Anda di halaman 1dari 5

SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN JUMLAH RAKYAT: MASALAH

MILITER YANG DIBANTU NEGARA DI INDONESIA

Abstrak: Pembentukan milisi yang disponsori negara telah menimbulkan


keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia dalam konflik bersenjata non-
internasional di Indonesia. Sebagian besar milisi yang disponsori negara telah
dibentuk dan diam-diam didukung oleh Tentara Nasional Indonesia (Tentara
Nasional Indonesia) sebagian besar didasarkan pada implementasi konsep yang
disebut Sistem Pertahanan Rakyat Semesta-sishankamrata (Sistem pertahanan
rakyat semesta-sishankamrata). Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Total
adalah strategi besar yang diadopsi berdasarkan pengalaman Indonesia selama
revolusi fisik atau perjuangan bersenjata untuk kemerdekaan (1945-1949) dan
diakui dalam Amandemen Kedua UUD 1945. Artikel ini akan mengelaborasi,
pertama, sejarah konstitusional dan ideologi ‘bela rakyat total’ yang berkontribusi
pada ideologi politik militer dan hubungannya dengan keberadaan kelompok
milisi; dan kedua, dorongan aktif terhadap pelanggaran milisi oleh militer
Indonesia sebagai bagian dari kampanye untuk mempertahankan kendali atas
daerah-daerah yang mencari kemerdekaan, bersama dengan batasan-batasan yang
dikenakan oleh militer sendiri pada cara militer melakukan kampanye tersebut.

Kata Kunci: Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Total, milisi yang
disponsori negara, Militer, Konstitusi

PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara demokrasi yang baru muncul di dunia. Setelah
Soeharto lengser pada Mei 1998, Indonesia memasuki fase kritis reformasi politik-hukum
yang mendalam, termasuk di bidang militer. Reformasi rezim keamanan dipandang perlu
untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang lebih demokratis dan berorientasi pada hak
asasi manusia, dan reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri). ) telah menjadi salah satu isu yang paling diperdebatkan. Secara
khusus, militer tampaknya enggan untuk sepenuhnya merangkul gerakan reformasi yang akan
mengubah hubungannya dengan politisi sipil dan perannya dalam masyarakat sipil. Militer
Indonesia kemudian dikenal sebagai terkenal karena pelanggaran hak asasi manusia selama
era Soeharto, dan perilaku seperti itu berlanjut selama era 'reformasi'. Ini adalah masalah
yang luas di mana militer sebelumnya memainkan peran dominan dalam politik selama rezim
otoriter yang diketahui telah menghasilkan pelanggaran hak asasi manusia yang ekstrem, dan
sejak itu enggan untuk melepaskan peran tersebut. Itu juga merupakan salah satu alasan
utama untuk menetapkan program-program yang bertujuan untuk mendepolitisasi militer dan
profesionalisasi militer. (Yulianto dkk., 2021).
Salah satu masalah yang muncul dapat ditunjukkan dalam pembentukan tentara proksi
dari kalangan sipil, milisi yang disponsori negara, yang biasa digunakan selama konflik
bersenjata internal yang telah menjadi sumber dari banyak pelanggaran hak asasi manusia
dan masalah kemanusiaan (Permana, 2020). ).. Secara praktis, konsep perang total ini
memberikan dasar bagi dominasi militer selama periode otoriter, menempatkan pengaruh
signifikan di tangan perwira militer dan menempatkan kebebasan sipil dasar secara terus-
menerus dalam risiko. Milisi ini adalah kelompok sipil yang direkrut, dilatih dan didukung
oleh angkatan bersenjata negara untuk melakukan ‘pekerjaan kotor’ militer. Militer
membenarkan tindakan ini berdasarkan konsep yang disebut Sistem Pertahanan dan
Keamanan Rakyat Semesta-Sishankamrata. Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Total
tersebut didasarkan pada pengalaman yang diperoleh dari perjuangan kemerdekaan tahun
1945-1949 melalui strategi perang gerilya (L.Toruan, 2020).
Artikel ini merupakan upaya untuk menjelaskan permasalahan yang muncul dari
penerapan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Total sebagai strategi pertahanan negara
yang diakui oleh Perubahan Kedua UUD 1945. Kedua, artikel ini juga membahas masalah
partisipasi sipil di bidang pertahanan dalam kaitannya dengan keberadaan milisi yang
disponsori negara di Indonesia. Selanjutnya juga akan dijelaskan ideologi di balik Sistem
Pertahanan dan Keamanan Rakyat Total.
METODE
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yang bertujuan
untuk mengetahui sistem pertahanan di Indonesia. Dalam artikel ini, saya menggunakan
istilah milisi yang disponsori negara yang diperkenalkan oleh Ariel Ahram tetapi mengadopsi
definisi dan karakteristik milisi pro-pemerintah oleh Basis Data Milisi Pro-Pemerintah
(PGMD). Studi PGMD dimulai di University of Mannheim dan University College London
yang disponsori oleh Economic and Social Research Council (ESRC). Proyek ini telah
mengidentifikasi 332 milisi pro-pemerintah yang tersebar di seluruh dunia antara tahun 1981
dan 2007. Proyek ini mendefinisikan milisi pro-pemerintah sebagai sebuah kelompok yang
(1) diidentifikasi sebagai pro-pemerintah atau disponsori oleh pemerintah (nasional atau sub-
nasional); (2) diidentifikasi sebagai bukan bagian dari pasukan keamanan reguler; (3)
bersenjata dan; (4) memiliki beberapa tingkat organisasi.
HASIL
THE TOTAL PEOPLE’S DEFENSE AND SECURITY SYSTEM: HISTORICAL
BACKGROUND AND CONSTITUTIONAL CONTEXT
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, Sistem Pertahanan dan Keamanan
Rakyat Total didasarkan pada pengalaman yang diperoleh dari perjuangan kemerdekaan
tahun 1945-1949 melalui strategi perang gerilya.13 Selama periode tersebut, Jenderal Abdul
Haris Nasution, mantan Kepala Staf Angkatan Darat dan kemudian Panglima TNI
merumuskan Perang Rakyat Semesta-Perata atau dikenal juga dengan Perlawanan Rakyat
Semesta yang diadopsi sebagai dasar pertahanan negara. Dalam buku pegangannya, Dasar-
Dasar Perang Gerilya14 dimana ia terlibat sebagai pemain utama dalam menjalankan doktrin
sebagai salah satu Wakil Panglima TNI selama perang gerilya, Nasution menerapkan istilah
'Perang Rakyat Total' dimana menurutnya rakyat elemen penting untuk keberhasilan perang
gerilya dan memenangkan perang melawan Belanda (Herdiansyah, 2018).
Berdasarkan pengertian lasykar dan baris, tujuan itu adalah bagian dari persiapan
perlawanan terhadap agresi militer Belanda dan pelaksanaan perlawanan 'pertahanan total dan
teratur' sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan peraturan tersebut.18 Selanjutnya,
Dewan Bela Negara mengeluarkan peraturan lain, yaitu Keputusan Dewan Pertahanan
Negara Nomor 85 Tahun 1947 tentang Pertahanan Rakyat yang dengan jelas menyatakan
pertahanan rakyat total di bawah pimpinan Tentara Nasional Indonesia dengan segala hak
menggunakan kekuatan apapun dengan baik karakteristik militer atau lainnya. Menurut
penjelasan yang merupakan bagian dari keputusan ini, pembelaan total rakyat dimaksudkan
bahwa setiap warga negara termasuk pegawai negeri sipil, baik perorangan maupun badan
hukum di seluruh wilayah Indonesia harus ikut serta dalam perlawanan dengan segala daya
upaya.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Bela Rakyat Total secara resmi diadopsi sebagai
doktrin pertahanan Indonesia setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun
1954 tentang Pertahanan Negara, Pasal 4 Undang-Undang tersebut menyatakan dengan jelas
bahwa, “Bela Negara Republik Indonesia memiliki sifat bela negara yang disediakan dan
diatur oleh Pemerintah Republik Indonesia”. Selain itu, dalam penjelasan undang-undang,
selain angkatan bersenjata sebagai komponen utama pertahanan negara, undang-undang juga
memungkinkan pelaksanaan wajib militer di militer dan komponen lain yang disebut milisi
(rakyat terlatih) sebagai komponen cadangan pertahanan negara.
PEMBAHASAN
Proses pengesahan doktrin tersebut berlanjut pada tahun 1982 ketika Sistem
Pertahanan dan Keamanan Rakyat Total diadopsi berdasarkan Keputusan Menteri
Pertahanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) No.Skep/820/VII
/1982 tanggal 21 Juli 1982 dan disusul dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Republik
Indonesia yang doktrinnya bertumpu pada pelibatan penduduk dalam melaksanakan strategi
bela negara.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 dilanjutkan dengan Catur
Darma Eka Karma (CADEK) tahun 1967 dan selanjutnya diubah dan disesuaikan dengan
Keputusan Panglima ABRI No.KEP/04/II/1988. Kali ini, konsep pertahanan dan keamanan
negara diwujudkan dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Total yang
memberdayakan seluruh sumber daya nasional dan infrastruktur nasional secara terpadu dan
terarah.24 Di bawah doktrin CADEK utama ABRI, Pertahanan dan Keamanan Rakyat Total
Sistem menjadi salah satu doktrin operasional. Sejak tahun 1966 Tri Ubaya akti sampai
dengan tahun 1967 dan 1988 masing-masing CADEK dan turunannya memposisikan rakyat
sebagai bagian dari pelaksanaan doktrin pertahanan. Berikut ini adalah gambaran bagaimana
konsep Bela Rakyat Total 1967 dimasukkan ke dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan
Rakyat Total 1982. Menurut UU No. 20 Tahun 1982, ABRI merupakan komponen utama
pertahanan negara; namun dalam praktiknya, selama konflik baik eksternal apalagi internal,
orang menjadi elemen utama tidak hanya dalam operasi tempur tetapi juga dalam operasi
intelijen dan teritorial. Tak perlu dikatakan, Bela Rakyat Total dengan demikian telah
menjadi tulang punggung strategi pertahanan negara Indonesia.
Oleh karena itu, ketahanan nasional Indonesia sangat bergantung pada sumber
informasi yang diterima oleh para pemimpin nasional, atau dengan kata lain, peran lembaga
intelijen nasional sangat penting dalam membentuk persepsi ancaman. Oleh karena itu,
strategi keamanan nasional yang dikembangkan Indonesia harus memiliki tiga kemampuan
dasar, yaitu keamanan berbasis pengetahuan, keamanan berbasis keterampilan, dan ketahanan
berbasis aturan.
KESIMPULAN
Terakhir, latar belakang sejarah Sistem Pertahanan Rakyat Total berkontribusi pada
ideologi politik militer dan hubungannya dengan keberadaan kelompok milisi. Ideologi yang
menganut kedaulatan negara dan keutuhan wilayah itu sendiri mengandung unsur budaya
kekerasan karena pemuliaan perjuangan bersenjata telah menjadi pusat nasionalisme
Indonesia. Ideologi tersebut kemudian menjelma menjadi politik militer dengan melihat
adanya kesatuan antara militer dan sipil dalam menghadapi ancaman musuh. Namun, praktik
semacam ini mengaburkan perbedaan antara kombatan dan sipil yang merupakan prinsip
utama dalam Hukum Humaniter Internasional. Oleh karena itu, seperti yang saya sebutkan di
atas, Indonesia harus mempertimbangkan reinterpretasi dengan menggunakan pendekatan
HAM dalam implementasinya berdasarkan definisi yang jelas dan tepat tentang Sistem
Pertahanan dan Keamanan Rakyat Total. Selain itu, perlu diatur dalam kerangka hukum agar
tidak terjadi pelanggaran hukum lebih lanjut. UU No.3/2002 telah menetapkan batas-batas
dan telah melahirkan semangat untuk menghormati hak asasi manusia dan hukum humaniter
termasuk hukum adatnya.

Anda mungkin juga menyukai