
2500ml/hari cairan
dalam batas yang
dapat ditoleransi
jantung
Kolaborasi:
● Berikan
terapi cairan
sesuai indikasi ●Memenuhi
● Berikan cairan IV kebutuhan cairan
tubuh
●Mempertahan kan
volum
sirkulasi,meningkat
kan fungsi ginjal
2. Perubahanpo Mengurangia Individu akan Mandiri:
la eliminasi tau Menjadi ●Tentukan pola ●Kalkulus dapat
berhubungan mengatasi kontinen berkemih menyebabkan
dengan pola (terutama normal pasien eksitalitas saraf,
sering eliminasi selama siang dan tentukan yang
berkemih, agar dapat hari, malam, 24 variasi menyebabkan
urgensi berkemih jam) dan sensasi berkemih
normal mampu segera. Biasanya
mengidentifikasi frekuensi dan
penyebab urgensi
inkontinens dan meningkat bila
rasional untuk kalkulus
pengobatan mendekatipert
emuanuretrove
sikal
●Dorong ●Peningkatan
meningkatkan hidrasi membilas
pemasukan cairan bakteri,darah,
dan debris dan
dapat membantu
lewatnya batu
●Retensi urine
●Selidiki keluhan dapat terjadi
kandung kemih menyebabkandi
penuh, palpasi stensi jaringan
untuk daerah dan potensial
supra pubik resiko infeksi,
gagal ginjal

Kolaborasi: ●Menentukanad
●Ambil urine anya ISK,
untuk kultur dan yang penyebab
sensivitas atau gejala
komplikasi
E. EVALUASI
1. Kekurangan volum Jam8.00WIB Jam 10.00
cairan berhubungan Mandiri: WIBS:
dengan sering berkemih, ●mendapatkan riwayat
urgensi pasien/ orang terdekat
sehubungan dengan
lamanya gejala seperti
muntah dan
pengeluaran urine yang
berlebihan
warna kulit kencingnya
dankelembaban- O:
nya Klien terlihat
memantau masihmengompoltetapis
masukandanpengelua udahberkurangfrekuensi
ranurine nya
menimbangBBsetiapha
ri
mempertahankanuntukm
emberikan cairanpaling
sedikit 2500ml/hari
dalam batasyang dapat
ditoleransijantung
2. Perubahan pola Jam20.00WIB Jam 22.00
eliminasi berhubungan Mandiri: WIBS:
dengan sering berkemih, ●menentukan pola
urgensi berkemih normal
pasien dan tentukan
variasi
●mendorong
meningkatkan
pemasukan cairan
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN

A. Konsep Medis Dekubitus

1. Definisi Dekubitus
Dekubitus sering disebut ulkus dermal / ulkus dekubitus atau luka tekan terjadi akibat tekanan
yang sama pada suatu bagian tubuh yang mengganggu sirkulasi (Harnawatiaj, 2008).
Dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara
terus-menerus sehingga mengakibtakan ganguan sirkulasi darah setempat (Hidayat,2009).
Dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak
tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama
(National Pressure Ulcer Advisory Panel [NPUAP], 1989).
Ulkus Dekubitus atau istilah lain Bedsores adalah kerusakan/kematian kulit yang terjadi akibat
gangguan aliran darah setempat dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol,
dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian
atau benda keras lainnya dalam jangka waktu yang lama.

2. Etiologi Dekubitus
Luka Dekubitus disebabkan oleh kombinasi dari faktor ekstrinsik dan intrinsik pada pasien.
a. Faktor Ekstrinsik

1) Tekanan
Kulit dan jaringan dibawahnya tertekan antara tulang dengan permukaan keras lainnya, seperti
tempat tidur dan meja operasi. Tekanan ringan dalam waktu yang lama sama bahayanya
dengan tekanan besar dalam waktu singkat. Terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian
menyebabkan hipoksi dan nekrosis.tekanan antar muka ( interface pressure). Tekanan antar
muka adalah kekuatan per unit area antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan
antar muka lebih besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka pembuluh darah kapiler akan
mudah kolap, daerah tersebut menjadi lebih mudah untuk terjadinya iskemia dan nekrotik.
Tekanan kapiler rata rata adalah sekitar 32 mmHg.

2) Gesekan dan pergeseran


Gesekan berulang akan menyebabkan abrasi sehingga integritas jaringan rusak. Kulit
mengalami regangan, lapisan kulit bergeser terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal.

3) Kelembaban

Akan menyebabkan maserasi, biasanya akibat inkontinensia, drain dan keringat. Jaringan yang
mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain itu kelembapan juga mengakibatkan
kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi
lebih signifikan dalam perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya
bakteri dan enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.

b. Fase Intrinsik

1) Usia
Pada usia lanjut akan terjadi penurunan elastisitas dan vaskularisasi. Pasien yang sudah tua
memiliki resiko yang tinggi untuk terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah
seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum
albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi
antara epidermis dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan
membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang
merobek. Selain itu, akibat dari penuaan adalah berkurangnya jaringan lemak subkutan,
berkurangnya jaringan kolagen dan elastin. menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit
sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.

2) Penurunan sensori persepsi

Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk merasakan
sensari nyeri akibat tekanan diatas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang
lama, pasien akan mudah terkena luka tekan. karena nyeri merupakan suatu tanda yang secara
normal mendorong seseorang untuk bergerak. Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke,
diabetes) dan koma bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri.

3) Malnutrisi
Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak memiliki lapisan lemak sebagai
pelindung dan kulitnya tidak mengalami pemulihan sempurna karena kekurangan zat-zat gizi
yang penting.Karena itu klien malnutrisi juga memiliki resiko tinggi menderita ulkus dekubitus.
Selain itu, malnutrisi dapat gangguan penyembuhan luka. Biasanya berhubungan dengan
hipoalbumin. Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya diidentifikasi
sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Menurut penelitian Guenter (2000)
stadium tiga dan empat dari luka tekan pada orang tuaberhubungan dengan penurunan berat
badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi.

4) Mobilitas dan aktivitas


Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh,sedangkan
aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus ditempat
tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka tekan. Orang-
orang yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, sangat lemah, dipasung). Imobilitas adalah
faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan.
3. Patofisiologi Dekubitus
Dekubitus terjadi sebagai hubungan antara waktu dengan tekanan(Stotts, 1988). Semakin besar
tekanan, maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Kulit dan jaringan subkutan dapat
mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar
kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya.
Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemia. Jika tekanan ini lebih besar dari
32mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah
kolaps dan thrombosis (Maklebust,1987). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka
sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hyperemia
reaktif. ”karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemia dari
otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemia otot yang berhubungan dengan tekanan
yang akhirnya melebar ke epidermis” (Maklebust, 1995).
Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi saat
menaikan posisi klien di atas tempat tidur . Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh distribusi
berat badan yang tidak merata. Jika tekanan tekanan tidak terdistribusi secara merata pada
tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat.
Metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan. Respon kompensasi jaringan
terhadap iskemi yaitu hyperemia reaktif memungkinkan jaringan iskemia dibanjiri dengan
darah ketika tekanan dihilangkan. Peningkatan aliran darah meningkatkan pengiriman oksigen
dan nutrient ke dalam jaringan. Gangguan metabolic yang disebabkan oleh tekanan dapat
kembali normal. Hyperemia reaktif akan efektif hanya apabila tekanan dihilangkan sebelum
terjadi kerusakan. Beberapa penelitian merasa bahwa interval sebelum terjadi kerusakan
berkisar antara 1 sampai 2 jam. Tetapi, hal ini interval waktu subjectif, dan tidak berdasarkan
data pengkajian klien.

4. Manifestasi Klinis Dekubitus

a. Stadium 1 :
1) Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan dengan kulit yang
normal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut: perubahan temperatur kulit (lebih
dingin atau lebih hangat)

2) Perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak)

3) Perubahan sensasi (gatal atau nyeri)

4) Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap.
Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap,
biru atau ungu.

b. Stadium 2

Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah
lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang yang dangkal.

c. Stadium 3
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringan subkutan
atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam.

d. Stadium 4
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan
pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk
dalam stadium IV dari luka tekan.

5. Klasifikasi Dekubitus

Menurut NPUAP ( National Pressure Ulcer Advisory Panel ), luka tekan dibagi

menjadi empat stadium, yaitu :

a. Stadium 1 : Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema


pada kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri, stadium ini biasanya
reversible dan dapat sembuh dalam 5-10 hari

b. Stadium 2 : Ulserasi mengenai dermis, epidermis dan meluas ke jaringan adiposa terlihat
eritema dan indurasi serta kerusakan kulit partial (epidermis dan sebagian dermis) ditandai
dengan adanya lecet dan lepuh . Stadium ini dapat sembuh dalam 10-15 hari.

c. Stadium 3 : Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkulit dan otot sudah

mulai terganggu dengan adanya edema dan inflamasi, infeksi akan hilang

struktur fibril. Kerusakan seluruh lapisan kulit sampai subkutis, tidak melewati fascia. Biasanya
sembuh dalam 3-8 minggu.
d. Stadium 4 : Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia,otot serta sendi. Dapat sembuh
dalam 3-6 bulan.

6. Pencegahan Dekubitus

Tindakan pencegahan dapat dibagi menjadi :

a. Umum :

1) Pendidikan kesehatan tentang ulkus dekubitus bagi staf medis, penderita dan keluarganya.

2) Pemeliharaan keadaan umum dan higiene penderita.

b. Khusus :

1) Mengurangi/menghindari tekanan luaryang berlebihan pada daerah


tubuh tertentu dengan cara : perubahan posisi tiap 2 jam di tempat tidur sepanjang 24 jam.
melakukan push up secara teratur pada waktu duduk di kursi roda. pemakaian berbagai jenis
tempat tidur, matras, bantal anti dekubitus seperti circolectric bed, tilt bed, air-matras; gel
flotation pads, sheepskin dan lain-lain.
2) Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), tetapi dapat lebih
sering pada daerah yang potensial terjadi ulkus dekubitus. Pemeriksaan kulit dapat dilakukan
sendiri, dengan bantuan penderita lain ataupun keluarganya. Perawatan kulit termasuk
pembersihan dengan sabun lunak dan menjaga kulit tetap bersih dari keringat, urin dan feces.
Bila perlu dapat diberikan bedak, losio yang mengandung alkohol dan emolien.

7. Penatalaksanaan Dekubitus

a. Farmakologi

1) Obat antibacterial topical untuk mengontrol pertumbuhan bakteri

2) Antibiotik prupilaksis agar luka tidak terinfeksi

b. Non farmakologi

1) Mengurangi tekanan dengan cara mengubah posisi selama 5 menit setiap 2 jam.

2) Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya. Keadaan tersebut akan
menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat
dilakukan kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-bahan topikal
seperti larutan NaC10,9%, larutan H202 3% dan NaC10,9%, larutan plasma dan larutan Burowi
serta larutan antiseptik lainnya.

3) Mengangkat jaringan nekrotik. Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran
bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan jaringan
granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan memper-cepat
proses penyembuhan ulkus.
4) Terapi diet
Agar terjadi proses penyembuhan luka yang cepat, maka nutrisi harus adekuat yang terdiri dari
kalori, protein, vitamin, mineral dan air.

Penatalaksanaan klien dekubitus memerlukan pendekatan holistic yang menggunakan keahlian


pelaksana yang berasala dari beberapa disiplin ilmu kesehatan (AHCPR, 1994; Olshansky, 1994)
Gambaran keseluruhan dekubitus akan menjadi dasar pembuatan pohon pengangambilan
keputusan yang digunakan untuk menentukan rencana tindakan (AHCPR, 1994, Maklebust dan
Siegreen, 1991).

Anda mungkin juga menyukai