Anda di halaman 1dari 7

Nama : Irliana Hardianti H.

Razak

NIM : 2020050102110

Prodi : PBS D

Matkul Sistem Operasional Perbankan Syari’ah

1. Pengertian Riba

Pengertian riba secara harfiah adalah ziyadah (tambahan). Artinya riba secara umum
adalah melebihkan jumlah pengambilan pinjaman. Riba sangat bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam islam. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan
dari harta pokok atau modal. Jadi, dapat disimpulkan pengertian riba adalah penetapan nilai
tambahan (bunga) atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan presentase
tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibeban kepada peminjam.

2. Sejarah Pelarangan Riba

Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi-transaksi perekonomian oleh
masyarakat arab sebelum datangnya islam. Akan tetapi pada zaman itu riba yang berlaku adalah
merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan hutang. Dengan demikian,
riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli maupun hutang
piutang secara batil atau bertentangan dengan kaidah syari’at islam.

Riba tidak hanya dikenal dalam islam saja, tetapi dalam agama lain (non islam) riba telah
kenal dan juga pelarangan atas perubahan pengambil riba, bahkan pelarangan riba telah ada sejak
sebelum islam datang menjadi agama.

a). Masa Yunani Kuno

Bangsa yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan memungut
bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan Aristoteles yang sangat membenci
pembungaan uang :
“ Bunga uang tidaklah adil”

“ Uang seperti ayam betina yang tidak bertelur”

“ Meminjakan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya”

b). Masa Romawi

Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan mengadakan
peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga melalui undang-undang.
Kerajaan romawi adalah kerajaan pertama yang menerapkan peraturan guna melindungi para
peminjam.

c). Menurut Agama Yahudi

Yahudi juga mengharamkan seperti termaksud dalam kitab sucinya, menurut kitab suci
agama yahudi yang disebutkan dalam perjanjian lama kitab keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila
kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku
laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik
uang”.

Dan pada pasal 36 disebutkan :”Supaya ia dapat hidup di antaramu janganlah engkau
mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu,
supaya saudaramu dapat hidup bersamamu”. Namun orang yahudi berpendapat bahwa riba itu
hanyalah terlarang kalau dilakukan dikalangan sesame yahudi, dan tidak dilarang
dilakukanterhadap kaum yang bukan yahudi. Mereka mengharamkan riba sesama mereka tetapi
menghalalkannya pada pihak yang lain. Dan inilah yang menyebabkan bangsa yahudi terkenal
memakan riba dari pihak selain kaumnya. Berkaitan dengan kedhaliman kaum yahudi inilah,
allah dalam al-qur’an surah an-nisa ayat 160-161 tegas-tegas mengatakan bahwa perbuatan kaum
yahudi ini adalah riba yaitu memakan harta orang lain dengan jalan bathil, dan Allah akan
menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.

d). Menurut Agama Nasrani

Berbeda dengan orang yahudi, umat nasrani memandang riba haram dilakukan bagi
semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari kalangan
nasrani sendiri ataupun non nasrani. Menurut mereka (tokoh-tokoh nasrani) dalam perjanjian
lama kitab Deuntoronomy pasal 23 pasal 19 disebutkan: : “Janganlah engkau membungakan
uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat
dibungakan”.

Kemudian dalam perjanjian baru didalam injil Lukas ayat 34 disebutkan: “Jika kamu
menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya
kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak
mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu sangat banyak”. Pengambilan bunga uang
dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. Pada akhir abad ke-13 timbul beberapa factor yang
menghancurkan pengaruh gereja yang dianggap masih sangat konservatif dan bertambah
meluasnya pengaruh mazhab baru, maka pinjaman dengan dipungut bunga mulai diterima
masyarakat. Para pedagang berusaha menghilangkan pengaruh gereja untuk menjastifikasi
beberapa keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada beberapa tokoh gereja yang beranggapan
bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrasi dan kelangsungan oeganisasi
dibenarkan karena bukan keuntungan dari hutang. Tetapi sikap pengharaman riba secara mutlak
dalam agama nasrani dengan gigih ditegaskan oleh Martin Luther, tokoh gerakan protestan. Ia
mengatakan keuntungan semacam itu baik sedikit atau banyak, jika harganya lebih mahal dari
harga tunai tetap riba.

Pada masa jahilliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (jahiliyah) riba
mempunyai beberapa bentuk aplikatif. Beberapa riwayat menceritakan riba jahiliyah. Bentuk
pertama: Riba pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah dimasa jahiliyah:
“tangguhkan hutangku, aku akan menambahkannya”. Maksudnya adalah jika ada seseorang
mempunyai hutang (debitor), tetapi ia tidak dapat membayarnya pada waktu jatuh tempo, maka
ia (debitor) berkata: tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan. Penambahan itu
bisa dengan cara melipat gandakan uang atau menambahkan umur sapinya jika pinjaman tersebut
berupa binatang. Demikian seterusnya.

Menurut Qatadah yang dimaksud riba adalah orang jahiliyah adalah seorang laki-laki
menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggat waktunya habis dan barang
tersebut tidak berada disisi pemiliknya, maka ia harus membayar tambahan dan boleh menambah
tenggatnya. Abu Bakar al-Jahshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah hanyalah
sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu. Bentuk kedua: Pinjaman
dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus dibayar dengan bunga. Al –Jashshash
menyatakan, “ Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk
pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah
sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama. Bentuk ketiga: Pinjaman
berjangka dan berbunga denga syarat dibayar perbulan. Ibnu hajar al Haitsami menyatakan, “riba
nasi’ah adalah riba yang popular dimasa jahiliyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan
uang kepada orang lain dengan pembayaran tertunda, dengan syarat ia mengambil sebagian
uangnya tiap bulan sementara jumlah uang yang dihutang tetap sampai tiba waktu pembayaran,
kalau tidak mampu melunasinya, maka diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus
dibayar.

Tahapan Larangan Riba dalam al-qur’an

Sudah jelas diketahu bahwa islam melarang riba dan memasukkannya dalam dosa besar.
Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gradual (step by step).
Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan perbuatan riba
dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan
kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan
perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang pada
akhirnya diterapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan.

Tahapan Pertama

Dalam surah Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak
menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan
menjauhkan riba. Disini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap
untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan
harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memeberikan berkah-Nya dan melipat gandakan
pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.

Tahap Kedua
Pada tahap kedua, Allah menurunkan Surah An-Nisa ayat 160-161. Riba digambarkan
sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan
siksa bagi kaum yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas
lagi tentang riba melalui riwayat orang yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan
bagi orang islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima
pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam
agama yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan menyatakan
pengharaman riba bagi kaum muslim.

Tahapan Ketiga

Dalam surah Ali Imran ayat 130, Allah tidak menharamkan riba secara tuntas, tetapi
melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang
sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu,
sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap
menerimanya.

Tahap Keempat

Turun surah al-baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara
tegas,jelas,pasti,tunts,dan mutlak mengharamkannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak
dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat
tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya.

3. Mengapa riba dilarang dakam agama islam

Sebelum membahas tentang mengapa agama Islam melarang riba dalam bertransaksi,
marilah kita ketahui dulu apa itu riba. Pada dasarnya dalam kehidupan bermasyarakat kata riba
sudah tidak asing lagi untuk indra pendengaran kita, sebab ada banyak sekali hal yang pada
akhirnya akan menjerumus pada riba jika kita tidak berhati-hati, atau bahkan tidak sedikit orang
yang sudah mengetahui bahwa riba dilarang namun mereka tetap melakukan riba karena
kurangnya rasa bersyukur mereka terhadap apa yang telah dimiliki sehingga berapun harta yang
dimilik tetap merasa kurang dan pada akhirnya mereka melakukan segala cara untuk bisa
menutupi rasa kurangnya tersebut meskipun dengan jalan riba.

Menurut bahasa riba yaitu ziyadah yang artinya tambahan. Tambahan yang dimaksud di sini
adalah dalam suatu transaksi hutang piutang, orang yang berhutang harus membayar lebih dari
yang seharusnya dibayarkan. Dalam hal ini dapat diketahui jika riba dapat merugikan salah satu
pihak yaitu pihak yang berhutang, hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Islam
melarang riba dalam bertransaksi. Dalam Islam saling tolong menolong adalah wajib hukumnya,
sangat bertentangan dengan riba yang akan menyulitkan orang lain pada akhirnya.

Riba dapat membuat yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya, maka riba haram
hukumnya. Dalam sebuah hadis disebutkan tentang pelarangan riba, yaitu Dari Jabir dia berkata,
"Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pembayar (pemberi) riba, juru tulis riba, dan saksi-
saksi riba." Dia berkata, "Mereka semua sama" (HR Abu Daud).

Agama Islam melarang riba adalah untuk kesejahteraan manusia. Jika riba tidak di
haramkan maka akan terjadi banyak penindasan antara orang kaya dan orang miskin, budaya
tolong menolong semakin hilang karena mereka hanya akan memikirkan dirinya sendiri tanpa
peduli dengan orang lain, padahal manusia hidup selalu membutuhkan orang lain tapi mereka
akan menjadi seolah tidak butuh lagi bantuan orang lain sebab mereka telah dibutakan dengan
uang. Mereka akan menjadi manusia yang serakah.

Riba biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sangat membutuhkan / terdesak sehingga tidak
ada pilihan lain selain meminjam uang pada rentenir meskipun mereka tahu itu akan
memberatkan dirinya di kemudian hari. Dan di kemudian hari mereka harus membayar lebih dari
jumlah yang dipinjamnya sehingga mereka akan kesulitan, sementara si piutang bukan hanya
mendapat keuntungan tapi juga telah memudaratkan orang yang berhutang. Transaksi seperti itu
bisa disebut pemerasan.

Meskipun sekarang si piutang terlihat beruntung, namun Allah telah berfirman dalam surah Al-
Baqarah ayat 276 bahwa Allah menghapuskan berkah harta riba dan menyuburkan harta
shadaqah. dan dalam surah Ar-Rum ayat 39 yaitu "dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan, agar menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah di sisi Allah".
Karena riba dapat menimbulkan kerusakan masyarakat dan menyebabkan kemelaratan, maka
Allah memerintahkan dengan amat keras supaya riba dihapuskan dan dilenyapkan dari muka
bumi, sampai-sampai Allah berfirman bahwa yang tidak berhenti dari riba itu seolah-olah
menantang peperangan dengan Allah dan Rasul-Nya.

Selain berdampak pada kerusakan masyarakat, riba juga berdampak pada ekonomi. Pertama
yaitu siklus-siklus ekonomi yang berulang kali terjadi atau disebut juga krisis ekonomi, menurut
pendapat para ahli ekonomi penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai
peminjam modal atau disebut juga riba. Kedua, riba dapat menimbulkan over produksi, riba
dapat membuat daya beli masyarakat lemah membuat persedian jasa dan barang semakin
tertimbun, berakibat pada macetnya perusahaan karena produksinya tidak laku, pada akhirnya
banyak pekerja yang terkena phk agar perusahaan tidak mendapat kerugian terlalu besar,
akibatnya banyak orang kehilangan pekerjaan mereka dan mereka menjadi pengangguran.

4. Pendapat dan tanggapan mengenai bunga bank

Jika dilihat dari sistem kerjanya, bungan pinjaman adalah riba. hal ini berlaku untuk
bunga bank. dikatan riba karena terdapat perjanjian atau akad bersyarat dalam meminjam. jadi
menurut saya itu tidak boleh, karena islam sendiri menganggapnya riba dan riba tersebut haram.

5. Penutup

Ditinjau dari berbagai penjelasan yang kami paparkan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :

Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian


berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam.
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Macam-macam riba
yaitu: Riba Yad, Riba Jahiliyah, Riba Qardhi, Riba Fadli, dan Riba Nasi’ah.

Di masa sekarang ini riba banyak di temukan di bank konvensional. Faktor-faktor yang melatar
belakangi perbuatan memakan hasil riba yaitu: Nafsu dunia kepada harta benda, serakah harta,
tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan, imannya lemah, serta
selalu ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba.

Anda mungkin juga menyukai