Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan Indonesia merupakan hutan tropis terluas nomor tiga di dunia setelah Brazil

dan Kongo dengan luas hutan sekitar 1.860.359,67 km2 dan menempati urutan

kedua untuk tingkat keanekaragaman hayati setelah Brazil (Ministry of

Environment, 2009) dalam Forest Watch Indonesia (2011:1). Hutan berfungsi

menjaga tata air, menyerap dan menyimpan karbondioksida, pencegah erosi,

pencegah banjir, bentang alam, mengatur iklim, menjaga suhu dan kelembaban

udara, pemeliharaan kesuburan tanah serta sumber material bagi kebutuhan

makhluk hidup. Keanekaragaman flora dan fauna yang terdapat didalamnya

sangat bermanfaat bagi industri farmasi/kerajinan, pariwisata dan ilmu

pengetahuan.

Pengelolaan hutan secara lestari di negara-negara tropis dengan

menggunakan pola Atur dan Awasi atau sering disebut command and control

yang bersifat mandatori dinilai gagal oleh para konsumen hijau (green

consumers), terbukti perusakan lingkungan hutan tropis semakin parah, termasuk

Indonesia. Sistem regulasi langsung atas atur dan awasi ini dilakukan dengan
membuat undang-undang dan peraturan tentang lingkungan hidup, dengan tujuan

adanya kesiapan aparat untuk mendeteksi, merespon, dan memberikan sanksi

terhadap pelanggaran secara cepat dan tepat (Hadi, 2014: vii). Namun demikian

tiga prasyarat tersebut tidak bisa dilakukan dengan baik oleh pemerintah sehingga

pendekatan command and control tidak efektif. Degradasi hutan di Indonesia

telah terjadi dengan luasan yang sangat besar. Berdasarkan hasil analisis Forest

Watch Indonesia (2015:5), laju deforestasi di Indonesia selama tiga periode ini

mengalami penurunan akibat semakin menipisnya kawasan hutan Indonesia yakni

1,8 juta ha/tahun dalam kurun waktu 1985-1997, sekitar 2,84 juta ha/tahun dalam

kurun waktu 1997-2000 dan sekitar 1,51 juta ha/tahun selama tahun 2000-2009

dan berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015), laju

deforestasi pada tahun 2009-2011 sebesar 0,45 juta ha/tahun , tahun 2011-2012

sebesar 0,61 juta ha/tahun, tahun 2012-2013 sebesar 0,73 juta ha/tahun dan tahun

2013-2014 sebesar 397,4 ribu ha/tahun. Degradasi dan deforestasi hutan

menimbulkan berbagai dampak buruk diantaranya pemanasan global dan

perubahan iklim yang menimbulkan efek El nino. Kerusakan hutan di Indonesia


terutama disebabkan oleh penebangan liar (illegal logging), kebakaran hutan dan

lahan, kegiatan penambangan, peralihan fungsi hutan dan penebangan yang tidak

lestari (unsustainable logging).

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penting dalam Perencanaan Hutan

1.Pengurusan Hutan

Rujukan pengurusan hutan adalah Bab III pasal 10 UU Nomor 41 Tahun 1999.

Pengurusan hutan meliputi kegiatan: 1.)  perencanaan kehutanan; 2.) pengelolaan

hutan; 3.) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan

kehutanan dan 4.) pengawasan.   Keempat kegiatan ini dibahas per bab dalam UU

Nomor 41 Tahun 1999.

2. Perencanaan Kehutanan

Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan  tujuan, penentuan kegiatan dan

perangkat  yang  diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan

pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan


untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat  yang berkeadilan dan  berkelanjutan

(pasal 1 angka 1 PP 44 Tahun 2004). Kegiatan perencanaan kehutanan merujuk

pada Bab IV pasal 11 UU Nomor 41 Tahun 1999, yang meliputi: 1.) inventarisasi

hutan;, 2.) pengukuhan kawasan hutan; 3.) penatagunaan kawasan hutan; 4.)

pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan 5.) penyusunan rencana kehutanan.

Output inventarisasi hutan adalah data dan informasi tentang sumber daya, potensi

kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Output pengukuhan

kawasan hutan adalah penetapan kawasan hutan secara definitif. Output

penatagunaan kawasan hutan adalah penetapan fungsi  (sebagai hutan konservasi,

hutan lindung, hutan produksi) – dan penggunaan kawasan hutan. Output

pembentukan wilayah pengelolaan hutan adalah terbentuknya wilayah

pengelolaan hutan tingkat provinsi, kabupaten dan unit pengelolaan (KPH). Untuk

basis spasial/geografis, output penyusunan rencana kehutanan adalah Rencana

Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN), Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi

(RKTP) dan Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK).  Berdasarkan

fungsi pokok kawasan hutan, output rencana kehutanan meliputi rencana

kehutanan pengelolaan hutan pada KPHK, KPHL dan KPHP. Sedangkan

berdasarkan jangka waktu pelaksanaan output rencana kehutanan meliputi rencana

kehutanan jangka panjang, menengah dan pendek.

3. Pengelolaan Hutan

Rujukan pengelolaan hutan adalah Bab V pasal 21 UU Nomor 41 Tahun 1999.

Pengelolaan hutan meliputi kegiatan: 1.) tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan; 2.) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; 3.)

rehabilitasi dan reklamasi hutan dan 4.) perlindungan hutan dan konservasi alam.

Tata hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup

kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan

potensi yang terkandung di dalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat

yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari (pasal 1 angka 3 PP Nomor

6 Tahun 2007). Output dari tata hutan adalah blok dan petak serta pemetaanya

berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan serta

intensitas dan efisiensi pengelolaan. Output penyusunan rencana pengelolaan

adalah rencana pengelolaan jangka panjang dan jangka pendek.

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan,

dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas,

dan  peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Yang termasuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan adalah reboisasi,

penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi

tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.

Sedangkan reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan

kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal

sesuai dengan peruntukannya.

Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan

hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia,

ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan


dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan

hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan

pengelolaan hutan (pasal 1 angka 1 PP Nomor 45 Tahun 2004).

4. Pemanfaatan Hutan

Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan,

memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu

secara optimal dan adail untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga

kelestariannya (pasal  1 angka 4 PP Nomor 6 Tahun 2007). Pemanfaatan hutan

dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha

pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin

pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dalam pemanfaatan hutan inilah ada

akronim IUPK, IUPJL, IUPHHK-HA (HPH), IUPHHK-HTI, IUPHHK-RE,

IUPHHK-HTHR, IUPHHK-HTR, IUPHHBK-HA, IUPHHBK-HT, IPHHBK-HA,

IPHHBK-HT, IPHHK-HA, HKM dan Hutan Desa.

5. Penggunaan Kawasan Hutan

Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan

untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah

fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut (pasal 1 angka 5 PP 24 Tahun

2010). Penggunaan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan

produksi dan hutan lindung. Contoh kepentingan pembangunan di luar kegiatan

pembangunan antara lain: religi; pertambangan; instalasi pembangkit, transmisi


dan distribusi listrik serta teknologi energy baru dan terbarukan; pembangunan

jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relay televisi, dan stasiun

bumi pengamatan keantariksaan; jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; 

sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum

untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;  waduk, bendungan, bendung,

irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan

pengairan lainnya; fasilitas umum; industri selain industri primer hasil hutan;

pertahanan dan keamanan;  prasarana penunjang keselamatan umum;

penampungan korban bencana alam dan lahan usahanya yang bersifat sementara;

atau  pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan ketahanan energi.

Output dari penggunaan kawasan hutan adalah izin pinjam pakai kawasan.

Berikut adalah diagram kedudukan pengurusan, perencanaan, pengelolaan,

pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan:


B. 5 Aspek Pokok Pengelolaan Hutan Lestari

Dalam pengelolaan hutan lestari, ada sejumlah aspek yang berpengaruh. Ketahui pula tahap pengelo

sebelum memanfaatkan hasil hutan lestari.

Ada dua dimensi berbeda yang mau tidak mau harus dihadapi dalam kaitannya dengan pengelo

hutan. Sisi pertama, pengusahaan hutan menjadi salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi nasion

Sementara itu, di sisi lain pengelolaan hutan menyisakan persoalan terkait menurunnya kuantitas

kualitas hutan. Dua hal ini menjadi alasan kuat untuk memperketat pengawasan terhadap pengelo

hutan.

1. Masalah Pengelolaan Hutan

Apa saja masalah yang umum terjadi dalam pengelolaan hutan? Salah satu di antaranya ad

intensitas pembalakan yang melebihi tingkat pembalakan lestari. Padahal, agar hutan tidak rusak ka

digunakan untuk kepentingan manusia, perlu ada regenerasi yang baik. Pembalakan liar ditandai den

menurunnya kemampuan hutan dalam memasok kayu.

Penyebab maraknya pembalakan liar antara lain permintaan terhadap kayu bulat ternyata lebih b

daripada produksi hutan lestari. Selain itu, ada permintaan terhadap ukuran maupun jumlah kayu b

yang tidak sesuai dengan aturan.

Fakta lain yang tidak boleh diabaikan dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah me

pembalakan yang tidak efisien. Hal ini bisa dilihat dari proporsi kayu yang didapatkan, limbah teban

dan kerusakan yang terjadi setelah pembalakan. Bukan hanya itu, penanaman hutan kembali sangat

dari jumlah yang sudah diambil.

Berbagai permasalahan tersebut menimbulkan kondisi yang dilematis pada sektor kehuta
Indonesia. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) menjadi salah satu langkah penting y

dilakukan guna mengurangi laju penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia.

2. Aspek Pokok Pengelolaan hutan lestari

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari adalah proses pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang t

ditetapkan, yaitu menyangkut produksi hasil hutan tanpa dampak negatif terhadap lingkungan

sosial. Tujuan pengelolaan hutan juga tidak boleh mengurangi nilai di dalamnya serta potensi y

diharapkan pada masa datang.

Ada berbagai usaha yang dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan supaya dapat meningka

dampak positif serta mengurangi dampak negatifnya. Dalam hal ini, terdapat lima aspek pokok y

perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut:

- Aspek Kepastian dan Keamanan Sumber Daya Hutan

Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan produksi le

adalah kepastian hukum. Untuk melakukan usaha-usaha pengelolaan hutan, perlu ada kepas

hukum yang dirangkum dalam aturan yang sah. Dengan demikian, masyarakat bisa melakukan kegi

pengelolaan secara legal.

Kepastian hukum tersebut harus diikuti oleh pengendalian pelaksanaan operasional yang dilaku

secara sah. Perencanaan pengelolaannya dan penetapan kawasan juga harus jelas dan telah dikukuh

secara hukum.

- Aspek Kesinambungan Produksi


Selain itu, ada pula yang disebut aspek kesinambungan produksi. Dalam pengelolaan hutan les

kesinambungan produksi merupakan hal yang tak kalah penting. Karena itu, diperlukan peneta

sistem silvikultur yaitu sistem panen dan pembudidayaan. Hal ini harus disesuaikan dengan kon

hutan yang akan dikelola.

Produksi kayu pada siklus pertama biasanya ditentukan oleh kemampuan perusahaan menata area hu

Caranya bisa dilakukan dengan inventarisasi serta penafsiran foto udara. Hal ini bermanfaat

jatah produksi tahunan secara riil tidak berbeda dengan perkiraan produksinya.

Selanjutnya, untuk siklus kedua, kesinambungan produksi perlu diperhatikan. Hal ini terkait dengan

penebangan, inventarisasi tegakan yang tertinggal, serta penanaman maupun pemeliharaan tegakan.

- Aspek Konservasi Flora Fauna dan Keanekaragaman Hayati serta Fungsi Hutan

Ketiga, aspek konservasi flora dan fauna juga wajib diperhatikan. Konservasi dilakukan u

penyediaan plasma nutfah, membangun zona penyangga yang membatasi hutan produksi dengan h

konservasi, inventarisasi flora dan fauna, pencegahan terhadap penebangan pohon yang tidak b

ditebang, pencegahan kebakaran, serta perlindungan sungai, pantai, mata air, dan area yang dilind

lain.

- Aspek Manfaat Ekonomi

Aspek keempat yang terkait dengan pengelolaan hutan lestari adalah aspek ekonomi. Dalam aspek

sumber daya manusia memiliki pengaruh yang cukup penting. Ada beberapa hal yang p

diperhatikan, yaitu profesionalisme tenaga kerja, kesejahteraan karyawan, serta kesempatan bekerja

berusaha bagi masyarakat yang berada di dalam maupun sekitar hutan.

Selain itu, aspek ekonomi dalam pengelolaan hutan juga mencakup hak tradisional masyarakat un
memanfaatkan hasil hutan non-kayu serta untuk kebutuhan kegiatan spiritual. Ada pula as

pendidikan maupun kesehatan masyarakat, baik yang berada di dalam atau sekitar hutan.

Aspek ekonomi juga berkaitan dengan bantuan-bantuan yang diterima oleh masyarakat, termasu

antaranya dalam bentuk penyuluhan dan bimbingan atau dalam bentuk material. Dengan demi

kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bisa meningkat.

- Aspek Kelembagaan

Dalam rangka Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, peran lembaga yang berwenang juga tak

diabaikan. Ada Kementerian Kehutanan dan sejumlah organisasi yang mengusung ketentuan meng

pengelolaan hutan secara legal.

Untuk itu, dibutuhkan tenaga-tenaga profesional sehingga dapat mendukung pengelolaan hutan.

Selain dari beberapa aspek tersebut, keberhasilan pengelolaan hutan lestari juga bergantung p

sejumlah faktor, antara lain kebijakan dan komitmen pemerintah, dukungan masyarakat, stru

pemerintah yang menjamin kebijakan dan komitmen, serta investasi yang memadai untuk merencana

dan mengelola sumber daya di hutan.

3. Tahapan Pengelolaan Hutan Lestari

Setelah mengetahui aspek-aspek penting dalam pengelolaan hutan lestari, langkah selanjutnya ad

memahami tahap dan kegiatan utama yang dilakukan.

Tahap pertama yang sangat penting adalah tahap prakondisi. Dalam tahap ini, intinya terletak p

komitmen dari pengelola hutan dalam melaksanakan PHPL. Bukti komitmen tersebut antara lain den
melakukan hal-hal berikut:

- Meningkatkan kesadaran dalam melaksanakan PHPL

Kesadaran tersebut harus dimiliki oleh semua jajaran internal, mulai dari pemilik perusah

manajemen, hingga staf lapangan. Untuk menciptakan kesadaran tersebut, perlu ada pemahaman ten

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dalam berbagai aspek.

- Membangun komitmen untuk  melaksanakan PHPL

Bukti selanjutnya yang perlu ditunjukkan oleh pengelola hutan adalah membangun komitmen u

pengelolaan hutan. Hal itu bisa ditunjukkan melalui visi dan misi perusahaan, adanya pemenuhan as

legalitas, dan memiliki tenaga teknis yang memahami tentang pengelolaan hutan lestari.

- Penilaian kesenjangan antara praktik dan standar PHPL

Hal ini merupakan langkah pertama untuk memperbaiki kinerja dalam rangka pengelolaan h

produksi lestari. Hasil penilaian ini perlu disosialisasikan kepada semua jajaran pengelola hutan.

- Membuat rencana aksi untuk pengelolaan hutan

Setelah mendapatkan nilai dari gap assesment tersebut, perlu ada tindak lanjut dengan membuat renc

aksi. Komponen yang harus ada adalah target, kegiatan, penanggung jawab, dan waktu pelaksanaan.

Langkah kedua adalah mengumpulkan data dasar yaitu informasi menyeluruh terkait sumber d

hutan, dampak potensial, kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat di sekitarnya.

Ada pun kegiatan utama dalam tahap ini adalah penataan batas area kerja serta pengukuhan kawa

hutan dan analisis terhadap dampak lingkungan (AMDAL). Analisis ini perlu dilakukan g
memenuhi syarat pemanfaatan hasil hutan.

Jadi, inilah 5 aspek pokok dalam pengelolaan hutan lestari beserta tahap-tahap pengelolaan y

perlu diketahui dalam rangka memanfaatkan hasil hutan.

C.Pasal perencanaan hutan

Pasal 11

(1) Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman

dan arah yang manjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan

kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan,

bertanggung-gugat, partisipasi, terpadu, serta memperhatikan

kekhasan dan aspirasi daerah.

Pasal 12

Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)

huruf a, meliputi:

a. inventarisasi hutan,

b. pengukuhan kawasan hutan,

c. penatagunaan kawasan hutan,

d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan


e. penyusunan rencana kehutanan.

Pasal 13

(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh

data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam

hutan, serta lingkungannya secara lengkap.

(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan

fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di

dalam dan di sekitar hutan.

(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:

a. inventarisasi hutan tingkat nasional,

b. inventarisasi hutan tingkat wilayah,

c. inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan

d. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.

(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

Tujuan perencanaan kehutanan adalah mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif

efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari.

D. Penyesuaian Kelembagaan Kehutanan


Arah struktur organisasi kehutanan di Pusat

perlu mengalami pergeseran untuk memastikan

penguatan pengelolaan hutan dan KPH menjadi

instrumen penting di tingkat tapak. Kelembagaan

kehutanan tersebut juga perlu dibenahi pada tingkat

provinsi maupun kabupaten agar mampu mengatasi

dinamika masalah yang dihadapi dari waktu ke

waktu. Memang, masih terdapat pandangan adanya

manfaat stabilitas organisasi kehutanan yang ada

saat ini. Tetapi, dengan terjadinya perubahan

sosial ekonomi dan politik, organisasi birokrasi

harus terus memeriksa efektivitasnya. Sejumlah

pemangku kepentingan di dalam dan luar Kemenhut

dan sektor kehutanan merasa khawatir apakah

struktur yang ada dapat secara efektif memenuhi

sasaran dan tujuan dalam UU No. 41 tahun 1999,

khususnya6

:
1. Keberlanjutan, keadilan dan manfaat mata

pencaharian yang lebih baik;

2. Untuk mendukung instrumen pengelolaan

baru yang diperkenalkan oleh UU No. 41

tahun 1999, terutama KPH dan perluasan

akses masyarakat ke dalam hutan dan sumber

dayanya.

Ada pula yang merasa khawatir apakah setelah

instrumen itu dapat dilaksanakan secara efektif,

Pemerintah akan berupaya merasionalisasikan

konversi hutan untuk penggunaan lahan yang

lain, karena kegiatan penggunaan lahan lain yang

relatif baru dan berbeda ini akan lebih menarik bagi

investasi.

Inisiatif baru melalui pembangunan KPH

implementasinya tergantung pada keterpaduan

kepentingan dan tanggung jawab seluruh Direktorat

Jenderal di Kementerian Lingkungan Hidup dan


Kehutanan. Untuk mengoperasionalkan KPH

selama ini, terlihat jelas bahwa pemisahan fungsi

dalam struktur yang ada saat ini merupakan

rintangan yang besar. Selain tidak ada arahan

resmi untuk tindakan terpadu/bersama, alokasi

anggaran resmi dalam rencana kerja tahunan dari

masing-masing Direktorat Jenderal juga tidak

memungkinkan pengalokasian sumber daya yang

dibutuhkan.

Idealnya, struktur organisasi dapat menjadi

sarana untuk memperlancar mobilisasi sumber

daya dalam rangka tata kelola pemerintahan

kehutanan yang baik serta pengelolaan sumber

dayanya. Untuk menguji struktur organisasi sebagai

penghalang secara signifikan dalam pengelolaan

hutan yang efektif berdasarkan UU No. 41 tahun

1999 sejumlah wawancara dan diskusi kelompok

terfokus diadakan pada bulan Mei, Juni dan Juli


2013.

E. Perubahan Sistem Pengelolaan

Sumber Daya Hutan

Pengelolaan ekosistem sebagai sebuah

kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam

pertama kali muncul dalam US Forest Service’s

New Perspectives Program (Salwasser, 1999 dalam

Schlaepfer dan Elliot, 2000). Konsep pengelolaan

ekosistem adalah pengelolaan sumber daya alam

yang di dalamnya termasuk kegiatan kehutanan

nasional, dalam konteks interaksi ekonomi,

ekologi, dan sosial dalam suatu daerah atau wilayah

tertentu, baik dalam jangka pendek maupun jangka

panjang (Thomas dan Huke, 1996 dalam Schlaepfer

dan Elliot, 2000). Beberapa kelompok penganjur

konsep pengelolaan hutan dengan pendekatan

pengelolaan ekosistem hutan lebih menitikberatkan

pada pertimbangan ekologis yang bersifat eksklusif


dalam penetapan tujuannya. Sementara kelompok

yang lain memandang, sistem pengelolaan itu

merupakan cara untuk mengompromikan antara

kepentingan manusia untuk memperoleh kayu

dengan kepentingan untuk melestarikan nilai-nilai

lingkungan. Meskipun masih terdapat perdebatan,

namun pengertian pengelolaan hutan denganpendekatan pengelolaan ekosistem hutan (forest

ecosystem management) secara operasional dapat

dipilih dan ditetapkan.

Pendekatan pengelolaan ekosistem hutan

berlandaskan pada kesatuan ekosistem hutan

dengan tipe dan batas-batas ekologis tertentu

sebagai kesatuan analisis dalam perencanaannya.

Kesatuan ini berfungsi pula sebagai kesatuan

pengelolaan yang berdiri sendiri. Penekanan

tujuannya adalah memulihkan dan mempertahankan

kesehatan ekosistem hutan sebagai tujuan utama.

Pada saat yang sama juga menyediakan keperluan


manusia dengan berbagai manfaat dan pilihan

yang diperlukan. Ukuran untuk keberhasilan

dalam pengelolaan hutan ini adalah keberlanjutan

kesehatan ekosistem hutan yang dicirikan oleh

faktor-faktor komposisi, struktur, dan fungsi

ekosistem hutan yang dikelola. Pengelolaan dengan

pendekatan ini bersifat kompleks dan memerlukan

pendekatan interdisiplin bidang ilmu. Oleh

karenanya dalam pelaksanaannya harus ditunjang

oleh hasil monitoring dan ilmu pengetahuan yang

lengkap dari berbagai disiplin ilmu.

Schlaepfer dan Elliot (2000) kemudian

mengusulkan perubahan pengembangan

paradigma agar menjadi cara pandang yang lebih

luas dari cara pandang yang digunakan dalam

pengelolaan hutan lestari atau PHL (SFM) dan

pengelolaan hutan dengan pendekatan pengelolaan

ekosistem hutan atau PEH (Forest Ecosystem


Management, FEM). Paradigma ini memungkinkan

melakukan perbaikan kualitas pengelolaan dengan

memasukkan kepentingan ekologis, ekonomis, dan

sosial yang diperlukan pada saat ini dan generasi

mendatang. Paradigma baru dimaksud yaitu

paradigma Pengelolaan Berbasis Ekosistem atau

PBE (Ecosystem-Based Management, EBM).

Dalam menerapkan pendekatan pengelolaan

berbasis ekosistem untuk pengelolaan sumber

daya hutan dan bentang alam ekologis atau lanskap

(landscape), perlu diperhatikan prinsip dalam

pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan

berkelanjutan. Menurut Schlaepfer dan Elliot (2000),

ada 12 prinsip pengelolaan sumber daya hutan dan

lanskap secara berkelanjutan, yaitu :

1. Diarahkan untuk mencapai penggunaan

sumber daya ekosistem yang berkelanjutan

(Tends towards sustainable use of ecosystem


resources).

2. Bersifat menyeluruh (Is holistic)

3. Berbasis ekosistem (Is ecosystem based)

4. Berperspektif lanskap (Has a landscape

perspective)

5. Bertujuan ganda dan tertentu (Fixed multitiple

objectives)

6. Bersifat terpadu (Is integrating)

7. Mencakup partisipasi (Includes participation)

8. Berlandaskan kepada pemantauan (Is based

on monitoring)

9. Bersifat adaptif (Is adaptive)

10. Berlandaskan kepada ilmu pengetahuan yang

kuat, lengkap, dan logis, serta penilaian yang

baik (Is based on sound science and good

judgement).

11. Memasukan pertimbangan pengetahuan,

emosi, dan reaksi moral (Takes cognitive,


emotional and moral into account)

12. Berlandaskan kepada prinsip pencegahan (Is

based on the precautionary principle).

Berdasarkan uraian mengenai pengelolaan

sumber daya alam berbasis ekosistem di muka,

maka untuk menerapkan pendekatan Pengelolaan

Hutan Berbasis Ekosistem (PHBE), pengertian

operasionalnya seperti tertera pada Kotak 1

(Suhendang, 2013). Berdasarkan uraian pendekatan

pengelolaan hutan Berbasis Tegakan Hutan,

pengelolaan hutan dengan pendekatan Pengelolaan

Ekosistem Hutan, dan pengelolaan hutan Berbasis

Ekosistem, yang terjadi adalah pengembangan

ranah yang berfungsi sebagai satu kesatuan analisis

untuk perencanaan dan satu kesatuan pengelolaan

dari hutan sebagai tegakan hutan, hutan sebagai

ekosistem hutan, dan bentang alam ekologis

sebagai ekosistem.
Perkembangan pendekatan dalam pengelolaan

hutan dari pendekatan tegakan hutan ke arah

ekosistem hutan dan selanjutnya menjadi berbasis

ekosistem lanskap, dapat dipandang sebagai

perkembangan dari sasaran wilayah pengelolaan

dan ruang lingkup kegiatan pengelolaan.

F. Hubungan Masyarakat dan Hutan

Hubungan manusia (lingkungan sosial) dan

lingkungan alam atau ekosistem di sekitarnya dalam

rangka keberlangsungan aliran fungsi dan manfaat

dalam bentuk materi, energi dan informasi dapat

dibagi menjadi dua bagian besar, yang dipengaruhi

oleh tahap perkembangan atau karakter lingkungan

sosial dimaksud. Manusia yang kehidupannya

masih secara tradisional (a.l. masyarakat di desa/

kampung) pada umumnya memandang hubungan

dengan ekosistem di sekelilingnya (a.l. hutan)

secara immanen. Hubungan ini memandang


lingkungan sosial menjadi bagian integral

lingkungan alam. Interelasi seperti ini didasarkan

pada pemikiran adanya saling ketergantungan. Oleh

karenanya penting adanya kehati-hatian dalam

pemanfaatan lingkungan atau sumber daya alam

di sekitarnya guna menjaga fungsi dan manfaat

dimaksud tetap dapat berlangsung.

Sementara pada masyarakat yang lebih maju,

misalnya di masyarakat urban, kondisi yang

dihadapi seperti kompetisi hidup yang tinggi. Hal

itu menuntut mereka untuk memandang lingkungan

alam secara transkenden, yaitu terpisah dari

lingkungan sosial. Cara pandang itu memberi

peluang lebih besar guna memaksimalkan arus

materi fungsi manfaat hutan kepada mereka

(Sardjono, 2004 mengutip Soemarwoto, 1989).

Kedua model hubungan itu, yaitu immanen dan

transkenden, masih dijumpai hingga saat ini. Hal


itu dikarenakan perbedaan tingkat perkembangan

desa/kampung ataupun bahkan pola pikir dari

kelompok masyarakat serta warga dalam satu

desa/kampung yang berada di dalam atau sekitar

hutan.

Hubungan hutan dan masyarakat lokal memang

tidak bersifat statis, melainkan dinamis atau

senantiasa berubah sebagaimana realita yang

dihadapi di lapangan saat ini. Bahkan harus diakui,

saat ini pendapatan tunai yang dapat ditawarkan

oleh hutan menjadi penting jika dibandingkan

produk dan manfaat hutan lainnya. Perubahan

tersebut akibat dari aspek internal di masyarakat

maupun eksternal yang tidak terhindarkan.

Aspek internal dimaksud a.l.: (1) Peningkatan

kebutuhan ekonomi keluarga; (2) Bergesernya nilai-nilai budaya masyarakat akibat terbukanya

informasi dan perbaikan pendidikan; (3) Kelangkaan

sumber daya yang dapat diperoleh dari hutan


sebagai implikasi dari sumber kehidupan dan

penghidupan dari hutan yang semakin berkurang.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Referensi:

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 jo Nomor 60 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Nomor 3 Tahun 2008 tentang

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan

Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi

Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 jo Nomor 105 Tahun 2015 tentang

Penggunaan Kawasan Hutan


 

Anda mungkin juga menyukai