3. Agama-filsafat, merupakan dua kekuatan besar yang mewarnai dunia hingga saat ini.
Dengan adanya dua kekuatan besar tersebut seseorang menjadikan keduanya sumber
kekuatan dan kebenaran. Bagi para penganut agama yang taat maka sumber
kebenarannya adalah apa yang menjadi perintah Tuhan melalui wahyu-Nya. Sedangkan
bagi orang yang menjadikan filsafat sebagai pegangan hidupnya dalam mencari dan
menemukan kebenaran, maka kebenaran akan didasarkan pada filsafat yang dianutnya.
Oleh karena itu, Barang siapa yang hendak memahami dunia maka harus memahami
agama, atau filsafat yang mewarnai dunia itu.
4. [1] Socrates
Socrates adalah seorang filosof dengan coraknya sendiri. Ajaran filosofinya tak
pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup.
Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma,
melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia
mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan
pemikir. kebenaran itu tetap dan harus dicari.
Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-
lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan,
bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang
skeptis. Socrates berpendapat, bahwa dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir
sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab.
Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai
kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran
[2] Plato
Intisari pemikiran filsafat Plato adalah pendapatnya tentang Idea. Konsep
‘pengertian’ yang dikemukakan Sokrates diperdalam oleh Plato menjadi idea. Idea
itu berbeda sekali dengan ‘pendapat orangorang’. Berlakunya idea itu tidak
bergantung kepada pandangan dan pendapat orang banyak. Idea timbul semata-mata
dari kecerdasan berpikir.’Pengertian’ yang dicari dengan pikiran adalah idea.
Menurut Plato idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea tidak tergantung
pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada idea. Idea
adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah.
Idea sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita.. Idea-idea ini saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Misalnya, idea tentang dua buah lukisan tidak
dapat terlepas dari idea dua, idea dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan idea
genap. Namun, pada akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan
idea-idea tersebut. Puncak inilah yang disebut idea yang “indah”. Idea ini melampaui
segala idea yang ada.
[3] Aristoteles
Aristoteles sependapat dengan gurunya (Plato), bahwa tujuan yang terakhir dari
filsafat adalah pengatahuan tentang ‘adanya’ (realitas) dan ‘yang umum’. Ia memiliki
keyakinan bahwa kebenaran yang sebenarnya hanya dapat dicapai dengan jalan
pengertian. Bagaimana memikirkan ‘adanya’ itu? Menurut Aristoteles ‘adanya’ itu
tidak dapat diketahui dari materi atau benda belaka; dan tidak pula dari pikiran
semata-mata tentang yang umum, seperti pendapat Plato. ‘Adanya’ itu terletak
dalam barang-barang satu-satunya, selama barang itu ditentukan oleh yang umum
Aristoteles terkenal sebagai ‘bapak’ logika. Logika tidak lain dari berpikir secara
teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab dan akibat. Ia
sendiri memberi nama model berpikirnya tersebut dengan nama ‘analytica’, tetapi
kemudian lebih populer dengan dengan sebutan ‘logika’.Intisari dari ajaran logikanya
adalah silogistik, atau dapat juga digunakan kata ‘natijah’ daalam bahasa Arab.
Silogistik maksudnya adalah ‘uraian berkunci’, yaitu menarik kesimpulan dari
pernyataan yang umum atas hal yang khusus, yang tersendiri. Misalnya: Semua
manusia akan mati (umum); Aristoteles adalah seorang manusia (khusus); Aristoteles
akan mati (kesimpulan). Pertimbangan ini, yang berdasarkan kenyataan umum,
mencapai kunci keterangan terhadap suatu hal, yang tidak dapat disangkal
kebenaranya.