Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENGARUH KEKUATAN NETRALITAS BIROKRASI DALAM


POLITIK INDONESIA
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I.......................................................................................................................3

PENDAHULUAN....................................................................................................3

1.1 Latar Belakang Nasionalisme....................................................................3

1.2 Teori dan Konsep......................................................................................4

1.3 Metodologi................................................................................................5

BAB II......................................................................................................................6

PEMBAHASAN......................................................................................................6

2.1 Munculnya Pluralisme Birokrasi...............................................................6

2.2 Pengaruh Kekuatan Sistem Politik Birokrasi di Indonesia.......................7

BAB III...................................................................................................................10

PENUTUP..............................................................................................................10

3.1 Kesimpulan..............................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................11

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Nasionalisme


Sejak akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21, nasionalisme Indonesia
menghadapi tantangan yang sulit. Di satu sisi, proses globalisasi dan ekspansi
perdagangan bebas membuat negara-bangsa Indonesia seolah-olah tidak berdaya.
Kekuasaan negara berkurang dan banyak otoritas negara diambil oleh pasar.
Negara hanya dipandang sebagai wasit, lebih parahnya lagi wasit yang terkooptasi
oleh market power. Akibatnya, wasit tidak netral dan cenderung ke pasar dan
uang.
Pasca tumbangnya Orde Baru 1998, isu birokrasi dan demokrasi menjadi
isu sentral dan perdebatan publik. Isu krusial reformasi birokrasi ini tidak lepas
dari tuntutan masyarakat yang semakin kuat agar birokrasi menjadi 'pelayan
rakyat'. Sulit untuk memungkiri bahwa buruknya kualitas birokrasi menjadi salah
satu sumber keterbelakangan Indonesia. Meski pendapatan per kapita Indonesia
tahun 2010 naik menjadi $3.500 dolar, peringkat Indonesia masih di bawah
Brunei ($51.000), Singapura ($49.700), Malaysia ($13.300), dan Thailand
($7.900). Selain masalah infrastruktur dan korupsi, birokrasi menjadi salah satu
penghambat pembangunan.
Selain itu, menurunnya kualitas nasionalisme juga bisa berasal dari
dinamisme internal Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang merupakan
konstruksi supra-etnik lahir dari kesepakatan dalam proses sejarah. Masalah etnis
ini akan muncul kembali ketika pilar bangsa tidak dapat memberikan
kemakmuran, keadilan, kebanggaan, dan pemecah masalah. Saat ini, ketika pilar
supra-etnis yaitu negara-bangsa Indonesia mulai runtuh, semangat nasionalisme
juga runtuh. Kemudian, sulit diharapkan bahwa masalah bangsa dapat
diselesaikan dengan nasionalisme karena nasionalisme itu sendiri bermasalah
Dalam sistem politik yang demokratis, birokrasi tidak terlibat dalam
politik. Birokrasi justru memposisikan dirinya sebagai lembaga yang profesional
dan netral (Asmeron dan Reis, 1996). Dari perspektif makro, dapat disimpulkan

3
bahwa demokrasi dan birokrasi saling terkait (Etzioni-Halevy, 1985). Proses
demokrasi (demokratisasi) yang berlangsung saat ini diharapkan mampu
mendorong reformasi birokrasi. Di sisi lain, reformasi birokrasi juga diharapkan
dapat memperkuat demokratisasi. Reformasi birokrasi akan menjadikan dirinya
netral, lebih transparan, akuntabel dan aspiratif. Model birokrasi seperti itu tidak
hanya akan berdampak positif pada hubungan birokrasi dan masyarakat, tetapi
juga politik dan pemilu.
Salah satu tanda bahwa nasionalisme tegas muncul kembali di pusat
politik Indonesia datang dengan kampanye pemilihan presiden 2014. Salah satu
dari dua kontestan, Prabowo Subianto, seorang pensiunan jenderal militer, yang
telah memainkan peran utama dalam Orde Baru Soeharto (1966). -98),
membangun daya tarik kampanyenya hampir secara eksklusif pada platform
nasionalis. Meskipun semua politisi arus utama di Indonesia, seperti di negara-
negara lain, sampai taraf tertentu nasionalis, semangat pesan nasionalis Prabowo,
dan semangat yang disampaikannya, sangat khas.
Dalam konteks ini, kajian netral tidaknya birokrasi dalam pemilu menjadi
sangat penting karena masyarakat Indonesia ingin mewujudkan good governance,
memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme, serta menuntut adanya sistem
akuntabilitas agar tugas-tugas pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan kepada
rakyat. rakyat. Isu-isu tersebut muncul seiring dengan munculnya isu mengenai
ketimpangan sosial ekonomi dan keadilan sosial yang semakin merebak di
masyarakat.
1.2 Teori dan Konsep
Konsep Netralitas dan Birokrasi Publik
Netralitas birokrasi dalam pemilu merupakan isu krusial yang selalu
muncul dalam setiap pemilu. Negara maju dan demokratis seperti Inggris,
Amerika Serikat dan Perancis, birokrasinya tidak terlibat dalam politik. Karena
birokrasi menempatkan dirinya sebagai lembaga yang profesional dan netral
(Asmeron dan Reis, 1996). Demokrasi dan birokrasi saling terkait (EtzioniHalevy,
1985). Demokratisasi yang berlangsung di Indonesia sejak tahun 1998 diharapkan
dapat mendorong reformasi birokrasi. Di sisi lain, reformasi birokrasi juga
diharapkan dapat memperkuat demokratisasi. Reformasi birokrasi akan

4
menjadikan dirinya netral, partisipatif, transparan dan akuntabel. Model birokrasi
yang demikian akan mempengaruhi hubungan antara birokrasi dengan
masyarakat. Dalam konteks pemilu, netralitas birokrasi dalam pemilu
nasional/pilkada.
Dengan kondisi tersebut, Indonesia pada masa Orde Baru tergolong negara
yang relatif maju secara ekonomi tetapi terbelakang secara politik. Namun
anggapan tentang kemajuan ekonomi tersebut tidak sepenuhnya benar, karena
krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia secara nyata membuktikan
bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak cukup kuat untuk menahan dampak
krisis yang terjadi selama periode 1997-1998. Fenomena ini menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi yang tidak diikuti dengan pembangunan politik (pada
masa Orde Baru) mengakibatkan rapuhnya institusi demokrasi.
1.3 Metodologi
Lebih lanjut, munculnya beberapa isu tersebut tidak lepas dari
meningkatnya jumlah dan peran kekuatan sosial dalam masyarakat sejak gerakan
reformasi 1998. Sulit disangkal bahwa kekuatan-kekuatan sosial dalam
masyarakat ini telah mendorong pentingnya partisipasi dan pluralisme. Dengan
kata lain, peran masyarakat sipil dalam mendorong reformasi birokrasi dan
demokrasi semakin penting, karena terciptanya good governance tidak bisa
diharapkan semata-mata dari pemerintah. Kajian netralitas birokrasi ini dilakukan
melalui studi pustaka untuk memahami teori dan praktik netralitas birokrasi
terkait pemilu yang diselenggarakan di tingkat nasional dan pilkada yang
diadakan di daerah-daerah di Indonesia dengan menggunakan literatur sebagai
instrumen untuk memperoleh data.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Munculnya Pluralisme Birokrasi


Setelah 75 tahun merdeka, Indonesia harus terus berjuang membangun
birokrasi yang profesional (efektif dan efisien) dan netral secara politik. Sebagai
roda besar pembangunan nasional dan daerah, birokrasi tidak boleh rentan
terhadap intervensi politik. Apalagi hanya berorientasi untuk kepentingan jangka
pendek, bagi pihak/kelompok/individu tertentu. Aparatur Sipil Negara adalah
“pegawai negara” dan “pegawai masyarakat” yang wajib bekerja untuk kemajuan
dan kemanfaatan negara. Karena itu tidak dibenarkan jika birokrasi diintervensi
oleh kekuatan politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Pada prinsipnya
pergantian kepemimpinan baik di pusat maupun di daerah yang berlangsung
setiap 5 tahun tidak boleh merusak struktur birokrasi. Di sisi lain, pemilu harus
berkorelasi positif atau berdampak positif pada tata pemerintahan yang baik. Hal
ini penting untuk mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Era Joko Widodo (2014-2019)
Periode pertama pemerintahan Jokowi (2014-2019) tidak banyak
berpengaruh pada perbaikan birokrasi. Bahkan sebagai petahana yang mengikuti
kompetisi pemilihan presiden 2019, birokrasi berada dalam dilema. Sulit
dikatakan bahwa tarikan politik terhadap birokrasi sangat kuat. Pemilu 2019
ditengarai merupakan pemilu yang melibatkan birokrasi, dari pusat hingga daerah.
Bupati Makassar menyatakan dukungannya kepada Jokowi di depan umum yang
menyebabkan peringatan dari Gubernur Sulawesi Selatan.
Hal tersebut membuat isu netralitas birokrasi menjadi sorotan publik
karena birokrasi dianggap partisan. Birokrasi sangat rentan digunakan sebagai alat
untuk kepentingan politik. Keberpihakan birokrasi pada kekuatan politik tertentu
menciptakan kerentanannya sendiri. Keterlibatan kementerian/lembaga/pemda
dalam tim pemenangan pasangan calon dalam pemilihan presiden, misalnya,
berdampak pada birokrasi, khususnya pada kualitas pelayanan publik.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa sejak pemilihan presiden (2004) dan

6
pemilihan kepala daerah (2005) yang dipilih langsung oleh rakyat, birokrasi pusat
hingga daerah sulit untuk netral secara politik. Padahal, banyak kasus penggunaan
fasilitas birokrasi baik di tingkat pusat maupun daerah yang digunakan untuk
memenangkan calon tertentu dalam pemilu/pilkada. Penggunaan APBD untuk
memenangkan calon tertentu juga sulit dihindari karena intensnya politisasi
birokrasi. Konflik politik dan birokrasi sering ditemukan, baik pada saat maupun
setelah pemilihan nasional/daerah. Hingga Maret 2019, Bawaslu menerima 165
laporan pelanggaran netralitas Penyelenggara Negara.
Ketidakberesan birokrasi dalam pemilu dapat mengakibatkan lemahnya
legitimasi terhadap kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya.
Sejauh ini, tataran empiris menunjukkan adanya tarikan politik, khususnya dari
otoritas ke birokrasi. Tampaknya sangat kuat. Salah satunya adalah adanya video
viral yang memperlihatkan dugaan dukungan camat di Makassar terhadap
pasangan calon Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Politisasi birokrasi semakin terlihat
dengan ditetapkannya menteri, kepala lembaga, kepala daerah sebagai pasangan
calon dalam pemilihan presiden. Jelas bahwa birokrasi terlibat dalam politik
praktis, tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah. Dugaan penyimpangan
birokrasi juga diduga terkait dengan sejumlah kasus pemilih ganda dan adanya
sejumlah warga negara asing yang masuk daftar pemilih.
Selama ini pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa hubungan politik
dan birokrasi dicirikan oleh karakteristik seperti praktik lobi untuk mencari posisi
dan intervensi politik dalam menentukan posisi dan anggaran politik. Era
reformasi telah melahirkan politisi-politisi yang sangat pragmatis yang seringkali
melakukan manuver-manuver politik di koridor yang melanggar nilai-nilai
demokrasi. Banyak politisi menggunakan posisi dan kekuasaan mereka untuk
kepentingan pribadi dan kelompok mereka. Sementara itu, birokrasi belum cukup
siap menghadapi manuver politik para politisi yang sangat dinamis, sehingga
birokrasi akhirnya terjebak dalam “ketidaksetiaan” yang mengkhianati rakyat.
2.2 Pengaruh Kekuatan Sistem Politik Birokrasi di Indonesia
Representasi ini menunjukkan bahwa netralitas birokrasi – khususnya
dalam penguatan hak-hak politik PNS/ASN dan kesetaraan partai politik –
merupakan tantangan besar yang harus disikapi dalam rangka membangun iklim

7
demokrasi yang lebih sehat. Salah satunya adalah memisahkan politik dari karir
administrasi (pelayanan publik) di pemerintahan dan depolitisasi pelayanan
publik.
Menurut Asmerom dan Reis, politik dan kebijakan dipisahkan dari
administrasi; pegawai negeri diangkat dan dipromosikan berdasarkan prestasi dan
bukan berdasarkan afiliasi atau kontribusi partai; pegawai negeri tidak terlibat
dalam kegiatan politik partisan; pegawai negeri tidak mengungkapkan secara
terbuka pandangan pribadi mereka tentang kebijakan atau administrasi
pemerintah; pegawai negeri memberikan nasihat yang terus terang dan obyektif
kepada tuan politik mereka secara pribadi dan kepercayaan. Sebagai imbalannya,
eksekutif politik melindungi anonimitas pegawai negeri dengan secara terbuka
menerima tanggung jawab atas keputusan departemen.
Secara umum pola hubungan birokrasi dan politik cenderung dinamis,
terutama pada saat proses politik berlangsung, yaitu pada saat birokrasi dan politik
sedang dalam proses penyusunan undang-undang dan peraturan daerah. Intensitas
relasi juga terjadi ketika birokrasi menjalankan programnya dan ketika lembaga
politik melakukan pengawasan. Pola hubungan yang seimbang antara politik dan
birokrasi mempengaruhi proses pembangunan, baik di tingkat pusat maupun
daerah.
Isu demokratisasi dan reformasi birokrasi merupakan perdebatan yang
hampir tidak pernah selesai dalam perkembangan politik Indonesia. Pada
kenyataannya, birokrasi dan demokrasi saling mempengaruhi. Kuatnya intervensi
negara di bidang ekonomi di era Orde Baru membuat peran birokrasi semakin
besar. Besarnya peran birokrasi membuatnya lebih cenderung dipolitisasi.
Akibatnya, birokrasi hampir tidak pernah netral dalam arti sebenarnya, bahkan
gagal menjalankan tugasnya melayani masyarakat karena birokrasi semakin tidak
profesional dan cenderung berpihak pada kepentingan penguasa. Hal ini membuat
birokrasi Indonesia cenderung partisan.
Praktik sistem multipartai juga menghambat terciptanya birokrasi yang
netral dan profesional. Meski Orde Baru sudah tumbang, bukan berarti
pembenahan birokrasi bisa efektif. Yang terjadi adalah perubahan birokrasi dari
model otoriter menjadi lebih plural atau lebih terbuka. Konsep pluralisme

8
birokrasi meluas ke seluruh Indonesia, yang ditandai dengan semakin besarnya
pengaruh kekuatan-kekuatan sosial terhadap pembuatan kebijakan publik. Ilustrasi
yang muncul selama periode 1999-2020 menunjukkan: di satu sisi Indonesia
bergerak ke sistem politik yang demokratis, namun di sisi lain masih menghadapi
tarikan kuat untuk melestarikan warisan patrimonial rezim otoriter.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam kasus Indonesia, harapan pembangunan simultan antara reformasi
birokrasi dan demokrasi substantif masih menghadapi tantangan serius. Proses
demokrasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 yang diharapkan dapat
meningkatkan kualitas birokrasi, belum terwujud secara memadai. Pada tataran
empiris, proses pendalaman demokrasi tidak berjalan seiring dengan perubahan
birokrasi. Kendala besar yang dihadapi oleh birokrasi itu sendiri adalah sulitnya
mind-set dan cultural-set Aparatur Sipil Negara. Akibatnya, birokrasi Indonesia
masih rentan terhadap intrusi kekuasaan politik. Tidak jarang birokrasi digunakan
untuk melanggengkan status quo melalui dukungannya dalam pemilu
nasional/daerah. Keterlibatan birokrasi sangat menonjol seiring dengan
keikutsertaan petahana dalam pemilihan umum nasional/daerah.
Kecenderungan sentralisasi kekuasaan didukung penuh oleh sistem
birokrasi yang belum sepenuhnya transparan dan akuntabel (korupsi, kolusi dan
nepotisme). Peluang reformasi birokrasi di masa depan dapat terhambat oleh
konflik kepentingan yang tidak berkesudahan untuk selalu menggunakan mesin
birokrasi sebagai pengumpul suara dalam pemilu (baik melalui cara terselubung
maupun pernyataan implisit oleh pejabat negara).
Hal itu terlihat pada Pilkada 2019. Pilkada yang digelar di 270 daerah di
masa pandemi Covid-19 pun cenderung melakukan hal yang sama. Hal itu
mendorong Komisi Aparatur Sipil Negara mencanangkan Gerakan Nasional
Netralitas Birokrasi (Agustus 2020) untuk mencegah petahana menggunakan
birokrasi daerah dalam pemilihan kepala daerah. Ketidakmampuan birokrasi
Indonesia dalam melawan sikap oportunistik dan pola pikir Aparatur Sipil Negara
yang masih mengalami disorientasi serta budaya birokrasi yang belum berubah
secara signifikan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan birokrasi dalam
mempertahankan profesionalisme dan kenetralan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Fischer, W. & Lundgreen, P. (1975). The Recruitment and Training of


Administrative and Technical Personnel. In C. Tilly (ed.), The Formation of
Nation States in Europe (pp. 456-561). Princeton: Princeton University
Press.

Gladden, E. N. (1956). Civil Service or Bureaucracy?. London: Staples Press.

Jackson, K. (1978). Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the


Analysis of Power and Communications in Indonesia. In Karl Jackson and
Lucian Pye (eds.), Political Power and Communication in Indonesia (pp. 3-
22). Berkeley: University of California Press.

King, D. Y. (1982). Indonesia’s New Order as Bureaucratic Polity, a


Neopatrimonial Regime, or a Bureaucratic Authoritarian Regime: What
Difference Does it Make?. In Anderson and Kahin (eds.), Interpreting
Indonesian Politics: Thirteen Contributions to Debate (pp. 104-116). Ithaca:
Cornell University.

Kohli, A. & Shue, V. (1994). State Power and Social Forces: On Political
Contention and Accomodation in the Third World. In Joel S. Migdal, Atul
Kohli, and Vivienne Shue (ed.), State Power and Social Forces (pp. 293-
326). Cambridge University Press.

Liddle, W. R.. (1999). Indonesia’s Democratic Opening. Government and


Opposition, 34(1), 94-116. MacIntyre, A. (1994). Organising Interests:
Corporatism in Indonesian Politics. Working Paper No. 43. The Asia
Research Centre Murdoch University.

Migdal, J. S. (1994). The State in Society: An Approach to Struggles for


Domination. In Joel S. Migdal, Atul Kohli, and Vivienne Shue (ed.), State
Power and Social Forces (pp. 7-34). Cambridge University Press.

Mishra, S. (2002). History in the Making: Systemic Transition in Indonesia.


Journal of the Asia Pacific Economy, 7(1), 1-19.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.12 Tahun 1999 tentang Perubahan


atas Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil
Yang Menjadi Anggota Partai Politik.

Sucipto, R. H. Infrastruktur dan faktor legal masih hambat investasi. (2018, March
30). Republika. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/eko

11
nomi/korporasi/18/03/30/p6dpzu380- infrastruktur-dan-faktor-legal-
masihhambat-investasi.

Zuhro, R. S. (1997). Negara, Parpol dan Korpri: Studi Kasus Surabaya. In


Muridan Satriyo Wijoyo (ed.), Politisasi / Birokrasi: Implikasi Kebijakan
Monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil (pp. 45-71). Jakarta: PPWLIPI

12

Anda mungkin juga menyukai