Dadang Rohendi
NIM: 5120011
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Pekalongan
drohendi2804@gmail.com
Dosen Pengampu:
Dr. Ali Trigiyatno,M.Ag
Dadang Rohendi
NIM: 5120011
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Pekalongan
drohendi2804@gmail.com
PENDAHULUAN
Meskipun sudah ada UU yang mengatur tindak kekerasan dalam rumah tangga,
namun nyatanya masih banyak kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan lagi wawasan yang luas tentang tindak kekerasan tersebut untuk
mencegah dan meminimalisir kasus di kemudian hari
PEMBAHASAN
A. Keluarga Sebagai Ruang Lingkup KDRT
Keluarga atau rumah tangga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi
tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin
keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari
Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang
sangat baik.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai
merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia
adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam
lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh
agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan
rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat
tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas
perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan
dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap
orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah,
melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan
masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
B. Pengertian KDRT
1. Secara Umum
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT
merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan
rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar. Kadangkala lingkungan kurang
tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya dengan alasan KDRT merupakan
masalah domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT orang lain tidak perlu campur
tangan. Padahal dampak KDRT sangat besar baik bagi si korban maupun
keluarganya.
4
“Kekerasan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan: perbuatan seseorang
atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.1
Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah
berbagai macam tindakan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan social
para anggota keluarga oleh sesama anggota keluarga (anak/menantu, ibu/istri dan
ayah/suami).2
2. Berdasarkan Undang-Undang
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1
menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 3 Demikian juga
pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-
Undang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
(b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 485.
2
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, AAkademika Pressindo, Jakarta,1993, hal. 296.
3
Kodir Faqihuddin Abdul. 2008. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta : Komnas Perempuan 5
dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan);
dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).4
Namun di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga terdapat sanak saudara yang
tinggal bersama, misalnya orangtua baik dari suami atau istri, saudara kandung/tiri
dari kedua belah pihak, kemenakan dan keluarga lain yang mempunyai hubungan
darah. Disamping itu juga terdapat pembantu rumah tangga yang tinggal satu atap.
Pengertian rumah tangga atau keluarga dalam konteks ini hanya dimaksudkan untuk
memberikan gambaran tentang apa yang menjadi objek pembicaraan tentang
kekerasan terhadap perempuan, karena terjadinya kekerasan dalam sebuah rumah
tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun selama ini selalu
dirahasiakan oleh keluarga maupun korban sendiri. Budaya masyarakat ikut berperan
dalam hal ini, karena tindak kekerasan apapun bentuknya yang terjadi dalam rumah
tangga atau keluarga dianggap sebagai masalah keluarga dan orang luar tidak boleh
mengetahuinya. Apalagi ada anggapan bahwa hal tersebut merupakan aib keluarga
yang harus ditutupi.5
C. Bentuk KDRT
Lau dan Kosberg, (1984) melalui studinya menegaskan bahwa ada empat tipe
kekerasan, di antaranya:6
Pertama, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan perilaku
di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek,
membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan
4
Ibid
5
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis
Viktimologis,Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 61-62.
6
6
WAHAB, Rochmat. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan
Edukatif. UNISIA, [S.l.], n. 61, p. 247-256, july 2010. ISSN 0215-1421.
membunuh. Perilaku ini sungguh membuat korban kdrt menjadi trauma dalam
hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman.
Kedua, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan kekerasan psikis
dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan
ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman
untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan penghinaan
secara terus menerus.
Ketiga, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
7
Umar Farok Peri. 2008. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta
7 :
Literacy & Publication Solutions
keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan
terhadap pemberian makan dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan
layanan kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya.
D. Faktor Terjadinya KDRT
Menurut Pakar Bidang Penelaah Kekerasan
Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu
menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi- agresi, dan teori
kontrol.
Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki
suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir.
Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan
kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai
dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri.
Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk
menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku
konflik antar pribadi yang penuh kekerasan.
Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna
untuk survive. Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat
keturunan dan survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang sagresif
memungkinkan untuk mati satu demi satu
Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk
mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu
pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat
dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau
memindahkan frustasinya ke orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan
agresif dan kekerasan nampak tidka berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang
pembunuh yang pofesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan
8
penyerangan. Teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan
orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat
kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi
situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan
erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik
mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif. Travis Hirschi
memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya bahwa remaja putera yang
memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang
dekat dengan orang lain.
Dalam lingkup keluarga, KDRT umumnya terjadi karena :
- Kurang komunikasi, Ketidakharmonisan.
- Alasan Ekonomi.
- Ketidakmampuan mengendalikan emosi.
- Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun.
- Kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.
- Latar budaya patriarki dan ideologi gender yang berpengaruh.
E. Dampak KDRT
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya
untuk:
Pemulihan Korban
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
• Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
• Pekerja Sosial;
• Relawan Pendamping; dan/atau
Pembimbing Rohani Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau Pembimbing
Rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian
konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Dalam hukum Islam, istilah kekerasan dikenal dengan istilah dhulm (kedhaliman),
i’tida’ (kesewenang-wenangan atau melanggar ketentuan) dan idhrar (tindakan yang
menimbulkan bahaya bagi orang lain). Istilah ini lebih bersifat umum mencakup
semua tindakan penganiayaan dan kesewenang- wenangan yang dilakukan suami/
bapak terhadap istri, anak atau orang lain dalam keluarga dengan tujuan
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan secara sengaja dan tidak berdasar baik
secara fisik maupun psikis Islam melarang keras segala bentuk kedhaliman dan
kesewenang-wenangan karena tindakan ini hanya akan menimbulkan dharar
(bahaya) terhadap jiwa manusia yang harus dihormati. Dalam Surat al-Baqarah Ayat
231 Allah berfirman (artinya): Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu) lalu
sampai (akhir) idahnya maka tahanlah mereka dengan cara yang baik17atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula) Dan janganlah kamu tahan
mereka dengan maksud jahat untuk mendhalimi mereka. Barang siapa melakukan
demikian maka dia telah mendhalimi diri sendiri.8 Dalam ayat lain Allah juga
berfirman (artinya): Talak (yang dapat dirujuk itu) dua kali, (setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali
keduanya (suami istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum- hukum Allah.
Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum Allah
maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah maka jangan kamu melanggarnya.
Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah maka itulah orang-orang yang dhalim.9
Selain itu Nabi Muhmmad SAW bersabda (artinya): Tidak boleh melakukan sesuatu
yang membahayakan bagi orang lain dan tidak boleh pula membalasnya dengan
bahaya yang serupa. 10
Berdasarkan hadits ini maka ulama ahli Fikih menformulasikan kaidah fiqhiyah.
Tindakan yang bernuansa kekerasan menurut hukum Islam dapat diperbolehkan
hanya apabila tindakan itu dimaksudkan sebagai sanksi dalam rangka mendidik dan
membuat jera, misalnya bagi istri yang nusyuz (seperti meninggalkan rumah tangga
tanpa seidzin suami), atau anak yang telah berusia 10 tahun tapi masih meninggalkan
shalat fardlu. Dalam hal istri nusyuz sanksinya adalah pisah ranjang setelah diberi
peringatan, dan dipukul sekiranya diperlukan. Hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an
Surat al-Nisa’ Ayat 34 (artinya): perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan
akan nusyuz hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka
di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka, tetapi jika
mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk
menyusahkannya. Sungguh Allah Maha Tinggi, Maha Besar. 12 11 Sedangkan
perintah memukul anak yang mendekati baligh tapi masih meninggalkan shalat fardlu
adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw. (artinya): Perintahlah anak-
anakmu dengan shalat pada saat telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka
jika meninggalkan shalat pada saat telah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur…12 Sungguhpun al-Qur’an dan Hadits diatas
memperbolehkan seseorang memukul istri atau anak tetapi yang dimaksudkannya
9
Ibid. hal. 36
10
Jalal al-Din al-Suyuthi, Tanwir al-Hawalik Syarh ala Muwatha’ Malik, Vol.2, Dar Ihya’ al- Kutub al-
Arabiyah, Mesir, 1923, hal.218
11
18
Al-Qur’an Terjemah, hal. 84
12
Jalal al-Din al Suyuthi, Al-Jami’ al-Shaghir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2014, hal. 500.
adalah memukul dengan pukulan yang tidak menimbulkan bahaya (dharar) atau-
dengan kata lain- pukulan ringan sekadar untuk tujuan sock trapy bagi istri atau anak
tersebut agar jera dari meninggalkan kewajibannya. Sanksi ini pada dasarnya
merupakan sanksi maksimal seandainya tidak diperlukan maka meninggalkannya
adalah lebih baik.13 Dengan demikian menurut hukum Islam memukul istri atau anak
sebagai bentuk pendidikan tidaklah termasuk dalam pengertian kekerasan dalam
rumah tangga. Berbeda dengan pengertian kekerasan menurut Undang-undang
tentang KDRT dalam mana tindakan memukul seperti digambarkan diatas bisa
dikategorikan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dipidana
secara yuridis.
Adapun pengertian rumah tangga dalam hukum Islam tidaklah berbeda dari apa yang
disebutkan dalam undang-undang diatas, yaitu unit terkecil dari kehidupan
masyarakat yang terdiri dari suami/ayah, istri/ibu, anak-anak dan pembantu serta
kerabat dekat lainnya. Dalam Islam rumah tangga atau keluarga dikenal dengan
istilah ‘ailah atau ahl al bayt. Dalam kehidupan rumah tangga hukum Islam
menekankan fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh masing- masing anggota
keluarga sesuai fitrahnya. Suami/ayah mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang
amat penting dan berat sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban memberikan
nafkah bagi semua anggota keluarga sesuai kemampuannya. Dalam pergaulan sehari-
hari Islam menekankan hubungan yang harmonis satu sama lain dengan ketentuan
bahwa yang lebih tua harus bersikap sayang kepada yang lebih muda dan yang lebih
muda harus bersikap hormat kepada yang lebih tua.14 Selain itu hukum Islam
menekankan ketaatan dari istri kepada suami, dan dari anak kepada orangtua. Dengan
fungsi- fungsi dan prinsip-prinsip pergaulan antar anggota keluarga menurut hukum
Islamsebagaimana tersebut di atas maka diharapkan tindakan kekerasan dalam
lingkup rumah tangga tidak akan terjadi.
Dalam konsep hukum pidana Islam, semua jenis pidana atau hukuman baik yang
pokok maupun tambahan sebagaimana tersebut di atas, dikenal dengan istilah jarimah
13
Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir , Juz V , Dar al-Fikr Damaskus, 1998, hal. 56.
19
14
Lihat Jalal al Din al-Suyuthi, Al-Jami al-Shaghir, hal. 470.
qisas-diyat dan ta’zir. Soal perbuatan mana yang termasuk qisas-diyat atau ta’zir
tergantung kepada modus kejahatan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya.
Jarimah qisas-diyat adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas atau
diyat. Qisas adalah hukuman yang setimpal dan sepadan seperti membunuh dihukum
bunuh juga, melukai dihukum dengan dilukai juga, merusak mata dihukum dengan
dirusak mata juga dan lain sebagaimana. Sedangkan diyat adalah hukuman ganti rugi
yaitu pemberian sejumlah harta dari pelaku kepada korban atau walinya melalui
keputusan hakim. Hukuman qisas dan diyat merupakan hukuman yang telah
ditentukan kadar dan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi dan menjadi
hak individual korban atau walinya secara penuh. Hal ini berbeda dengan hukuman
had yang menjadi hak Allah semata sebagai representasi masyarakat. Dalam
penerapan hukum qisas-diyat terdapat berbagai kemungkinan seperti qisas bisa
berubah menjadi diyat, hukuman diyat bisa juga dimaafkan oleh korban atau walinya.
Kalau dimaafkan maka hukuman menjadi terhapus. Jarimah qisas-diyat meliputi
jenis-jenis kejahatan sebagai berikut:
1. Pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd)
2. Pembunuhan semi sengaja (al-qatl syibh al-amd)
3. Pembunuhan keliru (al-qatl al-khata’)
4. Penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd)
Hukum ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan untuk memberi pelajaran bagi
pelaku yaitu segala macam hukuman selain had dan qisas-diyat. Pelaksanaan
hukuman ta’zir ini baik yang terlarang menurut nas atau tidak, baik perbuatan
itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, secara penuh diserahkan
kepada hakim berkenaan dengan penentuan jenis dan ukuran sanksi hukum
yang akan dijatuhkan. Jadi Hukum Islam memberikan kewenangan penuh
kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk hukuman atau sanksi hukum
20
bagi pelaku kejahatan kategori ini.15
Jarimah ta’zir ini terbagi dalam tiga macam yaitu :
1. Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam kategori hudud atau qisas-diyat
yang masih mengandung unsur syubhat (ketidak- jelasan) tetapi perbuatan
tersebut sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat. Seperti wathi’ syubhat,
pencurian harta syirkah, pembunuhan seorang anak oleh ayahnya dan
pencurian yang bukan harta benda.
B. Saran
Dari simpulan yang disebutkan di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran
antara lain:
1. Dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga
22
agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan.
2. Maka antara suami dan istri harus memiliki keimanan yang kuat dan akhlaq
yang baik, adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, serta
memiliki rasa saling percaya, pengertian, dan saling menghargai.
3. pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata
serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan
pengawasa
DAFTAR PUSTAKA 23
Kodir Faqihuddin Abdul. 2008. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta : Komnas Perempuan
Umar Farok Peri. 2008. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta :
Literacy & Publication Solutions
Utomo Brief. 2009. Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta : PT Indo.Indd
Wahab Rochmat. 2006. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bandung: UIN Yoga
Aditama. 2012. Pedoman Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Jakarta : Erlangga
A.S. Alam, Pengantar Kriminologi, Refleksi, Makassar, 2010.
Al-Qur’an Terjemah, PT. Suara Agung, Jakarta, 2015.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,1993. Jalal
al-Din al Suyuthi, Al-Jami’ al-Shaghir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
2014.
Jalal al-Din al-Suyuthi, Tanwir al-Hawalik Syarh ala Muwatha’ Malik, Vol.2,
Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, Mesir, 1923.
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis
Viktimologis,Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga (Tentang Ihwal Keluarga Remaja dan Anak),
PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
Swara Rahima, Media Islam untuk Hak-hak Perempuan, No 41 Tahun XIII April
2013.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani Jakarta, 2003.
Undang – undang Nomor 23, Tahun 2004.
A. Malthuf Siroj kekerasan dalam rumah tangga (kdrt) perspektif undang-undang.
nomor 23 tahun 2004 dan hukum islam , Jurnal Hakam, Volume 04 Nomor 02,
Desember 2020
24