Etiologi/Penyebabnya
Penyebab yang pasti dari terjadinyaBenign Prostatic Hyperplasia sampai sekarang
belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan
penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan
terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan
penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan
epitel.
4. Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).
1
posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan
bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering
disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih
sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4
cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
Jaringan Kelenjar 50 - 70 %
JaringanStroma (penyangga)
30 - 50 %
Kapsul/Musculer
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang
berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di
dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar
prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma
yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang
dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat
mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain
sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak
memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada
terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini
manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.
Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika
prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran
uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan
tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka
otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine
keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli
berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan
difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan
pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS
(Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor
berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah.
Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan
kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah,
kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat
2
sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali
Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan
intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan
haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan
ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat
Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa
nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine
secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli
tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi
lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor
memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat
mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 : 11)
3
TESTIS USIA LANJUT
KERUSAKAN GINJAL
GAGAL GINJAL
Proses Miksi
Fase pengisian
Pves : < 20 cm H2O
Pup : 60 – 100 cm H2O
Fase ekspulsi :
Isi blader 200 – 300 ml
Mulai terangsang ingin kencing
Reseptor Strecth
Syaraf Otonom PS S2 - 4
BPH P up meningkat
Hipertropi
Status Nutrisi
- Status nutrisi klien praoperatif secara langsung mempengaruhi responnya
pada trauma pembedahan dan anestesi. Setelah terjadi luka besar, baik
karena trauma atau bedah, tubuh harus membentuk dan memperbaiki
jaringan serta melindungi diri dari infeksi. Untuk membantu proses ini,
klien harus meningkatkan masukan protein dan karbohidrat dengan cukup
untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif, hipoalbuminemia, dan
penurunan berat badan. Status nutrisi merupakan akibat masukan tidak
adekuat, mempengaruhi metabolik atau meningkatkan kebutuhan
metabolik.
1. Pemeriksaan Fisik
Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus,
echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
Distensi kandung kemih
Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik retensi urine
Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien
ingin buang air kecil retensi urine
Perkusi : Redup residual urine
Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) posisi knee chest
Syarat : buli-buli kosong/dikosongkan
Tujuan : Menentukan konsistensi prostat
Menentukan besar prostat.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
a. Menentukan volume Benign Prostatic Hyperplasia
b. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
c. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benign
Prostatic Hyperplasia atau tidak
3. Pemeriksaan Endoskopi.
4. Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-
buli
Q max : > 15 ml/detik non obstruksi
10 - 15 ml/detik border line
< 10 ml/detik obstruktif
5. Pemeriksaan Laborat
Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K,
Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)
Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah
Merah atau PUS.
RFT evaluasi fungsi renal
Serum Acid Phosphatase Prostat Malignancy.
Perencanaan/Penatalaksanaan
Tujuan: klien tidak akan mengalami berbagai komplikasi dari pengobatan retensi
Urine.
Intervensi:
A Non Pembedahan
1. Memperkecil gejala obstruksi hal-hal yang menyebabkan pelepasan
cairan prostat.
1) Prostatic massage
2) Frekuensi coitus meningkat
3) Masturbasi
2. Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan
diuretic mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot detrussor
menurun.
Kontra Indikasi
IMA
CVA akut
Tujuan :
Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli
Memperbaiki kualitas hidup.
1) Trans Uretral Reseksi Prostat 90 - 95 %
Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.
Keuntungan :
Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan
Tak perlu insisi pembedahan
Hospitalisasi dan penyebuhan pendek
Kerugian :
Jaringan prostat dapat tumbuh kembali
Kemungkinan trauma urethra strictura urethra.
3) Perianal Prostatectomy
Pembesaran prostat disertai batu buli-buli
Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif
Memperbaiki komplikasi : laserasi kapsul prostat
Pemantauan fisiologis
a. Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan
b. Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal.
c. Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah
dan RR.)
Manajemen Keperawatan
a. Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.
b. Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali
c. Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.
b. Tim anestesi:
- Ahli anestesi atau pelaksana anestesi
- Circulating nurse
- Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.).
Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada fase /periode pemulihan
pasca anrestesi adalah :
a. Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan peningkatan
sekresi sekunder terhadap intubasi.
b. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada
jaringan dan syaraf.
c. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap
anestesia
d. Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu
ruang operasi yang dingin.
Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke unit
perawatan adalah sbb. :
a. Kemampuan memutar kepala
b. Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.
c. Sadar, mudah terbangun.
d. Tanda-tanda vital stabil
e. Balutan kering dan utuh
f. Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam.
g. Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.
h. Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.
3. Perawatan Kateter
Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3
lubang (treeway catheter) ukuran 24 Fr.
Ketiga lubang tersebut gunanya :
1. untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan
2. untuk melakukan irigasi/spoling
3. untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).
Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan
merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5 kg.
Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan
ke paha bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada
uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk mencegah perdarahan
dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli, membeku dan menyumbat
pada kateter.
Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-
buli karena mengalami ischemia.
Tujuan pemberian spoling/irigasi :
1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ
Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling
dipercepat dan warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan
urine tetap jernih, maka spoling dapat dihentikan dan pipa spoling dilepas.
Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus
diperhatikan miksi penderita. Bisa atau tudak, bila bisa berapa jumlahnya harus
diukur dan dicatat atau dilakukan uroflowmetri.
Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :
1. Terbentuknya bekuan darah
2. Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat
obstruksi.
A. TUR – P
Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon 30
– 40 ml. Kateter di tarik untuk membantu hemostasis
Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder Otot bladder
kontraksi nyeri spasme
CBI (Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin mencegah obstruksi
atau komplikasi lain CBI – P. Folley cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya
Ketika kateter diangkat timbul keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran
normal
Post TUR – P : urine bercampur bekuan darah, tissue debris meningkat
intake cairan minimal 3000 ml/hari membantu menurunkan disuria dan
menjaga urine tetap jernih.
B. OPEN PROSTATECTOMY
Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme
atau pergerakan
Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam
Arterial bleeding urine kemerahan (saos) + clotting
Venous bleeding urine seperti anggur traction kateter
Vetropubic prostatectomy
Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat deep wound
infection, pelvic abcess
Suprapubic prostatectomy
Perlu Continuous Bladder Irigation via suprapubic klien diinstruksikan
tetap tidur sampai Continuous Bladder Irigation dihentikan
Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op
Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh
miksi dan dicek residual urine, jika residual urine ± 75 ml, kateter diangkat
EVALUASI
Kreteria yang diharapkan terhadap diagnosis yang berhubungan dengan obstruksi
urinari adalah :
1. Mengatasi obstruksi urine tanpa infeksi atau komplikasi yang permanen
2. Tidak mengalami tekanan atau nyeri berkepanjangan
3. Mengungkapkan penurunan atau tak adanya kecemasan tentang retensio urine.
4. Menunjukan tingkat fungsi sexual kembali sebagaimana sebelumnya.