SEJARAH INDONESIA
PERTEMPURAN SURABAYA DAN BANDUNG LAUTAN API
X TKJ 1
NAMA KELOMPOK
1.Anisa Adinda Ulfa
2. Ayu Septiarini
3.Indri Muhdia
4.Jeny Anjelika
5.M.Akbar R.K
6.M.Richardo H
7.M.Wahyu Pratama
8.Rendi Purwanto
9.Siti Aisyah
10.Suci Miranda
PERTEMPURAN SURABAYA
Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran tentara dan milisi pro-
kemerdekaan Indonesia dan tentara Britania Rayadan India Britania. Puncaknya terjadi pada
tanggal 10 November 1945. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan
pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan
terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas
perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.Usai pertempuran ini, dukungan rakyat Indonesia
dan dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat. 10
November diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan di Indonesia.
Ketika pasukan Sekutu mendarat pada akhir Oktober 1945, Surabaya digambarkan sebagai
"benteng bersatu yang kuat [di bawah Pemuda]".Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah
komandan pasukan Britania, Brigadir A. W. S. Mallaby tewas dalam baku tembak.Britania
melakukan serangan balasan punitif pada 10 November dengan bantuan pesawat tempur.
Pasukan kolonial merebut sebagian besar kota dalam tiga hari, pasukan Republik yang minim
senjata melawan selama tiga minggu, dan ribuan orang meninggal dunia ketika penduduk kota
mengungsi ke pedesaan.
Meskipun kalah dan kehilangan anggota dan persenjataan, pertempuran yang dilancarkan
pasukan Republik membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk memperjuangkan
kemerdekaannya dan menarik perhatian internasional. Belanda tidak lagi memandang Republik
sebagai kumpulan pengacau tanpa dukungan rakyat. Pertempuran ini juga meyakinkan Britania
untuk mengambil sikap netral dalam revolusi nasional Indonesia; beberapa tahun kemudian,
Britania mendukung perjuangan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh
mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan
menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi
tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang
telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak
Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi
perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda,
mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang
memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.Pada 10 November pagi, tentara Inggris
mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi
Indonesia.
Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat
Surabaya pada masa itu, beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH. Hasyim
Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri
mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu
patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai/ulama)
sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke
minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya.Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000
tentara.Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan.Banyaknya
pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian
dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang
Latar belakang
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar
semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada
mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan
tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara
Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-
badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian
utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga
hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar
Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat
itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para
pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu
dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui
musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan
perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946.Kolonel Abdoel Haris
Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan
memerintahkan evakuasi Kota BandungHari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung
mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak
dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam
mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang
sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di
Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik
Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI
(Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut.
Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu
meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota
Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka
pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat
itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api
masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan
kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI
bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini
mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan
akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu
untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Asal istilah
Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan
tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan
di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan
Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah
menerima ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan
itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari
Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan
menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air."-A.H Nasution, 1
Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946.
Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran
Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje
Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan
memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api"