Dengan Federal Reserve AS akan mengurangi aktivitas pembelian obligasinya kira-kira
pada kuartal ketiga 2022, ada spekulasi yang berkembang tentang seberapa besar dampak pengurangan tersebut di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Bank Indonesia sudah melakukan stress test untuk mengukur dampak dari tapering off tersebut. Sementara beberapa ekonomi bergantung pada arus masuk modal jangka pendek, seperti Turki atau Brasil, dan untuk beberapa hal Indonesia kemungkinan akan menghadapi tantangan, Indonesia semakin terlihat lebih mampu mengatasi pembalikan kebijakan obligasi AS. Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan bahwa bank sentral berada pada posisi yang baik untuk mengelola dan menengahi setiap volatilitas akibat dari tapering pelonggaran kuantitatif yang akan datang karena hasil stress test menunjukkan bahwa dampak dari tapering off lebih ringan daripada taper trantrum sebelumnya di tahun 2013. Meskipun kemungkinan akan ada beberapa efek ekonomi negatif, ada juga potensi keuntungan yang bisa didapat dari berakhirnya pelonggaran kuantitatif AS. Penurunan pembelian obligasi oleh AS merupakan tanda bahwa ekonomi AS telah membaik dan ini akan menjadi positif bagi seluruh dunia. Namun, sebagai penerima dana, Indonesia akan melihat lebih banyak volatilitas di pasar keuangan. Disarankan bahwa investor institusi lokal seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi untuk meningkatkan dan memainkan peran yang meningkat di pasar karena dana luar negeri ditarik. Pertumbuhan diatur untuk melebihi penurunan yang meruncing Bahkan dengan penurunan Federal Reserve sebagai awan di cakrawala, ekonomi diperkirakan akan mempertahankan momentum pada tahun 2022, dengan analis memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% hingga 5,5%. Indikasi bahwa Indonesia kemungkinan akan mengalami soft landing ketika The Fed melonggarkan program stimulusnya datang pada kuartal ketiga 2022 dibuktikan dengan membaiknya perdagangan luar negeri, cadangan yang cukup, Current Account Deficit (CAD ) yang rendah, perbaikan harga komoditi tambang dan minyak bumi global dan berlanjutnya permintaan domestik yang kuat. Fakta-fakta ini akan mendukung pertumbuhan, menunjukkan ekonomi akan mampu mengatasi dampak dari pengurangan Fed. Beberapa dampak tak terelakkan Meskipun Perry yakin bahwa ekonomi Indonesia dapat berhasil melewati akhir dari pelonggaran kuantitatif, proses tapering kemungkinan akan menyebabkan riak, seperti yang telah terlihat pada pertengahan 2013, ketika spekulasi pertama kali dimulai mengenai rencana Fed untuk memotong program stimulusnya. Selama tahun 2013, nilai Rupiah Indonesia, misalnya, turun sekitar 20% pada tahun 2013. Depresiasi Rupiah yang signifikan ini dapat terjadi secara tiba-tiba sehingga BI perlu mengantisipasi kejadian tersebut dan menyiapkan penanggulangannya mulai hari ini. Besarnya depresiasi ini tidak bisa secara akurat diperkirakan walaupun dengan menggunakan stress test sekalipun karena banyaknya variabel ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhinya. Disatu sisi penguatan ekonomi AS dapat mendorong permintaan ekspor Indonesia. Oleh karena itu, koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang lebih fleksibel harus diarahkan untuk mendorong ekspor serta investasi sektor riil. Dengan ekonominya sendiri yang akan berkembang dengan kuat, dan beberapa mitra dagang eksternal utamanya sedang menuju pemulihan, Indonesia kemungkinan akan mengalami riak, bukan gelombang, karena Federal Reserve menurunkan program pembelian obligasi pada tahun 2022.