(Bagian Kedua)
Artikel · Ulasan - Bisnis Umum
Lama Baca : 2 Menit
“Poverty alleviation will become a business development task.” Demikian ramalan profesor
manajemen terkemuka, C.K. Prahalad, ketika merumuskan pendekatan The Fortune at the
Bottom of the Pyramid 16 tahun lampau. Tak banyak orang yang setuju ketika itu. Sebagian
besar orang berpikir bahwa pengentasan kelompok miskin adalah tanggung jawab
pemerintah, lembaga donor, atas organisasi masyarakat sipil. Bisnis bisa membantu, tetapi
dianggap hanya bisa melakukannya dengan filantropi.
Tetapi, sebagaimana yang dicatat dalam sejarah, pemikiran Prahalad kemudian menjadi
sangat popular. Memang hingga sekarang sebagian besar perusahaan masih membatasi diri
dalam berkontribusi mengatasi kemiskinan dengan upaya filantropis serta investasi sosial.
Namun, tidak sedikit yang kemudian sangat terinspirasi dengan pemikiran Prahalad—yaitu
menggunakan kekuatan model bisnis untuk mengatasi kemiskinan.
Cara pandang pertama melihat bahwa kemiskinan adalah deprivasi kapabilitas yang bersifat
multidimensional. Kondisi kemiskinan tidaklah dipandang semata-mata sebagai kekurangan
secara ekonomi belaka. Dimensi kemiskinan itu kompleks, dan sangat kontekstual di setiap
kelompok miskin yang hendak dibantu, sehingga perusahaan tidak bersifat gebyah
uyah dalam pendekatan memasukkan kelompok miskin ke dalam rantai pasoknya.
Perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan cara pandang ini juga melihat bahwa kapabilitas
manusia adalah kebutuhan dasar, sehingga mereka akan memanfaatkan beragam cara—
bukan saja mekanisme pasar dalam rantai pasok bisnis dan ketenagakerjaan—untuk
membantu kelompok miskin.
Kedua, kemiskinan dipandang sebagai deprivasi kapabilitas ekonomi—terutama dalam
sumber-sumber pendapatan, konsumsi dan kemampuan akumulasi aset. Perusahaan yang
meyakini kemiskinan dalam cara pandang ini melihat kelompok miskin bukanlah mereka yang
kekurangan dalam karakteristik individu tertentu, melainkan sebagai kelompok yang tidak
diuntungkan karena sumberdaya ekonominya menyulitkan mereka mengubah keadaan yang
sesungguhnya mereka inginkan. Karenanya, perusahaan kemudian melihat dirinya sebagai
pemungkin (enabler) kelompok miskin untuk mendapatkan peluang ekonomi seperti
pendapatan dan peluang bisnis yang lebih tinggi. Memasukkan kelompok miskin ke dalam
rantai pasok diharapkan secara ‘otomatis’ akan menyelesaikan masalah kemiskinan.
Terakhir, terdapat juga cara pandang bahwa kemiskinan adalah benar-benar kondisi individu,
yang terutama ditandai dengan sikap pasif, ignoransi, dan kekurangan motivasi. Perusahaan
yang memiliki keyakinan ini yakin bahwa sebetulnya kelompok miskin bisa dibantu dengan
mengatasi kekurangan-kekurangan individu itu, terutama dengan membuat mereka mau
bekerja lebih keras dan mengambil keputusan dengan lebih cerdas. Perusahaan biasanya
memilih untuk membantu individu-individu miskin yang terlihat mau bekerja lebih keras
dibandingkan yang lain, meningkatkan pengetahuan mereka, dan menjadikan mereka contoh
untuk yang lain.
Tulisan berikut akan membahas bagaimana perusahaan memanfaatkan model bisnis
berkelanjutan untuk memastikan penciptaan nilai bersama dengan kelompok-kelompok
miskin yang masuk ke dalam rantai pasoknya.