Anda di halaman 1dari 17

Pencegahan Paham Radikalisme melalui Dakwah Humoris di kalangan Remaja

(monggo opsi lain judulnya)


Rizal Fakih, Roni Sushanto, Syaiful Andrianto.
IAIN Ponorogo
Email: rizalfaqih44@gmail.com , rooneyshushantho@gmail.com,
syaifulandri045@gmail.com

ABSTRAK

Kata Kunci : Radikalisme,


PENDAHULUAN
Dalam sistematika rangkaian kehidupan manusia di dunia ini tentu tidak bisa
terlepas dengan kaitannya yang dinamakan Agama. Hal tersebut dikarenakan
agama sangat membaur dalam kehidupan sosial bermasyarakat dengan segala
dinamika yang ada. Hal tersebut mengandung sebuah arti bahwa manusia dalam
tindakan aktivitasnya tidak bisa terlepas dari nilai-nilai agama yang ada. Dalam hal
ini Agama Islam adalah agama bagi umat manusia yang di dalamnya memuat
pesan yang bersifat umum/universal dan abadi dikarenakan ajarannya akan selalu
mengikat selama dalam masa taklif (mukallaf). Konsekuensi tersebut tercantum
dan tertuang dalam suguhan konsepsi hukum Islam yang menjamin membangun,
perbaikan dan peningkatan kehidupan umatnya baik di dunia maupun di akhirat.
Islam adalah pandangan hidup yang lengkap (kaffah), membimbing sesuai
petunjuk-petunjuk Allah Swt., sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul-Nya,
Muhammad Saw. Di teruskan oleh Para Sahabat hingga ajaran Agama Islam
menyebar ke seluruh penjuru dunia khususnya di Indonesia.1
Secara singkat dan praktis, Agama Islam mengajarkan dan menuntun ummat
dan pemeluknya untuk senantiasa menyeru, mengajak, dan menyampaikan
ajarannya agar apa yang menjadi pesan dalam nilai-nilai agama dapat
disebarluaskan dan didakwahkan ke seluruh alam semesta.2 Hal tersebut
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap pemeluk Agama Islam.
yang tentunya dalam penyampaian misi dakwah yang diterapkannya dalam rangka
mengajak manusia kepada ajaran Islam haruslah mengacu terhadap apa yang telah
diberikan contoh tauladannya oleh Rasulullah Muhammad Saw.3
Islam adalah agama dakwah yang mengandung arti bahwa keberadaanya di
muka bumi ini adalah dengan disebarluaskan dan diperkenalkan kepada seluruh
umat melalui aktivitas dakwah, bukan dengan paksaan, kekerasan, dan tidak pula
dengan kekuatan pedang. Namun melalui jalan kasih sayang, menerbarkan
kebaikan dan nilai-nilai perdamaian. Hal ini bisa kita pahami, karena Islam sendiri

1
Begum A’isyah Bawany, Mengenal Islam Selayang Pandang, terj. Machnun Husein, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1994), hlm 5.
2
Konsep tentang menyeru, mengajak, menyempaikan, dan mempengaruhi tersebut yang kemudian
dinamakan dengan dakwah. Lihat pengertian dakwah Awaludin Pimay, Metodologi Dakwah: Kajian
Teoritis dari Khazanah al-Qur’an (Semarang: Rasail, 2006),
3
Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah (Jakarta: Media Da’wah, 2000), hlm. 125.
adalah agama pembawa perdamaian, agama cinta kasih, agama pembebasan dari
belenggu perbudakan, dan mengakui hak dan kewajiban setiap individu. Ini berarti
anggapan para oreientalis yang selama ini mengatakan Islam adalah agama yang
kejam, menakutkan dan dikenal dengan radikalisme, adalah tidak benar.4
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah menganut
agama Islam, sehingga berbagai fenomena dan kejadian terkait keislaman yang
hadir dalam ruang dan ranah publik yang lebih menonjol seiring dengan menguat
dan meningkatnya tingkat religiusitas pemeluknya. Beberapa fenomena demikian
nampak dan terlihat berada di sekitar kita seperti semakin menjamurnya beberapa
majelis pengajian, busana syar’i, ekonomi mikro-makro Islam, hingga lembaga
pendidikan negeri berbasis Islam. Tidak sebatas itu saja, beberapa gerakan baru
Islam juga mulai menampilkan eksistensinya dengan berbagai cara, selanjutnya
gerakan tersebut menyandang stereotype sebagai gerakan Islam radikal. Gerakan
Islam radikal ini mula-mula lahir pada era sebelum kemerdekaan, tepatnya pada
era 1950-an dengan gerakannya yang diberi nama Darul Islam/ Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dengan tujuan ingin
menegakkan negara yang berbasis syari’ah Islam.5
Berawal dari pemikiran tersebut, aliran Islam radikal telah menjustifikasi diri
seperti para hakim dan aparat pemerintahan yang ada, yang tidak menggunakan
hukum syari’at adalah halal dibunuh. Sikap-sikap demikianlah yang tentunya dapat
membawa mereka ke dalam faham keberagamaan yang cenderung kaku, keras
serta tidak mampu menerima perbedaan yang ada. 6 Selanjutnya sikap tersebut telah
mereka implementasikan dalam praktik kehidupan, sebagai suatu contoh mereka
menganggap harta yang dimiliki oleh orang lain adalah sah untuk dimiliki
organisasinya. Bahkan dengan cara-cara yang tidak Islami seperti penipuan,
pencurian, bahkan dengan cara-cara kekerasan sekalipun, mereka mengklaim
bahwa harta itu adalah milik Allah.7

4
Muhammad Said — Dakwah Sebagai Ujung Tombak Penanganan Radikalisme Agama di
Indonesia TASAMUH: JURNAL STUDI ISLAM Volume 10, Nomor 1, April 2018, pp. 149-187.
5
M. Zaki Mubarak, “Dari NII ke ISIS, Transformasi Ideologi dan gerakan dalam Islam
Radikal di Indonesia Kontemporer”, Episteme, Vol. 10 No. 1, 2015. Lihat juga Martin Van
Bruinessen “Genealogies of Islamic radicalism in Post-Suharto Indonesia” South East Asia Research,
Vol. 10 No. 2, 2002.
6
Ali Syu’aibi, Meluruskan Radikalisme Islam (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), 137
7
Endang Turmudzi, Riza Sihbudi (eds.), Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: Lipi press,
2005), hlm. 242-243.
Radikalisme agama yang beberapa akhir ini muncul kepermukaan seakan
menyiratkan ketidakpuasan suatu kaum dalam hubungan adaptasinya dengan yang
lain. Hal tersebut menyangkut beberapa praktik kehidupan (mu’amalah) dan
peribadatan (ubudiyah), terutama tentang perbedaan cara pandang atas agama yang
mereka anut. Interpretasi yang berbeda dalam melihat suatu hukum agama dan
diperparah dengan keadaan nalar yang egois kemudian menghilangkan hubungan
interaksi harmonisme dalam bermasyarakat. Seseorang yang dianggap tidak sesuai
pemahamannya dianggap telah melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Kemudian, banyak orang yang berpengaruh menyeru kepada umat untuk kembali
kepada ajaran agama yang benar. Ia menganggap bahwa ia berkewajiban untuk
meluruskan ajaran agama yang bengkok dari akidah kehidupan. Sayangnya, ajaran
yang benar ini hanya berdasar atas pemahamannya mereka sendiri. Baginya, ajaran
sebagaimana dipahaminya sendirilah yang dianggap murni dan merupakan
representasi dari ajaran Islam yang benar dan sah. Jika hal seperti ini terus
berlanjut, maka tentunya perpecahan internal umat beragama tentunya akan
terbuka lebar.8
Bagi mereka golongan radikalis, sikap tanpa kompromi (intoleran), tidak
menghargai orang lain yang berbeda keyakinan serta pendapat, dan sikap keras
merupakan “kebenaran” yang mereka pilih. Jalan kekerasan juga kadang dilakukan
kaum ini. Mereka tidak sabar untuk memperbaiki keadaan dengan usaha pelan-
pelan seperti pendidikan dan penyadaran. Mereka memilih jalan kekerasan dan
tidak peduli akan akibat destruktif dari perbuatan yang mereka lakukan. Selain itu,
mereka juga melakukan kekerasan atas nama agama, padahal ia sendiri bukan
pemeluk agama yang baik.9

TEORI
A. Pemaknaan Teoritis Terhadap Radikalisme Agama
Pengertian Radikalisme secara bahasa berasal dari bahasa Inggris yaitu
radic yang berarti mengakar.10 Bahasa Inggris kata radical dapat bermakna
8
TASAMUH: JURNAL STUDI ISLAM Volume 10, Nomor 1, April 2018, pp. 149-187.
Muhammad Said — Dakwah Sebagai Ujung Tombak Penanganan Radikalisme Agama di Indonesia,
hlm. 154.
9
Eko Prasetyo, et.al., Memahami Wajah Para Pembela Tuhan (Yogyakarta: Inter Fidie, 2003 ),
hlm 24.
10
Jamhari dan Jajang Jahroni,. Ed, , Gerakan Salafi Radikal Di Indonesia , (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 38
yaitu ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra dan fundamental.
Sedangkan radicalise artinya suatu doktrin atau praktik penganut paham
radikal ekstrim atau golongan garis keras.11 kelompok Radikalisme merupakan
golongan dan sekelompok orang yang meyakini bahwa pemahaman,
keyakinan, aliran sekelompok orang tersebut saja yang paling benar. Sehingga
jika ada orang lain atau sekelompok orang lain yang berbeda pemahaman
dengan mereka, maka di anggap salah. Bahkan dalam dinamika
perkembangannya, kelompok radikal ini bahkan sesekali menggunakan cara
yang cukup ekstrim dalam mempertahankan dan mennyebarkan pendapat dan
pemahaman.12 Sementara Sartono Kartodirdjo mengartikan radikalisme
sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang
sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk
menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa
dan yang berkuasa.13
Radikalisme merupakan suatu gejala umum yang bisa terjadi dalam
suatu ruang lingkup bermasyarakat dengan berbagai motif beragam, baik
sosial politik, budaya, dan agama, yang di tandai dengan adanya beberapa
tindakan keras, ekstrim dan anarkis sebagai bentuk perlawanan dan penolakan
terhadap berbagai gejala yang dihadapi yang bertolak belakang dengan
pemahaman radikalsisme.14

B. Indikator Agama
Diskursus radikalisme agama yang dikemukakan oleh beberapa peneliti
dapat dilacak dari tulisan-tulisannya. yang dikemukakan oleh ahli antara lain:
a) Irwan Masduqi menerangkan wujud dari radikalisme keagamaan ditandai
dengan adanya enam indikator: pertama; sering mengklaim dan menganut
kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tidak sependapat
dengan pemahaman dan pendapat kelompok radikal. Klaim kebenaran
selalu muncul dari kalangan yang seakan-akan mereka adalah Nabi yang
11
Nuhrison M. Nuh, “Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan Islam Radikal di
Indonesia”, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, VIII (31) JuliSeptember 2009: 36.
12
Endang Turmudzi dan Riza Sihabudin (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI
Press, 2006), h. 131
13
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 38.
14
Mohammad Kosim, “Pesantren dan Wacana Radikalisme”, KARSA, IX (1) April 2006: h. 844.
tidak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal mereka hanya manusia
biasa. Klaim kebenaran tidak dapat dibenarkan karena manusia hanya
memiliki kebenaran yang relatif dan hanya Allah yang tahu kebenaran
absolut. Kelompok ini telah mencatut kewenangan Allah. Sikap yang
demikian dalam memperlakukan teks keagamaan menurut Abou el-Fadl
adalah sikap otoriter. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh penafsir teks
lalu dianggap itulah “kehendak Tuhan”. Menurutnya para tokoh agama
sekarang ini tidak lagi berbicara tentang Tuhan, melainkan berbicara “atas
nama Tuhan” atau bahkan menjadi “corong Tuhan” untuk menyampaikan
pesan-pesan moral di atas bumi. Hal ini cukup berbahaya karena ketika
terjadi perselingkuhan antara agama dan kekuasaan, maka yang muncul
kemudian adalah otoritarianisme atau kesewenang-wenangan pemimpin
dan penguasa.15
Kedua; radikalisme dapat menyulitkan umat Islam. Praktik keagamaan
yang cenderung berlebihan, perilaku keberagamaan yang lebih fokus pada
persoalan ibadah sunat dan mengesampingkan yang wajib. Bersemangat
dalam merespon shalawatan, pembacaan barzanji di masyarakat yang
dianggapnya bid’ah dan ibadah yang sesat, dibanding dengan
kepeduliannya dalam merespon kemiskinan masyarakat muslim. Ketiga;
mengabaikan konsep gradual dalam dakwah. Umat Islam yang masih awam
merasa ketakutan dan keresahan. Petujuk al-Qur’an dalam al-Baqarah/2:
85, sangat tegas bahwa Allah menghendaki hal-hal yang meringankan dan
tidak menghendaki hal-hal yang memberatkan umat-Nya, keempat; kasar
dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam berdakwah.
Ciri-ciri dakwah seperti ini sangat bertolakbelakang dengan kesantunan dan
kelembutan dakwah Nabi dalam (QS. 3:59) Dalam (QS. 6:25) Allah juga
menganjurkan umat Islam supaya berdakwah dengan cara yang santun dan
menghindari kata-kata kasar. Kelima, kelompok radikal mudah berburuk
sangka kepada orang lain di luar golongannya. Mereka senantiasa
memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya dan mengabaikan aspek
positifnya. Keenam; mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda
pendapat. Di masa klasik sikap seperti ini identik dengan golongan

15
Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman
Yasin (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), hlm. 16.
Khawarij, kemudian di masa kontemporer identik dengan Jamaah Takfir wa
al-Hijrah dan kelompok-kelompok puritan. Kelompok ini mengkafirkan
orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah yang menganut
demokrasi, mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan demokrasi,
mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan
mengkafirkan semua orang yang berbeda pandangan dengan mereka sebab
mereka yakin bahwa pendapat mereka adalah pendapat Allah.16
b) Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme Islam. Pertama,
menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan
individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang
dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa
mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika al-Qur’an dan
hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena
perhatian lebih terfokus pada teks al-Qur’an dan hadis, maka purifikasi ini
sangat berhatihati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya
Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena
khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi
Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi,
sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan
harus merujuk pada al-Qur’an dan hadis. Kelima, gerakan kelompok ini
sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh
karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan
kelompok lain, termasuk pemerintah.17
c) Horace M. Kallen yang dikutip Khamami bahwa radikalisasi ditandai
kecenderungan umum yaitu: Pertama, radikalisasi merupakan respon
terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respon tersebut
muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan.
Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau
nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan kondisi yang sedang ditolak. Kedua, radikalisasi tidak
berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti
16
Irwan Masduqi, Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah Pesantren (Jurnal
Pendidikan Islam, No 2 Vol 1, 2012), hlm. 3.
17
A.Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007), hlm. 63.
tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan
bahwa radikalisasi terkandung suatu program atau pandangan dunia (world
view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan
tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Ketiga, kuatnya
keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang
mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian
kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial,
keyakinan tentang kebenaran program atau fislosofi sering dikombinasikan
dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal
seperti kerakyatan atau kemanusiaan. Akan tetapi, kuatnya keyakinan ini
dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional yang menjurus pada
kekerasan.18

C. Strategi Membendung Radikalisme Agama


Deradikalisasi harus dilakukan dengan program yang komprehensif,
luas, jangka panjang, integral, dan integratif yang melibatkan semua elemen
komponen masyarakat, khususnya para ulama, umat Islam, organisasi
kemasyarakatan Islam dan didukung pemerintah.. Pelibatan semua unsur
menjadi sangat penting karena radikalisme dalam bentuk aksi-aksi teror dan
kekerasan akan berdampak negatif dan merugikan masyarakat dan negara.
Selain itu, deradikalisasi harus berorientasi pada kepentingan masyarakat dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Penyebaran paham radikalisme di Indonesia semakin masif, sistemik dan
sangat mengkhawatirkan. Penyebarannya menyasar pada beragam target
sasaran dan menggunakan metode yang yang cukup bervariasi. Sasaran yang
dimaksud adalah masyarakat umum, pelajar mahasiswa, dan kelompok
profesional. Masjid, mushalah, sekolah, madrasah, pesantren dan perguruan
tinggi yang diharapkan sebagai garda terdepan dalam menangkal faham
radikalisme, sekarang ini tidak lagi steril. Metode penyebarannya menjadi
semakin modern, baik media visual dan internet.

18
Khamami Zadda, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia
(Jakarta: Teraju, 2002), hlm.13.
Syaifuddin dalam penelitiannya menjelaskan dalam penelitiannya yang
berjudul Radikalisme di kalangan mahasiswa di Jogjakarta menghasilkan
narasi bahwa perguruan tinggi umum lebih mudah menjadi rekrutmen
gerakan-gerakan radikal, sementara perguruan tinggi berbasis keagamaan
dianggap lebih sulit. Kalau ternyatafaktanya menunjukkan bahwa gerakan
radikal juga sudah marak dan subur di kampus-kampus berbasis keagamaan,
maka ini dapat membuktikan dua hal. Pertama, telah terjadi perubahan di
dalam perguruan tinggi berbasis keagamaan itu sendiri. Kedua, telah terjadi
metamorfosa bentuk dan strategi gerakan di internal gerakan-gerakan
radikal.19
Pendekatan yang dilakukan BNPT sebagai acuan penanggulangan
penyebaran faham radikalisme di Indonesia sebagai berikut:
a) Hard Approach
Dilaksanakan dengan mendorong aparat penegak hukum (Polri,
Kejaksaan, dan Hakim) dengan didukung oleh TNI untuk melaksanakan
penegakan hukum secara transparan dan profesional. Teror harus
ditindak, tetapi dengan tetap menjunjung tinggi code of conduct ataupun
rule of engagement sehingga apa pun yang dilakukan dalam melawan
terorisme terbebas dari persoalan pro dan kontra sehingga mendapatkan
legalitas dan legitimasi. Hard approach selama ini tidak sepenuhnya
efektif dalam penanggulangan terorisme. Selain rugi karena hilangnya
rantai penghubung bila jumlah pelaku yang tertembak mati banyak, hal
ini juga menghambat informasi tentang sel dan organisasi teror itu.
Tembak mati teroris menyisakan duka dan dendam keluarga serta
komunitas yang ditinggalkan. Maka pendekatan keras harus dibarengi
sentuhan serta pencerahan agar dendam tidak berkelanjutan dan bahkan
menjadikan aparat pemerintah target pembalasan.
Penindakan teroris tidak boleh berhenti kepada pelaku, tetapi
dilanjutkan dengan upaya pendekatan terhadap keluarga serta
komunitasnya. Karena itu, muncul upaya agar sedapat mungkin tidak
menembak mati terduga pelaku terorisme, sepanjang tidak
membahayakan petugas/masyarakat dan kemudian menangkap hidup-

19
Saifuddin, “Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Sebuah Metamorfosa Baru” dalam Analisis
Jurnal Studi Keislaman, IAIN Raden Intan Lampung, Vol XI No 1 Juni 2011, hlm. 28-29.
hidup. Pendekatan keras masih diperlukan, tetapi harus dibatasi
penggunaannya hanya pada kondisi paling darurat. Sejumlah alternatif
dalam operasi di lapangan dapat ditempuh dan menjadi prosedur standar.
b) Soft Approach
Dilaksanakan oleh BNPT dengan melaksanakan program
deradikalisasi dan kontra radikalisasi. Deradikalisasi ditujukan pada
kelompok simpatisan, pendukung, inti dan militan yang dilakukan baik di
dalam maupun di luar lapas. Tujuan dari deradikalisasi agar kelompok
kelompok inti, militan simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-
cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta
memoderasi pahampaham radikal mereka sejalan dengan semangat
kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang
memperkuat NKRI.20 Dan Kontra radikalisasi yakni upaya penanaman
nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai-nilai nonkekerasan. Dalam
prosesnya strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun
non formal. Kontra radikalisasi diarahkan kepada masyarakat umum
melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh
masyarkat, tokoh adat. Tujuannya untuk meningkatkan daya tangkal
terhadap faham radikal terorisme.
Kedua pendekatan tersebut untuk mengatasi radikalisme, bersifat
pertama, preventif, Upaya yang bersifat preventif (pencegahan) antara
lain dilakukan melalui (1) peningkatan pengawasan dan pengamanan atas
senjata api, sistem transportasi, sarana publik, dan sistem komunikasi; (2)
pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas masyarakat yang terindikasi; dan
(3) kampanye anti terorisme melalui media massa. Kedua, preventif,
Upaya preemtif dilakukan dengan (1) moderasi ajaran-ajaran agama (dan
ideologi); (2) pelibatan organisasi masyarakat; (3) penyesuaian kebijakan
politik; dan (4) penetapan organisasi-organisasi yang diindikasi sebagai
kelompok radikal sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.
Ketiga, represif21 Adapun upaya represif dilakukan melalui (1)
pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan

20
Belmawa.ristekdikti.go.id. strategi-Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf.
21
Firmansyah, Hery. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Mimbar
Hukum 23 (2). Juni 2011. hlm. 389.
(2) melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang atau kelompok
radikal yang melakukan tindakan yang mengarah kepada radikalisme.

PEMBAHASAN
1. Upaya-upaya Pencegahan Lahirnya Faham Radikalisme di Indonesia
Fenomena masuknya faham radikalisme Islam ke indonesia tentu perlu
segera diambil langkah-langkah penanggulangan dan pencegahannya. Beberapa
upaya yang bisa ditempuh antara lain:
a. Memberikan penjelasan tentang Islam secara memadai. Misi ajaran Islam
yang sebenarnya sangat mulia dan luhur seringkali justru mengalami distorsi
akibat pemahaman yang keliru terhadap beberapa aspek ajaran Islam yang
berpotensi menimbulkan faham radikalisme. Beberapa di antaranya adalah:
1) Penjelasan tentang jihad. Jihad adalah konsep ajaran Islam yang paling
sering menimbulkan kontroversi di kalangan umat. Bagi kaum radikalis,
jihad selalu bermakna “qital” atau peperangan atau perjuangan dengan
mengangkat senjata. Sebenarnya makna jihad mempunyai arti yang
beragam, meskipun salah satu artinya perang melawan musuh Islam. Kata
jihad secara harfiah dan istilah mempunyai makna yang beragam. Dalam
Ensiklopedi Islam Indonesia misalnya, makna kata jihad diartikan: berbuat
sesuatu secara maksimal, atau mengorbankan segala kemampuan. Arti lain
dari kata jihad adalah berjuang/sungguhsungguh.22 Tetapi bila dilihat dari
sudut ilmu fiqh, jihad dapat dimaknai secara kontekstual sehingga bisa
memiliki pengertian yang berbeda-beda. Pemaknaan jihad yang berbeda-
beda tersebut mempunyai akibat hukum syariat yang berbeda dan kadang
bersinggungan dengan akidah.23 Sebagian ulama memaknai jihad sebagai
usaha “mengerahkan segala kemampuan yang ada atau sesuatu yang
dimiliki untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menentang
kebatilan dan kejelekan dengan mengharap ridla Allah.
2) Penjelasan tentang toleransi. Ajaran Islam sebenarnya sangat sarat dengan
nilai-nilai toleransi. Namun sayang, toleransi sering difahami secara
sempit sehingga tidak mampu menjadi lem perekat intra dan antar umat
22
Sjuhada Abduh dan Nahar Nahrawi, “Makna Jihad dan Respon Komunitas Muslim Serang Paska
Eksekusi Imam Samudra” dalam Jurnal Harmoni Vol. VIII No. 32, Oktober-Nopember 2009, hlm.
113-130
23
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan,1992), hlm. 110
beragama. Setidaknya, ungkapan Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al-
Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme,
bisa menjadi salah satu pijakan dalam menjelaskan toleransi dalam Islam.
3) Pengenalan tentang hubungan ajaran Islam dengan kearifan lokal Islam
yang datang di Arabia bukanlah Islam yang bebas dari relasi sejarah lokal
yang mengitarinya. Artinya, memahami Islam tidak bisa dicerabut dari
akar sosio-historis dimana Islam berada. Keberadaan Islam di Indonesia
juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosio-historis masyarakat
Indonesia yang juga telah memiliki kearifan lokal.
Dengan pemahaman seperti ini, Islam bisa diterima dan hidup secara
berdampingan dengan tradisi lokal yang sudah mengalami proses
Islamisasi. Pemahaman dan pengamalan ajaan Islam yang formal, puritan,
dan kering justeru kurang bisa menyentuh aspek terdalam dari spiritualitas
manusia muslim itu sendiri. Itulah mengapa, tidak ditemukan korelasi
antara ketaatan dalam menjalankan ibadah formal dengan sikap kasih
sayang terhadap semua makhluk Allah Swt.
b. Mengedepankan dialog dalam pembelajaran agama Islam. Pembelajaran
Agama Islam yang mengedepankan indoktrinasi faham tertentu dengan
mengesampingkan faham yang lain hanya akan membuat para siswa memiliki
sikap eksklusif yang pada gilirannya kurang menghargai keberadaan liyan
atau others.24 Sudah saatnya para guru PAI membekali dirinya dengan
pemahaman yang luas dan lintas madzhab sehingga mampu mememenuhi
kehausan spiritual siswa dan mahasiswa dengan pencerahan yang bersendikan
kedamaian dan kesejukan ajaran Islam. Pemantauan terhadap kegiatan dan
materi mentoring keagamaan. Keberadaan kegiatan mentoring agama Islam
ini sesungguhnya sangat membantu tercapainya tujuan pendidikan agama
Islam. Namun jika guru PAI tidak melakukan pendampingan dan monitoring,
dikhawatirkan terjadi pembelokan kegiatan mentoring. Bagi tenaga pengajar,
sudah seharusnya mereka selalu berkonsultasi dengan pihaksatu dengan
lainnya yang dipandang memiliki wawasan keislaman moderat agar tidak
terbawa arus pada pemahaman Islam yang sarat dengan muatan radikalisme.
c. Pengenalan dan penerapan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural
pada dasarnya adalah konsep dan praktek pendidikan yang mengedepankan
24
Zuhairi Misrawi, Al-quran Kitab Toleransi (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 75
nilai-nilai persamaan tanpa melihat perbedaan latar belakang budaya, sosial-
ekonomi, etnis, agama, gender, dan lain-lain. Semua orang memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh hak pendidikan. Dengan
penerapan pendidikan multikultural, diharapkan semangat eksklusif dan
merasa benar sendiri sebagai penyebab terjadinya konflik dengan liyan atau
others bisa dihindari. Seorang multukulturalis sejati adalah pribadi yang
selalu bersikap toleran, menghargai keberadaan liyan tanpa dia sendiri
kehilangan identitasnya. Kalau tujuan akhir pendidikan adalah perubahan
perilaku dansikap serta kualitas seseorang, maka pengajaran harus
berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memberi informasi atau
pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, sehingga akan mendorongnya
dapat mengambil keputusan untuk berubah. Pendidikan agama Islam, dengan
demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada
agamanya, juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan
solidaritas terhadap sesama. Dengan demikian, dalam hal ini, semua materi
buku-buku yang diajarkannya tentunya harus menyentuh tentang isu
pluralitas. Dari sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya untuk
menyusun bentuk kurikulum pendidikan agama berbasis pluralisme agama.25
2. Respon Gejala Paham Radikal Islam
Radikal merupakan bukan muncul dari Islam justru dalam Islam radikal
tidak diajarkan sama sekali, Islam adalah agama yang damai, agama
Rahmatalill`alamiin. Radikalisme Islam pada zaman dulu banyak
dilatarbelaangi oleh adanya kelemahan umat Islam baik bidang aqidah, syariah
maupun perilaku, sehingga radikalisme Islam merupakan ekspresi dari ta did
(pembaruan), islah (perbakan) dan ihad (perang) yang dimaksudkan untuk
mengembalikan muslim pada ruh Islam yang sebenarnya.
a) Melalui Media Sosial (NU Garis Lucu)
Berdasarkan Nu Garis Lucu meruakan salah satu akun media sosial
yang di pawangi oleh beberapa kader NU yang moderat, maksudnya kader
yang tidak fanatic terhadap ke-NU-annya. Akun ini berisikan candaan
maupun humor-humor lucu sekaligus mendidik supaya kaum muda ebih
bisa bersikap toleran. Lewat tulisan-tulisan (postingan instagram), akun

25
Tim Penyusun DITPAIS Kemenag, Panduan Model Kurikulum PAI Berbasis Multikultural
(Jakarta: Ditjen Pendis, 2010), hlm. 25
ini telah termasuk kedalam salah satu bentuk upaya menaggulangan
faham radikal yang tengah menggelora di ruang publik Indonesia, pada
tahun 2018 bisa saja hingga sekarang.26
Adanya NU Garis Lucu telah mampu memnstimulus adanya kaum
akun media sosial lain yang memiliki konten humor maupun kutipan-
kutikan dari beberapa tokoh, yang isinya mengajarkan untuk hidup damai
terutama dengan sudara muslim yang ada di Indonesia. Akun tersebut
terinspirasi dari metode dakwah Gus Dur dalai menyikpai suatu masalah
yaitu dengan humor yang mendidik. Menurut admin dari akun tersebut,
untuk saat ini upaya dakwah melalui humor atau candaan lebih mengena
serta lebih mudah untuk disiplin muatan-muatan edukasi yang bermanfaat.
Beberaa contoh tersebut menunjukkan bahwa NUGL ini mampu
untuk ikut dalai upaya penanggulangan faham radikal, seperti postingan
akun tersebut ketika ditanya terkait bendera HTI dan bendera tauhid,
“bedanya bendera HTI sama bendera tauhid apa? Terus yang ngejiplak
siapa?” kemudian admin menjawab dengan jenakanya “nBendera HTI
disablon, kalau bendera tauhid ditulis tangan”.
“ Milih calon presiden yang 5 tahunan saja kalian kelahi, bagaimana
milih calon istri yang bakal menemanimu sampai mati? Woalah So,
Ferguso!”
“ Orang NU itu main sosmed buat hiburan, sebab di dunia nyata
mereka sudah sibuk tahlilan, wiridan, manqiban, sama nekani buwuhan”
“ Jika angin rebut, berpolitiklah, jika ingin tenang, beragamalah.
Ojo bingung karepe dewe.”
Beberapa kutipan humor tersebut adalah sebagian saja, dan masih
banyak lagi bentuk postingan-postingan yang mengandung edukasi untuk
selalu ttoleransi dan berusaha menjadi muslim yang moderat (toleransi,
tidak kaku, dan bisa menghargai multikulturalisme).
b) Melalui Platform Youtube (Jeda Nulis)
c) Melalui Buku (Tuhan ada Di Hatimu)

Kesimpulan
26
Hasbullah Alfian Fadli. Membaca NU Garis Lucu (NUGL) Sebagai Upaya Pencegahan Faham
Radikalisme di Kalangan Remaja Indonesia. E-ISSN : 2548-6896, P-ISSN : 2597-4858. Dinamika Vol.
5, No. 2, Desember 2020.
Referensi

Begum A’isyah Bawany, (1994), Mengenal Islam Selayang Pandang, terj. Machnun
Husein, Jakarta: Bumi Aksara.
Konsep tentang menyeru, mengajak, menyempaikan, dan mempengaruhi tersebut
yang kemudian dinamakan dengan dakwah. Lihat pengertian dakwah Awaludin
Pimay,(2006), Metodologi Dakwah: Kajian Teoritis dari Khazanah al-Qur’an,
Semarang: Rasail.
Natsir,Mohammad, (2000), Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Da’wah.
Muhammad Said — Dakwah Sebagai Ujung Tombak Penanganan Radikalisme
Agama di Indonesia TASAMUH: JURNAL STUDI ISLAM Volume 10, Nomor
1, April 2018.
M. Zaki Mubarak, “Dari NII ke ISIS, Transformasi Ideologi dan gerakan dalam Islam
Radikal di Indonesia Kontemporer”, Episteme, Vol. 10 No. 1, 2015. Lihat juga
Martin Van Bruinessen “Genealogies of Islamic radicalism in Post-Suharto
Indonesia” South East Asia Research, Vol. 10 No. 2, 2002.
Syu’aibi, Ali, (2004), Meluruskan Radikalisme Islam. Ciputat: Pustaka Azhary.
Endang Turmudzi, Riza Sihbudi (eds.),(2005), Islam dan Radikalisme di
Indonesia, Jakarta: Lipi press.
TASAMUH: JURNAL STUDI ISLAM Volume 10, Nomor 1, April 2018, pp.
149-187. Muhammad Said — Dakwah Sebagai Ujung Tombak Penanganan
Radikalisme Agama di Indonesia.
Eko Prasetyo, Eko et.al. (2003), Memahami Wajah Para Pembela Tuhan,
Yogyakarta: Inter Fidie.
Jamhari dan Jajang Jahroni,. Ed, (2004) , Gerakan Salafi Radikal Di Indonesia ,
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Nuhrison M. Nuh, “Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan Islam
Radikal di Indonesia”, HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius, VIII
(31) Juli September 2009: 36.
Endang Turmudzi dan Riza Sihabudin (ed.) (2006), Islam dan Radikalisme di
Indonesia, Jakarta: LIPI Press.
Sartono Kartodirdjo,(1985), Ratu Adil , Jakarta: Sinar Harapan.
Mohammad Kosim, “Pesantren dan Wacana Radikalisme”, KARSA, IX (1)
April 2006: h. 844

Abou el-Fadl, (2004), Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj.
R. Cecep Lukman Yasin , Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Irwan Masduqi, Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah Pesantren
(Jurnal Pendidikan Islam, No 2 Vol 1, 2012)
A.Rubaidi, (2007), Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme
Islam di Indonesia ,Yogyakarta: Logung Pustaka.
Zadda, Khamami, (2002), Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis
Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju.
Saifuddin, “Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Sebuah Metamorfosa Baru” dalam
Analisis Jurnal Studi Keislaman, IAIN Raden Intan Lampung, Vol XI No 1 Juni
2011, hlm. 28-29.
Belmawa.ristekdikti.go.id. strategi-Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf.
Firmansyah, Hery. (2011) Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di
Indonesia. Mimbar Hukum 23 (2).

Anda mungkin juga menyukai