Anda di halaman 1dari 6

BUBUR SURONAN SEBAGAI PERINGATAN TAHUN BARU ISLAM

DI DESA RAU KEDUNG JEPARA

Adelia Sekar Devanti, Rosika

Abstrak

Budaya lokal merupakan sebuah aspek yang penting untuk dipelajari karena
nilai-nilai dalam aspek tersebut sangat penting untuk dilestarikan agar
budayanya tidak hilang. Dalam sebuah lingkungan pastilah terdapat budaya
yang secara turun temurun dan dari waktu ke waktu terus dilaksanakan guna
melestarikan nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Desa Rau merupakan salah
satu lingkungan yang memiliki budaya lokal untuk diangkat dalam artikel ilmiah
ini, yaitu budaya Bubur Suronan. Bubur Suronan merupakan bubur yang hanya
ada di bulan Suro. Pada tanggal 10 Muharrom atau 10 Suro, masyarakat Desa
Rau melakukan budaya Bubur Suronan. Yaitu dimana diadakan bancakan yang
disimboli oleh bubur suro sebagai hidangan simbolis di hari itu. Bubur suronan
merupakan pengejawantahan rasa syukur manusia atas segala keselamatan dan
keberkahan yang selama ini diberikan oleh Allah SWT.

Kata Kunci : Bubur Suronan, Suro, Muharrom

PENDAHULUAN

Islam dan budaya merupakan dua hal yang memiliki relasi tak terpisahkan
di dalamnya. Islam sendiri merupakan agama yang terbuka terhadap budaya
dimana Islam tidak kaku dalam menghadapi perubahan-perubahan zaman yang
ada. Masyarakat yang dari waktu ke waktu menghadapi perubahan menjadikan
Islam berkolaborasi dengan budaya dalam moderasinya. Islam dan budaya
menjadi sebuah judul yang selaras, hidup dalam masyarakat dan turun-temurun
menjadi sebuah simbol kemasyarakatan.
Islam tanpa budaya memang dapat tumbuh menjadi agama yang mandiri.
Akan tetapi, tanpa budaya perkembangan agama dalam sebuah masyarakat tidak
dapat bertumbuh meluas karena sejatinya manusia hidup berdampingan dengan
budaya. Segala kebiasaan manusia dapat menjadi sebuah budaya apabila
dilaksanakan secara terus menerus. Itulah mengapa sebuah agama membutuhkan
budaya dalam bertumbuh. Selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan
nilai-nilai agama yang terdapat dalam syariat Islam, budaya dapat hidup
berdampingan dengan Islam.
Budaya selalu menjadi hal yang melekat pada masyarakat diantaranya
budaya yang ada di hari-hari khusus seperti peringatan Hari Raya Idul Fitri, Hari
Raya Idul Adha, Tahun Baru Islam, dan masih banyak lagi. Budaya menjadi
sebuah media dalam mendakwahkan ajaran Islam, silaturahmi, perwujudan rasa
syukur, dan pemeliharaan kerukunan dalam kehidupan masyarakat.
Budaya lokal merupakan sebuah aspek yang penting untuk dipelajari karena
nilai-nilai dalam aspek tersebut sangat penting untuk dilestarikan agar budayanya
tidak hilang. Dalam sebuah lingkungan pastilah terdapat budaya yang secara turun
temurun dan dari waktu ke waktu terus dilaksanakan guna melestarikan nilai-nilai
yang ada pada masyarakat. Desa Rau merupakan salah satu desa yang diangkat
budayanya untuk menjadi sebuah tema dalam artikel ilmiah ini. Salah satu budaya
yang dibahas dalam artikel ini adalah Bubur Suronan. Penulis mengangkat budaya
tersebut dengan judul “Bubur Suronan sebagai Peringatan Tahun Baru Islam
di Desa Rau Kedung Jepara”.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara kepada Ta’mir Masjid


Baitul Ubbad Desa Rau yaitu Bapak Amin Miftah dan juga dengan metode studi
literatur baik jurnal ilmiah maupun buku.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keistimewaan Bulan Suro


Istilah suro sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya Jawa,
suro berasal dari kata Asyura yang berasal dari bahasa Arab yang berarti
kesepuluh (tanggal 10 bulan suro). Istilah itu kemudian menjadi bulan permulaan
dalam hitungan takwim jawa. Dalam Islam, istilah suro dipahami oleh umat
muslim sebagai bulan Muharram. Muharram merupakan bulan sudah dikenal
sejak zaman pra-Islam yang kemudian pada zaman Nabi hingga Umar bin Khattab
di resmikan sebagai penanggalan tetap islam.
Secara etimologi Muharram memiliki arti bulan yang di utamakan dan
dimuliakan. Muharram merupakan momentum sejarah yang syarat akan makna
karena berbagai peristiwa dalam proses sejarah terakumulasi dalam bulan itu.
Beberapa peristiwa diantaranya yaitu:
- Nabi Adam as. Diterima taubatnya ketika masih berada di surga dan ketika itu
pula Adam dan Hawa sedang beribadah kepada-Nya.
- Nabi Idris memperoleh derajat luhur atas sikap kasih sayangnya terhadap
sesamanya.
- Nabi Isa memperoleh anugerah kitab Taurat ketika berada di bukit Tursina
(Sinai).
- Nabi Nuh terlindungi dari bahaya banjir bersama umatnya yang patuh.
- Nabi Ibrahim terhindar dari bahaya api dan fitnah raja Namrud.
- Nabi Yusuf bebas dari tahanan raja Mesir akibat tuduhan zina dengan Dewi
Zulaichah.
- Nabi Ya'qub sembuh dari penyakit mata karena menangisi anak nya Yusuf
yang telah lama menghilang.
- Nabi Yunus bisa keluar dari perut ikan Hiu, sebagai tempat
persembunyiannya ketika ia dikejar-kejar umatnya.
- Nabi Sulaiman memperoleh istana indah.
- Nabi Daud disucikan dari segala dosanya.
- Nabi Musa selamat dari kerajaan Fir'aun dan kaumnya (bani Israil).
- Nabi Muhammad SAW memperoleh Al-Qur’an sebagai pegangan hidup
sepanjang masa bagi umatnya.
Peristiwa-peristiwa tersebut menjadikan Muharrom atau Suro sebagai
cerminan kemenangan gemilang bagi pejuang-pejuang yang gigih dan tabah untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan.1

Bubur Suronan di Desa Rau


1
H.A. Fuad Said, Hari Besar Islam (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985). 34.
Tahun Baru Islam ditetapkan pada tanggal 1 Muharrom atau 10 Suro. Pada
detik-detik tanggal tersebut biasanya masyarakat Desa Rau memanjatkan doa
akhir tahun dan awal tahun bersama-sama. Doa akhir tahun dipanjatkan ba’da
ashar di mushola-mushola maupun Masjid Rau, sedangkan doa awal tahun
dipanjatkan ba’da maghrib tepatnya di malam 1 Suro. Doa akhir dan awal tahun
dipanjatkan guna mengharapkan pengampunan dari Allah SWT di akhir tahun dan
mengharapkan rahmat dari Allah SWT di awal tahun.
Setelah melewati tahun baru, barulah datang hari keistimewaan bulan suro
yaitu pada tanggal 10 Muharrom. Pada tanggal 10 Muharrom atau 10 Suro inilah
masyarakat melakukan bancakan Bubur Suronan dalam rangka memperingati
Tahun Baru Islam. Di Desa Rau biasanya dilaksanakan ba’da maghrib di
mushola-mushola maupun masjid di Desa Rau. Pada saat itu pula, masyarakat
setempat berbondong-bondong membawa jadah berupa bubur suro untuk
dinikmati bersama. Bubur Suronan di Desa Rau memiliki berbagai macam varian
bubur. Ada bubur putih dengan suwiran ayam opor di atasnya, ada juga bubur
putih yang dimasak dengan kaldu kemudian dicampur dengan kacang atau
ditaburi bawang goreng saja. Selain bubur putih juga terdapat bubur merah yang
cenderung manis karena ada campuran gula merah.
Setelah masyarakat sudah berkumpul, acara dimulai dengan tahlil,
kemudian memanjatkan doa bersama, kemudian terakhir berbagi jadah yang
tadinya dibawa untuk dinikmati bersama. Selain bubur suro, masyarakat juga
membawa jadah-jadah berupa makanan ringan lainnya untuk dibagikan. Namun
yang terpenting disini, mayoritas masyarakat membawa bubur suro karena bubur
suro merupakan simbol bulan suro. Ketika hampir memasuki bulan suro, bubur
suro merupakan hidangan yang dinanti-nantikan. Di Desa Rau tidak terdapat
tradisi memberikan bubur suro ke rumah tetangga karena semua masyarakat di
Desa Rau ikut berkumpul menghadiri bancakan Tahun Baru Islam.2

Nilai-Nilai Filosofis Budaya Bubur Suronan

2
Wawancara dengan Bpk. Amin Miftah (Ta’mir Masjid Baitul Ubbad), Rabu, 15 September 2021
bertempat di rumah Bpk. Amin Miftah.
Tahun baru Islam merupakan hari istimewa bagi umat Islam yang
diperingati pada tanggal 1 Suro atau 1 Muharram dalam tarikh Islam. Tanggal 1
Muharram sendiri memiliki sejarah besar yang ditandai dengan peristiwa
hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Madinah. Disinilah Islam
lahir, dalam arti Islam berkembang sangat pesat setelah hijrahnya Nabi
Muhammad SAW. Islam semakin menyebar di Mekkah dan wilayah sekitarnya.
Hari tersebut diperingati oleh masyarakat Islam di berbagai wilayah Jawa
salah satunya di Desa Rau yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharrom secara
turun temurun sebagai Islam budaya lokal. Dalam peringatan ini, bubur suro hadir
sebagai pengejawantahan rasa syukur manusia atas segala keselamatan dan
keberkahan yang selama ini diberikan oleh Allah SWT. Wujud rasa syukur
tersebut tercermin dari rasa senang dan syukur masyarakat saat bubur suro
dinikmati sebagai hidangan peringatan. Hal ini karena bubur suro merupakan
simbolis momentum Tahun Baru Islam.
Wujud rasa syukur dalam bubur suro juga dipanjatkan dalam rangka
memperingati keselamatan Nabi Nuh AS setelah 40 hari menghadapi musibah
banjir besar. Saat itu, Nabi Nuh AS bertanya sisa makanan yang dapat dimakan
kepada para sahabat, lalu sahabat berkata bahwa masih ada kacang poi, kacang
adas, ba’ruz, tepung dan kacang hinton. Pada saat itulah bubur suro tercipta.
Meskipun bubur merupakan hidangan yang lumrah sebagai sebuah sajian,
bubur sendiri lebih sering dibuat untuk acara-acara khusus seperti “Bancakan”.
Bancakan merupakan syukuran yang biasanya dilakukan saat hari kelahiran anak-
anak. Oleh karena itu, peringatan Tahun Baru Islam juga dibancaki oleh
masyarakat setempat. Masyarakat setempat memakai istilah bancakan pada
peringatan Tahun Baru Islam dalam rangka syukuran hari lahirnya Islam.
Bubur suro bukanlah sebuah sesajen yang bersifat animistik, tetapi justru
merupakan lambang silaturahmi dan persaudaraan antar sesama, karena pada awal
tahun baru, merupakan sebuah momentum yang pas untuk memperkuat tali
persaudaraan. Masyarakat bisanya berkumpul bersama di mushola-mushola
maupun masjid dalam rangka peringatan Tahun Baru Islam pada tanggal 1 Suro
tersebut. Dengan memanjatkan doa bersama sebagai perwujudan syukur kepada
Allah SWT kemudian masyarakat juga membawa jadah berupa bubur suro untuk
dinikmati bersama-sama sebagai media untuk mempererat tali persaudaraan antar
sesama.

KESIMPULAN

Bulan Suro merupakan bulan istimewa karena merupakan bulan cerminan


kemenangan gemilang bagi pejuang-pejuang yang gigih dan tabah untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan. Tanggal 1 Suro sendiri merupakan hari
Tahun Baru Islam. Pada hari itu, masyarakat Desa Rau memanjatkan doa akhir
tahun dan awal tahun sebagai wujud pengharapan ampunan kepada Allah SWT
dan pengharapan keberkahan kepada Allah SWT. Setelah melewati Hari Tahun
Baru Islam, masyarakat Desa Rau masih antusias memperingati bulan istimewa,
bulan suro. Pada tanggal 10 Muharrom atau 10 Suro, masyarakat Desa Rau
melakukan budaya Bubur Suronan. Yaitu dimana diadakan bancakan yang
disimboli oleh bubur suro sebagai hidangan simbolis di hari itu. Bubur suronan
merupakan pengejawantahan rasa syukur manusia atas segala keselamatan dan
keberkahan yang selama ini diberikan oleh Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Said, H.A. Fuad. (1985). Hari Besar Islam. Jakarta: Yayasan Masagung.
Wawancara dengan Bpk. Amin Miftah (Ta’mir Masjid Baitul Ubbad), Rabu, 15
September 2021 bertempat di rumah Bpk. Amin Miftah.

Anda mungkin juga menyukai