Anda di halaman 1dari 24

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) MENURUT UNDANG-

UNDANG RI NO.23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN


KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Dadang Rohendi
NIM: 5120011
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Pekalongan
drohendi2804@gmail.com

Mata Kuliah Dinamika Hukum Perkawinan

Dosen Pengampu:
Dr. Ali Trigiyatno,M.Ag

Pasca Sarjana IAIN Pekalongan 1


2021
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) MENURUT UNDANG-
UNDANG NO. 23 TAHUN 2004

Dadang Rohendi
NIM: 5120011
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Pekalongan
drohendi2804@gmail.com

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap keluarga memimpikan dapat membangun keluarga harmoni, bahagia dan
saling mencintai, namun pada kenyataannya banyak keluarga yang merasa tidak
nyaman, tertekan dan sedih karena terjadi kekerasan dalam keluarga, baik kekerasan
yang bersifat fisik, psikologis, seksual, emosional, maupun penelantaran. Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal,
baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terlebih-lebih di era terbuka dan
informasi yang kadangkala budaya kekerasan yang muncul lewat informasi tidak bisa
terfilter pengaruh negatifnya terhadap kenyamanan hidup dalam rumah
tangga.Adanya kekerasan dalam lingkup keluarga, dpat memberikan dampak yang
cukup besar bagi keangsungan hidup korban.
Adapun Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal
28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa 2tindak
kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada
kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk
menghapus kekerasan dalam rumah tangga.

Meskipun sudah ada UU yang mengatur tindak kekerasan dalam rumah tangga,
namun nyatanya masih banyak kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan lagi wawasan yang luas tentang tindak kekerasan tersebut untuk
mencegah dan meminimalisir kasus di kemudian hari

PEMBAHASAN
A. Keluarga Sebagai Ruang Lingkup KDRT
Keluarga atau rumah tangga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi
tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin
keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari
Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang
sangat baik.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai
merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia
adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam
lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh
agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan
rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat
tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas
perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing.


Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga
3
akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan,
kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah
kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-
masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar
permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga
melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan
secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan
dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap
orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah,
melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan
masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

B. Pengertian KDRT
1. Secara Umum
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT
merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan
rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar. Kadangkala lingkungan kurang
tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya dengan alasan KDRT merupakan
masalah domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT orang lain tidak perlu campur
tangan. Padahal dampak KDRT sangat besar baik bagi si korban maupun
keluarganya.
4
“Kekerasan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan: perbuatan seseorang
atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.1

KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik,


penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang
dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan
menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang
dan menggunakannya.

Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah
berbagai macam tindakan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan social
para anggota keluarga oleh sesama anggota keluarga (anak/menantu, ibu/istri dan
ayah/suami).2
2. Berdasarkan Undang-Undang
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1
menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 3 Demikian juga
pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-
Undang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
(b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 485.
2
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, AAkademika Pressindo, Jakarta,1993, hal. 296.
3
Kodir Faqihuddin Abdul. 2008. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta : Komnas Perempuan 5
dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan);
dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).4

Namun di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga terdapat sanak saudara yang
tinggal bersama, misalnya orangtua baik dari suami atau istri, saudara kandung/tiri
dari kedua belah pihak, kemenakan dan keluarga lain yang mempunyai hubungan
darah. Disamping itu juga terdapat pembantu rumah tangga yang tinggal satu atap.
Pengertian rumah tangga atau keluarga dalam konteks ini hanya dimaksudkan untuk
memberikan gambaran tentang apa yang menjadi objek pembicaraan tentang
kekerasan terhadap perempuan, karena terjadinya kekerasan dalam sebuah rumah
tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun selama ini selalu
dirahasiakan oleh keluarga maupun korban sendiri. Budaya masyarakat ikut berperan
dalam hal ini, karena tindak kekerasan apapun bentuknya yang terjadi dalam rumah
tangga atau keluarga dianggap sebagai masalah keluarga dan orang luar tidak boleh
mengetahuinya. Apalagi ada anggapan bahwa hal tersebut merupakan aib keluarga
yang harus ditutupi.5
C. Bentuk KDRT
Lau dan Kosberg, (1984) melalui studinya menegaskan bahwa ada empat tipe
kekerasan, di antaranya:6
Pertama, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan perilaku
di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek,
membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan

4
Ibid
5
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis
Viktimologis,Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 61-62.
6
6
WAHAB, Rochmat. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan
Edukatif. UNISIA, [S.l.], n. 61, p. 247-256, july 2010. ISSN 0215-1421. 
membunuh. Perilaku ini sungguh membuat korban kdrt menjadi trauma dalam
hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman.
Kedua, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan kekerasan psikis
dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan
ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman
untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan penghinaan
secara terus menerus.

Ketiga, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang


dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).7
Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang dapat
diindikasikan dengan perilaku di antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh

7
Umar Farok Peri. 2008. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta
7 :
Literacy & Publication Solutions
keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan
terhadap pemberian makan dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan
layanan kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya.
D. Faktor Terjadinya KDRT
Menurut Pakar Bidang Penelaah Kekerasan
Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu
menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi- agresi, dan teori
kontrol.
Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki
suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir.
Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan
kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai
dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri.
Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk
menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku
konflik antar pribadi yang penuh kekerasan.
Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna
untuk survive. Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat
keturunan dan survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang sagresif
memungkinkan untuk mati satu demi satu

Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk
mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu
pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat
dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau
memindahkan frustasinya ke orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan
agresif dan kekerasan nampak tidka berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang
pembunuh yang pofesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan
8
penyerangan. Teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan
orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat
kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi
situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan
erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik
mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif. Travis Hirschi
memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya bahwa remaja putera yang
memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang
dekat dengan orang lain.
Dalam lingkup keluarga, KDRT umumnya terjadi karena :
- Kurang komunikasi, Ketidakharmonisan.
- Alasan Ekonomi.
- Ketidakmampuan mengendalikan emosi.
- Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun.
- Kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.
- Latar budaya patriarki dan ideologi gender yang berpengaruh.
E. Dampak KDRT

Dampak KDRT Terhadap Perempuan


Mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, trauma berkepanjangan.
Dampak KDRT terhadap Anak
Adapun dampak KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan tahapan
perkembangannya sebagai berikut:
1. Dampak terhadap Anak berusia bayi
Bayi yang menjadi korban KDRT akan mengalami ketidaknormalan dalam
pertumbuhan dan perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem
emosinya, bahkan sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.
2. Dampak terhadap anak kecil
9
Dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil) sering digambarkan dengan
problem perilaku, seperti seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki
self-esteem yang rendah, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan, terutama
masalah sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka mendebat.
3. Dampak terhadap Anak usia pra sekolah

KDRT berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia


prasekolah.

4. Dampak terhadap Anak usia SD

kelompok anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam rumah


tangganya cenderung mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai
tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata, memiliki kemampuan
membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat
menengah sampai dengan tingkattinggi.
5.DampakTerhadapRemaja
kekerasan yang ada dalam rumah tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu berdampak
kepada semua anak remaja, tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak
remaja tersebut. Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa konflik antar kedua
orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah remaja cenderung
berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung lebih agresif,
sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih dipresif.

F. Dasar Hukum Dan Sanksi KDRT


Berikut ini adalah “Dasar Hukum” untuk KDRT :
Undang - undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 27
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.b c. Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk
10
Deskriminasi Terhadap Wanita (Lembaran Negara Th. 1984 No. 29, Tambahan
Lembaran Negara 3277)
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Lembaran Negara Th 1999 No 165,
Tambahan Lembaran Negara No. 3886)
UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga g.
UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah h. UU Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan


Peraturan Pemerintah N o . 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Peraturan Pemerintah No . 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten
Kota
Keputusan Presiden RI No. 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan Pedoman Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT)
Instruksi Presiden R I N o . 9 tahun 2000 tentang Pengarus utama Gender dalam
Pembangunan Nasional
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan N o . 1 tahun 2007 tentang
Forum Koordinasi Penyel enggaraan Kerjasama Pencegahan dan Penanganan
KDRT
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1
tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu
Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak N o . 6
Tahun 2011 tentang Pencegahan dan pencegahan kekerasan terhadap anak di
11
lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah.
2. Internasional

a. Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women


(CEDAW) yang diratifikasi dengan Undang Undang No. 7 tahun 1984
b. Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1989
(Rekomendasi Umum 12 Bidang ke-8)
c. Rekomendasi Umum No. 19 Sidang II tahun 1992 tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskrimina i terhadap Perempuan
d. Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia tahun 1993, yang dirapatkan oleh
Sidang Umum PBB dengan Resolusi No. 45/155, Desember 1990
e. Resolusi Mejelis Umum PBBNP 48/104 Th. 1993 yang mengutuk setiap bentuk
kekerasan terhadap perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat atau oleh
Negara.
Sanksi Pidana Bagi Pelaku KDRT
Sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT diatur
dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53. Khusus untuk kekerasan KDRT di
bidang seksual, berlaku pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun
penjara atau 20 tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara
25 juta sampai dengan 500 juta rupiah. (vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).
Selain pidana pokok yang diatur dalam KUHP, UU PKDRT dalam Pasal 50 juga
mengatur pidana tambahan berupa: pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan
untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; penetapan pelaku mengikuti program
konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga–“UU KDRT”).
UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan
kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun
12
penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat
Pasal 5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT)
sehingga termasukpula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan rokok
adalah dilarang.
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara
langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak
lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah
mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk
mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk
turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalamPasal 15 UU KDRT yang
berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya
untuk:

a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;


b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai
kakak adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT
menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau
tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh
keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani,
maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu,
permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat
[3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” 13
dalam
ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya.
Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk
mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT):
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah
pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp15 juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang
dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
HAK KORBAN KDRT SERTA PERAN BERBAGAI PIHAK
Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 10)
Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial , atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; danpelayanan
bimbingan rohani.
14
Untuk menjaga hak-hak korban KDRT dan untuk segala bentuk pencegahan serta
penanggulangan KDRT, maka di perlukan campur tangan dari berbagai pihak
Kewajiban Pemerintah.
Pemerintah (cq. Menteri Pemberdayaan Perempuan) bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ps 11). Oleh karenanya, sebagai
pelaksanaan tanggung jawab tersebut, pemerintah (Ps 12):
Merumuskan KEBIJAKAN PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA;
Menyelenggarakan KOMUNIKASI, INFORMASI dan EDUKASI tentang kekerasan
dalam rumah tangga
Menyelenggarakan ADVOKASI dan SOSIALISASI tentang kekerasan dalam rumah
tangga;
Menyelenggarakan PENDIDIKAN dan PELATIHAN SENSITIF JENDER dan ISU
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA serta menetapkan STANDAR dan
AKREDITASI pelayanan yang sensitif gender. Selanjutnya menurut Pasal 13, untuk
penyelenggaraan pelayanan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing
dapat melakukan upaya.
Kewajiban Masyarakat (Ps 15)
Sesuai batas kemampuannya, setiap orang yang MENDENGAR, MELIHAT, atau
MENGETAHUI terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-
upaya untuk:
Mencegah berlangsungnya tindak pidana
Memberikan perlindungan kepada korban
Memberikan pertolongan darurat; dan Membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan
Penanganan Dan Pemulihan Korban KDRT
Upaya Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 15
Upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga harus melibatkan semua pihak
baik pemerintah maupun masyarakat. Sebagai bagian dari kejahatan, kekerasan dalam
rumah tangga dapat ditanggulangi melalui langkah- langkah umum penanggulangan
kejahatan yaitu :
1. Upaya pre-emtif. Yang dimaksud dengan upaya pre-emtif disini adalah upaya-
upaya awal yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Upaya-upaya yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara
pre-emtif ini adalah dengan menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang baik
melalui internalisasi dalam diri seseorang agar ia tidak mempunyai niat
melakukan kejahatan, meskipun ada kesempatan untuk melakukannya. Jadi
melalui upaya pre-emtif ini faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan.
Cara pencegahan ini berasal dari teori NKK yaitu Niat + Kesempatan =
Kejahatan.
2. Upaya preventif. Upaya ini merupakan tindak lanjut dari upaya pre- emtif yang
masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya
preventif ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk
dilakukannya kejahatan.
3. Upaya represif. Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi kejahatan yang
tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement). Upaya represif adalah
suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh
setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif
dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya
serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa kejahatan yang
dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan
masyarakat sehingga tidak mengulanginya lagi dan orang lain juga tidak akan
melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.8
8
A. Malthuf Siroj kekerasan dalam rumah tangga (kdrt) perspektif undang-undang. nomor 23
tahun 2004 dan hukum islam , Jurnal Hakam, Volume 04 Nomor 02, Desember 2020 16
4. Dalam upaya penghapusan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2004 menempuh upaya-upaya sebagaimana tersebut
diatas yaitu upaya pre-emtif, preventif dan represif.
Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT
dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi
kehidupan masyarakat. Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat
tergantung pada kondisi riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga
untuk keluar dari praketk KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta ketegasan
pemerintah menindak praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Pemulihan Korban
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
• Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
• Pekerja Sosial;
• Relawan Pendamping; dan/atau
Pembimbing Rohani Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau Pembimbing
Rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian
konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Dalam hukum Islam, istilah kekerasan dikenal dengan istilah dhulm (kedhaliman),
i’tida’ (kesewenang-wenangan atau melanggar ketentuan) dan idhrar (tindakan yang
menimbulkan bahaya bagi orang lain). Istilah ini lebih bersifat umum mencakup
semua tindakan penganiayaan dan kesewenang- wenangan yang dilakukan suami/
bapak terhadap istri, anak atau orang lain dalam keluarga dengan tujuan
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan secara sengaja dan tidak berdasar baik
secara fisik maupun psikis Islam melarang keras segala bentuk kedhaliman dan
kesewenang-wenangan karena tindakan ini hanya akan menimbulkan dharar
(bahaya) terhadap jiwa manusia yang harus dihormati. Dalam Surat al-Baqarah Ayat
231 Allah berfirman (artinya): Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu) lalu
sampai (akhir) idahnya maka tahanlah mereka dengan cara yang baik17atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula) Dan janganlah kamu tahan
mereka dengan maksud jahat untuk mendhalimi mereka. Barang siapa melakukan
demikian maka dia telah mendhalimi diri sendiri.8 Dalam ayat lain Allah juga
berfirman (artinya): Talak (yang dapat dirujuk itu) dua kali, (setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali
keduanya (suami istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum- hukum Allah.
Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum Allah
maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah maka jangan kamu melanggarnya.
Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah maka itulah orang-orang yang dhalim.9
Selain itu Nabi Muhmmad SAW bersabda (artinya): Tidak boleh melakukan sesuatu
yang membahayakan bagi orang lain dan tidak boleh pula membalasnya dengan
bahaya yang serupa. 10

Berdasarkan hadits ini maka ulama ahli Fikih menformulasikan kaidah fiqhiyah.
Tindakan yang bernuansa kekerasan menurut hukum Islam dapat diperbolehkan
hanya apabila tindakan itu dimaksudkan sebagai sanksi dalam rangka mendidik dan
membuat jera, misalnya bagi istri yang nusyuz (seperti meninggalkan rumah tangga
tanpa seidzin suami), atau anak yang telah berusia 10 tahun tapi masih meninggalkan
shalat fardlu. Dalam hal istri nusyuz sanksinya adalah pisah ranjang setelah diberi
peringatan, dan dipukul sekiranya diperlukan. Hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an
Surat al-Nisa’ Ayat 34 (artinya): perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan
akan nusyuz hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka
di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka, tetapi jika
mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk
menyusahkannya. Sungguh Allah Maha Tinggi, Maha Besar. 12 11 Sedangkan
perintah memukul anak yang mendekati baligh tapi masih meninggalkan shalat fardlu
adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw. (artinya): Perintahlah anak-
anakmu dengan shalat pada saat telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka
jika meninggalkan shalat pada saat telah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur…12 Sungguhpun al-Qur’an dan Hadits diatas
memperbolehkan seseorang memukul istri atau anak tetapi yang dimaksudkannya

9
Ibid. hal. 36

10
Jalal al-Din al-Suyuthi, Tanwir al-Hawalik Syarh ala Muwatha’ Malik, Vol.2, Dar Ihya’ al- Kutub al-
Arabiyah, Mesir, 1923, hal.218
11
18
Al-Qur’an Terjemah, hal. 84
12
Jalal al-Din al Suyuthi, Al-Jami’ al-Shaghir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2014, hal. 500.
adalah memukul dengan pukulan yang tidak menimbulkan bahaya (dharar) atau-
dengan kata lain- pukulan ringan sekadar untuk tujuan sock trapy bagi istri atau anak
tersebut agar jera dari meninggalkan kewajibannya. Sanksi ini pada dasarnya
merupakan sanksi maksimal seandainya tidak diperlukan maka meninggalkannya
adalah lebih baik.13 Dengan demikian menurut hukum Islam memukul istri atau anak
sebagai bentuk pendidikan tidaklah termasuk dalam pengertian kekerasan dalam
rumah tangga. Berbeda dengan pengertian kekerasan menurut Undang-undang
tentang KDRT dalam mana tindakan memukul seperti digambarkan diatas bisa
dikategorikan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dipidana
secara yuridis.

Adapun pengertian rumah tangga dalam hukum Islam tidaklah berbeda dari apa yang
disebutkan dalam undang-undang diatas, yaitu unit terkecil dari kehidupan
masyarakat yang terdiri dari suami/ayah, istri/ibu, anak-anak dan pembantu serta
kerabat dekat lainnya. Dalam Islam rumah tangga atau keluarga dikenal dengan
istilah ‘ailah atau ahl al bayt. Dalam kehidupan rumah tangga hukum Islam
menekankan fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh masing- masing anggota
keluarga sesuai fitrahnya. Suami/ayah mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang
amat penting dan berat sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban memberikan
nafkah bagi semua anggota keluarga sesuai kemampuannya. Dalam pergaulan sehari-
hari Islam menekankan hubungan yang harmonis satu sama lain dengan ketentuan
bahwa yang lebih tua harus bersikap sayang kepada yang lebih muda dan yang lebih
muda harus bersikap hormat kepada yang lebih tua.14 Selain itu hukum Islam
menekankan ketaatan dari istri kepada suami, dan dari anak kepada orangtua. Dengan
fungsi- fungsi dan prinsip-prinsip pergaulan antar anggota keluarga menurut hukum
Islamsebagaimana tersebut di atas maka diharapkan tindakan kekerasan dalam
lingkup rumah tangga tidak akan terjadi.

Dalam konsep hukum pidana Islam, semua jenis pidana atau hukuman baik yang
pokok maupun tambahan sebagaimana tersebut di atas, dikenal dengan istilah jarimah
13
Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir , Juz V , Dar al-Fikr Damaskus, 1998, hal. 56.
19
14
Lihat Jalal al Din al-Suyuthi, Al-Jami al-Shaghir, hal. 470.
qisas-diyat dan ta’zir. Soal perbuatan mana yang termasuk qisas-diyat atau ta’zir
tergantung kepada modus kejahatan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya.

Jarimah qisas-diyat adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas atau
diyat. Qisas adalah hukuman yang setimpal dan sepadan seperti membunuh dihukum
bunuh juga, melukai dihukum dengan dilukai juga, merusak mata dihukum dengan
dirusak mata juga dan lain sebagaimana. Sedangkan diyat adalah hukuman ganti rugi
yaitu pemberian sejumlah harta dari pelaku kepada korban atau walinya melalui
keputusan hakim. Hukuman qisas dan diyat merupakan hukuman yang telah
ditentukan kadar dan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi dan menjadi
hak individual korban atau walinya secara penuh. Hal ini berbeda dengan hukuman
had yang menjadi hak Allah semata sebagai representasi masyarakat. Dalam
penerapan hukum qisas-diyat terdapat berbagai kemungkinan seperti qisas bisa
berubah menjadi diyat, hukuman diyat bisa juga dimaafkan oleh korban atau walinya.
Kalau dimaafkan maka hukuman menjadi terhapus. Jarimah qisas-diyat meliputi
jenis-jenis kejahatan sebagai berikut:
1. Pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd)
2. Pembunuhan semi sengaja (al-qatl syibh al-amd)
3. Pembunuhan keliru (al-qatl al-khata’)
4. Penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd)

5. Penganiayaan keliru (al-jarh al-khata’).

Hukum ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan untuk memberi pelajaran bagi
pelaku yaitu segala macam hukuman selain had dan qisas-diyat. Pelaksanaan
hukuman ta’zir ini baik yang terlarang menurut nas atau tidak, baik perbuatan
itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, secara penuh diserahkan
kepada hakim berkenaan dengan penentuan jenis dan ukuran sanksi hukum
yang akan dijatuhkan. Jadi Hukum Islam memberikan kewenangan penuh
kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk hukuman atau sanksi hukum
20
bagi pelaku kejahatan kategori ini.15
Jarimah ta’zir ini terbagi dalam tiga macam yaitu :
1. Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam kategori hudud atau qisas-diyat
yang masih mengandung unsur syubhat (ketidak- jelasan) tetapi perbuatan
tersebut sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat. Seperti wathi’ syubhat,
pencurian harta syirkah, pembunuhan seorang anak oleh ayahnya dan
pencurian yang bukan harta benda.

2. Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam kategori maksiat atau jarimah


(kejahatan) berdasarkan penetapan nas tetapi bentuk sanksinya tidak
ditentukan oleh nas dan diserahkan sepenuhnya kepada kewenangan hakim,
seperti sumpah palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji,
mengkhianati amanat dan menghina agama.
3. Perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan berdasarkan tuntutan maslahah dan bentuk
hukumannya secara penuh diserahkan kepada kewenangan hakim. Misalnya
pelanggaran terhadap peraturan pelestarian lingkungan hidup, lalu lintas, dan
peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah lainnya.16 Mengacu kepada
konsep hukum pidana Islam sebagaimana tersebut di atas maka kekerasan
dalam rumah tangga yang berupa kekerasan fisik, psikis, seksual atau
penelantaran rumah tangga dapat dikategorikan ke dalam jarimah qisas-diyat
atau ta’zir, tergantung kepada modus kejahatan dan akibat yang
ditimbulkannya. Kekerasan yang bersifat fisik dan menimbulkan akibat
matinya korban atau luka pada badan korban, kejahatan ini dapat digolongkan
ke dalam jarimah qisas-diyat, maka sanksi pidananya harus setimpal atau
sepadan dengan akibat yang ditimbulkannya. Kalau tidak demikian, maka
15
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Logung Pustaka,
Yogyakarta, 2004, hal. 12-13
16
Lihat Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy, I, Dar al-Fikr, Beirut, 1963,
21
hal. 15
pihak pelaku dapat dihukum dengan membayar diyat kepada korban atau
walinya.
Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yaitu yang bersifat psikis atau
seksual atau penelantaran rumah tangga dapat dikategorikan ke dalam
jarimah ta’zir, maka bentuk hukumannya tergantung kepada otoritas hakim
dengan mempertimbangkan pencapaian tujuan pemidanaan menurut Islam.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap keluarga pada awalnya selalu mendambakan kehidupan rumah tangga yang
aman, nyaman, dan membahagiakan. Secara fitrah perbedaan individual dan
lingkungan sosial budaya berpotensi untuk menimbulkan konflik. Bila konflik sekecil
apapun tidak segera dapat diatasi, sangatlah mungkin berkembang menjadi KDRT.
Kejadian KDRT dapat terwujud dalam bentuk yang ringan sampai berat, bahkan
dapat menimbulkan korban kematian, sesuatu yang seharusnya dihindari. Untuk
dapat menyikapi KDRT secara efektif, perlu sekali setiap anggota keluarga memiliki
kemampuan dan keterampilan mengatasi KDRT, sehingga tidak menimbulkan
pengorbanan yang fatal. Tentu saja hal ini hanya bisa dilakukan bagi anggota
keluarga yang sudah memiliki usia kematangan tertentu dan memiliki keberanian
untuk bersikap dan bertindak. Sebaliknya jika anggota keluarga tidak memiliki daya
dan kemampuan untuk menghadapi KDRT, secara proaktif masyarakat, para ahli, dan
pemerintah perlu mengambil inisiatif untuk ikut serta dalam penanganan korban
KDRT, sehingga dapat segera menyelamatkan dan menghindarkan anggota keluarga
dari kejadian yang tidak diinginkan.

B. Saran
Dari simpulan yang disebutkan di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran
antara lain:
1. Dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga
22
agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan.
2. Maka antara suami dan istri harus memiliki keimanan yang kuat dan akhlaq
yang baik, adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, serta
memiliki rasa saling percaya, pengertian, dan saling menghargai.
3. pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata
serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan
pengawasa

DAFTAR PUSTAKA 23
Kodir Faqihuddin Abdul. 2008. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta : Komnas Perempuan
Umar Farok Peri. 2008. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta :
Literacy & Publication Solutions
Utomo Brief. 2009. Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta : PT Indo.Indd
Wahab Rochmat. 2006. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bandung: UIN Yoga
Aditama. 2012. Pedoman Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Jakarta : Erlangga
A.S. Alam, Pengantar Kriminologi, Refleksi, Makassar, 2010.
Al-Qur’an Terjemah, PT. Suara Agung, Jakarta, 2015.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,1993. Jalal
al-Din al Suyuthi, Al-Jami’ al-Shaghir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2014.

Jalal al-Din al-Suyuthi, Tanwir al-Hawalik Syarh ala Muwatha’ Malik, Vol.2,
Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, Mesir, 1923.

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis
Viktimologis,Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga (Tentang Ihwal Keluarga Remaja dan Anak),
PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
Swara Rahima, Media Islam untuk Hak-hak Perempuan, No 41 Tahun XIII April
2013.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani Jakarta, 2003.
Undang – undang Nomor 23, Tahun 2004.
A. Malthuf Siroj kekerasan dalam rumah tangga (kdrt) perspektif undang-undang.
nomor 23 tahun 2004 dan hukum islam , Jurnal Hakam, Volume 04 Nomor 02,
Desember 2020

Wahab Rochmat. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan


Edukatif. UNISIA, [S.l.], n. 61, p. 247-256, july 2010. ISSN 0215-1421.
i:https://doi.org/10.20885/unisia.vol29.iss61.art1.

24

Anda mungkin juga menyukai