Anda di halaman 1dari 12

TENTANG UNHCR DI INDONESIA

UNHCR telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1979, saat ini berkantor pusat di
Jakarta dan memiliki perwakilan di Medan, Tanjung Pinang, Surabaya, Makassar,
Kupang dan Pontianak.

Pada awal berdirinya, aktivitas UNHCR berfokus pada penanganan kedatangan kapal
pengungsi Vietnam dalam jumlah besar, seperti yang termaktub dalam Comprehensive Plan
of Action (CPA), sebuah rencana aksi yang dicetuskan pada 14 Juni 1989 oleh negara-
negara anggota yang mengikuti Konferensi Internasional tentang Pengungsi Indo-Cina.

Adapun tanggung jawab khusus UNHCR dalam menangani pengungsi Indo-Cina


dirumuskan dalam CPA tersebut. Pada tahun 1979, pemerintah Indonesia memberikan
otorisasi untuk pendirian kamp pengungsian di Pulau Galang, yang mengakomodir lebih
dari 170,000 pengungsi hingga pada saat kamp tersebut ditutup pada tahun 1996.
Indonesia belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan
Protokol 1967, dan belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi. Dengan
demikian, pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan
mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di
Indonesia.

Pada tahun 2017, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Presiden Tentang
Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan Presiden tersebut memuat definisi-
definisi utama dan mengatur tentang deteksi, penampungan, serta perlindungan pencari
suaka dan pengungsi. Berbagai ketentuan yang ada dalam Peraturan Presiden diperkirakan
akan segera diterapkan. Hal ini akan membuat Pemerintah Indonesia dan UNHCR bekerja
lebih erat, termasuk di bidang registrasi gabungan untuk pencari suaka.

Berada diantara negara – negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah besar
seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara berkelanjutan Indonesia terkena dampak
dari pergerakan populasi tercampur (mixed population movements). Setelah penurunan
jumlah di akhir tahun 1990-an, jumlah kedatangan pencari suaka ke Indonesia kembali
meningkat di tahun 2000, 2001 dan 2002. Meskipun jumlah kedatangan kemudian menurun
lagi pada tahun 2003 – 2008, tren kedatangan kembali meningkat di tahun 2009 dengan
jumlah 3,230 orang meminta perlindungan melalui UNHCR. Saat ini mayoritas pencari
suaka tersebut datang dari from Afghanistan dan Somalia. (Data kedatangan pencari suaka
yang mendaftarkan diri di UNHCR dari tahun ke tahun: 385 di tahun 2008; 3,230 pada
tahun 2009; 3,905 pada tahun 2010; 4,052 di tahun 2011, 7,223 di tahun 2012; 8,332 di
tahun 2013;5,659 di tahun 2014; 4,426 di tahun 2015; 3,112 di tahun 2016).

Perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan
pencari suaka terlindung dari refoulement (yakni perlindungan dari pemulangan kembali
secara paksa ke tempat asal mereka di mana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya
atau penganiayaan). Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses verifikasi
identitas pencari suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan dokumentasi
individual dapat dikeluarkan. Pencari suaka yang telah terdaftar kemudian dapat
mengajukan permohonan status pengungsi melalui prosedur penilaian yang mendalam oleh
UNHCR, yang disebut sebagai Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status
Determination (RSD). Prosedur ini memberikan kesempatan kepada para pencari suaka
secara individual untuk diinterview dalam bahasa ibu mereka oleh seorang staf RSD dan
dibantu oleh seorang penerjemah ahli, yang akan menilai keabsahan permintaan
perlindungan yang diajukan. Selanjutnya pencari suaka akan diberikan keputusan, apakah
status pengungsi diberikan atau tidak kepadanya, beserta dengan alasannya. Apabila
permintaan untuk perlindungan ditolak, prosedur dalam RSD memberlakukan satu
kesempatan untuk pengajuan ulang (banding). Bagi mereka yang mendapatkan status
pengungsi, UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang
memungkinkan: penempatan di negara ketiga, pemulangan sukarela (apabila konflik di
daerah asal sudah berakhir) atau integrasi lokal. Pencarian sebuah solusi jangka panjang
yang layak bagi setiap pengungsi merupakan sebuah proses yang melibatkan berbagai
pertimbangan mengenai situasi dan kondisi individu serta keluarga. Solusi yang dicari
adalah solusi yang sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing pengungsi.
Saat ini, UNHCR memiliki lebih dari 65 staf di Indonesia. Sampai dengan akhir Desember
2017, sebanyak 13,840 pengungsi terdaftar di UNHCR secara kumulatif dan datang dari
Afghanistan (55%), Somalia (11%) dan Iraq (6%).

SEJARAH UNHCR DI INDONESIA

Indonesia belum menjadi Negara Pihak Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi atau
Protokol 1967, dan Indonesia tidak memiliki kerangka hokum dan sistem penentuan
status pengungsi.

Sehubungan dengan keadaan tersebut, UNHCR menjadi badan yang memproses


permintaan status pengungsi di Indonesia.

UNHCR menjalankan prosedur Penentuan Status Pengungsi (RSD), yang dimulai dengan


registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka. Setelah registrasi, UNHCR akan
melakukan wawancara individual dengan masing – masing pencari suaka, dengan
didampingi seorang penerjemah yang kompeten. Proses ini melahirkan keputusan yang
beralasan yang menentukan apakah permintaan status pengungi seseorang diterima atau
ditolak dan memberikan masing – masing individu sebuah kesempatan (satu kali) untuk
meminta banding apabila permohonannya ditolak.

Mereka yang teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama


UNHCR mencarikan solusi jangka panjang, yang biasanya berupa penempatan di negara
lain. Untuk tujuan ini, UNHCR berhubungan erat dengan negara – negara yang memiliki
potensi untuk menerima pengungsi. Sampai dengan akhir Maret 2017, sebanyak 6,191
pencari suaka dan 8,279 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif.

PENENTUAN STATUS PENGUNGSI


Indonesia belum menjadi Negara Pihak Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi atau
Protokol 1967, dan Indonesia tidak memiliki kerangka hukum dan sistem penentuan
status pengungsi.

Sehubungan dengan keadaan tersebut, UNHCR menjadi badan yang memproses


permintaan status pengungsi di Indonesia.

RELASI DENGAN PEMERINTAH & PENINGKATAN KAPASITAS

UNHCR mendukung dikembangkannya kerangka perlindungan nasional untuk


membantu pemerintah Indonesia mengatur kedatangan orang yang mencari suaka.

Relasi dengan Pemerintah

UNHCR mendukung dikembangkannya kerangka perlindungan nasional untuk membantu


pemerintah Indonesia mengatur kedatangan orang yang mencari suaka.

Dalam hal ini, UNHCR terus menerus secara aktif mempromosikan aksesi terhadap dua
instrumen hukum internasional: Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol
1967.

Pada tahun 2008, UNHCR telah menyiapkan dan menyampaikan kepada pemerintah,
sebuah draft ‘10 Pokok Rencana Aksi dalam Memberikan Perlindungan Pengungsi dan
Mengatasi Migrasi Tercampur di Indonesia’ (10 Point Plan of Action in Addressing
Refugee Protection and Mixed Migration in Indonesia), yang mencakup proses langkah
demi langkah, pemberian dukungan bagi pemerintah dalam mengembangkan mekanisme
untuk secara efektif mengatasi permasalahan dalam perlindungan pengungsi dan isu – isu
migrasi tercampur dalam rangka menuju aksesi terhadap Konvensi 1951. Sepuluh pokok
rencana aksi tersebut mencakup cara – cara yang sesuai untuk mengembangkan kapasitas
dalam pemerintahan agar selanjutnya dapat menjalankan fungsi penanganan pengungsi
dengan dukungan UNHCR.

Pada akhir tahun 2016, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Presiden
Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan Presiden tersebut memuat
definisi-definisi utama dan mengatur tentang deteksi, penampungan, dan perlindungan
pencari suaka dan pengungsi. Berbagai ketentuan yang ada dalam Peraturan Presiden
diperkirakan akan segera diterapkan. Hal ini akan membuat Pemerintah Indonesia dan
UNHCR bekerja lebih erat, termasuk di bidang registrasi gabungan untuk pencari suaka.

Instansi pemerintah yang utama bagi proses pengembangan kapasitas ini adalah
Kementrian Luar Negeri dan dua instansi Direktorat Jendral dibawah Kementrian Hukum
dan HAM, yakni Direktorat Jendral Imigrasi dan Direktorat Jendral Hak Asasi Manusia.
Program pelatihan lebih jauh lagi juga diberikan kepada Departemen Kepolisian di
Indonesia.

Kementrian Luar Negeri

Pada tahun 1975, sebuah kedatangan pengungsi Indocina dalam jumlah besar, yang
membawa ribuan pengungsi dan pencari suaka Vietnam dan Kamboja, terjadi di Pulau
Galang, Indonesia. Kejadian bersejarah ini menandakan awal berdirinya kantor UNHCR di
Indonesia. Meskipun demikian, keberadaan UNHCR baru secara formal diresmikan pada
tahun 1979, pada tahun di mana sebuah MoU ditandatangani dengan Kementrian Luar
Negeri, yang memberikan wewenang bagi UNHCR untuk menangani pengungsi di
Indonesia. Selama bertahun – tahun, dukungan Kementrian Luar Negeri bagi UNHCR
memungkinkan UNHCR untuk memproses kedatangan pengungsi di Indonesia, seperti
yang sebelumnya terjadi dalam kedatangan kapal Oceanic Viking (2009), kapal Jaya
Lestari di Merak (2010) dan kapal MV Alicia di Tanjung Pinang (2011) .

UNHCR juga telah berpartisipasi dalam Bali Process sejak tahun 2001. UNHCR bekerja
erat dengan Kementrian Luar Negeri dalam mengimplementasikan keputusan yang diambil
dalam Konferensi Kementrian Regional Bali ke-4 pada bulan Maret 2011, dalam hal
pengembangan Kerangka Kerjasama Regional (Regional Cooperation Framework) untuk
mengatasi permasalahan yang secara bersama dialami regional terkait pergerakan ireguler
dan pergerakan pengungsi. Pada tanggal 10 September 2012, Bali Process berhasil
mendirikan Regional Support Office (RSO) di Bangkok yang dicetuskan oleh Australia dan
Indonesia, kedua co-chair dari Bali Process.

Kementrian Hukum dan HAM – Direktorat Jendral Imigrasi dan Direktorat Jendral
Hak Asasi Manusia.

 Direktorat Jendral Hak Asasi Manusia – Direktorat Jendral Hak Asasi Manusia
telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional ketiga (RANHAM), yang menyajikan
kerangka pragmatis nasional untuk mempromosikan dan melindungi hak – hak asasi
manusia selama 2011 to 2014. RANHAM tersebut mencantumkan keputusan
pemerintah untuk mengaksesi kedua instrumen hukum pengungsi pada tahun 2014,
yaitu Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967. UNHCR
menyambut rencana pemerintah tersebut dan melanjutkan diskusi tentang aksesi
Direktorat Jendral Hak Asasi Manusia dan Kementrian Luar Negeri.
 Direktorat Jendral Imigrasi – UNHCR berhubungan dengan berbagai orang luar
negeri yang ada di Indonesia, karena itu UNHCR juga bekerja sama dengan
Direktorat Jendral Imigrasi. Kegiatan UNHCR sehari – harinya dilakukan sesuai
dengan Direktif Direktorat Jendral Imigrasi September 2010 yang mengatur hal –
hal yang berkaitan dengan penangan migran ilegal. Diantaranya, Direktif ini
menjamin akses bagi UNHCR terhadap para pencari suaka dan pengungsi yang
tertangkap, termasuk mereka yang berada dalam rumah detensi imigrasi.

Aktivitas Peningkatan Kapasitas

Sejak 2008, sesuai dengan 10 Pokok Rencana Aksi, sebuah tim yang terdiri dari tiga orang
staf UNHCR, didedikasikan untuk aktivitas pengembangan kapasitas, untuk mendukung
pemerintah Indonesia dalam keputusan mengaksesi Konvensi 1951 tentang Status
Pengungsi dan Protokolnya.

UNHCR secara rutin melaksanakan aktivitas pengembangan kapasitas dan advokasi dengan
pemerintah (Kementrian Luar Negeri, Parlemen dan kementrian lainnya yang sesuai) begitu
pula dengan praktisi hukum (pengacara), LSM dan mahasiswa universitas. Kegiatan ini
meliputi berbagai workshops, pertemuan, briefing, pertemuan meja bundar, dan aktivitas
promosional lainnya yang mensosialisasikan mandat UNHCR dan hukum pengungsi
internasional.

UN Peacekeeping

Dipelopori oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa pada tahun 1948 dengan adanya penugasan
pengawas militer PBB ke Timur Tengah, misi Penjaga Perdamaian PBB hingga kini terus
melanjutkan upaya untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di negara – negara
yang terpecah karena konflik. Hingga saat ini, 66 operasi penjaga perdamaian telah
dilakukan untuk membantu negara – negara menempuh jarak yang sulit dari sebuah konflik
menuju perdamaian. Adanya sifat dasar kemanusiaan dalam kegiatan pasukan Penjaga
Perdamaian adalah suatu faktor yang menguatkan ikatan kemitraan dengan UNHCR,
karena kedua badan tersebut seringkali bekerja secara berdampingan dalam aktivitas
kemanusiaan dalam lingkungan yang tidak aman.

Berdasarkan pendapat Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, Indonesia adalah salah satu
dari 20 pengkontribusi tertinggi dalam kegiatan Penjaga Perdamaian PBB. Pada tahun
2010, Indonesia mengirimkan 1,785 tentara ke berbagai misi Penjaga Perdamaian PBB.
Dalam rangka memberikan dukungan bagi Tentara Nasional Indonesia yang akan
ditugaskan ke berbagai operasi Penjaga Perdamaian PBB, kantor perwakilan UNHCR di
Indonesia secara reguler menerima undangan dari Pusat Pelatihan Penjaga Perdamaian
Tentara Nasional Indonesia, untuk membawakan presentasi mengenai peran UNHCR
dalam kegiatan Penjaga Perdamaian PBB. Presentasi ini diberikan sebagai bagian dari
pembekalan sebelum penugasan bagi tentara militer.
Presentasi UNHCR diberikan kepada berbagai bagian atau unit dari pasukan Penjaga
Perdamaian Indonesia, termasuk diantaranya Mechanized Battalion, Force Protection
Company, the Maritime Task Force dan Unit of Military Observers. Dalam presentasi ini,
UNHCR Indonesia memberikan informasi mengenai situasi pengungsi di berbagai daerah
di mana pasukan Penjaga Perdamaian akan ditugaskan seperti di Haiti, Lebanon, atau
Kongo dengan tambahan informasi mengenai bagaimana berbagai unit dalam kegiatan
Penjaga Perdamaian, seperti unit teknik, task force kelautan, staf militer, dan pemerhati
militer akan bekerja sama dengan UNHCR dalam menangani pengungsi di negara – negara
tersebut. Sesi – sesi pelatihan ini diharapkan dapat memperkuat dan melahirkan kerjasama
yang lebih efektif antara pasukan Penjaga Perdamaian Indonesia dan UNHCR serta mitra
kerjanya yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan.

KERJA SAMA DAN PERLINDUNGAN BERBASIS KOMUNIKASI

Orang-orang yang terpaksa meninggalkan rumahnya dan mencari perlindungan di


negara lain, atau di bagian lain di negara mereka, tanpa terkecuali membutuhkan
pertolongan.

Sebagian besar pengungsi meninggalkan rumahnya hanya dengan membawa sedikit atau


tanpa membawa kepemilikan. Mereka yang memiliki sumber daya, biasanya akan
kehabisan dalam waktu yang singkat. UNHCR erat bekerja sama dengan mitranya untuk
menjamin kebutuhan psiko-sosial pengungsi dan orang yang menjadi perhatian UNHCR
terpenuhi.

Di Indonesia, unit Pelayanan Komunitas UNHCR bekerja dengan mitra pelaksana, seperti
Church World Service, untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi pencari suaka dan
pengungsi, termasuk bantuan mental, konseling, pendidikan, dan pelatihan dalam berbagai
bahasa, dan hal-hal teknis. Selain itu, Pelayanan Komunitas UNHCR juga melaksanakan
kunjungan rumah secara reguler untuk memfasilitasi aktivitas kelompok bantu-mandiri.
Bantuan dan dukungan bagi orang yang menjadi perhatian UNHCR juga diberikan melalui
mitra operasional UNHCR, yaitu International Organization for Migration (IOM).
Kemitraan ini memenuhi kebutuhan pencari suaka dan pengungsi selama mereka tinggal di
Indonesia menunuggu identifikasi solusi jangka panjang. IOM juga membiayai perjalanan
bagi orang yang menjadi perhatian UNHCR ketika mereka menjalani proses penempatan di
negara ketiga dan mereka yang mendaftar pemulangan sukarela.

Di Medan dan Makassar, UNHCR bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI)
untuk mendukung sekolah dan rumah sakit yang memberikan bantuan bagi orang yang
menjadi perhatian UNHCR. UNHCR berharap dapat memajukan proses pemberian bantuan
material pada institusi lokal yang berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dasar
komunitas penerima. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan keamanan pencari suaka dan
pengungsi serta meningkatkan penerimaan publik atas kehadiran mereka di Indonesia.

Semua jasa yang diberikan kepada pencari suaka dan pengungsi oleh UNHCR dan mitranya
tidak dipungut biaya apapun. Perhatian khusus diberikan pada mereka yang dikategorikan
sebagai rentan – mereka yang terpapar oleh risiko spesifik karena usia dan gender,
termasuk perempuan, anak-anak, orang tua, dan orang dengan disabilitas.

Penilaian Partisipatoris

Bantuan lain yang diberikan oleh Pelayanan Komunitas dapat berbentuk aktivitas non-
material, seperti proses Penilaian Partisipatoris (PA) yang UNHCR laksanakan bersama
dengan mitranya serta orang yang menjadi perhatian UNHCR. Sehubungan dengan orang
yang menjadi perhatian UNHCR, PA merupakan sebuah alat kerja yang digunakan untuk
membangun kemitraan dengan pengungsi perempuan dan laki-laki dari semua usia serta
latar belakang yang menjadi tanggungan potensial dari program bantuan UNHCR. Dengan
mempromosikan partisipasi mereka melalui dialog terstruktur dalam penilaian kebutuhan
khusus mereka, PA memungkinkan UNHCR untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
dalam mengenai masalah perlindungan mereka dan mengembangkan program yang paling
sesuai serta cara-cara untuk memenuhi kebutuhan yang telah teridentifikasi.
Kemitraan dengan Agensi PBB Lainnya

Dalam kerja sama dan kemitraan dengan agensi PBB lainnya, UNHCR Indonesia secara
aktif berpartisipasi dalam perencanaan dan implementasi Rencana Umum Gabungan PBB
(UN Common Plans) tentang keadaan darurat dan kesiapan pandemik, HIV/AIDS,
koordinasi keamanan dan pelayanan bersama.

SOLUSI KOMPREHENSIF

Di samping melindungi hak – hak dan menjaga keadaan para pengungsi, UNHCR
memiliki tujuan utama untuk mencari solusi jangka panjang bagi para pengungsi
yang akan memberikan mereka kesempatan untuk membangun kembali hidup
mereka sepantasnya dalam damai.

Mencari solusi jangka panjang bagi mereka yang membutuhkan perlindungan internasional
di Indonesia adalah salah satu tugas terpenting UNHCR.

Pemerintah Indonesia memberikan dukungan besar dalam pemberian suaka dengan


pemberian izin bagi pencari suaka untuk berada di Indonesia, memperoleh layanan
UNHCR dan izin tinggal sementara di Indonesia selama mereka menunggu solusi jangka
panjang yang sesuai bagi mereka.

Solusi jangka panjang yang ada terdiri dari integrasi lokal, pemulangan secara sukarela,
atau penempatan di negara ketiga. Namun, akibat keterbatasan kuota penempatan di negara
ketiga yang tersedia di dunia. UNHCR dalam beberapa tahun belakangan ini berusaha
memperluas alternatif, mencari lebih banyak solusi “jangka panjang”.

Hal ini berarti mencari solusi yang disesuaikan atau solusi individual untuk mendukung
individu atau keluarga bersangkutan, dengan solusi yang layak bagi konteks mereka.
Seiring dengan berkurangnya kuota penempatan di negara ketiga secara global, fokus
UNHCR beralih kepada kesempatan penghidupan, keahlian, dan pengembangan kapasitas
serta pelatihan kejuruan.
Sepanjang satu dekade terakhir, dari jumlah hampir 33,700 pendatang yang mencari suaka
di Indonesia sejak tahun 2004, hanya kurang lebih 13% orang diantaranya mendapatkan
solusi dengan penempatan di negara ketiga atau pemulangan secara sukarela ke negara asal
mereka. Sementara sebagian besar dari mereka adalah secondary movers atau tergolong
kelompok yang tidak berdiam di Indonesia untuk mengikuti atau menyelesaikan
keseluruhan proses pencarian solusi oleh UNHCR.

MENCEGAH KEADAAN TANPA KEWARGANEGARAAN

UNHCR menjalankan mandatnya dalam hal keadaan tanpa kewarganegaraan di


Indonesia dengan cara melakukan berbagai aktivitas untuk mengidentifikasi populasi
orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang mungkin ada dan untuk melihat
celah – celah yang ada dalam peraturan yang berlaku yang mungkin mengarah
kepada keadaan tanpa kewarganegaraan.

UNHCR juga mempromosikan dan mendorong dikeluarkannya dokumen dan perolehan


kewarganegaraan.

Dalam menjalankan kegiatan tersebut, kantor UNHCR di Indonesia melakukan upaya bahu
membahu dengan instansi pemerintah yang relevan, LSM, badan PBB lainnya (UNFPA,
UNICEF) dan organisasi sosial sipil yang melalui berbagai diskusi dan pertemuan
membahas permasalahan untuk mengidentifikasi celah yang ada dalam peraturan dan
praktik kesehariannya, untuk memperkuat komitmen diantara para partisipan dalam
mengatasi tantangan yang saat ini ada dalam hal memperoleh kewarganegaraan Indonesia,
dan untuk menimbang nilai lebih yang dapat diperoleh apabila instrumen hukum terkait
statelessness diaksesi. Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kementrian Hukum dan
HAM dan Kementrian Dalam Negeri adalah mitra kerja utama UNHCR dalam menangani
keadaan tanpa kewarganegaraan.
Meskipun Indonesia saat ini belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1954 tentang
Status Orang Tanpa Kewarganegaraan atau Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan
tanpa Kewarganegaraan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam
reformasi ketentuan dan Undang – undang kewarganegaraannya. Pemerintah Indonesia
telah mengadopsi berbagai langkah proaktif untuk mengurangi dan mencegah keadaan
tanpa kewarganegaraan, terutama dengan Undang – undang Kewarganegaraan 2006 yang
menghapus ketentuan diskriminasi yang ada sebelumnya dan dengan adanya pembaharuan
dalam ketentuan kewarganegaraan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai