Anda di halaman 1dari 26

MEKANIKA REKAYASA II

oleh:

Nur Alda Loklomin

Nim:

1320174056

POLITEKNIK NEGERI AMBON


JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGAM STUDI TEKNIK KONSTRUKSI JALAN DAN JEMBATAN
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………

BAB II Pembahasan
1.2 Tegangan Regangan…………………………………………………………….
1.3 Tegangan Normal Dan Tekan……………………………………………..
1.4 Deformasi……………………………………………………………………………
1.5 Tegangan Normal Dan Tegangan Geser ( konsentrasi tegangan
pada kondisi lentur dan punter)……………………………………….
1.6 Tegangan-Tegangan Utama……………………………………………….
1.7 Defleksi pada Balok ………………………………………………………….

BAB III Penutup

Daftar Pustaka
Bab I. Pendahuluan
1.1.Latar Belakang

Modul ini sebagai suatu pendahuluan awal untuk mengetahui Tegangan Regangan
pada suatu struktur, pada kaitan dengan modul sebelumnya sebagai bahasan yang
lebih spesifik tentang karateristik bahan.

Bab II. PEMBAHASAN

1.2.Pengertian Tegangan dan Regangan

Konsep dasar dalam Mekanika Bahan adalah Tegangan dan Regangan. Konsep ini

dapat diilustrasikan dalam bentuk paling mendasar dengan meninjau sebuah batang

prismaris yang mengalami gaya aksial. Batang prismatic adalah sebuah elemen structural

lurus yang mempunyai penampang konstan di seluruh panjangnya, dan gaya aksial adalah

beban yang mempunyai arah sama dengan sumbu elemen, sehingga mengakibatkan

terjadinya tarik atau tekan pada batang.

A.Konsep dasar Tegangan

Pembahasan dapat kita tinjau sebagai gambaran batang penderek seperti pada

Gambar 1-1 dan mengisolasi salah satu segmennya sebagai benda bebas (Gambar 1-2a).

Sewaktu menggambar diagram benda bebas ini, kita abaikan berat batang dan kita

asumsikan gaya yang aktif hanyalah gaya aksial P diujung-ujungnya. Selanjutnya kita tinjau

dua kondisi batang tersebut, yang pertama sebelum beban diterapkan (Gambar 1-2b) dan

yang kedua beban setelah diterapkan (Gambar 1-2c). Perhatikan bahwa panjang semula dari
batang ditunjukkan dengan huruf L dan pertambahan panjangnya dengan hruf yunani δ

(delta). Tegangan internal di batang akan terlihat apabila sebuah potongan imajiner melalui

batang pada bagian mn (Gambar 1-2c). Karena potongan ini diambil tegak lurus sumbu

longitudinal batang, maka disebut potongan melintang (penampang). Sekarang kita isolasi

bagian batang di kiri potongan mn sebagai benda bebas (Gambar 1-2d). Di ujung kanan dari

benda bebas ini (potongan mn) ditunjukkan aksi yang diberikan oleh bagian yang

dihilangkan dari batang tersebut (yaitu bagian dikanan potongan mn) terhadap bagian

sisanya. Aksi ini terdiri atas gaya terdistribusi kontinu yang bekerja pada seluruh

penampang. Intensitas gaya (yaitu gaya per satuan luas) disebut tegangan dan diberi notasi

huruf yunani σ (sigma). Jadi, gaya aksial P yang bekerja di penampang adalah Resultan dari

tegangan yang terdistribusi kontinu. (Gaya resultan ditunjukkan dengan garis putus-putus di

dalam Gambar 1-2d).

Dengan mengansumsi bahwa tegangan terbagi rata di seluruh potongan mn

(Gambar 1-2d), kita dapat melihat bahwa resultan harus sam dengan intensitas σ dikalikan

dengan luas penampang (A) dari batang tersebut. Dengan demikian, kita mendapatkan

rumus berikut untuk menyatakan besar tegangan :

P
σ=
A
Gambar 1.1. Elemen struktur yang mengalami beban aksial. (Batang penderek
mengalami tarik dan batang roda pendaratan mengalami tekan)

Gambar 1-2 Batang prismatic yang mengalami tarik (a) diagram benda bebas dari
segmen batang, (b) segmen batang sebelum dibebani, (c) segmen batang sesudah
dibebani, (d) tegangan normal pada batang

B.Konsep dasar Regangan

Sebagaima telah diamati, suatu batang lurus akan mengalami perubahan panjang

apabila dibebani secara aksial, yaitu menjadi panjang jika mengalami tarik dan menjadi

pendek jika mengalami tekan. Sebagai contoh, tinjau kembali batang prismatis dalam

gambar 1-2. Perpanjang δ dari batang ini (Gambar 1-2c) adalah hasil kumulatif dari

perpanjangan semua elemen bahan di seluruh volume batang, Asumsikan bahwa bahan

tersebut sama dimanapun di dalam batang. Selanjutnya, jika kita meninjau setengah bagian

δ
dari batang (Panjangnya L/2), bagian ini mempinyai perpanjangan , dan jika kita meninjau
2

seperempat bagian dari batang, bagian ini akan memiliki perpanjangan yang sama dengan

δ
. Dengan cara yang sama, satu satuan panjang dari batang tersebut akan mempunyai
4

perpanjangan yang sama dengan 1/L kali perpanjangan total δ . Dengan proses ini kita akan
sampai pada konsep perpanjangan per satuan panjang, atau regangan, yang diberi notasi

yunani ε (epsilon) dan dihitung dengan persamaan :

δ
ε=
L

Jika batang tersebut mengalami tarik, maka regangannya disebut regangan tarik, yang

menunjukkan perpanjangan bahan. Jika batang mengalami tekan, maka regangannya adalah

regangan tekan dan batang tersebut memendek. Regangan tarik biasa bernilai positif dan

regangan tekan bernilai negative. Regangan ε disebut regangan normal karena regangan ini

berkaitan dengan tegangan normal.

C.Diagram Tegangan Regangan

Hasil-hasil pengujian biasanya bergantung pada ukuran benda uji. Karena sangat kecil

kemungkinan bahwa kita menggunakan struktur yang ukurannya sama dengan ukuran

benda uji, maka kita perlu menyatakan hasil pengujian dalam bentuk yang dapat ditetapkan

pada elemen struktur yang berukuran berapapun. Jika luas awal benda uji digunakan dalam

perhitungan, maka tegangan yang diperoleh disebut tegangan nominal (nama lainnya

adalah tegangan konvensional atau tegangan teknik) begitupun dengan regangannya.

Bentuk-bentuk tegangan regangan pada dasarnya hampir mirip satu sama lain tergantung

material yang digunakan sebagi pembedanya. Untuk memberi gambaran yang lengkap

mengenai Diagram Tegangan Regangan, kita ambil salah satu contoh yaitu diagram

tegangan regangan pada baja, dengan penggambaran sebagai berikut.


Gambar Diagram Tegangan Regangan baja structural tipikal yang mengalami tarik

Diagram tersebut dimulai dengan garis lurus dari pusat sumbu O ke titik A, yang berarti

bahwa hubungan antara tegangan dan regangan pada daerah awal ini bukan saja linear

melainkan juga proporsional. Melewati titik A, proporsionalitas antara tegangan dan

regangan tidak ada lagi; jadi tegangan di A disebut limit prporsional. Kemiringan garis lurus

O ke A disebut modulus elastisitas. Karena kemiringan mempunyai satuan tegangan dibagi

regangan, maka modulus elastisitas mempunyai satuan yang sama dengan tegangan.

Dengan meningkatnya tegangan hingga melewati limit proporsional maka regangan mulai

meningkat secara lebih cepat lagi untuk setiap pertambahan panjang. Dengan demikian

kurva tegangan regangan mempunyai kemiringan yang berangsur-angsur semakin kecil,

sampai pada titik B kurva tersebut menjadi horizontal. Mulai dari titik ini, terjadi

perpanjangan yang cukup besar pada benda uji tanpa adanya pertambahan gaya tarik (dari

B ke C). Fenomena ini disebut luluh dari bahan, dan titik B disebut titik luluh. Tegangan yang

berkaitan dengan ini disebut tegangan luluh dari baja. Di daerah antara B dan C, bahan ini

disebut menjadi plastis sempurna, yang berarti bahan ini berdeformasi tanpa adanya

pertambahan beban. Adanya regangan yang sangat besar di daerah plastis (dan setelah itu)

adalah alas an mengapa diagram tersebut diplot tidak berskala. Sesudah mengalami

regangan besar yang terjadi selama peluluhan di daerah BC, baja mulai mengalami
pengerasan regang (strain hardening), selama itu bahan mengalami perubahan dalam

struktur kristalin, yang menghasilkan peningkatan resistensi bahan terhadap deformasi lebih

lanjut. Perpanjangan benda uji di daerah ini membutuhkan peningkatan beban tarik,

sehingga diagram tegangan regangan mempunyai kemiringan positif dari C ke D. beban

tersebut pada akhirnya mencapai harga maksimumnya, dan tegangan pada saat itu (di titik

D) disebut tegangan ultimate. Penarikan beban dan akhirnya terjadi putus/patah di suatu

titik seperti titik E.

Tegangan luluh dan tegangan ultimate pada suatu bahan disebut juga masing-masing

kekuatan luluh dan kekuatan ultimate. Kekuatan adalah sebutan umum yang merujuk pada

kapasitas suatu struktur untuk menahan beban. Sebagai contoh, kekuatan luluh dari suatu

balok adalah besarnya beban yang dibutuhkan untuk terjadinya luluh di balok tersebut, dan

kekuatan ultimate dari suatu rangka batang adalah beban maksimul yang dapat dipikul,

yaitu beban gagal. Tetapi, dalam melakukan uji tarik suatu beban, kita definisikan kapasitas

pikul beban dengan tegangan di suatu benda uji, bukannya total yang bekerja pada benda

uji, Karena itu, kekuatan bahan biasanya dinyatakan dalam tegangan.

1.3. Tegangan Normal Tarik dan Tekan

A. Penentuan Kekuatan Struktur / Tegangan normal tekan dan tarik


Pada bahasan sebelumnya kita sudah mengetahui konsep dasar tegangan regangan

pada suatu struktur, gambaran yang paling lengkap tentang diagaram tegangan regangan

sudah di tunjukkan dengan contoh dari diagram tegangan regangan baja pada modul
sebelumnya. Sebagai penambah referensi akan diberikan contoh penentuan kekuatan

struktur dari pengujian tekan beton berikut.

Pada sebuah pengujian selinder beton dengan panjang awal selinder 30 cm dengan

diameter selinder 15 cm, diujikan pada mesin pengujian desak UTM dengan pengamatan

sebagai berikut :

Beban (t) 10 20 30 40 50 55
29 29 29 29 29 29

Panjang (mm) 9 8 7 6 4 2
Tentukan :

a. Tegangan regangan pada pengamatan di atas

b. Gambarkan diagram tegangan regangan

c. Tentukan Regangan koreksi dan sketsa diagramnya

d. Modulus elastic dan Modulus kenyal

e. Tegangan benar pada 30 t dan 40 t

f. Regangan plastic pada 40 t

g. Modulus elastic sekan pada beban 40 t

Jawab :

1 1
Luas tampang selinder (A) = . π . d 2 = . π .(150)2 = 17671,46 mm2
4 4

Panjang awal (l) = 300 mm

Perpanjangan / perpendekan adalah δ = ∆ l


a. Tegangan dan regangan

P N
Rumus tegangan : σ = ( )
A mm2

∆l
Rumus tegangan : ε =
l

Beban (t) 10 20 30 40 50 55
10000 20000 30000 40000 50000 55000

Beban (N) 0 0 0 0 0 0
Panjang (mm) 299 298 297 296 294 292
 σ 5.6588 11.318 16.977 22.635 28.294 31.124
 ε 0.0033 0.0067 0.01 0.0133 0.02 0.0267

b. Gambar Diagram Tegangan Regangan

Diagram Tegangan Regangan


35
30
25
20
15
10
5
0
0 0.01 0.01 0.02 0.02 0.03 0.03

c. Tentukan Regangan koreksi dan sketsa diagramnya

Setelah selesai menentukan diagram tegangan regangan, kita tentukan berapa

besar regangan koreksi yang terjadi dengan menarik garis diluar garis linear tegangan

regangan dari titik yang tidak linear, hal ini dilakukan sehingga kita dapat memprediksi
besarnya regangan yang akan terjadi setelah terjadi luluh pada selinder beton. Berikut

adalah sketsa dari regangan koreksi besarta hitungannya.

Beban (t) 0 10 20 30 40 50 55
10000 20000 30000 40000 50000 55000
Beban (N) 0 0 0 0 0 0 0
Panjang (mm) 300 299 298 297 296 294 292
 σ 0 5.6588 11.318 16.977 22.635 28.294 31.124
 ε 0 0.0033 0.0067 0.01 0.0133 0.02 0.0267
0.003
 ε koreksi 3 0.0066 0.01 0.0133 0.0166 0.0233 0.03

35

30

25

20

15

10

0
0 0.01 0.01 0.02 0.02 0.03 0.03 0.04

h. Modulus elastic dan Modulus kenyal

 Modulus Elastic

σy
E=
εy

Untuk nilai σ y adalah besarnya tegangan saat selider beton luluh dan ε y adalah

besarnya regangan saat selider beton luluh


22.635
E= = 1697,7 MPa
0.0133

 Modulus Kenyal

1 1
Ekenyal = . ( σ y . ε y ) = . ( 22.635 x 0.0133 ) = 0,1509 MPa
2 2

i. Tegangan benar pada 30 t dan 40 t

 Tegangan benar pada 30 t

σ 30 t =σ 30 t . ( 1+ε 30 t ) = 300000. (1+ 0,001 ) = 303000 N

 Tegangan benar pada 40 t

σ 40t =σ 40 t . ( 1+ ε 40 t ) = 400000. ( 1+0,0133 ) = 405333 N

j. Regangan plastic pada 40 t

σ 40 t 400000
ε elasti k = .εy = .0,001 = 0,0133
σy 300000

ε plastic =ε total −ε elastic = 0,02−0,0133 = 0,0067

k. Modulus elastic sekan pada beban 40 t

σ 40t 400000
E sekan= = = 60000000 MPa
ε plastik 0,0067

Seperti sudah dibahas diatas, untuk penentuan kekuatan tarik pada baja atau kayu

dilakukan hal yang sama, yang membedakan bila pengujian tarik maka benda uji akan

bertambah

B. Konsep dasar analisa struktur


Sebelum kita memahami lebih lanjut mengenai deformasi dan sifatnya, kita pahami

lebih dahulu konsep dasar analisa struktur, yang berfungsi memberikan gambaran perilaku

struktur. Lengkapnya dapat dilihat pada bagan alir berikut ini.

Suatu struktur diberi atau melayani beban-beban yang bekerja padanya maka beban yang

bekerja disebut gaya luar (external forces), didalam struktur sendiri ada gaya yang bekerja

menahan/melayani beban luar, gaya dalam struktur ini disebut gaya dalam (internal forces).

Apabila gaya luar bekerja sangat besar dan gaya dalam tidak mampu lagi melayaninya, maka

akan terjadi suatu perubahan pada struktur yang meliputi dua kondisi yaitu deformasi atau

perubahan bentuk struktur dan perpindahan/displacement yaitu perpindahan atau

pergeseran struktur ke arah yang berbeda dari posisi struktur sebelumnya.

Prinsip dasar untuk menghitung besarnya gaya dalam (momen lentur, gaya geser,

gaya normal, torsi) dan menghitung deformasi (deformasi aksial, deformasi geser, deformasi

lentur, deformasi torsi) serta displacement/perpindahan (translasi, rotasi) yaitu prinsip


equilibrium, constitutive law, dan compatibility lebih lengkap dibahas pada mata kuliah

mekanika rekayasa selanjutnya.

1.4. Deformasi

Pada bahasan ini kita akan membahas tentang deformasi atau perubahan bentuk struktur,

deformasi ada 4 kondisi yaitu : deformasi lentur, deformasi geser, deformasi aksial, dan

deformasi torsi.

A.Deformasi Lentur

Deformasi lentur terjadi akibat momen lentur (M), batang akan mengalami

deformasi lentur dan menimbulkan perpindahan berupa translasi searah tegak lurus sumbu

batang (Δ) dan rotasi terhadap sumbu yang tegak lurus bidang struktur (θ).

 Mc1  Mc2
c  t 
Iz Iz

−My
σ x=
Iz
σx −My
εx= =
E EI z
ε x dx M M
dθ=− = dx dΔ=( L−x ) dθ= ( L−x ) dx
y EI z EI z
L
M
L M ML 2
θ=∫ dθ=∫ dx Δ=∫ dΔ=∫ ( L−x ) dx=
EI 0 EI z 2 EI z
0 z

B.Deformasi Geser

Deformasi geser terjadi akibat gaya geser (V), batang akan mengalami deformasi

geser dan menimbulkan perpindahan berupa translasi tegak lurus sumbu batang (Δs).

V .Q τ
tegangan geser → τ= Regangan geser →γ =
Izb G
E
V . dx G=
dλ=∫ 2 (1+υ )
GA

L
f.P f . P. L
Δ s =∫ dλ= ∫ dx =
C.Deformasi Aksial G.A 0 G. A
Deformasi aksial terjadi akibat gaya P searah batang, maka batang akan mengalami
deformasi aksial dan menimbulkan perpindahan translasi searah sumbu batang.

A
A,E,L
?
A = luas penampang
E = modulus elastisitas
D.Deformasi Torsi
LDeformasi
= panjang batang
terjadi akibat momen torsi (T), batang akan mengalami deformasi torsi
dan menimbulkan perpindahan berupa rotasi terhadap sumbu yang tegak lurus bidang
struktur (θ).

4
T .r π .R
τ= →J =momen inersia polar=
J 2

T.R
τ max = →GJ=kekakuan torsi
J
τ T .r
γ= =
G G .J
τ max T . R
γ max = =
G G.J
L
γ max T T
dφ= dx= dx →φ=∫ dφ=∫ dx
R GJ 0 GJ

1.5.Tegangan Normal dan Tegangan Geser (Konsentrasi Tegangan


pada Kondisi Lentur dan Puntir)

A. Konsep dasar konsentrasi tegangan pada kondisi lentur dan geser

Rumus lentur dan geser yang dibahas dalam modul-modul sebelumnya berlaku

untuk balok tanpa lubang, takikan, atau perubahan dimensi mendadak. Manakala

diskontuinitas seperti ini ada, tegangan local yang tinggi akan terjadi. Konsentrasi tegangan

seperti ini dapat menjadi sangat penting pada elemen struktur yang terbuat dari bahan

getas atau yang mengalami beban dinamis.


Untuk ilustrasi, dua kasus konsentrasi tegangan di balok dibahas di bahasan ini.

Kasus pertama adalah balok penampang persegi panjang dengan lubang di sumbu netral

(Gambar 2). Balok ini mempunyai tinggi h dan tebal b (tegak lurus bidang gambar) dan

mengalami lentur murni akibat aksi momen lentur M. Apabila diameter d lubang adalah

kecil disbandingkan dengan tinggi h, maka distribusi tegangan di potongan melintang yang

melalui lubang kerang lebih seperti terlihat pada Gambar 2.1a. Di titik B pada tepi lubang,

tegangan jauh lebih besar daripada tegangan yang dapat ada di titik tersebut seandainya

tidak ada lubang. (Garis putus-putus di dalam gambar tersebut menunjukkan distribusi

tegangan tanpa lubang). Namun, apabila kita berjalan menuju tepi luar balok (menuju titik

A), distribusi tegangan bervariasi secara linear terhadap jarak dari sumbu netral dan hanya

sedikit dipengaruhi oleh adanya lubang.

Gambar 2.1 Distribusi tegangan di sebuah balok yang mengalami lentur murni
dengan lubang lingkaran di sumbu netral. (Balok ini mempunyai penampang persegi
panjang dengan tinggi h dan tebal b)

Apabila lubangnya relative besar, maka pola tegangan kurang lebih seperti terlihat

pada gambar 2.1b. Ada peningkatan tegangan di titik B dan hanya sedikit perubahan

tegangan di titik A dibandingkan dengan distribusi tegangan di balok tanpa lubang (sekali

lagi, ini ditunjukkan dengan garis putus-putus). Tegangan di C lebih besar daripada tegangan

di A tetapi lebih kecil dari tegangan di B.


Penyelidikan lebih dalam telah menunjukkan bahwa tegangan di tepi lubang (titik B)

kurang lebih dua kali tegangan nominal di titik tersebut. Tegangan nominal dihitung dengan

My
cara standar, yaitu, σ = , dimana y adalah jarak d/2 dari sumbu netral di titik B dan I
I

adalah momen inersia penampang neto di lokasi lubang. Jadi, kita mempunyai rumus

pendekatan berikut tegangan di titik B :

My 12 Md
σ B=2 =
I b ( h3−d3 )

Di tepi luar balok (di titik C), tegangan kurang lebih sama dengan tegangan nominal (bukan

tegangan actual) di titik A (dimana y = h/2) :

My 6 Md
σC = =
I b ( h3−d 3 )

σB
Pada kedua persamaan diatas kita lihat bahwa rasio kurang lebih 2d/h. Jadi kita
σC

simpulkan bahwa apabila rasio d/h antara diameter terhadap tinggi balok melebihi ½, maka

tegangan terbesar di titik B, Apabila d/h kurang dari 1/2, maka tegangan terbesar ada di titik

C.

Kasus selanjutnya kita bahas balok persegi panjang dengan takik pada Gambar 2.2.

Balok pada balok tersebut mengalami lentur murni dan mempunyai tinggi h dan tebal b

(tegak lurus bidang gambar). Juga, tinggi neto balok (yaitu, jarak antar dasar masing-masing

takikan) adalah h1 dan radius di dasar masing-masing takikan adalah R. Tegangan maksimum
untuk balok ini terjadi di dasar takikan dan dapat jauh lebih besar daripada tegangan

h1
nominal di titik yang sama. Tegangan nominal dihitung dari rumus lentur dengan y= dan
2

bh31
¿ ; jadi
12

My 6 M
σ nom = = 2
I b h1

Tegangan maksimum sama dengan faktor konsentrasi tegangan K dikalikan tegangan

nominal :

σ maks=K σ nom

Gambar 2.2. Faktor konsentrasi tegangan K untuk balok bertakikan dengan penampang
persegi panjang yang mengalami lentur murni (h = tinggi balok, b = tebal balok, tegak
lurus bidang gambar). Garis putus adalah takikan setengah lingkaran (h = h1 + 2R)
h
Faktor konsentarsi tegangan K diplot dalam Gambar 2.2 untuk beberapa harga rasio .
h1

R
Perhatikan bahwa apabila takikan menjadi “lebih tajam” yaitu rasio menjadi lebih kecil,
h1

faktor konsentrasi tegangan akan meningkat.

1.6. Tegangan-tegangan Utama

A.Konsep dasar tegangan-tegangan utama

Tegangan normal maksimum dan minimum, yang disebut sebagai tegangan utama,

dapat dicari dari persamaan transformasi untuk tegangan normal σ x 1 dibawah.

σ x +σ y σ x −σ y
σ x 1= + cos 2θ+ τ xy sin 2 θ ……1)
2 2

−σ x −σ y
τ x 1 y1= sin 2 θ+τ xy cos 2θ ……2)
2

σ x +σ y σ x −σ y
σ y1 = + cos 2θ−τ xy sin2 θ ……3)
2 2

Dengan mengambil turunan dari σ x 1 terhadap θ dan menyamakan dengan nol, maka kita

akan memperoleh suatu persamaan yang dapat digunakan untuk mencari θ yang

menghasilkan σ x 1 maksimum atau minimum. Persamaan turunan tersebut adalah

d σx 1
=−( σ x −σ y ) sin2 θ+2 τ xy cos 2θ=0 …4)

Yang menghasilkan :
2 τ xy
tan2 θ p = …..5)
σ x −σ y

Subskrip p menunjukkan bahwa sudut θ p adalah orientasi bidang utama, artinya bidang

dimana tegangan utama bekerja. Dua harga sudut 2 θ p didalam selang 0ᴼ sampai 360ᴼ

dapat diperoleh dari persamaan diatas. Kedua harga tersebit berbeda 180ᴼ, dengan satu

harga antara 0ᴼ dan 180ᴼ dan harga lain diantara 180ᴼ dan 360ᴼ. Dengan demikian, sudut

θ p mempunyai dua harga yang berbeda 90ᴼ, satu harga antara 0ᴼ dan 90ᴼ dan harga lain

diantara 90ᴼ dan 180ᴼ. Kedua harga θ p dikenal sebagai sudut utama. Untuk salah satu sudut

tersebut, tegangan normal σ x 1 adalah tegangan utama maksimum; sedangkan untuk sudut

satu lagi, tegangannya adalah tegangan utama minimum. Karena sudut-sudut utama

berbeda 90ᴼ, maka kita lihat bahwa tegangan utama terjadi pada bidang-bidang yang saling

tegak lurus.

Tegangan-tegangan utama tersebut dapat dihitung dengan memasukkan masing-

masing sudut θ p ke dalam persamaaan transformasi tegangan pada persamaan 1) di atas

dan memecah harga σ x 1. Dengan menentukan tegangan utama secara demikian, kita tidak

hanya memperoleh harga-harga tegangan utam, melainkan juga mengetahui tegangan

utama manakah yang berkaitan dengan masing-masing sudut utama. Kita dapat pula

menentukan rumus yang lain dari gambar 2.1 berikut.


Gambar 2. representasi geometris
Yaitu rumus :

……………….6)

Dari segitiga tersebut kita memperoleh dua hubungan tambahan yaitu :

…………7)

Dengan memasukkan persamaan 7) ke persamaan 1) kita memperoleh :

…………….8)

Sedangkan tegangan utama yang lebih kecil , yang diberi notasi σ 2, dapat diperoleh dari

kondisi bahwa jumlah tegangan normal di bidang-bidang yang saling tegak lurus adalah

konstan

……………9)

Dengan memasukkan σ 1 ke dalam persamaan 9), dan memecahkan σ 2, maka kita dapatkan

………….10)

Rumus-rumus diatas digabung menjadi satu bentuk rumus tegangan utama :


……………11)

1.7. Defleksi Pada Balok


A.Pengertian dasar kelengkungan kurva defleksi

Kelengkungan kurva defleksi adalah salah satu cara untuk menentukan tegangan

dan regangan normal pada balok. Untuk menurunkan kelengkungan kurva defleksi kita

memerlukan persamaan differensial, dari persamaan differensial di dapat sudut rotasi ( θ )

dan besarnya lendutan yang terjadi.

1.Defleksi pada balok sederhana

Pada pembahasan subbab sebelumnya bahwa dengan persamaan differensial dapat

ditentukan besarnya defleksi dan sudut rotasinya. Beberapa kondisi defleksi pada balok

sebagai berikut.

1. Balok Kantilever

 Akibat beban aksial

 Akibat beban terpusat

 Akibat momen
 Akibat beban merata

2. Balok Dua Tumpuan Sederhana

 Akibat beban terpusat ditengah bentang

 Akibat beban terpusat diluar tengah bentang

 Akibat beban merata

 Akibat momen
3. Balok Dua Tumpuan Jepit

 Akibat momen pada 2 tumpuan jepit

 Akibat beban terpusat

 Akibat beban merata


DAFTAR PUSTAKA

Nawy E, 1984, Mekanika Bahan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Timoshenko & Gere, 2000, Mekanika Bahan Edisi ke empat, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Widodo S, 2010, Mekanika Bahan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai