Anda di halaman 1dari 137

Goosebumps #10

Tetangga Hantu

(The Ghost Next Door)

by

R.L. Stine

www.eBuku.us

1|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


1

Hannah tak yakin mana yang telah membangunkannya - suara-suara


derakan rapuh atau lidah-lidah api yang berwarna kuning terang.

Dia duduk tegak di tempat tidur dan menatap dengan mata terbelalak
ngeri pada api yang mengelilinginya.

Lidah-lidah api berdesir di meja riasnya. Kertas dinding yang terbakar


tergulung lalu meleleh. Pintu lemarinya sudah terbakar habis, dan ia
bisa melihat api meloncat-loncat dari rak ke rak.

Bahkan cermin itu terbakar. Hannah bisa melihat pantulan dirinya,


gelap di balik dinding api berkelap-kelip.

Api bergerak dengan cepat mengisi ruangan.

Hannah mulai tersedak asap tebal yang asam.

Sudah terlambat untuk menjerit.

Tapi dia tetap menjerit.

®RatuBuku

Betapa baiknya untuk mengetahui itu cuma mimpi.

Hannah duduk di tempat tidur, jantungnya berdebar kencang,


mulutnya sekering kapas.

2|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Tak ada gemercik lidah-lidah api. Tak ada loncatan gumpalan-
gumpalan kuning dan oranye.

Tidak tersedak asap.

Semuanya mimpi, mimpi yang mengerikan. Begitu nyata.

Hanya mimpi.

"Wah. Itu benar-benar menakutkan,." Gumam Hannah pada dirinya


sendiri. Dia duduk bersandar di atas bantal dan menunggu debaran
hatinya yang begitu keras di dadanya berhenti. Dia mengangkat mata
abu-abu birunya ke langit-langit, menatap langit-langit yang putih
dingin itu.

Hannah masih bisa membayangkan langit-langit yang hitam hangus,


gulungan kertas dinding, lontaran lidah-lidah api di depan cermin.

"Setidaknya mimpiku tak membosankan!" katanya pada dirinya


sendiri. Menendang selimut tipis, ia melirik jam di mejanya. Baru jam
delapan seperempat.

Bagaimana bisa baru delapan seperempat? dia bertanya-tanya. Aku


merasa seolah-olah aku telah tidur selamanya. Hari apa ini, sih?

Sulit untuk melacak hari-hari di musim panas ini. Yang satu


tampaknya melebur dengan yang lainnya.

Musim panas ini Hannah kesepian. Sebagian besar teman-temannya


di liburan ini pergi dengan keluarga atau berkemah.

3|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Ada begitu sedikit yang bisa diperbuat anak umur dua belas tahun di
sebuah kota kecil seperti Greenwood Falls. Kebanyakan dia membaca
buku, menonton TV dan naik sepeda berkeliling kota, mencari
seseorang untuk diajak ngobrol.

Membosankan.

Tapi hari ini Hannah turun dari tempat tidur dengan senyum di
wajahnya.

Dia masih hidup!

Rumahnya tak terbakar. Ia tidak terjebak dalam dinding yang


bergemericik lidah-lidah api.

Hannah memakai celana pendek Day-Go hijau dan atasan tanpa


lengan oranye terang. Orangtuanya selalu menggodanya tentang
menjadi buta warna.

"Yang benar saja. Apa masalah besar jika aku suka dengan warna-
warna terang?!" selalu (itu) jawabannya.

Warna-warna terang. Seperti lidah-lidah api di sekitar tempat


tidurnya.

"Hei, mimpi - lenyaplah!" gumamnya. Dia menjalankan sikat rambut


di rambut pirang pendeknya dengan cepat, lalu menuju ke lorong
dapur. Dia bisa mencium bau telur dan daging goreng di atas kompor.

"Selamat pagi, semuanya!" celoteh Hannah riang.

4|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Dia bahkan senang melihat Bill dan Herb, saudaranya yang kembar
berumur enam tahun.

Pengganggu-pengganggu. Gangguan paling berisik di Greenwood


Falls.

Mereka melemparkan bola karet biru di meja sarapan.

"Berapa kali aku harus memberitahu kalian - jangan bermain bola di


rumah?" kata Bu Fairchild, berbalik dari kompor untuk memarahi
mereka.

"Satu juta," kata Bill.

Herb tertawa. Dia pikir Bill lucu. Mereka berdua berpikir mereka
pelawak.

Hannah melangkah ke belakang ibunya dan memeluk pinggangnya


erat-erat.

"Hannah - hentikan!" teriak ibunya. "Aku hampir menjatuhkan telur!"

"Hannah - Hannah hentikan - hentikan!" Si kembar meniru ibu


mereka.

Bola memantul dari piring Herb, memantul lagi dari dinding, dan
terbang ke kompor, beberapa inci dari penggorengan.

"Tembakan bagus, jagoan," goda Hannah.

Si kembar tertawa dengan tawa nada tinggi mereka.

5|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Bu Fairchild berputar, mengerutkan kening. "Jika bola itu jatuh dalam
wajan, kalian akan memakannya dengan telur kalian!" ancamnya,
menggoyangkan garpunya pada mereka.

Hal ini membuat anak-anak tertawa lebih keras.

"Mereka berada dalam suasana hati konyol hari ini," kata Hannah,
tersenyum. Dia memiliki lesung pipi di satu pipi saat dia tersenyum.

"Kapan mereka pernah dalam suasana hati yang serius?" menuntut


ibunya, melempar bola itu ke lorong.

"Yah, aku dalam suasana hati yang bagus hari ini!" Hannah
menyatakan, menatap keluar jendela pada langit biru tak berawan.

Ibunya menatapnya curiga. "Bagaimana bisa?"

Hannah mengangkat bahu. "Aku hanya (merasa begitu) ." Dia tak
merasa suka mengatakan ibunya tentang mimpi buruk, tentang
seberapa bagus rasanya untuk hidup. "Mana Ayah?"

"Pergi ke kantor lebih awal," kata Bu Fairchild, balik daging asap


dengan garpu. "Beberapa dari kita tidak mendapatkan libur seluruh
musim panas," tambahnya. "Apa yang akan kau lakukan hari ini,
Hannah?"

Hannah membuka lemari es dan mengeluarkan sekotak jus jeruk.


"Seperti biasa, kukira. Anda tahu.. Hanya nongkrong."

"Aku menyesal kau punya musim panas yang amat membosankan,"


kata ibunya, mendesah. "Kami benar-benar tak punya uang untuk

6|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


mengirimkanmu ke perkemahan. Mungkin musim panas yang akan
datang -."

"Tak apa-apa, Bu," jawab Hannah cerah. "Aku mengalami musim


panas yang oke. Sungguh." Dia berpaling ke si kembar. "Bagaimana
kalian suka cerita-cerita hantu tadi malam?"

"Tak menakutkan," jawab Herb cepat.

"Tak menakutkan sama sekali. Cerita-cerita hantumu bodoh,."


Tambah Bill.

"Kalian terlihat sangat ketakutan kepadaku," desak Hannah.

"Kami pura-pura," kata Herb.

Hannah mengangkat kardus jus jeruk. "Mau?"

"Apa ada bubur di dalamnya?" tanya Herb.

Hannah pura-pura membaca karton. "Ya. Katanya 'Seratus persen


bubur.' "

"Aku benci bubur!" Herb menyatakan.

"Aku juga!" Bill setuju, nyengir.

Ini bukan pertama kalinya mereka akan berdiskusi tentang sarapan


bubur.

"Tak bisakah Anda membeli jus jeruk tanpa bubur?" pinta Bill pada
ibu mereka.

7|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


"Bisakah kau saringkan untuk kami?" Tanya Herb pada Hannah.

"Bisakah aku mendapat jus apel?" Tanya Bill.

"Aku tak mau jus. Aku ingin susu," Herb memutuskan.

Biasanya, diskusi ini akan membuat Hannah menjerit. Tapi hari ini,
ia bereaksi dengan tenang. "Satu jus apel dan satu susu datang,"
katanya riang.

"Kau pasti sedang dalam suasana hati yang baik pagi ini," komentar
ibunya.

Hannah menyerahkan pada Bill jus apelnya, dan ia dengan segera


menumpahkannya.

Setelah sarapan, Hannah membantu ibunya membersihkan dapur.

"Hari yang indah," kata Bu Fairchild, mengintip keluar jendela. "Tak


awan di langit. Ini seharusnya lebih dari sembilan puluh (derajat)."

Hannah tertawa. Ibunya selalu memberikan laporan-laporan cuaca.


"Mungkin aku akan pergi untuk naik sepeda jauh sebelum akan benar-
benar panas," katanya kepada ibunya.

Dia melangkah keluar dari pintu belakang dan mengambil napas


dalam-dalam. Udara hangat berbau manis dan segar. Dia melihat dua
kupu-kupu kuning dan merah berkibar berdampingan di atas taman
bunga.

8|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Dia melangkah di rerumputan menuju garasi. Dari suatu tempat di
ujung blok ia bisa mendengar dengungan rendah dari mesin pemotong
rumput.

Hannah menatap langit biru jernih. Matahari terasa hangat di


wajahnya.

"Hei - awas!" satu suara berteriak cemas.

Hannah merasakan sakit yang tajam di punggungnya.

Dia terkesiap ketakutan saat ia jatuh ke tanah.

9|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


2

Hannah mendarat keras di siku dan lututnya. Dia berbalik dengan


cepat untuk melihat apa yang telah menghantamnya.

Seorang anak di atas sepeda. "Maaf!" katanya. Dia melompat dari


sepeda dan membiarkannya jatuh ke rumput. "Aku tak melihatmu."

Aku memakai Day-Glo hijau dan oranye, pikir Hannah. Mengapa ia


tak bisa melihatku?

Hannah bangkit berdiri dan mengusap noda rumput di lututnya.


"Aduh," gumamnya, mengerutkan kening pada anak itu.

"Aku mencoba berhenti," katanya pelan.

Hannah melihat bahwa dia berambut merah terang, hampir seoranye


permen jagung, bermata cokelat, dan wajah penuh bintik-bintik.

"Kenapa kau bersepeda di halamanku?" tuntut Hannah.

"Halamanmu?" Dia menyipitkan matanya yang gelap padanya. "Sejak


kapan?"

"Sejak sebelum aku lahir," jawab Hannah tajam.

Anak itu menarik selembar daun dari rambutnya. "Kau tinggal di


rumah itu?" tanyanya, menunjuk.

Hannah mengangguk.

10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Di mana kau tinggal?" tuntut Hannah. Dia memeriksa kedua sikunya.
Keduanya kotor, tapi tak memar.

"Tetangga sebelah," katanya, berbalik menuju rumah redwod (nama


sejenis kayu) bergaya peternakan di seberang jalan masuk.

"Hah?" Hannah bereaksi dengan terkejut. "Kau tidak bisa tinggal di


sana!"

"Mengapa tidak?" tuntut anak itu.

"Itu rumah kosong," kata Hannah padanya, mengamati wajahnya.


"Sudah kosong sejak (keluarga) Dodsons pindah."

"Saat ini tak kosong," katanya. "Aku tinggal di sana. Dengan ibuku."

Bagaimana bisa? Hannah bertanya-tanya. Bagaimana bisa seseorang


pindah tepat di samping rumah tanpa sepengetahuanku? Aku bermain
dengan si kembar di belakang sana kemarin, pikirnya, menatap keras
pada anak itu. Aku yakin bahwa rumah itu gelap dan kosong. "Siapa
namamu?" tanya Hannah.

"Danny. Danny Anderson."

Hannah mengatakan namanya. "Kukira kita bertetangga," katanya.


"Aku dua belas tahun. Bagaimana denganmu?"

"Aku juga." Danny membungkuk untuk memeriksa sepedanya. Lalu


ia mengeluarkan seberkas rumput yang terjebak dalam jari-jari roda
belakang (sepedanya). "Bagaimana bisa aku tak pernah melihatmu
sebelumnya?" tanyanya curiga.

11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Bagaimana bisa aku tak pernah melihatmu?" jawab Hannah.

Danny mengangkat bahu. Matanya berkerut di sudut-sudut (matanya)


saat senyum malu-malu melintas di wajahnya.

"Nah, apa kau baru saja pindah?" tanya Hannah, mencoba untuk
mendapatkan dasar misteri itu.

"Huh-eh," jawabnya, berkonsentrasi pada sepeda.

"Tidak? Berapa lama kau telah tinggal di sini?" tanya Hannah.

"Beberapa waktu."

Ini tak mungkin! Hannah berpikir. Tak ada cara dia bisa pindah ke
sebelah rumah tanpa aku tahu itu!

Tapi sebelum dia bisa bereaksi, ia mendengar suara bernada tinggi


memanggilnya dari rumah. "Hannah Hannah! Herb tak mau
mengembalikan Game Boy-ku!" Bill berdiri di beranda belakang,
bersandar di pintu kasa yang terbuka.

"Di mana Ibu?" teriak Hannah kembali. "Dia akan mengambilkannya


untukmu."

"Oke." Layar pintu terbanting keras saat Bill pergi untuk mencari Bu
Fairchild.

Hannah berbalik untuk berbicara dengan Danny, tapi dia telah


menghilang ke udara yang tipis.

12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
3

Surat biasanya datang sesaat sebelum tengah hari. Hannah dengan


penuh semangat bergegas turun ke bagian bawah jalan dan membuka
tutup kotak.

Tak ada surat untuknya. Tak ada surat sama sekali.

Kecewa, ia bergegas kembali ke kamarnya untuk menulis surat


kepada teman baiknya yang cerewet, Janey Pace.

Janey sayang.

Kuharap kau bersenang-senang di perkemahan. Tapi tak terlalu bagus-


karena kau melanggar janjimu. Kau berkata bahwa kau akan menulis
kepadaku setiap hari, dan sejauh ini, aku bahkan belum menerima satu pun
KARTU POS yang payah.

Aku sangat BOSAN aku tak tahu harus berbuat apa! Kau tak bisa
membayangkan betapa sedikit yang bisa dilakukan di Greenwood Falls saat
tak ada orang. Ini benar-benar seperti KEMATIAN!

Aku kebanyakan nonton TV dan membaca. Apa kau percaya aku sudah
membaca SEMUA buku di daftar bacaan kita di musim panas? Ayah berjanji
untuk mengajak kami semua berkemah di Miller Woods - SENSASI BESAR -
tapi dia sudah bekerja hampir setiap akhir pekan, jadi kupikir ia tak akan
melakukannya.

MEMBOSANKAN!
13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tadi malam aku begitu bosan, aku membariskan si kembar keluar, membuat
sebuah api unggun kecil di belakang garasi, kami berpura-pura pergi di
perkemahan dan menceritakan kepada mereka sekumpulan cerita hantu yang
menakutkan.

Anak-anak tak akan mengakuinya, tentu saja, tapi aku bisa melihat mereka
menikmatinya. Tapi kau tahu bagaimana cerita-cerita hantu membuatku
aneh. Aku mulai melihat bayangan-bayangan aneh dan benda-benda
bergerak di belakang pohon. Ini benar-benar lucu, kurasa. Aku benar-benar
menakut-nakuti DIRIKU.

Jangan tertawa, Janey. Kau juga tak suka cerita-cerita hantu.

Satu-satunya beritaku yang lain bahwa ada seorang anak yang baru pindah
ke rumah tua Dodson, tetangga sebelah. Namanya Danny dan dia seusia
kita, dia berambut merah dan bintik-bintik, dan dia agak manis, pikirku.

Aku hanya melihatnya sekali. Mungkin aku akan menceritakan lebih banyak
lagi tentang dia nanti.

Tapi sekarang GILIRANMU untuk menulis. Ayo, Janey. Kau telah berjanji.
Sudahkah kau bertemu cowok lucu di perkemahan? Apa ITU (sebabnya)
mengapa kau terlalu sibuk untuk menulis kepadaku?

Jika aku tak mendengar (kabar) darimu, kuharap Anda mendapatkan poison
ivy (racun dari tumbuhan) di seluruh tubuhmu - terutama di tempat-tempat di
mana kau tak bisa menggaruk!

Dengan Cinta,

Hannah.
14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hannah melipat surat itu dan memasukkannya ke amplop. Meja
kecilnya berdiri di depan jendela kamar. Bersandar di atas meja, ia
bisa melihat rumah sebelah.

Aku ingin tahu apakah itu kamar Danny? pikirnya, menatap ke


jendela tepat di seberang jalan masuk. Gorden yang ditarik atas
jendela, menghalangi pandangannya.

Hannah menarik dirinya untuk berdiri. Dia menjalankan sikat rambut


di rambutnya, lalu membawa surat itu ke pintu depan.

Dia bisa mendengar ibunya memarahi si kembar di suatu tempat di


belakang rumah. Anak-anak cekikikan saat Bu Fairchild berteriak-
teriak pada mereka.Hannah mendengar dentaman keras. Lalu lebih
banyak cekikikan.

"Aku mau keluar!" teriak Hannah, mendorong layar pintu.

Mereka mungkin tak mendengar, ia sadar.

Itu adalah siang yang panas, tak ada angin sama sekali, udara berat
dan basah. Ayah Hannah telah memangkas halaman depan di hari
sebelumnya. Rumput yang baru dipotong berbau manis saat Hannah
berjalan menuruni jalan masuk.

Dia melirik ke rumah Danny. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.


Pintu depan ditutup. Ruang tamu besar yang tergambar muncul di
jendela itu kosong dan gelap.

15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hannah memutuskan untuk berjalan tiga blok ke kota dan
mengeposkan surat di kantor pos. Dia mendesah. Tak ada lagi yang
bisa dikerjakan, pikirnya sedih. Setidaknya berjalan kaki ke kota akan
menghabiska beberapa waktu.

Trotoar tertutupi dengan potongan helai-helai rumput, hijau memudar


menjadi cokelat. Bersenandung pada dirinya sendiri, Hannah
melewati Bu Quilty di rumah bata merah. Bu Quilty sedang
membungkuk di atas kebunnya, menarik gulma-gulma.

"Hai, Nyonya Quilty. Bagaimana kabarmu?" panggil Hannah.

Bu Quilty tak mendongak.

Sombong sekali! Pikir Hannah dengan marah. Aku tahu dia


mendengarku.

Hannah menyeberangi jalan. Suara piano mengalun dari rumah di


pojokan. Seseorang berlatih lagu musik klasik, memainkan not salah
yang sama berulang-ulang, kemudian memulai lagu lagi.

Aku senang mereka bukan tetanggaku, pikir Hannah, tersenyum.

Ia berjalan di sisa perjalanan ke kota, bersenandung untuk dirinya


sendiri.

Kantor pos putih berlantai dua berdiri di seberang alun-alun kota


kecil, benderanya terkulai pada tiang di langit tak berangin. Di sekitar
alun-alun berdiri satu bank, toko pangkas rambut, toko kecil bahan
pangan, dan pom bensin. Beberapa toko lainnya, Harder's Ice-Cream

16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Parlor, dan restoran bernama Diner membentang di belakang alun-
alun.

Dua wanita berjalan keluar dari toko bahan pangan itu. Melalui
jendela pangkas, Hannah bisa melihat Ernie, tukang cukur, duduk di
kursi, membaca majalah.

Adegan hidup yang nyata, pikirnya, sambil menggelengkan


kepalanya.

Hannah menyeberangi lapangan rumput kecil dan menjatuhkan surat


di kotak surat di depan pintu kantor pos. Dia berbalik kembali menuju
rumah - tapi berhenti ketika ia mendengar teriakan-teriakan marah.

Teriakan itu datang dari belakang kantor pos, Hannah menyadari.


Seorang pria berteriak.

Hannah mendengar suara-suara anak laki-laki. Teriakan lagi.

Dia mulai berlari-lari kecil di sekitar sisi gedung, menuju ke suara-


suara marah itu.

Dia hampir sampai ke gang ketika ia mendengar jeritan melengking


kesakitan.

17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
4

"Hei -!" Hannah berteriak dan berlari di sisa perjalanan. "Apa yang
terjadi?"

Satu gang sempit membentang di belakang kantor pos. Ini adalah


tempat tersembunyi di mana anak-anak suka nongkrong.

Hannah melihat Pak Chesney, kepala kantor pos. Dia mengacungkan


tinju dengan marah pada anjing kampung cokelat yang kurus.

Ada tiga anak laki-laki di gang itu. Hannah mengenali Danny. Dia
nongkrong di belakang dua anak laki-laki yang tak dia kenal.

Anjing itu menurunkan kepalanya dan merintih lembut. Seorang anak


laki-laki tinggi, kurus dan kurus dengan rambut pirang yang jarang,
meraih anjing itu dengan lembut dan membungkuk untuk
menenangkannya.

"Jangan melempar batu pada anjingku!" teriak anak itu pada Pak
Chesney.

Anak laki-laki lainnya melangkah maju. Dia masih kecil, tegap,


tampaknya kuat, dengan rambut hitam runcing. Dia menatap Pak
Chesney, tangannya mengepal di pinggangnya.

Danny tertinggal jauh dari yang lain, sangat pucat, matanya menyipit
tegang.

18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Pergi! Pergilah! Aku peringatkan kalian!" bentak Pak Chesney. Dia
pria kurus berwajah merah, (kepalanya) botak seluruhnya, dengan
kumis lebat di bawah ujung hidung cokelatnya. Dia mengenakan
setelan wol ketat abu-abu, meskipun musim panas.

"Anda tak punya hak untuk menyakiti anjingku!" si anak pirang


bersikeras, masih menggendong anjing kampung itu. Ekor gemuk
anjing itu bergoyang-goyang marah sekarang. Anjing itu menjilat
tangan anak itu.

"Ini milik pemerintah," jawab kepala kantor pos tajam.


"Kuperingatkan kalian - pergi dari sini. Ini bukan tempat nongkrong
bagi kalian pembuat onar." Dia melangkah mengancam ke arah tiga
anak laki-laki itu.

Hannah melihat Danny melangkah ke belakang, ekspresi wajahnya


ketakutan. Dua anak laki-laki lainnya berdiri di tanah mereka,
menatap kepala kantor pos berwajah merah itu menantang. Mereka
besar, Hannah melihat. Lebih besar dari Danny. Mereka tampaknya
lebih tua dari Danny.

"Aku akan memberitahu ayahku, Anda menyakiti Rusty," kata anak


pirang itu.

"Katakan pada ayahmu kau masuk tanpa ijin," Pak Chesney kembali.
"Dan katakan padanya kau kasar dan tak sopan. Dan katakan padanya
aku akan mengajukan keluhan pada kalian bajingan bertiga jika aku
menangkap kalian kembali di sini lagi."

19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Kami bukan bajingan!" teriak anak laki-laki yang paling berat
dengan marah.

Lalu ketiga anak laki-laki berbalik dan mulai berjalan menyusuri


gang. Anjing itu berzig-zag dengan gembira di antara tumit-tumit
mereka, ekor pendeknya yang berkedut liar.

Pak Chesney menyerbu melewati Hannah, menggumamkan kutukan


pada dirinya sendiri. Dia begitu marah, ia mendorong melewati
Hannah saat ia berjalan ke bagian depan kantor pos.

Brengsek sekali, pikir Hannah, menggelengkan kepala. Apa


masalahnya, sih?

Semua anak-anak di Greenwood Falls membenci Pak Chesney.


Terutama karena ia benci anak-anak. Dia selalu berteriak pada mereka
untuk berhenti berkeliaran di alun-alun, atau berhenti memainkan
musik keras seperti itu, atau berhenti bicara begitu keras, atau
berhenti tertawa begitu banyak, atau keluar dari gang berharganya.

Dia bertindak seakan-akan dia memiliki seluruh kota, pikir Hannah.

Pada waktu Halloween, Hannah dan sekelompok teman-teman


memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Chesney dan menyemprotkan
cat ke jendelanya. Tetapi mereka kecewaan, Chesney telah bersiap-
siap untuk trik pemain-pemain Halloween. Dia berdiri siap di jendela
depan rumahnya, satu senapan besar di tangannya.

Hannah dan teman-temannya pergi berjalan, kecewa dan takut.

20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia tahu betapa kami semua membencinya, Hannah menyadari.

Dan dia tak peduli.

Gang itu sekarang sepi. Hannah kembali menuju alun-alun kota,


berpikir tentang Danny. Dia tampak begitu ketakutan, begitu pucat.
Begitu pucat, dia hampir tampak memudar dalam terangnya sinar
matahari.

Dua teman Danny tampaknya tak takut sama sekali, pikir Hannah.
Mereka tampak marah dan kuat. Atau mungkin mereka hanya
berlagak kuat karena Pak Chesney begitu mengerikan untuk anjing
anak pirang itu.

Menyeberangi alun-alun, Hannah mencari tanda-tanda kehidupan. Di


tokonya yang terang benderang itu, Ernie masih duduk di kursi tukang
cukur, wajahnya terbenam di majalah. Satu mobil station wagon biru
telah masuk ke pom bensin. Seorang wanita yang tak Hannah kenal
sedang terburu-buru untuk sampai ke bank sebelum tutup.

Tak ada tanda dari Danny dan dua temannya.

Kurasa aku akan pulang dan masuk Rumah Sakit Umum, pikir
Hannah sambil mendesah. Dia menyeberang jalan dan berjalan
perlahan menuju ke rumah.

Pohon-pohon tinggi, maple, birch dan sassafras, berjajar trotoar.


Daun-daunya sangat tebal, hampir-hampir ,menghalangi sinar
matahari.

21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Begitu dingin di bawah bayangannya, Hannah menyadari saat ia
berjalan di bawah pepohonan itu.

Dia telah setengah blok ketika sosok gelap itu meluncur keluar dari
balik pepohonan.

Pada mulanya Hannah pikir itu hanya bayangan semu dari batang
pohon yang lebar. Tapi kemudian, saat matanya terbiasa dengan
keteduhan itu, sosok itu menjadi jelas.

Hannah tersentak dan berhenti berjalan.

Dia menatap tajam, menyipitkan mata ke arah sosok itu, berusaha


untuk kembali fokus.

Sosok itu berdiri di bayangan genangan biru yang dalam. Berpakaian


hitam, sosok itu tinggi dan ramping, wajahnya benar-benar
tersembunyi dalam kegelapan.

Hannah merasakan gigilan dingin ketakutan mengguncang turun di


tubuhnya.

Siapa dia? dia bertanya-tanya. Kenapa dia berpakaian seperti itu?

Mengapa dia berdiri begitu tenang, menjaga dalam bayangan,


menatap ke arahku dari bayangan gelap?

Apa dia mencoba menakut-nakutiku.

Sosok itu perlahan-lahan mengangkat tangan, memberi isyarat pada


Hannah untuk datang mendekat.

22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hatinya berdebar-debar di dadanya, Hannah mundur selangkah.

Apakah memang ada seseorang di sana?

Satu sosok berpakaian hitam-hitam?

Atau aku melihat bayangan semu oleh pepohonan?

Hannah tak yakin - sampai ia mendengar bisikan:

"Hannah... Hannah..."

Bisikan itu sekering sentuhan daun-daun pohon, dan hampir sama


lembutnya.

"Hannah... Hannah..."

Suatu bayangan hitam yang ramping, memberi isyarat padanya


dengan lengan sekurus ranting, berbisik padanya. Benar-benar kering,
tak manusiawi.

"Tidak!" jerit Hannah.

Dia berbalik dan berusaha untuk lari. Kakinya terasa lemas. Lututnya
tak mau membungkuk.

Tapi ia memaksakan dirinya untuk lari. Lebih cepat.

Lebih cepat.

Apakah sosok itu mengikutinya?

23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
5

Terengah-engah keras, Hannah menyeberang jalan tanpa berhenti


untuk mencari keramaian. Sepatunya berdebam di trotoar saat ia
berlari.

Satu blok lagi.

Apa dia membuntuti?

Bayangan-bayangan bergeser dan tertekuk saat dia berlari di bawah


pohon. Bayangan di atas bayangan, meluncur satu sama lain, abu-abu
di atas hitam, biru di atas abu-abu.

"Hannah... Hannah..." Bisikan kering.

Kering seperti kematian.

Memanggilnya dari bayangan-bayangan yang bergeser itu.

Dia tahu namaku, pikirnya, terengah-engah, memaksakan kakinya


untuk terus bergerak.

Dan kemudian dia berhenti.

Dan berputar.

"Siapa kau?" teriaknya terengah-engah. "Apa yang kau inginkan?"

Tapi dia telah menghilang.

Yang ada sekarang kesunyian. Kecuali napas keras Hannah.


24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hannah menatap jalinan bayang-bayang sore hari. Matanya melesat di
atas semak-semak dan pagar-pagar halaman di bloknya. Dia mencari
di antara sela-sela rumah, di balik satu pintu garasi gelap yang
terbuka, lapangan abu-abu miring di samping gudang kecil.

Hilang. Lenyap.

Tak ada tanda-tanda sosok berselubung hitam yang membisikkan


namanya.

"Wah -!" ia berteriak keras-keras.

Itu adalah ilusi optik, dia memutuskan, matanya dengan waspada


masih mempelajari halaman depan itu.

Tak mungkin.

Dia berdebat dengan dirinya sendiri. Ilusi optik tak akan memanggil
namamu.

Tak ada apa pun di sana, Hannah, dia meyakinkan dirinya. Napasnya
kembali normal. Tak ada.

Kau mengarang cerita hantu lagi. Kau membuat takut dirimu sendiri
lagi. Kau bosan dan kesepian, sehingga kau membiarkan imajinasimu
lepas kontrol denganmu.

Merasa hanya sedikit lebih baik, Hannah berlari di sisa perjalanan


pulang.

®RatuBuku

25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kemudian, saat makan malam, ia memutuskan untuk tak
menyebutkan sosok bayangan itu pada orang tuanya. Bagaimanapun
mereka tak akan pernah percaya.

Sebaliknya, Hana mengatakan kepada mereka tentang keluarga baru


yang pindah disebelah.

"Hah? Seseorang pindah ke rumah Dodsons '?" Pak Fairchild


meletakkan garpu dan pisaunya, dan menatap ke seberang meja pada
Hannah dari belakang bingkai persegi kacamata bergagang
tanduknya.

"Ada anak seumuranku," lapor Hannah. "Namanya Danny. Dia


berambut oranye terang dan bintik-bintik."

"Itu bagus," jawab Bu Fairchild dengan bingung, memberi isyarat


pada si kembar untuk menghentikan mendorong satu sama lain dan
memakan makan malam mereka.

Hannah bahkan tak yakin ibunya mendengarnya.

"Bagaimana mereka pindah tanpa kita melihatnya?" tanya Hannah


pada ayahnya. "Apakah kau melihat satu truk pindahan atau apa?"

"Huh-eh," gumam Bu Fairchild, mengangkat alat makannya dan


kembali ke ayam panggangnya.

"Yaah, bukankah itu aneh?" tuntut Hannah.

Tapi sebelum salah satu orangtuanya bisa menjawab, kursi Herb


terguling ke belakang. Kepalanya membentur linoleum (pelapis

26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
lantai), dan dia mulai melolong. Ibunya dan ayah melompat dari kursi
mereka dan membungkuk untuk membantunya.

"Aku tak mendorongnya!" teriak Bill nyaring. "Sungguh, aku tidak!"

Frustrasi bahwa orangtuanya tak tertarik pada berita besarnya,


Hannah membawa piringnya ke dapur. Lalu ia menggeluyur ke kamar
tidurnya. Berjalan ke mejanya, dia menyingkap tirai dan mengintip
keluar jendela.

Danny, kau di sana? dia bertanya-tanya, menatap tirai yang menutupi


jendela yang gelap. Apa yang kau lakukan sekarang?

®RatuBuku

Hari-hari musim panas tampak mengapung. Hannah hampir tak ingat


bagaimana ia melewatkan waktu.

Seandainya satu temanku di sekitar sini, pikirnya sedih. Seandainya


satu temanku mau menulis.

Musim panas yang benar-benar sepi...

Dia mencari-cari Danny, tapi dia tak pernah tampak berada di sekitar.
Ketika Hannah akhirnya melihat Danny di halaman belakang
rumahnya di akhir suatu sore, Hannah bergegas untuk berbicara
dengannya.

"Hai!" teriak Hannah dengan antusias.

27 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Danny sedang melempar bola tenis ke bagian belakang rumah dan
menangkapnya. Bola itu membuat suara keras setiap kali menabrak
dinding kayu merah itu.

"Hai!" Hannah berteriak lagi, berlari-lari melewati rerumputan.

Danny berbalik, kaget. "Oh. Hai. Bagaimana kabarmu?" Dia berputar


ke rumah dan melempar bola.

Dia memakai kaus biru di atas celana pendek longgar bergaris hitam
dan kuning. Hannah melangkah di sampingnya.

Duk. Bola itu membentur dinding tepat di bawah selokan dan


memantul ke tangan Danny.

"Aku tak melihatmu di sekeliling," kata Hannah dengan canggung.

"He-eh," adalah jawaban singkatnya.

Duk.

"Aku melihatmu di belakang kantor pos," kata Hannah tanpa berpikir.

"Hah?" Danny memutar-mutar bola di tangannya, tapi tak


melemparnya.

"Beberapa hari yang lalu, aku melihatmu di gang. Dengan kedua


orang itu. Pak Chesney benar-benar brengsek, bukan?" kata Hannah.

Danny tertawa terkekeh-kekeh. "Saat dia berteriak, seluruh kepalanya


berubah jadi merah terang. Sama seperti tomat."

"Tomat busuk," tambah Hannah


28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Apa masalahnya, sih?" tanya Danny, melempar bola. Duk. "Teman-
temanku dan aku - Kami tak melakukan apa-apa. Cuma nongkrong."

"Dia pikir dia orang penting," jawab Hannah. "Dia selalu


menyombongkan diri bagaimana dia itu seorang petugas federal."

"Ya."

"Apa yang kau lakukan musim panas ini?" tanya Hannah. "Hanya
berkeliaran seperti aku?"

"Semacam itu," kata Danny. Duk. Dia meleset menangkap bola dan
harus mengejarnya ke garasi.

Saat ia berjalan kembali ke rumah, dia menatap Hannah, seakan-akan


melihatnya untuk pertama kalinya, Hannah tiba-tiba merasa sadar.
Dia mengenakan atasan kuning dengan noda selai anggur di bagian
depan, dan celana pendek ratty-nya katun biru.

"Mereka dua orang, Alan dan Fred - mereka itu teman-teman


nonkrongku biasanya" kata Danny padanya. "Teman-teman dari
sekolah."

Duk.

Bagaimana dia bisa punya teman-teman dari sekolah? Hannah


bertanya-tanya. Bukankah dia baru saja pindah ke sini?

"Ke sekolah mana kau pergi?" tanya Hannah, mengelak keluar dari
jalan saat ia mundur untuk menangkap bola.

29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"SMP Maple Avenue," jawabnya.

Duk.

"Hei - itu (sekolah) kemana aku pergi!" Hannah seru.

Bagaimana bisa aku tak pernah melihatnya di sana? dia bertanya-


tanya.

"Apakah kau kenal Alan Miller?" tanya Danny, berpaling padanya,


melindungi matanya dengan satu tangan dari matahari sore.

Hannah menggeleng. "Tidak"

"Fred Drake?" tanya Danny.

"Tidak," jawab Hannah. "Kau kelas berapa?"

"Aku akan berada di kelas delapan tahun ini," katanya, berbalik


kembali ke dinding.

Duk.

"Aku juga!" Hannah dinyatakan. "Apa kau kenal Pace Janey?"

"Tidak"

"Bagaimana dengan Josh Goodman?" tanya Hannah.

Danny menggeleng. "Tak kenal dia."

"Aneh," kata Hannah, berpikir keras.

Danny melemparkan bola tenis agak terlalu keras, dan mendarat di


atap sirap abu-abu yang miring. Mereka berdua menyaksikan bola itu
30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terbentur, lalu berputar ke dalam pancuran atap. Danny mendesah dan
menatap pancuran atap itu, dengan wajah jijik.

"Bagaimana kita bisa berada dalam kelas yang sama dan tak tahu
beberapa anak-anak yang sama?" tuntut Hannah.

Danny berpaling padanya, menggaruk rambut merahnya dengan satu


tangan. "Aku tak tahu."

"Betapa aneh!" ulang Hannah.

Danny melangkah ke dalam bayangan biru rumah. Hannah


memicingkan mata dengan tajam. Danny tampak menghilang dalam
persegi panjang luas bayangan.

Itu tak mungkin! pikirnya.

Aku pasti melihatnya di sekolah.

Jika kami berada di kelas yang sama, tak ada cara aku bisa tak
menjumpainya.

Apakah dia berbohong? Apakah dia mengarang ini semua?

Danny sudah sepenuhnya menghilang dalam bayangan. Hannah


memicingkan mata tajam, menunggu matanya untuk menyesuaikan.

Dimana dia? Tanya Hannah pada dirinya sendiri.

Dia terus menghilang. Seperti hantu.

Hantu. Kata itu muncul keluar masuk dari pikirannya.

31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Saat Danny kembali ke tampak, ia menarik sebuah tangga aluminium
panjang di dinding belakang rumah.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Hannah, bergerak mendekat.

"Mengambil bolaku," jawabnya, dan mulai memanjat tangga, (sepatu)


Nike putihnya tergantung di atas anak tangga logam sempit.

Hannah mendekat. "Jangan naik ke sana," katanya, tiba-tiba dicekam


perasaan dingin.

"Hah?" Danny berseru. Dia sudah setengah jalan menaiki tangga,


kepalanya hampir sejajar dengan pancuran atap.

"Turunlah, Danny." Hannah merasakan gelombang ketaakutan


melanda pada dirinya. Perasaan berat di perutnya.

"Aku seorang pemanjat yang baik," kata Danny, menarik dirinya lebih
tinggi. "Aku memanjat segalanya. Ibuku bilang aku harus berada
dalam sirkus atau semacamnya.."

Sebelum Hannah bisa mengatakan apa-apa lagi, ia telah naik dari


tangga dan berdiri di atap miring, kakinya terbuka lebar, tangannya
membentang tinggi di udara. "Lihat?"

Hannah tak bisa menghilangkan firasatnya, perasaan sangat takut.


"Danny - tolonglah!"

Mengabaikan teriakan melengking Hannah, Danny membungkuk


untuk memungut bola tenis dari pancuran atap.

32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hannah menahan napasnya saat Danny meraih bola.

Tiba-tiba, Danny kehilangan keseimbangan. Matanya melebar karena


terkejut.

Sepatunya tergelincir pada papan sirap. Tangannya terangkat dengan


dramatis seolah-olah mencoba berpegangan pada sesuatu.

Hannah terkesiap, menatap tak berdaya saat Danny terguling dengan


kepala lebih dulu dari atap.

33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
6

Hannah menjerit dan menutup matanya.

Aku harus mencari pertolongan , pikirnya.

Jantungnya berdebar, ia memaksakan dirinya untuk membuka


matanya, dan mencari Danny di tanah. Tapi dia terkejut, Danny
berdiri di depannya, wajahnya menyeringai nakal.

"Hah?" Hannah terkesiap kaget. "Kau - kau baik-baik saja?"

Danny mengangguk, masih menyeringai.

Dia tak membuat suara, pikir Hannah, menatap tajam ke arahnya. Dia
mendarat tanpa suara.

Hannah meraih bahu Danny. "Kau baik-baik saja?"

"Ya, aku baik-baik," kata Danny tenang. "Nama tengahku adalah


Daredevil. Danny Daredevil Anderson. Itulah yang selalu ibuku
katakan." Dia melempar bola dengan santai dari tangan ke tangan.

"Kau membuatku ketakutan (setengah) mati!" teriak Hannah.


Ketakutannya berubah menjadi kemarahan. "Mengapa kau melakukan
itu?"

Danny tertawa.

"Kau bisa saja terbunuh!" kata Hannah padanya.

34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tidak akan," jawab Danny dengan tenang.

Hannah merengut kepadanya, menatap tajam ke mata cokelatnya.


"Apakah kau melakukan hal-hal seperti itu sepanjang waktu? Jatuh
dari atap cuma untuk menakut-nakuti orang-orang?"

Senyum Danny melebar, tapi dia tak mengatakan apa-apa. Dia


berbalik dari Hannah dan melemparkan bola tenis pada rumah.

Duk.

"Kau jatuh (dengan) kepala lebih dulu," kata Hannah. "Bagaimana


kau bisa mendarat dengan kakimu?"

Danny terkekeh. "Sihir," jawabnya rahasia.

"Tapi - tapi -!"

"Hannah Hannah!" Dia berbalik dan melihat ibunya memanggilnya


dari beranda belakang.

"Ada apa?" teriak Hannah.

Duk.

"Aku harus pergi keluar selama satu jam. Dapatkah kau datang
mengurus Bill dan Herb?"

Hannah berbalik kembali pada Danny. "Aku harus pergi. Sampai


jumpa."

"Sampai jumpa," jawabnya, mengedipkan wajah bintik-bintiknya


yang menyeringai.
35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Duk.

Hannah mendengar suara bola pada dinding redwood saat ia berlari


melintasi jalan masuk ke rumahnya. Sekali lagi, ia membayangkan
Danny jatuh dari atap.

Bagaimana dia melakukannya? Hannah bertanya-tanya. Bagaimana


dia mendarat di kakinya dengan pelan?

"Aku akan pergi hanya satu jam," kata ibunya, mencari-cari dalam
tasnya untuk mencari kunci mobil. "Bagaimana bisa keluar? Malam
ini seharusnya berawan dan hujan."

Laporan cuaca lainnya, pikir Hannah, memutar matanya.

"Jangan biarkan mereka membunuh satu sama lain, jika kau bisa
membantu itu," kata Bu Fairchild, menemukan kunci dan menutup
tasnya.

"Itu Danny," kata Hannah pada ibunya. "Anak baru tetangga sebelah.
Apakah kau melihatnya?

"Huh-eh. Maaf." Bu Fairchild bergegas ke pintu.

"Kau tak melihatnya?" kata Hannah.

Layar pintu terbanting.

Bill dan Herb muncul, dan menarik Hannah ke kamar mereka.

"Ular tangga" tuntut Bill.

"Ya. Ayo kita main ular tangga!" Herb menirukan.


36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hannah memutar matanya. Dia membenci permainan itu. Permainan
itu sangat bodoh. "Oke," dia setuju dengan mendesah. Dia duduk di
seberang mereka di atas karpet.

"Yaaaay!" teriak Bill gembira, membuka papan permainan. "Kau


akan bermain?"

"Ya. Aku akan bermain," kata Hannah padanya dengan sedih.

"Dan kita bisa main curang?" Tanya Bill.

"Ya. Ayo kita main curang!" desak Herb dengan seringai antusias.

®RatuBuku

Setelah makan malam, si kembar berada di lantai atas, berdebat


dengan orang tua mereka siapa dari mereka yang harus mandi
terakhir. Mereka berdua membenci mandi dan selalu bertengkar untuk
menjadi yang terakhir.

Hannah membantu (membereskan) meja kesayangan, kemudian


berjalan ke ruangan baca. Dia sedang berpikir tentang Danny sambil
berjalan ke jendela. Menyingkirkan tirai, dia menekankan dahinya
pada kaca yang dingin dan menatap ke seberang jalan masuk ke
rumah Danny.

Matahari telah turun dibalik pepohonan. Rumah Danny terbalut dalam


bayangan-bayangan gelap yang tebal. Jendela-jendela tertutupi oleh
tirai-tirai dan kerai-kerai.

37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hannah menyadari bahwa ia tak pernah benar-benar melihat siapa pun
di dalam rumah itu. Dia belum pernah melihat Danny masuk ke dalam
rumah atau keluar dari rumah itu. Dia belum pernah melihat seorang
pun keluar dari rumah itu.

Hannah melangkah mundur dari jendela, berpikir keras. Dia teringat


pagi tadi ia bertemu dengan Danny, setelah ia mengejarnya di
halaman belakang. Dia telah berbicara dengannya - dan ia menghilang
ke udara tipis.

Hannah berpikir tentang bagaimana Danny tampak menghilang ke


bayangan di samping rumahnya, bagaimana dia benar-benar harus
menyipitkan mata dengan keras untuk melihatnya.

Dan Hannah berpikir tentang bagaimana Danny tampak melayang ke


tanah, mendarat diam-diam dari atap.

Diam seperti hantu.

"Hannah, apa yang kaupikirkan?" ia memarahi dirinya sendiri.

Apakah aku mengarang cerita hantu lainnya?

Dia tiba-tiba punya begitu banyak pertanyaan berjalan terus di


pikirannya: Bagaimana Danny dan keluarganya pindah tanpa dia
lihat? Bagaimana bisa Danny berada di sekolahnya, di kelasnya, tanpa
dia pernah melihatnya di sana?

Kenapa dia tak kenal teman-teman Danny, dan Danny tak kenal
teman-temannya?

38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ini semua sangat aneh, pikir Hannah.

Aku tak membayangkan itu semua. Aku tak mengada-ada.

Bagaimana jika Danny benar-benar hantu?

Kalau saja ia memiliki seseorang untuk diajak bicara, seseorang untuk


berdiskusi tentang Danny. Tapi teman-temannya semua pergi. Dan
orangtuanya pasti tak akan pernah bisa mendengarkan ide yang sangat
gila itu.

Aku harus membuktikan sendiri, Hannah memutuskan. Aku akan


mempelajarinya. Aku akan ilmiah. Aku akan mengamatinya. Aku
akan memata-matainya.

Ya. Aku akan memata-matainya.

Aku akan pergi melihat jendela dapurnya, ia memutuskan.

Dia melangkah keluar ke beranda belakang dan mendorong layar


pintu menutup di belakangnya. Malam itu hangat yang tenang. Bulan
pucat tergantung di atas halaman belakang dalam langit biru yang
megah.

Saat Hannah melintas menuju di halaman belakangnya, mengambil


langkah-langkah panjang yang cepat, jangkrik-jangkrik mulai
mengerik keras. Rumah Danny menjulang di depannya, rendah dan
gelap terhadap langit.

Tangga itu masih tersandar di dinding belakang.

39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hannah melintasi jalan yang memisahkan halaman rumahnya dari
rumah Danny. Jantungnya berdebar-debar kencang, dia bergerak
pelan di rumput dan menaiki tiga anak tangga pondasi beton rendah
beranda belakang. Pintu dapur itu tertutup.

Dia melangkah ke pintu, menekankan wajahnya dekat dengan jendela,


mengintip ke dapur - dan terkesiap.

40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
7

Hannah terkesiap karena Danny sedang menatap ke arahnya dari sisi


lain dari jendela.

"Oh!" Hannah berteriak dan hampir terguling mundur dari beranda


sempit itu.

Di dalam rumah, mata Danny terbuka lebar karena terkejut. Di


belakangnya, Hannah bisa melihat satu set meja dengan piring kuning
cerah. Seorang wanita tinggi dan ramping, berambut pirang -
kemungkinan besar ibu Danny - sedang menarik sesuatu keluar dari
oven microwave ke meja.

(microwave oven : alat masak yang memiliki fungsi untuk


menghangatkan makanan beku atau makanan instan, dan untuk
membuat popcorn)

Pintu terbuka. Danny menjulurkan kepalanya, ekspresinya masih


heran. "Hai, Hannah. Ada apa?"

"Tak ada apa-apa-eh-. Tak ada apa-apa, sungguh," Hannah tergagap.


Dia bisa merasakan pipinya menjadi panas, dan tahu bahwa dia
tersipu-sipu.

Mata Danny menyala-nyala padanya. Mulutnya jadi menyeringai.


"Nah, apakah kau ingin masuk atau apa?" dia bertanya. "Ibuku
menyiapkan makan malam, tapi -"
41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tidak!" teriak Hannah, terlalu keras. "Aku tidak - maksudku - aku -"

Aku bertindak seperti orang yang benar-benar brengsek! Hannah


menyadarinya.

Hannah menelan ludah, menatap wajah menyeringai Danny.

Dia menertawakanku!

"Sampai jumpa!" teriak Hannah, lalu melompat dari beranda dengan


canggung, hampir tersandung ke tanah. Tanpa melihat ke belakang, ia
pergi, berlari dengan kecepatan penuh kembali ke rumahnya.

Aku belum pernah sebegitu malu sepanjang hidupku! pikir Hannah


sedih.

Tak pernah!

®RatuBuku

Saat dia melihat Danny keluar dari rumahnya sore berikutnya,


Hannah bersembunyi di balik garasi. Melihatnya menjalankan
sepedanya menyusuri jalan masuk itu, ia merasa pipinya jadi panas,
merasa malu lagi.

Kalau aku akan jadi mata-mata, aku harus lebih tenang, katanya pada
diri sendiri. Tadi malam, aku kehilangan itu. Aku panik.

Itu tak akan terjadi lagi.

42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia melihat Danny menaiki sepedanya dan, berdiri, (mengayuh) pedal
ke jalan. Menempel di dinding garasi, Hannah menunggu untuk
melihat ke arah mana Danny berputar. Lalu Hannah bergegas ke
garasi untuk mengambil sepedanya.

Dia menuju kota, Hannah lihat. Mungkin menemui dua anak laki-laki
itu. Aku akan membiarkannya mulai maju dulu, lalu aku akan
mengikutinya.

Hannah menunggu di kaki jalan, mengangkangi sepeda, melihat


Danny sampai ia menghilang ke blok berikutnya.

Sinar matahari tersaring melalui pepohonan yang menjorok saat


Hannah mulai mengayuh, menjaga kecepatan pelan yang mantap saat
dia mengendarai (sepeda) mengejar Danny. Bu Quilty keluar
menyiangi kebunnya seperti biasa. Kali ini, Hannah tak repot-repot
mengucapkan halo.

Seekor anjing terrier putih kecil mengejarnya selama setengah blok,


menyalak keras dengan gembira, lalu akhirnya menyerah saat Hannah
mengayuh menjauh.

Lapangan bermain sekolah muncul. Beberapa anak-anak bermain


kasti di sudut lapangan. Hannah mencari-cari Danny, tapi ia tak ada.

Dia terus ke kota. Matahari terasa hangat di wajahnya. Dia tiba-tiba


ingat Janey. Mungkin aku akan mendapatkan suratnya dari hari ini,
pikirnya.

43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia berharap Janey ada di situ untuk membantu memata-matai
Danny. Mereka berdua akan menjadi tim mata-mata yang hebat,
Hannah tahu. Dia tak akan kehilangan ketenangan seperti yang dia
(alami) tadi malam jika Janey ada di situ.

Alun-alun kota kelihatan. Bendera di atas kantor pos kecil putih


berkibar di antara angin sepoi-sepoi yang hangat. Beberapa mobil
diparkir di depan toko bahan pangan itu. Dua wanita yang memegang
tas belanjaan sedang berbicara di pinggir jalan.

Hannah mengerem sepedanya dan menurunkan kakinya ke tanah. Dia


melindungi matanya dari sinar matahari dengan satu tangan dan
mencari-cari Danny.

Danny, di mana kau? pikirnya. Apa kau dengan teman-temanmu? Ke


mana kau pergi?

Dia mengayuh melintasi alun-alun kecil yang penuh rumput itu


menuju kantor pos.

Sepedanya menjendul di atas trotoar dan dia terus berjalan, mengitari


sisi bangunan menuju ke gang itu.

Tapi gang itu sepi dan kosong.

"Danny, kau di mana?" panggilnya keras-keras dengan irama datar


yang tenang. "Kau dimana?"

Dia hanya satu blok di depanku, pikirnya, menggaruk-garuk


rambutnya yang pendek. Apakah dia menghilang ke udara tipis lagi?

44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia bersepeda kembali ke alun-alun, lalu memeriksa di luar Harder's
Ice-Cream dan restoran.

Tak ada tanda darinya.

"Hannah, kau mata-mata yang hebat!" dia tertawa.

Sambil mendesah kalah, ia berbalik dan berjalan pulang.

Dia hampir sampai ke rumahnya saat ia melihat bayangan yang


bergerak.

Bayangan itu kembali! ia menyadari.

Dia memindahkan gigi persneling dan mulai mengayuh lebih keras.

Dari sudut matanya, ia melihat bayangan itu meluncur di halaman


depan Bu Quilty itu.

Sosok gelap itu melayang diam di atas rerumputan ke arahnya.

Hannah mengayuh lebih keras.

Bayangan itu kembali. Aku tak membayangkan hal ini.

Ini nyata. Tapi bagaimana bisa?

Berdiri, ia mengayuh lebih keras. Lebih keras.

Tetapi sosok itu meluncur bersama dengannya, menambah kecepatan,


mengambang dengan mudah.

Hannah berbalik dan melihat lengan-lengan bayangan itu menjulur ke


arahnya.

45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia terkesiap ketakutan. Kakinya tiba-tiba terasa seolah-olah seberat
seribu pound.

Aku - aku tak bisa bergerak! pikirnya.

Bayangan itu melandanya. Dia bisa merasakan dingin yang tiba-tiba.

Lengan-lengan hitam seperti tongkat terulur padanya dari bayangan


berbentuk manusia itu.

Wajahnya - mengapa aku tak bisa melihat wajahnya? Hannah


bertanya-tanya, berusaha untuk terus bergerak

Bayangan itu menghalangi terangnya matahari. Seluruh dunia


menghitam di bawahnya.

Aku harus terus bergerak. Harus bergerak, Hannah berkata pada


dirinya sendiri.

Sosok gelap itu melayang di sampingnya, lengan-lengannya


terentang.

Ternganga ketakutan, Hannah melihat mata-mata merah terang itu


bersinar seperti bara api dari kegelapan.

"Hannah..." bisik bayangan itu. "Hannah..."

Apa yang ia inginkan dariku?

Dia berjuang untuk tetap mengayuh, tapi kakinya tak mau bekerja
sama.

"Hannah... Hannah..."
46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bisikan kering seperti mengepungnya, membelitnya dengan
ketakutan.

"Hannah..."

"Tidak!" jerit Hannah saat dia merasa dirinya mulai bergerak ke


udara.

Dia berjuang untuk menjaga keseimbangannya.

Terlambat. Dia jatuh. Dia tak bisa menghentikan dirinya.

"Hannah... Hannah..."

Dia mengulurkan tangannya untuk menahan jatuhnya.

"Oooh!"

Dia tersentak kesakitan saat ia mendarat keras di atas pinggangnya.

Sepeda itu jatuh di atas tubuhnya.

Sosok bayangan itu, matanya merah bersinar, bergerak untuk


menangkapnya.

"Hannah Hannah!"

47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
8

"Hannah! Hannah!"

Bisikan itu yang menjadi teriakan.

"Hannah!"

Pinggang Hannah terasa sakit berdenyut-denyut. Dia berusaha


menarik napas.

"Apa yang kau inginkan?" ia berhasil berteriak. "Tinggalkan aku


sendirian. Tolonglah!"

"Hannah! Ini aku!"

Dia mengangkat kepalanya untuk melihat Danny berdiri di atasnya.


Dia mengangkangi sepedanya, memegang setang, menatap dirinya,
wajahnya penuh perhatian. "Hannah - apa kau baik-baik saja?"

"Bayangan itu-!" teriaknya, merasa bingung.

Danny menurunkan sepedanya ke rerumputan dan bergegas. Dia


mengangkat sepeda Hannah dari Hannah dan meletakkannya di
samping sepedanya. Lalu ia meraih tangan Hannah. "Apa kau baik-
baik saja? Kau bisa berdiri? Aku melihatmu terjatuh. Apa kau
menabrak batu atau sesuatu?"

"Tidak" Hannah menggelengkan kepala, mencoba untuk


menjernihkannya. "Bayangan itu - dia meraihku dan -"
48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ekspresi Danny berubah jadi kebingungan. "Hah? Siapa yang
meraihmu?"

Matanya mencari-cari di sekeliling, lalu kembali pada Hannah.

"Dia tahu namaku," kata Hannah terengah-engah. "Dia terus


memanggilku. Dia mengikutiku."

Danny mengamatinya, mengerutkan kening. "Apa kepalamu


terbentur? Apa kau merasa pusing, Hannah? Mungkin aku harus pergi
mencari pertolongan."

"Tidak... Aku... Eh..." Hannah menatap ke arah Danny. "Apa kau tak
melihatnya? Dia berpakaian hitam. Matanya sangat merah -"

Danny menggeleng, matanya masih mengamatinya dengan waspada.


"Aku hanya melihatmu," katanya pelan. "Kau bersepeda sangat cepat.
Di atas rerumputan. Aku melihatmu terjatuh."

"Kau tak melihat seseorang yang berpakaian hitam? Seorang pria?


Sedang mengejarku?"

Danny menggeleng. "Tak ada orang lain di jalan, Hannah. Cuma


aku."

"Mungkin kepalaku memang terbentur," gumam Hannah, mengangkat


tangannya ke rambut pendeknya.

Danny mengulurkan tangan. "Bisakah kau berdiri? Apakah kau


terluka?"

49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Aku - kukira aku bisa berdiri." Ia membiarkan Danny untuk
menariknya berdiri.

Jantungnya masih berdebar-debar. Seluruh tubuhnya terasa gemetar.


Menyipitkan matanya, ia mencari-cari di halaman-halaman depan,
matanya berlama-lama di lingkaran-lingkaran lebar bayangan pohon-
pohon tua di lingkungan itu. Tak seorang pun yang terlihat.

"Kau benar-benar tak melihat siapa pun?" tanya Hannah dengan suara
kecil.

Danny menggelengkan kepalanya. "Cuma kau. Aku melihatmu dari


sana." Dia menunjuk ke pinggir jalan.

"Tapi kupikir..." Suaranya menghilang. Dia bisa merasakan wajahnya


jadi merah.

Ini memalukan, pikir Hannah. Dia akan berpikir aku benar-benar gila.

Lalu Hannah berpikir, mungkin aku gila!

"Kau pergi begitu cepat," kata Danny, mengambil sepeda Hannah


untuknya, "Dan ada begitu banyak bayangan-bayangan dari semua
pepohonan. Dan kau ketakutan. Jadi mungkin kau membayangkan
seorang pria berpakaian hitam."

"Mungkin," jawab Hannah pelan.

Tapi dia tak berpikir begitu. . . .

®RatuBuku

50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Awan-awan putih melayang tinggi di atas matahari di sore berikutnya
saat Hannah berlari-lari kecil di jalan masuk ke kotak surat. Di suatu
tempat dalam blok, seekor anjing menggonggong.

Dia menarik ke bawah tutup (kotak surat) dan dengan bersemangat


merogoh ke dalam.

Tangannya meluncur ke logam kosong itu.

Tak ada surat. Tak ada.

Sambil mendesah kecewa, dia membanting penutup kotak surat itu


tertutup. Janey telah berjanji untuk menulis setiap hari. Dia telah pergi
selama berminggu-minggu, dan Hannah masih belum menerima
bahkan satu kartu pos pun.

Tak satu pun dari teman-temannya yang menulis surat kepadanya.

Saat dia berjalan tertatih-tatih kembali jalan masuk, Hannah melirik


rumah Danny. Awan-awan putih itu tercermin di kaca jendela ruang
tamu yang besar.

Hannah bertanya-tanya apakah Danny di rumah. Dia tak melihatnya


sejak kemarin pagi setelah jatuh dari sepedanya. Memata-mataiku tak
berjalan terlalu baik, ia mendesah. Melirik lagi jendela depan rumah
Danny, Hannah kembali menuju jalanan ke rumah.

Aku akan menulis ke Janey lagi, ia memutuskan. Aku harus


menceritakan tentang Danny, sosok bayangan yang menakutkan dan
hal-hal aneh yang telah terjadi.

51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia bisa mendengar si kembar di ruang baca, berdebat keras tentang
yang rekaman kartun yang ingin mereka lihat. Ibunya menyarankan
mereka pergi ke luar sebagai gantinya.

Hannah bergegas ke kamarnya untuk mengambil kertas dan pena.


Ruangan terasa panas dan pengap. Dia melemparkan tumpukan
pakaian kotor ke mejanya. Dia memutuskan untuk menulis surat pada
Janey di luar.

Beberapa saat kemudian, ia duduk di bawah pohon maple yang lebar


di tengah halaman depan. Satu lapisan awan tinggi bergulung di atas
langit. Matahari berusaha keluar dari cahaya putih yang menyilaukan
itu. Pohon tua yang rindang itu melindunginya dalam naungan yang
menyenangkan.

Hannah menguap. Dia tak tidur nyenyak di malam sebelumnya.


Mungkin aku akan tidur sebentar, pikirnya. Tapi pertama-tama, aku
harus menulis surat ini.

Bersandar pada yang batang padat itu, dia mulai menulis.

Janey sayang,

Bagaimana kabarmu? Aku dengan serius berharap kau jatuh di danau dan
tenggelam. Itu akan menjadi satu-satunya alasan baik untuk tak menulis
kepadaku sepanjang waktu ini!

Bagaimana bisa kau MENINGGALKAN aku di sini seperti ini? Musim panas
berikutnya, dengan satu cara atau yang lain, aku akan ke perkemahan
denganmu.
52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hal-hal yang pasti ANEH terjadi di sini. Apa kau ingat yang kukatakan
tentang anak tetangga sebelah yang (baru) pindah? Namanya Danny
Anderson, dan dia lumayan ganteng. Dia berambut merah, berbintik-bintik
dan bermata cokelat SERIUS.

Nah jangan tertawa, Janey - tapi kupikir Danny adalah HANTU!

Aku bisa mendengarmu tertawa. Tapi aku tak peduli. Pada saat kau kembali
ke Greenwood Falls, aku akan punya BUKTI.

Tolong - jangan bilang pada gadis-gadis lain sekamarmu bahwa teman


baikmu telah benar-benar panik sampai kau membaca sisa surat ini. Berikut
ini adalah bukti-buktiku sejauh ini:

1. Danny dan keluarganya tiba-tiba muncul di sebelah rumah. Aku tak


melihat mereka pindah, meskipun aku ada di rumah setiap hari. Begitu pula
orang tuaku.

2. Danny mengatakan ia pergi ke (sekolah) Maple Avenue, dan dia bilang


dia di kelas delapan seperti kita. Tapi kenapa kita tak pernah melihatnya?
Dia nongkrong dengan dua orang yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Dan ia tak kenal satu pun teman-temanku.

3. Kadang-kadang ia menghilang - wuuss - begitu saja. Jangan tertawa! Dan


sekali waktu ia jatuh dari atap dan mendarat di atas kakinya - tanpa
membuat suatu SUARA! Aku SERIUS, Janey.

4. Kemarin, aku dikejar-kejar oleh bayangan menakutkan, dan aku jatuh dari
sepedaku. Dan saat aku mendongak, bayangan itu lenyap, dan Danny berdiri
di tempatnya. Dan -

53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Uh-oh. Hal ini mulai terdengar benar-benar gila. Aku berharap kau ada di
sini agar aku bisa menjelaskannya lebih baik. Semuanya terdengar begitu
BODOH dalam surat. Seolah-olah aku benar-benar KACAU.

Aku tahu kau menertawakanku. Nah, silakan.

Mungkin aku tak akan mengirimkan surat ini. Maksudku, aku tak ingin kau
membuat lelucon-lelucon , atau mengingatkanku akan hal ini selama sisa
hidupku.

Jadi, cukup tentang aku.

Bagaimana kabarnya di luar sana di hutan? Kuharap kau digigit ular dan
seluruh tubuhmu membengkak, dan itulah mengapa aku belum mendengar
(kabar) darimu.

Kalau tidak, aku akan MEMBUNUHMU saat kau kembali! Sungguh!

TULISLAH (surat)!

Dengan Cinta,

Hannah.

Dengan menguap keras, Hannah menjatuhkan pena ke tanah. Dia


bersandar pada batang pohon dan perlahan-lahan membaca surat itu.

Apakah ini terlalu gila untuk dikirim? dia bertanya-tanya. Tidak, aku
harus mengirimnya. Aku harus memberitahu seseorang apa yang
terjadi di sini. Ini semua terlalu aneh untuk kusimpan sendiri.

54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Matahari akhirnya berhasil menembus awaN-awan. Daun-daun pohon
di atas kepalanya menangkap bayangan-bayangan yang bergerak
melintas di atas surat itu dalam pangkuannya.

Dia melirik ke dalam sinar matahari yan cerah - dan terkesiap,


terkejut melihat wajah yang menatap ke arahnya.

"Danny -!"

"Hai, Hannah," katanya pelan.

Hannah memicingkan mata padanya. Seluruh tubuhnya dikelilingi


oleh sinar matahari yang cerah. Dia tampak berkilauan dalam cahaya.

"Aku - aku tak melihatmu," Hannah tergagap. "Aku tak tahu kau ada
di sini. Aku -"

"Berikan aku surat itu, Hannah," kata Danny lembut tapi tegas. Dia
mengulurkan tangan untuk itu.

"Hah? Apa yang kaukatakan?"

"Berikan surat itu kepadaku," tuntut Danny, dengan sungguh-


sungguh. "Berikan padaku sekarang, Hannah."

Hannah mencengkeram erat surat itu dan menatap ke arah Danny. Dia
harus melindungi matanya. Matahari cerah seolah bersinar menembus
tubuh Danny.

Danny berdiri di atas Hannah, tangannya terulur. "Surat itu. Berikan


padaku," tegasnya.

55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tapi - kenapa?" tanya Hannah dengan suara kecil.

"Aku tak bisa membiarkanmu mengirimkannya," kata Danny


padanya.

"Kenapa, Danny? Ini suratku. Mengapa aku tak bisa mengirimkannya


kepada temanku?"

"Karena kau menemukan kebenaran tentang diriku," kata Danny.


"Dan aku tak mungkin akan membiarkanmu memberitahu siapa pun."

56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
9

"Jadi, aku benar," kata Hannah pelan. "Kau hantu."

Dia bergidik, gelombang ketakutan yang dingin menerpanya.

Kapan kau meninggal, Danny? Mengapa kau di sini? Untuk


menghantuiku? Apa yang akan kaulakukan padaku?

Pertanyaan-pertanyaan itu berpacu di benaknya. Pertanyaan-


pertanyaan yang menakutkan .

"Berikan aku surat itu, Hannah," desak Danny. "Tak ada seorang pun
yang akan membacanya. Tak ada yang akan bisa tahu."

"Tapi, Danny -" Hannah menatap ke arahnya. Menatap hantu.

Sinar matahari keemasan tertuang melalui Danny. Dia berpendar


keluar masuk dari pandangan.

Hannah mengangkat tangan untuk melindungi matanya.

Danny menjadi terlalu terang, terlalu terang untuk dilihat.

"Apa yang akan kaulakukan padaku, Danny?" tanya Hannah, menutup


matanya erat-erat. "Apa yang akan kaulakukan padaku sekarang?"

Ia tak menjawab.

Saat Hannah membuka matanya, ia menatap dua wajah bukan satu.

Dua wajah nyengir.


57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Saudara kembarnya menunjuk padanya dan tertawa.

"Kau tertidur," kata Bill.

"Kau mendengkur," kata Herb nya.

"Hah?" Hannah berkedip beberapa kali, mencoba menjernihkan


pikirannya. Lehernya terasa kaku. Punggungnya sakit.

"Begini caramu mendengkur," kata Herb. Dia melakukan suara-suara


sedotan mengerikan.

Kedua anak laki-laki jatuh ke rumput, tertawa-tawa. Mereka


berguling ke arah satu sama lain dan memulai pertandingan gulat
dadakan.

"Aku bermimpi buruk," kata Hannah, lebih kepada dirinya sendiri


daripada kepada saudara-saudaranya. Mereka tak mendengarkannya.

Dia bangkit berdiri dan meregangkan kedua lengannya ke atas


kepalanya, mencoba untuk meregangkan leher kakunya.

"Aduh."

Tertidur duduk pada batang pohon adalah ide yang buruk.

Hannah menatap ke rumah Danny. Mimpi itu begitu nyata, pikirnya,


merasakan udara dingin ke punggungnya. Begitu menakutkan.

"Trim's untuk membangunkan aku," katanya kepada si kembar.

Mereka tak mendengarkannya. Mereka berlomba lari menuju halaman


belakang.
58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hannah membungkuk dan mengambil surat itu. Dia melipatnya jadi
dua dan berjalan ke atas halaman menuju pintu depan.

Kadang-kadang mimpi mengatakan kebenaran, pikirnya, bahunya


masih sakit. Kadang-kadang mimpi memberitahukanmu hal-hal yang
tak bisa kau ketahui dengan cara lain.

Aku akan mencari tahu kebenaran tentang Danny, dia bersumpah.

Aku akan menemukan kebenaran meskipun itu akan membunuhku.

®RatuBuku

Malam berikutnya, Hannah memutuskan untuk melihat apakah Danny


di rumah. Mungkin ia senang berjalan-jalan ke toko Hard's dan
mendapatkan es krim kerucut, pikirnya.

Dia berkata kepada ibunya kemana dia akan pergi dan berjalan
melintasi halaman belakang.

Hujan turun sepanjang hari. Rumput basah berkilauan, dan tanah di


bawah sepatunya lunak dan berair. Bulan pucat berbentuk sabit naik
di atas gumpalan-gumpalan awan hitam. Udara malam terasa geli dan
basah.

Hannah menyeberangi jalan masuk, lalu ragu-ragu beberapa meter


dari beranda belakang Danny. Suatu cahaya kuning redup persegi
keluar melalui jendela di pintu belakang.

59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia ingat berdiri di pintu ini beberapa malam sebelumnya dan
menjadi benar-benar malu saat Danny membuka pintu dan dia tak
bisa memikirkan satu hal pun untuk dikatakan.

Setidaknya kali ini aku tahu apa yang akan kukatakan, pikirnya.

Mengambil napas dalam-dalam, Hannah melangkah ke cahaya


persegi itu di beranda. Dia mengetuk jendela pintu dapur.

Dia mendengarkan. Rumah itu sunyi.

Dia mengetuk lagi.

Sunyi. Tak ada langkah-langkah kaki untuk membuka pintu.

Dia mencondongkan tubuh ke depan dan mengintip ke dapur.

"Oh!" Hannah berteriak kaget.

Ibu Danny duduk di meja dapur kuning, punggungnya menghadap ke


Hannah, rambutnya bersinar dalam lampu dari suatu peralatan langit-
langit yang rendah. Kedua tangannya memegang cangkir kopi panas
berwarna putih.

Kenapa dia tak membuka pintu? Hannah bertanya-tanya.

Dia ragu-ragu, lalu mengangkat kepalan tangannya dan mengetuk


pintu keras-keras. Beberapa kali.

Melalui jendela, dia bisa melihat bahwa ibu Danny tak bereaksi sama
sekali pada ketukan itu. Dia mengangkat cangkir putih ke bibirnya
dan meneguk dengan lama, memunggungi Hannah.

60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Buka pintu!" teriak Hannah keras.

Dia mengetuk lagi. Dan memanggil: "Nyonya Anderson! Nyonya


Anderson! Ini aku - Hannah tetangga sebelah!"

Di bawah lampu kerucut itu, ibu Danny mengatur cangkir putih di


atas meja kuning. Dia tak berbalik. Dia tak beranjak dari kursinya.

"Nyonya Anderson -!"

Hannah mengangkat tangannya untuk mengetuk, lalu menurunkannya


kalah.

Kenapa dia tak mendengarku? Hannah bertanya-tanya, menatap bahu


ramping wanita itu, rambutnya yang berkilau turun melewati kerah
bajunya.

Mengapa dia tak mau datang ke pintu?

Dan kemudian Hannah menggigil ketakutan saat dia menjawab


pertanyaan-pertanyaannya sendiri,

Aku tahu mengapa dia tak mendengarku, pikir Hannah, mundur dari
jendela. Aku tahu mengapa dia tak membuka pintu.

Menguasai ketakutan, Hannah mengeluarkan erangan rendah dan


mundur dari cahaya itu, dari beranda, ke dalam kegelapan yang aman.

61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
10

Dengan seluruh (tubuh) gemetaran, Hannah memeluk dadanya,


seolah-olah melindungi dirinya dari pikiran-pikiran menakutkan itu.

Nyonya Anderson tak mendengarku karena dia tak nyata, Hannah


menyadari.

Dia tak nyata. Dia hantu. Seperti Danny.

Satu keluarga hantu telah pindah (jadi) tetanggaku.

Dan di sinilah aku, berdiri di halaman belakang yang gelap ini,


mencoba untuk memata-matai seorang anak yang bahkan tak hidup!
Aku di sini, dengan seluruh tubuh gemetaran, kedinginan dengan rasa
takut, berusaha membuktikan apa yang sudah kuyakini. Dia hantu.
Ibunya hantu.

Dan aku - aku -

Lampu dapur padam. Bagian belakang rumah Danny sekarang benar-


benar gelap.

Cahaya pucat dari bulan sabit mengalir turun ke rumput basah yang
berkilauan. Hannah berdiri, mendengarkan kesunyian itu, mencoba
untuk melenyapkan pikiran-pikiran menakutkan yang penuh sesak
dalam pikirannya sampai merasa seolah-olah kepalanya hendak
meledak.

62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dimana Danny? dia bertanya-tanya.

Menyeberangi jalan masuk, ia kembali ke rumahnya. Dia bisa


mendengar musik dan suara-suara dari TV di ruang baca. Dia bisa
mendengar tawa si kembar mengambang keluar dari jendela lantai
atas kamar mereka.

Hantu, pikirnya, menatap jendela-jendela bercahaya itu, seperti mata-


mata yang bersinar terang ke arahnya. Hantu. Aku tak percaya hantu!

Pikiran itu membantunya membuat rasa takutnya sedikit berkurang.


Dia tiba-tiba menyadari tenggorokannya kering. Udara malam terasa
panas dan lengket di kulitnya.

Dia memikirkan es krim lagi. Pergi ke Harder's dan mendapatkan


sendok ganda es krim sepertinya ide yang bagus. Kue-kue dan krim,
Hannah pikir. Dia sudah bisa merasakannya.

Dia bergegas ke rumah untuk memberitahu orangtuanya bahwa ia


jalan-jalan ke kota. Di ambang pintu ruang baca berpapan gelap, ia
berhenti. Orangtuanya, bermandikan cahaya dari layar TV, berpaling
padanya penuh harap.

"Ada apa, Hannah?"

Dia tiba-tiba terdorong untuk menceritakan semuanya. Dan ia


melakukannya. "Orang-orang tetangga sebelah, mereka tak hidup,"
semburnya keluar. "Mereka hantu. Kalian tahu Danny, anak laki-laki
usiaku? Dia hantu. Aku tahu dia hantu. Dan ibunya -..!"

63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Hannah, tolonglah - kami mencoba untuk menonton," kata ayahnya,
sambil menunjuk ke TV dengan kaleng Diet Coke di tangannya.

Mereka tak percaya padaku, pikirnya.

Dan lalu dia memarahi dirinya sendiri: Tentu saja mereka tak percaya
padaku. Siapa yang akan percaya cerita yang benar-benar gila itu?

Di kamarnya, ia mengambil selembar uang lima dolar dari dompet


dan memasukkannya ke saku celana pendeknya. Lalu ia menyisir
rambutnya, mengamati wajahnya di cermin.

Aku tampak oke, pikirnya. Aku tak terlihat seperti orang gila.

Rambutnya lembab karena udara malam yang basah. Mungkin aku


akan membiarkannya panjang, pikirnya, mengamati rambutnya jatuh
ke bentuk tertentu di sekitar wajahnya. Aku harus punya sesuatu
untuk ditunjukkan untuk musim panas ini!

Saat ia menuju pintu depan, dia mendengar suara tabrakan dan


benturan keras di atas kepalanya di atas. Si kembar pasti bergulat di
kamar mereka, ia menyadari, menggelengkan kepalanya.

Dia melangkah kembali ke dalam kegelapan hangat yang basah,


berlari-lari kecil menuruni halaman depan ke trotoar, menuju kota dan
Harder's Ice Cream Parlor.

Lampu jalanan tinggi yang kelihatannya model kuno menuangkan


linkaran-lingkaran sinar biru-putih di sepanjang jalan. Pohon-pohon

64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
bergetar dalam hembusan angin yang pelan, berdesir di atas trotoar
saat Hannah melangkah di bawahnya.

Hantu-hantu di trotoar, pikirnya dengan menggigil. Mereka


tampaknya meraih turun padanya dengan lengan-lengan berdaunnya.

Saat ia mendekati kota, perasaan takut yang aneh melandanya. Dia


mempercepat langkahnya saat ia melewati kantor pos, saat jendela-
jendela sehitam langit.

Alun-alun kota itu kosong, ia lihat. Ini bahkan belum jam delapan,
dan tak ada mobil-mobil yang melewati kota, tak ada satu pun di
jalan.

"Kota apa ini!" gumamnya lirih.

Di belakang bank, ia berbalik ke Elm Street. Harder's Ice-Cream


Parlor berdiri di tikungan berikutnya, sebuah lampu neon besar es
krim berwarna merah di jendelanya, memancarkan cahaya merah ke
trotoar.

Setidaknya Harder's tetap buka setelah gelap, pikir Hannah.

Saat ia berjalan mendekat, ia bisa melihat kaca pintu depan toko kecil
disangga terbuka mengundang.

Dia berhenti beberapa kaki dari pintu itu. Perasaan takut tiba-tiba
menjadi kuat. Meskipun malam itu panas, dia merasa benar-benar
kedinginan. Lututnya gemetar. Apa yang terjadi? dia bertanya-tanya.
Mengapa aku merasa begitu aneh?

65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Saat ia menatap melalui sinar merah dari neon kerucut itu ke ambang
pintu terbuka, mendadak sesosok tubuh keluar.

Diikuti oleh sosok yang lain. Dan sosok lainnya.

Dalam cahaya, mereka lari, wajah mereka penuh ketakutan.

Menatap heran, ia mengenali Danny di depan, diikuti oleh Alan dan


Fred.

Mereka masing-masing memegang es krim kerucut di depan mereka.

Mereka lari dari toko itu, membungkuk ke depan seolah-olah


berusaha untuk melarikan diri secepat mungkin. Sepatu mereka
berdebam di ubin trotoar.

Hannah mendengar teriakan marah keras dari dalam toko.

Tanpa disadari, dia telah bergerak mendekati pintu.

Dia masih bisa mendengar tiga anak laki-laki itu melarikan diri. Tapi
ia tak bisa lagi melihat mereka dalam kegelapan.

Dia berbalik - dan merasakan sesuatu menghantamnya dengan keras


dari belakang.

"Ohh!" Dia menjerit saat ia terlempar dengan hebat ke trotoar keras.

66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
11

Hannah mendarat keras di trotoar di siku dan lututnya. Jatuhnya itu


membuatnya sulit bernapas.

Rasa nyeri yang membakar menembus tubuhnya.

Apa yang terjadi? Apa yang menghantamku?

Terengah-engah, Hannah mengangkat kepalanya pada waktunya


untuk melihat Pak Harder meluncur cepat melewatinya. Dia berteriak
sekeras-kerasnya pada anak-anak itu untuk berhenti.

Hannah perlahan-lahan menarik dirinya untuk berdiri. Wah! pikirnya.


Harder benar-benar gila!

Berdiri tegak, lututnya yang terbuka berdenyut nyeri, hatinya masih


berdebar keras, dia melototi pemilik toko.

Dia bisa setidaknya mengatakan bahwa ia menyesal menjatuhkanku,


pikir Hannah marah.

Hannah membungkuk untuk memeriksa lututnya dalam cahaya dari


ruang es krim. Apakah terluka?

Tidak. Hanya sedikit memar.

Menyikat-nyikat celana pendeknya, Hannah mendongak dan melihat


Pak Harder bergegas kembali ke toko. Dia adalah seorang pria pendek
gemuk dengan rambut keriting putih di sekitar wajah merah mudanya
67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
yang bulat. Dia mengenakan celemek putih panjang yang berkibar-
kibar tertiup angin saat dia berjalan, mengayunkan tinjunya di
pinggangnya.

Hannah merunduk kembali keluar dari cahaya, di balik batang pohon


yang lebar.

Beberapa detik kemudian, dia bisa mendengar Pak Harder kembali di


belakang meja, mengeluh keras kepada istrinya.

"Apa yang salah dengan anak-anak itu?" teriaknya. "Mereka


mengambil es krim dan lari tanpa membayar? Apa mereka tak punya
orang tua? Apa mereka tak punya siapa-siapa untuk mengajari mereka
mana yang benar dari yang salah?"

Bu Harder menggumamkan sesuatu untuk menenangkan suaminya.


Hannah tak bisa mendengar kata-kata itu.

Dengan teriakan marah Pak Harder yang memenuhi udara, Hannah


bergerak pelan keluar dari balik pohon dan bergegas pergi, ke arah
anak laki-laki lari tadi.

Mengapa Danny dan teman-temannya melakukan aksi yang


sedemikian bodoh? dia bertanya-tanya. Bagaimana jika mereka
tertangkap? Apakah benar-benar layak ditangkap, mendapatkan
catatan polisi hanya untuk es krim?

Setengah jalan menuruni blok, ia masih bisa mendengar teriakan


marah Pak Harder dari dalam toko kecil itu. Hannah mulai berlari,
ingin segera pergi dari suara marah itu. Lutut kirinya terasa sakit.
68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Udara tiba-tiba terasa panas mencekik, berat dan lembab. Helaian-
helaian rambut di dahinya jadi kusut karena keringat.

Dia membayangkan Danny berjalan dari toko, memegang es krim


dengan satu tangan. Dia membayangkan ekspresi ketakutan di
wajahnya saat ia melarikan diri. Dia membayangkan Alan dan Fred
tepat di belakangnya, sepatu mereka berdebam di trotoar saat mereka
melarikan diri.

Dan sekarang dia juga berlari. Dia tak yakin mengapa.

Lutut kirinya masih sakit akibat jatuh. Dia sekarang keluar dari alun-
alun kota, melewati rumah-rumah dan halaman-halaman gelap.

Dia berbelok di pojokan, lampu jalanan membuat kerucut cahaya


putih di sekelilingnya. Rumah-rumah lagi. Satu lampu serambi
menyala. Tak ada seorang pun di jalanan.

Kota kecil yang benar-benar membosankan, pikirnya lagi.

Dia berhenti sebentar ketika ia melihat tiga anak laki-laki. Mereka


setengah jalan naik ke blok, berkerumun di balik dinding tinggi
seperti pagar.

"Hei - kalian!" Suaranya keluar menjadi bisikan.

Berlari di jalanan, ia berjalan ke arah mereka dengan cepat. Saat ia


datang mendekat, ia bisa melihat mereka tertawa bersama-sama,
menikmati es krim mereka.

69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka tak melihatnya. Hannah melangkah ke dalam bayangan gelap
di sisi lain dari jalan. Menjaga dalam kegelapan, dia bergerak pelan-
pelan mendekat, sampai ia berada di halaman di seberang jalan dari
mereka, tersembunyi oleh semak-semak pepohanan lebat.

Fred dan Alan dengan main-main saling mendorong satu sama lain,
menikmati kemenangan mereka atas pemilik toko, Danny berdiri
sendirian, di belakang mereka pada pagar tinggi itu, dengan diam
menjilati es krimnya.

"Harder punya satu malam khusus," kata Alan keras. "Es krim gratis!"

Fred tertawa kasar dan menampar Alan keras di punggungnya.

Kedua anak laki-laki berpaling kepada Danny. Cahaya dari lampu


jalan membuat wajah mereka terlihat pucat dan hijau.

"Kau tampak benar-benar takut," kata Alan pada Danny. "Kupikir kau
akan memuntahkan isi perutmu keluar."

"Hei, tak mungkin," tegas Danny. "Aku adalah orang pertama yang
keluar dari sana, kau tahu. Kalian begitu lambat, kupikir aku harus
kembali dan menyelamatkan kalian."

"Ya. Pasti." Jawab Fred sinis.

Danny berlagak jantan, Hannah menyadari. Dia berusaha menjadi


seperti mereka.

70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tadi itu agak menarik," kata Danny, melemparkan sisa es krim ke
dalam pagar. "Tapi mungkin kita sebaiknya berhati-hati. Kalian tahu.
Jangan nongkrong di sana untuk sementara waktu."

"Hei, ini tak seperti kita merampok bank atau yang lainnya," kata
Alan. "Ini hanya es krim."

Fred mengatakan sesuatu kepada Alan yang tak bisa Hannah dengar,
dan dua anak laki-laki itu mulai bergulat di sekitarnya, mengeluarkan
tawa bernada tinggi.

"Hei, kawan-kawan - jangan terlalu keras," kata Danny. "Maksudku -"

"Ayo kita kembali ke Harder," kata Alan. "Aku ingin dua sendok (es
krim)!"

Fred tertawa kasar dan tos dengan Alan. Danny ikut tertawa.

"Hei, kawan-kawan - kita harus pergi sekarang," kata Danny.

Sebelum teman-temannya bisa menjawab, jalanan dipenuhi dengan


cahaya.

Hannah berbalik untuk melihat dua lampu putih terang menjulang ke


arah mereka. Lampu-lampu besar mobil.

Polisi, pikir Hannah.

Mereka tertangkap. Mereka bertiga tertangkap.

71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
12

Mobil itu berhenti.

Hannah mengintip keluar dari balik semak-semak.

"Hei, kalian anak-anak -" pengemudi memanggil kepada anak-anak


laki-laki dengan suara kasar. Ia menjulurkan kepalanya keluar jendela
mobil.

Bukan polisi, Hannah menyadari, menarik napas panjang lega.

Anak-anak itu membeku di pagar. Dalam cahaya remang-remang dari


lampu jalanan, Hannah bisa melihat bahwa pengemudi itu seorang
pria tua, berambut putih, memakai kacamata.

"Kami tak melakukan apa-apa. Hanya ngobrol," kata Fred pada pria
itu.

"Apa kalian tahu bagaimana untuk sampai ke Route 112?" tanya pria
itu. Lampu dalam mobil itu menyala. Hannah bisa melihat peta jalan
di tangan pria itu.

Fred dan Alan tertawa, tertawa lega. Danny terus menatap pengendara
itu, ekspresinya masih ketakutan.

"Rute 112?" ulang pria itu.

"Jalan besar ini jadi Route 112," kata Alan pada pria itu, menunjuk ke
arah mobil itu tertuju. "Dua blok ke atas. Lalu belok ke kanan."
72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lampu dalam mobil itu padam. Pria itu mengucapkan terima kasih
kepada mereka dan melaju pergi.

Anak-anak menonton sampai mobil itu menghilang di kegelapan.


Fred dan Alan saling ber-tos. Lalu Fred mendorong Alan ke pagar.
Mereka semua tertawa secara sembrono.

"Hei, lihat di mana kita berada," kata Alan, terkejut.

Anak-anak berbalik menuju jalanan masuk. Dari tempat


persembunyiannya di seberang jalan, Hannah mengikuti tatapan
mereka.

Di akhir pagar berdiri sebuah kotak surat kayu yang tinggi pada
sebuah tiang. Satu pahatan tangan kepala angsa bertengger di atas
kotak, dengan sayap-sayap yang anggun menonjol keluar dari sisi-
sisinya.

"Ini rumah Chesney," kata Alan, berjalan di sepanjang pagar menuju


kotak surat. Dia meraih sayap dengan kedua tangan. "Apa kau
percaya kotak surat ini?"

"Chesney memahatnya sendiri," kata Fred, tertawa-tawa. "Konyol


sekali."

"Ini kebanggaan dan kesenangannya," ejek Alan. Ia membuka


penutupnya dan mengintip ke dalam. "Kosong."

"Siapa yang akan menulis surat kepadanya?" kata Danny, berusaha


terdengar sekuat kedua temannya.

73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Hei, aku punya ide, Danny," kata Fred. Dia melangkah ke belakang
Danny dan mulai mendorongnya menuju kotak surat.

"Wah," protes Danny.

Tapi Fred mendorongnya sampai ke kotak surat. "Mari kita lihat


seberapa kuat dirimu," kata Fred.

"Hei, tunggu -" teriak Danny.

Hannah melongok dari balik semak-semak rendah. "Oh, wow,"


gumamnya pada dirinya sendiri. "Sekarang apa yang akan mereka
lakukan?"

"Ambil kotak surat itu," ia mendengar Alan memerintah Danny. "Aku


menantangmu."

"Kami menantangmu," tambah Fred. "Ingat apa yang kau katakan


pada kami tentang keberanian, Danny? Bagaimana kau tak pernah
menolak menerima satu pun (tantangan)?"

"Ya. Kau bilang kau tak pernah menolak satu pun tantangan." Kata
Alan, menyeringai.

Danny ragu-ragu. "Yah, aku -"

Perasaan sangat takut terbentuk di perut Hannah. Melihat Danny


langkah menuju kotak pos pahatan tangan Pak Chesney, dia tiba-tiba
memiliki firasat - perasaan bahwa sesuatu yang sangat buruk akan
terjadi.

74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku harus menghentikan mereka, ia memutuskan.

Mengambil napas dalam-dalam, Hannah melangkah keluar dari balik


semak-semak.

Saat ia mulai memanggil mereka, semuanya menjadi gelap.

"Hei -!" teriak Hannah keras.

Apa yang terjadi?

Pikiran pertamanya adalah lampu jalanan telah padam.

Tapi lalu Hannah melihat dua lingkaran merah menyala di depannya.

Kedua mata bersinar yang dikelilingi oleh kegelapan.

Sosok bayangan itu berdiri beberapa inci di depannya.

Hannah mencoba berteriak, tapi suaranya teredam dalam kegelapan


yang hebat itu.

Hannah berusaha lari, tapi bayangan itu menghalangi jalannya.

Mata merah itu (menatap) tajam padanya.

Lebih dekat. Lebih dekat.

Ia sekarang menangkapku, Hannah tahu.

75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
13

"Hannah..." sosok itu berbisik. "Hannah..."

Begitu dekat, Hannah bisa mencium napas asam panas itu.

"Hannah... Hannah..."

Bisikan itu seperti derakan daun-daun kering.

Mata merah delima itu terbakar seperti api. Hannah merasa kegelapan
itu mengelilinginya, membungkusnya erat-erat.

"Tolong -" itu saja yang dia bisa keluarkan.

"Hannah..."

Dan cahaya itu kembali.

Hannah berkedip, berupaya untuk bernapas.

Bau asam itu melekat dalam hidungnya. Tapi jalanan itu terang
sekarang.

Lampu-lampu mobil bergerak di atas dirinya.

Sosik itu - itu pergi, Hannah menyadari. Lampu-lampu itu telah


mengusir sosok bayangan itu. Tapi akankah ia kembali?

Ketika mobil itu lewat, Hannah terjatuh ke tanah di balik semak-


semak rendah berdaun lebat dan berusaha untuk menarik napas. Saat

76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
dia mendongak, anak-anak itu masih berkerumun di depan pagar Pak
Chesney itu.

"Ayo kita pergi," desak Danny pada mereka.

"Tidak. Belum." Kata Alan, melangkah di depan Danny untuk


menghalangi jalan. "Kau lupa tantangan kami."

Fred mendorong Danny ke kotak surat itu. "Majulah. Ambil saja.."

"Hei, tunggu." Danny berputar. "Aku tak pernah bilang akan


melakukannya."

"Aku menantangmu untuk mengambil kotak Chesney itu," kata Fred


padanya. "Ingat? Kau bilang kau tak pernah menolak suatu
tantangan?"

Alan tertawa. "Chesney akan keluar besok dan berpikir angsanya itu
terbang menjauh."

"Tidak, tunggu -" protes Danny. "Mungkin ini ide yang bodoh."

"Ini adalah ide yang keren. Chesney adalah bajingan," tegas Alan.
"Semua orang di Greenwood Falls membenci isi perutnya."

"Ambil kotak itu, Danny," tantang Fred. "Tariklah. Ayo. Aku


menantangmu."

"Tidak, aku -" Danny mencoba mundur, tapi Fred menahan bahunya
dari belakang.

"Kau pengecut (ayam)?" tantang Alan.

77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Lihatlah ayam," kata Fred dengan suara mengejek kekanak-kanakan.
"Petok. Petok."

"Aku bukan pengecut," bentak Danny marah.

"Buktikan," tuntut Alan. Dia meraih tangan Danny dan


mengangkatnya ke pahatan sayap yang membentang dari sisi kotak
surat. "Ayo. Buktikan."

"Lucu sekali!" kata Fred. "Kepala kantor pos kota - kotak suratnya
terbang menjauh."

Jangan lakukan itu, Danny, pinta Hannah diam-diam dari tempat


persembunyiannya yang gelap di seberang jalan. Tolong - jangan
lakukan itu.

Seperangkat lampu mobil membuat tiga anak laki-laki itu kembali


menjauh dari kotak surat itu. Mobil itu meluncur lewat tanpa
melambat.

"Ayo kita pergi. Sudah malam," Hannah mendengar Danny berkata.

Tapi Fred dan Alan bersikeras, menggodanya, menantangnya.

Saat Hannah menatap cahaya putih lampu jalan, Danny melangkah ke


kotak surat Chesney dan menyambar sayap itu.

"Danny, tunggu -" teriak Hannah.

Dia tampaknya tak mendengarnya.

Dengan mengerang keras, dia mulai menarik.

78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kotak itu tak bergeming.

Dia menurunkan tangannya ke tiang dan memcekalnya rapat-rapat


persis di bawah kotak.

Dia menarik lagi,

"Ini benar-benar dalam," katanya kepada Alan dan Fred. "Aku tak
tahu apakah aku bisa mencabutnya."

"Coba lagi," desak Alan.

"Kami akan membantumu," kata Fred, menempatkan tangannya di


atas tangan Danny pada kotak.

"Ayo kita semua bekerja sama," desak Alan. "Pada hitungan ketiga."

"Aku tak akan melakukannya jika aku jadi kalian!" seru suatu suara
serak di belakang mereka.

Mereka semua berbalik dan melihat Pak Chesney memelototi mereka


dari jalan masuk, menggeram wajahnya sangat marah.

79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
14

Pak Chesney meraih bahu Danny dan menariknya menjauh dari kotak
surat itu.

Salah satu sayap angsa kayu itu patah di tangan Danny. Saat Pak
Chesney bergelut menjauhkannya, Danny membiarkannya jatuh ke
tanah.

"Kau bajingan!" Pak Chesney tergagap, matanya terbelalak marah.


"Kau - Kau-"

"Lepaskan dia!" teriak Hannah dari seberang jalan. Tapi rasa takut
meredam suaranya. Teriakannya keluar menjadi bisikan.

Dengan mengerang keras, Danny menarik bebas (dirinya) dari


pegangan orang itu.

Tanpa sepatah kata pun, ketiga anak laki-laki itu berlari, berlari di
tengah jalanan yang gelap, sepatu mereka berdebam keras di trotoar.

"Aku akan mengingat kalian!" teriak Pak Chesney setelah mereka.


"Aku akan mengingat kalian. Aku akan bertemu kalian lagi!. Dan saat
berikutnya, aku akan memegang senapanku!"

Hannah memperhatikan Pak Chesney membungkuk untuk mengambil


sayap angsa yang rusak itu. Dia memeriksa sayap kayu itu,
menggelengkan kepalanya dengan marah.

80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lalu Hannah mulai berlari, menjaga di halaman depan yang gelap,
tersembunyi oleh pagar tanaman dan semak-semak rendah, berlari ke
arah yang dituju Danny dan teman-temannya.

Dia melihat anak-anak laki-laki itu berbelok di tikungan, dan terus


berlari. Menjaga jauh di belakang, dia mengikuti mereka melewati
alun-alun kota yang masih sepi dan gelap. Bahkan Harder's es krim
sekarang tutup, toko gelap itu di belakang cahaya merah dari neon
jendela papan tanda.

Dua anjing tinggi, anjing kampung kaku dengan badan berbulu tipis,
menyeberang jalan di depan mereka, berlari perlahan-lahan, keluar
untuk berjalan-jalan sore. Anjing-anjing itu tak melihat saat anak-
anak laki-laki yang berlari melewatinya.

Di pertengahan blok berikutnya, ia melihat Fred dan Alan roboh di


bawah pohon yang gelap, cekikikan ke langit saat mereka berbaring di
tanah.

Danny bersandar pada batang pohon yang lebar itu, terengah-engah


keras.

Fred dan Alan tak bisa berhenti tertawa.

"Apa kalian lihat ekspresi wajahnya saat sayap yang konyol itu
jatuh?" teriak Fred.

"Kupikir matanya akan terlontar keluar!" seru Alan gembira. "Kupikir


kepalanya akan meledak!"

81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Danny tak ikut tertawa dengan mereka. Dia mengusap bahu kanannya
dengan satu tangan. "Dia benar-benar menghancurkan bahuku saat ia
memegangku," katanya, mengerang.

"Kau harus menuntutnya!" saran Alan. Dia dan Fred tertawa terbahak-
bahak, duduk untuk setiap kali tos.

"Tidak. Sungguh," kata Danny pelan, masih mengusap-usap bahu.


"Dia benar-benar menyakitiku. Ketika ia memutarku, kupikir -"

"Aneh sekali," kata Fred, sambil menggelengkan kepalanya.

"Kita harus membuatnya membayar kembali," tambah Alan. "Yah


harus -"

"Mungkin kita harus tinggal menjauh dari sana," kata Danny, masih
terengah-engah. "Kau dengar apa -yang dia katakan tentang
mengambil senapannya."

Dua anak laki-laki lainnya tertawa menghina.

"Ya. Pasti. Dia pasti benar-benar mengejar kita dengan senapan," ejek
Alan, menyikat helaian-helaian rumput yang baru dipotong dari
rambutnya yang berantakan itu.

"Kepala kantor pos kota terhormat, menembaki anak-anak tak


berdosa," kata Fred, tertawa-tawa. "Tak mungkin. Dia hanya berusaha
menakut-nakuti kita - Benar kan, Danny?"

Danny berhenti menggosok bahu dan mengerutkan kening ke bawah


pada Alan dan Fred, yang masih duduk di rumput. "Aku tak tahu."

82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Oooh, Danny takut!" teriak Fred.

"Kau tak takut pada bajingan tua itu kan?" tuntut Alan. "Hanya karena
ia meraih bahumu tak berarti -"

"Aku tak tahu," sela Danny marah. "Pria tua itu tampaknya agak di
luar kendali bagiku. Dia sangat marah! Maksudku, mungkin ia akan
menembak kita untuk melindungi kotak pos berharganya itu."

"Taruhan kita bisa membuatnya lebih marah lagi," kata Alan tenang,
berdiri, menatap tajam pada Danny.

"Ya. Taruhan kita bisa." Fred setuju sambil menyeringai.

"Kecuali kau takut, Danny," kata Alan, bergerak mendekati Danny,


suaranya menantang.

"Aku - ini sudah larut malam," kata Danny, mencoba membaca


arlojinya dalam gelap. "Aku janji pada ibuku aku akan pulang."

Fred berdiri dan pindah di samping Alan. "Kita harus memberi


Chesney pelajaran," katanya, menyikat helaian-helaian rumput dari
bagian belakang celana jinsnya. Matanya berbinar nakal dalam cahaya
yang redup. "Kita harus mengajarkan kepadanya untuk tak menyerang
pada anak-anak yang tak bersalah."

"Ya, kau benar," setuju Alan, matanya (tertuju) pada Danny.


"Maksudku, dia menyakiti Danny. Dia tak punya hak menyambarnya
seperti itu.."

83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Aku harus pulang. Sampai jumpa lagi besok," kata Danny,
melambaikan tangan.

"Oke. Sampai jumpa." kata Fred kemudian.

"Setidaknya kita dapat beberapa es krim gratis malam ini!" Seru Alan.

Saat Danny cepat-cepat berjalan pergi, Hannah bisa mendengar Fred


dan Alan cekikikan riang, tawa bernada tinggi.

Es krim gratis, pikirnya, mengerutkan kening. Dua orang ini benar-


benar mencari masalah.

Hannah tak bisa menahan diri. Dia harus mengatakan sesuatu kepada
Danny.

"Hei!" panggil Hannah, berlari mengejar ke arah Danny.

Dia berbalik, kaget. "Hannah - apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku - Aku mengikutimu. Dari toko es krim," aku Hannah.

Danny tertawa terkekeh-kekeh. "Kau melihat semuanya?"

Hannah mengangguk. "Mengapa kau bergaul dengan kedua orang


itu?" tuntutnya.

Danny merengut, menghindari mata Hannah, melangkah. "Mereka


baik-baik saja," gumamnya.

"Mereka akan mendapatkan kesulitan besar dalam satu hari ini," tebak
Hannah. "Mereka benar-benar akan dapat kesulitan."

84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Danny mengangkat bahu. "Mereka hanya bicara keras. Mereka pikir
itu keren. Tapi mereka benar-benar baik."

"Tapi mereka mencuri es krim dan -" Hannah memutuskan dia telah
cukup berkata.

Mereka menyeberangi jalan dalam keheningan. Hannah mendongak


untuk melihat bulan sabit pucat bulan menghilang di balik gumpalan
awan hitam. Jalanan makin gelap. Pohon-pohon mengguncang daun
mereka, mengirim berbisik seluruh.

Danny menendang batu di trotoar. Ini berdentang lembut ke rumput.

Hannah tiba-tiba teringat akan ke rumah Danny sebelumnya untuk


mendapatkan dia. Dalam semua kegembiraan dari pencurian es krim
dan Pak Chesney dan kotak suratnya, ia telah benar-benar lupa apa
yang telah terjadi di beranda belakang rumah Danny.

"Aku - aku pergi ke rumahmu malam ini," dia memulai dengan


enggan. "Sebelum aku pergi ke kota."

Danny berhenti dan berpaling padanya, matanya mempelajari


Hannah. "Ya?"

"Kupikir mungkin kau ingin jalan-jalan ke kota atau apa," lanjut


Hannah. "Ibumu ada di rumah. Di dapur."

Danny terus menatap tajam pada Hannah, seolah-olah mencoba


membaca pikirannya.

85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Aku mengetuk dan mengetuk pintu dapur," kata Hannah, menarik
sehelai rambut pirang dari dahinya. "Aku bisa melihat ibumu di meja.
Dia memunggungiku. Dia tak berbalik atau apa."

Danny tak menjawab. Dia merendahkan matanya ke trotoar dan mulai


berjalan lagi, tangan mendorong dalam saku.

"Itu sangat aneh," lanjut Hannah. "Aku mengetuk dan mengetuk.


Benar-benar keras. Tapi itu sepertinya - sepertinya ibumu berada di
dunia lain atau apa. Dia tak membuka pintu. Dia bahkan tak berbalik."

Rumah-rumah mereka mulai terlihat di depan mereka. Satu lampu


beranda mengirim cahaya kuning di halaman depan Hannah. Di sisi
lain dari jalan, rumah Danny tampak dalam kegelapan.

Tenggorakan Hannah tiba-tiba terasa kering. Dia berharap dia bisa


bertanya pada Danny apa yang benar-benar ingin ia tanyakan.

Apakah kau hantu? Apakah ibumu juga hantu?

Itulah pertanyaan yang sesungguhnya dalam pikiran Hannah.

Tapi itu terlalu gila. Terlalu bodoh.

Bagaimana kau bisa bertanya pada seseorang apakah ia nyata atau


tidak? Apakah ia masih hidup atau tidak?

"Danny - mengapa ibumu tak membukakan pintu?" tanya Hannah


lirih.

86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Danny berbelok di ujung jalan, mengatur ekspresi wajahnya, matanya
menyipit. Wajahnya bersinar menakutkan dalam cahaya kuning pucat
dari teras.

"Kenapa?" ulang Hannah tak sabar. "Kenapa dia tak membukakan


pintu?"

Danny ragu-ragu.

"Kurasa aku harus memberitahumu yang sebenarnya," akhirnya dia


berkata, suaranya berbisik, selembut bisikan getaran pepohonan.

87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
14

Pak Chesney meraih bahu Danny dan menariknya menjauh dari kotak
surat itu.

Salah satu sayap angsa kayu itu patah di tangan Danny. Saat Pak
Chesney bergelut menjauhkannya, Danny membiarkannya jatuh ke
tanah.

"Kau bajingan!" Pak Chesney tergagap, matanya terbelalak marah.


"Kau - Kau-"

"Lepaskan dia!" teriak Hannah dari seberang jalan. Tapi rasa takut
meredam suaranya. Teriakannya keluar menjadi bisikan.

Dengan mengerang keras, Danny menarik bebas (dirinya) dari


pegangan orang itu.

Tanpa sepatah kata pun, ketiga anak laki-laki itu berlari, berlari di
tengah jalanan yang gelap, sepatu mereka berdebam keras di trotoar.

"Aku akan mengingat kalian!" teriak Pak Chesney setelah mereka.


"Aku akan mengingat kalian. Aku akan bertemu kalian lagi!. Dan saat
berikutnya, aku akan memegang senapanku!"

Hannah memperhatikan Pak Chesney membungkuk untuk mengambil


sayap angsa yang rusak itu. Dia memeriksa sayap kayu itu,
menggelengkan kepalanya dengan marah.

88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lalu Hannah mulai berlari, menjaga di halaman depan yang gelap,
tersembunyi oleh pagar tanaman dan semak-semak rendah, berlari ke
arah yang dituju Danny dan teman-temannya.

Dia melihat anak-anak laki-laki itu berbelok di tikungan, dan terus


berlari. Menjaga jauh di belakang, dia mengikuti mereka melewati
alun-alun kota yang masih sepi dan gelap. Bahkan Harder's es krim
sekarang tutup, toko gelap itu di belakang cahaya merah dari neon
jendela papan tanda.

Dua anjing tinggi, anjing kampung kaku dengan badan berbulu tipis,
menyeberang jalan di depan mereka, berlari perlahan-lahan, keluar
untuk berjalan-jalan sore. Anjing-anjing itu tak melihat saat anak-
anak laki-laki yang berlari melewatinya.

Di pertengahan blok berikutnya, ia melihat Fred dan Alan roboh di


bawah pohon yang gelap, cekikikan ke langit saat mereka berbaring di
tanah.

Danny bersandar pada batang pohon yang lebar itu, terengah-engah


keras.

Fred dan Alan tak bisa berhenti tertawa.

"Apa kalian lihat ekspresi wajahnya saat sayap yang konyol itu
jatuh?" teriak Fred.

"Kupikir matanya akan terlontar keluar!" seru Alan gembira. "Kupikir


kepalanya akan meledak!"

89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Danny tak ikut tertawa dengan mereka. Dia mengusap bahu kanannya
dengan satu tangan. "Dia benar-benar menghancurkan bahuku saat ia
memegangku," katanya, mengerang.

"Kau harus menuntutnya!" saran Alan.

Dia dan Fred tertawa terbahak-bahak, duduk untuk setiap kali tos.

"Tidak. Sungguh," kata Danny pelan, masih mengusap-usap bahu. ".


Dia benar-benar menyakitiku. Ketika ia memutarku, kupikir -"

"Aneh sekali," kata Fred, sambil menggelengkan kepalanya.

"Kita harus membuatnya membayar kembali," tambah Alan. "Yah


harus -"

"Mungkin kita harus tinggal menjauh dari sana," kata Danny, masih
terengah-engah. "Kau dengar apa -yang dia katakan tentang
mengambil senapannya."

Dua anak laki-laki lainnya tertawa menghina.

"Ya. Pasti. Dia pasti benar-benar mengejar kita dengan senapan," ejek
Alan, menyikat helaian-helaian rumput yang baru dipotong dari
rambutnya yang berantakan itu.

"Kepala kantor pos kota terhormat, menembaki anak-anak tak


berdosa," kata Fred, tertawa-tawa. "Tak mungkin. Dia hanya berusaha
menakut-nakuti kita - Benar kan, Danny?"

90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Danny berhenti menggosok bahu dan mengerutkan kening ke bawah
pada Alan dan Fred, yang masih duduk di rumput. "Aku tak tahu."

"Oooh, Danny takut!" teriak Fred.

"Kau tak takut pada bajingan tua itu kan?" tuntut Alan. "Hanya karena
ia meraih bahumu tak berarti -"

"Aku tak tahu," sela Danny marah. "Pria tua itu tampaknya agak di
luar kendali bagiku. Dia sangat marah! Maksudku, mungkin ia akan
menembak kita untuk melindungi kotak pos berharganya itu."

"Taruhan kita bisa membuatnya lebih marah lagi," kata Alan tenang,
berdiri, menatap tajam pada Danny.

"Ya. Taruhan kita bisa." Fred setuju sambil menyeringai.

"Kecuali kau takut, Danny," kata Alan, bergerak mendekati Danny,


suaranya menantang.

"Aku - ini sudah larut malam," kata Danny, mencoba membaca


arlojinya dalam gelap. "Aku janji pada ibuku aku akan pulang."

Fred berdiri dan pindah di samping Alan. "Kita harus memberi


Chesney pelajaran," katanya, menyikat helaian-helaian rumput dari
bagian belakang celana jinsnya. Matanya berbinar nakal dalam cahaya
yang redup. "Kita harus mengajarkan kepadanya untuk tak menyerang
pada anak-anak yang tak bersalah."

91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Ya, kau benar," setuju Alan, matanya (tertuju) pada Danny.
"Maksudku, dia menyakiti Danny. Dia tak punya hak menyambarnya
seperti itu.."

"Aku harus pulang. Sampai jumpa lagi besok," kata Danny,


melambaikan tangan.

"Oke. Sampai jumpa." kata Fred kemudian.

"Setidaknya kita dapat beberapa es krim gratis malam ini!" Seru Alan.

Saat Danny cepat-cepat berjalan pergi, Hannah bisa mendengar Fred


dan Alan cekikikan riang, tawa bernada tinggi.

Es krim gratis, pikirnya, mengerutkan kening. Dua orang ini benar-


benar mencari masalah.

Hannah tak bisa menahan diri. Dia harus mengatakan sesuatu kepada
Danny.

"Hei!" panggil Hannah, berlari mengejar ke arah Danny.

Dia berbalik, kaget. "Hannah - apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku - Aku mengikutimu. Dari toko es krim," aku Hannah.

Danny tertawa terkekeh-kekeh. "Kau melihat semuanya?"

Hannah mengangguk. "Mengapa kau bergaul dengan kedua orang


itu?" tuntutnya.

Danny merengut, menghindari mata Hannah, melangkah. "Mereka


baik-baik saja," gumamnya.
92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Mereka akan mendapatkan kesulitan besar dalam satu hari ini," tebak
Hannah. "Mereka benar-benar akan dapat kesulitan."

Danny mengangkat bahu. "Mereka hanya bicara keras. Mereka pikir


itu keren. Tapi mereka benar-benar baik."

"Tapi mereka mencuri es krim dan -" Hannah memutuskan dia telah
cukup berkata.

Mereka menyeberangi jalan dalam keheningan.

Hannah mendongak untuk melihat bulan sabit pucat bulan


menghilang di balik gumpalan awan hitam. Jalanan makin gelap.
Pohon-pohon mengguncang daun mereka, mengirim berbisik seluruh.

Danny menendang batu di trotoar. Ini berdentang lembut ke rumput.

Hannah tiba-tiba teringat akan ke rumah Danny sebelumnya untuk


mendapatkan dia. Dalam semua kegembiraan dari pencurian es krim
dan Pak Chesney dan kotak suratnya, ia telah benar-benar lupa apa
yang telah terjadi di beranda belakang rumah Danny.

"Aku - aku pergi ke rumahmu malam ini," dia memulai dengan


enggan. "Sebelum aku pergi ke kota."

Danny berhenti dan berpaling padanya, matanya mempelajari


Hannah. "Ya?"

"Kupikir mungkin kau ingin jalan-jalan ke kota atau apa," lanjut


Hannah. "Ibumu ada di rumah. Di dapur."

93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Danny terus menatap tajam pada Hannah, seolah-olah mencoba
membaca pikirannya.

"Aku mengetuk dan mengetuk pintu dapur," kata Hannah, menarik


sehelai rambut pirang dari dahinya. "Aku bisa melihat ibumu di meja.
Dia memunggungiku. Dia tak berbalik atau apa."

Danny tak menjawab. Dia merendahkan matanya ke trotoar dan mulai


berjalan lagi, tangan mendorong dalam saku.

"Itu sangat aneh," lanjut Hannah. "Aku mengetuk dan mengetuk.


Benar-benar keras. Tapi itu sepertinya - sepertinya ibumu berada di
dunia lain atau apa. Dia tak membuka pintu. Dia bahkan tak berbalik."

Rumah-rumah mereka mulai terlihat di depan mereka. Satu lampu


beranda mengirim cahaya kuning di halaman depan Hannah. Di sisi
lain dari jalan, rumah Danny tampak dalam kegelapan.

Tenggorakan Hannah tiba-tiba terasa kering. Dia berharap dia bisa


bertanya pada Danny apa yang benar-benar ingin ia tanyakan.

Apakah kau hantu? Apakah ibumu juga hantu?

Itulah pertanyaan yang sesungguhnya dalam pikiran Hannah.

Tapi itu terlalu gila. Terlalu bodoh.

Bagaimana kau bisa bertanya pada seseorang apakah ia nyata atau


tidak? Apakah ia masih hidup atau tidak?

94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Danny - mengapa ibumu tak membukakan pintu?" tanya Hannah
lirih.

Danny berbelok di ujung jalan, mengatur ekspresi wajahnya, matanya


menyipit. Wajahnya bersinar menakutkan dalam cahaya kuning pucat
dari teras.

"Kenapa?" ulang Hannah tak sabar. "Kenapa dia tak membukakan


pintu?"

Danny ragu-ragu.

"Kurasa aku harus memberitahumu yang sebenarnya," akhirnya dia


berkata, suaranya berbisik, selembut bisikan getaran pepohonan.

95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
16

Dicekam ketakutan, Hannah pikir dia melihat bayangan menyeringai


jahat itu di dalam bayangan yang lebih dalam melayang di atas
beranda. "Hannah, menjauhlah. Jauhi DANNY!."

"Jaaaangaaaan!"

Dalam kepanikannya, Hannah bahkan tak menyadari bahwa lolongan


itu datang dari tenggorokannya sendiri.

Mata merah itu bersinar lebih terang bereaksi pada teriakannya.


Tatapan berapi-api itu tertuju ke matanya, memaksanya untuk
melindungi wajah dengan kedua tangannya.

"Hannah - dengarkan peringatanku." Bisikan kering yang mengerikan.

Bisikan kematian.

Jari hitam berotot, terurai dalam lampu putih beranda, menunjuk


kepadanya, mengancamnya lagi.

Dan sekali lagi Hannah berteriak dengan suara serak dengan


ketakutan: "Jaaangaaaan!"

Sosok gelap itu menerjang lebih dekat.

Lebih dekat.

96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dan lalu pintu dapur terbuka, menyorotkan persegi panjang cahaya di
atas halaman.

"Hannah - apa itu kau? Ada apa?"

Ayahnya melangkah ke cahaya, wajahnya berkerut prihatin, matanya


mengintip ke dalam kegelapan melalui kacamata perseginya.

"Ayah -!" Suara Hannah tersangkut di tenggorokannya. "Lihat, Ayah -


dia - dia -" Hannah menunjuk.

Menunjuk ke udara kosong.

Menunjuk ke persegi panjang cahaya kosong dari pintu dapur.

Menunjuk ke tidak ada apa-apa.

Sosok bayangan itu sekali lagi menghilang.

Pikirannya berputar-putar kacau, merasa bingung dan takut, ia


bergegas melewati ayahnya, ke dalam rumah.

Dia telah memberitahu orangtuanya tentang sosok gelap menakutkan


dengan mata merah yang menyala. Ayahnya dengan hati-hati mencari
di halaman belakang, lampu senternya bermain-main di halaman. Dia
tak menemukan jejak kaki di tanah lunak basah itu, tak ada tanda-
tanda ada penyusup.

Ibu Hannah telah menatap penuh perhatian padanya, mempelajarinya,


seakan mencoba untuk menemukan semacam jawaban di mata
Hannah.

97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Aku - aku tidak gila," Hannah tergagap marah.

Pipi Bu Fairchild berubah merah muda. "Aku tahu itu," jawabnya


tegang.

"Haruskah aku menelepon polisi? Tak ada apa pun di belakang sana,"
kata Pak Fairchild, menggaruk rambut tipis cokelatnya, kacamatanya
mencerminkan cahaya dari langit-langit dapur.

"Aku akan pergi tidur," kata Hannah mereka, tiba-tiba bergerak ke


pintu. "Aku benar-benar lelah."

Kakinya terasa gemetar dan lemah saat ia bergegas menyusuri koridor


ke kamarnya.

Sambil mendesah letih, ia membuka pintu kamarnya.

Sosok bayangan gelap itu telah menunggunya di dekat tempat


tidurnya.

98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
17

Hannah tersentak dan mulai mundur.

Tapi saat lampu di koridor jatuh ke kamar tidur, dia menyadari dia
sama sekali tak menatap sosok menakutkan itu. Dia menatap lengan
baju sweter gelap yang panjang yang dilemparkannya ke tiang ranjang
di kaki tempat tidurnya.

Hannah mencengkeram sisi pintu. Dia tak bisa memutuskan apakah


harus tertawa atau menangis.

"Malam apa ini!" serunya keras-keras.

Dia menyalakan lampu langit-langit kamar, lalu menutup pintu di


belakangnya. Saat dia melangkah ke tempat tidur untuk menarik
sweter dari tiang ranjang, ia gemetaran.

Dia melepas pakaiannya dengan cepat, melemparkannya ke lantai,


dan mengenakan baju tidur. Lalu ia naik di bawah selimut, segera
ingin tidur.

Tapi dia tak bisa menghentikan pikirannya berputar-putar atas semua


yang telah terjadi. Dia tak bisa menghentikan gambaran menakutkan
yang bermain-main di kepalanya, lebih dan lebih.

Bayangan cabang-cabang pohon dari halaman depan bergerak dan


muncul di langit-langit. Biasanya, ia mendapati tarian-tarian diam itu

99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
menenangkan. Tapi malam ini bayangan-bayangan bergerak itu
membuatnya takut, mengingatkannya pada sosok gelap mengancam
yang memanggil namanya.

Dia mencoba berpikir tentang Danny sebagai gantinya. Tapi pikiran-


pikiran itu benar-benar seperti gangguan.

Danny hantu. Danny hantu.

Kalimat terulang-ulang lagi dan lagi dalam pikirannya.

Dia harus berbohong tentang ibunya, Hannah memutuskan. Ia


mengarang cerita tentang ibunya yang jadi tuli karena dia tak ingin
aku mengetahui bahwa dia juga hantu.

Pertanyaan, pertanyaan.

Pertanyaan yang tak bisa ia jawab.

Jika Danny hantu, apa yang dia lakukan di sini? Mengapa ia pindah
(jadi) tetanggaku? Mengapa ia bergaul dengan Alan dan Fred?
Apakah mereka juga hantu? Apakah itu sebabnya aku tak pernah
melihat mereka di sekolah atau di kota sebelumnya? Apakah itu
sebabnya aku tak pernah melihat salah satu pun dari mereka? Mereka
semua hantu?

Hannah menutup matanya, mencoba untuk melenyapkan semua


pertanyaan-pertanyaan itu dari benaknya. Tapi ia tak bisa berhenti
berpikir tentang Danny - dan sosok bayangan gelap itu.

Mengapa sosok gelap memberitahuku untuk menjauh dari Danny?

100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Apakah berusaha untuk menahanku dari membuktikan bahwa Danny
adalah hantu?

Akhirnya, Hannah tertidur. Tetapi bahkan dalam tidur, pikiran-pikiran


mengganggunya itu mengejarnya.

Bayangan hitam berotot itu mengikutinya ke dalam mimpinya. Dalam


mimpi itu, ia berdiri di sebuah gua abu-abu. Api menyala terang, jauh
jaraknya dari mulut gua.

Sosok hitam itu, mata merahnya bersinar lebih terang dari api,
bergerak ke arah Hannah. Lebih dekat. Dan lebih dekat.

Dan saat sosok hitam datang begitu dekat, cukup dekat untuk Hannah
untuk menjangkau dan menyentuhnya, sosok bayangan dengan
tangan-tangan seperti tongkat terulur ke atas dan menarik dirinya
(sendiri) terpisah-pisah.

Bayangan itu terulur dengan tangan-tangan hitam dan dengan jari-jari


seperti tulang, kegelapan itu menarik diri di mana wajahnya
seharusnya - menampakkan Danny di bagian dalamnya.

Danny, melirik padanya dengan mata merah menyala tertuju padanya


- sampai ia terbangun terengah-engah.

Tidak, pikirnya, menatap ke luar jendela pada fajar kelabu. Tidak.


Danny bukanlah bayangan hitam itu.

Tak mungkin.

Itu bukan Danny.

101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Itu tak mungkin Danny. Mimpi itu tak masuk akal.

Hannah duduk. Seprainya basah karena keringat. Udara di dalam


ruangan tergantung berat dan asam.

Dia menyentakkan selimut dan menurunkan kakinya ke lantai.

Dia hanya tahu satu hal yang pasti setelah malam yang panjang dari
pikiran-pikiran yang menakutkan.

Dia harus bicara dengan Danny.

Dia tak bisa menghabiskan malam lainnya seperti ini.

Dia harus menemukan kebenaran.

®RatuBuku

Keesokan paginya, setelah sarapan, Hannah melihat Danny


menendang bola di sekitar halaman belakang rumahnya. Dia
membuka pintu dapur dan berlari keluar. Layar pintu terbanting keras
di belakangnya saat Hannah mulai berlari kepada Danny.

"Hei, Danny -" panggilnya. "Apakah kau hantu?"

102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
18

"Hah?" Danny meliriknya, lalu menendang bola hitam-putih ke sisi


garasi. Dia memakai kaus biru laut dan celana pendek denim. Dia
memakai topi biru dan merah Cubs ditarik menutupi rambut
merahnya.

Hannah berlari dengan kecepatan penuh di jalanan masuk dan


berhenti beberapa meter darinya. "Apakah kau hantu?" ulangnya
terengah-engah.

Danny mengerutkan dahinya, menyipitkan mata pada Hannah. Bola


melambung melewati rumput. Dia melangkah maju dan
menendangnya. "Ya. Tentu," katanya.

"Tidak. Sungguh," desak Hannah, jantungnya berdebar kencang.

Bola itu melambung tinggi dari garasi, dan Danny menangkapnya


dengan dadanya. "Apa katamu?" Dia menggaruk bagian belakang
lutut. Dia menatapku seolah-olah aku sinting, Hannah menyadari.
Mungkin aku memang sinting.

"Sudahlah," kata Hannah, menelan ludah. "Bisakah aku bermain?"

"Ya." Danny menjatuhkan bola ke rumput.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Danny. "Kau baik-baik saja hari ini?"

Hannah mengangguk. "Ya. Kurasa."

103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Malam itu cukup liar," kata Danny, menendang bola dengan pelan
padanya. "Maksudku, di rumah Pak Chesney."

Bola diterima Hannah. Dia mengejarnya dan menendangnya kembali.


Biasanya, ia seorang atlet yang baik. Tapi pagi ini ia memakai sandal,
bukan yang terbaik untuk menendang bola sepak. "Aku benar-benar
takut," aku Hannah. "Kupikir mobil yang berhenti itu polisi dan –“

"Ya. Itu agak menakutkan," kata Danny. Dia mengangkat bola dan
menyundulkannya kembali pada Hannah dengan kepalanya.

"Apa Alan dan Fred benar-benar pergi ke Sekolah Maple Avenue,?"


tanya Hannah. Bola membentur itu pergelangan kakinya dan bergulir
ke arah jalan masuk.

"Ya. Mereka akan berada di kelas sembilan," kata Danny padanya,


menunggunya untuk menendang bola kembali.

"Mereka bukan anak-anak baru? Bagaimana bisa aku tak pernah


melihat mereka?" Dia menyepak bola itu dengan keras.

Danny berpindah ke kanan untuk menerima di belakangnya. Dia


tertawa. "Bagaimana mereka belum pernah melihatmu."

Dia tak memberikanku jawaban dengan sungguh-sungguh, Hannah


menyadari. Kupikir pertanyaanku membuatnya gelisah. Dia tahu aku
mulai curiga kebenaran tentang dirinya.

"Alan dan Fred ingin kembali ke rumah Chesney itu," kata Danny
padanya.

104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Hah? Mereka apa?" Dia tak mengenai bola dan menendang
gumpalan rumput, "Aduh aku tak bisa bermain sepak bola dengan
sandal!"

"Mereka ingin kembali malam ini. Kau tahu. Untuk membalas


kembali Chesney karena menakut-nakuti kami. Dia benar-benar
melukai bahuku."

"Kupikir Alan dan Fred benar-benar mencari masalah," kata Hannah.

Danny mengangkat bahu. "Tak ada lagi yang bisa dilakukan di kota
ini," gumamnya.

Bola itu bergulir di antara mereka. "Aku dapat!" mereka berdua


berteriak bersamaan. Mereka berdua mengejar bola itu. Danny tiba
terlebih dahulu. Dia mencoba untuk menendang bola itu menjauh dari
Hannah. Tapi kakinya mendarat di atas bola. Dia tersandung dan jatuh
tergeletak di rerumputan.

Hannah tertawa dan melompat di atasnya untuk mengambil bola. Dia


menendang ke sisi garasi, lalu berpaling kembali padanya, tersenyum
penuh kemenangan. "Satu untukku!" ia menyatakan.

Danny duduk perlahan, noda rumput mencoreng dada kausnya.


"Bantu aku berdiri." Dia mengulurkan tangannya pada Hannah.

Hannah meraihnya untuk menarik Danny - dan tangannya


menembusnya!

105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
19

Mereka berdua berteriak terkejut.

"Hei, ayolah! Bantu aku," kata Danny.

Jantungnya berdebar kencang, Hannah berusaha untuk meraih


tangannya lagi.

Tapi sekali lagi tangannya menembus Danny.

"Hei -!" teriak Danny, matanya melebar ketakutan . Dia melompat


berdiri, menatap tajam Hannah.

"Aku tahu itu," kata Hannah pelan, mengangkat tangannya ke pipinya.


Dia mundur selangkah, menjauh dari Danny.

"Tahu? Tahu apa ?" Danny terus menatap Hannah, wajahnya penuh
dengan kebingungan. "Apa yang terjadi, Hannah?"

"Berhentilah berpura-pura," kata Hannah, tiba-tiba merasa seluruh


(tubuhnya) kedinginan meskipun sinar matahari pagi itu cerah. "Aku
tahu kebenaran, Danny. Kau hantu."

"Hah?" Mulut Danny ternganga tak percaya. Dia melepas topi Cubs-
nya dan menggaruk rambutnya, menatap tajam pada Hannah sebentar.

"Kau hantu," ulang Hannah, suaranya gemetar.

106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Aku?" teriaknya. "Tak mungkin! Apakah kau gila? Aku bukan
hantu!" Tanpa peringatan, Danny melangkah ke depan Hannah dan
menggerakkan tangannya di dada Hannah.

Hannah tersentak saat tangan Danny menembus tubuhnya.

Dia tak merasakan apa-apa. Seolah-olah dia tak ada di sana.

Danny menjerit dan menyentakkan tangannya kembali seolah-olah


terbakar. Dia menelan ludah, ekspresinya penuh dengan kengerian.
"K-kau -" dia tergagap.

Hannah mencoba untuk menjawab, tapi kata-kata tersangkut di


tenggorokannya.

Melirik dirinya dengan ngeri untuk terakhir kalinya, Danny lalu


berbalik dan mulai berlari dengan kecepatan penuh menuju rumahnya.

Hannah menatap tak berdaya padanya sampai dia menghilang


melalui pintu belakang. Pintu itu terbanting keras di belakangnya.

Bingung, Hannah berbalik dan mulai berlari pulang.

Dia merasa pusing. Tanah tampak berputar-putar di bawahnya. Langit


biru berpendar dan menjadi terang menyilaukan. Rumahnya miring
dan bergoyang-goyang.

"Danny bukan hantu," kata Hannah keras. "Aku akhirnya tahu yang
sebenarnya. Danny bukan hantu. Akulah hantunya!"

107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
20

Hannah melangkah ke pintu belakang, lalu ragu-ragu.

Aku tak bisa pulang sekarang, pikirnya. Aku harus berpikir.

Mungkin aku akan berjalan-jalan atau yang lainnya.

Dia memejamkan matanya, mencoba untuk melenyapkan pusingnya.


Ketika dia membuka matanya, segalanya tampak lebih terang, terlalu
terang untuk ditahan.

Melangkah hati-hati dari beranda belakang, ia menuju ke arah depan,


kepalanya berputar.

Aku hantu.

Aku bukan orang yang nyata lagi. Aku hantu.

Suara-suara mendobrak ke dalam pikiran bingung Hannah. Seseorang


mendekat. Dia merunduk menghilang di balik pohon maple besar dan
mendengarkan.

"Ini rumah indah yang sempurna." Hannah mengenali suara Bu Quilty


itu. "Sepupuku dari Detroit melihatnya minggu lalu," kata wanita lain.
Hannah tak mengenalinya. Mengintip keluar dari balik batang pohon,
Hannah melihat bahwa wanita itu ramping kelihatannya kurus
memakai gaun kuning. Dia dan Bu Quilty berdiri pertengahan jalan
masuk, mengagumi rumah Hannah.

108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Takut dia mungkin terlihat, Hannah merunduk kembali ke balik
pohon.

"Apakah sepupumu suka rumah itu?" tanya Bu Quilty pada temannya.

"Terlalu kecil," jawabnya singkat.

"Sayang sekali," kata Bu Quilty dengan desahan keras. "Aku benci


punya sebuah rumah kosong di blok ini."

Tapi rumah itu tak kosong! Pikir Hannah dengan marah. Aku tinggal
di sini! Seluruh keluargaku tinggal di sini - bukan begitu?

"Berapa lama rumah itu kosong?" tanya wanita lain itu.

"Sejak rumah itu dibangun kembali," Hannah mendengar jawaban Bu


Quilty. "Kau tahu. Setelah kebakaran mengerikan itu. Kurasa itu lima
tahun yang lalu."

"Kebakaran?" Tanya teman Bu Quilty. "Itu sebelum aku pindah ke


sini. Apakah seluruh rumah terbakar?"

"Sebagian besar," kata Bu Quilty padanya. "Itu sangat mengerikan,


Beth. Benar-benar tragedi. Keluarga itu terperangkap di dalam.
Keluarga yang benar-benar baik. Seorang gadis muda. Dua anak laki-
laki. Mereka semua meninggal malam itu."

Impianku! Hannah berpikir, mencengkeram batang pohon untuk


menahan dirinya. Itu bukan mimpi. Itu kebakaran asli. Aku benar-
benar mati malam itu. Air mata bercucuran di wajah Hannah. Kakinya

109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
terasa lemas dan gemetar. Dia bersandar di kulit kayu pohon yang
kasar dan mendengarkan.

"Bagaimana itu terjadi?" Beth, teman Bu Quilty bertanya. "Apa


mereka tahu apa yang memulai api?"

"Ya. Anak-anak itu membuat semacam api unggun di belakang. Di


belakang garasi," lanjut Bu Quilty. "Ketika mereka masuk ke dalam,
mereka tidak memadamkannya sepenuhnya. Rumah terbakar setelah
mereka tidur. Api menyebar begitu cepat."

Hannah melihat dua wanita itu menatap rumah itu dengan penuh
pikiran dari posisi mereka di jalan masuk. Mereka menggelengkan
kepala.

"Rumah itu musnah, lalu dibangun kembali," kata Bu Quilty. "Tapi


tidak ada yang pernah pindah ke sana. Sudah lima tahun. Bisakah kau
bayangkan?"

Aku sudah mati selama lima tahun, pikir Hannah, membiarkan air
mata mengalir di pipinya. Tak heran aku tak tahu Danny atau teman-
temannya.

Tak heran aku belum mendapatkan surat dari Janey. Tak heran aku
belum mendengar kabar dari teman-temanku.

Aku sudah mati selama lima tahun.

Sekarang, Hannah mengerti mengapa kadang-kadang waktu tampak


tetap, dan kadang-kadang melayang begitu cepat.

110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hantu-hantu datang dan pergi, pikirnya sedih. Kadang-kadang aku
cukup padat untuk naik sepeda atau menendang bola sepak. Dan
kadang-kadang aku begitu tipis, tangan seseorang dapat menembus
diriku.

Hannah melihat dua wanita itu berjalan ke blok sampai mereka


menghilang dari pandangan. Menempel di batang pohon, dia tak
berusaha untuk bergerak.

Itu semua mulai masuk akal untuk Hannah. Mimpi seperti hari-hari
musim panas. Kesepian. Perasaan bahwa sesuatu tidak benar.

Tapi bagaimana tentang Ibu dan Ayah? tanyanya pada diri sendiri,
mendorong diri dari pohon. Bagaimana dengan si kembar? Apakah
mereka tahu? Apakah mereka tahu bahwa kami semua hantu?

"Bu!" teriaknya, berlari ke pintu depan. "Bu!"

Dia menghambur ke dalam rumah dan berlari melalui lorong ke


dapur. "Bu! Ibu! Di mana Anda! Bill? Herb?"

Sunyi. Tak ada orang di sana.

Mereka semua telah lenyap.

111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
21

"Kalian dimana?" teriak Hannah dengan keras. "Bu! Bill! Herb!"

Apakah mereka lenyap selamanya?

Kami semua hantu, pikirnya sedih.

Semua.

Dan sekarang mereka telah meninggalkanku di sini sendirian.

Jantungnya berdebar-debar, ia menatap ke sekeliling dapur.

Dapur itu kosong. Kosong.

Tak ada kotak sereal di meja di mana kotak itu biasanya disimpan.
Tak ada magnet-magnet lucu di kulkas. Tak ada tirai di jendela. Tak
ada jam di dinding. Tak ada meja dapur.

"Kalian dimana?" panggil Hannah putus asa.

Dia menjauh dari meja dan berlari pergi melalui rumah.

Semuanya tak ada isinya. Semuanya kosong.

Tak ada pakaian. Tak ada perabot rumah. Tak ada lampu-lampu atau
poster-poster di dinding atau buku-buku di rak buku.

Lenyap. Semuanya lenyap.

Mereka sudah meninggalkanku di sini. Hantu. Satu hantu sendirian.

112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Aku harus berbicara dengan seseorang," katanya lantang.
"Siapapun!"

Dia mencari telpon dengan putus asa sampai ia menemukan satu


telpon merah di dinding dapur kosong itu.

Siapa yang bisa kutelpon? Siapa?

Tak ada.

Aku mati.

Aku sudah mati selama lima tahun.

Dia mengangkat gagang telepon dan membawanya ke telinga.

Sunyi. Telepon itu juga mati.

Dengan menangis putus asa, Hannah membiarkan tangkai telpon itu


jatuh ke lantai. Hatinya berdebar-debar, sekali lagi air mata
membasahi pipinya, ia menghempaskan diri turun ke lantai kosong
itu.

Terisak pelan pada dirinya sendiri, ia membenamkan kepalanya di


tangannya dan membiarkan kegelapan melandanya.

®RatuBuku

Saat dia membuka matanya, kegelapan itu masih tetap ada.

Dia menarik diri, awalnya tak yakin di mana dia berada. Merasa
gemetar dan tegang, ia mengangkat matanya ke jendela dapur. Di
luar, langit biru-hitam.
113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Malam.

Waktu mengapung keluar dan masuk saat kau itu hantu, Hannah
menyadari. Itulah mengapa musim panas telah terasa begitu singkat
dan begitu terbatas pada waktu yang sama. Dia merentangkan
tangannya ke langit-langit, kemudian berjalan dari dapur.

"Ada orang di rumah?" teriaknya.

Dia tak terkejut dengan kesunyian yang menyambut pertanyaannya.

Keluarganya sudah pergi.

Tapi di mana?

Saat ia berjalan melalui lorong gelap kosong ke depan rumah, dia


punya firasat lain. Perasaan takut lainnya.

Sesuatu yang buruk akan terjadi.

Sekarang? Malam ini?

Dia berhenti di pintu depan terbuka dan mengintip melalui layar


pintu. "Hei -!" Danny di atas sepedanya, mengayuh perlahan
menyusuri jalan masuk rumahnya.

Menurui kata hatinya, Hannah membuka pintu dan berlari keluar.


"Hei - Danny!"

Danny memperlambat sepedanya dan berpaling pada Hannah.

"Danny - tunggu!" panggilnya, berlari melintasi halaman rumahnya


ke arah Danny.
114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Jangan - tolonglah!" Wajah Danny sangat ketakutan. Dia
mengangkat kedua tangannya seolah-olah untuk melindungi dirinya
sendiri.

"Danny -?"

"Pergi!" teriak Danny, suaranya melengking ketakutan. "Tolong -


menjauhlah!" Dia mencengkeram setang dan mulai mengayuh mati-
matian menjauh.

Hannah melompat mundur, kaget dan terluka. "Jangan takut padaku!"


teriaknya padanya, menangkupkan kedua tangan di sekitar mulutnya
agar didengar. "Danny, tolonglah - jangan takut!"

Bersandar di atas setang, Danny pergi tanpa menengok ke belakang.

Hannah menjerit terluka.

Saat Danny menghilang ke blok, perasaan takut melanda Hannah.

Aku tahu ke mana dia pergi, pikirnya.

Dia menemui Alan dan Fred, dan mereka akan ke rumah Pak
Chesney. Mereka akan membalas dendam pada Pak Chesney.

Dan sesuatu yang sangat buruk akan terjadi.

Aku akan ke sana juga, Hannah memutuskan. Aku harus pergi juga.

Dia bergegas ke garasi untuk mengambil sepedanya.

®RatuBuku

115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Pak Chesney telah memperbaiki kotak suratnya, Hannah melihatnya.
Sayap angsa pahatan tangan melayang keluar dari tiang, yang telah
dikembalikan ke posisi lurus.

Meringkuk di balik pohon rendah yang sama, Hannah melihat tiga


anak laki-laki itu di seberang jalan. Mereka ragu-ragu di tepi halaman
Pak Chesney, tersembunyi dari rumah dengan pagar tinggi.

Dalam cahaya putih pucat lampu jalanan ini, Hannah bisa melihat
mereka tersenyum dan bercanda. Lalu ia melihat Fred mendorong
Danny ke kotak surat itu.

Hannah mengangkat tatapannya luar pagar pada rumah kecil Pak


Chesney. Lampu oranye itu bersinar samar-samar dari jendela ruang
tamu. Lampu teras menyala. Bagian rumah lainnya dalam kegelapan.

Apa Pak Chesney di rumah? Hannah tak tahu.

Mobil Plymouth tuanya tak ada di jalan masuk.

Hannah berjongkok di balik pohon hijau itu. Cabang-cabangnya yang


berduri bergerak naik turun dalam angin sepoi-sepoi.

Dia melihat Danny berusaha untuk menarik kotak surat itu. Alan dan
Fred berdiri di belakangnya, mendorongnya

Danny mencengkeram kedua sayap menonjol itu dan menarik.

Fred menepuk punggungnya. "Lebih keras!" teriaknya.

"Pengecut!" Alan menyatakan, tertawa.

116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Hannah terus melirik gugup ke rumah itu. Anak-anak itu begitu
berisik. Apa yang membuat mereka begitu yakin bahwa Pak Chesney
tak ada di rumah?

Apa yang membuat mereka begitu yakin bahwa Chesney tak akan
menepati janjinya dan mengejar mereka dengan senapannya?

Hannah bergidik. Dia merasakan tetesan keringat meluncur di


dahinya.

Dia melihat Danny mati-matian menarik kotak surat itu. Dengan satu
tarikan keras, dia membuatnya miring.

Fred dan Alan bersorak gembira.

Danny mulai mengayun-ngayunkan kotak surat itu, mendorongnya


dengan bahunya, lalu menariknya kembali. Kotak surat itu menjadi
goyah, miring lebih jauh di setiap dorongan, setiap tarikan.

Hannah mendengar erangan keras Danny saat ia memberi kotak itu


dorongan kuat yang terakhir - dan kotak surat itu jatuh ke samping di
tanah. Ia mundur, senyum kemenangan (tampak) di wajahnya.

Fred dan Alan bersorak lagi dan ber-tos.

Fred mengambil kotak surat itu, mengangkatnya di bahunya, dan


mengaraknya mondar mandir di depan pagar, seolah-olah itu bendera
musuh.

Saat mereka merayakan kemenangan mereka, Hannah sekali lagi


melirik ke atas pagar ke rumah remang-remang itu.

117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak ada tanda dari Pak Chesney.

Mungkin dia tak ada di rumah. Mungkin anak-anak akan bisa pergi
tanpa tertangkap.

Tapi mengapa Hannah masih memiliki perasaan sangat takut yang


membebaninya, tubuhnya kedinginan?

Dia tersentak saat dia melihat suatu bayangan bergeser melewati


sudut rumah.

Pak Chesney?

Bukan.

Menyipitkan mata dengan keras ke dalam cahaya redup itu, Hannah


merasa hatinya mulai berbunyi di dadanya.

Tak ada orang di sana. Tapi bayangan apa itu?

Dia dengan pasti melihatnya, sebentuk bayangan yang lebih gelap


dari pada malam yang panjang itu, bergerak pelan di rumah yang agak
kelabu itu.

Suara keras anak-anak menyela pikirannya, menarik perhatiannya


menjauh dari rumah.

Fred melemparkan kotak pos itu ke pagar. Sekarang mereka telah


bergerak ke arah jalan masuk. Mereka sedang membicarakan sesuatu,
berdebat keras. Alan tertawa. Fred mendorong Alan dengan main-

118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
main. Danny mengatakan sesuatu, tapi Hannah tak bisa mendengar
kata-katanya.

Pergilah, desak Hannah pada mereka di dalam benaknya. Pergilah


dari sana. Kalian telah menarik kelakar bodoh kalian, telah melakukan
balas dendam bodoh kalian.

Sekarang pergilah - sebelum kalian tertangkap.

Dahan-dahan pepohonan hijau itu bergerak naik turun diam-diam


dalam hembusan angin panas. Hannah melangkah kembali ke
kegelapan, matanya tertuju pada anak-anak.

Mereka berkumpul bersama di bagian bawah halaman. Mereka


berbicara dengan bersemangat, ketiga-tiganya sekaligus. Lalu Hannah
melihat kerlipan cahaya. Cahaya itu terpancar sebentar, lalu padam.

Itu adalah korek api, Hannah menyadari.

Alan memegang kotak besar korek api dapur.

Hannah melirik gugup ke rumah itu. Semua masih tetap. Tak ada Pak
Chesney. Tak ada bayangan yang bergerak pelan di dinding.

Pulanglah. Tolong, pulanglah ke rumah, diam-diam dia mendesak


anak-anak laki-laki itu.

Tetapi untuk kecemasannya, mereka berbalik dan mulai berlari-lari


kecil menaiki jalanan berkerikil itu. Mereka merunduk rendah saat
mereka berlari, berusaha untuk tak terlihat dari rumah.

119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Apa yang mereka lakukan? Hannah bertanya-tanya, merasa semua
otot-ototnya menegang ketakutan. Gigilan ketakutan bergerak
menuruni punggungnya saat ia melangkah keluar dari balik pohon
berdaun hijau itu.

Apa yang akan mereka lakukan?

Ia berjalan cepat melintasi jalan dan merunduk di depan pagar,


jantungnya berdebar-debar.

Dia tak bisa mendengar mereka. Mereka pasti hampir sampai ke


rumah sekarang.

Haruskah ia mengikuti mereka?

Dia berdiri perlahan dan mengangkat dirinya berjinjit untuk melihat


melalui pagar.

Ketiga anak laki-laki itu, Alan memimpin, diikuti oleh Danny dan
Fred, membungkuk rendah, berlari cepat di depan rumah. Tertangkap
dalam cahaya oranye redup, cahaya dari jendela, Hannah bisa melihat
ekspresi tekad mereka.

Kemana mereka pergi? Apa yang mereka rencanakan?

Hannah melihat mereka berlari ke dalam kegelapan di sekitar sisi


rumah. Masih tak ada tanda-tanda dari Pak Chesney.

Menjaga dekat dengan pagar, Hannah berjalan ke jalan masuk. Lalu,


tanpa berpikir tentang hal itu, bahkan tanpa sadar, dia juga berlari.

120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dia terdiam saat ia melihat Alan mendorong Danny masuk ke dalam
jendela yang terbuka. Lalu Fred melangkah maju, mengangkat
tangannya ke langkan jendela, dan membiarkan Alan mendorongnya.

Jangan - tolonglah! Hannah ingin berteriak.

Jangan masuk ke rumah itu! Jangan masuk ke sana!

Tapi dia sudah terlambat.

Mereka bertiga semuanya telah naik masuk ke dalam rumah.

Bernapas keras, Hannah mulai bergerak pelan ke arah jendela.

Tapi setengah jalan di sana, dia merasakan sesuatu meraih kakinya


dan menahannya di tempat.

121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
22

Hannah mengeluarkan jeritan diam.

Dia berusaha untuk membebaskan kakinya - dan segera menyadari


bahwa ia telah melangkah ke dalam gulungan selang taman.

Menghembuskan napas keras, ia mengangkat kakinya dari itu dan


merayap di sisa jalan ke jendela yang terbuka itu.

Sisi rumah itu tertutup dalam kegelapan. Jendela itu terlalu tinggi bagi
Hannah untuk bisa melihat ke dalam ruangan.

Berdiri di bawah jendela, Hannah bisa mendengar sepatu anak-anak


itu berdebam di papan lantai kosong itu. Dia bisa mendengar suara-
suara berbisik dan tawa-tawa teredam bernada tinggi.

Apa yang mereka lakukan di sana? dia bertanya-tanya, seluruh


tubuhnya tegang ketakutan.

Tidakkah mereka menyadari betapa banyak kesulitan yang akan


mereka dapatkan?

Cahaya terang di samping rumah membuat Hannah melompat


kembali dengan teriakan kaget.

Dia jatuh ke tanah dan berputar. Dan melihat lampu melalui pagar
tinggi. Lampu mobil mengambang ke arah jalan masuk.

Pak Chesney?
122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Apakah ia pulang ke rumah? Kembali pulang tepat waktu untuk
menangkap ketiga penyusup itu di rumahnya?

Hannah membuka mulutnya untuk meneriakkan peringatan kepada


anak-anak laki-laki itu. Tapi suaranya tercekat di tenggorokannya.

Lampu itu melayang lewat. Kegelapan bergulir kembali ke halaman.

Gemuruh mobil itu menghilang.

Itu bukan Pak Chesney, Hannah menyadari.

Dia berusaha berdiri dan kembali ke tempatnya di bawah jendela. Dia


memutuskan ia harus membiarkan anak laki-laki tahu bahwa ia ada di
sana. Dia harus membuat mereka keluar dari sana!

"Danny!" teriaknya, membungkus tangannya di sekitar mulutnya


sebagai pengeras suara. "Pergilah. Ayo - keluarlah sekarang!"

Perasaan takut membebaninya. Dia berteriak ke jendela lagi.


"Keluarlah. Cepatlah - tolong"

Dia bisa mendengar suara-suara teredam mereka di dalam. Dan dia


bisa mendengar gesekan-gesekan sepatu di lantai.

Menatap jendela, ia melihat suatu lampu menyala. Oranye terang,


pertama-tama redup, lalu terang.

"Apa kalian gila?" teriaknya kepada mereka. "Matikan lampu itu!"

Apa-apaan itu, mereka menyalakan lampu?

Apa mereka ingin tertangkap?


123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Matikan lampu!" ulangnya dengan suara tinggi melengking,
ketakutan.

Tapi cahaya oranye jadi lebih terang, menjadi kuning terang.

Dan saat ia menatap dengan ngeri, Hannah menyadari cahaya itu


berkelap-kelip.

Bukan cahaya lampu.

Cahaya api.

Api!

Mereka membuat kebakaran!

"Jangan!" teriaknya, mengangkat tangannya pada sisi wajahnya.


"Jangan! Keluar! Keluar dari sana!"

Dia bisa mencium bau asap sekarang. Dia bisa melihat bayangan api
berlompatan di kaca jendela.

Dia mulai berteriak kepada mereka lagi - tapi berhenti ketika dia
melihat bayangan itu bergerak ke arahnya di dinding rumah.

Hannah berhenti dan memutar tatapannya.

Dan melihat sosok gelap itu, lebih hitam daripada malam, mata
merahnya bersinar terang dari kegelapan wajahnya.

Sosok itu diam-diam melangkah ke arahnya, melayang cepat di atas


rerumputan tinggi, rumput liar yang bertebaran. Mata merah itu
tampak terang saat mendekat.
124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Hannah - menjauhlah!" kata bayangan bergerak itu dengan suara
kering seperti daun-daun kering,

"Hannah - menjauhlah."

"Jaangaaaan!" Hannah meraung ketakutan saat sosok itu bergerak ke


arahnya. Semburan udara sangat dingin melingkari tubuhnya.
"Jaangaaan!"

"Hannah... Hannah..."

"Siapa kau?" tuntutnya. "Apa yang kau inginkan?"

Di belakangnya, ia bisa mendengar derakan lidah api sekarang.


Cahaya kuning itu berkelap-kelip di belakang gelombang asap hitam
yang mencekik dari jendela yang terbuka.

Mata berapi-api itu bersinar lebih terang, sosok bayangan itu


mengangkat dirinya sendiri, berdiri lebih dekat, lebih dekat,
menjulurkan lengannya, bersiap-siap menariknya masuk.

125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
23

Dicekam rasa takut, Hannah mengangkat kedua tangannya di


depannya seakan mencoba untuk melindungi dirinya sendiri.

Dia mendengar garukan tiba-tiba di jendela. Satu jeritan tertahan di


atas kepalanya.

Sosok bayangan itu menghilang.

Dan kemudian dia merasa ada seseorang terguling di atas tubuhnya.

Mereka berdua jatuh bertumpukan ke tanah.

"Alan!" teriaknya.

Alan berusaha berdiri, matanya melebar panik. "Korek api!" jeritnya.


"Korek api. Kami - kami tak bermaksud. Kami -."

Sosok lain terjun keluar dari jendela saat derak lidah api berkembang
menjadi raungan. Fred mendarat keras di siku dan lututnya.

Hannah menatap pada wajah kebingungannya dalam cahaya oranye


yang bergerak cepat. "Fred - apa kau baik-baik saja?"

"Danny," gumamnya, menatap dengan ngeri. "Danny di sana. Dia tak


bisa keluar."

"Hah?" Hannah melompat berdiri.

"Danny terjebak dalam api. Dia akan terbakar!" jerit Alan.

126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Kita harus cari bantuan!" kata Fred, berteriak mengalahkan deru api.
Dia menarik lengan Alan. Kedua anak berangkat, berjalan limbung
menyeberangi halaman menuju rumah sebelah.

Lidah-lidah api oranye-kuning terang menjilat ambang jendela di atas


kepala Hannah.

Aku harus menyelamatkan Danny, pikirnya.

Dia menarik napas dalam-dalam, menatap kerlipan itu, kerlap-kerlip


cahaya api. Kemudian ia mulai menuju jendela yang terbuka.

Tapi sebelum dia bisa melangkah, cahaya dari jendela menghilang.


Bayangan itu naik di depannya.

"Hannah - pergilah." bisikan tajam yang menakutkan itu begitu dekat


dengan wajahnya. "Pergilah."

"Tidak!" jerit Hannah, lupa akan ketakutannya. "Aku harus


menyelamatkan Danny."

"Hannah... kau tak akan menyelamatkan dia!" terdengar jawaban


serak.

Sosok gelap itu, bermata terbakar, melayang di atasnya, menghalangi


jalan Hannah ke jendela.

"Biarkan aku pergi!" jerit Hannah. "Aku harus menyelamatkannya!"

Mata merah mengancam itu semakin mendekat. Kegelapan turun


menjadi lebih berat di sekelilingnya.

127 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Siapa kau?" jerit Hannah. "Apa kau itu? Apa yang kau inginkan?"

Sosok gelap itu tak menjawab. Mata bersinar itu tertuju padanya.

Danny terjebak di sana, Hannah pikir. Aku harus masuk ke jendela


itu.

"Minggirlah!" jerit Hannah. Dan dalam keputusasaan, dia


mengulurkan kedua tangannya - menyambar bahu sosok gelap itu -
dan mencoba mendorongnya keluar dari jalan.

Hannah kaget, sosok itu terasa padat. Dengan jeritan tekad, ia


mengangkat kedua tangannya ke wajah itu - dan menarik.

Kegelapan yang menyelubungi wajahnya terjatuh - dan di bawah


kegelapan itu, tampak wajah Danny!

128 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
24

Hannah menatap ngeri dan tak percaya, berusaha untuk bernapas. Bau
asam mencekiknya. Kegelapan terus menyelubunginya, menahannya
sebagai tahanan.

Danny menyeringai ke arahnya, dengan mata merah bersinar yang


sama seperti sebelum dia membuka kedoknya.

"Tidak!" jerit Hannah, suaranya berbisik serak, tegang ketakutan. "Ini


bukan kau, Danny. Bukan!."

Suatu senyum keji bermain-main di sosok dengan wajah bercahaya


itu. "Aku hantu Danny!" ia menyatakan.

"Hantu?" Hannah mencoba untuk menarik kembali. Tapi kegelapan


menahannya erat-erat.

"Aku hantu Danny. Saat ia mati dalam api, aku tak akan lagi jadi
bayangan. Aku akan LAHIR - Dan Danny akan pergi ke dunia
bayangan di tempatku!"

"Tidak, tidak!" jerit Hannah, mengacungkan tinjunya di depannya.


"Tidak! Danny tak akan mati! Aku tak akan membiarkan dia mati!"

Hantu Danny membuka mulut dan mengeluarkan tawa berbau busuk.

"Kau terlambat, Hannah!" dia menyeringai. "Terlambat."

129 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
25

"Tiiidaaaaak!"

Raungan Hannah bergema di kegelapan yang mengepungnya.

Mata merah hantu Danny menyala marah saat Hannah mendadak


menembus tubuhnya.

Sedetik kemudian, ia mengangkat tangannya ke langkan jendela.


"Oh!" Kusen itu panas karena api.

Menggunakan semua kekuatannya, ia menarik dirinya ke arah lidah-


lidah api yang menyambar-nyambar - dan masuk ke dalam rumah.
Suatu tirai asap asam tebal bereaksi untuk menyambutnya.

Mengabaikan asap dan dinding api yang terang, Hannah menurunkan


dirinya dengan keras ke lantai.

Aku hantu, katanya pada diri sendiri, melangkah ke ruangan lautan


api itu.

Aku hantu. Aku tak bisa mati lagi.

Dia mengusap matanya dengan lengan kausnya, berusaha untuk


melihat.

"Danny?" panggilnya, berteriak sekeras yang dia bisa. "Danny - aku


tak bisa melihatmu! Kau di mana?"

130 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Melindungi matanya dengan satu tangan, Hannah melangkah lagi ke
dalam ruangan. Lidah-lidah api terangkat seperti geyser (air mancur
panas) yang terang. Kertas dinding di salah satu dinding telah
tergulung ke bawah, pojokan menghitam tertutupi dengan loncatan
lidah-lidah api.

"Danny - kau di mana?"

Dia mendengar teriakan teredam dari kamar sebelah. Dengan


bersemangat melalui pintu yang dikelilingi api, Hannah melihat
Danny - terperangkap di belakang dinding tinggi api.

"Danny -!"

Danny mundur ke sudut, kedua tangannya terangkat bersama-sama di


depannya, melindungi wajah dari asap.

Aku tak bisa melalui lidah-lidah api yang tebal itu, Hannah menyadari
dengan ngeri. Dia melangkah lagi ke dalam ruangan, lalu tertahan
kembali.

Tidak. Tak mungkin aku bisa menyelamatkannya.

Tapi sekali lagi, ia mengingatkan dirinya: aku hantu. Aku bisa


melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan orang-orang yang hidup.

"Tolong aku! Tolong aku!" Suara Danny terdengar kecil dan jauh di
belakang gelombang loncatan lidah-lidah api.

Tanpa ragu-ragu lagi seketika itu, Hannah menghela napas dalam-


dalam, menahannya - dan melompat ke dalam lidah api.

131 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Tolong aku!" Danny menatap Hannah, matanya kosong. Dia
tampaknya tidak melihat Hannah. "Tolong!"

"Ayo!" Hannah meraih tangan Danny dan menariknya. "Ayo kita


pergi!"

Lidah-lidah api membungkuk ke arah mereka, seperti lengan yang


menyala-nyala terulur untuk menangkap mereka.

"Ayo!"

Hannah menarik lagi, tapi Danny menahan diri. "Kita tidak bisa!"

"Ya - kita harus!" teriak Hannah.

Panas membakar lubang hidungnya. Hannah menutup matanya pada


kuning terang yang menyilaukan. "Kita harus!"

Hannah meraih tangan Danny dengan kedua tangannya dan


menariknya.

Asap hitam beterbangan di sekitar mereka. Tersedak, Hannah


menutup matanya dan menarik Danny, menariknya ke dalam lidah-
lidah api sangat panas yang membakar.

Ke dalam lidah-lidah api.

Melaluinya.

Batuk dan tersedak. Dengan keringat menetes karena panas seperti


tungku pembakaran.

132 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Menarik Danny. Menarik dengan membabi buta. Menarik dengan
sekuat tenaga.

Hannah tak membuka matanya sampai mereka berada di jendela.

Dia tak bernapas sampai mereka jatuh jungkir balik ke tanah yang
gelap yang dingin.

Lalu, (bertumpu) pada tangan dan lututnya, terengah-engah begitu


keras, megap-megap untuk udara bersih, Hannah mendongak.

Di sana ada sesosok bayangan di dekat rumah, memutar dalam lidah-


lidah api. Saat api memangsanya, sosok itu mengangkat tangan
gelapnya ke langit - dan menghilang tanpa suara.

Dengan napas lega, Hannah menurunkan pandangannya kepada


Danny.

Dia berbaring telentang, ekspresi bingung tampak di wajahnya.


"Hannah," bisiknya serak. "Hannah, terima kasih."

Hannah merasakan suatu senyum terlintas wajahnya.

Semuanya berubah terang, seterang dinding lidah-lidah api.

Lalu semuanya menjadi gelap.

133 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
26

Ibu Danny membungkuk di atasnya, menarik selimut tipis itu sampai


ke dadanya.

"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya dengan lembut.

Itu adalah dua jam kemudian. Danny telah dirawat oleh paramedis
yang tiba tak lama setelah petugas pemadam kebakaran. Mereka
berkata kepada ibunya yang khawatir bahwa ia menderita karena
menghirup asap dan mengalami beberapa luka bakar ringan.

Setelah mengobati luka bakar, mereka mengantarkan Danny dan Bu


Anderson pulang dengan mobil ambulans.

Sekarang Danny berbaring di atas tempat tidur, menatap ibunya,


masih merasa pening dan bingung. Bu Quilty berdiri dengan cemas di
pojokan, tangannya tergenggam tegang di depannya, melihat dengan
diam. Dia bergegas untuk melihat keributan apa itu.

"Aku - aku baik-baik saja, kurasa," kata Danny, menarik dirinya


sedikit di atas bantal. "Aku hanya sedikit lelah."

Ibunya mendorong seikat rambut pirang dari dahinya saat ia


menunduk menatapnya, membaca bibirnya. "Bagaimana kau bisa
keluar? Bagaimana kau bisa keluar dari rumah itu?"

"Itu Hannah," kata Danny padanya. "Hannah menarikku keluar."

134 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Siapa?" wajah Bu Anderson kebingungan. "Siapa Hannah?"

"Kau tahu," jawab Danny tak sabar. "Gadis tetangga sebelah."

"Tak ada gadis tetangga sebelah," kata ibunya. "Apakah ada, Molly?"
Dia berbalik untuk membaca bibir Bu Quilty.

Bu Quilty menggeleng. "Rumah itu kosong."

Danny duduk tegak. "Namanya Hannah Fairchild. Dia


menyelamatkan hidupku, Bu."

Bu Quilty mendesah simpatik. "Hannah Fairchild adalah gadis yang


meninggal lima tahun lalu," katanya pelan. "Danny yang malang agak
mengigau karena demam, aku khawatir."

"Berbaring saja," kata ibu Danny, dengan lembut mendorongnya


kembali ke bantal. "Beristirahatlah. Kau akan baik-baik saja."

"Tapi di mana Hannah? Hannah adalah temanku!" Danny bersikeras.

®RatuBuku

Hannah menyaksikan adegan itu dari ambang pintu.

Tiga orang di dalam ruangan tak bisa melihatnya, Hannah menyadari.

Dia telah menyelamatkan nyawa Danny, dan sekarang ruangan dan


orang-orang di dalamnya jadi samar, memudar menjadi abu-abu.
Mungkin itulah mengapa keluargaku dan aku kembali setelah lima

135 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
tahun, pikir Hannah. Mungkin kami kembali untuk menyelamatkan
Danny dari sekarat dalam api seperti kami.

"Hannah... Hannah..."

Suatu suara memanggilnya. Suatu suara manis yang akrab dari


kejauhan.

"Apa itu Anda, Bu?" panggil Hannah.

"Waktunya untuk kembali," bisik Bu Fairchild. "Kau harus pergi


sekarang, Hannah. Sudah waktunya untuk pulang."

"Baik, Bu."

Dia menatap ke kamar tidur pada Danny, berbaring dengan damai di


atas bantalnya. Hannah kini mulai memudar, memudar menjadi abu-
abu.

Hannah memicingkan mata ke benda padat agak kelabu itu. Rumah,


ia tahu, rumah itu memudar. Bumi memudar dari pandangannya.

"Pulanglah, Hannah," bisik ibunya. "Pulanglah pada kami sekarang."

Hannah bisa merasakan dirinya mengambang sekarang. Dan saat ia


melayang, dia melihat ke bawah - melihat bumi untuk terakhir
kalinya.

"Aku bisa melihatnya, Bu," katanya penuh semangat, menyapu air


mata di pipinya. "Aku bisa melihat Danny. Di kamarnya. Namun
cahaya semakin samar. Begitu samar."

136 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
"Hannah, pulanglah. Pulanglah pada kami," bisik ibunya,
memanggilnya pulang.

"Danny - ingat aku!" teriak Hannah, saat wajah Danny muncul jelas
dalam kabut abu-abu itu.

Bisakah dia mendengarnya?

Bisakah dia mendengar Hannah memanggilnya?

Hannah berharap begitu.

END

137 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Anda mungkin juga menyukai