Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Pengertian tentang filsafat sedikit banyak sudah kita ketahui meskipun

belum memadai, tetapi bila dikorelasikan dengan ilmu (science) tentu terdapat

pengertian yang agak lain, sebab ilmu kalau diidentifikasikan sebagai

pengetahuan yang berkehendak secara sadar untuk menuntun menuju suatu

kebenaran yang bermetode, bersistem dan berlaku secara universal. Selanjutnya

muncullah suatu pertanyaan apakan filsafat itu juga merupakan ilmu atau bukan?

Dengan melihat definisi tersebut apakah kita melihat bahwa filsafat berasal dari

kehendak sadar manusia yang penuh dengan rasa ingin tahu tentang sesuatu dan

bahkan segala sesuatu yang sama-sama ingin memperoleh kebenaran.

Mungkin jawabannya dalam konteks ini ialah filsafat juga bisa

memperoleh sifat ilmiah maka ia juga dikatakan ilmu, sebab dengan sadar

menurut kebenaran, bermetode, bersifat dan hasil-hasil sifat universal.

Tetapi ada hal yang mendasar yang memberikan perbedaan antara filasafat dan

ilmu, yaitu dari sisi sudut pandang pembahasan. Ilmu melihat objek cukup dalam

tetapi tidak sedalam filsafat yang radikal, filsafat membahas objek sedalam-

dalamnya. Contoh: apabila ilmu bertanya tentang bagaimana dan apa sebabnya?

Maka filsafat lebih dari itu, ia bertanya apa itu sesungguhnya (esensinya)? Dari

mana awalnya? Dan kemana akhirnya? Jika ilmu dalam membahas objek kajian

hanya berdasarkan pengalaman, maka filsafat mempertanyakan pengalaman itu

sendiri, oleh karena itu dalam filsafat terdapat epistimology, yaitu filsafat

1
pengetahuan yang membicarakan bagaimana cara memperoleh pengetahuan dari

pengalaman tersebut.

Berangkat dari sudut pandang yang berbeda itulah, munculnya

penggabungan kedua istilah menjadi Filsafat Ilmu, yang bermaksud

mempertanyakan ilmu itu sendiriyang tentunya mempunyai kajian yang

mendalam. Filasat ilmu adalah bagian dari epistimology yang secara spesifik

mengkaji hakikat ilmu. Filsafat ilmu merupakan penelaahan secara filsafati

terhadap beberapa pertanyaan mendasar akan hakikat ilmu itu sendiri . Banyak

para filosof mengemukakan pendapatnya tentang ruang lingkup filsafat ilmu, dari

pendapat-pendapat tersebut tentu saja pada akhirnya memiliki keterikatan

sehingga menjadikan persoalan semakin mudah untuk memahaminya.

Ruang lingkup filsafat ilmu dalam bidang filsafat sebagai keseluruhan

pada dasarnya mencakup dua pokok bahasan, yaitu:

1. Membahas sifat pengetahuan ilmiah

2. Menelaah cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah

Sedangkan ciri-ciri utama Ilmu secara Terminologi adalah:

1. Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis,

dapat diukur dan dibuktikan.

2. Koherensi sistematik ilmu.

3. Tidak memerlukan kepastian lengkap.

4. Bersifat objektif.

5. Adanya metodologi.

6. Ilmu bersumber didalam kesatuan objeknya.

2
Dari paparan diatas dapat kita lihat adanya kesamaan arti antara Ilmu dan

Filsafat dalam segi keobjektifitasnya melihat suatu masalah. Sedangkan

pengertian Filsafat Ilmu secara umum adalah sebuah kajian yang secara

mendalam tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan yang ada. Jadi filsafat ilmu ialah

penyelidikan filosofis tentang cirri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk

memperolehnya,

Sedangkan pengertian Filsafat Pengetahuan, tidak terlepas dari pengertian

kata Pengetahuan. Adapun kata Pengetahuan menurut Drs. Sidi Gazalba adalah

apa yang diketahui atau hasil pekerjaan yang berasal dari kenal, sadar, insaf,

mengerti, dan pandai. Dengan demikian arti Pengetahuan adalah hasil dari proses

berpikir manusia untuk mencari tahu sesuatu yang baru.

Dari pengertian Filsafat Pengetahuan itu sendiri adalah cabang ilmu yang

mempelajari tentang kedalaman suatu teori tentang ilmu yang ada untuk mencari

kebenaran ilmu tersebut secara luas.

Secara bahasa, ilmu pengetahuan dan ilmu tidak ada perbedaan secara

prinsip karena ilmu pengetahuan hanya memberikan tekanan pada ilmu, ialah

dalam sisi sistematika, reliabilitas dan validitas. Akan tetapi, memang perlu untuk

membedakan pengetahuan dari ilmu pengetahuan. Batasan ilmu pengetahuan

ialah usaha mencapai serta merumuskan sejumlah pendapat yang tersusun sekitar

persoalan.

Diatas telah dijabarkan tentang pengertian Filsafat yang mengandung arti

cinta kebijaksanaan atau kebenaran, sedangkan orang yang menjalani proses

berFilsafat, atau orang yang berfilsafat disebut sebagai Filosof. Lalu dalam

3
pembahasan ini kita melihat kaitan antara kata Filsafat dan kata Ilmu, serta

kaitannya antara penggabungan dua kata tersebut.

Diatas telah dijelaskan tentang pengertian Filsafat, maka kita akan

membahas tentang kata Ilmu. Adapun penertian kata Ilmu secara bahasa adalah

pengetahuan tentang sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode-

metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu

dibidang itu, (Bakhtiar, Hal: 12).

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Filsafat ilmu umum, yang mencakup kajian tentang persoalan

kesatuan, keseragaman, serta hubungan di antara segenap ilmu. Kajian

ini terkait dengan masalah hubungan antara ilmu dengan kenyataan,

kesatuan, perjenjangan, susunan kenyataan dan sebagainya.

2. Filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat ilmu yang membicarakan

kategori-kategori serta metode-metode yang digunakan dalam ilmu-

ilmu tertentu atau dalam kelompok ilmu tertentu.

Filsafat ilmu dapat pula dikelompokkan berdasarkan model pendekatan,

yaitu:

1. Filsafat ilmu terapan, yaitu filsafat ilmu yang mengkaji pokok pikiran

kefilsafatan yang melatarbelakangi pengetahuan normative dunia

ilmu. Filsafat ini mencakup pengetahuan yang berupa pola piker

hakekat keilmuan, pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang

diturunkan dari pola piker, pengetahuan mengenai berbagai sarana

ilmiah dan serangkaian nilai yang bersifat etis yang terkait dengan

pola pikir dengan model praktek yang khusus.

2. Filsafat ilmu murni, yaitu bentuk kajian filsafat ilmu yang dilakukan

dengan menelaah secara kritis dan eksploratif terhadap materi

5
kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap berkembangnya

pengetahuan normative yang baru. Filsafat ini berangkat dari kajian

filosofis terhadap asumsi-asumsi dasar yang ada dalam ilmu.

2.2 Hubungan filsafat ilmu dengan epistemologi

Filsafat ilu secara sistematis merupakan cabang dari rumpun kajian

epistemologi. Epistemologi sendiri mempunyai dua cabang yaitu filsafat

pengetahuan dan filsafat ilmu. Objek material filsafat pengetahuan yaitu gejala

pengetahuan, sedang objek material filsafat ilmu yaitu mempelajari gejala-gejala

ilmu menurut sebab terpokok. Dalam epis temologi yang dibahas adalah objek

pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran dan

metode, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan (Verhak dan Haryono,

1989: 3).

Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-

langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis. Filsafat

pengetahuan memeriksa sebab-musabab pengetahuan dengan bertitik tolak pada

gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat pengetahuan menggali

kebenaran, kepastian dan tahap-tahapnya, objektivitasnya, abstraksi, intuisi, asal

pengetahuan adalah metode ilmiah. (Verhak dan Haryono, 1989: 12)

Epistemologi akan menunjukkan asumsi dasar ilmu, agar penelaahan

filsafat ilmu tidak terpaku pada ragam objek material ilmu, pertanyaan dari

ontology “apakah karakter pengetahuan kita tentang dunia?” adalah aspek dari

filsafat pengetahuan (epistemologi). Berkaitan dengan itu dan sama vitalnya

adalah pertanyaan “apakah sesuatu yang berada didunia ini ?” pertanyaan ontologi

6
dan epistemologi tidak di jawab dengan penyelidikan empiris yang terkait

dengannya. Pertannyaan filsafat dipecahkan bukan dengan penyelidikan empiris,

tetapi dipecahkan dengan penalaran. Dengan bantuan telah epistemologi maka

akan didapat pemahan hakiki tentang karakter dari objek ilmu. Misal: terdapat

karakter yang berbeda antara ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora dalam

dalam hal objek material, yakni bahwa ilmu alam memiliki karakter objek yang

deterministik dan penuh motivisi.

Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur

penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan: “mengapa prosedur ini dan

bukan yang lain?”, “apa jaminannya, bila ada, metode itu membuktikan yang

lainnyakah?” dalam konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan

prosedur yang di pergunakan penelitian sosial dari disiplin sosial apapun yang

membuat mereka superior (dan memberi merekan otoritas intelektual terbatas).

Apa dasar klaim otoritas intelektualnya?

Relevansi problem filsafat muncul dari fakta bahwa setiap perangkat riset

atau prosedur tidak dapat diterangkan dengan memisahkan pendangan khusus

tentang dunia. Tidak ada tehnik atau metode penyelidikan ilmiah yang

memperkokoh dirinya sendiri. Berbagai status instrumen riset pada dasarnya

tergantung pada jastifikasi epistemologis. Instrumen riset tidak dapat dipisahkan

dari teori, sebagai peralatan riset, mereka bekerja hanya bersama-sama dengan

asumsi-asumsi tentang hakekat dunia fisik, masyarakat, keberadaan manusia, dan

bagaimana mereka mengetahuinya.

Ilmu alam, terkait secara pokok dalam term-term positivistik,

memepelajari sesuatu yang objektif, tidak hidup, dunia fisik. Masyarakat, hasil

7
akal manusia, adalah subjektif, emotif sebaik intelektual. Apa yang kita tunjuk

sebagai causal, mekanistik dan pengukuran berorientasikan model eksplanasi

adalah tidak memadai, karena kesadaran manusia tidak ditentukan oleh kekuatan

alam. Tingkah laku masyarakat manusia adalah selalu mengandung nilai, dan

pengetahuan reliabel tentang kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara

mengisolasi ide-ide umum, opini, atau tujuan khusus sejarah masyarakat. Itu

membuat tindakan sosial adalah penuh makna subjektif.

Toulmin mengatakan bahwa epistemologi tidak berakar pada periode

pemikiran, tidak terkait dengan prosedur praktis dan problem-problem yang

secara historis berkaitan dengan disiplin. Missal: debat metodologis ilmu sosial

tidak dapat dipahami secara bebas dari tempat budaya yang lebih luas dari

penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh riset awal yang didasarkan pada

asumsi epistemologis yang berbeda, yaitu seperti pada ilmu alam.

Alat untuk memperoleh pengetahuan sangat tergantung dari asumsi

terhadap objek. Demikian juga telah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk

memproses ilmu harus selaras atau konsisten dengan karakter objek material ilmu.

Disini timbul perbedaan peradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang

berbeda. Misal antara ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora terdapat perbedaan

metode dan saranayang dipakai.

Adapun validitas/keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu

adalah benar secara epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar,

melainkan ia adalah hasil atau konsekuensi dari metode penyelidikan dan hasil

penyelidikan. Oleh karena itu masalah validitas apakah ukurannya cocok

(reliable) atau tidak itu tergantung pada metode dan karakter objek. Sehingga jenis

8
ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain kita tidak bisa menguji

metode dan hasil ilmu yang satu dari teropong ilmu lainnya. Misal: ilmu-ilmu

empiris validitas untuk produk ilmunya harus-lah empiristis (Hindes Barry, 1977:

5-6)

1. Asumsi Beberapa Jenis Objek Ilmu

Dewasa ini kita sudah memasuki masa spesialisasi ilmu, kita

hanya tahu metodologi masing-masing ilmu kejuruan. Namun kita juga

harus mempunyai wawasan yang luas tentang metodologi ilmu-ilmu pada

umumnya, yang didalamnya dijabarkan perbedaan-perbedaan yang

terdapat diantara masing-masing ilmu. Dalam khasanah filsafat ilmu kita

mengenal banyak bentuk ilmu, jenis ilmu, dan paradigma ilmu. Dari

berbagai bentuk, jenis dan paradigma ilmu tersebut maka kita dapat

memperoleh gambaran adanya ragam, tingkat dan aliran ilmu.

a. Ilmu Alam dan Empiris

Ilmu empiris berpandangan sebagai berikut: ilmu mempelajari

objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu mempelajari berbagai

gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat

bagi kehidupan manusia. Jadi berdasarkan ojek telaahnya maka ilmu

dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri

9
hanya pada kejadian yang bersifat empiris, dimana objek-ojek yang

berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang

penelehan ilmu (Yuyun,1981:6).

Ilmu empiris mempunyai beberapa asumsi mengenai

objek(empiris), antara lain:

(1) Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu

sama lain, yaitu dalam hal: bentuk, struktur, dan sifat, sehingga

ilmu tidak bicara mengenai kasus individual, melainkan suatu

kelas tertentu.

(2) Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami

perubahan dalam jangka waktu tertentu.

(3) Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang

bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang

bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama.

b. Ilmu Abstrak

Ilmu formal seperti halnya matematika, logika, filsafat dan

statistika adalah jenis ilmu yag berfungsi sebagai penopang tegaknya

ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang tergolong formal pada umumnya berasumsi

bahwa objek ilmu adalah bersifat abstrak, tidak kasat mata dan tidak

terikat oleh ruang dan waktu. Objek dapat berupa konsep dan bilangan, ia

berada dalam pemikiran manusia.

10
c. Ilmu-ilmu Sosial dan Kemanusiaan

Ilmu kemanusiaan mencakup juga ilmu-ilmu sosial, ia

merupakan ilmu empiris yang mempelajari manusia dalam segala aspek

hidupnya, cirri khasnya, tingkah lakunya baik perseorangan maupun

bersama dalam lingkup kecil maupun besar.

Objek material ilmu sosial adalah lain sama sekali dengan objek

material dalam ilmu alam yang bersifat deterministik. Objek material

dalam ilmu sosial adalah berupa suatu tingkah laku dalam tindakan yang

khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministic , ia

mengandung: pilihan, tanggung jawab, makna, pengertian, pernyataan

privat dan internal, konvensi, aturan, motif dan sebagainya, oleh karena

itu tidak cocok apabila diterapi dengan predikat “sebab-akibat”

d. Ilmu Sejarah

Ilmu alam sejarah dibandingkan dengan ilmu empiris lainnya

yaitu sifat objek materialnya, yaitu data-data peninggalan masa lampau

baik berupa kesaksian, alat-alat, makan, rumah, tulisan, karya seni.

Semuanya itu mirip dengan objek material ilmu kealaman, karena sama-

sama sebagai benda mati.

2. Taraf-taraf kepastian Subjektivitas objektivitas ilmu

11
a. Evidensi

Evidensi pengetahuan berkenaan dengan taraf kepastian

pengetahuan yang dapat dicapai subjek.Taraf-taraf kepastian subjek

dalam ilmu-ilmu terjadi berdasarkan evidensi objek-objek yang dikenal.

Dalam ilmu empiris , semua ilmu empiris termasuk ilmu-ilmu

kemanusiaan mengejar kepastian. Namun taraf kepastian konkret dalam

ilmu-ilmu empiris bersifat bebas. Dalam ilmu pasti, berdasarkan context

of discovery sebagaimana ilmu yang lain memang ilmu pastipun masih

dalam taraf coba-coba, sedangkan berdasarkan context of justification,

maka tidak ada hipotesa lagi, melainkan hanya ungkapan-ungkapan yang

bersifat aksiomatis dan dalil-dalil.

b. Objektivitas

Ilmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati fakta-faktanya

secara metodis, artinya menurut cara penelitian yang dikembangkan oleh

subjek yang mengenal. Objektivitas ilmu alam adalah objektivitas yang

menyangkut apa yang diberikan sebagai objek. Ilmu alam maupun ilmu

sosial adalah non refleksif sejauh tidak mampu menjawab pertanyaan-

pertanyaan mengenai kodratnya sendiri sebagai ilmu dengan

mempergunakan sarana-sarana teoritis dan eksperimentalnya.

2.3 Hubungan Filsafat Ilmu dengan Cabang Filsafat Lain

Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik

lainnya, seperti ontology (ciri-ciri susunan kenyataan,filsafat pengetahuan

12
(penyimpulan yang benar), metodologi (konsep metode)dan filsafat kesusilaan

(nilai-nilai serta tanggung jawab)

Pertama,ontology adalah cabang filsafat yang mempersoalkan masalah

“ada” dan meliputi persoalan sebagai berikut : apakah artinya “ada”, apakah

golongan-golongan dari hal yang ada?, apakah sifat dasar kenyataan dan hal yang

ada yang terakhir ?, apa cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori

logis yang berlainan (objek fisik , pengertian universal, abstraksi dan bilanngan

bilangan) dapat dikatakan ada?

Filsafat ilmu berkaitan dengan ontologi karena filsafat ilmu dalam

telaahnya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan ontologis dari suatu ilmu.

Landasan ontologis ilmu dapat di cari dengan menanyakan apa asumsi ilmu

terhadap objek materi maupun objek formal? apakah objek bersifat kejiwaan ?

Kedua,epistemology adalah teori tentang pengetahuan. Dalam

epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan,sumber dan alat untuk

memperoleh pengetahuan, kesadaran dan mtode,validitas pengentahuan, dan

kebenaran pengetahuan.Epitemologi berkaitan dengan pemilihan dan kesesuaian

antara realisme atas pengetahuan: tentang proposisi, konsep-konsep, kepercayaan

dan sebagainya.

Ketiga, logika adalah cabang filsafat yang persoalannya begitu luas dan

rumit, namun ia berkisar pada persoalan penyimpulan, khususnya berkenaan

dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang absah. Penyimpulan yaitu proses

penalaran guna mendapat pengertian baru dari satu atau lebih proposisiyang

diterima sebagai benar, dan kebenaran dari kesimpulan itu diyakini terkandung

dalam kebenaran proposisi yang belakangan.

13
Keempat, Metodologi yaitu berkaitan dengan suatu konsep metode.

Filsafat ilmu mempersoalkan masalah metodologik, yaitu mengenai azas-azas

serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat memperoleh predikat

“pengetahuan ilmiah”.Fungsi metodologi yaitu menguji metode yang

dipergunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid.

Kelima, Etika yaitu cabang filsafat yang mempersoalkan baik dan buruk.

Dalam kaitannya dengan ilmu yaitu berkaitan dengan tujuan ilmu, tanggung

jawab ilmu terhadap masyarakat. Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat

mengarahkan ilmu agar tidak mencelakakan manusia, melainkan membimbing

ilmu agar dapat menjadi sarana mensejahterakan manusia.

2.4 Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu-ilmu

1. Perbedaan filsafat dan ilmu

Filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan

kebenaran ilmu, sedangkan ilmu dengan metodenya tidak mampu

mempertanyakan asumsi, metode, kebenaran dan keabsahan ilmu. Ilmu dalam

pendekatannya lebih analitik dan deskriptif sedangkan filsafat lebih sintetik atau

sinoptik. Jika ilmu cenderung menghilangkan factor-faktor pribadi dan

menganggap sepi nilai-nilai demi menghasilkan objektivitas, maka filsafat

mementingkan personalitas, nilai-nilai dan bidang pengalaman.

14
2. Spesialisasi Ilmu

Dewasa ini setiap pengetahuan terpisah satu dari yang lainnya. Ilmu

terpisah dari moral, moral terpisah dari seni, dan seni terpisah dari ilmu. Kita tidak

lagi memiliki pengetahuan yang utuh, melainkan terpotong-potong. Spesialisasi

pendidikan, pekerjaan, dan kemajuan diberbagai bidang pengetahuan

menyebabkan jurang pemisah menjadi semakin lebar. Ilmu selain diperluas juga

diperdalam oleh para ilmuwannya, dengan demikian timbul sesuatu subdisiplin

yang akhirnya dapat menjadi disiplin yang berdiri sendiri. Sejajar dengan itu

dalam profesi ilmiah terjadi subspesialisasi yang makin memperdalam ilmu ke

arah mikro, sehingga orang semakin mengetahui lebih banyak tentang yang

semakin sempit: ilmuwannya menjadi pakar. Memang dua atau lebih

subspesialisasi dapat bertemu dan bekerja sama, yaitu karena persamaan objek

penelitian, cara penelitian dan sistem yang sama (T. Jacob, 1992: 14-19)

Dengan berkembangnya kemampuan manusia dalam memecahkan

masalah baru maka memungkinkan ilmu untuk dapat menjajagi daerah baru.

Dengan ditemukannya daerah baru, alat baru dan fenomena baru. Akibatnya ilmu

mengalami perkembangan pesat kesegala jurusan yang mungkin, maka terjadilah

cabang-cabang baru yang selanjutnya dapat menjadi disiplin baru. Evolusi ilmu

dapat berlangsung menurut kecepatan dan kecepatan yang berbeda, dimana

kecepatan dapat berubah dari masa ke masa, sedang percepatan terjadi karena

kebutuhan dan rangsangan. Evolusi ilmu dapat berakhir dengan kepunahan

matinya cabang-cabang ilmu, sebabnya bermacam-macam, misalnya karena tidak

mempunyai dasar ilmiah yang kuat atau teorinya dikalahkan oleh teori lain. Ilmu

dan cabangnya yang sudah mati dapat hidup kembali apabila ada penemuan baru

15
yang member sorotan dan wawasan baru. Sedangkan revolusi dalam ilmu adalah

merupakan evolusi paradigma, yaitu mempengaruhi pola pikir dalam berbagai

disiplin dan sub-disiplin (T. Jacob, 1992: 15).

Semakin maju suatu disiplin ilmu maka semakin besar pula

kecenderungannya untuk membentuk subdisiplin baru, sehingga pemisahan dan

spesialisasi tidak dapat dihindarkan lagi. Untuk mendapatkan gambaran yang utuh

tentang suatu permasalahan, maka dibutuhkan suatu sarana yang dapat

mengutuhkan kembali berbagai cabang ilmu yang kini tercerai-berai.

Cara untuk menyatukan berbagai ilmu tidak mungkin dengan

mengintegrasikan kembali disiplin-disiplin keilmuan menjadi suatu kelompok

yang lebih besar. Namun gagasan ini sulit untuk dilaksanakan, karena

bertentangan dengan hakekat dan logika perkembangan ilmu itu sendiri. Dalam

integrasi ilmu guna mengatasi efek negatif spesialisasi dan ramifikasi ilmu maka

perlu adanya moral bagi ilmu dan pendukungnya. Namun untuk menjembatani

antara moral dengan ilmu tidak dengan cara mundur kebelakang dan menentang

arus spesialisasi ilmu, yaitu dengan menjadikan asas-asas moral sebagai landasan

metafisik keilmuan. Juga tidak mungkin mengintegrasikan landasan epistemologis

ilmu dan moral, dimana ilmu yang mempermasalakan baik-buruk, sehingga benar

dikatakan baik dan salah dikatakan buruk (Ignas Kleden, 1987: 185)

2.5 Kerja Sama Filsafat dengan Ilmu

Dalam beberapa abad terakhir filsafat telah mengembangkan kerjasama

yang erat dengan ilmu. Filsafat dan ilmu kedua-duanya memakai metode

pemikiran refleksi dalam usaha menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan.

16
Keduanya menunnjukkan sikap yang kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan

yang tidak memihak untuk mengetahui kebenaran, mereka berkepentingan untuk

mendapatkan pengetahuan yang benar. (Titus dkk, 1984: 283).

Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan factual

yang sangat perlu untuk membangun filsafat. Tiap filsafat dari suatu periode

condong untuk mereflesikan pandangan ilmiah periode tersebut. Ilmu melakukan

cek terhadap filsafat dengan membantu menghilangkan ide-ide yang tidak sesuai

dengan pengetahuan ilmiah. (Titus, 1984: 283). Filsafat mengambil pengetahuan

yang terpotong-potong dari bermacam-macam ilmu dan mengaturnya dalam

pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Dalam hubungan ini

kemajuan ilmu dan hubungan baru mendorong kita untuk meninjau kembali ide-

ide dan interpretasi kita baik dalam ilmu maupun dalam bidang-bidang lain.

Misal: penerimaan konsep revolusi mendorong kita untuk meninjau kembali

pemikiran dalam segala bidang. sumbangan lebih jauh yang diberikan filsafat

terhadap ilmu yaitu kritik tentang asumsi dan postulat ilmu serta analisa kritik

tentang istilah-istilah yang dipakai (Titus, 1984: 283)

Filsafat dewasa ini secara kritis menganalisa konsep-konsep dan

memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu demi arti-arti dan validitasnya. Hasil-hasil

ilmu adalah tanpa landasan yang kokoh kalau konsep-konsepnya tidak di jelaskan

dan praanggapan-praanggapannya tidak dikuatkan. Filsafat juga berusaha untuk

mengatur hasil dari pelbagai ilmu khusus kedalam suatu pandangan hidup dan

dunia yang tersatupadukan, komprehensip dan konsisten. Misal: fisika berjalan

dengan bertumpu pada hukum-hukum mekanika, biologi berpandangan bahwa

organisme yang lebih tinggi tidak bersifat mekanis, tetapi perilakunya berarah

17
tujuan. Personal mekanis melawan teteologis telah ditangani filsuf-filsuf yang

pandangannya menyatupadukan unsure – unsure alam. (The Liang Gie: 156).

Ferrater Mora mengatakan bahwa hubungan ilmu dengan filsafat bersifat

interaksi. Perkembanngan – perkembangan ilmiah teoritis selalu berkaitan dengan

pemikiran filsafati, dan suatu perubahan besar dalam hasil dan metode ilmu secara

tak terhindari tercermin dalam perkembangan fisafat. Jadi ilmu merupakan

masalah yang hidup bagi filsafat (Phil. Today, 1960: 160 – 1).

Interaksi antara imu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini

tidak dapat berkembang dengan baik apabila terpisah dari ilmu. Dan ilmu tidak

dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dan fisafat. Michael Whiteman

menyatakan bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah adalah

karena terlibat dengan persoalan – persoalan filsafati, sehingga untuk memisahkan

satu dari yang lain adalah tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati

sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya

argumentasinya tidak salah. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat:

bahan – bahan deskriptif – factual guna perkembangan gagasan filsafat yang tepat

sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah. (The Liang Gie, 1977: 156).

Hubungan antara filsafat dan ilmu lebih erat dalam bidang ilmu manusia

daripada dalam bidang ilmu alam , dimana ilmu alam berwatak agak netral

(Bertens, 1991:21).

Tugas dari filsafat adalah untuk memberikan pandangan keseluruhan,

kehidupan dan pandangan alam dan untuk mengintegrasikan pengetahuan ilmiah

dengan pengetahuan lain agar mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan

konsisten (Titus, dkk).

18
Studi multidisipliner menciptakan adanya berbagai masalah yang dilihat

dari berbagai sudut, sehingga mendapat gambaran total, baik horisontal maupun

vertikal, dengan kata lain dalam kaitannya dengan bidang lain dan berbagai

tingkat pengamatan. Bentuk kerjasama antara disiplin-disiplin ilmu yang masing-

masing berdiri sendiri dalam multi disipliner tidak menyatupadukan metode-

metodenya, melainkan yang terjadi adalah korespondensi antar disiplin yang

otonom. Namun studi/pendekatan multidisipliner tidak melahirkan suatu suatu

disiplin baru, ia diarahkan oleh minat teoritis, bukan oleh maksud-maksud praktis,

sebab dalam dataran teoritis objektivitas ilmu setidak-tidaknya tetap membimbing

jalannya suatu penyelidikan. Sedang untuk maksud praktis, studi multidsipliner

tentu akan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan tertentu (Van Melsen, 1995:

58-63).

19
BAB III

KESIMPULAN

Berpikir filsafati berarti berpikir untuk menemukan kebenaran secara

tuntas. Analis filsafati tentang hakekat ilmu harus ditekankan kepada upaya

keilmuan dalam mencari kebenaran, yang selanjutnya terkait secara erat dengan

aspek-aspek moral, seperti kejujuran. Analisis filsafat imu tidak boleh berhenti

pada upaya untuk meningkatkan penalaran keilmuan melainkan sekaligus harus

mencakup pendewasaan moral keilmuan (Yuyun, 1981: 43).

Filsafat ilmu mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transenden

daripada ilmu-ilmu. Maka dari itu filsafat pun mempunyai wilayah lebih luas

daripada penyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas

meneliti hakekat ilmu. Diantaranya paham tentang kepastian, kebenaran, dan

objektivitas (Verhak, 1989: 108).

Filasafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang didekati

secara filsafati dengan tujuan untuk lebih memfungsionalkan wujud keilmuan

baik secara moral, intelektual, maupun sosial. Filsafat ilmu harus mencakup

bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu sendiri beserta segenap perangkatnyas

melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan berbagai aspek kehidupan, seperti

pendidikan, kebudayaan, moral, sosial dan politik. Demikian juga pembahasan

yang bersifat analitis dari tiap unsur bahasan harus diletakkan dalam kerangka

berpikir secara keseluruhan (Yuyun, 1981: 39).

20
Setelah kita mengenal dan mempelajari tentang teori filsafat. Maka kita

akan melihat bahwa betapa luasnya kajian Filsafat itu sendiri, bukan hanya

sebatas teori besar tentang kehidupan ini. Akan tetapi mencakup segala aspek

yang ada, walau kajian Filsafat tidak terkait dan masuk dalam kajian Agama.

Karena Agama tidak bisa kita filsafati dan hanya kehidupan yang berkaitan

dengan manusia saja yang bisa dikaji.

Akhirnya untuk memberikan gambaran singkat yang menyeluruh

mengenai ruang lingkup, peran dan problem-problem filsafat ilmu, pemakalah

dapat menyimpulkan bahwa:

1) Ruang lingkup filsafat ilmu adalah:

• Sifat dasar dan lingkupan filsafat ilmu dan hubungannya cabang-cabang

ilmu lain.

• Perkembangan histories dari filsafat ilmu.

• Unsur-unsur usaha ilmiah.

• Gerakan-gerakan pemikiran ilmiah.

• Kedudukan filsafati dari teori ilmiah.

• Pentingnya pengetahuan ilmiah bagi bidang-bidang lain dari pengalaman-

pengalaman soal manusia.

• Hubungan antara ilmu dengan pengetahuan humaniora.

21
2) Peran filsafat ilmu

• Menolong mendidik, membangun diri kita sendiri.

• Memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan

persoalan kehidupan sehari-hari.

• Memberikan pandangan yang luas.

• Melatih kita untuk berfikir mandiri hingga tidak bertaklid buta

• Memberikan dasar-dasar,baik untuk hidup kita sendiri maupun untuk ilmu

pengetahuan dan lainnya.

3) Problem-problem filsafat ilmu secara general sebagai berikut:

• Epistemology tentang ilmu.

• Metafisis tentang ilmu.

• Metodology tentang ilmu.

• Logis tentang ilmu.

• Etis tentang ilmu.

22
DAFTAR PUSTAKA

Beerling., Kwee., Mooji., Van Peursen, 1970, Inleiding tot de

Wetenschapleer, alih bahasa: Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat Ilmu, Tiara

Wacana, Yogyakarta.

Bertens, k, 1991, Panorama Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta.

Hindens Barry, 1977, Philosophy ang Methodology in the Social Sciences,

Harvester Press, Sussex.

Ignas Kleden, 1987, Sikap Ilmiah Dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta

T. Jacob, 1992, ”Perspektif Perkembangan Ilmu”, Spesialisasi dan

Integrasi” dalam Jurnal Filsafat, seri: 11, Fak. Filsafat, UGM, Yogyakarta.

The Liang Gie, 1977, Suatu Konsepsi Penertiban Kearah Bidang Filsafat,

Karya Kencana, Yogyakarta.

Titus., Smith., Nolan., 1979, Living Issues In Philosophy, alih bahasa:

H.M. Rasyidi, Persoalan-persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta.

Van Peursen, C.A, 1986, Susunan Ilmu, Gramedia, Jakarta

Verhak C., dan Haryono Imam, 1989, Filsafat ilmu Pengetahuan,

Gramedia, Jakarta.

Yuyun S.S, 1981, Ilmu Dalam Perspektif, Gramedia, Jakarta.

Bakry, Prof. Drs. H. Hasbullah, S.H. 1986. Sistematika Filsafat. Jakarta:

F.A Widjaya.

Bakhtiar, Prof. Dr. Amsal, M.A. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarat: PT. Raja

Grafindo Persada.

23
Nata, Prof. Dr. H. Abuddin, M.A. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

24

Anda mungkin juga menyukai