Anda di halaman 1dari 9

TUGAS RESUME

DISSEMINATED INTRAVASKULAR COAGULATION

( KOAGULASI INTRAVASKULAS DISEMINATA )

ANDI RIANI SAPITRI


G1B118035

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN 2021/2022
Koagulasi intravascular diseminata (KID) merupakan salah satu kedaruratan medis,karena
mengancam nyawa dan memerlukan penanganan segera. Tetapi tidak semua KID
digolongkan dalam darurat medis,hanya KID fulminan atau akut sedang KID kronik dengan
derajat rendah atau terkompensasi bukan suatu keadaan darurat. Namun perlu di waspadai
bahwa KID derajat rendah dapat berubah menjadi KID fulminant sehingga memerlukan
pengobatan segera.

A. DEFINISI
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan suatu sindrom
patologiklinis yang menyebabkan berbagai komplikasi. Hal ini ditandai dengan aktivasi
sistemik jalur menuju dan mengatur koagulasi, yang dapat mengakibatkan generasi
bekuan fibrin yang dapat menyebabkan kegagalan organ bersamaan dengan konsumsi
trombosit dan faktor koagulasi yang dapat mengakibatkan klinis perdarahan.

B. ETIOLOGI
Penyebab DIC dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan akut atau kronis. DIC pun
dapat merupakan akibat dari kelainan tunggal atau multipel.
DIC akut:
 Infeksi : Bakteri (gram negatif, gram positif, ricketsia), virus (HIV, varicella, CMV,
hepatitis, virus dengue), fungal (histoplasma), parasit (malaria)
 Keganasan : Hematologi (AML), Metastase (mucin secreting adenocarcinoma)
 Trauma berat : aktivasi tromboplastin jaringan.
 Reaksi Hemolitik, Reaksi transfuse, Gigitan ular, Penyakit hati, Acute hepatic
failure, luka bakar.

DIC kronik:

 Keganasan : rumor solid, lekemi,


 Obstetri : intrauterin fetal death, abrasio plasenta
 Hematologi : sindrom mieloproliferatif
 Vaskular : rematoid artritis, penyakit Raynaud
 Cardiovascular - infark miokard
 Inflamasi; ulcerative colitis, penyakit crohn, sarcoidosis
Pada kasus infeksi, sepsis, endotoksin mengaktivasi system koagulasi merangsang
pelepasan sitokin tumor necrosis alpha (TNF -α), interleukin (IL-1) dan komplemen
yang menyebabkan gangguan/ kerusakan endotel. Pada viremia, mekanisme yang
berkaitan dengan DIC adalah reaksi antigen-antibodi yang mengaktivasi faktor XII,
reaksi pelepasan trombosit atau pengelupasan endotel dengan melibatkan kolagen
sub endotel dan membrana basalis .

C. TIPE-TIPE DIC
Terdapat 2 tipe klinis DIC yaitu akut dan kronik. Keduanya memiliki etiologi dan
manifestasi klinis yang berbeda.

1. DIC akut
DIC akut berkembang ketika sejumlah besar prokoagulan (faktor jaringan)
memasuki sirkulasi pada jangka waktu yang singkat (beberapa jam hingga beberapa
hari), sangat besar kemampuan tubuh untuk mengisi faktor koagulasi dan
predisposisi pasien terhadap perdarahan. DIC akut terjadi pada endotoksemia,
trauma jaringan luas, wanita hamil dengan komplikasi pre-eklampsi, atau
terlepasnya jaringan plasenta. DIC akut juga terjadi pada penderita dengan hipotensi
atau syok oleh berbagai sebab (misalnya pada tindakan operasi, stroke luas, atau
serangan jantung.
2. DIC Kronik
Pada DIC kronik, jumlah dari faktor jaringan yang terlibat lebih kecil, sehingga
stimulasi lebih kurang kuat dari sistem koagulasi dan memungkinkan tubuh untuk
mengkompensasi penggunaan protein koagulasi dan trombosit. DIC kronik biasanya
berkembang secara perlahan dalam waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan
dengan manifestasi klinik lebih bersifat trombotik.
DIC kronik sring terjadi pada penyakit kanker (sindroma trousseau), aneurisme
aorta, dan penyakit inflamasi kronis. Pada penderita dengan penyakit kanker, faktor
resiko yang penting adalah usia lanjut, laki-laki, kanker lanjut dan nekrosis pada
tumor. Kebanyakan DIC kronik terjadi pada penederita kanker jenis adenokarsinoma
paru, payudara, prostat atau kolorektal.

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dasar DIC adalah terjadinya :
1. Aktivasi system koagulasi (consumptive coagulopathy)
2. Depresi prokoagulan
3. Defek Fibrinolisis

Pembentukan fibrin secara sistemik terjadi akibat peningkatan pembentukan


trombin, bersamaan dengan mekanisme supresi antikoagulan fisiologis dan destruksi
fibrin yang terlambat, pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan fibrinolisis.

Hampir semua respon inflamasi sistemik , gangguan koagulasi dan fibrinol isis
pada DIC dimediasi oleh beberapa sitokin proinflamasi. Mediator yang terlibat dalam
aktivasi koagulasi terutama interleukin 6 (IL-6). Tumor necrosis factor (TNF) secara
tidak langsung mempengaruhi pengaktifan koagulasi karena efeknya pada IL-6 dan
merupakan mediator yang penting dalam disregulasi jalur antikoagulan fisiologis dan
defek fibrinolisis.

Ada 3 proses yang terlibat dalam terjadinya DIC, yaitu sebagai berikut :

1. Pembentukan Trombin
Pembentukan trombin sistemik pada binatang percobaan dengan DIC menunjukkan
bahwa secara eksklusif, proses ini diperantarai oleh jalur ekstrinsik yang melibatkan
faktor jaringan (TF) dan faktor VIIa. Trombin di dalam sirkulasi memecah
fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga merangsang agregasi trombosit,
mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas aktivator plasminogen yang
membentuk plasmin. Plasmin memecah fibrin membentuk produk degradasi fibrin
dan selanjutnya menginaktivasi faktor V dan VIII. Aktivitas trombin yang
berlebihan mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor
koagulasi, dan fibrinolisis, yang mengakibatkan perdarahan difus .
2. Defek pada Inhibitor Koagulan
Antikoagulan fisiologis terdiri atas antithombin III, protein C, dan tissue factor–
pathway inhibitor (TFPI). Kadar antitrombin III dalam plasma menurun akibat
koagulasi berkelanjutan, degradasi oleh elastase yang dilepaskan dari neutrofil yang
teraktivasi, dan gangguan sintesis antitrombin III. Gangguan pada sistem protein C
dapat mengganggu regulasi aktivitas koagulasi. Penurunan aktivitas protein C
disebabkan oleh gabungan gangguan sintesis protein, penurunan aktivitas
trombomodulin endotel yang diperantarai sitokin, dan kurangnya kadar fraksi bebas
protein S (kofaktor penting protein C). Protein C diubah menjadi protease aktif oleh
trombin setelah terikat pada trombomodulin. Tissue factor yang merupakan pencetus
DIC dihambat oleh tissue factor-pathway inhibitor (TFPI).
3. Defek Fibrinolitik
Penelitian pada binatang percobaan dengan DIC mengindikasikan bahwa system
fibrinolitik sebagian besar tertekan pada saat aktivasi koagulasi maksimal. Inhibisi
ini disebabkan oleh peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-
1) yang menetap. Penelitian klinis menunjukkan bahwa supresi fibrinolisis
diperantarai oleh PAI-1 dan walaupun ada beberapa aktivitas fibrinolitik dalam
respon terhadap pembentukan fibrin, tingkat aktivitas ini terlalu rendah untuk
mengimbangi deposisi fibrin sistemik.

E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis DIC bervariasi. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait
dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis,
emboli, disfungsi organ, dan perdarahan Kebanyakan pasien mengalami perdarahan yang
luas pada kulit dan membran mukosa. Manifestasi perdarahan yang tejadi dapat berupa
peteki, purpura, ekimosis, atau hematoma. Perdarahan yang terjadi akibat bekas suntikan
atau tempat infusa tau pada mukosa sering ditemukan pada DIC akut. Perdarahan ini juga
bisa masif dan membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan
saraf pusat atau mata.
Sedangkan pasien dengan DIC kronik umumnya hanya disertai sedikit perdarahan
pada kulit dan mukosa. Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia,
proteinuria dapat menyertai.
Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada
kulit dapat berupa bulla hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena dan
arteri besar dapat terjadi, tetapi relatif jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis
yang luas ini dapat berupa akrosianosis perifer, pregangren sampai gangren pada jari-
jari, genitalia dan hidung, iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan
acute respiratory distress síndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran.

Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain:

 Sirkulasi : Dapat terjadi syok hemoragik


 Susunan saraf pusat : Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma,
Perdarahan Intrakranial
 Sistem Kardiovaskular : Hipotensi, Takikardi, Kolapsnya pembuluh darah perifer
 Sistem Respirasi : Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas
yang dapat menyebabkan kematian.
 Sistem Gastrointestinal : Hematemesis, Hematochezia
 Sistem Genitourinaria : Hematuria, Oliguria, Metrorrhagia, Perdarahan uterus

F. DIAGNOSA
Untuk membuat diagnosis DIC dari berbagai tingkat dapat dikemukakan proses
terjadinya gangguan koagulasi. Ada juga sistem scoring untuk DIC ysng dikemukakan
pada pertemuan Scientific and Standarization committee International Society on
Thrombosis and Homeostasis yang paling banyak dianut . Langkah-langkah
mendiagnosis DIC sebagai berikut:
 Penentuan risiko : apakah terdapat kelainan dasar atau etiologi yang mencetuskan
DIC? Jika tidak, Penilaian tidak dianjurkan
 Uji koagulasi (Jumlah Trombosit, PT, Fibrinogen, FDP/D-Dimer)
 SKOR : Liat gambar 3

G. TERAPI
Pengelolaan DIC bergantung pada penyakit yang mencetuskan terjadinya DIC dan
juga derajat dari DIC. Maka pengobatan kasus demi kasus berbeda satu dengan lainnya.
Kadang pemberian heparin pada kasus yang satu sangat diperlukan, sebaliknya pada
kasus yang lain sama sekali tidak. Jadi setiap individu harus dilihat keuntungan dan
kerugian dari pengobatan. Meskipun pengelolaan DIC berbeda tiap kasusnya, fokus
utama dari pengobatan ialah untuk menterapi penyebab utama terjadinya koagulasi yang
berlebihan. Pada beberapa kasus, penyebab DIC tidak dapat ditangani secara langsung
(contoh: kasus malignasi).
Oleh karenanya diperlukan penanganann khusus untuk mencegah terjadinya
trombosis dan juga perdarahan. Terapi DIC dibagi menjadi terapi substitusi,
antikoagulasi, pemulihan anticoagulation pathway, dan pemberian agen lainnya (dapat
dilihat padatabel).
1. Tranfusi komponen darah
Pemberian komponen darah perlu dilakukan pada pasien yang kekurangan
komponen darah akibat konsumsi yang berkelanjutan. Secara khusus, terapi
penggantian hanya digunakan pada pasien yang memiliki gejala klinis perdarahan
dan tidak digunakan untuk mengobati pasien dengan kelainan laboratorium tanpa
adanya klinis perdarahan.
2. Terapi Substitusi
Terapi substitusi komponen darah direkomendasikan pada pasien DIC akut maupun
kronis dengan perdarahan aktif. Pasien tanpa adanya perdarahan tidak anjurkan
untuk dilakukan substitusi.
3. Antikoagulasi
Terapi antikoagulan telah direkomendasikan sebagai untuk mengatasi koagulasi
yang berlebihan pada DIC. Tapi dalam prakteknya manfaat ini jarang terlihat. Untuk
pasien yang secara aktif perdarahan, heparin akan memperburuk pendarahan
sebelum manfaat potensial. Dalam sebagian besar situasi khas DIC akut (yang
mencakup 95% atau lebih pasien) terapi heparin belum terbukti berguna dan
mungkin berbahaya. Heparin telah terbukti memiliki efek yang menguntungkan
dalam kecil, studi terkontrol pasien dengan koagulasi intravaskular diseminata,
tetapi tidak dalam uji klinis terkontrol. Meskipun kontroversi, heparin dapat
digunakan dalam kasus DIC kronis, di mana trombosis mendominasi (contoh:
purpura fulminans, tumor padat, hemangioma, sindrom janin mati). Heparin
biasanya diberikan pada dosis yang relatif rendah (510 unit / kg berat badan / jam)
dengan infus intravena kontinu atau injeksi subkutan untuk terapi rawat jalan jangka
panjang. Dosis rendah heparin subkutan tampaknya seefektif atau mungkin lebih
efektif daripada dosis yang lebih besar dari heparin intravena di DIC. Namun
demikian, harus dilakukan dengan sangat hati-hati bila menggunakan heparin, dan
itu harus dihentikan pada sedikit sedikit memburuk pendarahan. Sebuah penelitian
kecil menunjukkan bahwa low molecular weight heparin (LMWH) pada dosis 1
mg/kg/12 jam lebih unggul dari unfractionated heparin (UFH) dalam mengobati
DIC, menunjukkan bahwa penggunaan LMWH lebih disukai dibandingkan UFH
pada DIC.
4. Antifibrinolotik
Penggunaan obat antifibrinolisis seperti asam traneksamat dapat mencegah degradasi
fibrin oleh plasmin sehingga dapat mengurangi pendarahan pada pasien DIC dan
yang mengalami hiperfibrinolisis (gambar 4). Akan tetapi, obat ini dapat
meningkatkan risiko terjadinya trombosis sehingga penggunaan heparin
diindikasikan. Terapi ini sangat berguna pada beberapa pasien DIC akut dimana
resiko perdarahan lebih besar dibandingkan terjadinya tombosis.
5. Antitrombin (AT)
Antithrombin adalah inhibitor utama trombin, penggunaannya dalam DIC tentu
sangat rasional. Antitrombin juga memiliki sifat anti-inflamasi (mengurangi protein
C-reaktif dan IL-6) yang sangat bermanfaat pada DIC. Beberapa uji klinis kecil pada
manusia telah menunjukkan efek menguntungkan dari segi peningkatan parameter
koagulasi dan fungsi organ. Dosis yang digunakan biasanya antara 1500-3000
unit/hari . Pada pasien DIC biasanya terjadi defisiensi protein C. Pemberian
konsentrat activated protein C (APC) dari 12μg / Kg / jam sampai 30 ug / Kg / jam
pada pasien dengan sepsis berat yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup
pasien. Pemulihan jalur antikoagulasi sangat direkomendasikan pada DIC kronik
dimana biasanya terjadi kegagalan fungsi organ akibat thrombosis yang berlebihan.
Sedangkan pada DIC akut biasanya tidak memiliki manfaat yang terlihat.
6. Agen anti-Xa
Agen anti-Xa seperti Fondaparinux® dan Danaparoid sodium® masih tergolong
baru. Agen anti-Xa mengaktifkan AT khusus untuk menghambat Xa (gambar 5).
Pengobatan dengan Fondaparinux® dianjurkan untuk profilaksis DVT setelah
operasi; Namun, ada sedikit bukti untuk mendukung penggunaannya pada pasien
DIC. Ada sedikit bukti yang menunjukkan manfaat penggunaan agen ini pada pasien
dengan DIC, dan tidak dianjurkan pada kondisi akut dengan perdarahan. Obat ini
juga tidak dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal.

H. Nursing care
Although DIC is a medical problem, and treatments will be medically prescribed, quality
nursing care can significantly reduce complications from trauma, sepsis and bleeding.
Many nursing interventions may provoke haemorrhage:
 Endotracheal suction
 Turning
 Cuff blood pressure measurement
 Rectal temperature
 Enemas
 Rectal examinations
 Plasters and tape
 Shaving
 Mouthcare

Anda mungkin juga menyukai