Anda di halaman 1dari 4

KULIAH-13

Melawan Hukum

Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat
melawan hukum saja karena perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan
pidana. Pada Modul 6 ini akan dipaparkan materi mengenai apakah melawan hukum itu dan
unsur melawan hukum, sifat melawan hukum, pengertian melawan hukum dan apakah
melawan hukum dalam hukum pidana sama artinya dengan melawan hukum dalam hukum
perdata? Tujuan umum yang hendak dicapai dengan Modul 6 ini, diharapkan Anda memiliki
pemahaman mengenai melawan hukum.

Modul 6 ini juga telah dilengkapi dengan rangkuman materi dan latihan soal serta bagaimana
menyelesaikan soal-soal tersebut. Setelah mempelajari Modul 6 ini, diharapkan Anda
memahami dan mampu menjelaskan mengenai:
1. Apakah melawan hukum itu?
2. Unsur melawan hukum dan putatif delik
3. Pembuktian unsur sifat melawan hukum
4. Sifat melawan hukum
5. Pengertian melawan hukum
6. Apakah melawan hukum dalam hukum pidana sama artinya dengan melawan hukum
dalam hukum perdata?

PENDAHULUAN
Apakah Melawan Hukum Itu dan Unsur Melawan Hukum

A. APAKAH MELAWAN HUKUM ITU?


Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan, oleh
sebab itu, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Hukum
harus ditegakkan, bila hukum tidak ditegakkan, maka lambat laun suatu negara akan runtuh.
Semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan
orang lain haknya. Dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat kita sering mendengar kata-
kata "anda telah melakukan perbuatan melawan hukum", namun banyak orang tidak mengerti
apa sesungguhnya arti perbuatan melawan hukum itu.

Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat
melawan hukum saja karena perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan
pidana. Langemeyer mengatakan “untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan
hukum, yang tidak dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Mengenai ukuran tentang keliru
atau tidaknya suatu perbuatan tersebut ada dua pendapat yaitu : Pertama ialah apabila
perbuatan telah melakukan larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak
perbuatan melawan hukumnya sudah terlihat jelas, dari sifat melanggarnya ketentuan
undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-
undang pula.

Dalam pendapat pertama ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum
adalah undang-undang. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang formal. Pendapat
kedua adalah belum tentu kalau semua perbuatan yang mendekati larangan undang-undang
bersifat melawan hukum karena menurut pendapat ini yang dinamakan hukum bukanlah
undang-undang saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis) adapula hukum yang
tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.
Pendirian yang demikian disebut pendirian yang materiil. Yang berpendapat formal untuk
dapat dipidana perbuatan harus sesuai rumusan delik yang tersebut dalam wet, jika sudah
demikian biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau
tidak.

Selanjutnya, menurut Simons, “Hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang
materiil tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak
pembentuk undang-undang yang telah dinyatakan dalam hukum positif, di bawah
pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa
tidak selalu perbuatan yang sesuai rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum,
akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar
hukum dalam hukum positif sendiri”. Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa dimana
peraturan-peraturan hukum pidana kita sebagian besar telah dimuat dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana dan perundang-undangan lainnya maka pandangan tentang hukum
dan sifat melawan hukum materiil di atas hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan
perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang itu, toh tidak merupakan
perbuatan pidana. Akan tetapi, jika kita mengikuti pandangan yang materiil maka bedanya
dengan pandangan yang formal adalah : mengakui adanya pengecualian atau penghapusan
dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis,
sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam
undang-undang saja.

Melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan perbuatan pidana juga bagi
yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang
formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana, hanya jika dalam
rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata barulah menjadi unsur delik. Adapun
konsekuensi daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi
unsur tiap-tiap delik adalah sebagai berikut :
1. Jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik maka unsur itu dianggap
dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa.
2. Jika hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka
dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin
dijatuhi pidana.
Menurut Jonkers dan Langemeyer dalam hal iu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan
hukum (ontslag van recht vervolging).

B. UNSUR MELAWAN HUKUM


Berdasarkan perkembangan pengertian tentang perbuatan melawan hukum (perbuatan
melawan hukum = onrecht-matigedaad) maka terdapat empat kriteria dari perbuatan
melawan hukum itu, yakni
1) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,
2) melanggar hak subyektif orang lain,
3) melanggar kaidah kesusilaan,
4) bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.

Kriteria pertama di atas menentukan bahwa perbuatan melawan hukum itu adalah perbuatan
yang bertentangan dengan kewajiban si pelaku. Tetapi tidak semua perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban si pelaku dapat dituntut ganti kerugian. Untuk dapat dituntut
ganti kerugian, disyaratkan: (a). kepentingan penggugat benar-benar terkena/terancam oleh
pelanggaran tersebut. Seseorang yang menerobos lampu merah, dia telah melakukan
pelanggaran undang-undang secara pidana, tetapi belum dapat disebut melakukan perbuatan
melawan hukum secara perdata selama tidak ada orang yang dirugikan secara materiil, (b).
kepentingan penggugat memang dilindungi oleh kaidah/peraturan perundang-undangan yang
dilanggar itu (schutz-norm theorie).

Kriteria kedua adalah melanggar hak subyektif orang lain, yaitu bahwa seseorang tidak boleh
melakukan hal-hal yang merugikan atau bahkan menghapuskan hak subyektif seseorang
misalnya saja pengurangan dana Bantuan Lansung Tunai (BLT) bagi masyarakat yang
kurang mampu oleh pihak-pihak yang mengurusinya.

Kriteria ketiga dari perbuatan melawan hukum adalah pelanggaran terhadap kaidah
kesusilaan, yakni kaidah-kaidah moral sejauh yang diterima oleh masyarakat sebagai kaidah
hukum tidak tertulis (perhatikan kasus Lindenbaum versus Cohen di atas).

Kriteria keempat juga diambil dari kaidah tidak tertulis, suatu perbuatan atau tidak berbuat
digolongkan kepada perbuatan melawan hukum jika bertentangan dengan kepatutan,
ketelitian serta sikap hati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulannya
dengan sesama warga masyarakat atau terhadap barang milik orang lain.

Salah satu unsur perbuatan pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur itu merupakan
suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Bilamana suatu
perbuatan itu dikatakan melawan hukum? Orang akan menjawab, apabila perbuatan itu
masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Jawaban itu
tidak salah. Akan tetapi, perbuatan yang memenuhi rumusan delik itu tidak senantiasa
bersifat melawan hukum. Mungkin ada yang menghilangkan sifat melawan hukumnya
perbuatan tersebut. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan
hukum diperlukan unsur-unsur: 1) Perbuatan tersebut melawan hukum; 2) Harus ada
kesalahan pada pelaku; 3) Harus ada kerugian (Tuanakotta, 2009: 73).

Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan
asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu
perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa
sendiri tidak mendapat untung.

Contoh kasus menghilangkan sifat melawan hukum, yaitu (1) regu tembak yang menembak
mati seorang terhukum yang dijatuhi pidana mati, memenuhi unsur-unsur Pasal 338 KUHP,
akan tetapi perbuatan mereka tidak melawan hukum karena mereka menjalankan perintah
jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP); (2) jaksa menahan orang yang dicurigai telah
melakukan kejahatan, ia tidak dapat dikatakan melanggar Pasal 333 KUHP karena ia
melaksanakan undang-undang sehingga tidak ada unsur sifat melawan hukum (Pasal 50
KUHP).

Putatif Delik
Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini ada delik disebut wahn delict atau
putativ delict. Ini terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict, padahal perbuatannya
itu sama sekali bukan suatu delik maka perbuatannya itu tidak bersifat melawan hukum.
Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum
Unsur sifat melawan hukum ada yang tercantum dengan tegas dalam delik maka dalam hal
ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan dan ada pula yang tidak tercantum. Terhadap
delik-delik semacam itu ada perbedaan paham :
1. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang positif untuk sesuatu
delik (artinya ada delik kalau perbuatan itu bersifat melawan hukum) maka harus dibuktikan.
Sifat melawan hukum disini sebagai unsur konstitutif.
2. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang negatif (artinya : tidak
ada unsur sifat melawan hukum pada perbuatan merupakan pengecualian untuk adanya suatu
delik) maka tidak perlu dibuktikan.

Yang menganggap sifat melawan hukum itu mempunyai fungsi yang positif (merupakan
unsur konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang menganggap sifat melawan hukum
mempunyai fungsi yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons, “ajaran sifat melawan
hukum untuk hukum pidana pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan dengan
pertanyaan apakah ada pengecualian yang menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”.

Prof. Moeljatno yang meskipun menganggap unsur sifat melawan hukum adalah syarat
mutlak yang tak dapat ditinggalkan, namun berpendirian, bahwa itu tidak berarti bahwa
dalam lapangan procesueel (acara pemeriksaan perkara) sifat itu harus dibebankan
pembuktiannya kepada penuntut umum.

Beliau setuju, jika tak disebut dalam rumusan delik, unsur dianggap dengan diam-diam ada,
kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa karena pada umumnya dengan
mencocokkan rumusan undang-undang sifat melawan hukumnya perbuatan sudah dinyatakan
pula. Hazewinkel-Suringa memandang sifat melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari
tindak pidana.

Anda mungkin juga menyukai