Anda di halaman 1dari 62

STUDI ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK : ISLAM RAHMATAN LIL’ALAMIN

STUDI ISLAM
DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK
ISLAM RAHMATAN LIL’ALAMIN

Dr. H. Abd. Rozak, M.A


Drs. H. Ja’far, M.A
STUDI ISLAM DI TENGAH
MASYARAKAT MAJEMUK
(Islam Rahmatan lil „Alamin)

Dr. H. Abd.Rozak, M.A


Drs. H. Ja‟far, MA
STUDI ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK
(Islam Rahmatan lil „Alamin)

Oleh:
Dr. H. Abd. Rozak, MA
Drs. H. Ja‟far, MA

Desain Sampul:
Fatkhul Arifin

Tata Letak:
Abu Zarin

ISBN: 978-602-52780-2-0

Penerbit
Yayasan Asy Syariah Modern Indonesia
Alamat : Jl. Padaidi Rt. 004/001 Benda Baru Pamulang
Tangerang Selatan, Hotline : 021-74715992
e-mail: asysyariahmodernindonesia@gmail.com
Cetakan: Ke-1 Januari 2019

All rights reserved


Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

ii
DAFTAR ISI

BAB I : AGAMA ISLAM


A. Pengertian Agama Islam | 1
B. Islam Sebagai Agama | 4
C. Islam Agama Allah Untuk Seluruh Manusia | 12

BAB II : POKOK POKOK AJARAN ISLAM


A. Keimanan (Aqidah Islam) | 13
B. Ibadah dan Syariah | 20
C. Akhlak | 22

BAB III : SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM


A. Al-Qu‟an | 25
B. Al-Hadits | 36
C. Ijma‟ | 40
D. Qiyas | 43
E. Ijtihad | 45

BAB IV : DAKWAH ISLAMIYAH


A. Dakwah Islam Zaman Rasul | 57
B. Dakwah Islam Zaman Khulafaurrasyidin | 66

BAB V : TOKOH UTAMA ISLAM


A. Nabi Muhammad SAW | 74
B. Khulafaurrasyidin | 96

iii
BAB VI : TOKOH ULAMA MUJTAHID
A. Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i (Imam Syafi‟i) | 110
B. Abu Hanifah bin Tsabit bin Zufi (Imam Hanafi) | 111
C. Malik bin Anas (Imam Maliki) | 112
D. Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal
(Imam Hambali) | 114
E. Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin (Imam
Ja‟fari) | 115

BAB VII : PERKEMBANGAN FILSAFAT, TASAWUF DAN


TAREKAT ISLAM
A. Perkembangan Filsafat | 117
B. Perkembangan Tasawuf | 125
C. Perkembangan Tarekat | 142

BAB VIII : ISLAM DAN MASYARAKAT MAJEMUK DI


INDONESIA
A. Sejarah Dakwah Islam di Indonesia | 163
B. Perkembangan Pendidikan Islam | 173
C. Perkembangan Hukum Islam | 187
D. Perkembangan Politik Islam | 194
E. Perkembangan Budaya Islam di Indonesia | 198

iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur, senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah
Rabbul „Alamin, yang senantiasa memberikan bimbingan dan
kekuatan kepada kami, sehingga kami diberikan kesempatan
dan kemampuan untuk menyusun buku Studi Islam di Tengah
Masyarakat Majemuk.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah berhasil
mengemban misi Allah, mengeluarkan manusia dari kegelapan
jahiliyah menuju keceriaan dan keselamatan. Beliau juga telah
berhasil mengentaskan manusia dari lembah kebodohan,
kemiskinan dan keterbelakangan, menjadi manusia yang
merdeka, adil dan makmur. Semoga kita tetap menjadi
pengikutnya yang setia serta memperoleh syafa‟atnya kelak di
hari kiamat. Amien.
Harapan kami, meskipun buku ini jauh dari sempurna, namun
tetap dapat memberikan kemudahan dalam memahami Islam
secara menyeluruh, serta dapat mendorong para pembaca
untuk lebih giat lagi dalam belajar dan memahami berbagai
seluk beluk Islam.
Akhirnya, kami berserah diri kepada Allah, semoga buku ini
tercatat sebagai amal shaleh. Amien.
Ciputat Timur, Desember 2018

v
BAB I
AGAMA ISLAM

A. Pengertian dan Fungsi Agama


1. Pengertian Agama
Pengertian agama secara umum dapat di lihat dari sudut
kebahasaan (etmologis) dan sudut istilah (terminologis).
Mengartikan agama dari sudut kebahasaan akan terasa lebih
mudah dari pada mengartikan agama dari sudut istilah, karena
pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung
muatan subyektivitas dari orang yang mengartikanya. Atas
dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli
yang tidak tertarik mendefinisikan agama.
Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa salah
satu kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum
ialah adanya perbedaan- perbedaan dalam memahami arti
agama, di samping adanya perbedaan juga dalam cara
memahami arti agama serta penerimaan setiap agama terhadap
suatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki
interpretasi diri yang berbeda dan keluasan interpretasi diri itu
juga berbeda-beda.1
Agama menurut kamus bahasa Indonesia adalah sistem
atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga di sebut
nama lainnya dengan ajaran dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata “Agama”berasal dari bahasa sansekerta yang berarti
”Tradisi”. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah “Religi yang berasal dari bahasa latin “Religio”dan
berakar dari kata kerja re-ligare yang berarti “Mengikat

1
M. Sastrapratedja, “Agama dan Kepedulian Sosial” dalam soetjipto
Wirosardjono, Agama dan pluralitas Bangsa, ( Jakarta;P3M,1991) cet.1 h. 29.

1
kembali”. Maksudnya, dengan bereligi, seseorang mengikat
dirinya dengan tuhannya.
Dalam bahasa Arab, “Agama “ berasal dari kata”Addin”
berarti undang- undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata
ini mengandung arti menguasai, menundukan, patuh, utang,
balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini sejalan dengan
kandungan agama yang di dalamnya terdapat peraturan-
peraturan yang merupakan hukum, yang harus di patuhi
penganut agama yang bersangkutan. Selanjutnya, agama juga
mengusai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh
dengan tuhannya
Menurut Harun Nasution, kata”Agama” tersusun dari
dua kata, a= tidak dan gama= kacau, jadi tidak kacau, artinya
setiap orang yang memiliki agama maka kehidupannya akan
terarah dengan agama. Karena agama adalah suatu wadah
yang mana di dalamnya terdapat syariat atau peraturan-
peraturan yang bisa membawa seseorang menjadi lebih terarah
dalam kehidupannya.
Dari beberap definisi tersebut,dapat di simpulkan bahwa
kata agama memiliki arti ikatan. Agama mengandung arti
ikatan yang harus di pegang dan di patuhi oleh manusia.
Karena mempnyai pengaruh besar terhadap kehidupan
manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu ikatan yang
lebih tinggi dari manusia. Suatu kekuatan gaib yang tak dapat
di tangkap oleh panca indra.2
Adapun pengertian agama secara istilah yang di
kemukakan oleh Elizabeth K.Nottingham dalam bukunya
“agama dan masyarakat” berpendapat bahwa agama adalah
gejala yang sangat sering terdapat di mana-mana sehingga
sedikit membantu usaha-usaha kita dalam membuat abstraksi
ilmiah. Ia juga mengatakan bahwa agama berkaitan dengan
usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya arti dari

2
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1,
(Jakarta: UI press,1979), h.9-10
2
keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.
Sementara ia menambahkan bahwa bahwa agama adalah
pantulan dari solidaritas social, bahkan kalau dikaji, katanya,
Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan masyarakat.3
Kaum sosiolog mendefinisikan agama dari kenyataanya
yang bersifat lahiriah, dan bukan dari aspek batiniahnya.
Pengertian agama yang dibangun kaum sosiolog bertolak dari
“das sein”, yakni agama yang dipraktekan dalam kenyataan
empiric yang terlihat, dan bukan berasal dari aspek “das sollen”,
yakni agama yang seharusnya dipraktekan dan secara
normative teologis sudah pasti baik adanya. Agama dalam
kenyataan empiric ini, bisa jadi berbeda dengan agama yang
terdapat pada aspek batiniah yang bersifat substantif.
Dari beberapa definisi di atas kita dapat menjumpai 4
usur yang menjadi karaktristik agama sebagai berikut.
 unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib.
 Unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahtraan
hidup di dunia ini dan di akhirat nanti tergantung pada
adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib yang
di maksud.
 Unsur respon yang bersifat emosional dari manusia.
 Unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci,
dalam bentuk kekuatan gaib dan kitab suci yang
mengandung ajaran – ajaran agama yang bersangkutan,
tempat-tempat tertentu, peralatan untuk
menyelenggarakan upacara dan sebagainya.4

3
Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), cet II h.1
4
Harun Nasution, Op. Cit. h.11

3
2. Fungsi Agama
a) Fungsi agama dalam kehidupan individu
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai
suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara
umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam
bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan
agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki
arti yang khusus dalam kehidupan individu serta
dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.
Selain itu pengaruh agama dalam kehidupan individu
adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa
terlindung, rasa sukses, dan rasa puas. Perasaan positf ini lebih
lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agama dalam
kehidupan individu selain menjadi motifasi dan nilai etik juga
merupakan harapan.
Agama berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong
indivdu untuk melakukan suatu aktifitas, karena perbuatan
yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai
mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini
akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu.
Sedangkan agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan
sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan
antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut
agama yang dianutnya.
B. Islam Sebagai Agama (Din al-Islam)
1. Pengertian Agama Islam
Islam adalah agama yang diwahyukan Allah kepada
manusia melalui Nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul.5 Allah
dalam menyampaikan wahyunya disampaikan melalui
perantara yaitu Malaikat Jibril. Dengan demikian maka Agama
Islam adalah Agama Allah yang disampaikan untuk manusia

5
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI
Press, Jakarta, 2010h.17
4
melalui Muhammad SAW sebagai Rasul Allah yang
mendapatkan wahyu Allah dengan perantara malaikat Jibril.
Agama Islam adalah agama yang berasal dari Allah Tuhan
pencipta dan pemelihara alam jagat raya ini, Allah mempunyai
sifat suci dan absolut, di mana kebenaran dan perintah-Nya
tidak dapat ditolak oleh manusia. Norma-norma akhlak yang
diajarkan Islam mempunyi pengaruh besar dalam membina
manusia untuk berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. 6
Berikut ini Firman Allah yang berkenaan dengan Aagam Islm :
Surat Ali Imron : 3/19
19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189]
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat
hisab-Nya.
Surat An-Nisa : 4/125
125. dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang
Islam ( menyerahkan dirinya dengan ikhlas ) kepada Allah, sedang
diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
Surat Al-Baqarah : 2/131
131. ketika Tuhannya berfirman kepadanya: Islamlah ("Tunduk
patuhlah!") Ibrahim menjawab: "Aku Islam (tunduk patuh ) kepada
Tuhan semesta alam".
Surat Ali Imron : 3/67
67. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani,
akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus[201] lagi Islam ( berserah
diri kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan
orang-orang musyrik.

6
Ibid, h.12
5
Surat Ali Imron : 3/84
84. Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan
kepada Musa, Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-
Nyalah kami muslim ( menyerahkan diri)."
2. Makna Islam
Islam mempunyai makna yang luas, dalam bahasa Arab
yakni :
a. Aslama , yuslimu, Islaman = Berserah diri, yakni orang
Islam adalah orang yang berserah diri kepada Allah dan
Rasulnya dengan pernyataan Syahadatain, orang Islam
adalah orang yang rela diatur dengan hukum-hukum
Allah .
b. Salamatan = Selamat, orang Islam adalah orang yang
akan selamat, yakni diselamatkan Allah di hari akhir ,
orang Islam adalah orang yang menjaga keselamatan diri
dan saudaranya sesma muslim.
c. Silmun = Damai/tenteram , orang Islam adalah orang
yang berdamai, mendamaikan sesama muslim dan
mendamaikan orang lain . “ Al-Muslimu Man Salimal
muslimuuna min lisanihi wa yadihi “
d. Sullamun = anak tangga, maksudnya
progresif/maju/berubah kearah yang lebih baik .
Kehidupan orang Islam adalah kehidupan yang selalu
berkembang menaiki anak tangga menuju kesempurnaan
keimanan dan ketakwaan.
e. Salimun = sehat, yakni orang Islam adalah orang yang
sehat, kondisinya bersih, suci dari hadas dan najis, bersih
jasmani dan rokhani.

6
3. Orang Islam ( Muslim )
Siapakah orang yang dimaksud dengan orang Islam
(muslim)?
a. Orang yang telah menyatakan diri masuk Islam , mereka
yang telah berikrar dengan syahadatain (dua kalimat
Syahadat) disebut orang Islam. Orang Islam yang dalam
katagori pemahaman ini adalah orang yang di luar Islam
kemudian masuk Islam, mereka awalnya disebut sebagai
muallaf ( orang yang sdg dibujuk hatinya).
b. Orang yang lahir dari orang Islam, secara agama belum
pernah menyatakan diri keluar dari Islam, karena orang
Islam memperlakukan anaknya sebagai anak Islam,
kecuali diambil anak asuh oleh orang di luar Islam, maka
harus diperiksa lagi apakah dia masih mengikuti agama
orang tua aslinya, atau telah mengikuti agama orang tua
asuhnya.
c. Orang Islam yang berada di negara Islam, mereka dapat
melaksanakan seluruh ketentuan agama baik adalam
segi Aqiedah, Ibadah, Akhlak maupun hukum-hukum
agama dan hukum negara serta kemasyarakatan jika
mereka benar2 Islam.
d. Orang Islam yang berada bukan di negara Islam, mereka
dapat menjalankan Aqidah Islam dan Ibadah Islam. Akan
tetapi hukum-hukum negara dan kemasyarakatan yang
berdasarkan hukum Islam, tidak sepenuhnya dapat
dilaksanakan.
e. Orang Islam di dunia saat ini di tahun 2016 jumlahnya
sekita : 1,7 milyar sementara orang Kristen : 2,3 milyar .
Penduduk dunia saat ini diperkirkan telah mencapai 7,3
Milyar. Jumlah pemeluk Agama Islam di dunia saat ini
23%, sedangkan jumlah pemeluk Agama Kriten (
Katholik dan Protestan) saat ini 32 % dari penduduk
dunia , maka jumlah umat Islam saat ini masih dibawah
pemeluk Kristen. Selain Islam dan Kristen sekitar 50%
penduduk dunia ini beragama ; Hindu, Budha, Kong Hu
Chu, Aminisme, Dynamisme, Komunisme. Menurut data
7
Hasil Penelitian di Canada oleh Peer Reseach Centre
(PRC) pada Tanggal; 9/5/2015 menyatakan bahwa pada
tahun 2070 Islam akan menjadi Agama terbesar
pemeluknya di seluruh dunia. Penduduk Islam terbesar
adalah India, bukan Indonesia lagi, karena pendudukn
Hindia lebih besar dari Indonesia dan Islam Hindia
adalah Islam yang toleran.
Ada dua faktor penyebab melesatnya penganut agama
Islam , yang pertama ; faktor demografi bahwa rata-rata satu
orang wanita muslim melahirkan 3 ( tiga orang anak),
sedangkan anak yang salih bagi keluarga muslim dapat
mendoakan orang tua mereka untuk keselamatan di akhirat,
sehingga konsep keluarga muslim memang sangat
mendambakan kelahiran anak yang kelak menjadi anak shaleh.
Adapun rata-rata seorang wanita di negara-negara Eropa
hanya melahirkan 2 (dua) orang anak. Yang kedua faktor al-
Qu‟an, karena saat ini semua bangsa mudah mengakses al-
Qur‟an, sehingga orang dengan mudah dapat mempelajari
kitab suci agama ini dengan terjemahan berbagai bahasa,
sehingga terlihat keunggulan ajaran Islam yang membuat
mereka dengan sukarela berbondong-bodong masuk Islam.
4. Ruang Lingkup Islam
Allah swt berfirman:
19. manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka
berselisih[679]. kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada
dari Tuhanmu dahulu[680], pastilah telah diberi keputusan di antara
mereka[681], tentang apa yang mereka perselisihkan itu.
Islam, Kristen, dan Yahudi memiliki lebih banyak unsur
pemersatu dari pada titik seteru. Ada banyak sekali kesamaan
terkait dengan isi kitab suci maupun kisah tentang para nabi.
Ketiga agama ini sama-sama melandaskan bahwa ketaatan
sejati terhadap wahyu ilahi harus dilandasi hubungan yang
benar dengan tuhan dan sesama manusia. Bahkan , ketiganya
dapat di pandang sebagai satu agama , sebagaimana di
ungkapkan secara berulang-ulang dan gamblang dalam Al-
8
Quran yaitu, agama yang ditetapkan tuhan untuk nabi
Muhammad dan pengikutnya sama dengan agama yang di
tetepkan untuk nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Kesatuan
agama-agama Ibrahim ini diibaratkan layaknya sebuah pohon ,
di mana ajaran tauhid merupakan akar dari semua agama yang
ada di dunia ini, yang mana akhirnya umat manusia menjadi
golongan- golongan yang berbeda –beda termasuk beda tata
caranya dalam beribadah kepada yang maha kuasa.
Ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni :
a. Aspek Akidah yaitu keimanan dan keyakinan terhadap
Allah dan Rasulnya.
b. Aspek Fiqih yaitu hukum-hukum syariat yang mengatur
perbuatan dan perkataan.
c. Aspek Akhlak yaitu ceminan akidah yang teladan.7
Berdasarkan pengamatan analitis, bahwasanya agama
sebagai obyek sosiologi, terdapat tiga kawasan agama atau
ruang lingkup agama, yaitu:
a) Kawasan putih
Yang dimaksud dengan kawasan putih adalah suatu
kawasan di mana kebutuhan manusiawi yang hendak
dicapai masih dapat dicapai dengan kekuatan manusia
sendiri.
b) Kawasan hijau
Kawasan hijau meliputi daerah usaha di mana manusia
merasa aman dalam artian akhlak (moral). Dalam
kawaasan ini tindak langkah manusia dengan sesamanya
diatur oleh norma-norma rasional yang mendapat
legitinasi oleh agama.

7
Lihat Abuddin Nata.”Metodologi Studi Islam”.cet,8.hlm 11.
9
c) Kawasan hitam
Kawasan gelap meliputi daerah usaha di mana manusia
secara radikal dan total mengalami kegagalan yang
disebabkan ketidakmampuan mutlak manusia sendiri.
Kawasan ini disebut daerah gelap karena rasio manusia
tidak sanggup menangkap hakekat (substansi) kekuatan
luar, karena dia itu di luar jangkauan manusia.
5. Dalil-Dalil Islam dalam Al-Qur‟an
a. Islam adalah agama yang diridloi Allah
19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang
ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. ( Ali Imron
/3: 19)
85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imrom /3 : 85)
3. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu Jadi agama bagimu ( Al-Maidah/5:3)
b. Islam adalah Agama semua Rasul Allah
132. dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-
anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-
anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". ( Al-
Baqarah/2 : 132 )
84. berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah,
Maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang
yang berserah diri." ( Yunus/10: 84)

10
52. Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail)
berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku
untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-
sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah,
Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa Sesungguhnya
Kami adalah orang-orang yang berserah diri. (Islam) . ( Ali Imron
/3;52)
c. Umat Islam hendaklah menjadi umat terbaik.
Umat Islam adalah umat terbaik, jika umat ini berpegang
teguh kepada Agama Allah yakni : Menegakkan amar
ma‟ruf dan nahyi munkar dan tetap istiqomah dalam
keimananya kepada Allah :
110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik. ( Ali Imron /3:112)
d. Umat Islam adalah umat yang berkwalitas
Umat Islam dalam prinsip Islam yakni Sullam , artinya
progress, maka harus senantiasa meningkatkan kadar
keislamannya dengan beriman dan bertaqwa kepada Allah ,
agar sampai akhir hayatnya dalam keadaan tunduk kepada
Allah ( Islam )
102. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam Keadaan beragama Islam. ( Ali Imron /3 ;110)
e. Islam Agama yang sesuai dengan Fitrah Manusia
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

11
C. Islam Agama Allah Untuk Seluruh Manusia
Ayat-ayat al-Qur‟an
Ali Imron : 3/19
19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang
ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
An-Nisa : 4/125
125. dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang
yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
Al-Baqarah : 2/131
131. ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!"
Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".
Ali Imron : 3/67
67. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani,
akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus[201] lagi berserah diri
(kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan
orang-orang musyrik.
Ali Imron : 3/84
84. Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan
kepada Musa, Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-
Nyalah Kami menyerahkan diri."

12
BAB II
POKOK POKOK AJARAN ISLM

A. Keimanan (Aqidah Islam)


1. Pengertian
Kata ¨aqidah¨ berasal dari bahasa arab yaitu kata kerja
áqdun-áqoid berarti akal atau ikatan. Secara istilah aqidah
berarti sesuatu yang wajib diyakini tanpa keraguan. Sedangkan
maksud dari aqidah Islamiyah yaitu meyakini secara sungguh-
sungguh segala sesuatu yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad saw. Inti dari akidah Islamiyah yaitu meng-Esa-
kan Allah SWT. dengan meyakini bahwa tiada Tuhan yang
wajib disembah selain Allah. Akidah merupakan pondasi
dalam beragama. Aqidah Islamiyah menempati tempat yang
paling utama dalam peta keagamaan. Pokok-pokok Aqidah
islamiyah terangkum dalam rukun iman yaitu, iman kepada
ke-Esa-an Allah, iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman
kepada kitab-kitab Allah, iman kepada para nabi dan rasul
Allah, iman kepada hari akhir (hari kiamat), dan iman kepada
qada dan qadar. Seseorang dikatakan memiliki aqidah jika
semua hal dalam rukun iman tersebut terikat kuat dalam
sanubarinya dan mampu menolak segala hal yang di luar
rukun iman sehingga aqidah Islamiyah akan menjadi
karakteristik di dalam diri setiap orang mukmin. Aqidah
Islamiyah adalah kewajiban yang paling besar karena aqidah
Islamiyah adalah sesuatu yang pertama kali diwajibkan pada
pemeluk Islam. Orang yang beraqidah kuat pasti akan
melakukan kewajiban-kewajiban agama dengan sungguh-
sungguh
2. Hakikat Aqidah
Dalam menjelaskan definisi aqidah ada disebut perkataan
kepercayaan atau keimanan. Ini disebabkan Iman merupakan
unsur utama kepada akidah. Iman ialah perkataan Arab yang

13
berarti percaya yang merangkumi ikrar (pengakuan) dengan
lidah, membenarkan dengan hati dan mempraktekkan dengan
perbuatan. Ini adalah berdasarkan sebuah hadis yang
bermaksud:
"Iman itu ialah mengaku dengan lidah, membenarkan di
dalam hati dan beramal dengan anggota". (al-Hadis) Walaupun
iman itu merupakan peranan hati yang tidak diketahui oleh
orang lain selain dari dirinya sendiri dan Allah swt namun
dapat diketahui oleh orang melalui bukti-bukti amalan. Iman
tidak pernah berkompromi atau bersekongkol dengan
kejahatan dan maksiat. Sebaliknya iman yang mantap di dada
merupakan pendorong ke arah kerja-kerja yang sesuai dan
secucuk dengan kehendak dan tuntutan iman itu sendiri.
Firman Allah swt dalam Surat Al-Hujuraat : 15
15. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-
orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad)
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-
orang yang benar.
Firman Allah swt dalam Surat Al-Anfal : 2-4
2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka yang
bila disebut nama Allah[595] gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan
hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.3. (yaitu) orang-orang
yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki
yang Kami berikan kepada mereka.4. Itulah orang-orang yang
beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa
derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat)
yang mulia.
3. Kedudukan Aqidah Islamiyah
Karena pada dasarnya manusia telah mengenal Allah
meski secara global, maka para Rasul utusan Allah diutus
bukan untuk memperkenalkan tentang Allah semata. Namun
hakikat dakwah para Rasul adalah untuk menuntut mereka
14
agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan demikian materi
dakwah para rasul adalah Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu
istilah tauhid tatkala disebutkan secara bebas (tanpa diberi
keterangan lain) maka ia lebih mengacu kepada Tauhid
Uluhiyah. Dalam kehidupan manusia tauhid memiliki
kedudukan yang sangat tinggi di antaranya sebagai berikut:
Hakikat tujuan penciptaan jin dan manusia.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka (hanyalah) menyembah–Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Ibnu Abbas menyatakan bahwa perintah
menyembah/ibadah dalam firman Allah adalah perintah
untuk bertauhid.
a. Hakikat tujuan pengutusan para rasul dan materi
dakwah mereka.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Toghut
(sesembahan selain Allah) itu.” (QS. An Nahl: 36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan
(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku.” (QS. Al Anbiya: 25)
b. Kewajiban pertama bagi manusia dewasa lagi berakal.
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu
bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu.” (QS. An Nisa: 36)
Di dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk
bertauhid terlebih dulu sebelum memerintahkan yang lainnya.
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak)
melainkan Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi

15
(dosa) orang-orang mu‟min laki-laki dan perempuan.” (QS.
Muhammad: 19)
Di dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk
bertauhid dahulu sebelum beramal.
b. Pelanggaran tauhid yaitu syirik adalah keharaman yang
terbesar.
“Katakanlah: Marilah kubacakan apakah yang diharamkan atas kamu
oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan dia, berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak……” (QS.
Al Anám: 151)
Allah mendahulukan penyebutan keharaman syirik
sebelum yang lainya karena keharaman syirik adalah yang
terbesar.
3. Karakteristik Aqidah Islamiyah
Sesungguhnya orang yang mau berfikir obyektif, jika ia
mau melakukan perbandingan antara berbagai keyakinan yang
ada di antara umat manusia saat ini, niscaya ia menemukan
beberapa karakteristik dan ciri-ciri dari „aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama‟ah yang merupakan „aqidah Islamiyah yang haq
(benar) berbeda dengan lainnya.
Karakter Dan Ciri-Ciri Itu di antaranya:
[1] Keotentikan Sumbernya.
Hal ini karena „aqidah Ahlus Sunnah semata-mata hanya
bersandarkan kepada al-Qur-an, hadits dan ijma‟ para ulama
Salaf serta penjelasan dari mereka. Ciri ini tidak terdapat pada
aliran-aliran Mutakalimin, ahli bid‟ah dan kaum Sufi yang
selalu bersandar kepada akal dan pemikiran atau kepada
kasyaf, ilham, wujud dan sumber-sumber lain yang berasal dari
manusia yang lemah. Mereka jadikan hal tersebut sebagai
patokan atau sandaran di dalam masalah-masalah yang ghaib.
Padahal „aqidah itu semuanya ghaib.

16
Sedangkan Ahlus Sunnah selalu berpegang teguh al-Qur-
an dan Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Ijma‟
Salafush Shalih dan penjelasan-penjelasan dari mereka. Jadi,
„aqidah apa saja yang bersumber dari selain al-Qur-an, hadits,
ijma‟ Salaf dan penjelasan mereka itu, maka adalah termasuk
kesesatan dan kebid‟ahan.
[2] Berpegang Teguh Kepada Prinsip Berserah Diri Kepada
Allah Dan Kepada Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
Sebab „aqidah adalah masalah yang ghaib, dan hal yang
ghaib itu hanya tegak dan bersandar kepada kepasrahan
(taslim) dan keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada Allah
(dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam). Maksudnya,
hal tersebut adalah apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya
(wajib diterima dan diyakini sepenuhnya. Taslim merupakan
ciri dan sifat kaum beriman yang karenanya mereka dipuji oleh
Allah, seraya berfirman:
"Artinya : Alif Laam Mim. Kitab al-Qur'an ini tidak ada keraguan
padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka
beriman kepada yang ghaib..."[Al-Baqarah: 1-3]
Perkara ghaib itu tidak dapat diketahui atau dijangkau
oleh akal, maka oleh karena itu Ahlus Sunnah membatasi diri
di dalam masalah „aqidah kepada berita dan wahyu yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sangat berbeda
dengan Ahli bid‟ah dan Ahli Kalam (mutakalimin). Mereka
memahami masalah yang ghaib itu dengan berbagai dugaan.
Tidak mungkin mereka mengetahui masalah-masalah ghaib.
Mereka tidak melapangkan akalnya dengan taslim, berserah
diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula
menyelamatkan „aqidah mereka dengan ittiba‟ dan mereka
tidak membiarkan kaum Muslimin awam berada pada fitrah
yang telah Allah fitrahkan kepada mereka.
[3] Sejalan Dengan Fitrah Yang Suci Dan Akal Yang Sehat.
Hal itu karena „aqidah Ahlus Sunnah wal Jam‟ah berdiri
di atas prinsip ittiba‟ (mengikuti), iqtidha‟ (meneladani) dan
17
berpedoman kepada petunjuk Allah, bimbingan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan „aqidah generasi terdahulu
(Salaful Ummah). „Aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari
sumber fitrah yang suci dan akal yang sehat itu sendiri serta
pedoman yang lurus. Betapa sejuknya sumber rujukan ini.
Sedangkan „aqidah dan keyakinan golongan yang lain itu
hanya berupa khayalan dan dugaan-dugaan yang membutakan
fitrah dan membingungkan akal belaka.
[4] Mata Rantai Sanadnya Sampai Kepada Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Para Shahabatnya Dan Para
Tabi‟in Serta Para Imam Yang Mendapatkan Petunjuk.
Tidak ada satu dasar pun dari dasar-dasar „aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama‟ah yang tidak mempunyai dasar atau sanad
atas qudwah (contoh) dari para Shahabat, Tabi‟in dan para
Imam yang mendapatkan petunjuk hingga Hari Kiamat. Hal ini
sangat berbeda dengan „aqidah kaum mubtadi„ah (ahli bid‟ah)
yang menyalahi kaum Salaf di dalam ber„aqidah. „aqidah
mereka merupakan hal yang baru (bid‟ah) tidak mempunyai
sandaran dari al-Qur'an dan as-sunnah, ataupun dari para
Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Tabi‟in. Oleh
karena itu, maka mereka berpegang kepada kebid‟ahan
sedangkan setiap bid‟ah adalah kesesatan.
[5] Jelas Dan Gamblang.
„Aqidah Ahlus Sunnah mempunyai ciri khas yaitu
gamblang dan jelas, bebas dari kontradiksi dan ketidakjelasan,
jauh dari filsafat dan kerumitan kata dan maknanya, karena
„aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari firman Allah yang
sangat jelas yang tidak datang kepadanya kebatilan (kepalsuan)
baik dari depan maupun dari belakang, dan bersumber dari
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak
pernah berbicara dengan hawa nafsunya. Sedangkan „aqidah
dan keyakinan yang lainnya berasal dari ramuan yang dibuat
oleh manusia atau ta‟wil dan tahrif mereka terhadap teks-teks
syar‟i. Sungguh sangat jauh perbedaan sumber dari „aqidah
Ahlus Sunnah dan kelompok yang lainnya. „Aqidah Ahlus
18
Sunnah adalah tauqifiyah (berdasarkan dalil/nash) dan bersifat
ghaib, tidak ada pintu bagi ijtihad sebagaimana yang telah
dimaklumi.
[6] Bebas Dari Kerancuan, Kontradiksi Dan Kesamaran.
„Aqidah Islam yang murni ini tidak ada kerancuan
padanya, tidak pula kontradiksi dan kesamaran. Hal itu karena
„aqidah tersebut bersumber dari wahyu, kekuatan hubungan
para penganutnya dengan Allah, realisasi ubudiyah
(penghambaan) hanya kepada-Nya semata, penuh tawakkal
kepada-Nya semata, kekokohan keyakinan mereka terhadap al-
haq (kebenaran) yang mereka miliki. Orang yang meyakini
„aqidah Salaf tidak akan ada kebingungan, kecemasan,
keraguan dan syubhat di dalam beragama. Berbeda halnya
dengan para ahli bid‟ah, tujuan dan sasaran mereka tidak
pernah lepas dari penyakit bingung, cemas, ragu, rancu dan
mengikuti kesamaran.
Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah keraguan,
kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh
terkemuka mutakallimin (ahlu kalam), tokoh filosof dan para
tokoh sufi sebagai akibat dari sikap mereka menjauhi „aqidah
Salaf. Dan kembalinya sebagian mereka kepada taslim dan
pengakuan terhadap „aqidah Salaf, terutama ketika usia mereka
sudah lanjut atau mereka meng-hadapi kematian, sebagaimana
yang terjadi pada Imam Abul Hasan al-Asy‟ari (wafat th. 324
H). Beliau telah merujuk kembali kepada „aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama‟ah („aqidah Salaf) sebagaimana dinyatakan di dalam
kitabnya, al-Ibanah „an Ushuliddiyanah, setelah sebelumnya
menganut „aqidah mu‟tazilah, kemudian talfiq (paduan antara
„aqidah mu‟tazilah dan „aqidah Salaf) dan akhirnya kembali
kepada „aqidah Ahlus Sunnah wal Jama‟ah. Hal serupa juga
dilakukan oleh Imam al-Baqillani (wafat th. 403 H)
sebagaimana dinyatakan dalam kitab at-Tamhid, dan masih
banyak lagi tokoh terkemuka lainnya.

19
4. Fungsi Aqidah Islamiyah
Aqidah tauhid sebagai kebenaran merupakan landasan
keyakinan bagi seorang muslim akan memiliki fungsi dan
peranan yang sangat besar dalam hidupnya antara lain:
a) Menopang seluruh prilaku, membentuk dan memberi
corak dan warna kehidupannya dalam hubungannya
dengan makhluk lain dan hubungannya dengan Tuhan.
b) Aqidah/ keyakinan akan memberikan ketenangan dan
ketentraman dalam pengabdian dan penyerahan dirinya
secara utuh kepada Zat yang Maha Besar.
c) Iman memberikan daya dorong utama untuk bergaul dan
berbuat baik sesama manusia tanpa pamrih.
d) Dengan iman seorang muslim akan senantiasa
menghadirkan dirinya dalam pengawasan Allah semata.
e) Aqidah sebagai filter, penyaring budaya-budaya non
Islami (sekuler).
f) aqidah adalah dasar fondasi
g) g. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan
melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak
yang mulia dan bermu‟amalat dengan baik.
h) Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan
melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak
yang mulia dan bermu‟amalat aqidah.
i) Sesorang tidak akan dinamai berahklak mulia bila tidak
memiliki aqidah yang benar
B. Ibadah dan Syari‟ah
1. Ibadah
Ibadah artinya adalah penghambaan, pengabdian,
ketundukan seorang hamba Allah sebagai makhluk (ciptaan
Allah ) kepada dzat yang menciptakan (khalik), yakni Allah
SWT.
20
Ibadah dalam Islam mempunyai kedudukan yang
penting, sebagai pengakuan dan realisasi atas Syahadah
(persaksiannya) kepada Allah. Ketundukan seorang hamba
kepada Allah dibuktikan dengan melaksanakan Ibadah. Ibadah
seorang hamba yag dilakukannya kepada Allah di samping
merupakan pengabdiannya juga merupakn wujud terimakasih
(syukur) kepada Allah atas nikmatnya yang sangat besar yang
dirasakan oleh hamba tersebut.
Dalam pandangan para ualama membagi ibadah tersebut
dalam dua katagori, yakni Ibadah mahdhah dan ibadah
ammah. Ibadah Mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan
tata caranya secara rinci dan telah ditentukan waktu maupun
ukurannya secara rinci pula oleh Allah dan Rasulullah SAW,
seperti : Shalat, Puasa, Zakat, Haji, Qurban. Karena telh
ditentukan secara rinci maka seorang hamba Allah harus
melakukannya sesuai dengan ketentuan tersebut. Adapun
Ibadah Ammah, adalah ibadah yang umum sifatnya dan
ketentuan-ketentuannya sesuai dengan kepatutan di mana
seorang hamba melakukannya, seperti : menuntut ilmu,
mencari nafkah, makan, minum, bertamu, dan sebagainya.
2. Syari‟ah
Syariah, atau Syariat,mempunyai arti tata aturan dalam
Islam, di mana Islam adalah agama yang sempurnya, mengatur
seluruh aspek kehidupan penganutnya yakni umat Islam .
Syariat juga berarti tuntunan kehidupan seorang hamba
muslim sesui dengan tuntunan yang diberikan oleh Allah dan
dicontohkan secara praktis oleh Rasulullah SAW dan diikuti
oleh para sahabatnya hingga pengikutnya secara turun
temurun. Aturan atau tuntunan dalm Syariat Islam adalah
kemurahn Allah kepada hamba-Nya, karena dengan
menjalankan Syari‟at Islam tersebut secara baik, seorang hamba
akan menjalani kehidupan ini dengan baik pula dan dengan
selamat sejahtera dunia akhirat.
Islam telah memberikan tuntunan hidup bagi
pemeluknya dalam segala aspek kehidupan, telah diberikan
21
tuntunan yang jelas dan gamblang, seperti tuntunan atau
aturan tentang : Perkawinan, Pembagian harta waris, pergaulan
sesama manusia, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam,
bertamu, bermusyawarah, tidur, mendidik anak, berbakti
kepada orang tua, membina rumah tangga,berpakian,
berbicara, bepergian (musafir), dan lain lain telah diatur
seluruhnya sebagai pedoman dalam praktek kehidupam
seorang muslim sehari-harinya.
C. Akhlak
1. Pengertian akhlak
Akhlak menurut Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M) :
adalah sifat yang tertanam dalm jiwa yang mendorong untuk
melakukan perbuatan , tanpa memerlukan pertimbangan akal
pikiran lagi .8 sedangkan menrut Imam al-Ghazali ( 1059
H/1111 M) Akhlak adalah : Sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
gampang dan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan
pemikiran lagi.9

Akhlak adalah bagian pokok dari ajaran Islam, akhlak


disebut juga ajaran yang berkaitan dengan etika, budi pekerti .
Akhlak al-Karimah adalah budi pekerti yang mulia, Akhlak
Islam adalah akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW
yang merupakan nilai-nilai mulia yang ada dalam al-Qur‟an.
Menurut Abuddin Nata, perbuatan yang tergolong
dalam perbuatan akhlak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:10
a. Perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang
sehingga telah melekat menjadi kepribadian dan
karakternya. Misalnya seseorang dikatakan dermawan ,

8
Lihat Ibnu Miskawaih, Tahdzib Al-Akhlak wa Tahthir al-A‟raq (
Mesir : al-Mathba‟ah al-Mishriyah, 934 M) cet.1 hal.40
9
Lihat Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III ( Beirut , Dar al
Fikr, t.th) hal. 56
10
Lihat, Abuddin Nata, Studi Islam Konprehenship, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2011, h.151
22
apabila kedermawanannya telah menjadi
kepribadiannya.
b. Perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa
pemikiran lagi. Hal ini terjadi karena perbuatan tersebut
telah melekat dalam jiwa dan kepribadiannya, sehingga
dengan mudah dapat dilakukan . Shalat yang telh
mendrh daging dalam diri seseorang, misalnya dapat
dikerjakan dengan mudah.
c. Perbuatan yang timbul atas kemauan orang yang
mengerjakannya, tanpa ada tekanan atau paksaan dari
luar dirinya. Seseorang yang tampaknya baik dn saleh
perbuatnnya, atau sebaliknya, namun perbuatn ini
dilakukan dalam sebuah sinetron atau sandiwara, maka
perbuatan ini belum dikatakn perbuatan akhlak, karena
boleh jadi perbuatan tersebut hanya sekedar skenario,
bukan perbuatn yang muncul dari diri orang yang
melakuknnya.
d. Perbuatan yng dilakukan dengan sesungguhnya, bukan
main-main atau berpura-pura, sebagimana yang
demikian itu sering terjadi dalam sandiwara.
e. Perbuatan itu adalah perbuatan yang dilakukan, karena
semata-mata atas panggilan Allah SWT.

23
BAB III
SUMBER SUMBER AJARAN ISLAM

Sumber utama ajaran agama dalam Islam yang utama


adalah al-Qur‟an dan al-Hadis atau al-Sunnah . Al-Qur‟an
adalah Wahyu Allah yang mutlak kebenarannya dan tidak
dapat dibantah oleh akal dan kebenaran manusia, sehingga al-
Qur‟an adalah sumber ajaran utama dalam Islam. Al-Hadis
atau al-Sunnah adalah sumber ajaran utama yang kedua setelah
al-Qur‟an, sebab al-Hadis atau al- Sunnah adalah ajaran-ajaran
dan contoh teladan dari Rasulullah SAW, menusia yang telah
dipercaya dan diangkat oleh Allah sebagai Rasul yakni utusan
Allah untuk menyampaikan Agama Islam kepada manusia.
Hadis Rasul kedudukannya lebih tinggi dari pemikiran atau
pendapat manusia baik dia ulama maupun ilmuan, sehingga al-
Hadis atau al-Sunnah dari Rasul harus digunakan dalam
menerapkan ajaran-ajaran agama. Al-Hadis atau al-Sunnah ini
berupa perkataan Nabi, perbuatan Nabi dan persetujuan Nabi.
Sumber-sumber ajaran Islam, berkaitan pula dengan
sumber-sumber hukum Islam. Yang dimaksud sumber hukum
adalah dasar-dasar pijakan dalam pengambilan keputusan
hukum. Para ulama sepkat bahwa sumber hukum dalam Islam
adalah , al-Qur‟an, Al-Hadis atau Al-Sunnah, Ijma, dan
Qiyas.11 Para ulama juga berpendapat bahwa hasil Ijtihad juga
sebagai sumber hukum dan ada juga yang lainnya yang tidak
seluruhnya dibahas dalam tulisan ini . Hasil ijtihad para
ulama dapat dijadikan rujukan dalam mengambil keputusan
hukum, sehingga hasil ijtihat merupakan bagian dari sumber
hukum dalam agama Islam. Adapun ijtihad itu berfungsi pula
sebagai metode penerapan hukum. Manakala terdapat
persoalan hukum yang terjadi pada umat Islam sedangkan
dalam nash yang menunjukkan kasahihannya tidak ditemukan

11.
Aminuddin Ya‟kub, dkk, ushul Fiqh, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2005,h.78
24
, maka para ulama berpendapat bahwa mereka dapat berijtihad
untuk menetapkan hukum tersebut demi kemaslahatan
kehidupan umat Islam. Ijtihad ini dilakukan oleh Rasulullah,
para sahabat Rasul dan para ulama ahli hukum yang
memenuhi syarat untuk berijtihad.
A. Al-Qur‟an
1. Pengertian Al-Qur‟an
a. Pengertian Al-Qur‟an secara bahasa
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur‟an
berasal dari bahasa Arab
Yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca
berulang-ulang". Kata Al-Qur‟an adalah bentuk kata benda
(masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep
pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat
Al-Qur'an sendiri yaknipada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur‟an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan
Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu
ikuti bacaannya”. ( al-Qiyamah : 17-18)
b. Pengertian al-Qur‟an Secara Syari‟at (Terminologi)
Al-Qur‟an adalah kalam Allah ta‟ala yang diturunkan
kepada Rasul dan Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu „alaihi
wasallam, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat An-Naas.
Allah ta‟ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Al-Qur‟an kepadamu (hai Muhammad) dengan
berangsur-angsur.” (Al-Insaan: 23)
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya
berupa Al-Qur‟an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.” (Yusuf: 2)
Allah ta‟ala telah menjaga Al-Qur‟an yang agung ini dari
upaya perubahan, penambahan, pengurangan atau pun
25
menggantikannya. Dia ta‟ala telah menjamin akan menjaganya
sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesunggunya Kami-lah yang
menurunkan Al-Qur‟an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Oleh karena itu, selama berabad-abad telah berlangsung
namun tidak satu pun musuh-musuh Allah yang berhasil
untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun
menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan
membuka tipudayanya.
2. Fungsi dan Peranan Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah wahyu Allah ( 7:2 ) dan mu'jizat bagi
Rasulullah Muhammad saw ( 17:88; 10:38 ) sebagai pedoman
hidup bagi setiap Muslim ( 4:105; 5:49,50; 45:20 ) dan sebagai
korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang
sebelumnya ( 5:48,15; 16:64 ), dan bernilai abadi.
Sebagai mu'jizat, Al-Qur'an telah menjadi salah satu
sebab penting bagi masuknya orang-orang Arab di zaman
Rasulullah ke dalam agama Islam, dan menjadi sebab penting
pula bagi masuknya orang-orang sekarang, dan (insya Allah)
pada masa-masa yang akan datang. Ayat-ayat yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan dapat meyakinkan
kita bahwa Al-Qur'an adalah firman-firman Allah, tidak
mungkin ciptaan manusia apalagi ciptaan Nabi Muhammad
saw yang ummi (buta huruf) (7:158) yang hidup pada awal
abad ke enam Masehi (571 - 632 M). Diantara ayat-ayat tersebut
umpamanya : 39:6; 6:125; 23:12,13,14; 51:49; 41:11-41; 21:30-33;
51:7,49 dan lain-lain.
Demikian juga ayat-ayat yang berhubungan dengan
sejarah seperti tentang kekuasaan di Mesir, Negeri Saba'.
Tsamud, 'Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa dan lain-
lain dapat memberikan keyakinan kepada kita bahwa Al-
Qur'an adalah wahyu Allah bukan ciptaan manusia. Ayat-ayat
yang berhubungan dengan ramalan-ramalan khusus yang
kemudian dibuktikan oleh sejarah seperti tentang bangsa

26
Romawi, berpecah-belahnya Kristen dan lain-lain juga menjadi
bukti lagi kepada kita bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah
SWT. (30:2,3,4;5:14).
Bahasa Al-Qur'an adalah mu'jizat besar sepanjang masa,
keindahan bahasa dan kerapian susunan katanya tidak dapat
ditemukan pada buku-buku bahasa Arab lainnya. Gaya bahasa
yang luhur tapi mudah dimengerti adalah merupakan ciri dari
gaya bahasa Al-Qur'an. Karena gaya bahasa yang demikian
itulah „Umar bin Khattab masuk Islam setelah mendengar awal
surat Thaha yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid,
diplomat Quraisy waktu itu, terpaksa cepat-cepat pulang
begitu mendengar beberapa ayat dari surat Fushshilat yang
dikemukakan Rasulullah sebagai jawaban atas usaha bujukan
dan diplomasinya.
Bahkan Abu Jahal musuh besar Rasulullah, sampai tidak
jadi membunuh Nabi karena mendengar surat Adh-Dhuha
yang dibaca Nabi. Tepat apa yang dinyatakan Al-Qur'an.
Sebab seseorang tidak menerima kebenaran Al-Qur'an sebagai
wahyu Ilahi adalah salah satu diantara dua sebab, yaitu :
a. Tidak berpikir dengan jujur dan sungguh-sungguh
(67:10).
b. Tidak sempat mendengar dan mengetahui Al-Qur'an
secara baik (4:82).
Al-Qur'an menyebutnya Al-Maghdhub ( orang yang
dimurkai Allah ) karena tahu kebenaran tetapi tidak mau
menerima kebenaran itu, dan disebut Adh-dhollin (orang yang
tersesat ) karena tidak menemukan kebenaran itu. Sebagai
jaminan bahwa Al-Qur'an itu wahyu Allah, maka Al-Qur'an
sendiri menantang setiap manusia untuk membuat satu surat
saja yang senilai dengan Al-Qur'an (2:23, 24, 17:88). Sebagai
pedoman hidup, Al-Qur'an banyak mengemukakan pokok-
pokok serta prinsip-prinsip umum yang mengartur kehidupan
dalam berhubungan antara manusia dengan Allah dan
makhluk lainnya.

27
Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan seperti :
beribadah langsung kepada Allah (2:43,183,184,196,197; 11:114),
berkeluarga (4:3, 4,15,19,20,25; 2:221; 24:32; 60:10,11),
bermasyarakat ( 4:58; 49:10,13; 23:52; 8:46; 2:143), berdagang
(2:275,276,280; 4:29), utang-piutang (2:282), kewarisan (2:180;
4:7-12,176; 5:106), pendidikan dan pengajaran (3:159; 4:9,63;
31:13-19; 26:39,40), pidana (2:178; 4:92,93; 5:38; 10:27; 17:33;
26:40), dan aspek-aspek kehidupan lainnya yang oleh Allah
dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai pada setiap tempat dan
setiap waktu (7:158; 34:28; 21:107).
Setiap Muslim diperintahkan untuk melakukan seluruh
tata nilai tersebut dalam kehidupannya (2:208; 6:153; 9:51). Dan
sikap memilih sebagian dan menolak sebagian tata nilai itu
dipandang Al-Qur'an sebagai bentuk pelanggaran dan dosa
(33:36). Melaksanakannya dinilai ibadah (4:69; 24:52; 33:71),
memperjuangkannya dinilai sebagai jihad dijalan Allah (61:10-
13; 9:41), mati karenanya dinilai sebagai mati syahid (3:157,
169), hijrah karena memperjuangkannya dinilai sebagai
pengabdian yang tinggi (4:100, 3:195), dan tidak mau
melaksanakannya dinilai sebagai zhalim, fasiq, dan kafir
(5:44,45,47).
Sebagai korektor, Al-Qur'an banyak mengungkapkan
persoalan-persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil,
dan lain-lain yang dinilai Al-Qur'an sebagai tidak sesuai
dengan ajaran Allah yang sebenarnya. Baik menyangkut segi
sejarah orang-orang tertentu, hukum-hukum, prinsip-prinsip
ketuhanan dan lain sebagainya.
Sebagai contoh koreksi-koreksi yang dikemukakan Al-
Qur'an tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Tentang ajaran Trinitas (5:73).
b. Tentang Isa (3:49, 59; 5:72, 75).
c. Tentang penyaliban Nabi Isa (4:157,158).

28
d. Tentang Nabi Luth (29:28-30; 7:80-84) perhatikan,
(Genesis : 19:33-36).
e. Tentang Harun (20:90-94), perhatikan, (keluaran : 37:2-4).
f. Tentang Sulaiman (2:102; 27:15-44), perhatikan (Raja-raja
21:4-5) dan lain-lain.
3. Penerjemahan Al-Qur‟an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al
Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan
penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai
bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas
usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau
menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan
terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-
Qur'an itu sendiri.
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan
secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha
interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh
dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-
Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan
untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti
hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan
maksud lainnya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya
dilaksanakan oleh:
1) Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama
Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989
dan 2002.
2) Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus.
3) An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy.
4) Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS.

29
4. Nama Lain dari Al-Qur‟an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang
menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk
kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama
tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
a) Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
b) Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
c) Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
d) Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57)
e) Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
f) Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
g) Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
h) Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
i) At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
j) Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
k) Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
l) Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
m) Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
n) Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
o) An-Nur (cahaya): QS(4:174)
p) Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
q) Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
r) Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
5. Struktur dan Pembagian Al-Qur‟an
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan
nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat,
di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al

30
Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat
Al Kautsar dan Al-„Asr. Total jumlah ayat dalam Al-Qur'an
mencapai 6236 ayat di mana jumlah ini dapat bervariasi
menurut pendapat tertentu namun bukan disebabkan
perbedaan isi melainkan karena cara/aturan menghitung yang
diterapkan. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub
bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik
tertentu.
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat
dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan
Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan
tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana
surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke
Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya
tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum
dan sesudah hijrah ini lebih tepat,sebab ada surat Madaniyah
yang turun di Mekkah.
6. Kedudukan Al-Qur‟an
a) Kitabul Nabawal Akbar (Berita dan Kabar)
“tentang Apakah mereka saling bertanya-tanya? tentang berita yang
besar (yang dimaksud dengan berita yang besar ialah berita tentang
hari berbangkit)”. QS : An Naba‟ : 1-2
b) Kitabul Hukmi Wa Syariat (Hukum dan Syariah)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum
yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”.

31
(QS : Al Maaidah :49-50)
c) Kitabul Jihad
“dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.
dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik”. (QS : Al Ankabut :69)
d) Kitabul Tarbiyah
“tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya
Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia:
"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan
penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani (orang yang sempurna ilmu dan
takwanya kepada Allah s.w.t.)karena kamu selalu mengajarkan al
kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS : Ali Imran :
79)
e) Kitabul Ilmi
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(al-Alaq: 1-5)
f) Minhajul Hayah (Pedoman Hidup)
“Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa
sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka
(belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim”.(QS : Al Qashash : 50) )

32
7. Fungsi Al- Qur‟an :
a) Al-Qur‟an Sebagai Petunjuk (Huda)
Allah SWT berfirman ;
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu.
Di awal surat al-baqarah tersebut Allah SWT menyebut
al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Adapun
petunjuk bagi orang bertaqwa mempunyai arti bahwa mereka
mampu mengambil manfaat dan faedah dari al-Qur‟an
tersebut. Al-Qur‟an merupakan petunjuk dilalah dan irsyad
(penjelasan dan pembimbing) bagi seluruh manusia, dan
petunjuk bagi orang yang bertaqwa, khususnya mereka yang
memenuhi panggilan al-Qur‟an.
b) Al-Quran Sebagai Ruh
Di dalam ayat yang lain, Allah SWT menyebut al-Qur‟an
dengan ruh, dan salah satu makna ruh di sini adalah segala
yang menjadikan hati hidup penuh dengan makna.
c) Al-Qur‟an Sebagai Cahaya (Nur)
Allah SWT menamai al-Qur‟an dengan Nur (cahaya),
yaitu sesuatu yang menerangi jalan yang terbentang di
hadapan manusia sehingga manusia mampu melewatinya
tanpa ada hambatan.
d) Al-Qur‟an Sebagai Pembeda (Al-Furqan)
Allah SWT berfirman ;

33
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran)
kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam”. (QS : Al Furqaan : 1)
Artinya al-Qur‟an membedakan antara yang hak dengan
yang batil, antara yang lurus dengan yang sesat, yang
bermanfaat dengan yang berbahaya.
e) Al-Qur‟an Sebagai Obat Penawar (Asy Syifa)
Al-Qur‟an bersifat Asy syifa (obat penawar) sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah SWT yang terjemahnya :
“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman”.(QS : Yunus : 57)
Dia merupakan obat bagi penyakit yang bersifat hakiki
(menimpa badan) dan penyakit yang bersifat maknawi
(menimpa hati).
8. Sejarah Perkembangan Al-Qur‟an
a) Periode penurunan Al-qur‟an
Dipercayai oleh umat Islam bahwa penurunan Al-Qur'an
terjadi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Oleh para
ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu
periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah
berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW
dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat
Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak
peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang
turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
b) Pengumpulan Al-Qur‟an di Masa Rasulullah
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an
sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian
transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai
dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

34
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup,
terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al
Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin
Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap
menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media
penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana,
potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak
juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-
Qur'an setelah wahyu diturunkan.
c) Pengumpulan Alqur‟an di Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa
pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang
Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-
Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang
saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas
meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh
tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat.
Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai
koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan
tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu
mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar
menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian
mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah
penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni
Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin
Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an
(qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek
(lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal
ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil
kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin
mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah
jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian
dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang
35
digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini,
seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan
diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses
ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya
perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam
penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para
sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan
kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada
padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari
dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin
Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia
memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak
mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga
orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa
Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka.
Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada
Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah,
Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di
Madinah (mushaf al-Imam).Lihat Syaikh Manna' Al-Qaththan
dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an
B. Al-Hadis/Al-Sunnah
1. Pengertian
Al-Hadis adalah adalah suatu perkataan atau berita .
Hadis Rasul adalah suatu perkataan, berita, informasi yang
berasal dari Rasulullah SAW. Sedangkan Al-Sunnah adalah
jalan hidup yang dilalui, atau yang di jalani atau sesuatu yang
telah dibiasakan. Sunnah Rasul adalah apa yang biasa di
jalankan dalam kebiasaan hidup Rasulullah SAW baik berupa
perkataan, perbuatan maupun persetujuan Rasul.
2. Kedudukan al-Hadis/al-Sunnah
Al-Hadis/al-Sunnah , mempunyai kedudukan dalam
hukum Islam adalah sebagai sumber kedua dalam hukum
Islam setelah a-Qur‟an . Sebagai sumber hukum yang kedua,
36
al-Hadis/al-Sunnah mempunyai peranan penting setelah al-
Qur‟an. Al-Qur‟an sebagai kitab suci dan pedoman hidup
umat islam diturunkan pada umumnya dalam kata – kata yang
perlu di rinci dan di jelaskan lebih lanjut, agar dapat di pahami
dan di amalkan, al-Hadis/al- Sunnah antara lain sebagai
penjelas ayat-ayat al-Qur‟an yang kurang jelas atau sebagai
penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur‟an.
Disampaikan dalam al-Qur‟an Surat al-A‟raf ayat : 158 ;
158. Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan
Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit
dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang
menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan
kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia,
supaya kamu mendapat petunjuk".
Adapaun Al-Sunnah terbagi menjadi empat macam,
yakni:
a. Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
b. Sunnah Fi‟liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
c. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Nabi
terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain
d. Sunnah Hammiyah, yakni sesuatu yang telah
direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai
dikerjakan.
3. Fungsi Al-Hadis/Al-Sunnah
Adapaun fungsi al-Hadis/al-Sunnah dalam pengambilan
atau istinbat hukum dalam ajaran Islam adalah :
a. Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam
al- qur‟an. misalnya dalam al - Qur‟an terdapat ayat
tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaanya di
jelaskan dalam Sunnah Rasul.

37
b. Sebagai penjelasan isi al- Qur‟an. Di dalam al-Qur‟an
Allah memerintah kan anusia mendirikan shalat. Namun
di dalam al- Qur‟an kitab suci tidak di jelaskan
banyaknya raka‟at, cara rukun dan syarat mendirikan
shalat, maka Sunnah menjelaskan dan mencontohkan
jumlah raka‟at setiap shalat, cara, rukun dan syarat
mendirikan shalat.
c. Menambahan atau mengembangkan sesuatu yang tidak
ada atau samar -samar ketentannya di dalam al-Qur‟an.
Sebagai contoh larangan nabi mengawini seorang
perempuan dengan bibinya. Larangan sebagian ini tidak
terdapat dalam a;l-Qur‟an. Namun kalau di lihat hikmah
larangan itu jelas bahwa larangan tersebut mencegah
rusak atau putusnya hubungan talli silaturahmi antara
dua kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama islam.
Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur‟an
sebagai penjelasan/penafsir/perinci hal-hal yang masih global.
Sunnah juga dapat membentuk hukum sendiri tentang suatu
hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an.
Dalam Sunnah terdapat unsur-unsur sanad
(keseimbangan antar perawi), matan (isi/materi), rowi
(periwayat).
Pembagian Sunnah dapat pula dilakukan melalui
pembagian berdasarkan rawinya dan berdasarkan sifat
perawinya. Dilihat dari segi jumlah perawinya, Sunnah dapat
dibagi ke dalam 3 kelompok :
1) Sunnah Mutawattir, yaitu sunnah yang diriwayatkan
banyak perawi.
2) Sunnah Masyhur, yaitu sunnah yang diriwayatkan 2
orang atau lebih yang tidak mencapai tingakatan
mutawattir.
3) Sunnah Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh 1
perawi saja.

38
4) Sunnah Mursal, yaitu Sunnah (al-Hadis) yang rangkaian
riwayatnya terputus di tengah-tengah, sehingga tidak
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam keadaan yang sempurna, Sunnah Qauliyah (al-
Hadis) terdiri dari dua bagian yaitu :
1. Matan, yaitu teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu
dalam susunan kalimat yang tertentu.
2. Sanad, yaitu bagian yang menjadi dasar untuk
mementukan dapat dipercaya atau tidaknya sesuatu
hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang
sambung-menyambung menerima dan menyampaikan
hadist tersebut, dimulai dari orang yang memberikannya
kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut
Rawi. Hadist Mursal, yaitu hadist yang rangkaian
riwayatnya terputus di tengah-tengah, sehingga tidak
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Ditinjau dari sudut sifat (atribut) si periwayat, hadist
dapat dipecah menjadi tiga bagian ,yaitu :
1. Hadist Shahih (benar), dimana perawinya terkenal orang
baik dan boleh dipercayai.
2. Hadist Hasan (baik), dimana perawinya tidak mencapai
derajat perawi hadist shahih tetapi tidak diketahui ada
cacatnya.
3. Hadist Dha‟if (lemah), dimana perawinya diragukan
keberadaannya.
Perlu ditegaskan di sini bahwa Rasulullah melarang para
sahabatnya menuliskan secara resmi al-Hadist (Sunnah
Qauliyah) untuk mencegah agar ayat-ayat Al-Qur‟an dan sunah
Rasul tidak bercampur maka dari itu para sahabat nabi
menyiarkan hadist dengan jalan riwayat (meriwayatkan) dari
mulut ke mulut.

39
Sunnah berkedudukan sebagi dalil hukum Islam. Hal ini
didasarkan kepada Nash Al-Qur‟an Surat An-Nisaa‟ ayat 79,
yang artinya sebagai berikut :
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.
Kami mengutusmu menjadi rasul pada segenap manusia. Dan
cukuplah Allah menjadi saksi.” (AN-Nissa‟ : 79)
Di dalam ilmu hadist dikenal adanya ulama hadist yang
masykur. Keenam ulama hadist yang kitabnya disebut
Kutubussittah ( Kitab Enam) tersebut ialah :
1) Al-Bukhari (194-256H / 810-870M)
2) Muslim (204-261H / 820-875M)
3) Abu Daud (202-275H / 817-889M)
4) An-Nasa-I (225-303H / 839-915M)
5) At-Turmudzi (209-272H / 824-915M)
6) Ibnu Majah (207-273H / 824-884M)
C. Ijma‟ Ulama
1. Pengertian Ijma‟ Ulama
Ijma‟ adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid (yang
berijtihad) dari kaum muslimin pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW atas sesuatu hukum syara dalam
satu kasus” .12
Hasil dari ijma‟ Ulama dalam satu masalah yang penting
dalam urusan Umat Islam, maka hal tersebut menjadi hukum
yang dapat dijadikan pedoman dalm kehidupan umat Islam.
Betapa pentingnya Ijma‟ulama tersebut dalam persoalan
kehidupan umat Islam dewasa ini yang penuh dengan
perkembangan yang pesat di seluruh dunia. Namun demikian

12
Djazuli- I.Nurol Aen Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam , Raja
Grafindo Persada, Jakarta, th.2000,h.109
40
betapa tidak mudahnya Ijma‟ ulama dilakukan, karena harus
memenuhi persyaratan sebgai berikut :
a. Ada perwakilan para ulama mujtahid dari seluruh
perwakilan umat Islam di semua nagara, untuk
berkumpul atau bertemu atau saling berkomunikasi
untuk membahas suatu masalah yang dipandang baru
bagi umat Islam, masalah tersebut tidak dapat
ditemukan secara jelas dalam Al-Qur‟an dan Al-Sunnah.
b. Para ulama mujtahid tersebut bersepakat untuk
memutuskan hukum yang dibahas secara bersama-sama,
bukan hanya beberapa orang ulama saja, atau ulama satu
atau dua negera saja, sehingga keputusn tersebut adalah
keputusan seluruh ulama Islam di seluruh negara.
c. Kesepakatan atau kebulatan pendapat harus nyata, baik
dengan perbuatan maupun dengan fatwanya, karena ada
kemungkinan diantara ulama mujtahid tersebut ada yang
diam, mengakibatkan perbedaan dalam nilai ijma‟
sukuti/diam.
d. Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan ulama
mujtahid tidak disebut ijma‟ ulama, demikian juga
kebulatan pendapat hanya sebagian besar ulama
mujtahid, bukan ijma‟ulama.
2. Kedudukan Ijma‟Ulama
Apabila terjadi Ijma‟ terhadap suatu masalah , maka hasil
ijma‟ tersebut wajib diikuti, dan hukum dalam masalah yang
telah diputuskan dalam ijma‟ tersebut mempunyai nilai qath‟iy
(tetap dan pasti) tidak bisa dihapus atau ditentang dengan
hasil ijtihad misalnya, karena kebulatan pendapat para
muj‟tahid dalam Ijma‟ tersebut telah menunjukkan kebenaran
sesuai dengan jiwa Syari‟ah dan dasar-dasar yang umum.13

13
Djazuli- I.Nurol Aen Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam , Raja
Grafindo Persada, Jakarta, th.2000,h.110

41
Namun para ulama menyatakan bahwa ijtihd saat ini sangat
sulit dapat dilaksanakan, karena mekanisme dan teknisnya
memerlukan usaha-usaha yang besar yang tidak mudah untuk
dilakukan.
3. Dalil-dalil Ijma‟
a. Surat An-Nisa (4) , ayat : 59
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
b. Surat An-Nisa (4), ayat : 83
83. dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)[323]. kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
c. Surat An-Nisa (4), ayat 115 :
115. Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-
orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Dalam keterangan hadis rasul dijelskan bahwa umat Islam
akan bersepakt dalm kebaikan, tidak mungkin umat Islam
bersepakat dalam kesalahan;
“Tidak mungkin Umatku berijma‟ (bersepakat) dalam kesalahan”
(HR. Abu Daud). “Tidak mungkin Allah menghimpun umatku
seluruhnya untuk melakukan kesesatan” ( Al-Hadis)

42
D. Al-Qiyas
1. Pengertian
Qiyas adalah mempersamkan suatu hukum dalam suatu
kasus yang tidak terdapat nash dengan suatu kasus hukum
yang lain yang dinashkan, karena persamaan ilat hukum.14
Imam Syafii mengatakan :15
“Setiap kejadian /peristiwayang terjadi pda seorang muslim, pasti ada
hukumnya, dan dia wajib mengikuti nash ( dalil al-Qur‟an dan al-
Hadis), apabila ada nashnya. Apabila tidak ada nashnya maka dicari
dari permasalahannya (dalalah-nya) di ats jalan yang benar degan
ijtihad dan ijtihad itu adalah qiyas”
Dalam hal ini Djazuli juga mengutip pendapat ulama
Indonesia Hasby Ash Shiddieqy yang mengatakan bahwa :
Pada masa shabat, qiyas diartikan dengan mengembalikan
ssuatu dengan maksud Syara kepada kaidah-kaidah yang
umum , dan kepada ilat-ilat yang lekas difahami yang tidak
berselisih lagi.
2. Kedudukan Qiyas
Dalam hal kedudukan qiyas sebagai sumber ajaran
Islam, para ulama fiqh terbagi atas dua pendapat yakni :
a. Junhur Ulama berpendapat bahwa qiyas dapat dijadikan
hujjah syara‟
b. Mazhab yang lin yakni Nidhomiyah, Dhohoriyah dn
Syiah Imamiyah dan sebagian dari kaum Mu‟tazilah
menolak qiyas sebagai cara untuk menetapkan hukum.
Adapun alasan jumhur ulama yang yang berpendapt
bahw qiyas dapat dijadikan hujah syara‟ didasari oleh alasan
sebagai berikut :

14
Djazuli- I.Nurol Aen Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam , Raja
Grafindo Persada, Jakarta, th.2000,h.121
15
Ibid,h. 121
43
1. Dalil-dalil dari al-Qur‟an dan al- Hadis
a. Surat An-Nisa (4) ayat : 59
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Keterangan Qiyasnya: Kata farudduhu artinya:
mengembalikan, maksudnya meliputi mengembalikan kaidah-
kaidah Syara‟ yang umum dan mengembalikan hal-hl yang
tidak dinashkn kepada hal-hl yang tidak di nashkan.
b. Surat Al-Hasyr ayat : 2
2. Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab
dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang
pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar
dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka
sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai
wawasan.
Keterangan Qiyasnya : Kata Fa‟tabiruu artinya : Qiyashkanlah
dirimu karena kamu juga manusia seperti mereka. Apabila
kamu melakukan hal yang seperti mereka , maka akan
mengalmi seperti apa yang mereka alami.
c. Hadis Riwayat al- Nasa‟iy
“Dulu saya melarang kamu menyimpan daging qurban, karena
banyak orang berkumpul. Maka sekrang boleh makan, menyimpan
dan menyedekahkannya” ( HR. Al-Nasa‟iy )

44
Pemahaman Qiyasnya : Jika banyak orang berkumpul,
maka dilarang menyimpan daging kurban krena banayk orang
yang membutuhkan, jika tidak ada orang berkumpul, maka
boleh menyimpannya. Dengan demikian hukum itu ada
apabila ada illatnya dan hukum tidak ada dalam artian mubah
bila tidak ada illatnya.
d. Hadis Riwayat Ahmad dan Abu Daud
Dalam suatu peristiwa Umar pernah bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang qublah pada bulan Ramadhan, Rasul
menjawab :
“Bagaimana pendpatmu (wahai Umar) apabila kamu
berkumur-kumur pada padahal engkau berpuasa? Jawab
Umar ; Tidak apa apa ya Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah
menjawab : Demikian pula halnya qublah” ( HR. Ahmad dan
Abu Daud )
Dalam hadis ini Rasulullah melakukan qiyas antara
qublah (tanpa inzal) dan berkumur-kumur yang mana satu
(qublah) diqiaskan dengan uang lainnya (berkumur-kumur)
keduanya tidak membatalkan puasa. 16
d. Al- Ijtihad
1. Pengertian dan ruang lingkup Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berarti bekerja-keras,
bersungguh-sungguh, atau mencurahkan segala kemampuan
sampai pada batas yang maksimal. Secara teknis, ijtihad
meliputi tiga dimensi pengertian. Pengertian menurut kata
kerja, menurut kata benda, dan menurut kata sifat. Pertama,
pengertian menurut kata kerja, ijtihad adalah “mencurahan
kemampuan maksimal oleh seorang ahli hukum (faqih) untuk
meng-istinbath-kan ketentuan-ketentuan hukum syara‟ yang
rinci dari dalil-dalilnya,” yakni menyangkut perbuatan

16
Djazuli- I.Nurol Aen Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam , Raja
Grafindo Persada, Jakarta, th.2000,h.126

45
manusia dengan manusia lain dan alam (muamalat). Kedua,
pengertian menurut kata benda, ijtihad adalah hasil kerja
intelektual seorang ahli hukum dalam menyimpulkan
ketentuan-ketentuan hukum. Pengertian menurut kata sifat,
ijtihad adalah kata yang menunjukkan sifat seorang mujtahid,
yaitu “kecakapan yang dengannya seorang ahli hukum mampu
menyimpulkan suatu ketentuan hukum syara‟ dari dalil-
dalilnya.
Kata ijtihad dalam bahasa Arab mengambil bentuk
masdar tsulatsi mazid. Bila dikembalikan ke bentuk aslinya
yang hanya memiliki tiga huruf ia menjadi jahada dan bentuk
masdarnya ada dua; jahdun dan juhdun. Para ahli bahasa
terbagi dalam pemaknaan dua kata ini. Ada yang menganggap
keduanya memiliki satu arti sedangkan yang lainya meyakini
masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri. Jauhari
menuliskan: “Al-Jahdu dan al-Juhdu kedua-duanya memiliki
arti kemampuan, oleh karenanya pada surat Taubah ayat 79
dapat dibaca kedua-duanya, Walladzina laa yajiduna illa
jahdahum atau juhdahum.
Sementara Ahmad Fayyumi dalam kamusnya
membedakan antara al-Jahdu dan al-Juhdu. Ia menuliskan: “Al-
Juhd adalah kata yang dipakai oleh orang-orang Hijaz
sementara kata al-Jahd dipakai oleh selain Arab Hijaz. Al-Jahd
memiliki arti mengerahkan segenap kemampuan. Sementara
kata al-Juhd mengandung makna kesulitan”.
Mencermati arti yang disampaikan para ahli bahasa
terlihat ada perbedaan dalam memaknai akar kata ijtihad.
Namun bila diteliti lebih dalam lagi sebenarnya tidak ada
perbedaan di sana. Kata al-Jahdu yang memiliki arti
mengerahkan segenap kemampuan tidak akan pernah
dilakukan oleh seseorang bila tidak menemui sebuah kesulitan.
Artinya kedua kata ini saling melengkapi. Setiap kesulitan akan
dihadapi dengan segenap kekuatan yang dimiliki sebagaimana
segenap kekuatan hanya akan dikeluarkan bila menghadapi
kesulitan.
46
Raghib Al-Isfahani dengan indah mengartikan kata
ijtihad dengan menggabungkan dua unsur tersebut. Beliau
menuliskan, „Wa Al Ijtihadu Akhdzun Nafsi Bi Badzlit Thoqoti
Wa Tahammuli Al Masyaqqoh‟ (Ijtihad adalah suatu usaha
yang dilakukan oleh seseorang dengan segala kemampuan
yang dimiliki dan menanggung semua kesulitan yang ada).
Lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah yang tidak
disinggung-singgung di dalam teks-teks syari‟ah, baik berupa
al-Qur‟an maupun Hadis, atau ada di dalam teks, tetapi tidak
secara eksplisit. Bahkan, teks-teks tersebut juga menjadi objek
ijtihad apabila ia berupa Hadis, yaitu mengenai apakah ia
otentik berasal dari Nabi atau tidak. Adapun masalah-masalah
yang sudah secara eksplisit ditentukan dalam teks-teks syari‟ah
menurut para ulama tidak dapat diijtihadkan lagi.
Ijtihad juga merupakan satu kata kunci guna dapat
memahami Islam. Mengingat proses ijtihad membutuhkan
kemampuan komprehensif seorang pemikir Islam (baca:
mujtahid) atas ilmu-ilmu Islam dan tentunya ilmu-ilmu lain
dan metodologi yang memiliki kaitan erat dalam proses
penyimpulan sebuah hukum syariat.
Para ahli usul fiqih mengkategorikan tingkatan–tingkatan
kualitas mujtahid yakni:
a. Ijtihad mutlak, yaitu suatu tingkat ijtihad tinggi dengan
otoritas penuh dalam penentuan ushul (prinsip– prinsip
dan metode ijtihad) dan furu‟ (detail-detal ketentuan
hukum). Biasanya tingkat ini dinyatakan hanya dimiliki
oleh pendiri–pendiri mazhab dan beberapa murid
langsung mereka yang tertentu;
b. Ijtihad nisbi, yaitu suatu tingkat ijtihad dengan otoritas
terbatas di mana mujtahid mengikuti guru (imam)-nya
dalam prinsip-prinsip dan metode ijtihadnya, tetapi tidak
terikat kepadanya dalam menyimpulkan detail hukum;
c. Ijtihad dalam mazhab, yaitu tingkat ijtihad dengan
otoritas yang khusus dalam masalah–masalah yang
belum dilakukan ijtihad oleh imam, tetapi ia terikat
47
kepada prinsip dan hasil ijtihad imam dalam detail
hukum. Jadi, ijtihad ini terbatas hanya pada penerapan
kaidah imam (guru) terhadap kasus–kasus yang belum
diselesaikan oleh imam itu;
d. Tarjih, yaitu suatu tingkatan ijtihad yang berupa aktivitas
menimbang di antara pendapat-pendapat yang sudah ada
untuk mencari yang lebih kuat dan sesuai untuk keadaan
tertentu. Inilah tingkat ijtihad paling rendah, lebih di
bawah tarjih tidak ada lagi ijtihad, melainkan yang ada
hanya ittiba‟, yaitu mengikuti ijtihad orang lain dengan
memahami argumentasinya, dan taqlid, yaitu mengikuti
ijtihad orang lain secara patuh dengan tanpa memahami
argumentasi dan dasarnya.
2. Persyaratan Mujtahid
Seorang yang dikatagorikan sebagai Ulama Mujtahid (
yang mampu berijtihad)dalam Islam, tidak dapat dicapai
dengan mudah oleh setiap ulama, karena tidak semua ulama
memiliki kemampuan yang memenuhi syarat sebagai seorang
mujtahid. Praktek ijtihad tidak dapat dilaksanakan oleh
sembarang orang. Syarat ijtihad menurut Mohammad Iqbal
hampir-hampir tidak bisa terpenuhi terutama untuk ijtihad
mutlak. Klasifikasi dimaksud meliputi:
a. Pengetahuan bahasa Arab sampai pada tingkat ahli;
b. Penguasaan al-Qur‟an dengan berbagai aspeknya seperti
masalah asbabun nuzul, nasikh-mansukh, qiraat-nya, dan
lain-lain;
c. Penguasaan Hadis dengan berbagai aspeknya yang jauh
lebih rumit dari al-Qur‟an;
d. Mengetahui segi-segi ijma‟ dan perbedaan pendapat;
e. Penguasaan terhadap qiyas;
f. Penguasaan tentang tujuan hukum;
g. Memiliki pertimbangan baik dan ketajaman pemahaman;
h. Itikad baik.

48
3. Kedudukan, Fungsi dan Hukum Ijtihad
Ketika Nabi s.a.w. akan mengutus Mu‟adz ibn Jabal ke
Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada
Mu‟adz : “Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan
suatu perkara yang harus diputuskan?” Mu‟adz menjawab :
“Aku akan memutuskannya berdasakan ketentuan yang
termaktub di dalam Kitab Allah (Al-Qur‟an)!” Nabi bertanya
lagi : “Bagaimana jika didalam Kitab Allah tidak terdapat
ketentuan tersebut?” Mu‟adz menjawab : “Dengan berdasarkan
Sunnah Rasulullah s.a.w.” Nabi bertanya lgi : “Bagaimana jika
ketentuan tersebut tidak terdapat pula dalam Sunnah
Rasulullah?” Mu‟adz menjawab : “Aku akan berIjtihad dengan
pikiranku, aku tidak akan membiarkan satu perkarapun tanpa
putusan.” Lalu Rasulullah menepuk dada Mu‟adz seraya
mengatakan : „Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
taufik kepada utusanku untuk hal yang melegakanku‟.
Dari hadis riwayat Mu‟adz di atas diperoleh kesimpulan
bahwa sumber-sumber asli Hukum Islam adalah Al-Qur‟an
dan Sunnah. Jika di dalam Al-Qur‟an atau Sunnah tidak
terdapat ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan
menemukan hukumnya melalui ijtihad.
a. Kedudukan Ijtihad dalam Ajaran Islam
Kedudukan ijtihad dalam Islam amat penting, ijtihad
merupakan sebagai ruh dari dinamika hukum Islam, dengan
kata lain, ijtihad adalah modal penting agar hukum Islam
senantiasa dapat menjawab persoalan kemanusiaan sesuai
dengan perkembangan jaman. Dengan dilatarbelakangi
pemahaman ayat Al Quran pada QS 33:36 maka urusan
manusia dalam menjalani hidupnya itu ada yang sudah
ditentukan dan ada yang belum ditentukan (oleh Allah [Quran]
dan Rasulullah Muhammad [Al Hhadits]). Untuk itu urusan-
urusan yang sudah ada dan jelas ketetapannya dalam Al-Quran
dan Al-Hadits oleh ulama disebut sebagai Asas Syara' atau
Pokok Ajaran Islam. Sedangkan urusan-urusan yang tidak jelas
atau tidak ada ketetapannya dalam Al-Quran dan Al-Hadits
49
disebut sebagai Furu' Syara' atau Cabang Ajaran Islam. Ijtihad
inilah yang tiada lain merupakan Cabang Ajaran Islam itu. Dan
hal-hal yang bersifat ijtihadi ini, dalam Al-Quran apapun
keputusannya sudah dimaafkan oleh Allah.
Sifat ketetapan yang termasuk dalam Asas Syara' ini pada
dasarnya mengikat seluruh umat Islam, kecuali dalam keadaan
darurat. Sedangkan untuk urusan Ijtihadi, pada dasarnya tidak
mengikat seluruh umat Islam (karena pada dasarnya sudah
dimaafkan Allah), kecuali ditetapkan oleh penguasa (ulil amri)
untuk diberlakukan di bawah kekuasaannya. Itulah mengapa
ketetapan ijtihad bisa berbeda dalam karena beda ruang
maupun waktu. Tergantung penguasaan argumentasi masing-
masing. Di sinilah letak dinamika Ajaran Islam dalam
menghadapi tantangan zaman. Hanya saja untuk mengetahui
apakah suatu urusan itu itu sudah ada atau sudah jelas
ketetapannya dalam Al Quran atau AL Hadist tidak bisa
dilakukan oleh sembarangan orang. Tentunya yang
mengetahuinya adalah orang yang paham betul isi Al-Quran
dan Al-Hadits dan orang itu tunduk patuh mentaatinya. Orang
semacam itulah yang dalam Al-Quran disebut sebagai 'Ulama
(QS. 35:28).
Jadi, Ijtihad berdasarkan pelakunya bisa perorangan bisa
bersama-sama. Yang bersama-sama inilah sekarang ini dikenl
sebagai Ijma'.
Lantas, berdasarkan tujuannya ijtihad itu ada yang
dimaksudkan untuk membangun kemashlahatan umat
(selanjutnya dikenal sebagai mashlahatul mursalah) dan ada
yang dimaksudkan untuk mencegah atau menolak kerusakan
(selanjutnya dikenal sebagai saddudz-dzaari'ah).
Adapun Qiyas adalah salah satu metode dalam
memutuskan perkara ijtihad.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran

50
itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun”. [QS 33: 36]
b. Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu ,
yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam A-
lqur‟an dan hadits . Begitu pula dewasa ini, kehidupan dimulai
dari realita. Kita tidak mulai pembaruan dari teks, tidak dari
agama, akidah ataupun dari syari`at. Ini adalah metode Islam
ketika kita mencermati metode asbâb al-nuzûl (konteks sosial
atau sebab-sebab turunnya wahyu), dan nâsikh wa al-mansûkh
(ayat yang menghapus dan ayat yang dihapus). Asbâb al-nuzûl
berarti memperhatikan dan memprioritaskan realita atas teks,
memperhatikan pertanyaan daripada jawaban. Seperti ayat-
ayat wa yas`alûnaka `ani-l khamr (mereka bertanya kepadamu
mengenai khamer/minuman keras), wa yas`alûnaka `ani-l
mahîdl (menstruasi), wa yas`alûnaka `ani-l anfâl.. dst. Saat ini
apa pertanyaaan-pertanyaan yang dihadapai kaum muslimin?
wa yas`alûnaka `ani-l awlamah (globalisasi), wa yas`alûnaka
`an nihâyah at-târîkh (akhir sejarah), wa yas`alûnaka `ani-l
ihtilâl (kolonialisme), wa yas`alûnaka `ani-l faqr (kemiskinan),
wa yas`alûnaka `ani-l bathâlah fi indûnisiâ (pengangguran di
Indonesia), wa yas`alûnaka `ani-l fasâd (kerusakan)...dst.
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah permulaan, dari
permasalahan dan musibah yang menggejala di seluruh
masyarakat muslim. Jadi kita memulai dari realita yang
general. Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwasannya fungsi ijtihad dewasa ini ialah sebagai salah satu
cara untuk menentukan hukum islam yang tidak tercntum
secara jelas dalm Al-Quran dan Al-Hadist.
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan
lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia
diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu
ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan
kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan

51
terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam
melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-
hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di
suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka
persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu
sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus
mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam
Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut
merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah
maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang
berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan
paham Al Quran dan Al Hadist.
Ijtihad telah dipraktekkan sejak jaman Rasul. Rasulullah
memberi pemecahan terhadap berbagai masalah yang dihadapi
komunitas Islam berdasarkan al-Qur‟an. Tetapi, tidak semua
masalah mendapat penegasan eksplisit dari wahyu. Menurut
pendapat mayoritas ulama, Rasul sering berijtihad, yang
pernah sesekali tidak tepat. Nabi segera mendapat teguran dari
wahyu jika terjadi kesalahan dalam berijtihad. Sebagai contoh,
keputusannya mengenai pembebasan dengan tebusan taw
teguran dengan firman Allah; “Tidak patut bagi seorang Nabi
mempunyai tawanan perang sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
dunia sedang Allah menghendaki pahala akhirat.” (Q.S., 8 : 67).
Para sahabat Nabi pun berijtihad di kala beliau masih
hayat. Nabi sendiri memerintahkan Amir Ibn al-Ash untuk
memutuskan suatu perkara. Lalu, ia merasa canggung dan
bertanya kepada Nabi, “Apakah saya pantas berijtihad padahal
Engkau ada?” lalu jawab Nabi, “Ya, jika kamu benar dapat dua
pahala dan jika salah dapat satu pahala”.8 Dalam Hadis
disebutkan bahwa ada dua orang dalam perjalanan, lalu
mereka kehabisan air, sementara mereka harus shalat. Mereka
bertayamum dan shalat. Tak lama kemudian mereka

52
menemukan air, sementara waktu shalat masih ada. Masing–
masing di antara mereka berijtihad. Ijtihad salah satu di antara
mereka berdua adalah mengulangi shalat dan yang lain tidak.
Kasus ini diketahui Rasulullah, dan dia mengakui (kebenaran)
hasil ijtihad kedua sahabat itu.
Pada masa Rasulullah tidak ada problem metodologis
pemahaman al-Qur‟an karena para sahabat berada langsung di
bawah bimbingannya, dan bila perlu mereka dapat bertanya
secara langsung mengenai masalah-masalah yang tidak jelas
bagi mereka karena waktu itu belum muncul kaidah-kaidah
yang pada masa kemudian dibakukan dalam teori
yurisprudensi. Satu–satunya yang ideal bagi mereka adalah
perilaku Nabi. Mereka belajar wudlu, shalat dan haji dengan
cara mengamati langsung tindak mengajukan dan minta
keputusan Nabi.
Tetapi, lain halnya setelah Nabi wafat, wahyu sudah
tidak turun lagi, Rasul tempat bertanya telah tiada, sementara
persoalan–persoalan kemasyarakatan dan agama justru
berkembang sebagai akibat luasnya wilayah yang didiami
umat. Banyak masalah baru timbul dan belum pernah ada
petunjuk pemecahannya baik dalam al-Qur‟an maupun hadis
Nabi. Para sahabat dengan demikian harus berijtihad dengan
menafsirkan ulang dan memperluas pengertian–pengertian
hukum yang telah tersedia dalam al-Qur‟an dan Hadis Nabi
SAW.
Pada periode awal, ra‟yu (pertimbangan pemikiran yang
sehat) banyak digunakan dan merupakan alat ijtihad yang
utama. Istilah ini merupakan istilah generik yang mendahului
pertumbuhan hukum serta prinsip–prinsip qiyas dan istihsan
yang lebih sistematis.
Para sahabat tidak memahami al-Qur‟an dan Sunah Rasul
secara harfiah. Mereka menggali semangat dan prinsip yang
terkandung di dalamnya untuk kemudian diterapkan pada
keadaan konkrit yang mereka hadapi. Sebagai contoh, Umar
ibn Khattab tidak membagi-bagikan tanah- tanah di Irak (yang
53
disebut tanah Sawad) kepada para prajurit yang
menaklukkannya seperti yang berlaku dalam tradisi Rasulullah
dan Abu Bakar. Alasan Umar tidak membagikan tanah tersebut
ditemukan dalam al-Qur‟an (Q.S.,59:6-10) yang pada intinya
melarang penumpukan harta pada orang orang yang telah
kaya. Dari sejarah kita ketahui bahwa tentara pada jaman
Rasulullah dan Abu Bakar tidak digaji karena itu mereka
mendapat bagian dari rampasan perang. Tetapi, pada jaman
Umar diadakan tentara reguler dan diberi tunjangan tetap.
Karena itu, Umar tidak memberi rampasan perang kepada
mereka. Hasil tanah Sawad tersebut digunakan oleh Umar
untuk kepentingan umum seperti tunjangan bagi mereka yang
kurang mampu dan biaya pemeliharaan perbatasan, dan lain-
lain.
Pada masa tabi‟in dan sesudahnya kegiatan ijtihad kian
berkembang berikut dengan berbagai kecenderungan masing-
masing. Perbedaan-perbedaan kian berkembang dan corak
ijtihad sangat dipengaruhi oleh sifat kedaerahan. Orang–orang
Irak dianggap lebih cenderung pada penggunaan rasio,
sementara orang–orang Madinah lebih menyukai tradisi atau
Hadis. Namun, kedua kecenderungan ini tidaklah merupakan
kutub-kutub yang bertentangan satu sama lain secara frontal.
Kecenderungan-kecenderungan itu hanya merupakan
perbedaan porsi saja dalam pemakaian rasio atau Hadis. Pada
dasarnya keduanya sama-sama memakai ra‟yu dan Hadis,
namun orang-orang Madinah lebih banyak menggunakan
referensi Hadis, sedang orang Irak terpaksa berhati-hati
menerima Hadis karena mereka memang agak jauh dari
sumber tradisi Rasulullah di Madinah.
Pada periode imam-imam mujtahidin yang berlangsung
di abad II H sampai pertengahan abad IV H, terjadi
perkembangan ijtihad yang pesat, mazhab–mazhab hukum
mengalami kristalisasi, dan metode-metode pemahaman al-
Qur‟an dan Hadis dibakukan. Peranan yang sangat menonjol
dalam bidang ini dimainkan oleh Asy-Syafi‟i (W. 204 H.) yang

54
menyusun kitab al-Risalah yang menjadi buku pertama dalam
metodologi pemahaman hukum dan dalam metodologi Hadis.
Bahkan, dalam disiplin ilmu-ilmu syari‟ah metodologi beliau
masih tetap relevan dan dipertahankan sampai sekarang.
c. Hukum melaksanakan Ijtihad
Ijtihad di kalangan ulama Islam merupakan salah satu
metode istinbath atau penggalian sumber hukum syara melalui
pengarahan seluruh kemampuan dan kekuatan nalarnya dalam
memahami nash-nash syar‟I atas suatu peritiwa yang dihadapi
dan belum tercantum atau belum ditentukan hukumnya.
Adapun hukum melakukan ijtihad antara lain :
1) Orang tersebut dihukumi pardlu a‟in untuk berijtihad
apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya.
2) juga dihukumi fardlu a‟in jika ditanyakan tentang suatu
permasalahan yang belum ada hukumnya.
3) Dihukumi fardlu kifayah ,jika permasalahan yang
dijukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis
waktunya.
4) Dihukumi Sunnah apabila ber-Ijtihd terhadap
permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.
5) Dihukum haram,apabila ber-Ijtihad terhdap
permasalahan yang sudah ditetapkan secara
qat‟I,sehingga hasil ijtihad itu bertentangan engan dalil
syara.
Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk
menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan
dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan
yang jelas maupun berdasarkan isyarat, di antaranya adalah
Firman Allah SWT yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
55
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat”(QS.Surat An-Nisa,105).
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan
berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu‟mah dan
ia Menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang
Yahudi. Thu‟mah tidak mengakui perbuatannya itu malah
menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal
ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu‟mah kepada Nabi s.a.w.
dan mereka meminta agar Nabi membela Thu‟mah dan
menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu
bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu‟mah, Nabi sendiri
Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu‟mah dan
kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi
Wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatau
masalah baru yang tidak terdapat dalam AL-Qur‟an dan
Sunnah Rasul.

56

Anda mungkin juga menyukai