Anda di halaman 1dari 4

JENIS DAN MEKANISME OBAT PENGINDUKSI KERUSAKAN GINJAL

Ginjal berperan penting dalam tubuh manusia terutama dalam hal ekskresi obat.Obat-obatan
yang diekskresikan melalui ginjal dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal karena obat beserta
metabolitnya dapat terkonsentrasi di dalam ginjal sehingga menyebabkan kerusakan pada sel-sel
ginjal.Kerusakan ginjal yang terjadi dapat dilihat dengan adanya penurunan nilai laju filtrasi
glomerulus atau peningkatan nilai kreatinin.Penggunaan obat-obatan yang tidak tepat dapat
menyebabkan kerusakan ginjal baik gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik.Obat-obatan
yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal di antaranya adalah golongan aminoglikosida,
tenofovir, amfoterisin B, penghambat enzim angiotensin, golongan analgesik non steroid,
siklosporin serta asiklovir.Penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
harus dilakukan secara berhati-hati dengan menggunakan dosis yang tepat dan dilakukan
evaluasi serta monitoring terhadap
fungsi ginjal.

GAGAL GINJAL
Penggunaan obat pada pasien dengan fungsi ginjal menurun dapat memperburuk kondisi
penyakit karena beberapa alasan :

 Kegagalan untuk mengekskresikan obat atau metabolitnya dapat menimbulkan toksisitas.


 Sensitivitas terhadap beberapa obat meningkat, meskipun eliminasinya tidak terganggu.
 Banyak efek samping yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien gagal ginjal.
 Beberapa obat tidak lagi efektif jika fungsi ginjal menurun.

Sebagian besar masalah ini dapat dihindari dengan mengurangi dosis atau dengan menggunakan
alternatif obat lain.

PRINSIP PENYESUAIAN DOSIS PADA GANGGUAN FUNGSI GINJAL


Batas fungsi ginjal yang mengharuskan dosis suatu obat dikurangi bergantung pada apakah obat
tersebut dieliminasi seluruhnya lewat ginjal atau sebagian dimetabolisme, dan seberapa besar
toksisitasnya.
Pada sebagian besar obat yang efek sampingnya tidak berhubungan atau sedikit hubungannya
dengan dosis, modifikasi regimen dosis secara tepat tidak diperlukan dan cukup dilakukan
perencanaan pengurangan dosis secara sederhana.
Pada obat yang lebih toksik dengan batas keamanan yang sempit, sebaiknya digunakan regimen
dosis yang didasarkan atas laju filtrasi glomerulus. Pada obat yang efikasi dan toksisitasnya
berkaitan erat dengan kadar plasma, anjuran regimen hanya dapat dijadikan sebagai pedoman
pengobatan awal; pengobatan selanjutnya harus disesuaikan dengan respon klinis dan kadar
plasma.

Dosis pemeliharaan total per hari suatu obat dapat dikurangi baik dengan cara mengurangi dosis
tiap kali pemberian atau dengan memperpanjang interval pemberian antar dosis. Untuk beberapa
obat, jika dosis pemeliharaan dikurangi, perlu diberikan suatu dosis muatan jika dibutuhkan efek
segera. Hal ini disebabkan apabila pasien diberi obat apapun dengan dosis lazim, diperlukan
waktu lebih dari lima kali waktu paruh untuk mencapai kadar plasma steady state. Karena waktu
paruh obat yang diekskresikan melalui ginjal menjadi lebih lama pada keadaan gagal ginjal,
maka diperlukan beberapa hari agar dosis yang telah dikurangi dapat mencapai kadar plasma
terapetik. Dosis muatan ini biasanya sama besarnya dengan dosis awal untuk pasien yang fungsi
ginjalnya normal.

Obat-obat nefrotoksik harus, jika mungkin, dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal karena
akibat nefrotoksisitas ini bisa lebih parah apabila renal reserve sudah berkurang.

Penggunaan Tabel Dosis


Dosis yang dianjurkan ditetapkan berdasarkan tingkat keparahan gangguan fungsi ginjal.
Fungsi ginjal dinyatakan dalam Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) yang dihitung berdasarkan
formula yang berasal dari penelitian mengenai modifikasi diet pada penyakit ginjal (‘Formula
MDRD’ / Modification of Diet in Renal Disease yang menggunakan kreatinin serum, umur, jenis
kelamin, dan ras) atau dapat juga dinyatakan sebagai bersihan kreatinin (yang paling baik
diperoleh dari urin yang dikumpulkan selama 24 jam namun seringkali dihitung berdasarkan
formula atau nomogram yang menggunakan kreatinin serum, berat badan, jenis kelamin, dan
usia).
Kadar kreatinin serum kadang-kadang juga digunakan sebagai ukuran fungsi ginjal namun hanya
sebagai panduan kasar.

Untuk keperluan peresepan obat, gangguan fungsi ginjal secara umum dibagi ke dalam tiga
tingkat (definisi bervariasi sesuai dengan tingkat gangguan fungsi ginjal; selanjutnya, apabila
informasi yang tersedia tidak sesuai dengan penggolongan ini, nilai bersihan kreatinin atau
ukuran fungsi ginjal yang lain bisa digunakan).

Tingkat gangguan fungsi ginjal


Tingkat GFR absolut Kreatinin serum (perkiraan) (lihat keterangan di atas)
Ringan 20 – 50 mL/menit 150 – 300 mikromol/L
Sedang 10 – 20 mL/menit 300-700 mikromol/L
Berat <10 mL/menit >700 mikromol/L

aktor konversi:
Liter/24 jam : mL/menit x 1,44
mL/menit : Liter/24 jam x 0,69
Formula modifikasi diet pada penyakit ginjal (MDRD, Modification of Diet in Renal Disease)
menghasilkan perkiraan laju filtrasi glomerulus normal pada pasien dengan luas permukaan
tubuh 1,73 m2. Laju filtrasi glomerulus absolut individual dapat dihitung berdasarkan eGFR
seperti di bawah ini :

GFR (absolut) : eGFR x luas permukaan tubuh individual/1,73

DIALISIS
Untuk peresepan bagi pasien rawat jalan yang menjalani dialisis peritoneal kontinyu (CAPD,
continuous ambulatory peritoneal dialysis) atau hemodialisis, lihat literatur khusus dialisis.

Fungsi ginjal menurun sejalan dengan bertambahnya usia; banyak pasien lansia mempunyai GFR
di bawah 50 ml/menit yang, karena berkurangnya massa otot, mungkin saja tidak
memperlihatkan kenaikan kreatinin serum. Adalah lebih baik untuk mengasumsikan pasien
setidaknya mengalami gangguan fungsi ginjal ringan ketika meresepkan obat bagi pasien lansia.

Tabel berikut ini dapat digunakan sebagai panduan untuk obat-obat yang diketahui memerlukan
pengurangan dosis pada gangguan fungsi ginjal, dan untuk obat-obat yang mungkin berbahaya
atau tidak efektif. Peresepan obat sebaiknya seminimum mungkin pada semua pasien dengan
penyakit ginjal berat.

Jika dari kondisi klinis dicurigai ada gangguan ginjal, yang ringan sekalipun, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal sebelum meresepkan obat apapun yang memerlukan
modifikasi dosis.

GAGAL HATI
Gangguan hati dapat mempengaruhi respon terhadap obat melalui beberapa cara seperti
diterangkan bawah ini, dan obat sebaiknya diberikan dengan dosis minimum untuk penderita
dengan gangguan hati berat. Masalah ini terutama terjadi pada pasien dengan ikterus, ascites,
atau yang terbukti mengalami enselopati.

Gangguan metabolisme obat. Metabolisme hati merupakan jalur eliminasi utama kebanyakan
obat. Jumlah obat yang disimpan di hati akan lebih besar dan gangguan hati menjadi makin berat
sebelum dapat diamati adanya perubahan penting metabolisme obat. Pemeriksaan rutin dari
fungsi hati bukan merupakan panduan yang baik dalam menentukan kapasitas hati
memetabolisme obat. Pada pasien tertentu tidak mungkin untuk memperkirakan gangguan
metabolisme dari obat tertentu.

Beberapa obat misalnya rifampisin dan asam fusidat diekskresi di dalam empedu tanpa diubah
dan dapat diakumulasi pada pasien dengan ikterus dengan obstruksi intrahepatik dan
ekstrahepatik.

Hipoproteinemia. Hipoalbuminemia pada gangguan hati berat terkait dengan penurunan ikatan
protein dan meningkatnya toksisitas obat yang terikat secara kuat dengan protein misalnya
fenitoin dan prednisolon.

Pengurangan Koagulasi. Pengurangan sintesis hati dari faktor koagulasi darah ditandai dengan
perpanjangan waktu pembentukan protrombin dan peningkatan sensitivitas antikoagulan oral
misalnya warfarin dan fenindion.

Ensefalopati hati. Pada gangguan hati berat, banyak obat lebih lanjut dapat merusak fungsi otak
dan dapat memperburuk ensefalopati hati. Contohnya meliputi semua obat sedatif, analgesik
opioid, diuretik yang menyebabkan hipokalemia dan obat yang menyebabkan konstipasi.

Kelebihan Cairan. Udem dan ascites pada gangguan hati kronik dapat diperburuk dengan obat
yang meningkatkan retensi cairan misalnya AINS, kortikosteroid dan karbenoksolon.

Obat Hepatotoksik. Hepatotoksik tidak berhubungan dengan dosis dan sulit diperkirakan
(idiosinkratik). Obat yang menyebabkan toksisitas yang terkait dengan dosis pemberian, juga
dapat menyebabkan toksisitas dalam dosis kecil dibanding pada pasien dengan fungsi hati
normal. Pada pasien dengan gangguan hati, reaksi idiosinkrasi yang disebabkan oleh obat dapat
terjadi dengan frekuensi yang lebih sering. Obat tersebut sebaiknya dihindari atau digunakan
secara berhati-hati.

Anda mungkin juga menyukai