Oleh:
LEVINA DIAN ANDRIANIS
(NIM. 14401.15.16018)
A. DEFINISI
Trauma kepala atau Head Trauma digambarkan sebagai trauma yang mengenai
otak yang dapat mengakibatkan perubahan pada fisik, intelektual, emosional, sosial,
atau vokasional (Fritzell et al, 2001).
Cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial
(Smeltzer,2000).
B. ETIOLOGI
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala antara lain:
a. Kecelakaan lalu lintas (penyebab terbanyak),
b. pertengkaran,
c. jatuh,
d. kecelakaan olahraga,
e. tindakan criminal
C. MANIFESTASI KLINIS
Penurunan kesadaran
Keabnormalan pada sistem pernafasan
Penurunan reflek pupil, reflek kornea
Penurunan fungsi neurologis secara cepat
Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan darah,
bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi)
Pusing, vertigo
Mual dan muntah
Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisik
Amnesia
Kejang
D. ANATOMI FISIOLOGI
E. PATOFISIOLOGI
Kerusakan akibat cidera otak tidak seluruhnya terjadi pada saat trauma itu
terjadi. Berdasarkan waktunya, kerusakan akibat trauma otak dibagi menjadi
kerusakan primer, yaitu efek yang muncul beberapa saat setelah kejadian seperti
kontusio, perdarahan, memar atau lain sebagainya. Tipe kedua adalah kerusakan
sekunder,yaitu kerusakan pada otak yang terjadi beberapa jam atau hari setelah
kejadian (Smeltzer, 2000). Merupakan tahap lanjut dari kerusakan primer dan timbul
karena kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai seperti meluasnya
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron lanjut, iskemia, atau hipertermi.
Kerusakan sekunder ini sering terjadi akibat ketidakefektifan pemberian intervensi
oleh petugas kesehatan. Kerusakan pada otak berbeda dengan kerusakan pada organ-
organ lain. Pada otak, dimana dibatasi oleh tulang tengkorak yang keras, jika terjadi
memar atau perdarahan akan mempengaruhi jumlah cairan yang berada dalam tulang
tengkorak. Oleh karena tulang tengkorak yang tidak dapat mengembang, sebagai
akibatnya perdarahan yang mengalir akan mendesak tulang tengkorak ke dalam(ke
jaringan otak). Jika hal ini terus dibiarkan maka jumlah cairan dalam tulang
tengkorak akan meningkat dan akan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial.
Tahap selanjutnya setelah terjadi PTIK adalah terjadinya gangguan pada aliran darah
menuju otak. Peningkatan tekanan ini akan menurunkan aliran darah ke otak sehingga
jaringan otak mengalami hipoksia dan terjadilah iskemia. Pada keadaan hipoksia,
otak akan melakukan metabolisme anaerob untuk memenuhi kebutuhan energy sel
nya. Metabolisme anaerob menghasilkan asam laktat. Herniasi otak terjadi setelah
proses iskemia berlangsung.
F. PATHWAY
Cidera kepala TIK - oedem
- hematom
Respon biologi Hypoxemia
Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan sel otak
MK: ketidakseimbangan
Asam laktat tek. Hidrostatik nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
G. KLASIFIKASI
Berdasarkan jenis luka, cidera otak dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Cidera kepala tertutup: biasa disebut sebagai blunt trauma terjadi apabila
benturan hebat pada objek yang keras atau benda yang bergerak dengan
kecepatan tinggi menabrak kepala. Lapisan dura masih utuh, tidak ada bagian
otak yang muncul keluar.
b. Cidera kepala terbuka: tulang tengkorak terbuka, menyebabkan isi kepala
nampak dari luar seperti skull, meningens, atau jaringan otak termasuk dura.
Tereksposenya isi kepala ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Berdasarkan nilai keparahan (Mansjoer et all, 2000):
a. Cidera kepala ringan (kelompok resiko rendah): GCS 15 (sadar penuh, atentif
dan orientatif, tidak ada kehilangan kesadaran, pasien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, pasien dapat menderita abrasi, laserasi dan hematoma pada
kulit kepala.
b. Cidera otak sedang (kelompok resiko sedang): GCS 9-14, amnesia pasca
trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea), kejang.
c. Cidera otak berat (kelompok resiko berat): GCS 3-8, penurunan kesadaran
secara progresif, tanda neurologis fokal, teraba fraktur depresi kranium.
Jenis cidera otak menurut Fritzell et al (2001) :
a. Concussion: benturan pada otak yang cukup keras dan mampu membuat
jaringan otak mengenai tulang tengkorak namun tidak cukup kuat untuk
menyebabkan memar pada jaringan otak atau penurunan keasadaran yang
menetap. Contohnya seperti ketika kita membentur tembok atau benda lain, sesaat
kemudian kita akan merasa kepala berputar dan diatasnya ada burung-burung
emprit yang mengelilingi kepala kita, dan beberapa saat setelah itu kita akan
kembali sadar. Recovery time 24-48 jam. Gejala: penurunan kesadaran dalam
waktu singkat, mual, amnesia terhadap hal hal yang baru saja terjadi, letargi,
pusing.
b. Contusion: memar pada jaringan otak yang lebih serius daripadaconcussion.
Lebih banyak disebabkan oleh adanya perdarahan arteri otak, darah biasanya
terakumulasi antara tulang tengkorak dan dura. Gejala: penurunan
kesadaran,hemiparese, perubahan reflek pupil.
c. Epidural hematoma: terjadi berhubungan dengan proses ekselerasi-deselerasi
atau coup-contracoup yang menyebabkan adanya gangguan pada sistem saraf
pada daerah otak yang mengalami memar. Gejala: penurunan kesadaran dalam
waktu singkat yang akan berlanjut menjadi penurunan kesadaran yang progresif,
sakit kepala yang parah, kompresi batang otak, keabnormalan pernafasa
(pernfasan dalam), gangguan motorik yang bersifat kontralateral,dilatasi pupil
pada sisi yang searah dengan trauma, kejang, perdarahan. Epidural
hematoma merupakan jenis perdarahan yang paling berbahaya karena terjadi
pada artesi otak.
d. Subdural hematoma: merupakan tipe trauma yang sering terjadi. Perdarahan
pada meningeal yang menyebabkan akumulasi darah pada daerah subdural (antara
duramater dan arachnoid). Biasanya mengenai vena pada korteks cerebri (jarang
sekali mengenai arteri). Gejala: mirip dengan epidural hematoma namun
dengan onset of time yang lambat karena sobekan pembuluh darah terjadi pada
vena sedangkan pada epidural mengenai arteri.
e. Intracerebral hemorrhage: merupakan tipe perdarahan yang sub akut dan
memiliki prognosa yang lebih baik karena aliran darah pada pembuluh darah yang
robek berjalan relatif lambat. Sering terjadi pada bagian frontal dan temporal
otak. ICH sering disebabkan oleh hipertensi. Gejala: deficit neurologis yang
tergantung pada letak perdarahan, gangguan motorik, peningkatan tekanan
intracranial.
f. Skull fracture (fraktur tulang tengkorak): terdapat 4 tipe yaitu linear,
comminuted, basilar, dan depressed. Fraktur pada bagian depan dan tengah tulang
tengkorak akan mengakibatkan sakit kepala yang parah. Gejala: mungkin
asimtomatik tergantung pada penyebab trauma, displacemenet
(perubahan/pergeseran letak) tulang, perubahan sensor motorik,periorbital
ekimosis (bercak merah pada mata), adanya battle’s sign (ekimosis pada tulang
mstoid), akumulasi darah pada membran timpani.
H. KOMPLIKASI
a. Infeksi
b. Gagal nafas
c. Herniasi otak
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. CT Scan: untuk melihat adanya dan letak perdarahan, massa, lesi pada saraf,
perubahan kepadatan jaringan, kejadian iskemik, atau fraktur.
b. X-Ray: untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur pada tulang
tengkorak.
J. PENATALAKSANAAN
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan
sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru,
infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder.
Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor
ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok
septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau
darah.
d. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil,
defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama
ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu
komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus
segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
e. Pemeriksaan radiologi
f. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial
atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang
monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg
sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1) Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi
vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi
dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi
diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk
menyingkirkan hematom.
2) Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek
dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3) Terapi diuretik
Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak
normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila
tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB,
setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310
mOSm
Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema
sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4) Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua
jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3
jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
5) Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6) Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan
bagian kepala sekitar 20°-30°, dengan kepala dan dada pada satu bidang,
jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher
tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
g. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya
edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral,
sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat
dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan
cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia
menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil
normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30
ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
h. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal
dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh
karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan
bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian
cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000
kalori/hari.
i. Epilepsi/kejang
Pengobatan:
Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40
mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400
mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin,
bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan
200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala
berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom
intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang
Pembedahan dilakukan untuk mengevakuasi perdarahan, jaringan nekrosis, atau
bagian tulang tengkorak yang masuk kedalam jaringan otak.
K. PENGKAJIAN
1. BREATHING
2. BLOOD
3. BRAIN
4. BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
5. BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia)
dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6. BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal
selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
ASUHAN KEPERAWATAN
KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada ganguuan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan
cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial.
a. Primer Survey
1) Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada obstruksi jalan nafas atau hambatan jalan
napas dan apakah ada bunyi tambahan.
2) Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan,
tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping
hidung.
3) Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill dan apakah ada
sianosis.
4) Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri, reflek pupil, reflek cahaya.
5) Exposure
Suhu, lokasi luka.
b. Secondary Survey
1) Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur ( kebanyakan terjadi pada usia muda ),
jenis kelamin ( banyak laki-laki, karena ngebut-ngebutan dengan motor tanpa
pengaman helm ), pedidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa medis. Keluhan utama yang sering
menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa
jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
4) Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis
seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
B1 :perubahan pola nafas, adanya suara tambahan, peningkatan frekuensi
nafas
B1 :perubahan pola nafas, adanya suara nafas tambahan, peningkatan frekuensi
nafas
B2 :hipertensi, hipotensi, takikardi, bradikardi, CRT > 3 detik, sianosis
B3 :nyeri kepala, penurunan tingkat kesadaran, pusing, perubahan reflek pupil
B4 :inkkontinensia urin, distensi kandung kemih, retensi urin
B5 :mual, muntah, reflek menelan mengalami penurunan, konstipasi
B6 :kelemahan, keterbatasan kemampuan gerak
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik,
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
4. Defisit self care b.d dengan kelelahan, nyeri
5. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau
integrasi (trauma atau defisit neurologis).
6. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik
psikologis.
7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif.
Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan,
misal: tirah baring, imobilisasi.
8. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi.
Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem
tertutup (kebocoran CSS)
9. Resiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan
tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan.
Status hipermetabolik.
10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional.
Ketidak pastian tentang hasil/harapan.
11. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang
mengingat/keterbatasan kognitif.
4. IMPLEMENTASI
DAFTAR PUSTAKA
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 .
EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC,
Jakarta.
Carpenito, LJ.,2004. Nursing Care Plans & Documentation: Nursing Diagnoses and
Collaborative Problems 4th Edition. Philadelpia :LWW Publisher
Frizzell, et all, 2001. Handbook of Pathophysiology. New York: Springhouse corp
Mansjoer, Alif et all. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi 3. Media
Aesculapius. Jakarta