202 394 1 SM
202 394 1 SM
Ahmad Solahudin
IAAI (Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional-Indonesia)
email : abu_azzalia@yahoo.com
Naskah diterima : 03/02/2015; direvisi : 01/03/2015; disetujui : 05/04/2015
Abstract
The development of the banking industry can not be separated from the Central Bank of Indonesia
as an authority to supervise banks in Indonesia. Law number 23 year 1999 about the central bank
of Indonesia is a reference to the regulations of central bank in carrying out their duties. In the 34
sections of Law number 23 year 1999 as amended by Law number 3 year 2004 mandated the transfer
of authority to the supervision of central bank to new institutions, namely the Financial Services
Authority. But in the 4 sections (1) subsections was declared the authority of Bank Indonesia, the
central bank one of which is to regulate and supervise banks. So there is a conflict between the norms
of the sections. So there is a conflict between the norm of the sections. There is also the contradiction
of sections in the law number 21 in 2011 about financial services authority which led to a norm that
is blurred namely between sections 40 to sections 7 of the letters d and sections 39 with sections 8
of the letters d related to the authority which has moved to the financial services authority but bank
indonesia can still carry it out.
Keywords: supervision, Indonesia Bank, Financial Services Authority
Abstrak
Perkembangan industri perbankan tidak lepas dari adanya Bank Indonesia sebagai lembaga
berwenang untuk melakukan pengawasan bank di Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia merupakan peraturan yang menjadi acuan bagi Bank Indonesia
dalam menjalankan tugasnya. Pada pasal 34 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 mengamanatkan beralihnya kewenangan
pengawasan Bank Indonesia kepada lembaga baru yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Tetapi pada pasal
4 ayat (1) masih menyatakan kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral salah satunya
adalah mengatur dan mengawasi bank. Sehingga ada konflik norma antar pasal tersebut. Ada juga
pertentangan pasal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
yang mengakibatkan norma yang kabur yakni antar pasal 40 dengan pasal 7 huruf d dan pasal
39 dengan pasal 8 huruf d terkait kewenangan yang telah beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan
namun Bank Indonesia masih dapat melaksanakannya.
Kata Kunci: Pengawasan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan
penjelasan Pasal 58A ayat (1) UU BI, maka Tugas BI untuk mengawasi bank
Badan Supervisi ini tidak akan bermanfaat sangat jelas dan tegas ditentukan dalam
banyak bagi kepentingan akuntabilitas BI. Pasal 8 huruf (c) UU BI yakni, “mengatur
dan me ngawasi bank”. Beda redaksional
Pengawasan yang dilakukan oleh Badan
“mengatur/pengaturan” dan “mengawasi/
Supervisi ini lebih merupakan “pengawasan
pe
ngawasan” dengan “mengatur dan
intern”, dan tidak diperbolehkan men
me
ngawasi”. Kalau redaksi “mengatur/
campuri dan menilai kebijakan BI, tidak
pengaturan” BI itu berarti khusus untuk
mempunyai hak untuk mengevaluasi
mem buat peraturan misalnya dengan di
kinerja Dewan Gubernur, dan tidak dapat
keluarkannya PBI demikian pula jika di
menyampaikan informasi secara langsung
gunakan redaksi “mengawasi/pengawasan”
mengenai pelaksanaan tugasnya kepada
berarti BI dikhususkan untuk melakukan pe
masyarakat.
ngawasan. Namun, jika diperhatikan pasal-
Menurut Penulis, seharusnya Badan pasal dalam UU BI tidak ada dicantumkan
Supervisi diberi kewenangan untuk me ketentuan yang mengatur secara khusus
lakukan penilaian terhadap kebijakan atau dalam satu bab tertentu dalam UU BI
dan kinerja Gubernur BI dan dengan tentang kewenangannya sebagai pengawas
dasar penilaian ini pula kelak DPR dapat secara berdiri sendiri.
memberikan salah satu alasan penilaian
Pada Bab V UU BI menentukan tentang
terhadap kinerja BI secara obyektif.
“Tugas Mengatur dan Menjaga Kelancaran
Artinya fungsi Badan Supervisi seharusnya
Sistem Pembayaran” dan pada Bab VI UU
diperluas, bukan berfungsi untuk me
BI menentukan tentang “Tugas Mengatur
lakukan “pengawasan intern” terhadap
dan Mengawasi Bank”. Sedangkan “Tugas
BI saja, tetapi juga berhak memberikan
Mengawasi” tidak ada diatur dalam satu bab
penilaian terhadap kebijakan dan terhadap
tersendiri, melainkan pencantuman tugas
kinerja Gubernur BI serta berhak mem
“mengatur dan mengawasi” digabungkan
buat opini secara lisan dan tertulis
dalam satu bab yaitu pada bab VI UU BI.
mengenai masalah yang dihadapi oleh BI
dan juga membuat rekomendasi terhadap Bab VI UU BI tentang “Tugas Mengatur
pelaksanaan kebijakan moneter. dan Mengawasi Bank” terdiri dari Pasal 24
s/d Pasal 35. Jika ditelaah ketentuan dari
3. Kewenangan BI Dalam Pengawasan
Pasal 24 s/d Pasal 33 tampaknya pembuat
Bank
UU BI mencampuradukkan tugas mengatur
Certo dalam Maman Ukas mengatakan
dan mengawasi itu dalam satu bab yaitu di
bahwa, “Controlling is the process managers
bab VI UU BI. Inilah yang menurut hemat
go trough to control”.10 Pengawasan adalah
Penulis yang dimaksud dengan kewenan-
proses seorang manajer atau pimpinan
gan BI mengeluarkan peraturan yang berke-
untuk melakukan pengawasan. Jadi, sebagai
naan dengan pelaksanaan pengawasan.
pimpinan, BI harus melakukan pengawasan
terhadap seluruh pelaku industri jasa Pengawasan Perbankan pada prinsipnya
keuangan perbankan di Indonesia agar ter
bagi dalam dua jenis, yaitu, macro-
seluruh tujuan, tugas dan kewenangan BI economic supervision dan prudential super
sebagai Bank Sentral dapat dilaksanakan vision. Adapun pemahaman dari kedua hal
efektif. tersebut adalah :
10
Maman Ukas, Loc. Cit.
a. Macro-economic supervision adalah
38 ayat (2) dan ayat (6) UU OJK yang 2. Potensi Konflik pada Pasal 37 UU OJK
menentukan: ”OJK wajib menyusun Mengenai Sumber Pendanaan Otoritas
laporan kegiatan yang terdiri atas Jasa Keuangan.
laporan kegiatan bulanan, triwulanan,
Anggaran pembiayaan OJK merupakan
dan tahunan” dan ”Laporan kegiatan
salah satu hal yang cukup membuat Penulis
tahunan sebagaimana dimaksud pada
bertanya-tanya. Hal tersebut dikarenakan
ayat (2) disampaikan kepada Presiden
di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor
dan Dewan Perwakilan Rakyat”
21 tahun 2011 tentang OJK, dinyatakan
Ketentuan Pasal 38 ayat (2) dan ayat (6) bahwa OJK memiliki kewenangan untuk
UU OJK menyangkut tentang pelaporan, menarik pungutan terhadap setiap pelaku
akan tetapi tidak sesuai dengan amanat di sektor jasa keuangan yang mana salah
dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI. satunya berasal dari sektor perbankan, dan
Dalam Pasal 38 ayat (2) UU OJK, laporan sehubungan dengan kewenangan itu pula
kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud maka setiap pelaku di sektor jasa keuangan
pada Pasal 38 ayat (2) disampaikan kepada kemudian dibebani dengan kewajiban
Presiden dan DPR. Padahal perintah untuk membayar pungutan tersebut.
dari penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI
Secara filosofis, pungutan yang dikena
menentukan bahwa lembaga OJK hanya
kan oleh OJK ini pada hakikatnya ditujukan
menyampaikan laporan kepada Badan
sebagai sumber alternatif dalam pendanaan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan
operasional OJK, yang mana pada awalnya,
Perwakilan Rakyat (DPR).
sumber pendanaan OJK berasal dari
c. Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang APBN. Sehingga dengan adanya pungutan
Nomor 23 Tahun 1999 yang yang diterima oleh OJK, maka tentunya
menyebutkan lembaga pengawas diharapkan akan membuat OJK lebih inde
jasa keuangan akan dibentuk paling penden karena akan membuat OJK menjadi
lambat 31 Desember 2002, namun tidak tergantung pada pemerintah.
pada akhirnya pasal tersebut direvisi
Namun demikian, dengan adanya konsep
kembali dengan pasal 34 ayat (2)
pungutan yang dilakukan oleh lembaga
Undang-Undang Nomor 3 Tahun
pengawas terhadap objek pengawasannya,
2004.PadaUndang-Undangperubahan
maka tentu akan berpotensi sangat besar
pasal tersebut mengganti batas akhir
untuk menimbulkan suatu ekses, yang
dibentuknya lembaga tersebut hingga
pada gilirannya akan memberikan dampak
31 Desember 2010. Dua kali batas waktu
negatif pada independensi, akuntabilitas
yang berbeda tidak mampu membentuk
serta kredibilitas OJK dalam melaksanakan
lembaga baru, dan OJK baru tebentuk
fungsi pengaturan dan pengawasan dalam
pada tahun 2011.
sektor jasa keuangan.
Untuk menjawab konflik norma
a) Timbulnya Moral Hazards.
terhadap amanat pembentukan OJK pada
Pasal 34 UU BI adalah menggunakan asas Salah satu permasalahan yang
lex posteriori derogat legi priori bahwa berpotensi untuk muncul apabila OJK
Pasal 34 UU BI adalah lex priori sedangkan mengenakan pungutan adalah adanya
pembentukan OJK yang berada di dalam pandangan bahwa pungutan tersebut
UU OJK adalah lex posteriori. akan berpotensi menimbulkan moral
besar tentu saja tidak menjadi masalah dan tidak bertentangan dengan amanat Pasal
besar untuk membayarkan pungutan 37 ayat (5) UU OJK yaitu jika sumber dana
sebesar yang ditentukan. Oleh karena dari APBN melebihi kebutuhan OJK untuk
itu sebaiknya penetapan pungutan atas tahun anggaran berikutnya, kelebihan
pendapatan bukan atas aset. tersebut disetorkan ke Kas Negara.