Anda di halaman 1dari 14

Zaman Kegelapan Eropa yang Serba Membingungkan

Konten ini diproduksi oleh Potongan Nostalgia


Periode Abad Pertengahan oleh para ahli sering dikonotasikan sebagai “Zaman Kegelapan
Eropa”. Abad Pertengahan adalah sebutan bagi sebuah periode sejarah yang terjadi di
kawasan Eropa Barat, kecuali wilayah Andalusia (Spanyol) yang masih berada di bawah
kekuasaan Dinasti Umayyah.
Secara garis besar periode Abad Pertengahan dimulai ketika wilayah bekas kekuasaan
Kerajaan Romawi Barat mulai bersatu pada abad ke-5 M, hingga dimulainya era Renaisans
yang ditandai dengan dimulainya penjelajahan samudera, kebangkitan ilmu pengetahuan, dan
kembalinya humanisme.
Istilah Zaman Kegelapan muncul setelah perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan di
kawasan Eropa mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran akibat dari kuatnya posisi
gereja di segala bidang kehidupan masyarakat Eropa saat itu.
Tidak ada satupun masyarakat yang diperbolehkan menyebarkan pengaruhnya melebihi
pengaruh gereja. Oleh karenanya pada masa ini tidak banyak menghasilkan tokoh-tokoh
berpengaruh, terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Abad Pertengahan juga sering diartikan sebagai periode kekuasaan agama, karena agama
sangat mendominasi kepentingan masyarakat Eropa. Segala hal yang tidak berhubungan
dengan agama dianggap melanggar hukum. Hal itu semakin menghambat perkembangan
ilmu pengetahuan empiris dan teori-teori baru.
Masyarakat hanya mengandalkan teori lama yang diperbolehkan oleh gereja. Bahkan tidak
sedikit hasil-hasil pengetahuan yang dianggap sebagai sihir dan akan menyesatkan jiwa
manusia oleh gereja.
Pada masa itu, orang-orang Eropa tidak memiliki visi yang jelas untuk membangun
peradaban mereka. Semua orang, tanpa terkecuali, dituntut untuk selalu berpegang pada
dogma-dogma gereja, dan terdapat larangan untuk bertanya mengenai berbagai hal.
Jika pihak gereja tidak mampu untuk menjawab pertanyaan dari masyarakat, maka orang
yang bertanya akan dianggap sesat dan akan disingkirkan. Segala tindakan gereja akan
didukung oleh raja yang berkuasa, sehingga kedudukan gereja dapat disetarakan atau bahkan
lebih tinggi dari pemerintahan istana.
Zaman Kegelapan Eropa ini diperparah dengan tingkat intelektualitas masyarakat yang kian
menurun. Tidak ada satu pun kaum terpelajar yang ingin meningkatkan kualitas pengetahuan
masyarakat karena mereka takut akan larangan gereja. Mereka banyak yang melakukan
penyebaran ilmu pengetahuan secara sembunyi-sembunyi untuk kalangan tertentu saja.
Periode “kebodohan” masyarakat Eropa ini bahkan sampai menyentuh pada hal-hal yang
bersifat ilmiah, seperti ketika muncul sebuah wabah penyakit baru, maka masyarakat akan
menganggap hal itu sebagai ancaman sihir dan harus ada pengorbanan untuk
menghentikannya, baik itu mengorbankan nyawa manusia ataupun yang lainnya.
Pada masa ini segala bentuk kebijakan pemerintah untuk urusan kenegaraan tidak diputuskan
berdasarkan demokrasi parlemen, tetapi kebijakan negara akan diputuskan melalui
rekomendasi dewan gereja. Sehingga mereka yang memiliki kedudukan di dalam gereja
menjadi sangat makmur secara ekonomi.
Tidak seperti masyarakat biasa yang sangat kesulitan untuk bertahan hidup. Zaman
Kegelapan Eropa menjadi sebuah kecacatan dalam peradaban Eropa, di saat peradaban Islam
sangat maju di bawah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.
Sumber: Alvarendra, H. Kenzou. 2017. Buku Babon Sejarah Dunia. Yogyakarta: Brilliant
Book
KOMPAS.com - Sebelum Renaissance, Eropa mengalami periode sejarah yang disebut sebagai Abad
Pertengahan. Era ini juga sering disebut sebagai Abad Kegelapan (Dark Ages), karena banyak terjadi
perang, kelaparan, dan pandemi seperti Black Death (Maut Hitam). Abad Pertengahan di Eropa
berlangsung selama kurang lebih 1.000 tahun, yakni dari abad ke-5 hingga abad ke-15. Karena
rentang waktunya sangat panjang, periode ini kerap dibagi menjadi Awal Abad Pertengahan, Puncak
Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan. Awal Abad Pertengahan Awal Abad Pertengahan
dimulai setelah jatuhnya Romawi Kuno pada 476 Masehi. Eropa pada saat itu diperintah oleh banyak
kerajaan dan belum terbentuk negara-negara seperti sekarang ini. Kekaisaran Bizantium (Kekaisaran
Romawi Timur), yang dibentuk pada akhir abad ke-4, tetap berdiri di bagian timur Eropa dan
sebagian Timur Tengah. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email
Dengan ibu kota di Konstantinopel, kekaisaran ini bertahan hingga abad ke-15, ketika digulingkan
oleh Kekaisaran Ottoman. Baca juga: Zaman Renaisans, Kelahiran Kembali Peradaban dan
Kebudayaan Eropa Puncak Abad Pertengahan Puncak Abad Pertengahan dimulai pada awal abad ke-
11. Pada periode inilah terjadi berbagai peristiwa penting. Sebagai contohnya adalah adanya pengaruh
besar dari agama Katolik terhadap kekaisaran dan perkembangan kebudayaan pada saat itu. Orang
Romawi kala itu lebih sibuk dengan masalah keagamaan, sedangkan ilmu pengetahuan kurang
diperhatikan. Oleh karenanya, para sejarawan menyebut Abad Pertengahan sebagai Abad Kegelapan
(Dark Ages). Kendati demikian, pada periode ini masih dilaporkan adanya penemuan-penemuan
terkait ilmu pengetahuan. Para ilmuwan dari Abad Pertengahan hampir semua adalah para teolog,
sehingga aktivitas ilmiah berkaitan erat dengan keagamaan. Selain itu, peristiwa besar pada Puncak
Abad Pertengahan lainnya adalah berlangsungnya Perang Salib. Perang Salib adalah serangkaian
perang agama yang dilakukan oleh tentara salib Kristen dari Eropa yang dimulai pada 1095 M. Dalam
pertempuran ini, para ksatria dan bangsawan Eropa melakukan perjalanan ke Timur Tengah dalam
upaya untuk merebut Tanah Suci dari orang-orang Muslim, yang telah menguasai wilayah itu selama
berabad-abad sebelumnya. Perang Salib menunjukkan pentingnya keyakinan agama dalam kehidupan
orang-orang Eropa selama Puncak Abad Pertengahan. Baca juga: Sejarah Singkat Perang Salib Akhir
Abad Pertengahan Akhir Abad Pertengahan terjadi pada sekitar awal abad ke-14, dan disebut sebagai
periode tersulit bagi bangsa Eropa. Salah satu sebabnya adalah adanya wabah pes, yang kemudian
dikenal dengan sebutan Black Death (Maut Hitam). Black Death merupakan peristiwa pandemi paling
bersejarah bagi umat manusia yang menghancurkan populasi di Eropa dan Asia karena menyebar di
sepanjang rute perdagangan. Sepanjang abad ke-14, pandemi tersebut diperkirakan telah menelan
hampir 200 juta jiwa di Eropa dan Asia. Di Eropa sendiri, Black Death telah menelan setengah dari
populasi masyarakatnya. Terlepas dari peristiwa mengerikan itu, Akhir Abad Pertengahan juga
menandai kemunculan Abad Penjelajahan atau Abad Penemuan, dan Zaman Renaissance.   Referensi:
West, Willis Mason. (2018). A History of Europe (Sejarah Eropa). (Terjemahan, Mokhamad Irfan,
Dion Yulianto, dan Endra Susanti). Yogyakarta: Relasi Inti Media.

Ahmad Ibn Fadlan, Utusan Bagdad


Pemberani ke Negeri Kanibal
FacebookTwitterLinkedInPinterest

Gambarannya tentang Viking, yang dia sebut sebagai “makhluk Tuhan yang paling
kotor” namun secara fisik orang yang paling cantik yang pernah dia lihat— “setinggi
pohon kurma, pirang dan kemerahan”– hanyalah salah satu dari banyak bagian penting
dalam tulisan Ibn Fadlan. Ia juga membahas keberadaan Ya’juj dan Ma’juj, makhluk
buas yang disebutkan dalam sumber-sumber kuno dan terkait dengan akhir dunia.  
JERNIH—Pernah menonton film Hollywood “The 13th Warrior” yang dibintangi Antonio
Banderas, disutradarai John McTierman pada 1999? Film itu bercerita tentang seorang utusan
Muslim, Ahmad bin Fadlan ke negeri kaum kanibal di Rusia dan Skandinvia.
Meski menurut Chase F Robinson dalam “Islamic Civilization in Thirty Lives: The First
1000 Years” film itu sama sekali tak berhasil menggambarkan sosok Fadlan dengan akurat,
karena bahannya hanya dari novel Michael Crichton, “Eaters of the Dead” yang dirangkai
dari bricole—istilah Prancis untuk materi yang dirangkai dari bahan seadanya –setidaknya
mengenalkan kita akan sosok besar Fadlan.
Kisah Bin Fadlan bangkit dari ‘kubur’ melalui sebuah naskah kuno yang ditemukan di kota
Mashad, Iran Timur pada 1923. Awal manuskrip itu menyampaikan info singkat tentang
penulisnya:

“Ini adalah kisah Ahmad bin Fadlan bin Al-Abbas bin Rashid bin Hammad, seorang hamba
Muhammad bin Sulayman dan utusan Khalifah Al-Muqtadir kepada raja Saqaliba. Buku ini
mencatat apa pun yang dilihatnya di tanah suku Turk Khazar, Rus, Saqaliba, Bashgrib dan
bangsa lainnya, bersama dengan berbagai adat istiadat, cara hidup dan raja-raja
mereka…”

Ibnu Fadlan digambarkan bersama tokoh mitos Eropa kuno, Beowulf


Ahmad Ibn Fadlan dikirim pada 921 M sebagai sekretaris duta besar dari Khalifah Abbasiyah
al-Muqtadir dari Baghdad ke Volga Bulgar di Laut Hitam dan Kaspia. Misi itu sendiri
barangkali bisa disebut gagal. Namun selama di sana, Ibn Fadhlan merekam perjumpaannya
dengan sekelompok pedagang dari Utara, yang disebutnya Rus, atau Rusiyyah.

Namun menariknya, novel “Eaters of the Dead”-nya Michael Crichton itu justru diilhami
pengalaman Ibnu Fadlan, meski menurut Robinson penuh ditambahi fiksi-fiksi tak perlu dari
Crichton. Dalam film tersebut, “the Arab” (Sang Duta Besar) dibawa lebih jauh ke utara dan
terlibat dalam petualangan yang terinspirasi oleh epik Beowulf Inggris Kuno. Memang
Crichton merancang “Eaters of the Dead” sebagai versi fiksi dari peristiwa bersejarah yang
menciptakan dasar epik Beowulf.
Meskipun tidak diragukan lagi Crighton sudah familiar dengan cerita Ibn Fadhlan, novelnya
benar-benar fiksi, mencampurkan Ibn Fadhlan dengan Beowulf, dan tambahan sedikit
Morlocks H.G. Wells untuk menambah cita rasa. Namun demikian, terjemahan dari kisah asli
Ibn Fadhlan tersedia, termasuk kutipan yang membahas petualangan Ibn Fadhlan di antara
kaum Rus.

Menurut ringkasan plot “the 13th Warrior”, pada awal abad ke-10, Ahmad Ibn Fadhlan
menemani rombongan Viking ke Utara yang biadab. Ibn Fadhlan dikejutkan oleh adat istiadat
Viking–kebiasaan permisif mereka, ketidakpedulian mereka terhadap kebersihan,
pengorbanan manusia dengan darah dingin. Kemudian dia mengetahui kebenaran yang
mengerikan: dirinya telah terdaftar untuk memerangi monster yang mengerikan, Wendol,
yang membantai kaum Viking dan melahap daging mereka.
Ahmad Ibn Fadhlan awalnya tidak merasa nyaman dengan orang-orang asing di utara, tetapi
ketika dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dia dengan berani bertarung bersama
Viking dalam pertempuran yang tidak dapat dimenangkan.

Serial TV Arab untuk Fadlan adalah “The Roof of the World” (Saqf al-`alam) diproduksi
pada tahun 2007 (disutradarai oleh Najdat Anzour) yang memetakan perjalanan Ibn Fadhlan
dari perspektif kontemporer. Tiga puluh episode  masing-masing satu jam  itu membahas
hubungan antara Islam dan Eropa pada dua momen: waktu Ibn Fadhlan dan saat ini

Fadlan dan Beowulf


Beowulf, yang ditulis dalam bahasa Inggris Kuno beberapa saat sebelum abad ke-10 M,
adalah puisi epik heroik Inggris Kuno. Epic itu menggambarkan petualangan seorang pejuang
Skandinavia yang hebat dari abad ke-6. Sebuah jalinan fakta dan khayalan yang kaya,
Beowulf adalah epik tertua yang masih ada dalam sastra Inggris.

Beowulf adalah penulis anonim. Pembuatannya berasal dari abad ke-8 dan ke-11, satu-
satunya manuskrip yang masih ada berasal dari sekitar tahun 1010. Pada 3183 baris, naskah
ini terkenal karena panjangnya. Hal itu meningkatkan statusnya menjadi epik nasional di
Inggris.
Teks hanya ada dalam satu manuskrip. Salinan ini selamat dari penghancuran besar-besaran
artefak keagamaan selama pembubaran biara oleh Henry VIII dan bencana kebakaran yang
menghancurkan perpustakaan Sir Robert Bruce Cotton (1571-1631). Naskah itu masih
memiliki bekas jilatan api. Naskah Beowulf sekarang disimpan di British Library, London.

Dalam puisi itu, Beowulf, seorang pahlawan Geats, melawan tiga antagonis: Grendel, yang
menyerang aula madu Denmark yang disebut Heorot dan penduduknya; Ibu Grendel; dan, di
kemudian hari setelah kembali ke Geatland (Swedia selatan modern) dan menjadi raja, ia
harus bertarung dengan naga yang tidak disebutkan namanya. Dia terluka parah dalam
pertempuran terakhir, dan setelah kematiannya dia dimakamkan di sebuah gerobak dorong di
Geatland oleh para pengikutnya.

Beowulf telah diadaptasi beberapa kali dalam novel, teater, dan bioskop, termasuk film
“Beowulf and Grendel” pada 2005 dan film animasi “Beowulf” tahun 2007 yang disutradarai
tokoh film terkemuka, Robert Zemeckis.
Hubungan antara Ahmad ibn Fadlan dan Beowulf (etimologinya mungkin nama Arab
Buliwyf atau variannya) diotorisasi oleh fakta bahwa catatan Ibn Fadhlan tentang
perjalanannya di Eropa Utara mungkin telah menjadi sumber bahasa Inggris kuno epik.
Hubungan ini masih harus dibangun dengan kokoh di atas dasar sejarah yang kuat. Namun
hubungan keduanya menginspirasi literatur modern yang mengekstrapolasi aspek aneh
keduanya untuk membangun narasi yang menawan, seperti yang dikonstruksi oleh Michael
Crichton dalam “Eaters of the Dead”.
Perjalanan Ibn Fadlan
Ahmad ibn Fadlan ibn al-Abbas ibn Rashid ibn Hammad adalah seorang penulis dan
pelancong Muslim Arab abad ke-10 yang menulis catatan tentang perjalanannya sebagai
anggota kedutaan Khalifah Abbasiyah Baghdad kepada Raja Volga Bulgars,  dan Raja
Saqaliba.

Untuk waktu yang lama, hanya versi yang tidak lengkap dari catatan Fadlan yang diketahui.
Misalnya seperti yang tertulis dalam kamus geografis Yaqut (di bawah judul Atil, Bashgird,
Bulghar, Khazar, Khwarizm, Rus), diterbitkan pada tahun 1823 oleh sarjana Rusia, CM
Frähn, yang diterjemahkan dari teks berbahasa Arab ke dalam bahasa Jerman.

Baru pada tahun 1923 sebuah manuskrip ditemukan oleh ilmuwan Turki, Zeki Validi Togan,
di perpustakaan kota Masyhad di Iran. Naskah MS 5229 itu berasal dari abad ke-13 dan
terdiri dari 420 halaman. Selain risalah geografis lainnya, naskah itu berisi versi yang lebih
lengkap dari teks Ibn Fadhlan. Bagian tambahan yang tidak disimpan dalam MS 5229 dikutip
dalam karya ahli geografi Persia abad ke-16, Amin Razi, yang disebut “Haft Iqlim” (Tujuh
Iklim).
Ibn Fadlan dikirim dari Baghdad pada tahun 921 untuk menjadi duta besar dari Khalifah
Abbasiyah al-Muqtadir ke Iltäbär, ibukota kerajaan dari Volga Bulgaria, yang saat itu
diperintah Raja Almis.

Tujuan penugasannya adalah agar raja Bolgar memberi penghormatan kepada Khalifah al-
Muqtadir dan, sebagai gantinya, memberikan uang kepada raja untuk membayar
pembangunan benteng. Meskipun mereka mencapai Bolgar, misi gagal karena mereka tidak
dapat mengumpulkan uang yang diperuntukkan bagi raja. Kesal karena tidak menerima
jumlah yang dijanjikan, raja Bolgar menolak untuk beralih dari ritus Maliki ke ritus Hanafi di
Baghdad. Ternyata raja Bolgar sudah memeluk Islam, meski dalam pembelajaran.

Sang Duta meninggalkan Baghdad pada 21 Juni 921 (11 Safar 309 H). Dia mencapai Bulghar
(atau Bolgar) setelah banyak kesulitan pada 12 Mei 922 (12 Muharram 310 H). Hingga hari
ini, hari datangnya fadhlan menjadi hari libur keagamaan resmi di Tatarstan modern.

Perjalanan tersebut membawa Ibn Fadlan dari Baghdad ke Bukhara, lalu ke Khwarizm
(selatan Laut Aral). Meskipun dijanjikan jalan yang aman oleh panglima perang bangsa
Oghuz, atau Kudarkin, mereka dihadang oleh bandit Oghuz. Untung, mereka bisa menyuap
para penyerang itu. Mereka menghabiskan musim dingin di Jurjaniya sebelum melakukan
perjalanan ke utara melintasi Sungai Ural sampai mereka mencapai kota Bulghar, wilayah di
antara tiga danau Volga di utara Samara.

Setelah tiba di Bolgar, Ahmad ibn Fadlan melakukan perjalanan ke Wisu dan mencatat
pengamatannya tentang perdagangan antara Volga Bolgar dan suku Finlandia setempat.

Sebagian besar dari catatan Ibn Fadlan didedikasikan untuk deskripsi orang yang dia sebut
Rus atau Rusiyyah. Kebanyakan cendekiawan mengidentifikasikan mereka dengan Rus ‘atau
Varangians, yang akan membuat catatan Ibn Fadlan salah satu penggambaran Viking yang
paling awal.

Rus muncul sebagai pedagang yang mendirikan toko di tepi sungai dekat kamp Bolgar.
Mereka digambarkan memiliki tubuh paling sempurna, setinggi pohon palem, dengan rambut
pirang dan kulit kemerahan. Mereka ditato dari “kuku sampai leher” dengan “pola pohon”
biru tua atau hijau tua dan “figur” lainnya dan semua pria mempersenjatai diri dengan kapak
dan pisau panjang.

Ibn Fadlan menggambarkan kebersihan Rusiyyah sebagai menjijikkan (sambil juga mencatat
dengan sedikit keheranan bahwa mereka menyisir rambut mereka setiap hari) dan
menganggapnya vulgar dan tidak canggih. Dalam hal itu, kesannya bertentangan dengan
pengelana Persia, Ibn Rustah. Dia juga menjelaskan dengan sangat rinci pemakaman salah
satu kepala suku mereka (penguburan kapal yang melibatkan pengorbanan manusia).
Beberapa ahli percaya bahwa itu terjadi di kompleks Balymer modern.

Gambarannya tentang Viking, yang dia sebut sebagai “makhluk Tuhan yang paling kotor”
namun secara fisik orang yang paling cantik yang pernah dia lihat— “setinggi pohon kurma,
pirang dan kemerahan” – hanyalah salah satu dari banyak bagian penting dalam tulisan Ibn
Fadlan. Ia juga membahas keberadaan Ya juj dan Ma juj, makhluk buas yang disebutkan
dalam sumber-sumber kuno dan terkait dengan akhir dunia.

Sepanjang Abad Pertengahan, para musafir dan otoritas palsu mengklaim telah menemukan
Ya juj dan Ma juj di suatu tempat di Asia Tengah; Ibn Fadlan, setidaknya, melaporkan kisah
ini hanya sebagai legenda yang didengarnya dari orang lain.

Sekembalinya ke Baghdad, Ibn Fadlan menulis catatan tentang perjalanannya. Bagian


terakhir — bagian yang mungkin akan menceritakan tentang perjalanannya kembali dan
kehidupan selanjutnya — telah hilang, tetapi fragmen yang bertahan membuatnya menjadi
bacaan yang sangat informatif dan kuat. [Muslimheritage/” Islamic Civilization in Thirty
Lives: The First 1000 Years
Perjalanan Ibu Fadlan ke Lembah Volga

REPUBLIKA.CO.ID, Penyebaran Islam di Rusia dan Bulgaria memang tak pernah


bisa lepas dari peran Ahmed Ibnu Fadlan. Nama ini memang belum begitu dikenal
di kalangan Muslim. Namanya kalah tersoroh, misalnya dengan sosok pengelana
Ibnu Batutah.

 Namun, catatan saksi mata terpenting tentang orang yang tinggal di wilayah Rus
(Akar kata Rusia, Bulgaria, dan sekitarnya) memang tersemat kepada Ahmed ibn
Fadlan ini. Jarang mengetahui bila dia seorang penulis. Tetapi Risalah-nya telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Segmen-segmen utamanya dikutip secara
universal dalam buku-buku modern tentang Viking. Dan ini telah mengilhami
novel yang ditulis tahun 1976 karya penulis Michael Crichton berjudul Eaters of
the Dead. Atas dasar novel ini kemudian dibuat film The Thirteenth Warrior oleh
Touchstone dan produsen Film Disney.

"Ibnu Fadlan unik dari semua sumber," kata penulis sejarah Viking, Noonan. "Dia
ada di sana, dan Anda dapat melacak jalur persisnya. Dia menjelaskan, bagaimana
karavan bepergian, bagaimana mereka akan menyeberangi sungai. Dia memberi
tahu Anda tentang flora dan fauna di sepanjang jalan. Dia menunjukkan kepada kita
dengan tepat bagaimana fungsi perdagangan. Ada tidak ada yang seperti itu."

Ibnu Fadlan adalah seorang faqih, seorang ahli hukum Islam, yang menjabat
sebagai sekretaris delegasi yang dikirim oleh Khalifah al-Muqtadir pada tahun 921
kepada raja Bulgaria. Kala itu  raja ini meminta bantuan untuk membangun benteng
dan masjid, serta instruksi pribadi lainnya dalam soal ajaran Islam.
Bulgar adalah cabang suku bahasa Turki yang terbagi oleh Khazar pada abad
ketujuh. Satu kelompok bermigrasi ke barat, di mana mereka berasimilasi dengan
Slavia. Mereka kemudian mendirikan apa yang menjadi Bulgaria modern hari ini.
Pengaruhnya hingga sampai ke sebelah barat Laut Hitam; yang lain berbelok ke
utara menuju wilayah Volga tengah, di mana mereka terus marah di bawah
kekuasaan Khazar, yang dominasinya atas wilayah Kaukasus utara dan Kaspia
menandai batas utara kekuasaan Abbasiyah.

Dalam mencari bantuan dari Baghdad, raja Bulgars mencari aliansi melawan
Khazar. Dia diduga sengaja untuk menghindari tanah Khazar. Akibatnya
rombongan khalifah yang hendak ke sana dari Baghdad mengambil rute yang
panjang dan memutar ke ibu kota Bulgar, melewati timur Laut Kaspia.

Sesampai di sana, Ibn Fadlan yang memberikan dakwah agama kepada raja Bulgar,
sehingga membuatnya terkesan sehingga raja memberinya kunya, atau julukan, "al-
Siddiq," "yang jujur". Julukan kunya ini sama yang pernah diperoleh oleh Abu
Bakar, khalifah Islam pertama.

Secara keseluruhan, delegasi dari Bahdad ini menempuh jarak sekitar 4.000
kilometer (2500 mil). Dalam Risalahnya, Ibn Fadlan menggambarkan banyak orang
yang dia temui, dan kira-kira seperlima merupakan orang Rus.
"Saya belum pernah melihat spesimen manusia dengan fisik yang lebih sempurna,
setinggi pohon kurma, pirang dan kemerahan," tulisnya. "Setiap orang memiliki
kapak, pedang, dan pisau dan disimpan setiap olehnya setiap saat." Pria-pria itu,
menurut pengamatannya, ditato dengan sosok-sosok hijau tua "dari kuku hingga
leher".

Seni perhiasan dan hiasan tubuh Viking berkembang dengan baik, dan Ibn Fadlan
menggambarkan wanita Rus mengenakan cincin leher dari emas dan perak. "Satu
untuk setiap 10.000 dirham yang berharga bagi suaminya; beberapa wanita
memiliki banyak. Ornamen paling berharga mereka adalah manik-manik kaca hijau
dari tanah liat, yang ditemukan di kapal. Mereka menukar manik-manik di antara
mereka sendiri dan membayar satu dirham untuk sebuah manik. Mereka
mengikatnya sebagai kalung.

Mereka juga mengenakan hiasan manik-manik berwarna, bros oval besar yang
menjuntai barang-barang, seperti pisau, kunci dan sisir, dan apa yang digambarkan
Ibn Fadlan sebagai kotak dada yang terbuat dari emas, perak dan kayu.

"Dia memiliki kata-kata kasar, bagaimanapun, untuk kebersihan Rus. Mereka


adalah makhluk Tuhan yang paling kotor," lanjut Fadlan mengamati, dan meskipun
dia mengakui bahwa mereka mencuci tangan, wajah, dan kepala setiap hari, dia
terkejut bahwa mereka melakukannya.

"Mereka punya cara yang paling kotor dan paling kotor karena memakai baskom
komunal berisi air untuk bersama,'' ujarnya lagi.

Hal itu merupakan kebiasaan Jerman kuno yang menyebabkan rasa jijik yang dapat
dimengerti pada seorang Muslim yang biasanya melakukan wudhu hanya di air
yang dituangkan atau mengalir. (Pada tahun yang sama, Ibn Rustah, bagaimanapun,
memuji Rus yang dia amati sebagai "bersih dalam pakaian mereka dan baik kepada
budak mereka.")

Kontak mereka dengan Islam membuat beberapa orang Rusia memeluk agama
tersebut, meskipun Ibun Fadlan dengan cerdik mencatat bahwa kebiasaan lama
masih menarik: "Mereka sangat menyukai daging babi dan banyak dari mereka
yang telah mengambil jalan Islam sangat merindukannya.

Orang Rus juga menikmati nabith, minuman fermentasi yang sering disebut Ibn
Fadlan sebagai bagian dari makanan sehari-hari mereka.
Namun, sebagian besar Rus terus menjalankan praktik keagamaan mereka sendiri,
termasuk mempersembahkan korban. Ibn Rustah menyebutkan tentang seorang
imam profesional dari dukun Rusia (yang dia sebut attibah) yang menikmati status
yang sangat tinggi, dan yang memiliki kekuatan untuk memilih sebagai
persembahan kepada dewa-dewa mereka, siapa pun pria, wanita atau ternak yang
mereka sukai.

Bahkan, Ibnu Fadlan menyaksikan sekelompok pedagang Rus yang merayakan


selesainya pelayaran Volga dengan selamat pada tahun 922 M. Ibn Fadlan
menggambarkan bagaimana mereka berdoa kepada dewa-dewa mereka dan
mempersembahkan korban kepada patung-patung kayu yang tertancap di tanah,
dan mereka memohon kepada dewa-dewa mereka untuk mengirim pedagang
dengan koin perak yang berlimpah ke membeli apa yang harus mereka jual.

Dia juga menyaksikan, di sepanjang Volga, pemakaman dramatis seorang kepala


suku yang dikremasi dengan kapalnya. Penjelasannya yang sering dikutip tentang
ritus ini adalah salah satu dokumen paling luar biasa dari Zaman Viking, diisi
dengan perincian suram dari pemimpin yang meninggal yang diletakkan di
kapalnya di tengah perbendaharaan barang-barang mahal, makanan kaya dan
minuman keras, seperti juga seekor anjing, kuda, lembu, dan unggas, dan ditemani
oleh tubuh seorang gadis budak yang secara sukarela disembelih dan dibakar
bersama tuannya.

Di luar ini, Ibn Fadlan mengetahui rahasia adegan mabuk dan perilaku tidak
senonoh yang jelas mengejutkan seorang sarjana saleh dan terpelajar dari Baghdad.
Tapi, dia bukan pemoral: Setelah mencatat perilakunya, dia melanjutkan ceritanya
tanpa merendahkannya.

Penulis Muslim lainnya menganggap beberapa ciri Rus patut dipuji, terutama
kehebatan mereka dalam berperang. Filsuf dan sejarawan Miskawayh, misalnya,
menggambarkan mereka sebagai orang-orang dengan "kerangka besar dan
keberanian besar" yang membawa persenjataan senjata yang mengesankan,
termasuk pedang, tombak, perisai, belati, kapak, dan palu.

Dia mencatat bahwa pedang mereka "sangat diminati hingga hari ini karena
ketajaman dan keunggulannya.

"Sementara itu, hubungan biasa antara Rus dengan Baghdad, Khazaria dan tanah
Muslim lainnya adalah perdagangan yang damai, tidak selalu demikian."
Di sepanjang pantai Laut Kaspia, suku-suku Rus menyerahkan senjata mereka yang
berharga untuk melawan Muslim dua kali pada abad ke-10, sekali menyerang
Abaskun di Kaspia timur pada tahun 910 M, dan kemudian menembus negara
minyak di sekitar Baku pada tahun 912 M, mengambil rampasan yang kaya dan
membunuh ribuan orang.

Mengenai kampanye terakhir ini, al-Mas'udi menulis bahwa ketika rakyat negara
bagian Khazar mendengar hal ini, sekitar 150.000 dari mereka bergabung dengan
orang-orang Kristen dari kota Itil, dan pasukan gabungan ini bergerak ke Volga,
tempat armada Rus telah kembali, dan menghancurkannya. Beberapa Rus yang
lolos kemudian dihabisi oleh Bulgars dan lainnya.

Ibn Hawkal menceritakan bagaimana pada tahun 943 M armada Rus besar lainnya
mencapai kota perdagangan Bardha'a yang makmur di pantai selatan Kaspia,
tempat Rus membantai 5.000 penduduk. Tetapi pendudukan mereka di kota itu
hancur dalam beberapa bulan kemudian, tampaknya sebagai akibat dari epidemi
disentri yang dipicu di antara karena meminum bersama ditempat  yang tercemar 
racun yang disebut  "secangkir kematian". Minuman itu adalah minuman rahasia
yang ditawarkan kepada mereka oleh para wanita di kota itu.

Selain Ibn Fadlan, hanya sedikit jika ada Muslim dari Timur Tengah atau Asia
Tengah yang melakukan perjalanan ke kampung halaman Norsemen yang jauh.
Namun, Muslim di Andalusia, di dua pertiga selatan Semenanjung Iberia, dapat
melakukan perjalanan ke Skandinavia dengan relatif mudah melalui laut, dan
beberapa tampaknya telah melakukannya, mungkin untuk berdagang.

Pada pertengahan abad ke-10, seorang pedagang Córdova bernama al-Tartushi


mengunjungi kota pasar Hedeby di Denmark. Dia tidak terlalu terkesan, karena
meskipun, di area seluas 24 hektar (60 acre), Hedeby adalah kota Skandinavia
terbesar saat itu, al-Tartushi menganggapnya jauh dari keanggunan, pengaturan dan
kenyamanan Córdoba.

Hedeby mengatakan tempat itu berisik dan kotor. Ini karena selaku orang pagan
mereka menggantung hewan kurban di tiang di depan rumah mereka dengan begitu
saja. Penduduk Hedeby juga hidup sebagai pencari ikan karena jumlah hewan air
ini sangat sangat banyak jumlahnya di sana.

Dia mencatat bahwa wanita Norse menikmati hak untuk bercerai: "Mereka berpisah
dengan suami kapan pun mereka mau." Pria dan wanita, dia menemukan,
menggunakan "riasan buatan untuk mata; ketika mereka menggunakannya
kecantikan mereka tidak pernah pudar, tetapi meningkat."

Tetapi kontak yang sedikit seperti itu tidak banyak membantu menjembatani jurang
budaya yang luas. Ahli hukum Toledo Sa'id beralasan bahwa orang-orang
Norsemen yang pagan dipengaruhi oleh asal musim dingin mereka: "Karena
matahari tidak menumpahkan sinarnya langsung ke atas kepala mereka, iklim
mereka dingin dan atmosfirnya mendung. Akibatnya temperamen mereka menjadi
dingin dan humor mereka kasar , sementara tubuh mereka tumbuh besar, warna
kulit cerah dan rambut panjang."

Sejak tahun-tahun awal Zaman Viking, orang Arab di Andalusia menyebut orang
Skandinavia sebagai al-majus, sebuah kata yang berarti "penyembah api " dan
biasanya ditujukan kepada orang Zoroastrian. Bahwa kedua kelompok ini disatukan
ke dalam istilah yang sama membuat beberapa sarjana modern berspekulasi tentang
kontak awal antara pedagang Norse dan Zoroastrian di Persia dan Mesopotamia.
Dan Andalusia juga tidak luput dari serangan Viking yang dialami seluruh Eropa.

Anda mungkin juga menyukai