Anda di halaman 1dari 10

Latar Belakang

Pancasila adalah sebagai dasar negara Indonesia yang memegang peranan

penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia salah satunya adalah

“Pancasila sebagai suatu sistem etika”. Di dunia internasional bangsa Indonesia

terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki etika yang baik, rakyatnya yang

ramah, sopan santun, dll.

Pancasila adalah suatu kesatuan yang majemuk tunggal, setiap sila tidak dapat

berdiri sendiri terlepas dari sila lainnya, diantara sila satu dan lainnya tidak saling

bertentangan. Inti dan isi Pancasila adalah manusia monopluralis yang memiliki

unsur-unsur susunan kodrat (jasmani –rohani), sifat kodrat (individu-makhluk

sosial), kedudukan kodrat sebagai pribadi berdiri sendiri, yaitu makhluk Tuhan Yang

Maha Esa. Pancasila merupakan penjelmaan hakekat manusia monopluralis sebagai

kesatuan
Pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa

Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang

beradab didunia .Kecenderungan menganggap acuh dan sepele akan kehadiran

pancasila diharapkan dapat ditinggalkan dan di tinggalkan, karena pancasila wajib

diamalkan oleh warga Negara Indonesia. Alasan lain karena bangsa yang besar

adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukan hal yang susah dan

gampang untuk dilakukan, karena etika berasal dari tingkah laku, perkataan,

perbuatan, serta hati nurani kita masing-masing

Etika adalah hal yang sangat diperlukan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena dengan memiliki etika maka kita mampu menjalankan kehidupan bernegara dengan lancar.

Indonesia adalah negara yang berlandaskan Pancasila. Pancasila merupakan dasar dari negara Indonesia.
Karena Pancasila adalah dasar dari Negara Indonesia, maka setiap tindakan atau perilaku yang dilakukan
oleh warga Indonesia harus berpedoman dengan nilai-nilai Pancasila. Setiap butir Pancasila mengandung
pedoman-pedoman yang dapat dijadikan landasan oleh warga negara Indonesia untuk bertindak.
Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia juga harus didasari dengan nilai moral.

Pancasila sebagai sistem etika merupakan jalan hidup bangsa indonesia dan juga merupakan struktur
pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada setiap warga Indonesia
dalam bersikap dan bertingkah laku.

2.1 Konsep Pancasila Sebagai Sistem Etika


1. Pengertian Etika

Istilah etika berasal dari Bahasa Yunani, Ethos yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu
tentang segala sesuatu yang biasa dilakukan atau tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun
masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang
lain. dalam artian ini, etika sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti yang luas adalah ilmu yang
membahas tentang kriteria baik dan buruk. Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran filosofis
mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku
manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya itu kerap kali disebut moralitas atau etika.

Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu
atau bagaimana kita bersikap dan bertanggungjawab dengan berbagai ajaran moral. Etika merupakan
suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika
adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa
yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :

a. Etika Umum, mempertanyakan prisip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.

b. Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubuhngannya dengan berbagai
aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika indivial) maupun makhluk sosial (etika sosial).

Etika selalu terkait dengan masalah nilai, sehingga perbincangan tentang etika pada umumnya
membicarakan tentang masalah nilai (baik atau buruk). Kondisi menerangkan bahwa nilai merupakan
kualitas yang tidak real, karena nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri, nilai membutuhkan pengemban
untuk berada. Misalnya, nilai kejujuran melekat pada sikap dan kepribadian seseorang. Istilah nilai
mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan bahwa paling tidak ada
enam pengertian nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu :

a. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.

b. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna, atau pemenuhan karakter untuk
kehidupan seseorang.

c. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang sebagai pengevaluasian diri,
penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.

d. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang baik diantara berbagai
kemungkinan tindakan.

e. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika bertingkah laku bagi dirinya
dan orang lain.
f. Suatu “objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang sekaligus membentuk hidup
yang berharga dengan identitas kepribadian seseorang. Objek nilai mencakup karya sei, teori ilmiah,
teknologi, objek yang disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri.

Dengan demikian, nilai sebagaimana pengertian butir kelima, yaitu sebagai standra fundamental yang
menjadi pegangan bagi seeseorang dalam bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk mengukur
karakter seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang diterapkan seseorang dalam
pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya dapat dikategorikan etis atau tidak.

Namun dalam bahasa, pergaulan orang sering kali mencampuradukkan istilah etika dan etiket, padahal
keduanya mengandung perbedaan makna yang hakiki. Etika berarti moral, sedangkan etiket lebih
mengacu pada pengertian sopan santu, adat istiadat. Jika dilihat dari asal usul katanya, etika berasal dari
kata “ethos”, sedangkan etiket berasal dari kata “atiquette”. Keduanya memang mengatur perilaku
manusia secara normative, tetapi etika lebih mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian kritis
tentang baik dan buruk. Sedangkan etiket mengacu kepada cara yang tepat yang diharapkan, serta
ditentukan dalam suatu komunitas tertntu. Contoh, mencuri merupakan pelanggaran moral, tidak
penting apakah dia mencuri dengan tangan lanan atau tangan kiri. Etiket, misalnya terkait dengan tata
cara berperilaku dalam pergaulan, seperti makan dengan tangan kanan dianggap lebih sopan atau
beretiket.

2. Aliran-Aliran Etika

Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi :

a. Etika Keutamaan (Etika Kebajikan)

Etika keutamaan adalah teori yang mempelajari keutamaan (virtue), artinya mempelajari tentang
perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini mengarahkan perhatiannya kepada
keberadaan manusia, lebih menekankan pada “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”. Beberapa
watak yang terkandung dalam nilai keutamaan adalah baik hati, ksatriya, belas kasih, terus terang,
bersahabt, murah hati, bernalar, percaya diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani,
santun, jujur, terampil, adil, setia, bersahaja, disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan toleransi.

b. Etika Teleologis

Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral menentukan nilai
tindakan atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan kewajiban. Seseorang yang mungkin berniat
sangat baik atau mengikuti asas-asas moral yang tertinggi, akan tetapi hasil tindakan moral itu
berbahaya atau jelek, maka tindakan tersebut dinilai secra moral sebagai tindakan yang tidak etis. Etika
teleologis ini menganggap nilai moral dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada efektivitas tindakan
tersebut dalam mencapai tujuannya. Etika teleologis ini juga menganggap bahwa di dalamnya
kebenaran dan kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang diinginkan. Aliran-aliran
etika teleologis, meliputi eudaemosisme, hedonisme, utilitarianisme.

c. Etika Deontologis
Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban moral sebagai hal yang benar
dan bukannya membicarakan tujuan atau akibat.

3. Etika Pancasila

Etika Pancasila adalah cabang filasat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika
Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima
nilai tersebut membentuk perilaku manusia di Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila
ketuhanan mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada
Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi
humanus, artinya menjadikan manusia menjadi manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas
kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa
kebersamaan (mitsein), cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi berupa sikap mengghargai
orang lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sila
keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan
orang lain. Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika kebajikan.

Meskipun corak deontologist dan teleologis termuat pula didalmnya, namun erika keutamaan lebih
dominan karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu :

a. Kebijaksanaan, artinya melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh kehendak yang tertuju
pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal-rasa-kehendak yang berupa kepercayaan yang tertuju
pada kenyataan mutlak (Tuhan) dalam memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup
religious.

b. Kesederhanaan, artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan.

c. Keteguhan, artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal menghindari
penderitaan.

d. Keadilan, artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada diri sendiri dn manusia lain, serta
terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya.

4. Pengertian Nilai

Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai
itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu objeknya. Dengan demikian, nilai
itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyatan lainnya.

Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu
yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat
menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak bai, dan seterusnya.
Penilaian itu pastilah berhubungan dengan uunsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur
jasmani, rohani, akal, rasa, karsa, dan kepercayaan.

Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin, dan menyadarkan
manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan
mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu
wujud kebudayaan disamping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport mengidentifikasi nilai-nilai
yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai
estetika, nilai sosial, nilai politik, dan nilai religi.

5. Hierarkhi Nilai

Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu masyarakat terhadap suatu
objek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah material. Max Scheley
menyatakan bahwa nilai-nilai yang tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya, nilai-nilai dapat
dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu :

a. Nilai kenikmatan, adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang,
menderita, atau tidak enak.

b. Nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan, yakni jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum.

c. Nilai kejiwaan, adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan, dan pengetahuan
murni.

d. Nilai kerohanian, yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.

Sementara itu, Notonagoro membedakan nilai menjadi tiga, yaitu :

a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagis jasmani manusia.

b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mangadakan suatu aktivitas atau
kegiatan.

c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empa
tingkatan sebagai berikut :

1. Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.

2. Nilai keindahan atau estetis, yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.

3. Nilai kebaikan atau nilai moral, yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.

4. Nilai religius, yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.


Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga
merupakan suatu keharusan, anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu,
nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada
dalam hati nurani, kata hati, dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada
berbagai sistem nilai.

6. Pengertian Moral

Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral
adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.
Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakat, dianggap sesuai dan bertindak secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi, maka pribadi itu
dianggap tidak bermoral.

Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji
dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat,bangsa, dan negara.

7. Pengertian Norma

Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap
suatu peraturan atau norma. Hububngan ideal yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara
vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya). Norma adalah perwujudan
martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu
keasadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma
dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan
norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.

Hubungan nilai, norma, dan moral yaitu, keterkaitan nilai, norma, dan moral merupakan suatu kenyatan
yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu
mutlak digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang
kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut diatas maka nilai akan berguana menuntun sikap
dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan
moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia.
Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan
antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian,
etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

2.2 Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika

Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang dihadapi bangsa Indonesia yaitu
sebagai berikut :
1. Banyaknya kasus korupsi yang melanda Negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga merusak semangat
toleransi dalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantahkan semangat persatuan atau
mengancam disintegrasi bangsa.

3. Masih terjadinya pelanggaran HAM dalam kehidupan bernegara.

4. Kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin masih menandai kehidupan masyarakat
Indonesia.

5. Ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia.

6. Banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan benar.

Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem etika meliputi hal-hal
sebagai berikut :

1. Meletakkan sila-sila Pancasila sebagai sistem etika.

Berarti menempatkan Pancasila sebagai sumber moral dan isnpirasi bagi penentu sikap, tindakan, dan
keputusan yang diambil setiap warga negara.

2. Pancasila sebagai sistem etika memberi guidance (bimbingan) bagi setiap warga negara sehingga
memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik lokal, nasional, regional, maupun internasional.

3. Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan yang dibuat oleh
penyelenggara negara, sehingga tidak keluar dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa Pancasila.

4. Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas nilai yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang mempengaruhi pemikiran warga negara.

Dari semua hal-hal penting diatas, memperlihatkan penting dan mendesaknya peran dan kedudukan
Pancasila sebagai sistem etika, karena dapat menjadi tuntunan atau sebagai Leading Principle bagi
warga negara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Etika Pancasila diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena Pancasila berisikan nilai-nilai moral yang
hidup.

2.3 Dinamika Dan Tantangan Pancasila Sebagai Sistem Etika

1. Dinamika Pancasila Sebagai Sistem Etika

Dinamika Pancasila sebagai sistem etika dalam penyelenggaraan pemerintah di Indonesia dapat
diuraikan sebagai berikut :

a. Zaman orde Lama


Pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak partai politik, tetapi
dimenangkan oleh empat partai politik. Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman orde lama
mengikuti sistem etika Pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak orde baru. Bahwa pemilihan umum
pada zaman orde lama dianggap terlalu liberal karena pemerintahan Soekarno menganut sistem
demokrasi terpimpin, yang cenderung otoriter.

b. Zaman Orde Baru

Sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk penataran P-4. Pada zaman orde baru itu pula muncul
konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia berperilaku dan berakhlak mulia sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya dalam pandangan orde baru, artinya manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu
makhluk rohani sekaligus jasmani, dan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai
makhluk sosial pribadi memiliki emosi yang memiliki pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan,
dan tanggapan emosional dari manusia lain dalam kebersamaan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial,
memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera. Tuntutan tersebut hanya dapat terpenuhi
melalui kerja sama dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung.

Oleh karena itulah, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial harus dikembangkan secara
selaras, serasi, dan seimbang.

c. Era Reformasi

Sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi. Namun seiring dengan
perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi sistem etika politik akan menjurus pada
penyalahgunaan kekuasaan, serta menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

2. Tantangan Pancasila Sebagai Sistem Etika

Hal-hal berikut ini dapat menggambarkan beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem
etika :

a. Zaman Orde Lama

Tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem etika pada zaman orde lama berupa sikap otoriter dalam
pemerintahan, sebagaimana yang tercermin dalam penyelenggaraan negara yang menerapkan sistem
demokrasi terpimpin. Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem etika Pancasila yang lebih menonjolkan
semangat musyawarah untuk mufakat.

b. Zaman Orde Baru

Tantangan terhadap Pancasila sebagai sitem etika pada zaman orde baru terkait dengan masalah KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang merugikan penyelenggaraan negara. Hal tersebut tidak sesuai
dengan keadilan sosial karena korupsi, kolusi, dan nepotisme hanya menguntungkan segelintir orang
atau kelompok tertentu.
c. Era Reformasi

Tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem etika pada era reformasi berupa eforia kebebasan,
berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya, munculnya anarkisme yang
memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi.

PENUTUP

Pancasila sangat diperlukan sebagai sistem etika untuk memberikan pedoman dan arahan agar setiap
tindakan yang dilakukan oleh mayarakat Indonesia berpedoman pada sikap moral yang berlandaskan
Pancasila. Setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai cerminan dari pelaksanaan
Pancasila sebagai sistem etika dapat diamalkan dengan melaksanakan setiap pengalaman di setiap butir
Pancasila. Sebagai contoh, seperti yang tercantum di sila ke dua pada Pancasila, yaitu “Kemanusiaan
Yang Adil Dan Beradab”. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Pancasila dalam membangun
etika bangsa ini sangat berandil besar.

Dengan menjiwai butir-butir Pancasila masyarakat dapat bersikap sesuai etika baik yang berlaku dalam
masyarakat, bangsa dan negara. Dalam melaksanakan kehidupan, tentunya kita akan mengalami banyak
tantangan. Tantangan yang dibuat untuk dimenangkan, begitu pula tantangan Pancasila sebagai sistem
etika. Jika kita sudah menerapkan etika di setiap butir Pancasila, maka tantangan Pancasila sebagai
sistem etika dapat terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/mkwu/8-PendidikanPancasila.pdf

http://zieramen.fasilkomsibila16.com/tugaspancasila/sidebar-right5.html

http://www.academia.edu/13000228/Pancasila_Sebagai_Sistem_Etika

http://budisma1.blogspot.com/2011/07/pancasila-sebagai-sistem-etika.html

http://www.academia.edu/8867049/Pancasila_Sebagai_Sistem_etika

Anda mungkin juga menyukai