Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

SIROSIS HEPATIS

Oleh:

Ghina Muthmainnah 2040312078

Preseptor :

dr. Arkademi, Sp.PD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD M. ZEIN PAINAN

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sirosis hati merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang panjang dari semua

penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim hati. Sirosis hati merupakan

tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan

pembentukan nodul regeneratif. Kebanyakan dari pasien sirosis adalah asimtomatis sampai

stadium dekompensata terjadi, oleh karenanya sulit untuk menilai angka prevalensi dan

insiden dari sirosis pada populasi umum. Di seluruh dunia prevalensi sirosis diperkirakan

mencapai 100 per 100.000 penduduk, tetapi hal ini bervariasi pada setiap negara.1

Prevalensi sirosis hepatis di Amerika Serikat diperkirakan menyebabkan sekitar 35.000

kematian dalam setiap tahunnya. Sirosis hepatis menempati urutan ke-14 penyebab tersering

kematian pada orang dewasa di dunia.2 Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di

Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di

bangsal Penyakit Dalam.3

Penyebab sirosis hati sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik

steatohepatitis serta hepatitis C. Angka kejadian di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara

21,2 – 46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7 – 73,9%.4

Umumnya klinis sirosis hati muncul ketika seseorang sudah mengalami sirosis hati

dekompensata, yang ditandai dengan adanya hipertensi portal dan penurunan fungsi

hepatoselular atau sebagian besar pasien datang ketika sudah muncul komplikasi dari sirosis

hati. Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya sehingga perlu

memperbaiki kualitas hidup pasien sirosis dengan pencegahan dan penanganan

komplikasinya.2,3
1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,

tatalaksana, komplikasi, prognosis dan laporan kasus mengenai sirosis hepatis

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda

mengenai sirosis hepatis serta membandingkan dengan kasus yang ada.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk dari

berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi dan Etiologi

Sirosis hati mengakibatkan terjadinya 35.000 kematian setiap tahunnya di

Amerika.6 Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada. Di RS Sardjito

Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian

Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun 2004). Lebih dari 40% pasien

sirosis adalah asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu

pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain.5 Penyebab

munculnya sirosis hepatis di negara barat tersering akibat alkoholik sedangkan di

Indonesia kebanyakan disebabkan akibat hepatitis B atau C.

2.2 Patofisiologi

Sirosis

Sirosis memperlihatkan stadium lanjut dari penyakit hati kronis dimana telah terjadi

perubahan jaringan hati fungsional menjadi jaringan fibrosa. Meskipun sirosis biasanya

berhubungan dengan alkoholisme, namun hal tersebut dapat diakibatkan dari penyakit-

penyakit lainnya, seperti hepatitis virus, reaksi toksisk terhadap obat-obatan dan zat kimia,

obstruksi empedu, dan non-alcoholic fatty liver disease. Sirosis juga sering muncul bersamaan

dengan penyakit metabolik lainnya yang mengakibatkan deposit mineral dalam hati. Dua yang

paling sering diantaranya adalah hemochromatosis (deposit besi) dan Wilson disease (deposit

tembaga).3,4,5

Gambaran sirosis terlihat dari jaringan fibrosis yang difus yang menggantikan

arsitektur normal hati menjadi nodul fibrosis yang mengelilingi hepatosit. Nodul-nodul

tersebut berukuran sangat kecil (<3 mm, atau mikronodul) hingga nodul besar (beberapa

sentimeter, makronodul), yang memperlihatkan hubungan antara aktivitas regeneratif dan


konstriktif. Jaringan fibrosis yang menggantikan parenkim hati membentuk pita-pita

konstriktif yang mengganggu aliran di saluran pembuluh darah yang merupakan faktor

predisposisi dari hipertensi portal dan komplikasinya; obstruksi saluran empedu dan efek

destruktif dari kolestasis, serta kehilangan sel-sel hati yang mengarah ke kondisi gagal hati. 3

Manifestasi klinis dari sirosis adalah bervariasi, mulai dari hepatomegali asimtomatik

hingga kegagalan hati. Sering dijumpai tidak adanya gejala hingga penyakit ini mencapai

stadium lanjut. Tanda dan gejala umum dari sirosis antara lain adalah penurunan berat badan

(kadang-kadang ditutupi oleh asites), kelemahan, dan penurunan nafsu makan. Diare cukup

sering dilaporkan, meskipun beberapa pasien juga mengalami konstipasi. Hepatomegali dan

ikterik juga merupakan hal yang sering ditemui. Terdapat beberapa kasus yang mengeluhkan

nyeri perut akibat pembesaran hati dan merenggangnya kapsul Glisson. Rasa nyeri ini

terlokalisir di area epigastrik atau di kuadran kanan atas dan dideskripsikan sebagai nyeri

tumpul, gatal, dan menyebabkan sensasi penuh di perut.3,4,5

Gambar 1 Patofisiologi hipetensi portal

Gejala lanjut dari sirosis dihubungkan dengan hipertensi portal dan kegagalan hati.

Splenomegali, asites, dan peningkatan resistensi pembuluh darah portosistemik (yaitu, varises

esofagus, hemoroid, dan caput medusae) diakibatkan oleh hipertensi portal. Beberapa
komplikasi seperti perdarahan yang diakibatkan oleh penurunan faktor pembekuan,

trombositopenia akibat splenomegali, ginekomastia dan pola rambut pubis seperti wanita pada

pasien pria akibat atropi testis, spider naevi, palmar eritem, dan enselopathy dengan asteriksis

dan tanda-tanda kelainan neurologis. 3,4,5

Hipertensi Portal

Hipertensi portal terjadi akibat peningkatan resistensi pada aliran sistem vena portal

dan peningkatan tekanan vena portal di atas 12 mmHg (normalnya, 5-10 mm Hg). Secara

fisiologis, darah vena kembali yang kembali ke jantung yang berasal dari organ-organ

abdomen berkumpul di vena portal dan berjalan melewati hati sebelum memasuki vena kava.

Hipertensi portal dapat diakibatkan oleh beberapa kondisi yang meningkatkan resistensi aliran

darah hati, seperti obstruksi prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik (kata hepatik disini

mengacu pada lobus hati). Obstruksi prehepatik yang mengakibatkan hipertensi portal adalah

trombosis vena portal dan kompresi eksternal akibat kanker dan pembesaran nodus limfe yang

mengakibatkan obstruksi vena portal sebelum pembuluh darah tersebut memasuki hati. 3,4

Obstruksi pascahepatis merujuk pada setiap obstruksi pada aliran darah pada vena-

vena hepatika setelah lobus-lobus hati, baik lokasinya di dalam hati atau distal dari hati. Hal

ini terjadi akibat beberapa kondisi seperti trombosis vena hepatika, penyakit oklusi vena, dan

gagal jantung kanan yang berat sehingga mengakibatkan terganggunya aliran darah vena di

hati. Budd-Chiari syndrome adalah trombosis pada vena hepatika yang berhubungan dengan

kondisii-kondisi seperti polisitemia vera, hiperkoagulais yang terjadi pada kasus keganasan,

kehamilan, infeksi bakteri, lesi metastasis hati, dan trauma. Penyakit oklusi vena adalah

sebuah variasi dari Budd-Chiari syndrome yang paling sering terjadi pada pasien kanker yang

diterapi dengan obat-obatan kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang. 3

Obstruksi intrahepatik yang menyebabkan hipertensi portal termasuk kondisi-kondisi

yang melibatkan jaringan hati. Pada sirosis akloholik yang merupakan penyebab tersering
hipertensi portal, pita-pita jaringan fibrosa dan nodul fibrosa mengganggu arsitektur hati dan

meningkatkan resistensi aliran darah portal, dan akhirnya mengakibatkan hipertensi portal. 3,5

Komplikasi hipertensi portal berasal dari peningkatan tekanan dan dilatasi saluran

vena. Sebagai tambahan, saluran kolateral yang terbuka menghubungkan sirkulasi portal

dengan sirkulasi sisemik. Komplikasi utama dari peningkatan tekanan vena porta dan

membukanya saluran kolateral vena adalah asites, splenomegali, dan gangguan aliran

portosistemik dengan perdarahan akibat varises esofagus. 3

Asites

Asites terjadi bila terdapat peningkatan sejumlah cairan di kavitas peritonium dan

merupakan manifestasi tahap lanjut dari sirosis dan hipertensi portal. Tidak jarang ditemui

seseorang dengan sirosis stadium lanjut dengan jumlah cairan asites sebanyak 15 L atau lebih.

Hal tersebut juga sering disertai dengan rasa tidak nyaman di perut, sesak, insomnia, serta

kesulitan dalam berjalan dan tergantung pada orang lain untuk kegiatan sehari-hari. 3,4,5

Meskipun mekanisme yang bertanggungjawab terhadap timbulnya asites masih belum

dipahami, beberapa faktor yang terduga berkontribusi dalam akumulasi cairan, termasuk

peningkatan tekanan kapiler akibat hipertensi portal dan obstruksi aliran vena yang melewati

hati, retensi garam dan air oleh ginjal, dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat gangguan

sintesis albumin dari hati. Penurunan volume darah (teori underfillI) dan volume darah yang

banyak (teori overfill) telah digunakan untuk menjelaskan peningkatan retensi garam dan air

oleh ginjal. Menurut teori underfill, terjadi konstriksi volume darah sebagai sinyal aferen yang

menyebabkan ginjal untuk meretensi garam dan air. Penurunan volume darah mungkin

disebabkan oleh kehilangan cairan ke kavitas peritonium atau akibat vasodilasi yang

disebabkan oleh substansi vasodilator dalam sirkulasi. Teori overfill menjelaskan kejadian

awal dari perkembangan asites, yaitu retensi garam dan air disebabkan oleh gangguan hati.

Gangguan tersebut termasuk kegagalan hati untuk memetabolisme aldosteron, sehingga


mengakibatkan retensi garam dan air oleh ginjal. Beberapa faktor kontributor patogenesis

asites lainnya adalah peningkatan tekanan koloid, sehingga membatasi reabsorbsi cairan dari

kavitas peritoneum. 3,4,5

Pengobatan asites biasanya terfokus pada diet restriktif natrium dan diuretik. Intake air

juga sebaiknya dibatasi. Karena banyak hal yang harus diperhatikan dalam diet natrium,

penggunaan diuretik menjadi terapi utama asites. Dua kelas diureti yang seirng digunakan

adalah diuretik yang bekerja di bagian distal nefron untuk menghambat reabsorbsi natrium

dependen aldosteron, dan loop diuretik. Suplemen kalium oral sering diberikan untuk

mencegah hipokalemia. Posisi tubuh juga dikaitkan dengan aktivasi sistem renin angiotensin

aldosteron: oleh sebab itu, tirah baring mungkin direkomendasikan pada pasien dengan asites

yang besar. Parasentesis large-volume (tapping sebanyak 5 L atau lebih cairan asites)

mungkin dilakukan pada pasien dengan asites masif dan gangguan paru-paru. Karena

pengambilan cairan mengakibatkan penurunan volume vaskular yang mengakibatkan

peningkatan aktivitas renin plasma, aldosteron dan natrium, serta reabsorbsi air oleh ginjal,

obat-obatan volume expander seperti albumin sering diberikan untuk mempertahankan

volume sirkulasi. 3,4,5

Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi pada pasien dengan sirosis dan

asites. Infeksi ini mengakibatkan tingginya angka mortalitas meskipun diterapi dengan

antibiotik. Dugaan sementara, cairan peritonemun bercampur dengan bakteri dari darah dan

limfe atau dari dinding usus. Gejalanya termasuk demam dan nyeri abdomen. Gejala-gejala

lainnya termasuk perburukan ensefalopati hepatikum, diare, hipotermi, dan syok. Hal tersebut

dapat didiagnosis dengan jumlah leukosis 250/mm3 atau lebih dan konsentrasi protein sebesar

1g/dL atau kurang dalam cairan asites. 3,4,5


Splenomegali

Pembesaran limpa secara progresif akibat hipertensi portal mengaibatkan aliran darah

yang berbalik ke vena-vena limpa. Pembesaran tersebut mengakibatkan peningkatan beberapa

elemen darah dan perkembangan kumpulan gejala yang dikenal dengan hypersplenism.

Hipersplenisme ditandai dari penurunan usia elemen darah yang terlihat sebagai anemia,

trombositomenia, dan leukopenia. Penurunan usia tersebut diduga sebagai akibat dari

peningkatan penghancuran elemen tersebut karena waktu transit yang lama di limpa. 3,4

Aliran balik portosistemik

Dengan peningkatan obstruksi yang terjadi perlahan-lahan, tekanan di vena portal

meningkat dan saluran kolateral yang besar terbentuk antara portal dan vena-vena sistemik

yang berasal dari rektum bagian bawah dan esofagus, serta vena umbulikal dari ligamentum

falciformis yang menempel pada dinding anterior abdomen. Kolateral-kolateral antara vena

iliaka internal inferior mengakibatkan hemoroid pada beberapa orang, vena umbilikal fetus

yang tidak mengalami obliterasi total membentuk sebuah saluran pada dinding anterior

abdomen. Vena-vena yang berdilatasi disekitar umbilikus dikenal dengan nama caput

medusae. Aliran balik portopulmonal juga dapat terjadi dan mengakibatkan darah memintas

kapiler pumonal sehingga mengganggu oksigenasi darah hingga sianosis. 3,4

Secara klinis, yang yang paling penting dari saluran kolateral adalah hubungan antara

portal dan vena-vona koroner yang mengakibatkan aliran balik dan membentuk varies yang

berdinding tipis di submukosa esofagus. Varises tersebut rentan untuk pecah sehingga

mengakibatkan perdarahan masif dan terkadang berakibat fatal. Terganggunya sintesis faktor

koagulasi dan penurunan jumlah platelet akibat splenomegali dapat mengakibatkan

komplikasi lebih lanjut dari perdarahan esofatus. Varises esofagus terjadi pada kurang lebih

65% kasus dengan sirosis stadium lanjut dan berakibat perdarahan masif dan kematian pada

setengah diantaranya. 3,4,5


Gambar 2Pelebaran vena kolateral

Tatalaksana hipertensi portal dan varises esofagus diutamakan dalam pencegahan

perdarahan awal, manajemen perdarahan akut, dan prevensi untuk perdarahan ulangan. Terapi

farmakologis digunakan untuk menurunkan telakan vena dan pencegah perdarahan awal.

Obat-obatan penghambat beta adrenergik (propanolol) umumnya digunakan dalam tahapan

ini. Agen-agen tersebut menurunkan tekanan vena portla dengan menurunkan aliran darah

splaknik sehingga menurunkan aliran darah di saluran kolateral. 3,4,5

Beberapa cara digunakan untuk mengontrol perdarahan akut, termasuk administrasi

okreotide atau vasopresin, tamponade balon, skleroterapi injeksi menggunakan endoskopi,

atau ligasi pembuluh darah. Okreotide, sebuah somatostatin analog long-acting mengurangi

aliran darah splaknik dan hepatika serta menurunkan tekanan portal pada pasien sirosis. Obat

tersebut diberikan secara intravena, mengatasi kira-kira 80% kasus. Vasopresin, sebuah

hormon dari kalenjar pituitari posterior, merupakan vasokonstriksi nonselektif yang dapat

digunakan untuk mengontrol perdarahan variseal. Karena okreotide memiliki efeksamping

yang lebih sedikit dan lebih efektif dibanding dengan vasopresin, obat tersebut menjadi

pilihan utama dalam fase perdarahan akut. Tampon balon digunakan sebagai kompresi vena
secara langsung sedangkan skleroterapi dilakukan untuk mengobliterasi lumen pembuluh

darah esofagus. Untuk mencegah perdarahan ulangan, dapat dilakukan intervensi bedah yang

memintas aliran portal. 3,4,5

Gagal hati

Konsekuensi klinis dari sirosis stadium lanjut adalah gagal hati. Hal tersebut dapat

berasal dari destruksi langsung, seperti hepatitis fulminan, atau kerusakan progresif hati yang

terjadi pada sirosis alkoholik. Apapaun penyebabnya, 80% hingga 90% kapasitas hepatosit

fungsional terganggu sebelum gagal hati terjadi. Pada banyak kasus, efek kompensatif

progresif dari penyakit ini dipercepat oleh beberapa kondisi seperti perdarahan saluran

gastrointestinal, infeksi sistemik, ganggguan elektrolit, atau penyakit komorbid lainnya seperti

gagal jantung. 3

Tanda dan gejala yang dapat terjadi pada gagal hati mempresentasikan kegagalan

fungsional hati dalam sistensis, penyimpanan, metabolisme dan eliminasi. 3,5

1. Gangguan hematologis

Gagal hati dapat mengakibatkan anemia, trombositopenia, defek koagulasi, dan

leukopenia. Anemia terjadi akibat kehilangan darah, desktruksi sel darah merah yang

berlebihan, dan gangguan pembentukan sel darah merah. Defisiensi asam folat dapat

mengakibatkan anemia megaloblastik yang hebat. Perubahan komposisi lipid pada

membran sel darah merah meningkatkan hemolisis. Karena faktor V, VII, IX, dan X,

prothrombin, dan fibrinogen disintesis oleh hati, penurunan fungsi hati akan

mengakibatkan gangguan pembekuan darah. Malabsorbsi vitamin K berkontribusi

terhadap gangguan sintesis faktor pembekuan drah. Trombositopenia terjadi sebagai

akibat dari splenomegali. Pasien dengan gagal hati rentan mengalami purpura, lecet,

hematuria, dan perdarahan menstruasi abnormal, serta perdarahan esofagus dan

saluran cerna.
Gambar 3 Patofisiologi gagal hati

2. Gangguan endokrin

Hati memetabolisme hormon steroid, terutama hormon seksual. Gangguan hormon ini

sering ditemui pada kasus sirosis dan gagal hati. Pada perempuan dapat terjadi

gangguan menstruasi (biasanya amenorrhea), penurunan libido, dan kemandulan. Pada

laki-laki, kadar testosteron biasanya turun, atrofi tesis, dan penurunan libido,

impotensi, serta ginekomastia dapat terjadi. Penurunan metabolisme aldosteron dapat

berkontribusi terhadap retensi garam dan air oleh ginjal, bersamaan dengan penurunan

serum kalium mengakibatkan peningkatan eliminasi kalium.

3. Gangguan pada kulit

Gagal hati menimbulkan beberapa penyakit kulit. Lesi tersebut memiliki beberapa

nama, vascular spiders, telangiektasis, spider angioma, dan spider naevi, sering

ditemukan pada dada dan perut bagian atas. Lesi tersebut terdiri dari arteriole yang

berpulsasi di sentral dan menjalar ke lateral. Palmar eritem adalah kemerahan di

telapak tangan, mungkin disebabkan oleh peningkatan aliran darah dari cardiac output.

Jari tabuh juga bisa ditemukan pada pasien sirosis, ikterik biasanya merupakan

manifestasi lanjutan dari gagal hati.


4. Sindrom hepatorenal

Sindrom hepatorenal mengacu pada gagal ginjal fungsional yang sering terlihat pada

stadium terminal gagal hati dengan asites. Hal tersebut terlihat dari peningkatan kadar

kreatinin dan oliguria. Meskipun penyebab dasarnya belum diketahui, penurunan laju

aliran darah ginjal dipercaya berperan dalam patofisiologinya. Ketika gagal ginjal

terjadi pada gagal hati, azotemia dan peningkatan amonia darah terjadi leibh hebat, dan

kondisi tersebut akan berlanjut menjadi ensefalopati hepatikum dan koma.

Ensefalopati hepatikum

Ensefalopati hepatikum adalah manifestasi sistem saraf pusat akibat gagal hati.

Gejalanya dapat berupa penurunan kesadaran, kebingungan, koma, dan kejang. Tanda awal

dari ensefalopati hepatikum adalah flapping tremor atau asteriksis. Berbagai derajat hilang

ingatan dapat terjadi, bisa bersamaan dengan perubahan personalitas seperti euforia,

iritabilitas, ansietas dan tidak peduli terhadap penampilan diri. Mungkin didapatkan gangguan

bicara, dan pasien mungkin tidak dapat melakukan gerakan yang memiliki tujuan.

Ensefalopati dapat berlanjut ke kondisi rigiditas dan koma. 3,4,5

Meskipun penyebab ensefalopati hepatikum masih belum diketahui, akumulasi

neurotoksis, yang terdeteksi di darah akibat hati kehilangan fungsinya sebagai detoksifikator,

diduga sebagai faktor penyebab utama. Tidak semua pasien yang mengalami ensefalopati

hepatikum, kira-kira 10% kasus sirosis hepatis dengan gangguan aliran portosistemik yang

belanjut menjadi ensefalopati hepatikum. 3,4,5

Dugaan neurotoksin utama adalah amonia. Salah satu fungsi utama hepar adalah

mengkonversi amonia, sebuah produk sampingan dari metabolisme protein dan asam amino,

menjadi urea. Ion amonia diproduksi secara melimpah di saluran cerna, terutama di usus besar

akibat degradasi protein dan asam amino oleh bakteri. Secara normal, ion amonia berdifusi ke

dalam darah porta dan dibawa ke hati, di sana amonia diubah menjadi urea sebelum memasuki
sistem sirkulasi utama. Ketika darah dari saluran cerna memintas hati atau hati tidak dapat

mengkonversi amonia menjadi urea, amonia masuk secara langsung ke sirkulasi utama dan

memasuki aliran darah serebral. Ensefalopati hepatikum akan bertambah parah setelah

mengkonsumsi protein atau terdapat perdarahan saluran cerna.3,4,5

Antibiotik yang tidak larut di saluran cerna, seperti neomisin, dan diberkan untuk

eradikasi bakteri dari saluran cerna sehingga mencegah produksi amonia. Obat lain yag dapat

diberikan adalah laktulosa. Obat tersebut tidak diserap di usus halus, tapi langsung menuju

usus besar, di mana di sana akan dikatabolisme oleh koloni bakteri menjadi asam organik

yang lebih kecil yang bertujuan untuk menurunkan pH, Derajat pH yang rendah menghambat

degradasi asam amino, protein, dan darah di saluran cerna. 3,4,5

2.3 Diagnosis

Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hepatis terdiri atas pemeriksaan fisik,

laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsy hati atau

peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati

dini. Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan sirosis

hepatis. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis

dengan dengan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia / serologi, dan

pemeriksaan penunjang lainnya.6

Anamnesis

Hal yang perlu dipertanyakan adalah riwayat yang berhubungan dengan resiko sirosis

hati, berupa6 :

a Riwayat penyakit terdahulu : metabolik sindrom, hepatitis, nonalkoholik fatty liver

disease

b Konsumsi alkohol yang berlebihan


c Tepapar oleh bahan-bahan yang bersifat hepatotoksik

d Penggunaan obat-obatan yang bersifat hepatotoksik: isoniazid, paracetamol.

Pemeriksaan Fisik

Temuan klinis sirosis meliputi6 :

a Spider navy (atau spider telangiektasi)

Suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di

bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya belum diketahui dengan pasti,

diduga terkait dengan peningkatan kadar estradiol dan testosteron.

b Eritema Palmaris

Warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Tanda ini tidak spesifik

pada sirosis, hal ini dikaitkan juga dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.

Eritema palmaris ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme,

dan keganasan hematolog.

c Perubahan pada kuku-kuku terdapat Muchrche berupa pita putih horisontal dipisahkan

dengan warna normal kuku d. Jari gada, lebih sering ditemukan pada sirosis bilier

d Kontaktur Dupuytren Akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi

jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak spesifik berkaitan dengan sirosis.

Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik,

dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.

e Ginekomastia

Secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae pada laki-laki,

kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya

rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah

feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira

fase menopause.
f Atrofi testis hipogonadisme

Menyebabkan impotensi dan infertil. Menonjol pada alkoholik sirosis dan

hemakromatosis.

g Perubahan ukuran hati

Ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil. Bilamana hati teraba,

hati sirotik teraba keras dan nodular.

h. Splenomegali

Sering ditemukan pada sirosis yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat

kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.

i. Asites

Penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan

hipoalbumimenia.

j. Fetor hepatikum

Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil

sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.

k. Ikterus

Pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin

Dalam darah lebih dari 2-3 mg/dl. Akibat hiperbilirubinemia Warna urin terlihat gelap

seperti air teh.

Pemeriksaan Laboratorium6

a. Urine

Dalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus.

Pada penderita dengan asites, maka ekskresi Na dalam urin akan berkurang (<4 meq/l)

menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal

b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, eksresi

pigmen empedu rendah. Sterkobiliniogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam usus

akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwana

cokelat atau kehitaman

c. Darah

Biasanya dijumpai normostik normokromik anemia yang ringan, kadang-kadang

dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin B12

atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami pendarahan

gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni

bersamaan dengan adanya trombositopeni

d. Tes Faal Hati

Tes fungsi hati pada sirosis hati berupa :

 Aspartat aminotransferase (AST)/ serum glutamil oksalo asetat (SGOT) meningkat

 Alanin aminotransferase (ALT)/ serum glutamil piruvat transaminase (SPGT)

meningkat

 AST lebih meningkat daripada ALT

 Gamma-glutamil transpeptidase (GGT) meningkat pada penyakit hati alkoholik kronik

 Promtombine time (PT) memanjang

Penderita sirosis hati banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita

yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik, sedangkan

albumin menurun. Pada pemeriksaan lab pasien sirosis menunjukkan trombositopeni

disertai dengan kegagalan biosintesis hati yang ditandai dengan rendahnya konsentrasi

albumin dan cholinesterase serta meningkatnya INR (International Normalized Ratio).

Konsentrasi transaminase umumnya berada pada rentang normal atau sedikit meningkat.6

D. Pemeriksaan Pencitraan
Untuk mendeteksi sirosis hati penggunaan ultrasonografi kurang begitu sensitif namun

cukup spesifik bila penyebabnya jelas. Gambarannya memperlihatkan ekodensitas hati

meningkat dengan ekostruktur kasar homogen atau heterogen pada sisi superficial, sedangkan

pada sisi profunda ekodensitas menurun. Dapat dijumpai pula pembesaran lobus caudatus,

splenomegali, dan vena hepatika gambaran terputus-putus. Hati mengecil dan splenomegali,

asites tampak sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ intra abdominal dengan

dinding abdomen.6

Pemeriksaan MRI dan CT kovensional bisa digunakan untuk menentukan derajat

beratnya sirosis hati, misal dengan menilai ukuran lien, asites, dan kolateral vaskular. Ketiga

alat ini juga dapat untuk mendeteksi adanya karsinoma hepatoselular. Endoskopi (gastroskopi)

dapat dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus dan gaster pada penderita sirosis

hati. Selain digunakan untuk diagnosis juga dapat digunakan untuk pencegahan dan terapi

perdarahan varises.6

Baku emas untuk diagnosis sirosis hati adalah biopsi hati melalui perkutan,

transjugular, laparoskopi, atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak diperlukan bila secara

klinis, pemeriksaan laboratorium, dan radiologi menunjukkan kecenderungan sirosis hati.

Walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat berakibat fatal misalnya perdarahan dan

kematian.1

2.5 Tatalaksana

Penatalaksaan sirosis hati dapat dibagi berdasarkan stadiumnya1,7 :

1. Sirosis kompensata

Dua tujuan utama dalam pengobatan pada pasien ini adalah mengobati penyakit

pencetus sirosis (contoh: hepatitis B atau C, alkohol, steatohepatitis non alkoholik) dan

mencegah/diagnosa dini komplikasi dari sirosis.

2. Sirosis Dekompensata
Pada stadium dekompensata, tujuan dari pengobatan adalah mengobati atau

meminimaliasasi dari komplikasi penyakit sirosis, berupa :

a. Asites

Pasien sirosis dengan asites dianjurkan untuk tirah baring dan pembatasan asupan

garam harus juga dilakukan karena diet rendah natrium merupakan tonggak utama

terapi. Diet rendah natrium sekitar 800 mg (2 gram NaCl) mampu untuk menginduksi

keseimbangan natrium negatif dan memungkinkan terjadinya diuresis. Diet rendah

garam biasanya dikombinasikan dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan

pemberiam spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari,obat ini karena

kerjanya yang perlahan dan sifatnya yang mempertahankan kalium darah dalam batas

normal(potassium-sparing effect).

Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa

adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian

spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40

mg/hari. Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar, pengeluaran asites bisa hingga

4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.

b. Ensefalopati hepatik

Pada pasien ensefalopati hepatik dianjurkan untuk memakan makanan yang

mengandung kadar protein yang rendah, agar pembentukan amonia dalam darah

berkurang. Pemberian Laktulosa (suatu disakarida yang tidak diserap yang berperan

sebagai laksatif osmotik, sirup laktulosa dapat diberikan dengan dosis 30-50 ml setiap

jam sampai tinjanya pasien lunak kemudian dosis disesuaikan (biasanya 15-30 ml tiga

kali sehari). Neomisin juga bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil

amonia dengan dosis 0,5- 1 gr setiap enam jam.

c. Perdarahan varises esofagus


Merupakan kegawatdaruratan sehingga perlu dilakukan perkiraan dan pergantian atas

darah yang keluar untuk mempertahankan volume intravaskular. Bila kondisi

hemodinamik pasien telah stabil maka perlu dilakukan kajian diagnostik yang lebih

spesifik (endoskopi) dan modalitas terapeutik lainnya untuk mencegah perdarahan

berulang.

Penatalaksanaan medikamentosa pada perdarahan varises akut adalah dengan

pemberian vasokonstriktor (vasopresin dan somatostatin), setelah itu beta-blocker juga

dapat diberikan ketika pasien sudah stabil, kemudian pasien dipersiapkan untuk

dilakukan band ligation atau sclerotherapy atau ballon tamponade. Apabila

perdarahan juga masih berulang maka perlu dipikirkan untuk tindakan Transjugular

intrahepatic portosystemic stent shunting (TIPSS), tindakan ini bertujuan untuk

mengurangi tekanan dalam sistem vena portal sehingga diharapkan perdarahan

berulang tidak terjadi lagi.

d. Peritonitis bakterial spontan

Pada pasien sirosis yang mengalami komplikasi PBS pasien harus diberikan terapi

empirisn antibiotika seperti sefotaksim intravena, amosilin, atau aminoglikosida.

Terapi antibiotik spesifik dapat diberikan apabila mikroorganismenya telah

teridentifikasi, terapi biasanya diberikan selama 10 sampai 14 hari.

e. Sindrom hepatorenal

Terapi biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan. Walaupun sebagian

pasien yang mengalami hipotensi dan penurunan volume plasma berespon

terhadapinfus albumin rendah garam , penambhan volume harus dilakukan secara hati-

hati untuk mencegah tmbulnya perdarahan varises. Terapi vasodilator termasuk

pemberian infus dopamin tidak efektif.1,6


2.6 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis seperti: hipertensi portal

dengan sekuelenya (varises gastroesofagus dan splenomegali), asites, ensefalopati hepatik,

peritonitis bakterial spontan, sindrom hepatorenal, dan karsinoma hepatoselular.7

a. Hipertensi portal

Tekanan vena porta nomal berkisar 5-10 mmHg (rendah), hal ini dikarenakan

resistensi vascular pada sinusoid hepatic minimal. Hipertensi portal (>10mmHg)

paling sering disebabkan oleh peningkatan resistensi aliran darah portal.

Manifestasi klinis mayor akibat hipertensi portal termasuk perdarahan akibat pecah

varises esophagus, splenomegali dengan hipersplenisme, asites, dan ensefalopati

akut atau kronik. Ketiadaan katup pada system vena portal menyebabkan aliran

darah retrograde, yang diantaranya menyebabkan aliran darah kolateral pada vena

disekitar persambungan kardioesofageal, rectum (hemoroid), ruang retroperitoneal,

ligamentum falsiforme dari hepat (kolateral periumbilikal atau dinding abdomen).

Kolateral pada dinding abdomen terlihat sebagai pembulih darah epogastrik yang

menyebar dari umbilicus ke arah xipoid dan batas iga (caput medusae).

b. Perdarahan varises

Perdarahan varises paling sering terjadi pada persambungan gastroesofageal, yang

penyebab pastinya tidak sepenuhnya dimengerti, namun diperkirakan akibat

hipertensi portal (>12mmHg) dan ukuran dari varises.

c. Splenomegali

Splenomegali kongestif sering terjadi pada pasien dengan hipertensi portal yang

berat.Splenomegali yang berat ini menyebabkan trombositopeni atau pansitopeni.

d. Asites

Asites merupakan akumulasi dari kelebihan cairan dalam kavum peritoneal.


Gambar 4. Faktor yang mempengaruhi perkembangan asites

e. Peritonitis bacterial spontaneous

SBP merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada sirosis hati, yaitu infeksi

cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder.

f. Sindrom Hepatorenal

Sindrom hepatorenal merupakan komplikasi serius pada pasien dengan sirosis dan

asites yang ditandai oleh perbukuran azotemia dengan hiponatremia, hipotensi dan

oliguria tanpa adanya penyebab disfungsi renal yang spesifik.

g. Ensefalopati Hepatik

Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatri yang kompleks yang

ditandai oleh gangguan pada kesadaran dan perilaku, perubahan personality, tanda-

tanda neurologis yang berfluktuasi, asterixis atau flapping tremor, dan perubahan

pada elektroensefalografi.
Tabel 1 Stadium klinis ensefalopati hepatik

2.7 Prognosis

Prognosis sirosis hati sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi

etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit penyerta lainnya pada pasien.

Klasifikasi Child-Pugh (tabel 2.1), juga untuk menilai prognosis pasien sirosis hati yang akan

menjalani operasi, variabelnya meliputi kadar albumin, kadar bilirubin, ada tidaknya asites

dan ensefalopati serta status nutrisi. Klasifikasi Child-pugh juga berkaitan dengan

kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien Child A (5-

6), B(7-9), C(10-15) berturut-turut adalah 100%, 80% dan 45%.7

1 2 3

Bilirubin (mg%) <2 2-3 >3

Albumin (g%) >3,5 2,8-3,5 <2,8

INR <1,7 1,7-2,2 >2,2

Asites - Minimal-sedang Banyak

Ensefalopati - Std 1-2 Std 3-4

hepatic

Tabel 2 Stadium klinis ensefalopati hepatik


BAB 3
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn.D
b. Umur : 64 tahun
c. Pekerjaan/ Pendidikan : Pensiunan wali nagari
d. Alamat : Balai Selasa

2. Keluhan Utama:
Perut yang semakin membesar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

3. Riwayat Penyakit Sekarang:


 Perut yang semakin membesar sejak 1 minggu SMRS.
 Awalnya pasien merasakan perut mulai membesar sejak 1 tahun yang lalu,. 2 bulan
kemudian alat kelamin pasien juga mengalami pembengkakan kemudian pasien
berobat ke dokter dan ada perbaikan. Namun pasien sempat putus kontrol ke rumah
sakit dan hanya mengonsumsi obat tanpa resep dokter. Kemudian perut pasien
kembali membesar sejak 3 bulan SMRS dan semakin membesar sejak 1 minggu
SMRS disertai dengan pembengkakan di alat kelaminnya
 Riwayat kedua tungkai sembab 9 bulan yang lalu kemudian membaik dengan
pengobatan dokter saat kontrol ke rumah sakit dan tidak pernah kambuh lagi.
 Pasien juga merasa sesak napas jika beraktivitas seperti berjalan 500 meter, tidak
dipengaruhi cuaca dan makanan.
 Nyeri pada perut kanan atas sejak 3 bulan yang lalu
 Mual muntah disangkal. Riwayat muntah darah disangkal.
 Pasien ada riwayat batuk berdarah satu kali 1 tahun yang lalu
 BAB sulit keluar, konsistensi padat berwarna kecoklatan. Riwayat BAB berdarah dan
berwarna hitam disangkal
 BAK lancar warna kuning jernih. Riwayat BAK warna teh pekat ada. Riwayat BAK
berdarah disangkal
 Demam tidak ada.
 Riwayat transfusi darah (-)
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat DM (-)
 Riwayat hipertensi (-).
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat keganasan (-).

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga dengan riwayat hepatitis, DM, hipertensi, penyakit jantung, dan
penyakit ginjal.

6. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan


 Pasien seorang pensiunan wali nagari
 Pasien seorang perokok dan merokok sebanyak 2-3 bungkus rokok selama 40 tahun
dengan indeks brinkmann 1280 (perokok berat)
 Pasien pernah mengonsumsi minuman beralkohol selama 30 tahun, namun sudah
berhenti sejak 5 tahun yang lalu

PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 138/69 mmHg
Nadi : 81 kali/menit
Napas : 21 kali/menit
Suhu : 36,8OC

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Fisik umum

 Kesadaran : CMC

 Keadaan umum : Sakit sedang

 Tekanan Darah : 138/69 mmHg

 Nadi : 81 kali/menit
 Pernapasan : 21 kali/menit

 SpO2 : 97 %

 Suhu : 36,80 C

 Edema : tidak ada

 Anemis : Ada

 Ikterus : Tidak ada

Pemeriksaan Generalisata

Kulit : spider naevi (+) di dada, turgor baik

Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran KGB pada daerah aksila,
leher, inguinal dan submandibula.
Kepala : Normocephal

Rambut : Berwarna hitam, terdistribusi normal, dan tidak


mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Telinga : Deformitas (-/-), pendengaran baik

Hidung : Tidak ada kelainan, deviasi septum (-)


Mulut : Higienitas mulut baik, faring hiperemis (-), tonsil T1/T1,
perdarahan (-), atropi papil (-), hipertrofi ginggiva (-)
Leher : JVP 5+3 cmH2O, pembesaran tiroid (-),
deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
Paru

 Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan,


kelainan superfisial tidak ada.
 Palpasi : Fremitus n o r m a l sama kiri dan kanan
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi -/-,
wheezing -/-

Jantung

 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

 Palpasi : ictus cordis teraba pada RIC V 1 jari lateral linea mid
clavicularis sinistra
 Perkusi :

o Batas jantung atas RIC II linea parasternal sinistra

o Batas kanan RIC IV linea parasternalis dekstra

o Batas kiri RIC VI 1 jari lateral linea mid clavicularis sinistra

 Auskultasi : Irama reguler, bising sistolik (+)

Abdomen
 Inspeksi : Simetris, sikatrik (-),venektasi (-),caput medusae (-),
kolateral vein (-)

 Palpasi : Distensi (+), shifting dullness (+), hepar tidak


teraba dan lien teraba S2
 Perkusi : Redup

 Auskultasi : Bising usus (+) meningkat


Punggung : nyeri tekan CVA (-), nyeri ketok (-)

Alat kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan

Anus dan rectum : tidak dilakukan pemeriksaan

Anggota gerak : Akral hangat, edem (-/-), refleks patologis -/-, refleks
fisiologis+/+

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

21 Oktober 2021

 Hb : 6,8 g/dl

 Leukosit : 3.200/mm3

 Trombosit : 40.000/mm3

 Ht : 24%

 B/E/N/L/M : 0/7/2/61/24/6

 Ureum : 42 mg/dl

 Kreatinin : 2,0 mg/dl

 GDS : 225

 SGOT : 31 U/l

 SGPT : 36 U/l

 Natrium : 141 mmol/l

 Kalium : 3,7 mmol/l

 Chlorida : 111 mmol/l

 HBsAg : Positif
PEMERIKSAAN EKG

Intrepretasi:

Irama : Sinus ritmis

Heart Rate : 65x/ menit

Regularitas : Reguler

Interval PR : 0,12 detik (3 kotak kecil)

Aksis : +/+ (normoaksis)

Gelombang P : P normal 0,12 detik (3 kotak kecil)

Kompleks QRS : normal (2 kotak kecil)


Segmen ST : normal
Gelombang T : normal
RVH : (-)
LVH : (-)

Kesan: Tidak ada kelainan pada jantung


PEMERIKSAAN RONTGEN THORAKS

Intrepretasi:
- Inspirasi cukup

- Densitas sedang

- Sudut costofrenikus lancip

- CTR : 55,5%

- Corakan bronkovaskuler meningkat

Kesan:

- Kardiomegali
DIAGNOSA KERJA

- Sirosis hepatis stadium dekompensata e.c Hepatitis B

- CHF NYHA Class II sinus rhytm LVH ec SHD

- Anemia berat mikrositik hipokrom ec penyakit kronik

TINDAKAN PENGOBATAN

 MB diet rendah garam

 O2 Nasal Kanul 2 lpm

 IVFD aminoleban , NaCl 0,9% 10 tpm

 Loading aspilet 2 tab, clopidogrel 4 tab po

 Furosemid 2 x 2amp iv

 Pantoprazol 1x1 amp iv

 Spironolacton 1 x 25 mg

 Dulcolax 1 x 5 mg

 Curcuma 3 x 1 tab

PEMERIKSAAN ANJURAN

 Ekokardiografi

 Fibrous Scan

 Esofagoduodenoskopi

PROGNOSIS

Dubia ad malam
BAB 4
DISKUSI

Pasien perempuan umur 64 tahun datang dengan keluhan utama perut yang
semakin membesar sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Perut yang semakin
membesar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Perut yang membesar dapat
disebabkan oleh adanya cairan di dalam rongga abdomen (asites).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, eritem palmar, asites
dan didapatkan adanya spider naevi, hepar tidak teraba dan lien teraba S1, shifting
dullness (+). Hasil laboratorium menunjukkan adanya inversed albumin dan
globulin. Asites terjadi pada pasien sirosis terjadi akibat hipertensi porta dan
vasodilatasi splanknikus yang akan berdampak pada: 1) ekstravasasi cairan ke rongga
peritonium secara langsung, 2) aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron sehingga
terjadi vasokonstriksi arteri renalis dan retensi natrium. Palmar eritem merupakan
warna merah pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan
dengan metabolisme esterogen, namun hal ini tidak spesifik untuk sirosis, karena
palmar eritem juga dapat ditemukan pada kehamilan, arthritis reumatoid,
hipertiroidisme dan keganasan hematologi.
Pemeriksan Shifting dullness (+) menandakan adanya asites pada pasien.
Berdasarkan kriteria Soebandiri, kriteria yang terpenuhi adalah splenomegaly, eritem
palmar, asites, spider naevi, inversed albumin dan globulin, dan hematemesis melena,
terpenuhi 6 dari 7 kriteria sirosis hepatis. 5,10
Anjuran pemeriksaan berupa ekokardiografi, fibrous scan, dan
esofasoduodenoskopi. Tujuannya adalah untuk melihat apakah terdapat kelainan
struktural pada jantung, fibrous scan untuk mengukur derajat fibrosis yang terjadi
pada hepar, dan esofagoduodenoskopi untuk melihat adanya varises esfogaus.
Pada pasien ini diberikan terapi infus aminoleban sebagai nutrisi parenteral
essensial untuk pasien insufisensi hati kronik dan memberikan asupan asam amino
rantai cabang dan juga mencegah terjadinya keadaan hiperamonia dalam darah
sehingga menyebabkan encephalopathy hepatikum. Spironolacton dan furosemide
diberikan sebagai diuretic sehingga dapat mengurangi asites yang terjadi. Dulcolax
untuk mengatasi bab yang sulit keluar dan mencegah peningkatan tekanan
intraabdomen.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tsao GG, Lim J, 2009. Management and treatment of patients with cirrhosis and
portal hypertension: recommendations from the department of veterans affairs
hepatitis C resource center program and the national hepatitis C program.
American Journal of Gastroenterology; 104: 1802-92.
2. Kamath PS dan Shah VH. Gastrointestinal and Liver Disease 10th ed. Elsevier.
2016
3. Grossman S, Porth C. Study guide for porth's pathophysiology. Philadelphia,
Pennsylvania: Lippincott Williams & Wilkins; 2014.
4. Huether S, McCance K, Felver L. Study guide for Understanding
pathophysiology. St. Louis: Elsevier; 2017.
5. Verkhratsky A, Butt A. Glial physiology. Oxford: Wiley-Blackwell;
2013.Verkhratsky, A. and Butt, A. (2013). Glial physiology. Oxford: Wiley-
Blackwell.
6. Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed.
Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.
2009. Page 668-673.
7. Lindseth, G.N. 2013. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 6, Volume 1. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 472-515.
8. Kasper DL et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th ed. New Yowk.
McGraw-Hill. 2005
9. Sofwanhadi, Rio. 2012. Anatomi Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.
Jakarta: CV Sagung Seto, hal 1-4.
10. Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in the
setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis. 2009. 18(3):299-
302.

Anda mungkin juga menyukai