Anda di halaman 1dari 16

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Hakekat manusia menurut islam ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Dosen pada bidang studi pendidikan agama islam. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Hakekat
manusia menurut islam bagi para pembaca dan juga bagi pendengar.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak (M thahir), selaku Dosen


Pendidikan agama islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni..

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan Kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

[UNA,13 OKTOBER 2020]


BAB 1
PENDAHULUAN

HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM


Dalam konsepsi Islam, manusia merupakan satu hakikat yang mempunyai dua
dimensi, yaitu dimensi material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal
dan sebagainya). Unsur jasad akan hancur dengan kematian, sedangkan unsur
jiwa akan tetap dan bangkit kembali pada hari kiamat. (QS. Yasin, 36: 78-79).
Manusia adalah makhluk yang mulia, bahkan lebih mulia dari malaikat (QS. al-
Hijr, 15: 29). Bahkan manusia adalah satu-satunya mahluk yang mendapat
perhatian besar dari Al-Qur’an, terbukti dengan begitu banyaknya ayat al-
Qur‟an yang membicarakan hal ikhwal manusia dalam berbagai aspek-nya,
termasuk pula dengan nama-nama yang diberikan al-Qur’an untuk menyebut
manusia, setidaknya terdapat lima kata yang sering digunakan Al-Qur’an untuk
merujuk kepada arti manusia, yaitu insan atau ins atau al-nas atau unas, dan kata
basyar serta kata bani adam atau durriyat adam. Berbicara dan berdiskusi
tentang manusia memang menarik dan tidak pernah tuntas. Pembicaraan
mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah
selesai. Selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia. Para ahli telah
mencetuskan pengertian manusia sejak dahulu kala, namun sampai saat ini pun
belum ada kata sepakat tentang pengertian manusia yang sebenarnya.

TUJUAN

1.Untuk mengetahui yang dimaksud Hakikat,eksistensi dan martabat manusia

2.untuk mengetahui fitrah manusia:Hanif dan potensi akal,qalb,dan hafsu

3.untuk memahami kedudukan ,tujuan,tugas,dan program hidup manusia dalam


islam
DAFTAR ISI
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Hakekat manusia menurut islam

1. Hakikat, Eksistensi, Dan Martabat manusia

A.Hakikat

Istilah bahasa hakikat berasal dari kata "Al-Haqq", yang berarti kebenaran.Kalau dikatakan
Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Kemudian
beberapa ahli merumuskandefinisinya sebagai berikut:

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :


"Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika iamencapai suatu tujuan
sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda)ketuhanan dengan mata hatinya".

b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:

"Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan,ditakdirkan, disembunyikan


(dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan(oleh Allah kepada hamba-Nya".

Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni
Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apayang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi
sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

1) "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera
terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai
penciptanya;

2) "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan olehanalisis pemikiran ketika
melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3) "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi tanpa
melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dantingkah lakunya mengandung nilai ibadah
kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa biasa
diragukan oleh keputusan akal".

Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan
antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf,
sedangkan ma'rifat merupakan tujuan akhirnya.

Sedangkan Haqiqah secara etimologi berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala
sesuatu, dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari`ah yang
bersifat lahiriah, yaitu batiniah, sehingga rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari
syariah dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh orang sufi.
Haqiqah juga dapat berarti kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua
perjalanan, tujuan segala jalan

Hakikat dalam Tasawuf hakikat adalah imbangan kata syariat yang identik dengan aspek
kerohanian dalam ajaran Islam. Untuk merintis jalan mencapai hakikat seseorang harus
memulai dengan aspek moral yang dibarengi aspek ibadah. Bila kedua aspek ini diamalkan
dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan akan dapat meningkatkan kondisi mental
seseorang dari tingkat rendah secara bertahap ke tingkat yang lebih tinggi. Pada posisi
tertinggi Tuhan akan menerangi hati sanubarinya dengan nur-Nya, sehingga ia betul-betul
dapat dekat dengan Tuhan, mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya.

B.Eksistensi

Istilah bahasa hakikat berasal dari kata "Al-Haqq", yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan
Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Kemudian
beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :


"Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai suatu tujuan
sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya".
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
"Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan, disembunyikan
(dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada hamba-Nya".
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni
Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi
sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

1) "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera
terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai
penciptanya;
2) "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika
melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3) "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi tanpa
melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah
kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa
diragukan oleh keputusan akal".
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan
antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf,
sedangkan ma'rifat merupakan tujuan akhirnya.
Sedangkan Haqiqah secara etimologi berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala
sesuatu, dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari`ah yang
bersifat lahiriah, yaitu batiniah, sehingga rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari
syariah dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh orang sufi. Haqiqah juga dapat berarti
kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua perjalanan, tujuan segala jalan

c.Martabat Manusia
Martabat adalah hak seseorang untuk dihargai dan dihormati dan diperlakukan secara etis.
Martabat merupakan konsep yang penting dalam bidang mirolitas, etika, hukum, dan politik,
dan berakar dari konsep hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tidak dapat dicabut
dari Abad Pencerahan. Istilah ini juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan tindakan
pribadi, contohnya dalam istilah "perilaku bermartabat".

2.Fitrah Manusia:hanif dan potensi akal, Qalb ,Dan Nafsu

Fitrah Manusia yang Hanif


Kata fitrah (Fitrah) merupakan devirasi dari kata fatara artinya ciptaan, suci dan
seimbang. Louis Maluf dalam kamus Al-Munjid (1980:120) menyebutkan bahwa fitrah
adatah sifat yang ada pada setiap yang ada pada awal penciptaannya, sifat alami manusia,
agama, sunah.
Menurut Imam Al-Maraghi (197:200) fitrah adalah kondisi di mana Allah
menciptakan manusia yang menghadapkan dirinya kepada kebenaran dan kesiapan untuk
menggunakan pikirannya.
Denfgan demikian arti fitrah dari segi bahasadapat diartikan sebagai kondisi awal
suatau ciptaan atau kondisi awal manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui dan
cenderung kepada kebenaran (hanif). Fitrah dalam arti huruf ini sejalan dengan isyarat Al-
Quran :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-
ruum, 30:30)

Fitrah Allah : maksunya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid, kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidajklah wajar mereka tidak beragam tauhid itu hanyalah lantaran lingkungan.
Fitrah dalam arti penciptaan tidak hanaya dikaitkan dengan arti penciptaan fisik
melainkan juuga dalam arti rohani yaittu sifat-sifat dasar manusia yang baik karena itu fitrah
disebutkan dalam konotasi nilai, lahirnya fitrah sebagai nilai dasar kebaikan manusia itu
dapat diwujudkan kepada ayat :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"

(QS. Al-A’araaf, 7:172)

            Ayat diatas merupakan penjelasan dari fitrah yang berarti hanif (kecenderungan
kepada kebaikan) yang dimiliki manusia karena terjadinya proses persaksian sebelum digelar
di muka bumi.persaksian ini merupakan proses fitrah manusia yang selalu memiliki
kebutuhan terhadap agama (institusi yang menjelaskan tentang Tuhan), karena itu dalam
pandangan ini manusia dianggap sebagai makhluk religius. Ayat di atas juga menjadi dasar
bahwa bahwa manusia memiliki potensi baik sejak wal kelahirannya ia bukan makhluk
amoral tetapi memiliki potensi moral juga bukan makhluk yang kosong seperti kertas putih
sebagai mana yang dianut oleh para pengikut teori tabula rasa.

            Fitrah dalam arti potensi yaitu kelengkapan yang di berikan pada saat di lahirkan ke
dunia. Potensi yang di miliki manusia tersebut dapat di kelompokan kepada 2 hal yaitu
potensi fisik dan rohaniah.

Potensi rohaniah adalah akal, qalb dan nafsu.


Akal dalam pengertian bahasa Indonesia pikiran atau rasio. Harun Nasution (1986)
menyebut akal dalam arti asalnya (bahasa Arab) yaitu menahan dan orang aqil di jaman
jahiliah yang di kenal dengan daerah panasnya adalah orang yang dapat menahan amarahnya
dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam
mengatasi masalah yang di hadapinya. Senada dengan itu akal dalam Al-Qur’an di artikan
dengan kebijaksanaan (wisdom), intelegensia (intelligent) dan pengertian. Dengan demikian
di dalam Al-Qur’an akal diletakan bukan bukan pada ranah rasio tetapi juga ras, bahkan lebih
jauh dari itu jika akal diartikan dengan hikmah/bijaksana.

Al-Qalb berasal dari kata Qalaba yang berarti berubah, berpindah atau berbalik dan menurut
Ibu Sayyidah berarti hati.Musa Asyari (1992) menyebutkan arti Al-qalb dengan dua
pengertian,yang pertama pengertian kasar atau fisik,yaitu segumpal daging yang berbentuk
bulat panjang,terletak di dada sebelah kiri,yang sering disebut jantung sedangkan arti yang
kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah yaitu hakikat
manusia yang dapat menangkap segala pengertian,berpengetahuan dan arif.

            Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa akal di gunakan manusia dalam rangka
memikirkan alam sedangkan mengingat Tuhan adalah kegiatan yang berpusat pada
qalbu.Keduanya merupakan kesatuan daya rohani untuk dapat memahami kebenaran
sehingga manusia dapat memasuki suatu kesadaran tertinggi yang bersatu dengan keberanian
Illahi.

Nafsu

adapun an-nafs (bahasa Arab: Al-hawa, dalam bahasa Indonesia sering disebut hawa nafsu)
adalah sesuatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya. Dorongan-
dorongan ini sering disebut dengan dorongan primitif, karena sifatnya yang bebas tanpa
mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu, nafsu sering disebut sebagai dorongan kehendak
bebas. Dengan nafsu, manusia dapat bergerak dinamis dari suatu keadaan ke keadaan yang
lain. Kecenderungan nafsu yang bebas tersebut jika tidak terkendali dapat menyebabkan
manusia memasuki kondisi yang membahayakan dirinya. Untuk mengendalikan nafsu,
manusia menggunakan akalnya sehingga dorongan-dorongan tersebut dapat menjadi
kekuatan positif yang menggerakkan manusia ke arah tujuan yang jelas dan baik. Agar
manusia dapat bergerak ke arah yang jelas, maka agama berperan untuk menunjukkan jalan
yang akan dan harus ditempuhnya. Nafsu yang terkendali oleh akal dan berada pada jalur
yang ditunjukkan agama inilah yang disebut an-nafs al-mutmainnah yang diungkapkan Al-
Quran:

Dengan demikian, manusia ideal adalah manusia yang mampu menjaga fitrahnya dan
mampu mengelola dan memadu potensi akal, qalbu, dan nafsunya secara harmonis.

3.Eksistensi dan martabat manusia


EKSISTENSI DAN MARTABAT MANUSIA - AGAMA ISLAM
A. Pengertian Konsep Manusia Eksistensi dan Martabat Manusia

Pengertian Eksistensi martabat manusia adalah bahwasanya manusia diciptakan kedunia ini
oleh Allah melaui berbagai rintangan tentunya tiada lain untuk mengabdi kepadaNya,
sehingga dengan segala kelebihan yang tidak dimiliki mahluk Allah lainya tentunya kita
dapat memanfaatkan bumi dan isinya untuk satu tujuan yaitu mengharapkan ridho dari Allah
SWT. dan dengan segala potensi diri masing-masing kita berusaha untuk meningkatkan
Keimanan dan Ketakwaan kita sehingga dapat selamat Dunia dan Akhirat.

“Dan aku tidak ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepadaku”
(Q.S. Adz-Dzariyaat : 56)

Ayat diatas tersebut merupakan dalil yang berkenaan tentang keberadaan manusia di dunia.
Manusia di dunia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Bentuk pengabdianna tersebut berupa
pengakuan atas keberadaan Allah SWT, melaksanakan perintahNya serta menjauhi
laranganNya. Sebagai bentuk mengakui keberadaan Allah adalah dengan mengikuti Rukun
Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman terdiri dari enam perkara, yakni percaya kepada Allah
SWT, Malaikat, Nabi-nabi Allah, Kitab-kitab Allah, percaya kepada Hari Kiamat dan
percaya terhadap Takdir (Qadha dan Qadar) Allah SWT. Sebagai wujud keimanan terhadap
Allah SWT, Allah SWT menyatakan bahwa manusia tidak cukup hanya meyakini didalam
hati dan diucapkan oleh mulut, tetapi manusia harus melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari.

B. Tujuan Penciptaan manusia

Sebagai bagian dari mengabdi kepada Allah SWT adalah menunaikan Rukun Islam, yaitu
mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai karcis masuk Islam, melakukan shalat,
membayar zakat, melakukan puasa serta menunaikan ibadah haji. Dengan demikian dapat
disimpulkan keberadaan manusia diciptakan Allah untuk menjadi manusia yang Islami (Islam
yang benar). Menjadi Islam yang benar adalah dengan mengerti, memahami dan
melaksanakan dalam kehidupan apa yang telah dilarangNya, dengan kata lain secara
konsisten melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam.
Eksistensi manusia di dunia adalah sebagai tanda kekuasaan Allah SWT terhadap hamba-
hambaNya, bahwa dialah yang menciptakan, menghidupkan dan menjaga kehidupan
manusia. Dengan demikian, tujuan diciptakannya manusia dalam konteks hubungan manusia
dengan Allah SWT adalah dengan mengimani Allah SWT dan memikirkan ciptaanNya untuk
menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Sedangkan dalam konteks
hubungan manusia dengan manusia serta manusia dengan alam adalah untuk berbuat amal,
yaitu perbuatan baik dan tidak melakukan kejahatan terhadap sesama manusia, serta tidak
merusak alam. Terkait dengan tujuan hidup manusia dengan manusia lain.

4.Kedudukan,Tujuan,Tugas,dan Program Hidup Manusia


A.Kedudukan

DALAM Alquran, ada empat kata yang digunakan untuk menunjukkan kududukan manusia,
yaitu:
pertama, sebagai insan, yang digunakan Alquran 65 kali dan tersebar dalam 43 surat untuk
menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa, dan raga. Kata insan jika
dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri.
Sedangkan kata insan untuk penyebutan manusia yang diambil dari akar kata al-uns yang
berarti jinak dan harmonis. Karena manusia pada dasarnya dapat menyesuaikan dengan
realitas hidup dan lingkungannya.

Kedua, sebagai basyar, yang dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun
perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang
berarti kulit. “Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan
kulit binatang yang lain”. Alquran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjukkan manusia dari sudut
lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Di sisi lain, jika diamati
banyak ayat-ayat Alquran yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses
kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan
kedewasaan. Sebagaimana firman Allah, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang
biak.” [QS.al-Rum (3) : 20]
M Quraish Shihab menafsirkan kata bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat
hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki. Penggunaan kata basyar di sini dikaitkan
dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul
tanggung jawab. Dan karena itupula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar, karena
kedua kata itu mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia.

Kedudukan manusia sebagai basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan
perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam
pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung
pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu,
pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai pengertian
yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran.
Sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri
pokok manusia pada umumnya.

Dari kedudukan sebagai insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang dibekali Allah
dengan potensi fisik maupun psikis yang memiliki potensi untuk berkembang. Alquran
berulangkali mengangkat derajat manusia dan berulangkali pula merendahkan derajat
manusia. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi ,dan bahkan para
malaikat. Allah juga menetapkan bahwa manusia dijadikan-Nya sebagai makhluk yang paling
sempurna keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.

Ketiga, sebagai al-Nas. Al-Nas dalam Alquran disebutkan sebanyak 241 kali dan tersebar
dalam 55 surat. Dalam Alquran, al-Nas merupakan keterangan yang jelas menunjukkan pada
jenis manusia. Kata al-Nas menunjuk manusia sebagai makhluk sosial dan kebanyakan
digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang berpotensi melakukan maslahah dan
melakukan mafsadah.

Keempat, sebagai Bani Adam. Bani Adam di sebutkan dalam Alquran sebanyak 9 kali. Di
antaranya pada surat Yasin ayat 60. Adam di dalam Alquran mempunyai pengertian manusia
dengan keturunannya yang mengandung pengertian basyar, insan dan an-nas. Kata Bani
Adam lebih ditekankan pada aspek amaliah manusia, sekaligus pemberi arah ke mana dan
dalam bentuk apa aktivitas itu dilakukan.

B.Tujuan

Tujuan hidup adalah apa yang seseorang rencanakan untuk kehidupannya pada hari ini, esok
hari, sebulan ke depan, setahun ke depan, bahkan beberapa tahun mendatang. Tujuan hidup
orang akan berbeda satu sama lain. Tujuan hidup saya pasti akan berbeda dengan tujuan
hidup yang rekan pembaca miliki. Pengertian tujuan hidup menurut para ahli adalah proses
menetapkan identitas diri yang dimiliki seseorang. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan
bahwa seseorang yang memiliki tujuan hidup adalah mereka yang memiliki identitas diri
yang kuat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. 
 
Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, individu yang telah mengetahui tujuan
hidupnya secara jelas dianggap telah memenuhi kriteria utama dalam menuju kebahagiaan
hidup. Nyatanya, tidak semua orang yang sudah mengenal tujuan hidupnya bisa mencapai
kebahagiaan yang hakiki secara mudah. Bahkan, tidak sedikit orang yang pada akhirnya
menekan hidup mereka hanya karena terlalu ambisius dengan tujuan hidup yg mereka miliki
Banyak orang yang berbondong-bondong untuk membaca tujuan hidup quotes atau buku-
buku yang dapat mengarahkan mereka pada tujuan hidup masing-masing yang mungkin
selama ini mereka inginkan. Mereka mencoba mencari tahu tentang untuk apa manusia
hidup? Apa tujuan hidup manusia? Apa tujuan hidup kita? Mungkin kita bisa mengambil satu
contoh. Salah satu contoh tujuan hidup diri sendiri adalah saya ingin menjadi seorang
Direktur Perusahaan dalam lima tahun ke depan. 
 
Itu bagus, hiduplah dengan tujuan yang terarah. Meskipun orang-orang yang memiliki tujuan
hidup belum tentu akan merasakan kebahagiaan (bahkan, kebanyakan merasa tertekan).
Namun, setidaknya tujuan hidup akan membuat hidup kita “semakin terbakar” dengan
semangat. Kita perlu ingat bahwa “Tujuan hidup bukanlah suatu alat untuk membuat kita
bahagia. Namun, tujuan hidup adalah sesuatu yang bermanfaat, terhormat, berbelas kasih, dan
menjadikan suatu perbedaan apakah kita hanya sekedar hidup atau telah menjalani kehidupan
dengan sebaik mungkin”. 

C.Tugas

Dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, manusia sebagai makhluk Allah pada dasarnya
mengemban amanah atau tugas-tugas kewajiban dan tanggungjawab yang dibebankan oleh
Allah kepadanya agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Al-Maraghy,
ketika menafsirkan ayat “Innallaha ya’murukum an tu’addu al-amanaati ila ahliha … (Q.S.
al-Nisa’: 58), ia mengemukakan bahwa amanah tersebut ada bermacam-macam bentuknya,
yaitu:
Amanah hamba terhadap Tuhannya, yakni sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga oleh
manusia, yang berupa mengikuti segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, serta
menggunakan alat-alat potensialnya dan anggota badannya dalam berbagai aktivitas yang
bisa menimbulkan kemanfaatan baginya dan dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya,
sehingga bila manusia melanggarnya, maka berarti dia berkhianat kepada Tuhannya;
Amanah hamba terhadap sesama manusia, yakni mengembalikan barang-barang titipan
kepada pemiliknya dan tidak mau menipu, serta menjaga rahasia seseorang yang tidak pantas
dipublikasikan; dan
Amanah manusia terhadap dirinya, yakni berusaha melakukan hal-hal yang lebih baik dan
lebih bermanfaat bagi dirinya untuk kepentingan agama dan dunianya, tidak melakukan hal-
hal yang membahayakan dirinya baik untuk kepentingan akhirat maupun dunianya, serta
berusaha menjaga dan memelihara kesehatan dirinya.
Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia termasuk makhluk yang siap dan mampu
mengemban amanah tersebut ketika ditawari oleh Allah, sebaliknya makhluk yang lain
justeru enggan menerimanya atau tidak siap dan tidak mampu mengemban amanah tersebut,
sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Ahzab : 72, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah
amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan bodoh” ().
Apa itu amanah? Ath-Thabathaba’i, ketika menafsirkan ayat tersebut, ia mengemukakan
bermacam-macam pengertian dari amanah, yaitu: (1) tugas-tugas/beban kewajiban, sehingga
bila orang mau mematuhinya, maka akan dimasukkan ke dalam surga, sebaliknya bila
melanggarnya akan dimasukkan ke neraka; (2) akal, yang merupakan sendi bagi pelaksanaan
tugas-tugas/beban kewajiban dan tempat bergantungnya pahala dan siksa; (3) kalimah “La
ilaaha illa Allah; (4) anggota-anggota badan, termasuk di dalamnya alat-alat potensial atau
potensi-potensi dasar manusia, yang mampu mengemban dan melaksanakan amanah dari
Allah yang harus dijaga dan hanya digunakan dalam batas-batas yang diridlai olehNya; (5)
ma’rifah kepada Allah. Pengertian yang keempat itulah, menurut  Ath-Thabathaba’i, yang
lebih mendekati kebenaran. Al-Raghib al-Asfahani, pakar bahasa al-Qur’an, mengemukakan
beberapa pengertian tentang amanah, yaitu: (1) kalimah tauhid; (2) al-’adalah (menegakkan
keadilan); (3) akal. Menurut Al-Asfahani, bahwa pengertian yang ketiga itulah yang benar,
karena dengan akal bisa tercapai ma’rifah tauhid, bisa terwujudkan keadilan dan mampu
menjangkau berbagai ilmu pengetahuan dan sebagainya, bahkan akal inilah yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain.

Dari beberapa pendapat ahli tafsir tersebut dapat difahami bahwa tugas hidup manusia – yang
merupakan amanah dari Allah – itu pada intinya ada dua macam, yaitu : ’Abdullah
(menyembah atau mengabdi kepada Allah), dan Khalifah Allah, yang keduanya harus
dilakukan dengan penuh tanggung jawab.

D.Program Hidup Manusia


Selagi bayi manusia itu masih suci bersih dari dosa, yaitu bagai sehelai kertas putih yang
bersih tanpa coretan, oleh sebab itu orangtua bayi sangat menentukan sekali untuk
menjadikan bayi tersebut beragama mengikuti agama keyakinan dari orangtuanya, tetapi
setelah ia dewasa maka seharusnya ia berhak menentukan sendiri kebenaran agama yang
dianutnya agar hidup bahagia di dunia dan di akhirat, semakin banyak ia membaca
terjemahan kitab suci dan bertanya tentang agama maka manusia tersebut semakin
menemukan adanya kebenaran, oleh sebab itu untuk mendapatkan kebenaran bertanyalah
kepada ahli agama karena agama itu bukanlah tertutup yang harus diterima mentah-mentah
yang menyebabkan menimbulkan tanda tanya selama hidupnya.
Setelah kematian maka manusia bertanggung jawab atas perbuatannya selama hidup di dunia,
tidak ada lagi istilah menyesal kepada Allah.Swt dan minta kembali hidup ke dunia setelah 
dikubur menjalani siksaan yang amat pedih hingga sampai tiba hari kiamat dan dihari
pengadilan Allah.

Ingatlah manusia hidup didunia hanya sementara, bekal apa yang anda siapkan untuk hidup
abadi di akhirat nanti apakah bekal dosa atau bekal amal ibadah, berapa banyak manusia yang
sudah mati mendahului kita dan kita pun akan menyusul mereka besok atau lusa kita semua
akan bergiliran meninggalkan dunia ini..

Tujuan hidup manusia adalah,

1. Beribadah selama hidupnya menyembah Allah Tuhan yang menciptakan manusia berdoa
dan bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah selama hidup di dunia

2.Mencari napkah untuk kesejahteraan hidup sesuai tutunan agama

3.Hidup bertetangga dan bermasyarakat berlaku sosial serta membina kerukuan hidup dengan


sesama

Kehidupan manusia di dunia memerlukan ketenangan dan kerukunan dalam beragama, oleh
sebab itu setiap manusia harus saling menghargai agama yang lainnya, agar tercipta
kerukunan dan ketenangan dalam kehidupan dalam bermasyarakat.

Janganlah meng-agama-kan orang lain yang sudah beragama, karena urusan agama adalah
urusan pribadi setiap orang dengan keyakinannya sendiri dan juga sudah menjadi
tanggungjawab kehidupannya sendiri apakah nanti ia masuk surga atau masuk neraka tidak
perlu mengajaknya atau mengadakan misi dakwah kepada mereka, hal ini demi tercipta
kerukunan bermasyarakat,
BAB 3

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Manusia ialah makhluk ciptaan Allah yang luar biasa. Pada hakekatnya,
manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna di bumi dengan segala
kelebihan akal, hati nurani dan daya pikir serta memiliki kemampuan untuk
mengelola segala macam karunia dari Allah di bumi ini. Akan tetapi manusia
juga sebagai makhluk social yang tidak di pungkiri dalam menjalankan
kehidupannya pasti memerlukan bantuan orang lain.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tentunya harus tunduk dan patuh
terhadap segala peraturan Allah, menjalankan perintahNya dan menjahui segala
laranganNya. Karena pada dasarnya semua peraturan yang Allah ciptakan untuk
mengatur segala kehidupan bertujuan untuk menciptakkan kehidupan yang
damai, tentram dan membahagiakan.

Manusia dalam islam memiliki peran dan fungsi yaitu sebagai khalifah serta
tanggung jawab sebagai hamba Allah yang harus selalu tunduk kepadaNya dan
tanggung jawab sebagai khalifah.
MAKALAH

HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM

Disusun Oleh:

Budi Irawan

Fitri Handayani Lubis

PRODI INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ASAHAN

2020

Anda mungkin juga menyukai