TENTANG
USHUL FIQH
Disusun Oleh:
Adawiyah (2014090033)
Dosen Pengampu:
2020/2021
KATA PENGANTAR
Pemakalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………
A. LATAR BELAKANG..................................................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………..
A. KESIMPULAN…………………………………………………………………………………..
B. SARAN……………………………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad (bahasa Arab: )اجتهادadalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang
tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan
matang. Namun, pada perkembangan selanjutnya diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan
para ahli agama Islam.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad
adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi
komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang
dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk
menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah
Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang
ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin
dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-
orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai
akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi
persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).4
Dalam rangka ijtihad, Rasulullah Saw, para sahabat-sahabatnya sudah seringkali mempraktekkan
dalam kehidupan mereka masing-masing ketika berhadapan dengan permasalahan hukum. Dengan
demikian tentunya mereka akan mendapatkan jalan keluar dari permasalahan hukum yang mereka
hadapi.
Dalam perkembangan selanjutnya upaya-upaya ijtihad terus dilakukan oleh orang–orang yang
berkompeten baik dalam skala individual maupun dalam bentuk jama’i (bersama-sama). Dalam bentuk
individual ulama-ulama mazhab yang empat (Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi) mereka sering
menggunakan ijtihad dalam mendapatkan jawaban-jawaban hukum, bahkan kemudianYusuf Qardhawi,
Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah, dan lain-lain menempatkan mereka sebagai ulama-ulama yang sering
menerapkan upaya ijtihad ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian metodologi ijtihad?
2. Bagaimana perkembangan metodologi ijtihad?
BAB II
PEMBAHASAN
2. Qiyas
Qiyas adalah sebuah prinsip untuk menerangkan hukum yang
terkandung di dalam Al qur’an atau ketetapan dalam sunnah pada
permasalahan yang tidak jelas ketetapannya di dalam kedua sumber
hukum Islam tersebut.
Menurut ulama ushul fiqh, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu Metodologi Qiyas Dalam Istinbath
Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 41 kejadian atau peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada
persamaan '‘Illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut
(Muhammad Abu Zahrah:173).
Penggunaan Metode Qiyas
Terdapat dalam hadist Rasulullah Saw.
Artinya: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan bagian warisan.”
Menurut hasil hasil penelitian mujtahid, yang menjadi ‘Illat tidak
berhaknya pembunuh menerima warisan dari harta pewaris yang ia
bunuh adalah upaya untuk mempercepat mendapatkan harta warisan
dengan cara membunuh. ‘Illat semacam ini terdapat juga kasus
seseorang membunuh orang yang telah menentukan wasiat baginya.
Oleh sebab itu, pembunuh orang yang berwasiat dikenai hukuman
yang sama dengan hukuman orang yang membunuh ahli warisnya,
yaitu sama-sama tidak berhak memperoleh harta warisan dan wasiat.
Contoh di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut; A telah
menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang
telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh
tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul
persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu?
Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang
ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan '‘Illat-nya.
Perbuatan itulah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta
warisan.
Berdasarkan contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan
qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya
sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya
untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah
peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai '‘Illat yang sama pula.
Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama
sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.
3. Istihsan
a. Pengertian Istihsan
Menurut al-Bazdawi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan keharusan
menggunakan Qiyas dan berpindah kepada Qiyas yang lebih kuat atau
men-takhshish Qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari Qiyas tadi.
Menurut Ibnu Arabi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan ketetapan
dalil dengan cara mengecualikan dan meringankan, karena ada
perhitungan yang menentangnya di dalam sebagian dari ketetapannya.
Ahli Ushul Fiqh (Madzhab Hanafi dan Hambali) mereka berbeda di
dalam memformulasikan kata-katanya, tetapi mereka sepakat bahwa
pengertian Istihsan ialah: Perpindahan dari suatu hukum kepada hukum
lainnya dalam sebagian kasus atau meninggalkan suatu hukum, karena
adanya hukum lain yang lebih kuat atau pengecualian yang bersifat
Juz‟iyyah dari hukum yang Kulliyah atau mengkhususkan sesuatu
hukum yang umum dengan hukum yang khusus. Mereka sepakat pula
bahwa perpindahan ini harus ada sandarannya yaitu yang berupa Dalil
Syara‟ yakni berupa Nash atau Ma‟qul-nya Nash atau Mashlahat atau
„Urf yang shahih. Dalil-dalil sandaran ini disebut Wajh al-Istihsan atau
Sanad al-Istihsan.
Secara umum istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari
hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang
dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully
(umum), kepada hukum yang bersifat istisna' (pengecualian) karena
ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu.
b. Penggunaan Istihsan
Berpindahnya suatu hukum yang Kulli kepada hukum yang merupakan
kekecualian. Contoh: Orang yang dititipi barang harus bertanggung jawab
atas barang yang dititipkan kepadanya, apabila yang menitipkan
meninggal dunia, maka orang yang dititipi barang tersebut harus
mengganti barang tadi jika melalaikan dalam pemeliharaannya. Dalam
kasus ini, berdasarkan Istihsan, maka seorang ayah tidak diwajibkan
menggantinya, karena ia dapat menggunakan harta anaknya untuk
mengongkosi hidupnya.
4. Istishhab
Istishab adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai
ada alasan yang mengubahnya. Contohnya: seseorang yang ragu-ragu apakah
ia sudah berwudhu ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus
berpegang/yakin kepada keadaan sebelum ia berwudhu’, sehingga ia harus
berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
5. ‘Uruf
Uruf yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya : dalam hal jual beli. sipembeli
menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak
mengadakan ijab Kabul, karena harga telah dimaklumi bersama antara
penjual dan pembeli.
1. Periode Nabi
Periode Nabi ini bisa dikelompokkan kepada dua fase, yaitu: fase Makkah dan
fase Madinah. Pada masa ini kekuasaan tasri’ hanya di pegang oleh Rasulullah
dan tidak ada seorang pun yang dibolehkan untuk menentukan hukum baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Diantara ijtihad Rasulullah Saw ialah pada kasus tawanan perang Badar.
Ketika itu Nabi bermusyawarah dengan para sahabat mengenai sikap apa yang
akan diambil terhadap tawanan perang Badar. Diantara sahabat ada yang
berpendapat agar tawanan itu dibebaskan saja semuanya. Umar bin Khattab
mengusulkan agar mereka dibunuh saja. Sementara Abu Bakar berpendapat
bahwa mereka disuruh membayar uang tebusan terlebih dahulu dan setelah itu
baru di bebaskan. Maka ketika itu Nabi mengambil pendapat Abu Bakar dan
ternyata ijtihad Nabi itu salah, sehingga turunlah wahyu untuk menyelesaikannya.
Hal ini dijelaskan dalam Alqur-an surat al-Anfal ayat 67.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab
tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan iatanpa
disadari menjelma menjadi doktrin untuk menggali hukum dari sumbernya.
Dengan semakin mengakar dan melembaganya doktrin pemikiran hukum ketika
antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian imam
mazhab muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh
masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab
tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena menyangkut
penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha
melakukan istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi
tersebut dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan usul fikih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga
definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya.
Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut
merupakan suatu keharusan. Metode-metode ijtihad antara lain;
1. Ijma’
2. Qiyas
3. Istihsan
4. Istishab
5. ‘Uruf
B. Saran
Semoga dengan mempelajari metodologi ijtihad ini, kita dapat memngetahui dan
dapat memahaminya. Dan dalam menentukan hukum-hukum islam lebih diperhatikan
baik itu dari sumber-sumbernya seperti dari Al-Qur’an dan Hadist.
Pemakalah menayadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan masih
banyak yang perlu untuk diperbaiki. Untuk itu kami memerlukan saran beserta
kritikan agar makalah ini jauh lebih baik. Kami juga berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menambah wawasan bagi pembacanya.
Daftar Pustaka
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/3672/2558
https://media.neliti.com/media/publications/285571-sistem-ijtiha-dalam-hukum-islam-metodolo-
8d3e7555.pdf
https://core.ac.uk/download/pdf/287196507.pdf
https://www.kompasiana.com/septiardiyanti/5dab0f13097f363a9a475f92/6-metode-ijtihad
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=908996&val=11826&title=METODOLOGI
%20IJTIHAD%20IMAM%20MUJTAHIDIN%20Corak%20Pemikiran%20dan%20Aliran
file:///C:/Users/ACER222/Downloads/381-1079-1-SM.pdf
http://piuii17.blogspot.com/2017/11/metode-ijtihad-dalam-hukum-islam-bayani.html