Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH POLITIK ISLAM DI MASA NABI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

1. AHMAD LUTFI

2. HEDIR ALAMSYAH

3. SITI NURHALIZA FEBRYNA KHAIDIR


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Politik merupakan hal yang tidak terlepas dari kekuasaan sehingga dalam

berpolitik dibutuhkan penguasa yang dipercaya oleh rakyat dan untuk rakyat. Politik

memiliki sistem politik yang di dalamnya yang memiliki unsur-unsur yang saling

berkaitan (interrelated) dan saling bergantung (interdependent). Sedangkan politik berarti

berbagai macam kegiatan yang terjadi di dalam suatu Negara yang berkaitan dengan

proses menetapkan tujuan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Politik Islam

memiliki corak yang berbeda dari politik barat. Ciri umum politik ketatanegaraan Islam

pada masa klasik ditandai oleh pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris . Kepala

Negara atau khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat

luas. Rakyat dituntut untuk mematuhi kepala Negara, bahkan di kalangan sebagian

pemikir sunni terkadang sangat berlebihan. Masalah kepemimpinan dan politik sama

menariknya untuk diperbincangkan karena keduanya adarelevansinya dengan kekuasaan/

power. Perbincangan tentang politik Islam dalam politik Islam dalam makna kenegaraan

selama ini lebih difahami setelah Nabi Muhammad wafat.Artinya Nabi Muhammad tidak

memberikan pemaknaan yang jelas tentang mekanisme kenegaraan.Nabi Muhammad

adalah nabi an-sich bukan seorang pemimpin politik atau kepala negara. Akan tetapi

dalam pandangan Khuda Bukhsh dalam Politics in Islam dikatakan: “Muhammad not

only Found a nwe religion, but established e new politiy (Muhammad bukan hanya

membangun sebuah agama baru, tetapi juga sebuah politik baru).” Dari para pemerhati

politik dalam merumuskan konsep politik sejak zaman nabi Arti penting politik dalam
sejarah Islam dilukiskan oleh Muh Kurdi Ali dalam bukunya Aqwaluna wa Af’aluna

(teori dan praktek-prektek kita) bahwa kebutuhan umat dan bangsa akan politik sama

dengan kebutuhan manusia akan air dan udara. Sedangkan dalam pandangan Sultan

attabek Zanmi ( ayah Nuruddin Mahmud) menanggapi permintaan pegawai untuk

menurunkan ahli politik dengan perkataan sebagai berikut: “ Sesungguhnya orang seperti

Kamaluddin bin Syaharzuri mendapatkan gaji setahun lebih dari 10.000 dinar, sedangkan

pembesar-pembesar lainnya paling tinggi gajinya 300 dinar, kata pegawai melakukan

protes. Kemudian attabik Zanki menjawab; dengan fikiran semacam inikah kamu

mengurus pemerintahan. Gaji seperti itu masih sangat sedikit untuk orang seperti

Kamaluddin, dn gaji 500 dinar terlalu banyak untuk orang lainnya. Suatu pekerjaan yang

dapat terealisasikan oleh Kamaluddin jauh lebih tinggi nilainya 100.000 dinar.(Kurdi,

1946, p.25). Hal ini juga tercermin dalam perilaku Shalahuddin al-Ayyubi dalam

mempertimbangkan dalam mempertimbangkan kebijakan politik daripada

memperlakukan para musuhnya dengan tasamuh. Dari pandangan ini makna politik

sebagai sarana memperoleh kemenangan dann kehormatan secara bersama-sama. Moh

Kurdi Ali memperkuat makna dengan menyatakan bahwa umat Islam akan memperoleh

kejayaannya kembali maka harus menempuh dan memperkuat ilmu politik baik sebagai

pengetahuan maupun keahlian. Pemahaman di atas, maka arti penting politik bagi umat

Islam merupakan kebutuhan dasar umat Islam dalam rangka mengangkat keterpurukan

umat Islam atas peradaban Barat. Politik dalam perspektif Islam senantiasa harus dikaji

dengan cermat, yang memungkinkan ditemukan formula politik Islam yang memadai.

Dilihat perjalanan sejarah Islam, politik Islam sudah dimulai pada masa Rasulullah

sebagai pemimpin umat Islam pada masa itu.Rasulullah memulai tahapan

kepemimpinanannya pada periode Makkah yang disusul oleh tahap Madinah untuk

menjadi satu kesatuan, di mana tahap pertama merupakan bibit yang ditanam untuk
menghasilkan “ masyarakat Islam”. Maka selanjutnya yang menjadi perhatian adalah

tahap kedua di mana masyarakat Islam sudah berdiri sendiri dengan mempuntai

kepribadian dalam satu kesatuan yang bebas merdeka. Pada dasarnya ialah terbentuk

kedaulatan dalam sifat yang menuh memberi arti untuk menentukan dasar hidup Islam

dengan tujuan melaksanakan ajaranajaran Islam dengan penuh tanggung jawab . Maka

perjalanan sejarah Islam masa Rasulullah sebagai pangkal dari adanya politik dalam

Islam, dan akan disusul dengan perkembangan mandatang untuk menyempurnakan

langkah hidup umat Islam. Rasulullah telah menyusun langkah hidup bagi masyarakat

muslim (baca: umat Islam) mempertahankan persatuan dalam bingkai Islam dari beberapa

ras dan agama. Dengan sendirinya kalau ditinjau negara yang didirikan Rasulullah beserta

kaum muslimin di Madinah, maka ia telah merupakan satu tindakan politik jika diukur

dengan istilah politik dewasa ini..dari satu segi, tindakan ini tidak bisa dielakkan bahwa

tindakan ini satu tindakan politik.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, penulis merumuskan maklalah ini

sebagai berikut: Bagaimana politik Islam di Masa Nabi ?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan‐

pertanyaan yang telah diajukan dalam perumusan masalah.

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk mengembangkan khasanah

pemikiran politik Islam pada masa Nabi.  


BAB II

PEMBAHASAN

A. Politik Islam pada Masa Rasulullah SAW

Rasulullah lahir, tumbuh, dan menyebarkan ajaran Islam di tengah badai

perpecahan internal suku Quraisy yang sudah akut. Masyarakat Arab saat itu,

meskipun menjunjung tinggi nilai kepahlawanan, namun prestise seseorang lebih

ditentukan unsur kapital, akses sosial, dan banyaknya pengikut. Beliau hadir di

tengah masyarakat yang sangat materialistik yang bertumpu di atas pilar

kapitalisme, ditambah lagi dengan sifat badui yang sulit diatur, dengan landasan

moral paganisme yang sudah berurat berakar. Menghadapi realitas masyarakat

seperti itu tidak membuat Quraisy meminta kepada beliau untuk menghentikan

dakwah dengan kompensasi harta dan jabatan, beliau tetap teguh dalam

menyebarkan ajaran Islam. Dakwah Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam

pada awalnya dilaksanakan di Mekah, kemudian dilanjutkan di Yatsrib

(Madinah). Menurut Haikal, pada periode Mekah umat Islam belum memulai

kehidupan bernegara dan Nabi sendiri ketika itu tidak bermaksud mendirikan

suatu Negara. Misi Nabi selama di Mekah terfokus pada tiga hal utama sebagai

berikut. Pertama, mengajak manusia agar meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang

patut disembah selain Allah swt., percaya kepada malaikat, rasul, hari kemudian,

dan hal-hal yang berkaitan dengan rukun iman. Kedua, mengajarkan kepada

manusia nilainilai kemanusiaan yang tinggi agar mereka tidak tertipu oleh godaan
hidup duniawi yang menyilaukan. Ketiga, mengajak manusia untuk mendekatkan

diri kepada Allah swt.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah membentuk suatu pemerintahan

berdasarkan visi kenabian beliau, sehingga pemerintahan yang dibentuk itu kaya

dengan dimensi spiritual dan internasional. Dalam waktu singkat, kekuatan Islam

telah menjelma menjadi pesaing bukan hanya bagi kaum Quraisy, melainkan juga

bagi dua kekuatan imperium waktu itu, yaitu Bizantium dan Persia. Setelah

generasi beliau, kaum umat Islam berhasil memperluas wilayah kekuasaannya

dengan menaklukkan daerah-daerah sekitarnya melalui peperangan melawan dua

kekuatan adidaya tersebut. Negara Islam yang mulanya hanya berpusat di

Madinah dapat melebarkan sayapnya ke sebagian besar wilayah Asia Barat dan

Afrika Utara. Ada dua faktor dominan yang mempercepat tegaknya negara Islam

di Madinah, yaitu kehadiran Rasulullah dan ajarannya. Bahkan, Montgomery Watt

mengatakan bahwa kehadiran Muhammad dan ajarannya merupakan jawaban

terhadap situasi sosial, ekonomi, politik, dan kultur masyarakat Madinah saat itu.

Nabi diutus dengan membawa wahyu yang sarat dengan nilainilai persaudaraan,

persamaan, dan kebebasan.

B. Politik Islam pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun

Istilah al-Khulafa ar-Rasyidun selalu dipakai untuk menunjuk pada masa dan

sistem kepemimpinan yang lurus pasca kepemimpinan Rasulullah, yaitu:

pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi

Thalib. Sistem khilafah rasyidah dianggap selesai setelah sistem pemerintahan

berubah menjadi kerajaan sejak masa Muawiyah dan keturunannya hingga masa-

masa berikutnya.
1. Peristiwa Saqifah Bani Saidah Periode pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun

dimulai dari peristiwa Saqifah Bani Saidah. Peristiwa ini terjadi pada hari

Senin sore tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah. Dari kalangan

Muhajirin terdapat enam orang yang hadir pada peristiwa Saqifah ini. Mereka

adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, Mughirah bin

Syu’bah, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Salim maula Abu Hudzaifah. adapun

keluarga Bani Hasyim dan Ali bin Abi Thalib sibuk mempersiapkan

pemakaman Rasulullah bersama dengan Salman al-Farisi, Abu Dzar al-

Ghiffari, Miqdad bin Aswad, Ammar bin Yasir, Zubair bin Awwam, Abu

Ayyub al-Anshâri, dan lainnya. Sebelum Abu Bakar dan Umar tiba di Saqifah,

di kalangan Anshar ingin membaiat Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin umat

Islam pengganti Nabi. Kemudian Abu Bakar mengusulkan Umar bin Khattab

dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah untuk dipilih, sebagaimana pidatonya, “Wahai

kaum Muslimin, kaum Quraisy lebih dekat kepada Rasulullah daripada kaum

Anshar. Maka, inilah Umar bin Khattab, yang kepadanya Nabi berdoa, ‘Ya

Allah, kuatkanlah imannya,” dan kepada Abu ‘Ubaidah, Nabi menyebutnya

sebagai orang yang tepercaya dari umat ini. Pilihlah salah seorang yang kalian

kehendaki dari mereka dan berbaiatlah kepadanya.” Keduanya menolak

dengan mengatakan, “Kami tidak menyukai diri kami melebihi Abu Bakar.

Dia adalah sahabat Nabi dan orang kedua dari yang dua (dalam gua Hira pada

waktu hijrah).”Kemudian Hubab bin Mundzir dari kalangan Anshar

mengusulkan agar dari kaum Muhajirin mengusulkan satu orang calon dan

dari kaum Anshar mengusulkan satu orang calon, tetapi hal itu ditentang oleh

Umar karena menurutnya dua pedang tidak akan masuk dalam satu sarung. Ia

tetap bersikukuh bahwa kepemimpinan harus dari kalangan Muhajirin, karena


Rasulullah dari kalangan Muhajirin. Ketika itu suasana benar-benar panas,

karena kedua pihak sama-sama menghendaki sebagai pemimpin dan bertahan

dengan argumentasi masing-masing. Tak lama kemudian suasana berubah

ketika dua pimpinan Anshar, yakni Basyir bin Sa’ad (ketua suku Khazraj) dan

Usaid bin Hudhair (pemimpin kaum Aus), berbalik mendukung Muhajirin dan

melawan kaum Anshar, dengan berkata, “Wahai kaum membela Islam

bukanlah untuk kehormatan duniawi, tetapi untuk memperoleh keridaan Allah

swt. Kita tidak mengejar kedudukan. Nabi Muhammad adalah orang Quraisy,

dari kaum Muhajirin dan sudah selayaknya apabila seseorang dari keluarganya

menjadi penggantinya. Saya bersumpah dengan nama Allah bahwa saya tidak

akan melawan mereka. Saya harap kalian pun demikian.” Mengetahui

perkembangan forum sedemikian rupa, Umar kemudian membaiat Abu Bakar,

yang kemudian disusul oleh Basyir bin Sa’ad dan Usaid bin Hudhair. Melihat

pemimpin kaum Aus dan Khazraj telah membaiat Abu Bakar, maka tiada

pilihan lain bagi kaum Anshar untuk membaiatnya, dan akhirnya semua yang

hadir membaiat Abu Bakar, kecuali Sa’ad bin Ubadah. b. Khalifah Abu Bakar

Baiat yang dilaksanakan di Saqifah ini kemudian dikuatkan dengan baiat

secara umum yang diadakan di Masjid Nabawi. Dalam baiat ini, Abu Bakar

menyampaikan pidato sebagai berikut. “Saudara-saudara, saya sudah terpilih

untuk memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di

antara kalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu

kepercayaan dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan

kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya, insya

Allah, dan orang yang kuat buat saya adalah lemah sesudah haknya saya

ambil. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah,


maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu

sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana

kepada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah dan rasul-Nya.

Tetapi apabila saya melanggar perintah Allah dan rasul-Nya, maka gugurlah

ketaatan kalian kepada saya. Laksanakanlah shalat kalian, Allah akan

merahmati kalian.” Abu Bakar menjabat sebagai khalifah selama 2 tahun, 6

bulan, 4 hari. Selama menjalankan pemerintahan, hal-hal penting yang

dilakukan adalah diteruskannya pengiriman Usamah menghadapi Romawi

yang pernah dipersiapkan Rasulullah sebelum meninggal, perang melawan

orang-orang murtad dan para pembangkang yang tidak mau membayar zakat,

memerangi Musailamah al-Kadzdzab (yang mengaku nabi palsu), dan

pengumpulan Al-Qur’an.18 Di akhir masa pemerintahannya, Abu Bakar

memanggil beberapa sahabat terkemuka dan meminta pendapat mereka

tentang Umar. Pro-kontra memang sempat muncul, terutama karena sikap

Umar yang terlalu keras.

C. Madinah sebagai Oase Politik

Sejatinya, Islam yang pertamakali mengenalkan kepada dunia citacita

keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani yang demokratis. Hal ini

dibuktikan dengan redupnya emperium Romawi dan kekaisaran Persia, yang

berbasis pada materialisme dan hedonisme, ditengah nyala obor idealisme Islam.

Pemikiran Islam diarahkan pada pembentukan sistem politik yang merangkul

dimensi dunia-akhirat yang dari rahimnya lahir sumber daya manusia yang

sanggup memimpin dunia. Sebagai contoh, pribadi-pribadi agung di sekeliling

Nabi Saw semisal Abu Bakar, Umar, dan Usman, belum pernah tercatat dalam

sejarah sebagai panglima perang. Walaupun mereka mampu, tapi mereka tidak
disiapkan oleh Nabi untuk jabatan itu, tapi mereka disiapkan untuk memimpin

dunia. Mereka lahir dari sistem yang menyiapkan mereka menjadi khalifah dunia,

yang menginspirasi generasi mendatang dalam berbagai bidang kehidupan,

termasuk dalam dunia manajemen dan pendidikan. Sejak awal penamaannya,

yang dulunya bernama Yastrib, kemudian diganti oleh Nabi Saw dengan nama

“madinah”, yang secara semantik berarti kota, peradaban, dan tempat agama.

Madinah menjelma menjadi simbol dan ikon kekuatan Islam. Tradisi keilmuan

dan konsistensi kebaikan yang simultan, membuat keutuhan komunitas dan

sistem yang terbangun di dalamnya berjalan dengan terarah dan

berkesinambungan. Madinah menjadi benteng utama pertahanan Islam dalam

menghadapi ancaman kekuasaan besar dunia, Romawi dan Persia. Walaupun

dalam perjalanannya, Madinah terus diganggu, terutama oleh elite kaum Quraisy

Makkah dan kaum munafik, namun berkat keistikamahan Nabi Saw dan para

sahabatnya dalam mendidik bangsa, Madinah terus melaju menjadi negara

modern yang melampaui zamannya. Madinah membuktikan kematangan

perjuangan melawan hegemoni kezaliman elite Makkah. Impian politik baru

sebagai kekuatan negara, dicapai dengan prinsip keadilan, kesetiakawanan, dan

kegigihan yang berpihak pada rakyat. Madinah muncul menjadi negara sederhana

yang memilih aspek terbaik (jalan tengah) antara Arab jahiliyah dan ideologi

penyembah api dan bintang.

D. Manajemen Pemerintahan Dasar Politik

Pemerintahan Madinah yang berpijak pada agama dan tradisi telah

mewujudkan keseimbangan dalam manajemen dan transformasi sosial secara

berkesinambungan dalam memperjuangkan cara hidup dan pandangan Islam.

Pelan tapi pasti, Madinah dapat berperan dan menyejajarkan dirinya dengan
berkesan di arena internasional. Bentuk pemerintahannya yang berbasis wahyu

(agama) menjadi model percontohan. Melalui wadah negara model inilah, umat

Islam memperoleh ruang untuk berinteraksi dengan dunia luar. Jalinan baik

dengan negara tetangga berdasarkan prinsip keadilan dan saling menghormati

membantu proses pengukuhan legitimasi negara ini. 13 Rancangan pemerintahan

Madinah dalam menghadapi dunia luar memerlukan peralihan strategi tertentu

bagi kemajuan manajemen pemerintahan. Piagam Madinah kemudian menjadi

acuan legislasi dalam keragaman budaya dan agama. Melalui wadah inilah,

terbina daya dan kekuatan untuk membangun negara Islam yang mendukung cita-

cita perpaduan dan memelihara keadilan secara kolektif. Hal ini menunjukkan

keseimbangan tujuan pendirian negara dan strategi yang digunakan. a) Tata kelola

pemerintahan pusat Pemerintahan negara Madinah telah membentuk satu susunan

karta politik yang sempurna dengan perpaduan nilai kearifan lokal dan ajaran

Islam. Sistem ini mengekalkan hubungan instrumen negara yang satu dengan yang

lain, dalam satu pemerintahan dengan pengakuan hakhak negara bagian (provinsi)

dan wilayah pendudukan (futuhat). Hubungan dengan pemerintahan pusat terus

ditingkatkan untuk memperkuat sistem sosial dan menjamin pembagian kekuasaan

yang adil. Kebijakan yang melibatkan kepentingan wilayah akan dirujuk melalui

kesepakatan bersama. Isu- isu yang menyentuh kepentingan pusat dan daerah

diawasi untuk menjaga kesenjangan dan stabilitas nasional. Nabi Saw sebagai

kepala negara bertanggung jawab penuh melantik dan mengangkat dewan

penasihat (mustasyar),sekretaris (kātib) staf khusus, ajudan, (rusul), juru bicara,

staf ahli (syu’arā dan kutabā’), gubernur, kepala daerah, dan pejabat umum (wali),

manajer lokal atau pejabat sipil (ru’asā’), pengawas (nākib),hakim dan jaksa

(quḍāt), dan pejabat serta petugas pasar dan keuangan (ṣāhib al-sūq). Setiap
lembaga negara yang bertugas mengurusi rakyat bertanggung jawab penuh kepada

kepala negara dan diawasi oleh badan pengawas khusus yang tergabung dalam

majlis nuqabā’. Struktur kekuasaan juga dibagi dalam perwakilan, dalam situasi

mendesak dan darurat, Nabi akan melantik pejabat khusus, tentunya setelah

melalui musyawarah dengan dewan penasihat. Negara Madinah juga membentuk

“departemen” yang membidangi administrasi pemerintah (diwānal-Insya’), yang

bertugas dalam penulisan dokumen politik, wahyu, undang-undang keselamatan,

dokumen negara, perjanjian, pengutusan wakil keamanan, pelaksanaan institusi

diplomatik (sifarah), sistem risalah, terjemahan bahasa asing untuk tujuan dakwah

dan hubungan bilateral, perlindungan keamanan dalam masa perang dan

perdamaian.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Demikianlah, gambaran politik Islam di Masa nabi dan ketika Rasulullah Saw.

memegang kekuasaan di Arab, dalam waktu singkat beliau mampu menjadikan

negara Arab sebagai raksasa yang menguasai wilayah Timur Tengah. Kebesaran

negara Arab bahkan mampu menenggelamkan popularitas negara-negara yang telah

lebih dulu memiliki peradaban tinggi dan telah dibangun selama beberapa generasi

seperti Babilonia, Mesir, Persia, Romawi, India, Yaman, dan Cina. Terhadap

fenomena keberhasilan Rasulullah, Will Durant (penulis buku The Story of

Civilization) mengatakan, “Jika kita mengukur kebesaran dengan pengaruh, dia

seorang raksasa sejarah. Ia berjuang meningkatkan tahap rohaniah dan moral suatu

bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban karena panas dan kegersangan gurun. Dia

berhasil lebih sempurna dari pembaru manapun. Belum pernah ada orang yang begitu

berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya seperti dia.”29 Setelah periode kepemimpinan

Rasulullah, pemerintahan Islam dipegang oleh al-Khulafa ar-Rasyidun, yaitu Abu


Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Kaum muslimin

meyakini bahwa sistem pemerintahan dan para pemimpin al-Khulafa ar-Rasyidun

lurus, adil, dan benar, sehingga Rasulullah menganjurkan agar mengambil teladan

mereka, “Kalian harus mengambil Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa arRasyidun

sesudahku.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. (1969). Al- Iqtishad i al- I’tiqad. Beirut: dar al-amanah. Al-Ghazali. (1994). al-

Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk.

Ali, Rajab Muhammad, (2000) al-Masjid al-Nabawi bi al-Madinah al-Munawwarah wa

Rusumaha fi al-Fann al-Islami, Dar Misry, Kairo, hlm. 140.

Matta, Muhammad Anis (2002), Model Manusia Muslim, Pesona Abad 21, Syamil Cipta

Media, Bandung, hlm. 5.

Mustafa, Ramadhan (1991), Intisari Serah Muhammad bin Abdullah Saw, Kuala Lumpur:

A.S. Noordeen, hlm. 65.

Thaha & I. Ilyas (Eds.), Nasehat bagi Penguasa (Bandung). Mizan. Ali, A. (1967). The Spirit

of Islam (cetakan II). Jakarta: Pembangunan.

Qairuwani, Abdullah ibn Abd al-Rahman (1999), A Madinah view on the Sunnah, Courtesy,

Wisdom Battles and History, London: Taha Publishers, hlm. 12.


https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/politea/article/viewFile/4488/3182

http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/islamuna/article/view/651

https://media.neliti.com/media/publications/54025-ID-genealogi-dan-sejarah-perkembangan-

polit.pdf

Anda mungkin juga menyukai