Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENGANTAR STUDI HUKUM ISLAM

TENTANG

USHUL FIQH

Disusun Oleh:

Adawiyah (2014090033)

Aisyah Purnama Sari (2014090037)

Monica Febianti (2014090043)

Dosen Pengampu:

Rudi Hartono, S.HI, M.A

PROGRAM STUDI TADRIS IPS SEJARAH B

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada ALLAH SUBHANAHUWATA’ALA atas segala limpahan rahmat,


inayah, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan. Selain itu kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing kami bapak Rudi hartono, S.HI,M.A
sehingga makalah ini dapat kami susun. Tidak lupa juga kami mengucpakn terima kasih
kepada teman teman yang telah berpartisipasi dalam perkuliahan kali ini. Makalah ini kami
rasa masih ada kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi makalah karena kami masih
belajar. Oleh karena itu kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan
masukan untuk kesempurnaan makalah ini.

Padang, 7 April 2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………

A. LATAR BELAKANG..................................................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………..

A. PENGERTIAN METODOLOGI IJTIHAD…………………………………………………


B. PERKEMBANGAN METODOLOGI IJTIHAD………………………………………...

BAB III PENUTUPAN…………………………………………………………………

A. KESIMPULAN…………………………………………………………………………………..
B. SARAN……………………………………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijtihad (bahasa Arab: ‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang
tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan
matang. Namun, pada perkembangan selanjutnya diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan
para ahli agama Islam.

Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad
adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi
komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang
dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.

Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk
menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah
Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang
ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin
dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-
orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai
akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi
persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).4

Dalam rangka ijtihad, Rasulullah Saw, para sahabat-sahabatnya sudah seringkali mempraktekkan
dalam kehidupan mereka masing-masing ketika berhadapan dengan permasalahan hukum. Dengan
demikian tentunya mereka akan mendapatkan jalan keluar dari permasalahan hukum yang mereka
hadapi.

Dalam perkembangan selanjutnya upaya-upaya ijtihad terus dilakukan oleh orang–orang yang
berkompeten baik dalam skala individual maupun dalam bentuk jama’i (bersama-sama). Dalam bentuk
individual ulama-ulama mazhab yang empat (Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi) mereka sering
menggunakan ijtihad dalam mendapatkan jawaban-jawaban hukum, bahkan kemudianYusuf Qardhawi,
Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah, dan lain-lain menempatkan mereka sebagai ulama-ulama yang sering
menerapkan upaya ijtihad ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian metodologi ijtihad?
2. Bagaimana perkembangan metodologi ijtihad?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Metodologi Ijtihad


Ijtihad yang dalam bahasa Belanda disebut dengan hoogste greet van wetgelerheld, 1
menurut sebagian ulama Ushul Fiqh adalah pengerahan kemampuan untuk istinbat
mengeluarkan hukum-hukum dari kitabullah dan sunnah Rasulullah saw.2 Ijtihad berarti
mempunyai 3 (tiga) unsur, yaitu;
1. Pengerahan kemampuan intelektual secara maksimal,
2. Bertujuan memproduk hukum-hukum syara’ dan
3. Ijtihad bersumberkan nas-nas, bailk alQur`an maupun hadis Nabi saw.
Ijtihad sebagai syar’iyyah, Rasulullah saw. telah menempuh sebuah
metodologi dan menjadi pokok-pokok metodologi ijtihad dalam Islam.

Adapun pokok-pokok metodologi itu adalah:

a. Berpegang pada ayat-ayat alquran yang diturunkan Allah kepada


dirinya untuk membatlakan tsrisi jahiliah tentang sesuatu masalah,
lalu menetakan ketentuan hukum dalam masalah tersebut.
b. Bila ada kejadian yang menghendaki ketetapan hukum, beliau
menunggu wahyu dari Allah; dan setelah turun wahyu, hukum
kejadian itu dietapkan menurut kehendak wahyu.
c. Kalau wahyu tidak turun, Rasulullah berijtihad untuk mene-tapkan
hukum kejadian itu.
d. Dalam berijtihad, Rasulullah selalu mengutamakan kemaslahatan
umat dan seringkali bermusawarah dengan para sahabat.

Pokok-pokok metodologi ijtihad yang ditempuh Rasulullah tersebut,


sepeninggal beliau yang karena masalah hukum yang muncul di tengah-tengah
masyarakat makin meluas, sementara tidak dapat ditunjukkan nas-nasnya yang tegas
(sharih), dikembangkan oleh ahliahli fatwa dari kalangan sahabat besar, terutama
Khulafa Rasyidin, dengan metode ijma’ dan qiyas. Ibn Khaldun menyatakan, ijma’
dan qiyas telah tumbuh pada zaman sahabat; dan menjadilah dalil-dalil metodologi
ijtihad menjadi 4 (empat), yaitu alquran, hadis, ijma’ dan qiyas.

Adapun metode-metode ijtihad didalam ushul fiqh


1. Ijma’
 Ijmak adalah:
a. Kesepakatan seluruh mujtahid Islam.
b. Kesepakatan itu terjadi pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah saw.
c. Kesepakatan itu atas suatu hukum syara’ tentang suatu kasus (peristiwa).

Mujtahid adalah orang yang berkompeten untuk merumuskan hukum,


sedangkan hukum syara’ adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf (orang yang dibebani hukum). Contoh Ijmak tentang adanya hak
waris seorang kakek, ketika seseorang meninggal dengan meninggalkan anak
dan ayah yang masih hidup.

 Peran Ijma’ dalam Penetapan Hukum

Jumhur ulama berpandangan, Ijma’ mempunyai bobot hujjah syar’iyyah


sangat kuat dalam menetapkan hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah
nash-nash agama; karena Ijma’ bersandar pada dalil syar’i, baik secara
eksplisit maupun implisit. Bahkan jumhur ulama berpandangan, Ijma’
merupakan hujjah syar’iyyah yang wajib diaplikasikan. Demikian itu, tidak
hanya berlaku untuk Ijma’ para sahabat saja, tetapi juga Ijma’ para ulama pada
setiap generasi dan masa, karena umat Islam telah mendapat jaminan dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk tidak bersepakat berada di atas kesesatan.

2. Qiyas
 Qiyas adalah sebuah prinsip untuk menerangkan hukum yang
terkandung di dalam Al qur’an atau ketetapan dalam sunnah pada
permasalahan yang tidak jelas ketetapannya di dalam kedua sumber
hukum Islam tersebut.
 Menurut ulama ushul fiqh, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu Metodologi Qiyas Dalam Istinbath
Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 41 kejadian atau peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada
persamaan '‘Illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut
(Muhammad Abu Zahrah:173).
 Penggunaan Metode Qiyas
Terdapat dalam hadist Rasulullah Saw.
Artinya: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan bagian warisan.”
Menurut hasil hasil penelitian mujtahid, yang menjadi ‘Illat tidak
berhaknya pembunuh menerima warisan dari harta pewaris yang ia
bunuh adalah upaya untuk mempercepat mendapatkan harta warisan
dengan cara membunuh. ‘Illat semacam ini terdapat juga kasus
seseorang membunuh orang yang telah menentukan wasiat baginya.
Oleh sebab itu, pembunuh orang yang berwasiat dikenai hukuman
yang sama dengan hukuman orang yang membunuh ahli warisnya,
yaitu sama-sama tidak berhak memperoleh harta warisan dan wasiat.
Contoh di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut; A telah
menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang
telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh
tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul
persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu?
Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang
ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan '‘Illat-nya.
Perbuatan itulah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta
warisan.
Berdasarkan contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan
qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya
sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya
untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah
peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai '‘Illat yang sama pula.
Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama
sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.
3. Istihsan
a. Pengertian Istihsan
 Menurut al-Bazdawi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan keharusan
menggunakan Qiyas dan berpindah kepada Qiyas yang lebih kuat atau
men-takhshish Qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari Qiyas tadi.
 Menurut Ibnu Arabi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan ketetapan
dalil dengan cara mengecualikan dan meringankan, karena ada
perhitungan yang menentangnya di dalam sebagian dari ketetapannya.
 Ahli Ushul Fiqh (Madzhab Hanafi dan Hambali) mereka berbeda di
dalam memformulasikan kata-katanya, tetapi mereka sepakat bahwa
pengertian Istihsan ialah: Perpindahan dari suatu hukum kepada hukum
lainnya dalam sebagian kasus atau meninggalkan suatu hukum, karena
adanya hukum lain yang lebih kuat atau pengecualian yang bersifat
Juz‟iyyah dari hukum yang Kulliyah atau mengkhususkan sesuatu
hukum yang umum dengan hukum yang khusus. Mereka sepakat pula
bahwa perpindahan ini harus ada sandarannya yaitu yang berupa Dalil
Syara‟ yakni berupa Nash atau Ma‟qul-nya Nash atau Mashlahat atau
„Urf yang shahih. Dalil-dalil sandaran ini disebut Wajh al-Istihsan atau
Sanad al-Istihsan.
 Secara umum  istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari
hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang
dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully
(umum), kepada hukum yang bersifat istisna' (pengecualian) karena
ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu.
b. Penggunaan Istihsan
Berpindahnya suatu hukum yang Kulli kepada hukum yang merupakan
kekecualian. Contoh: Orang yang dititipi barang harus bertanggung jawab
atas barang yang dititipkan kepadanya, apabila yang menitipkan
meninggal dunia, maka orang yang dititipi barang tersebut harus
mengganti barang tadi jika melalaikan dalam pemeliharaannya. Dalam
kasus ini, berdasarkan Istihsan, maka seorang ayah tidak diwajibkan
menggantinya, karena ia dapat menggunakan harta anaknya untuk
mengongkosi hidupnya.

4. Istishhab
Istishab adalah  tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai
ada alasan yang mengubahnya. Contohnya:  seseorang yang ragu-ragu apakah
ia sudah berwudhu ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus
berpegang/yakin kepada keadaan sebelum ia berwudhu’,  sehingga ia harus
berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.

5. ‘Uruf
  Uruf  yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya : dalam hal jual beli. sipembeli
menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak
mengadakan ijab Kabul, karena harga telah dimaklumi bersama antara
penjual dan pembeli.

B. Perkembangan Metodologi Ijtihad

1. Periode Nabi
Periode Nabi ini bisa dikelompokkan kepada dua fase, yaitu: fase Makkah dan
fase Madinah. Pada masa ini kekuasaan tasri’ hanya di pegang oleh Rasulullah
dan tidak ada seorang pun yang dibolehkan untuk menentukan hukum baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Diantara ijtihad Rasulullah Saw ialah pada kasus tawanan perang Badar.
Ketika itu Nabi bermusyawarah dengan para sahabat mengenai sikap apa yang
akan diambil terhadap tawanan perang Badar. Diantara sahabat ada yang
berpendapat agar tawanan itu dibebaskan saja semuanya. Umar bin Khattab
mengusulkan agar mereka dibunuh saja. Sementara Abu Bakar berpendapat
bahwa mereka disuruh membayar uang tebusan terlebih dahulu dan setelah itu
baru di bebaskan. Maka ketika itu Nabi mengambil pendapat Abu Bakar dan
ternyata ijtihad Nabi itu salah, sehingga turunlah wahyu untuk menyelesaikannya.
Hal ini dijelaskan dalam Alqur-an surat al-Anfal ayat 67.

2. Pada Masa Sahabat


Masa ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah Saw pada tahun 11 H sampai
berakhirnya abad pertama Hijriah. Setelah Nabi wafat ia digantikan oleh
alKhulafa al-Rassyidun (para pemimpin yang mendapat petujuk) dalam
kapasitasnya sebagai kepala negara.
Sumber ijtihad pada masa sahabat berkisar pada empat hal, yaitu al-Qur-an,
Sunnah, Ijma’, dan akal. Betapapun menggunakan akal dalam praktik ijtihadnya,
sahabat menyadari bahwa produk pemikiran yang dihasilkannya bukanlah hukum
Allah Swt yang pasti benar dan lainnya adalah keliru. Dalam masalah-masalah
ijtihadiyah para sahabat sering terjadi perbedaan pendapat, namun hal itu diterima
dengan lapang dada. Perbedaan pendapat ini wajar terjadi karena tingkat
pemahaman mereka tidak sama dan kondisi sosio-kultural yang berbeda.
Contoh yang populer dari ijtihad Umar adalah ketika tidak melaksanakan
potong tangan terhadap seorang pencuri dengan alasan bahwa situasi dan kondisi
yang berubah, atau dalam situasi ekonomi yang tidak stabil. Padahal ayat Alqur-
an surat al-Maidah ayat 38 dengan tegas menjelaskan bahwa sangsi terhadap
pencuri adalah potong tangan.

3. Pada masa tabi’in


Tabi’in adalah generasi yang datang setelah generasi sahabat. Mereka pada
umumnya pernah belajar dari sahabat. Sejak masa Umar bin Khattab para sahabat
telah tersebar ke berbagai daerah yang telah masuk ke dalam wilayah kekuasan
Islam. Mereka diutus oleh Umar untuk menjadi hakim dan guru-guru di daerah.
Misalnya Abdullah bin Mas’ud (w. 33 H) diutus ke Kufah, Mu’az bin Jabal (w. 18
H) diutus ke Syam. Para sahabat itu mengembangkan ilmu di tempat tugasnya
masing-masing yang pada akhirnya melahirkan tabi’in yang berkualitas yang
mampu melahirkan ijtihad. Dalam menetapkan hukum tentang suatu persoalan
para tabi’in mencarinya dalam Alqur-an terlebih dahulu, bila tidak dijumpai
hukumnya mereka memperhatikan sunnah. Ketika tidak ditemukan juga mereka
memperhatikan hasil ijtihad sahabat dan kesepakatannya. Namun ijtihad tidaklah
menjadi pengikat mereka.
Masa tabi’in ijtihad lebih berkembang dari masa-masa sebelumnya. Orientasi
pemikiran dalam berijtihad mulai tampak dengan munculnya dua aliran, yaitu
aliran ahlu hadist di Hijaz, khususnya Madinah dan aliran ahlu ra’yu di Irak
khususnya Kufah dan Basrah. Ahlu hadist dalam menetapkan suatu hukum lebih
banyak menggunakan hadist Nabi dibandingkan dengan ijtihad meskipun
keduanya tetap dijadikan sumber. Sementara ahlu ra’yu dalam menetapkan suatu
hukum lebih banyak menggunakan ra’yu (ijtihad) dibandingkan hadist, meskipun
hadist juga banyak digunakan.

4. Pada Masa Imam Mazhab


Ijtihad pada masa imam mazhab ini terkenal juga dengan istilah tabi’ tabi’in.
Imam mazhab yang terkenal pada masa ini adalah Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i, Hambali dan Daud bin Ali. Kuasa perundang-undangan
pada masa ini terletak pada ulama tertentu, karena ulama diberikan kepercayaan
penuh oleh umat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa mereka merupakan golongan
yang berilmu tinggi, adil, mahir dalam ilmu fiqh. Pada masa ini beberapa kegiatan
ijtihad telah menghasilkan fiqh dalam bentuk yang mengagumkan.
Dengan munculnya imam-imam mujtahid tentunya pada periode ini arah
pemikiran hukum Islam mulai bergeser menjadi dimensi ketokohan individual,
maka ada fiqh Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan sebagainya.
Dalam beberapa literature ushul fiqh, dirumuskan mengenai metode ijtihad
yang ditempuh oleh empat imam madzhab, yaitu:
 Metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah dengan mencarinya dalam al-Qur’an
dan sunah dengan caranya yang ketat dan hati-hati, pendapat shahabat, qiyas
dalam pengunaanya yang luas, istihsan. Tidak disebutkannya ijma’ dalam
rumusan itu bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’ tetapi menggunakan ijma’
Sahabat yang tergambar dalam ucapannya diatas.
 Metode ijtihad Imam Malik adalah dengan menggunakan langkah sebagai berikut:
Al-Quran, sunah, amalan ahli Madinah, mashlahat mursalah, qiyas, dan saddu
dzari’ah. Amalan ahli Madinah disini berarti ijma’ dalam arti yang umum.
 Metode ijtihad Imam Syafii adalah dengan menggali al-Quran, sunah yang shahih,
meskipun lewat periwayatan perseorangan  (ahad),  ijma’ seluruh mujtahid umat
Islam dan qiyas. al-Quran dan sunah dijadikannya satu level sedangkan ijma’
sahabat lebih kuat dari pada ijma’ ulama dalam artian umum. Langkah terakhir
yang dilakukan adalah istishab.
  Metode ijtihad Ahmad bin Hanbal adalah mula-mula mencarinya dalam al-
Qur’an dan sunah, kemudian dalam fatwa shahabat, kemudian memilih diantara
fatwa sahabat bila diantara fatwa tersebut terdapat beda pendapat, selanjutnya
mengambil hadits mursal dan hadits yang tingkatnya diperkirakan lemah, baru
terakhir menempuh jalan qiyas.

Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab
tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan iatanpa
disadari menjelma menjadi doktrin untuk menggali hukum dari sumbernya.
Dengan semakin mengakar dan melembaganya doktrin pemikiran hukum ketika
antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian imam
mazhab muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh
masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab
tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena menyangkut
penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha
melakukan istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi
tersebut dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan usul fikih.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga
definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya.
Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut
merupakan suatu keharusan. Metode-metode ijtihad antara lain;

1. Ijma’
2. Qiyas
3. Istihsan
4. Istishab
5. ‘Uruf

Perkembangan metodologi ijtihad, dari periode Nabi SAW, periode sahabat,


periode tabi’in, dan priode imam mazhab. Perkembangan ini mengalami
perkembangan yang pesat dan memiliki kemajuan dalam menentukan hukum islam.

B. Saran
Semoga dengan mempelajari metodologi ijtihad ini, kita dapat memngetahui dan
dapat memahaminya. Dan dalam menentukan hukum-hukum islam lebih diperhatikan
baik itu dari sumber-sumbernya seperti dari Al-Qur’an dan Hadist.
Pemakalah menayadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan masih
banyak yang perlu untuk diperbaiki. Untuk itu kami memerlukan saran beserta
kritikan agar makalah ini jauh lebih baik. Kami juga berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menambah wawasan bagi pembacanya.
Daftar Pustaka
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/3672/2558

https://media.neliti.com/media/publications/285571-sistem-ijtiha-dalam-hukum-islam-metodolo-
8d3e7555.pdf

https://core.ac.uk/download/pdf/287196507.pdf

https://www.kompasiana.com/septiardiyanti/5dab0f13097f363a9a475f92/6-metode-ijtihad

http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=908996&val=11826&title=METODOLOGI
%20IJTIHAD%20IMAM%20MUJTAHIDIN%20Corak%20Pemikiran%20dan%20Aliran

file:///C:/Users/ACER222/Downloads/381-1079-1-SM.pdf

http://piuii17.blogspot.com/2017/11/metode-ijtihad-dalam-hukum-islam-bayani.html

Anda mungkin juga menyukai