Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

DIABETES MELITUS TIPE II


DENGAN HIPOGLIKEMIA

Disusun Oleh :
dr. Alfian Santikatmaka

Pembimbing :
dr. Endah
dr. Bima

INTERNSHIP PERIODE 2019-2020


RSUD SUMBERREJO
BOJONEGORO
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronik yang sifatnya bisa dicegah
namun tidak dapat disembuhkan. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat selama
beberapa dekade terakhir. Penyakit ini mengenai hampir 16 juta orang di U.S dan lebih dari 125
juta orang di seluruh dunia. Diabetes Mellitus sendiri memiliki berbagai komplikasi dalam
perjalanan penyakitnya. Menurut klasifikasinya komplikasi yang mungkin terjadi ialah akut dan
kronik, dimana komplikasi akut yang dapat terjadi ialah hiperglikemia dan hipoglikemia.
Komplikasi kronik yang mungkin dapat terjadi ialah terbagi atas mikro dan makroangiopati.1
Hipoglikemia adalah suatu kondisi kadar glukosa darah kurang dari 70 mg/dL. Beragam
klasifikasi telah digunakan untuk menggambarkan derajat keparahan hipoglikemia, namun
klasifikasi menurut International Hypoglycemia Study Group (IHSG) lebih umum digunakan.
IHSG membagi hipoglikemia menjadi ambang batas, signifikan secara klinis, dan berat,
berdasarkan kadar glukosa darah. Nice sugar investigation (2012) mendapatkan pasien
hipoglikemia mortalitas meningkat 40% sedangkan hipoglikemia berat meningkat sampai dengan
80%. 2,3
Data epidemiologi global menunjukkan hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien DM
tipe I dibandingkan pasien DM tipe II. Data terbatas di Indonesia mengungkap bahwa terdapat
kemungkinan kaitan antara pemantauan glukosa yang buruk dengan tingginya insidens
hipoglikemia. Studi lanjut menemukan insidensi hipoglikemi kondisi gawat pada pasien DM
Tipe II dengan terapi insulin sama dengan pada pasien DM Tipe I. Pada pasien DM Tipe II
dengan terapi sulfonilurea, angka kejadian hipoglikemi berat dilaporkan sebanyak 1.5 episode
per 100 pasien. Frekuensi ini meningkat dengan potensi dan durasi sulfonilurea, lebih besar
resikonya terjadi pada sulfonilurea generasi kedua, glimepiride, glyburide, dan glipizide rata-rata
4-6%.1,4
Hipoglikemia sering terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus yang mendapat terapi,
namun dapat juga terjadi pada orang normal pada kondisi tertentu, seperti akibat mengkonsumsi
alkohol atau obat golongan tertentu atau dengan keadaan klinis lain sepert gagal organ, sepsis,
defisiensi endokrinal, insulinoma, dan gangguan metabolik yang diwariskan secara genetik.
Pentingnya pengenalan dan penanganan yang tepat dapat mencegah akibat yang fatal pada
kondisi hipoglikemia. Pengenalan penyebab hipoglikemia pada pasien dan penatalaksanaan yang
tepat dapat menghindarkan pasien hipoglikemia dari dampak yang fatal bahkan dari kematian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl. Hipoglikemia
adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem
otonom, seperti adanya Whipple’s triad yaitu terdapat gejala-gejala hipoglikemia, kadar glukosa
darah yang rendah, dan gejala berkurang dengan pengobatan.5
Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan derajat
keparahannya, yaitu:5
 Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian karbohidrat,
glukagon, atau resusitasi lainnya.
 Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70mg/dL disertai gejala hipoglikemia.
 Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS <70mg/dL tanpa gejala hipoglikemia.
 Hipoglikemia relatif apabila GDS > 70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
 Probable hipoglikemia apabila gejala hipogllikemia tanpa pemeriksaan GDS.

2.2. Etiologi
Hipoglikemia rentan terjadi pada pasien diabetes melitus atau pasien geriatri. Keadaan ini
dapat terjadi akibat tidak adekuatnya asupan makanan, dan diperparah dengan konsumsi obat
diabetes yang menyebabkan tingkat glukosa pasien menjadi sangat rendah. Penyebab lain adalah
adanya kelebihan dosis obat, terutama jika pasien menggunakan obat yang memang rentan
hipoglikemia seperti insulin, atau sulfonilurea.
Pada pasien yang telah lama menderita diabetes juga kemungkinan didapatkan gagal ginjal
kronik, yang dapat menyebabkan insulin tersirkulasi pada darah sehingga terus menerus
menurunkan glukosa darah.6
Hal lain yang juga dapat menyebabkan hipoglikemia adalah aktivitas fisik yang berlebihan.
Kondisi ini perlu dicurigai pada pasien diabetes melitus yang menjalani diet dan olahraga yang
berlebihan.6
2.3 Patofisiologi
Pada diabetes mellitus, hipoglikemi timbul akibat penggunaan kombinasi relatif atau
absolut insulin dan gangguan pertahanan fisiologis dalam mempertahankan penurunan glukosa
plasma. Pengaturan kadar glukosa yang merupakan mekanisme pertahanan yang mencegah atau
menyeimbangkan kejadian hipoglikemia mengalami gangguan pada pasien DM Tipe I dan
pasien DM tipe II tahap lanjut. Dengan demikian, regulasi glukosa tersebut digunakan sebagai
respon terhadap hipoglikemia pada keadaan kekurangan insulin endogen sehingga terwujud
sebagai penurunan tingkat insulin dan meningkatkan kadar glukagon disertai dengan penekanan
peningkatan epinefrin. Gangguan respons autonomik (adrenomedullar dan neuron simpatetik)
dikaitkan dengan presentasi klinis diamati dari ketidaksadaran hipoglikemia. Selanjutnya, hal ini
menyatakan bahwa respon sympatoadrenal berkurang (konsep hipoglikemia-terkait kegagalan
otonom) yang disebabkan oleh hipoglikemia yang terakhir, mengakibatkan gangguan glukosa
kontra-regulasi dan ketidaksadaran akibat hipoglikemia yang muncul sebagai siklus berulang
hipoglikemi.7
Episode terapi hiperinsulinemi, akibat tidak teraturnya distribusi endogen (terapi insulin
secretagogue) atau eksogen (terapi insulin) insulin ke dalam sirkulasi, memulai urutan yang
mungkin, atau tidak mungkin, berujung dalam sebuah episode hipoglikemi. Kelebijhan terapi
insulin absolut menyebabkan episode hipoglikemia terisolasi meskipun pertahanan
counterregulatory glukosa utuh terhadap hipoglikemi (Gambar 2). Tapi, itu merupakan peristiwa
biasa. Hipoglikemia iatrogenik biasanya merupakan hasil dari interaksi ringan-sedang kelebihan
absolut atau relatif (ketersediaan glukosa rendah) terapi insulin dan pertahanan fisiologis dan
perilaku akibat penurunan konsentrasi plasma glukosa pada DMT1 dan T2DM. Dalam T1DM,
dikarenakan kegagalan fugsi β-sel insulin tidak menurun sebagai respon kadar glukosa turun;
pertahanan fisiologis pertama hilang. Selain itu, tingkat glukagon tidak meningkat pada
penurunan kadar glukosa, pertahanan fisiologis kedua hilang. Itu pun masuk akal sebagai
kegagalan β-sel jika terjadi penurunan sekresi β-sel, ditambah dengan konsentrasi α-sel glukosa
yang rendah, yang secara normal memberi sinyal sekresi α-sel. Akhirnya, peningkatan kadar
epinefrin sebagai akibat penurunan kadar glukosa pun ditekan, pertahanan fisiologis ketiga
dikompromikan.7
Meskipun sering disebabkan oleh kejadian hipoglikemia yang baru atau didahului dengan
latihan atau tidur, mekanisme ditekannya respon sympathoadrenal penurunan kadar glukosa
darah tidak diketahui. Meskipun demikian, penekanan respon epinefrin adalah penanda
penurunan respon saraf simpatis dan yang terakhir sebagian besar menghasilkan pengurangan
gejala hipoglikemi menyebabkan ketidaksadaran hipoglikemia (atau gangguan kesadaran
hipoglikemia) dan dengan demikian kehilangan pertahanan perilaku, konsumsi karbohidrat.
Dalam pengaturan terapi hiperinsulinemia, penurunan konsentrasi plasma glukosa, gagalnya
penurunan insulin, dan gagalnya peningkatan glukagon, penekanan peningkatan epinefrin
menyebabkan sindrom klinis cacat glukosa counterregulation glukosa dikaitkan dengan
peningkatan risiko 25 kali lipat atau lebih besar hipoglikemia iatrogenic. Penekanan
sympathoadrenal, khususnya penekanan saraf simaptik, menyebabkan sindrom klinis
ketidaksadaran hipoglikemia yang dikaitkan dengan risiko 6 kali lipat dari hipoglikemia
iatrogenic. Patofisiologi glukosa counterregulation adalah sama di T1DM dan T2DM meskipun
dengan paruh waktu, berbed. β-sel gagal, dan karena itu kehilangan respon insulin dan
konsentrasi glukagon menyebabkan penurunan kadar plasma glukosa, berkembang pada awal
T1DM tetapi lebih secara bertahap di T2DM. Dengan demikian, rusaknya pengaturan glukosa
counterregulation – gagalnya gagalnya peningkatan glukagon - berkembang pada awal T1DM
dan kemudian di T2DM dan itu dan ketidaksadaran hipoglikemia, dan dengan demikian
hipoglikemia iatrogenik, menjadi masalah umum di awal T1DM dan kemudian di T2DM.
Konsep hipoglikemia-terkait kegagalan otonom (HAAF) pada diabetes (Gambar 2) menyebutkan
bahwa hipoglikemia yang baru, begitu juga saat latihan sebelumnya atau tidur, menyebabkan
baik counterregulation glukosa rusak (dengan mengurangi kenaikan di epinefrin dalam
pengaturan kegagalan penurunan di insulin dan kegagalan peningkatan glukagon selama
hipoglikemia berikutnya) dan ketidaksadaran hipoglikemia (dengan mengurangi
sympathoadrenal dan dihasilkan respon gejala hipoglikemia neurogenik selama berikutnya) dan,
karena itu, tercipta lingkaran setan pada hipoglikemia berulang. Mungkin dukungan yang paling
menarik untuk konsep Mekanisme dari penekanan respon sympathoadrenal terhadap penurunan
kadar glukosa darah, fitur kunci dari HAAF, tidak diketahui. Ini harus melibatkan sistem saraf
pusat atau komponen aferen eferen dari sistem sympathoadrenal. Teori meliputi peningkatan
darah-ke-otak pengangkutan bahan bakar metabolisme, efek dari mediator sistemik seperti
kortisol pada otak, mekanisme hipotalamus diubah dan aktivasi dari jaringan otak penghambatan
dimediasi melalui thalamus.8
Gambar 1. Mekanisme Regulasi Glukosa

2.4 Diagnosis
Gejala dan Tanda Klinis hipoglikemia pada pasien Diabetes Melitus dibagi menjadi 4 stadium
yaitu :4
1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun
2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara
3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
4) Stadium gangguan otak berat: tidak sadar (dengan atau tanpa kejang)

Pada pasien diabetes dapat kehilangan kemampuan untuk menunjukkan atau mendeteksi keluhan
dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapat terapi,
hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang, dan berat.
Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut Tabel 1.
Ringan Gejala autonomic (+)
Klinis
Masih bisa menolong diri sendiri
Sedang Gejala autonomik dan neuroglikopenik (+)
Masih bisa menolong diri sendiri
Berat Membutuhkan bantuan orang lain untuk resusitasi
Terjadi Penurunan Kesadaran
GD biasanya < 50 mg/dL
hipoglikemia akut

Anamnesis
Anamnesis pasien diabetes melitus dengan hipoglikemia sebaiknya didapatkan beberapa
informasi berikut :
- Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: perlu ditanyakan dosis terakhir,
waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis
- Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
- Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
- Lama menderita DM, komplikasi DM
- Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
- Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik beta, dll.
Pemeriksaan Fisik
Beberapa hasil pemeriksaan fisik yang mungkin mendukung diagnosis klinis hipoglikemia dan
penting dalam merencanakan tatalaksana di antaranya adalah
1) Pasca pucat diaforesis
2) Kelianan Tekanan darah
3) Frekuensi denyut jantung meningkat
4) Penurunan kesadaran
5) Defisit neurologik fokal transien.
Berdasarkan Eckman & Golden, terdapat trias yang menjadi tanda dan gejala hipoglikemi
yang dikenal sebagai trias Whipple. Trias Whipple. Trias Whipple dapat digunakan pedoman
untuk membantu membedakan pasien hipoglikemia atau penurunan kesadaran akibat etiologi
yang lain. Trias whipple yang positif bisa digunakan sebagai dasar untuk membuktikan adanya
hipoglikemia. Trias Whipphle terdiri dari :
1) Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2) Kadar glukosa plasma rendah
3) Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

Pada pasien dengan usia lajut dan pasien yang mengalami hipoglikemia berulang, respon
sIstem saraf otonom dapat berkurang sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak
menyadari kalau kadar gula darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat
memperberat akibat dari hipoglikemia karena penderita terlambat untuk mengkonsumsi glukosa
untuk meningkatkan kadar gula darahnya. 4

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat diusulkan antara lain:
a) Kadar glukosa darah

b) Tes fungsi ginjal

c) Tes fungsi hati

d) Kadar C-Peptide

2.5 Tatalaksana
Penanganan hipoglikemia tergantung pada derajat keparahan hipoglikemia itu sendiri.
Hipoglikemia ringan hingga sedang lebih mudah ditangani yaitu dengan intake oral karbohidrat
aksi cepat seperti minuman glukosa, tablet, atau makanan ringan. Hipoglikemia derajat berat
memerlukan tindakan segera dan khusus.
Dekstrosa
Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi glukosa oral seperti pada pasien penurunan
kesadaran, kejang, atau perubahan status mental dapat diberikan cairan dekstrosa secara intra
vena baik perifer maupun sentral. Konsentrasi dekstrosa 50% pada air dapat diberikan pada
pasien dewasa, sementara dekstrosa dengan konsentrasi 25% biasa digunakan sebgai terapi pada
pasien anak. Perlu diperhatikan pada cairan dekstrosa 50% dan 25% dapat menyebabkan
nekrosis jaringan jika diberikan pada jalur intra vena yang tidak benar, oleh karena itu, cairan
tersebut harus diberikan pada jalur IV yang paten. 3
Glukagon
Glukagon merupakan lini pertama terapi hipoglikemi pada pasien hipoglikemi dengan terapi
insulin karena glukagon merupakan hormon utama pengatur insulin. Tidak seperti dekstrosa,
glukagon diberikan melalui subkutan atau intra muskular. Hal ini menjadi penting karena
glucagon dapat dijadikan pilihan terapi selagi menunggu paramedik datang untuk memberikan
dekstrosa. 3

Manajemen Hipoglikemia Menurut Perkeni 2016:


1. Hipoglikemia Ringan
a) Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana)
b) Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi
glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.
c) Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan glukosa darah.
d) Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi pilihan
pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar
e) Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15 menit
pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 menit setelah pengobatan
hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali.
f) Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal, pasien diminta
untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.
2. Pengobatan pada hipoglikemia berat:
a) Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa pemberian
dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dextore 40% sebanyak 25 cc),
diikuti dengan infus D5% atau D10%.
b) Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar glukosa darah
belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20%.
c) Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat diulang
d) Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia

Beberapa center menggunakan rumus 321 untuk penatalaksaan kondisi hipoglikemia. Satu
flakon (25 ml) D40% diperhitungkan dapat menaikkan kadar glukosa 25-50 mg/dL dan kadar
glukosa target yang digunakan adalah ≥ 120 mg/dL

Pencegahan hipoglikemia:
 Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemi, penanganan sementara, dan hal
lain harus dilakukan
 Anjurkan melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM), khususnya bagi
pengguna insulin atau obat oral golongan insulin sekretagog.
 Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi, tentang: dosis, waktu
megkonsumsi, efek samping
 Bagi dokter yang menghadapi penyandang DM dengan kejadian hipoglikemi perlu
melalukan:
o Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien
o Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan melalukan program
ulang dengan memperhatikan berbagai aspek seperti: jadwal makan, kegiatan oleh
raga, atau adanya penyakit penyerta yang memerlukan obat lain yang mungkin
berpengaruh terhadap glukosa darah
o Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil kemungkinan menimbulkan
hipoglikemi.

2.6 Komplikasi
Adapun komplikasi dari hipoglikemia yaitu edema otak atau edema serebri yang
dikarenakan kejadian hipoglikemia yang lebih dari 48 jam sehingga menimbulkan squale
yang menetap di otak, kerusakan jaringan otak akibat tidak adanya glukosa yang masuk
ke jaringan (koma hipoglikemia), gangguan sistem saraf pusat karena suplai nutrisi otak
menurun, kematian.
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. K
Umur : 66 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kabunan 10/3 Balen
Suku : Jawa
Tanggal MRS : 7 Maret 2020
Tanggal Pemeriksaan : 7 Maret 2020

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Lemas

Riwayat Penyakit sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Sumberrejo dengan keluhan lemas sejak sore (kurang lebih 3 jam
SMRS), Pasien juga mengeluhkan nggliyer, gemetar, pandangan berkunang-kunang, jantung
terasa berdebar-debar. Keluhan juga disertai dengan keluarnya keringat dingin Keluhan demam
dan batuk pilek disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri dada, sesak, dan riwayat hilang kesadaran
disangkal oleh pasien. Makan minum dalam batas normal. BAB dan BAK dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus. Pasien juga pernah menjalani
rawat inap satu bulan sebelumya di rumah sakit dikarenakan keluhan serupa
Riwayat Pengobatan
Keluarga pasien belum memberikan pengobatan apapun untuk keluhan tersebut. Riwayat
pengobatan sebelumnya di poli penyakit dalam RSUD Sumberrejo mendapat furosemide,
glimepiride, Amlodipin, dan lisinopril.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi, DM, jantung, penyakit ginjal, alergi, asma disangkal oleh keluarga

Riwayat Sosial Lingkungan


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Riwayat minum alkohol dan merokok disangkal oleh
pasien

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum lemah
Kesadaran Compos Mentis (E4V5M6)

Status Present
TD : 220/120 mmHg
N : 80 x/menit. reguler, kuat, isi cukup
RR : 20 x/menit, reguler, kedalaman cukup
S : 36o C
SpO2 : 98% dengan NK 3 lpm
GDS : 50 mg/dL

Status General
Kepala : Normocephali
Mata : anemis +/+ ikterus -/- reflek pupil +/+, 3mm isokor
THT : Telinga : Sekret (-)
Hidung : Sekret (-)
Tenggorok : Tidak diperiksa
Mulut : mencong (-)
Thorax : Simetris (+) saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Cor :
 Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
 Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
 Perkusi : bergeser ke kaudolateral
 Auskultasi : S1 S2 normal regular, murmur (-)
Pulmo :

 Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris statis dan dinamis, retraksi (-)
 Palpasi : Gerakan dinding dada teraba simetris, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Suara sonor +/+
 Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen:
 Inspeksi : Distensi abdomen ( - )
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Perkusi : Timpani (+)
 Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Ektremitas : Hangat +/+, edema -/- CRT < 2 detik,
+/+ +/+
Kulit : Sianosis (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Darah Lengkap
No
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
.

10/05/20 12/05/20

1 WBC 5.06 6.92 x10ˆ3uL 4,00-10,00


2 HGB 7.5 9.7 g/dL 12,00-16,00
3 HCT 22.3 28.8 % 35,00-49,00
4 PLT 199 222 x10ˆ3uL 150,0-500,0
5 RBC 2.71 3.80 x10ˆ6uL 4,1-5,8
6 MCV 82.3 81.0 Fl 82-92
7 MCH 27.7 27.3 Pg 27-31
8 MCHC 33.6 37.7 g/dL 32-36
9 RDW 13,2 13.1 % 14,9-18,7
Kimia Klinik
No Parameter 10/05/20 12/05/20 Satuan Nilai Rujukan
1 GDS 46 mg/dL 70-140
2 Ureum 91 mg/dL 10-45
3 Creatinin 7.56 mg/dL 0.50-1.10
4 SGOT 18 U/L 8-37
5 SGPT 16 U/L 8-40
6 GDP 182 mg/dL
7 G2PP 239 mg/dL
Elektrolit
No Parameter 10/05/20 Satuan Nilai Rujukan
1 Natrium 144.16 mmol/L 135-145
2 Kalium 3.54 mmol/L 3.50-5.50
3 Chlorida 104.85 mmol/L 96-106

GDS Serial

Tanggal Hasil Nilai Rujukan


10/05/20 jam 19.00 50 70-140 mg/Dl
10/05/20 jam 19.00 190 70-140 mg/dL
10/05/20 jam 19.00 191 70-140 mg/dL
11/05/20 jam 15.00 164 70-140 mg/dL
11/05/20 jam 23.00 121 70-140 mg/dL
11/05/20 jam 07.00 107 70-140 mg/dL
12/05/20 jam 15.00 146 70-140 mg/dL
12/05/20 jam 23.00 132 70-140 mg/dL
13/05/20 jam 07.00 150 70-140 mg/dL
13/05/20 jam 15.00 197 70-140 mg/dL
13/05/20 jam 23.00 209 70-140 mg/dL
14/05/20 jam 07.00 191 70-140 mg/dL

2. EKG (10/05/2020)

Interpretasi : Normal sinus Rhytm, 84x/menit, PR interval 0,12s, gel. QRS normal, segmen ST
isoelektrik.

3. Foto Thoraks (10/05/2020)


Interpretasi : Kardiomegali dengan aortosclerosis, Oedem pulmo ringan

4. USG Ginjal (12/05/2020)

Interpretasi : Simple cyst di renal dextra, jumlah multipel

DIAGNOSIS KERJA
DM tipe II dengan Hipoglikemia
Krisis Hipertensi
DKD

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal di IGD
Inj D40% 25 ml 2 flacon
IVFD D10% 20 tpm
O2 3 lpm nasal canule
Inj. Omeprazole 1 vial
Captopril 25 mg sublingual, 2x pemberian
Drip nicardipin mulai 0,5 mcg

Penatalaksanaan di ruangan
IVFD D10% 20 tpm
Inj. Omeprazole 1 vial/24 jam
Aminoral 3x1
OAD stop
Bolus D40% k/p
Amlodipin 1x10 mg (0-0-1)
Lisinopril 1x10 mg (1-0-0)
Tranfusi PRC s/d Hb ≥8
Catatan Perkembangan Pasien
Tanggal Kondisi Klinis Planning
11/05/2020 S: Lemas (+) Terapi dilanjutkan :
O: IVFD D10% 20 tpm
Kes: GCS E4V5M6 R: 20x/menit Inj. Omeprazole 1 vial/24 jam
TD: 170/50mmHg T: 36,2oC Aminoral 3x1
N: 90x/menit, kuat, isi cukup OAD stop
Bolus D40% k/p
A: Amlodipin 1x10 mg
- DM tipe II hipoglikemia Lisinopril 1x10 mg
- DKD
- Hipertensi

12/05/2020 S: lemas (+) Terapi dilanjutkan :


O: IVFD D10% 20 tpm
Kes: GCS E4V5M6 R: 20x/menit Inj. Omeprazole 1 vial/24 jam
TD: 160/90mmHg T: 36oC Aminoral 3x1
N: 88x/menit, kuat, isi cukup
OAD stop
Bolus D40% k/p
A:
-DM tipe II hipoglikemia Amlodipin 1x10 mg
- DKD Lisinopril 1x10 mg
- Hipertensi

13/05/2020 S : lemas (+) berkurang Terapi dilanjutkan :


IVFD D10% 20 tpm
O: Inj. Omeprazole 1 vial/24 jam
Kes: GCS E4V5M6 R: 20x/menit Aminoral 3x1
TD: 190/110mmHg T: 36,3oC OAD stop
N: 89x/menit, kuat, isi cukup
Bolus D40% k/p
Amlodipin 1x10 mg
A: Lisinopril 1x10 mg
- DM tipe II hipoglikemia
- DKD
- Hipertensi

14/05/2020 S : lemas (+) berkurang Terapi dilanjutkan :


IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
O: Inj. Omeprazole 1 vial/24 jam
Kes: GCS E4V5M6 R: 22x/menit Aminoral 3x1
TD: 140/90mmHg T: 35,7C OAD stop
N: 80x/menit, kuat, isi cukup Bolus D40% k/p
Amlodipin 1x10 mg
A: Lisinopril 1x10 mg
- DM tipe II hipoglikemia
- DKD
- Hipertensi

15/05/2020 S : lemes (+) berkurang , makan minum dbn Boleh Pulang


Lisinopril 1x10 mg
O: Amlodipin 1x10 mg
Kes: GCS E4V5M6 R: 22x/menit Aminoral 2x1
TD: 170/100mmHg T: 35,2C
N: 80x/menit, kuat, isi cukup

A:
- DM tipe II hipoglikemia
- DKD
- Hipertensi
DAFTAR PUSTAKA

1. Epidemiology of Hypoglikemia. (2011, May). Diakses Mei 20, 2012, dari Diabates
Treatments: http://diabetesmellitustreatments.com//
2. ADA. Glycemic targets: Standards of medical care in diabetes-2018. Diabetes Care.
2018;41 (Suppl 1):S55–64.
3. Finter S, Liu B, Chittock DR, et all. Hypoglycemia and risk of death in critically ill
patients, the NICESUGAR. N Eng J Med2012;367:1108-18
4. Cryer PE, Axelrod L, Grossman AB, Heller SR, Montori VM, Seaquist ER, et al.
Evaluation and management of adult hypoglycemic disorders: An endocrine society
clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2009;94(3):709–28.
5. PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia,
PERKENI, Jakarta.
6. Martens P, Tits J. Approach to the patient with spontaneous hypoglycemia. Eur J Intern
Med . 2014;25(5):415–21. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ejim.2014.02.011
7. Cryer, P. E. (2011). Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Dipetik Mei 20, 2012,
8. The Endocrine Society. (2009). The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism.
Evaluation and Management of Adult Hypoglycemic Disorders: An Endocrine Society
Clinical Practice Guideline , 18.

Anda mungkin juga menyukai