Abstrak
Budaya lokal merupakan sebuah aspek yang penting untuk dipelajari karena
nilai-nilai dalam aspek tersebut sangat penting untuk dilestarikan agar
budayanya tidak hilang. Dalam sebuah lingkungan pastilah terdapat budaya
yang secara turun temurun dan dari waktu ke waktu terus dilaksanakan guna
melestarikan nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Desa Rau merupakan salah
satu lingkungan yang memiliki budaya lokal untuk diangkat dalam artikel ilmiah
ini, yaitu budaya Bubur Suronan. Bubur Suronan merupakan bubur yang hanya
ada di bulan Suro. Pada tanggal 10 Muharrom atau 10 Suro, masyarakat Desa
Rau melakukan budaya Bubur Suronan. Yaitu dimana diadakan bancakan yang
disimboli oleh bubur suro sebagai hidangan simbolis di hari itu. Bubur suronan
merupakan pengejawantahan rasa syukur manusia atas segala keselamatan dan
keberkahan yang selama ini diberikan oleh Allah SWT.
PENDAHULUAN
Islam dan budaya merupakan dua hal yang memiliki relasi tak terpisahkan
di dalamnya. Islam sendiri merupakan agama yang terbuka terhadap budaya
dimana Islam tidak kaku dalam menghadapi perubahan-perubahan zaman yang
ada. Masyarakat yang dari waktu ke waktu menghadapi perubahan menjadikan
Islam berkolaborasi dengan budaya dalam moderasinya. Islam dan budaya
menjadi sebuah judul yang selaras, hidup dalam masyarakat dan turun-temurun
menjadi sebuah simbol kemasyarakatan.
Islam tanpa budaya memang dapat tumbuh menjadi agama yang mandiri.
Akan tetapi, tanpa budaya perkembangan agama dalam sebuah masyarakat tidak
dapat bertumbuh meluas karena sejatinya manusia hidup berdampingan dengan
budaya. Segala kebiasaan manusia dapat menjadi sebuah budaya apabila
dilaksanakan secara terus menerus. Itulah mengapa sebuah agama membutuhkan
budaya dalam bertumbuh. Selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan
nilai-nilai agama yang terdapat dalam syariat Islam, budaya dapat hidup
berdampingan dengan Islam.
Budaya selalu menjadi hal yang melekat pada masyarakat diantaranya
budaya yang ada di hari-hari khusus seperti peringatan Hari Raya Idul Fitri, Hari
Raya Idul Adha, Tahun Baru Islam, dan masih banyak lagi. Budaya menjadi
sebuah media dalam mendakwahkan ajaran Islam, silaturahmi, perwujudan rasa
syukur, dan pemeliharaan kerukunan dalam kehidupan masyarakat.
Budaya lokal merupakan sebuah aspek yang penting untuk dipelajari karena
nilai-nilai dalam aspek tersebut sangat penting untuk dilestarikan agar budayanya
tidak hilang. Dalam sebuah lingkungan pastilah terdapat budaya yang secara turun
temurun dan dari waktu ke waktu terus dilaksanakan guna melestarikan nilai-nilai
yang ada pada masyarakat. Desa Rau merupakan salah satu desa yang diangkat
budayanya untuk menjadi sebuah tema dalam artikel ilmiah ini. Salah satu budaya
yang dibahas dalam artikel ini adalah Bubur Suronan. Penulis mengangkat budaya
tersebut dengan judul “Bubur Suronan sebagai Peringatan Tahun Baru Islam
di Desa Rau Kedung Jepara”.
METODE PENELITIAN
2
Wawancara dengan Bpk. Amin Miftah (Ta’mir Masjid Baitul Ubbad), Rabu, 15 September 2021
bertempat di rumah Bpk. Amin Miftah.
Tahun baru Islam merupakan hari istimewa bagi umat Islam yang
diperingati pada tanggal 1 Suro atau 1 Muharram dalam tarikh Islam. Tanggal 1
Muharram sendiri memiliki sejarah besar yang ditandai dengan peristiwa
hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Madinah. Disinilah Islam
lahir, dalam arti Islam berkembang sangat pesat setelah hijrahnya Nabi
Muhammad SAW. Islam semakin menyebar di Mekkah dan wilayah sekitarnya.
Hari tersebut diperingati oleh masyarakat Islam di berbagai wilayah Jawa
salah satunya di Desa Rau yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharrom secara
turun temurun sebagai Islam budaya lokal. Dalam peringatan ini, bubur suro hadir
sebagai pengejawantahan rasa syukur manusia atas segala keselamatan dan
keberkahan yang selama ini diberikan oleh Allah SWT. Wujud rasa syukur
tersebut tercermin dari rasa senang dan syukur masyarakat saat bubur suro
dinikmati sebagai hidangan peringatan. Hal ini karena bubur suro merupakan
simbolis momentum Tahun Baru Islam.
Wujud rasa syukur dalam bubur suro juga dipanjatkan dalam rangka
memperingati keselamatan Nabi Nuh AS setelah 40 hari menghadapi musibah
banjir besar. Saat itu, Nabi Nuh AS bertanya sisa makanan yang dapat dimakan
kepada para sahabat, lalu sahabat berkata bahwa masih ada kacang poi, kacang
adas, ba’ruz, tepung dan kacang hinton. Pada saat itulah bubur suro tercipta.
Meskipun bubur merupakan hidangan yang lumrah sebagai sebuah sajian,
bubur sendiri lebih sering dibuat untuk acara-acara khusus seperti “Bancakan”.
Bancakan merupakan syukuran yang biasanya dilakukan saat hari kelahiran anak-
anak. Oleh karena itu, peringatan Tahun Baru Islam juga dibancaki oleh
masyarakat setempat. Masyarakat setempat memakai istilah bancakan pada
peringatan Tahun Baru Islam dalam rangka syukuran hari lahirnya Islam.
Bubur suro bukanlah sebuah sesajen yang bersifat animistik, tetapi justru
merupakan lambang silaturahmi dan persaudaraan antar sesama, karena pada awal
tahun baru, merupakan sebuah momentum yang pas untuk memperkuat tali
persaudaraan. Masyarakat bisanya berkumpul bersama di mushola-mushola
maupun masjid dalam rangka peringatan Tahun Baru Islam pada tanggal 1 Suro
tersebut. Dengan memanjatkan doa bersama sebagai perwujudan syukur kepada
Allah SWT kemudian masyarakat juga membawa jadah berupa bubur suro untuk
dinikmati bersama-sama sebagai media untuk mempererat tali persaudaraan antar
sesama.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Said, H.A. Fuad. (1985). Hari Besar Islam. Jakarta: Yayasan Masagung.
Wawancara dengan Bpk. Amin Miftah (Ta’mir Masjid Baitul Ubbad), Rabu, 15
September 2021 bertempat di rumah Bpk. Amin Miftah.