Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam typhoid (tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang
mengenai saluran cerna yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thyphosa. Demam
thypoid akan sangat berbahaya jika tidak segara di tangani secara baik dan benar, bahkan
menyebabkan kematian. Prognosis menjadi tidak baik apabila terdapat gambaran klinik
yang berat, seperti demam tinggi (hiperpireksia), febris kontinua, kesadaran sangat
menurun (sopor, koma, atau delirium), terdapat komplikasi yang berat misalnya
dehidrasi dan asidosis, perforasi (Elisabeth Purba et al. 2016). Demam tifoid masih
merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara sedang berkembang.
Menurut dataWorld Health Organization (WHO) tahun 2013 memperkirakan
angka kejadian di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang
meninggal karena penyakit ini dan 70% kematiannya terjadi di Asia. Diperkirakan angka
kejadian dari 150/100.000 per tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000 per tahun di
Asia. Dimana data menunjukkan bahwa 80% kasus typhoid di dunia berasal dari
Banglades, Cina, India, Laos, Nepal, Pakistan, dan Indonesia. Di Indonesia, penyakit
demam thypoid bersifat endemic (penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang
waktu walaupun dengan angka kejadian yang kecil). Prevalensi nasional untuk demam
thypoid (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan) adalah 1,60%. Sebanyak 14 provinsi
mempunyai prevalensi demam thypoid diatas prevalensi nasional yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam (2,96%), Bengkulu (1,60%), Jawa Barat (2,14%), Jawa Tengah (1,61%),
Banten (2,24%), NTB (1,93%), NTT (2,33%), Kalimantan Selatan (1,95%), Kalimantan
Timur (1,80%), Sulawesi Selatan (1,80%), Sulawesi Tengah (1,65%), Gorontalo
(2,25%), Papua Barat (2,39%), dan Papua (2,11%). Prevalensi demam thypoid banyak
ditemukan pada kelompok umur sekolah (5-24 tahun) yaitu 1,9%, dan terendah pada bayi
yaitu 0,8% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013).
Berdasarkan data yang didapat di Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu tahun ,
terdapat yang menderita penyakit demam typhoid. Sedangkan berdasarkan hasil Record
RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu tahun 2020 jumlah pasien yang menderita
typhoid sebanyak ? orang. Dari bulan januari-oktober 2021 pasien typoid RSUD Harapan
dan Doa Kota Bengkulu sebanyak ? orang.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan pemahaman kepada penulis agar dapat berpikir secara logis dan
ilmiah dalam menguraikan dan membahas asuhan keperawatan pada Tn.S dengan
demam typhoid di Ruang Mina RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pada Tn.S dengan demam typhoid di Ruang Mina RSUD
Harapan dan Doa Kota Bengkulu.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn.S dengan demam
typhoid di Ruang Mina RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu.
c. Merumuskan intervensi keperawatan pada Tn.S dengan demam typhoid di
Ruang Mina RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu.
d. Melakukan implementasi keperawatan pada Tn.S dengan demam typhoid di
Ruang Mina RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu.
e. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada Tn.S dengan demam typhoid di
Ruang Mina RSUD Harapan dan Doa Kota Bengkulu.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi Salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi
oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman Salmonella(Smeltzer, 2014).
Menurut Harrison typhoid adalah penyakit infeksi saluran akut yang biasanya berada
pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan
kesadaran (Harrison, 2010).
Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus, yang disebabkan oleh
salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, salmonella paratyphi
C, paratifoid biasanya lebih ringan, dengan gambaran klinis sama. (Widodo Djoko,
2009). Sedangkan menurut simanjuntak demam thypoid merupakan suatu penyakit
infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas
di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan
makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C.H, 2009).

B. Etiologi
Penyakit tipes Thypus abdominalis merupakan penyakit yang ditularkan melalui
makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhosa, (food and water
borne disease). Seseorang yang sering menderita penyakit tifus menandakan bahwa dia
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri ini. Salmonella
thyposa sebagai suatu spesies, termasuk dalam kingdom Bakteria, Phylum
Proteobakteria, Classis Gamma proteobakteria, Ordo Enterobakteriales, Familia
Enterobakteriakceae, Genus Salmonella. Salmonella thyposa adalah bakteri gram
negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekurang
kurangnya tiga macam antigen yaitu: antigen 0 (somatik, terdiri dari zat komplek
lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1 (hyalin, protein membrane).
Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam anigen
tersebut (Zulkhoni, 2011).
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah memenuhi
kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh
penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim
disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).

C. Manifestasi Klinis
Menurut Ngastiyah (2012) Gejala klinis demam typhoid pada anak biasanya lebih
ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Selama inkubasi mungkin di temukan
gejala prodomal perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:
1. Demam
a. Minggu I
Dalam minggu pertama gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, anoreksia, mual, muntah, diare,
perasaan tidk enak di perut, batuk. Pada pemeriksaan fisiknya hanya di dapatkan
suhu badan meningkat.
b. Minggu II
Dalam minggu kedua gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardi
relative, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor),
hepatomegali, splenomegaly, meteroismus, gangguan mental berupa salmonella,
stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.
c. Minggu III
Dalam minggu ke tiga suhu badan berangsur angsur menurun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati
dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi,
akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi stupor, koma atau gelisah.
D. Patofisiologi
Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F
yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan
melalui Feses. Yang paling menojol yaitu lewat mulut manusia yang baru terinfeksi
selanjutnya menuju lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung
dan sebagian lagi lolos masuk ke usus halus bagian distal (usus bisa terjadi iritasi) dan
mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan darah mengandung bakteri
(bakterimia) primer, selanjutnya melalui aliran darah dan jaringan limpoid plaque
menuju limfa dan hati. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu
masuk ke aliran darah sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa
usus. Tukak dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus. Perdarahan
menimbulkan panas dan suhu tubuh dengan demikian akan meningkat.sehingga beresiko
kekurangan cairan tubuh.Jika kondisi tubuh dijaga tetap baik, akan terbentuk zat
kekebalan atau antibodi. Dalam keadaan seperti ini, kuman typhus akan mati dan
penderita berangsurangsur sembuh (Zulkoni.2011).
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung
dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W.,
2010).

E. Pathway

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Suryadi (2006) pemeriksaan pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia
dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadangkadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor:
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain,
hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan.
Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada
saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap Salmonella thypii terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan
darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga
biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella thypii terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh
Salmonella thypii, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi agglutinin
dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap
antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi titernya,
semakin besar kemungkinan infeksi ini. Uji Widal ini dilakukan untuk deteksi
antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji ini terjadi suatu reaksi aglutinasi
antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid (Sudoyo A.W., 2010).
5. Pemeriksaan urin
Didapatkan protein urin ringan (<2 gr/liter) juga di dapatkan peningkatan
leukosit pada urin.
6. Pemeriksaan feses
Didapatkan lendir dan darah, dicurigai akan adanya perdarahan usus dan perforasi.
7. Pemeriksaan bakteriologis
Untuk identifikasi kuman salmonella pada biakan darah tinja, urin, cairan empedu,
atau sumsum tulang.
8. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat
demam typoid. (Muttaqin & Sari, 2013).
9. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada pemeriksaan kultur sumsum tilang, biakan salmonella typhi dapat tetap positif
walaupun setelah pemberian antibiotikserta menunjukkan gambaran hiperaktif
sumsum tulang. (Suriadi. 2012).

G. Komplikasi
Komplikasi demam thypoid dapat dibagi dalam 2 bagian menurut Rampengan (2008),
yaitu:
1. Komplikasi pada usus halus
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. peritonitis
2. Komplikasi diluar usus halus
a. Bronkitis
b. Bronkopneumonia
c. Ensepalopati
d. Kolesistitis
e. Meningitis
f. Miokarditis
g. Karier kronik

H. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
1. Perawatan
Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi
dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurang lebih 14 hari. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran yang menurun,
posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk menghindari
komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu
di perhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2. Diet
Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak banyak serat.
3. Obat
Obat-obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah:
a. Kloramfenikol
Menurut Damin Sumardjo (2009), kloramfenikol atau kloramisetin adalah
antibiotik yang mempunyai spektrum luas, berasal dai jamur Streptomyces
venezuelae. Dapat digunakan untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh
beberapa bakteri gram posistif dan bakteri gram negatif. Kloramfenikol dapat
diberikan secara oral. Rektal atau dalam bentuk salep. Efek samping
penggunaan antibiotik kloramfenikol yang terlalu lama dan dengan dosis yang
berlebihan adalah anemia aplastik. Dosis pada anak : 25 – 50 mg/kg BB/hari per
oral atau 75 mg/kg BB/hari secara intravena dalam empat dosis yang sama.
b. Thiamfenikol
Menurut Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja (2007, hal: 86), Thiamfenikol
(Urfamycin) adalah derivat p-metilsulfonil (SO2CH3) dengan spektrum kerja
dan sifat yang mirip kloramfenikol, tetapi kegiatannya agak lebih ringan. Dosis
pada anak: 20-30 mg/kg BB/hari.
c. Ko-trimoksazol
Suatu kombinasi dari trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP dan 50 mg
SMX/kg/24 jam). Trimetoprim memiliki daya kerja antibakteriil yang
merupakan sulfonamida dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase.
Efek samping yang ditimbulkan adalah kerusakan parah pada sel – sel darah
antara lain agranulositosis dan anemia hemolitis, terutama pada penderita
defisiensi glukosa-6- fosfodehidrogenase. efek samping lainnya adalah reaksi
alergi antara lain urticaria, fotosensitasi dan sindrom Stevens Johnson, sejenis
eritema multiform dengan risiko kematian tinggi terutama pada anakanak.
Kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 6 bulan. Dosis
pada anak yaitu trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP dan 50 mg
SMX/kg/24 jam, secara oral dalam dua dosis). Pengobatan dengan dosis tepat
harus dilanjutkan minimal 5-7 hari untuk menghindarkan gagalnya terapi dan
cepatnya timbul resistensi, (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007, hal:140).
d. Ampisilin dan Amoksilin Ampisilin: Penbritin, Ultrapen, Binotal.
Ampisilin efektif terhadap E.coli, H.Inflienzae, Salmonella, dan beberapa suku
Proteus. Efek samping, dibandingkan dengan perivat penisilin lain, ampisilin
lebih sering menimbulkan gangguan lambung usus yang mungkin ada kaitannya
dengan penyerapannya yang kurang baik. Begitu pula reaksi alergi kulit
(rash,ruam) dapat terjadi. Dosis ampisilin pada anak (200mg/kg/24 jam, secara
intravena dalam empat sampai enam dosis). Dosis amoksilin pada anak (100
mg/kg/24 jam, secara oral dalam tiga dosis), (Behrman Klirgman Arvin, 2000,
hal:942).
Secara fisik penatalaksanaannya antara lain:
1. Mengawasi kondisi klien dengan: pengukuran suhu secara berkala setiap 4-6 jam.
Perhatikan apakah tidur gelisah, sering terkejut, atau mengigau. Perhatikan pula
apakah mata cenderung melirik keatas, atau apakah mengalami kejang Demam yang
disertai kejang yang terlalu lama akan berbahaya bagi perkembangan otak, karena
oksigen tidak mampu mencapai otak. Terputusnya sulai oksigen ke otak akan
berakibat rusaknya sel otak. Dalam kedaan demikian, cacat seumur hidup dapat
terjadi berupa rusaknya intelektual tertentu.
2. Buka pakaian dan selimut yang berlebihan.
3. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan.
4. Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya suplai oksigen ke otak yang
akan berakibat rusaknya sel-sel otak.
5. Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak-banyaknya. Minuman yang
diberikan dapat berupa air putih, susu, air buah atau air teh. Tujuannya agar cairan
tubuh yang menguap akibat naiknya suhu tubuh memperoleh gantinya.
6. Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang.
7. Kompres dengan air hangat pada dahi, ketiak, dan lipatan Tujuannya untuk
menurunkan suhu tubuh.

I. Pengkajian Keperawatan
Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang tercemar
oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang ditularkan melalui
makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat bila klien makan tidak
teratur. Faktor predisposisinya adalah minum air mentah, makan makanan yang tidak
bersih dan pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari wc dan
menyiapkan makanan (Abdi, 2008).
1. Pengumpulan data
a. Identitas klien
Demam typhoid umumnya terjadi pada kelompok umur 5 – 30 tahun. Lakilaki
sama dengan wanita, jarang terjadi pada umur di bawah 2 tahun atau diatas 60
tahun (Mutaqin & sari, 2011).
b. Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turunturun,
nyeri perut, pusing / nyeri kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta
penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam
tubuh.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit demam typhoid.
e. Riwayat penyakit keluarga
Adanya keluarga pernah menderita demam typhoid, dan penyakit turun
menurun.
f. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme Klien akan mengalami penurunan nafsu
makan karena mual dan muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit
bahkan tidak makan sama sekali.
2) Pola eliminasi Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring
lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna
urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam thypoid terjadi
peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa
haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
3) Pola aktivitas dan latihan Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah
baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien
dibantu.
4) Pola tidur dan istirahat Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan
peningkatan suhu tubuh.
5) Pola persepsi dan konsep diri Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua
terhadap keadaan penyakit anaknya.
6) Pola sensori dan kognitif Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran
dan penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat
suatu waham pada klien.
7) Pola hubungan dan peran Hubungan dengan orang lain terganggu
sehubungan klien di rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest total.
8) Pola penanggulangan stress Biasanya orang tua akan nampak cemas.
g. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum dan tingkat kesadaran.
Pada fase awal penyakit biasanya tidak didapatkan adanya perubahan pada
tingkat kesadaran. Pada fase lanjut secara umum pasien terlihat sakit berat
dan sering terjadi penurunan tingkat kesadaran (apatis delirium).
2) Tanda-tanda vital
Suhu : Pada fase 7-14 hari didapatkan suhu tubuh meningkat 39- 41̊C pada
malam hari dan biasanya turun pada pagi hari. Nadi : pada pemeriksaan
nadi ditemukan penurunan frekuensi nadi (bradikardi relatif). Pernafasan :
Meningkat Tekanan darah : Cenderung menurun
3) B1 (Breathing)
Sistem pernafasan biasanya tidak ditemukan adanya kelainan, tetapi akan
mengalami perubahan jika terjadi respon akut dan gejala batuk kering. Pada
beberapa kasus berat bisa didapat adanya komplikasitanda dan gejala
pneumonia.
4) B2 (Blood)
Penurunan tekanan darah, keringat dingin, dan diaphoresis sering
didapatkan pada minggu pertama. Kulit pucat dan akral dingin berhubungan
dengan penurunan kadar hemoglobin. Pada minggu ketiga respon toksi
sistemik dapat mencapai otot jantung dan terjadi miokarditis dengan
manifestasi penurunan curah jantung dengan tanda denyut nadi lemah, nyeri
dada, dan kelemahan fisik.
5) B3 (Brain)
Pada pasien dengan dehidrasi berat akan terjadi penurunan perfusi serebral
dengan manifestasi sakit kepala, perasaan lesu, gangguan mental seperti
halusinasi dan delirium. Pada beberapa pasien bisa di dapatkan kejang
umum yang merupakan respon terlibatnya system saraf pusat oleh infeksi S.
Typhi. Didapatkan icterus pada sklera terjadi pada kondisi berat.
6) B4 (Blader)
Pada kondisi berat akan didapatkan penurunan urin output respon dari
penurunan curah jantung.
7) B5 (Bowel)
a) Inspeksi :
 Lidah kotor berselaput putih dan tepi hiperemis disertai
mistomatitis. Tanda ini jelas mulai Nampak pada minggu kedua
berhubungan dengan infeksi sistemik dan endotoksin kuman.
 Sering muntah
 Perut kembung
 Distensi abdomen
b) Auskultasi
Didapatkan penurunan bising usus kurang dari 5 kali per menit pada
minggu pertama dan terjadi kontipasi, serta selanjutnya meningkat
akibat diare.
c) Perkusi
Didapatkan suara timpani abdomen akibat kembung.
d) Palpasi
 Hepatomegaly dan splenomegaly. Pembesaran hati dan linfa
mengindikasikan infeksi yang mulai terjadi pada minggu kedua.
 Nyeri tekan abdomen merupaan tanda terjadinya perforasi dan
peritonitis.
8) B6 (Bone)
Respon sistemik akan menyebabkan maise. Kelemahan fisik umum dan
didapatkan kram otot ekstermitas. Pemeriksaan integument sering
didapatkan kulit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam, dan
terpenting sering didapatkan tanda roseola (bitnik merah pada leher,
punggung dan paha). Roseola merupakan suatu nodul kecil sedikit
menonjol dengan diameter 2-4 mm berwarna merah, pucat, serta hilang
pada penekanan, lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Roseola ini merupakan emboli kuman dimana didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di perut, dada, dan
terkadang bokong maupun bagian fleksor dari lengan atas (Muttaqin dan
sari, 2011).
h. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat.Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah
tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup
tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi
dugaan kuat diagnosis typoid.
2) SGOT, SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan
khusus.
3) Uji Widal
Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu ke depan, apakah ada
kenaikan titernya. Jika ada maka dinyatakan (+).Jika 1x pemeriksaan
langsung 1/320 atau 1/640,langsung dinyatakan (+) pada pasien dengan
gejala khas.

J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan adanya abses ditandai dengan adanya
sikap protektif (SDKI 0077. Halaman 172).
2. Defisit perawatan diri mandi, berpakaian dan toileting berhubungan dengan
kelemahan fisik ditandai dengan pasien menolak melakukan perawatan diri,
dan minat yang kurang (SDKI 0108. Halaman: 238).
3. Defisit Pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi tentang
perawatan diri ditandai dengan sikap yang apatis (SDKI 0110. Halaman : 244).
K. Rencana Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai