Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN


KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI
WILAYAH KERJA POSKESDES DESA
GEMALASARI KABUPATEN KEPULAUAN
MERANTI
TAHUN 2021

Oleh :

DEWITAWARNI PURBA
NIM P032115301009

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI RIAU


JURUSAN KEBIDANAN
PRODI D IV KEBIDANAN
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUA
N
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada
empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi,
penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular
dan pengendalian penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi
masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu
prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok
Rencana Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015 – 2 019 (Kemenkes,
2016).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, stunting adalah balita
dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut
umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (World Health
Organization) (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2006, nilai z scorenya
kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang
dari -3SD (Kemenkes, 2016).
Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan
masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Karenanya persentasi balita
pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus
di tanggulangi. Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukkan Indonesia
termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah
gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita (PSG, 2015).
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode
tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,
kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam
tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan
adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya
kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya
penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker,
stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif
yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kemenkes, 2016).
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada
kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui,
dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif
dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama
kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan
secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh
karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode
kritis" (Kemenkes, 2016).
Intervensi anak kerdil (Stunting) memerlukan konvergensi
program/intervensi dan upaya sinergis dari kementerian/lembaga, pemerintah
daerah serta dunia usaha/masyarakat. Untuk memastikan konvergensi
program/intervensi dan sinergitas upaya intervensi stunting. Pada rapat terbatas
tentang Intervensi Stunting yang dipimpin oleh Wakil Presiden Republik
Indonesia, Jusuf Kalla, selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) Rabu, 12 Juli 2017. Rapat yang dilakukan tersebut
bertujuan untuk memetakan masalah stunting serta merumuskan dan
mempertajam langkah-langkah penanganannya untuk kemudian akan dilaporkan
kepada Presiden Republik Indonesia (RI) (TNP2K, 2017

Presiden RI menaruh perhatian yang cukup besar terkait isu stunting


terutama untuk mencari langkah terobosan dalam menangani dan mengurangi
stunting. Rekomendasi rencana aksi Intervensi Stunting diusulkan menjadi 5 pilar
utama yaitu, Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara. Kampanye Nasional
berfokus pada Peningkatan Pemahaman, Perubahan Perilaku, Komitmen Politik
dan Akuntabilitas. konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program nasional
daerah dan masyarakat, Mendorong Kebijakan “Food Nutritional Security,
pemantauan dan evaluasi (TNP2K, 2017).
Dalam strategi integrasi penurunan stunting hal-hal yang perlu dilakukan
provinsi adalah mengambil inisiatif untuk proaktif dalam mencermati data hasil
pelaksanaan kunjungan keluarga khususnya: keluarga mengikuti KB, ibu bersalin
di faskes, bayi diberi ASI Eksklusif, keluarga mempunyai air bersih dan
mempunyai akses/menggunakan jamban sehat dan JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional). Memperluas cakupan kunjungan rumah dengan strategi khusus. Dan
melakukan identifikasi permasalahan kesehatan berdasarkan data kunjungan
keluarga sehingga muncul prioritas permasalahan yang perlu ditindaklanjutin
(Kemenkes, 2017)
Pola asuh orang tua adalah perilaku orang tua dalam mengasuh balita.
Pola asuh orang tua merupakan salah satu masalah yang dapat mempengaruhi
terjadinya stunting pada balita. Pola asuh orang tua yang kurang atau rendah
memiliki peluang lebih besar anak terkena stunting dibandingkan orang tua
dengan pola asuh baik (Aramico, dkk, 2013).
Menurut hasil penelitian Aramico, Basri, dkk., 2013, terdapat hubungan
bahwa kategori pola asuh kurang baik berisiko 8,07 kali lebih besar dibandingkan
dengan pola asuh baik, masingmasing dengan persentase status gizi stunting
53% dan 12,3%. Hasil uji statistik chi-square menunjukkan ada hubungan yang
signifi kan antara pola asuh dengan status gizi (p<0,001).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Renyoet, Brigitte Sarah,
dkk., 2013, menunjukan adanya hubungan yang signifikan pola asuh dengan
kejadian stunting pada anak ( p=0.000). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Rahmayana, dkk., 2014, pola asuh menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting (p=0.000).

Berdasarkan survey awal yang di lakukan peneliti di Poskesdes desa


Gemalasari kec. Rangsang kab. Kepulauan Meranti Bedagai dari 127 balita
terdapat 34 balita yang terkena stunting. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh pola asuh orang tua terhadap kejadian
stunting pada balita di Poskesdes Desa Gemalasari Kec. Rangsang, Kab.
Kepulauan Meranti.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah apakah ada Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan
Kejadian Stunting pada Balita di Poskesdes Desa Gemalasari Kec. Rangsang,
Kab. Kepulauan Meranti Tahun 2021.

C. Tujuan Penelitian
1.1 Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian stunting
pada balita di Poskedes desa Gemalasari Kec. Rangsang

1.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui bagaimana pola asuh yang diberikan orang tua kepada
Balita di Poskesdes desa Gemalasari Kec, Rangsang , kab. Kepulauan
Meranti.

2. Untuk mengetahui kejadian stunting pada balita di Poskesdes desa


Gemalasari Kec, Rangsang , kab. Kepulauan Meranti.

3. Untuk menganalisa adakah hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian
stunting pada Balita di Poskesdes desa Gemalasari Kec, Rangsang , kab.
Kepulauan Meranti.
2 Manfaat Penelitian
2.1 Bagi Penulis
Untuk menambah wawasan dan pengalaman penulis dalam proses belajar
mengajar khususnya dalam bidang metodologi penelitian
2.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dokumentasi di
perpustakaan dan referensi bagi mahasiswa kebidanan tentang pengaruh pola
asuh orang tua terhadap kejadian stunting pada Balita.

2.3 Bagi Tempat Penelitian


Sebagai bahan masukan dan evaluasi terhadap pelayanan Kesehatan
terhadap pasien, khususnya petugas kesehatan yang bertugas di kecamatan
Rangsang.

2.4 Bagi Orang Tua


Sebagai masukan kepada orang tua untuk memperhatikan pola asuh yang
diberikan kepada Balita sehingga Balita tidak terkena penyakit.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Stunting
A.1 Pengertian Stunting
Stunting atau disebut dengan “pendek” merupakan kondisi gagal tumbuh
pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari
pertama kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya (Persagi, 2018).
Stunting adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau
tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO-
MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2006, nilai z scorenya
kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang
dari -3SD (TNP2K, 2017).
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan
gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi (MCA, 2017).

A.2 Klasifikasi Stunting


Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan cara
penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energy (Kemenkes, 2017).
Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score)
(Kemenkes, 2017)
Untuk mengetahui balita stunting atau tidak indeks yang digunakan adalah
indeks panjang badan/tinggi badan menurut umur. Tinggi badan merupakan
parameter antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan tulang.
Tinggi badan menurut umur adalah ukuran dari pertumbuhan linear yang dicapai,
dapat digunakan sebagai indeks status gizi atau kesehatan masa lampau
(Kemenkes, 2011).
Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan
per umur (TB/U) (Kemenkes, 2017).
I. Sangat pendek : Zscore < -3,0 SD
II. Pendek : Zscore -3,0 SD s/d < -2,0 SD
III. Normal : Zscore ≥ -2,0 SD

A.3 Penyebab Stunting


Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya
disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak
balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi
stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi
penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut (TNP2K, 2017) :
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik
Termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi
sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa
fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan
tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-
24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI
diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita
berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru
pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak
lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap
makanan maupun minuman.

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal


Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post
Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas.
Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia
menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari
79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang
memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2
dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta
masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1
dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak
Usia Dini).

3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi.


Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong
mahal. Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS),
komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi,
India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura.
Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah
berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.

4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.


Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah
tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3
rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih

A.4 Dampak Stunting


Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah stunting tersebut,
dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah
menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan
tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit
diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan
disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat
pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kemenkes, 2016).

A.5 Upaya Pencegahan Stunting


Rekomendasi rencana aksi Intervensi Stunting diusulkan menjadi 5 pilar
utama dengan penjelasan sebagai berikut (TNP2K, 2017) :
1. Pilar 1: Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara.
Pada pilar ini, dibutuhkan Komitmen dari Presiden/Wakil Presiden untuk
mengarahkan K/L terkait Intervensi Stunting baik di pusat maupun
daerah. Selain itu, diperlukan juga adanya penetapan strategi dan kebijakan,
serta target nasional maupun daerah (baik provinsi maupun kab/kota) dan
memanfaatkan Sekretariat Sustainable Development Goals/SDGs dan
Sekretariat TNP2K sebagai lembaga koordinasi dan pengendalian program
program terkait Intervensi Stunting.
2. Pilar 2: Kampanye Nasional berfokus pada Peningkatan Pemahaman,
Perubahan Perilaku, Komitmen Politik dan Akuntabilitas.
Berdasarkan pengalaman dan bukti internasional terkait program program
yang dapat secara efektif mengurangi pervalensi stunting, salah satu strategi
utama yang perlu segera dilaksanakan adalah melalui kampanye secara nasional
baik melalui media masa, maupun melalui komunikasi kepada keluarga serta
advokasi secara berkelanjutan.
3. Pilar 3: Konvergensi, Koordinasi, dan Konsolidasi Program Nasional,
Daerah, dan Masyarakat.
Pilar ini bertujuan untuk memperkuat konvergensi, koordinasi, dan
konsolidasi, serta memperluas cakupan program yang dilakukan oleh
Kementerian/Lembaga (K/L) terkait. Di samping itu, dibutuhkan perbaikan
kualitas dari layanan program yang ada (Puskesmas, Posyandu, PAUD,
BPSPAM, PKH dll) terutama dalam memberikan dukungan kepada ibu hamil, ibu
menyusui dan balita pada 1.000 HPK serta pemberian insentif dari kinerja
program Intervensi Stunting di wilayah sasaran yang berhasil menurunkan angka
stunting di wilayahnya. Terakhir, pilar ini juga dapat
dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK)
dan Dana Desa untuk mengarahkan pengeluaran tingkat daerah ke intervensi
prioritas Intervensi Stunting.
4. Pilar 4: Mendorong Kebijakan “Food Nutritional
Security”. Pilar ini berfokus untuk :
a) mendorong kebijakan yang memastikan akses pangan bergizi, khususnya
di daerah dengan kasus stunting tinggi,
b) Melaksanakan rencana fortifikasi bio-energi, makanan dan pupuk yang
komprehensif,
c) Pengurangan kontaminasi pangan,
d) Melaksanakan program pemberian makanan tambahan,
e) Mengupayakan investasi melalui Kemitraan dengan dunia usaha, Dana
Desa, dan lain-lain dalam infrastruktur pasar pangan baik ditingkat urban
maupun rural.
5. Pilar 5: Pemantauan dan Evaluasi.
Pilar yang terakhir ini mencakup pemantauan exposure terhadap kampanye
nasional, pemahaman serta perubahan perilaku sebagai hasil kampanye
nasional stunting, pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memastikan
pemberian dan kualitas dari layanan program Intervensi Stunting, pengukuran
dan publikasi secara berkala hasil Intervensi Stunting dan perkembangan anak
setiap tahun untuk akuntabilitas, Result-based planning and budgeting
(penganggaran dan perencanaan berbasis hasil) program pusat dan daerah, dan
pengendalian program-program Intervensi Stunting.

B. Pola Asuh
B.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Secara etiologi, pola asuh berarti bentuk, tata cara. Sedangkan asuh berarti
merawat, menjaga, mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk atau sistem
dalam merawat, menjaga dan mendidik. Pola asuh orang tua adalah interaksi
orang tua terhadap anaknya dalam hal mendidik dan memberikan contoh yang
baik agar anak dapat kemampuan sesuai dengan tahap perkembangannya.
(Handayani, dkk, 2017).
Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang
terjadi antara orang tua dan anak yang dapat memberi pengaruh terhadap
perkembangan kepribadian anak. Interaksi orang tua dala m suatu pembelajaran
menentukan karakter anak nantinya (Rakhmawati, 2015).

B.2 Tipe Pola Asuh Orang Tua


Gaya pengasuhan Baumrind menurut Diana Baumrind (1971) dalam buku
(Sanrtrock, 2011) bersikukuh bahwa orang tua tidak boleh menghukum atau
menjauhi anak secara fisik, sebaliknya mereka harus mengembangkan aturan-
aturan untuk anak-anak mereka dan penuh kasih terhadap mereka. Ia
menggambarkan empat jenis gaya pengasuhan.
1. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) adalah gaya membatasi dan
menghukum ketika orang tua memaksa anak-anak untuk mengikuti arahan
mereka dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka. Orang tua otoriter
menempatkan batasan-batasan dan control yang tegas pada anak dan
memungkinkan sedikit pertukaran verbal. Anak-anak dari orang tua yang otoriter
sering tidak bahagia, takut, dan ingin membandingkan dirinya dengan orang lain,
gagal untuk aktivitas dan memiliki kemampuan komunikasih yang lemah
(menurut hart, dkk, 2003 dalam Santrock,2011).
Dampak terburuk dari sikap otoriter orang tua bagi anak menurut subini
(2011). adalah :
a) Dapat menimbulkan depresi pada anak.
b) Hubungan anak dan orang tua tidak akrab.
c) Anak cenderung menurut dan takut.
d) Anak menjadi terkekang.
e) Kemungkinan berontak di luar rumah sangat tinggi.
f) Dapat mengakibatkan dendam pada anak.

2. Pola Asuh Demokratis


Pola asuh demokratis (authoritative parenting) mendorong anak-anak untuk
menjadi mandiri, tetapi masih menempatkan batasan dan kontrol atas tindakan
mereka. Komunikasi verbal member dan menerima yang ekstensif di
perbolehkan, dan orang tua hangat dan nurturant terhadap anak-anak. Anak-
anak yang orang tuanya demokratis sering gembira, terkendali, cenderung
memelihara hubungan yang bersahabat dengan teman sebaya, bekerja sama
dengan orang dewasa dan menangani stress dengan baik (Santrock, 2011).

3. Pola Asuh Permisif


Pola asuh permisif (indulgent parenting) merupakan sebuah gaya
pengasuhan ketika orang tua sangat terlibat dengan anak-anak mereka, orang
tua permisif, tetapi menempatkan beberapa tuntutan atau control mereka. Orang
tua seperti ini membiarkan anak-anak mereka melakukan apa yang mereka
inginkan. Hasilnya anak-anak tidak pernah belajar untuk melakukan prilaku
mereka sendiri dan selalu mengaharapkan untuk mendapatkan keinginan
mereka. Namun anak-anak yang orang tuanya permisif jarang belajar untuk
menghormati orang lain dan mengalami kesulitan mengendalikan perilaku
mereka. Mereka mungkin mendominasi, egosentis, patuh dan kesulitan dalam
hubungan teman sebaya (Santrock, 2011).

4. Pola Asuh Lalai


Pola asuh lalai (neglectful parenting) merupakan gaya ketika orang tua
sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya lalai
mengembangkan rasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting
daripada mereka. Anak-anak tersebut cenderung tidak kompeten secara sosial.
Banyak orang miskin dalam pengendalian dirinya kurang mandiri. Mereka sering
memiliki harga diri rendah dan tidak matang, serta mungkin terasing dari
keluarga.

B.3 Jenis-Jenis Pengasuhan


1. Pola Asuh oleh Orang Tua
Sudah menjadi tugas orang tua untuk memberikan anak pengalaman yang
dibutuhkan anak agar kecerdasannya berkembang sempurna. Ayah dan ibu
memiliki peran yang sama dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit
perbedaan dalam sentuhan dari apa yang ditampilkan oleh ayah dan ibu. Peran
ibu, antara lain : menumbuhkan perasaan sayang, cinta, melalui kasih sayang
dan kelembutan seorang ibu, menumbuhkan kemampuan berbahasa dengan
baik kepada anak, mengajarkan anak perempuan berperilaku sesuai jenis
kelaminnya dan baik. Peran ayah, antara lain : menumbuhkan rasa percaya diri
dan berkompeten kepada anak, memumbuhkan untuk anak agar mampu
berprestasi, mengajarkan anak untuk tanggung jawab (Rakhmawati, 2015).

2. Pola Asuh oleh Orang Tua Tunggal


Menjadi orang tua tunggal membutuhkan tenaga ekstra dalam merawat
anak. Orang tua tunggal dapat terjadi akibat perceraian atau perpisahan,
kematian pasangan, wanita tidak menikah yang membesarkan anaknya sendiri,
atau adopsi oleh pria atau wanita yang tidak menikah. Pola asuh dengan orang
tua tunggal memiliki beberapa masalah yang dapat memengaruhi kesehatan
anak-anak. Hidup dalam rumah tangga dengan orang tua tunggal dapat
menimbulkan stress baik bagi individu dewada dan anak-anak. Orang tua tunggal
dapat merasa kewalahan karena tidak ada individu lain untuk berbagi tanggung
jawab sehari-hari dalam mengatur asuhan anak-anak, mempertahankan
pekerjaan, menjaga rumah dan keuangan. Komunikasi dan dukungan penting
untuk optimalitas fungsi pola asuh dengan orang tua tunggal. Orang tua tunggal
harus memberikan dukungan yang lebih besar untuk anak-anak mereka (kyle,
terri, dan susan carman, 2014).

3. Pola Asuh dengan Kakek-Nenek


Dalam pola asuh oleh kakek-nenek, nenek memiliki kecendrungan lebih
banyak untuk mengasuh sang cucu dibandingkan kakek. Penelitian secara
konsisten telah menemukan bahwa nenek memiliki kontak yang lebih banyak
dengan cucunya dibandingkan kakek. Peran kakek-nenek dapat memiliki fungsi
yang berbeda dalam keluarga, kelompok etnis dan budaya, dan situasi yang
berbeda. Keberagaman pengasuhan cucu pada usia lanjut juga timbul pada
penyidikan debelumnya tentang bagaimana kakek-nenek berinteraksi dengan
cucu mereka (Khairina, Erriz, dan Yapina, Widyawati, 2013).

4. Pola Asuh dengan Perawat Asuh


Perawat asuh adalah situasi ketika anak diasuh dalam situasi hidup lain
yang terpisah dari orang tua atau wali legalnya. sebagian besar anak-anak yang
ditempatkan dalam perawat asuh telah menjadi korban penganiayaan atau
pengabaian. Anak-anak dalam perawat asuh lebih cenderung memperlihatkan
banyak masalah medis, emosi, perilaku atau perkembangan. Perhatian individual
terhadap anak dalam perawatan asuh sangat penting. Pendekatan multidisiplin
terhadap asuhan yang mencakup orang tua kandung, orang tua asuh, anak,
professional layanan kesehatan, dan pelayanan pendukung sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan anak akan pertumbuhan dan perkembangan. Perawat
memainkan peran penting dalam mendukung anak.
BAB III
KERANGKA TEORI, DEFENISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Teori

Stunting : ZScore < -2,0 SD

Klasifikasi Stunting Normal : ZScore ≥ - 2,0 SD

Prakterk pengasuhan yang kurang baik,


Masih terbatasnya pelayanan
kesehatan,
Stunting Penyebab Masih kurangnya akses rumah tangga
ke makanan bergizi,
Kurangnya akses air bersih.

Pola Asuh Orang Tua Jangka pendek (terganggunya


perkembangan otak, gangguan
Dampak pertumbuhan fisik),
Jangka panjang (menurunya kekebalan
tubuh, dan kemampuan prestasi
belajar).

Otoriter
Demokratis
Permisif
Lalai

Bagan 1.1
Kerangka Teori

B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah formulasi atau simplifikasi dari kerangka teori atau
teori-teori yang mendukung penelitian. Kerangka konsep ini terdiri dari variabel-
variabel serta hubungan variabel yang satu dengan yang lain. Dengan adanya
kerangka konsep akan mengarahkan kita untuk menganalisis hasil penelitian
(Notoatmojo, 2012).
Variabel Independen Variabel Dependen
Pola Asuh Orang Tua :
Kejadian Balita Stunting
- Baik
- Kurang Baik

Tabel 1.1 Kerangka Konsep pola asuh otang tua yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita
di PAUD Al-Fitrah, Kec. Sei Rampah, Kab. Serdang Bedagai

C. Defenisi Oprasional
Definisi operasional adalah sebuah batasan-batasan yang diberikan oleh
peneliti terhadap variable penelitiannya sendiri sehingga variable penelitian dapat
di ukur. Itu sebabnya definisi operasional adalah definisi penjelas, karena akibat
definisi yang diberikan sebuah variable penelitian menjadi jelas (Zaluchu, 2010).
Defenisi
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Variabel Stunting adalah balita Pita sentimeter
dependen : dengan status gizi
Kejadian yang berdasarkan
balita panjang atau tinggi 1. Stunting
stunting badan menurut (ZScore <-2 SD)
Ordinal
umurnya bila 2. Tidak
dibandingkan dengan (ZScore ≥ -2 SD)
standar baku WHO-
MGRS nilai z
scorenya <-2SD.
Variable Perilaku orang tua Kuesioner
1. Baik
independen : dalam mengasuh
(Nilai 7-15)
Pola asuh balita yang diperoleh Ordinal
2. Kurang
orang tua dari jawaban terhadap
(Nilai 0-6)
kuesioner.
Tabel 1.2
Defenisi Oprasional
D. Hipotesis
Adanya hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian stunting pada Balita di Poskesdes Desa
Gemalasari Kec.Rangsang
BAB IV
METODE
PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian analitik dengan
pendekatan penelitian menggunakan pendekatan cross sectional yaitu penelitian
dimana variabel independen dan variabel dependen diambil dalam waktu
bersamaan. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui Hubungan Pola Asuh
Orang Tua dengan Kejadian Stunting pada Balita di Poskesdes desa
Gemalasari tahun 2021.

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian


B.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Poskesdes desa Gemalasari
Kec.Rangsang
B.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari pengajuan judul, survey pendahuluan,
pengajuan proposal, seminar proposal, perbaikan proposal, dan melakukan
penelitian yaitu mulai dari bulan September sampai Desember 2021.

C. Populasi Dan Sampel


C.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian atau sasaran penelitian
(Machfoedz, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang
berada di Poskesdes Desa Gemalasari Kec.Rangsang berjumlah 127 orang.

C.2. Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan sistem total
sampling, yaitu seluruh balita yang bersekolah di Poskesdes Desa Gemalasari
yaitu sebanyak 127 orang.
D. Jenis Dan Cara Pengumpula Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh
secara langsung dari pemeriksaan tinggi badan balita dan kuesioner yang
diberika pada orang tua balita di wilayah kerja Poskesdes Desa Gemalasari pada
Tahun 2021.

E. Alat Ukur/Instrumen dan Bahan Penelitian


E.1 Alat Ukur
E.1.1 Alat Ukur Stunting pada Balita
Pada penelitian ini alat ukur/instrument untuk memperoleh informasi stunting
pada balita menggunakan pita sentimeter yang hasilnya di sesuaikan dengan
standar deviasi WHO.

Rumus Z-Score TB/U :

Nilai Individu Subyek − Nilai Median Baku Rujukan


𝑍 − 𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒 =
Nilai Simpangan Baku Rujukan

Maka dapat diproleh kategori :


a. Stunting : Zscore < -2,0 SD
b. Tidak stunting : Zscore ≥ -2,0 SD

E.1.2 Alat Ukur Pola Asuh Orang Tua


Alat ukur untuk mengetahui pola asuh orang tua menggunakan kuesioner
pola asuh orang tua yang diberikan kepada orang tua balita dengan jumlah
pertanyaan 15. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala Guttman.
Responden menjawab “Ya” diberi nilai 1 dan jika menjawab “Tidak” diberi nilai 0.
Total nilai pola asuh orang tua 15, dimana nilai tertinggi 15 dan nilai terendah 0.

Dengan rumus :

( Jumlah Pertanyaan x nilai tertinggi) − (jumlah pertanyaan x nilai terendah)


P=
banyak kelas
(15 x 1) − (15 x 0)
=
2
15
=
2
= 7,5

Maka didapatkan skor masing-masing kategori :


a. Baik : 7-15
b. Kurang : 0-6

E.2 Prosedur Pengolahan Data


Berikut langkah-langkah penelitian yang dilakukan dalam melaksanakan
penelituan di lapangan adalah sebagai berikut :
1. Persiapan, mengkaji bahan pustaka, dan memperluas fokus perhatian
2. Memilih lokasi lapangan dan memperoleh akses untuk masuk dalam
lokasi tersebut
3. Memulai di tempat penelitian dan menjalin hubungan sosial dengan yang
diteliti
4. Memilih peran sosial
5. Mengumpulkan data di lapangan
6. Menganalisis data, mengembangkan dan mengevaluasi hipotesa kerja
7. Memfokuskan pada aspek-aspek khusus dari setting yang diamati dan
mekukan pengambilan sampel
8. Melakukan wawancara
9. Meninggalkan lokasi, menyelesaikan analisis, dan menulis laporan
penelitian lapangan

F. Pengolahan dan Analisis Data


F.1 Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan diolah dengan cara manual dengan langkah-
langkah berikut:
1. Editing (Pengeditan Data)
aHasil wawancara atau angket yang diperoleh atau dikumpulkan melalui
kuesioner perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Jika ada data atau
informasi yang kurang lengkap, dan tidak mungkin dilakukan wawancara
ulang, maka kuesioner tersebut dikeluarkan (droup out).
2. Coding (Pengkodean)
Coding adalah tahapan memberikan kode atau tanda-tanda setiap data
yang telah terkumpul. Data yang sudah diedit, maka harus diberikan
kode untuk mempermudah dimasukkan kedalam master table untuk
diolah.
3. Tabulating (Pentabulasian)
Membuat table-tabel data, sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini untuk
mempermudah pengolahan data. Data yang diperoleh diedit dan diberi
kode, kemudian dimasukkan kedalam dummy table agar dapat dihitung.
4. Pemberian Skor
Memberikan skor pada setiap jawaban yang diberikan selanjutnya
menghitung seluruh skor jawanan dari semua pertanyaan yang
diberikan.

F.2 Analisis Data


1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variable penelitian. Pada analisis ini hanya menghasilkan
distribusi frekuensi dan presentase setiap variable.
2. Analisis Bivariat
Apabila telah dilakukan analisis univariat dapat dilanjutkan dengan analisis
bivariat terhadap dua variable yang diduga berhubungan atau berkorelasi
menggunakan uji Chi Square dimana uji ini adalah salah satu uji kompratif
nonparametris yang dilakukan pada dua variabel, dimana skala kedua data
variabel adalah nominal.
Rumus Chi Square :
(0 − 𝐸)²
𝑋²
= 𝐸
Keterangan :
X² : Chi Square
0 : Frekuensi yang di observasi
E : Frekuensi yang diharapkan
Jika p hitung lebih kecil dari p tabel berarti Ho di terima, tidak ada
hubungan antara hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian stunting pada
balita. Jika p hitung lebih besar atau sama dengan p tabel atau p value < 0,05
berarti Ho di tolak ada ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan
kejadian stunting pada balita (Arikunto, 2006).

G. Etika Penelitian
G.1 Prinsip Manfaat
Dengan berprinsip pada aspek manfaat, penelitian yang dilakukan memiliki
harapan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.
G.2 Prinsip Menghormati Manusia
Manusia memiliki hak dan makhluk yang mulia yang harus dihormati, karena
manusia memiliki hak dalam menentukan pilihan antara mau dan tidak untuk
diikutsertakan menjadi subjek penelitian.
G.3 Prinsip Keadilan
Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia dengan
menghargai hak atau memberikan pengobatan secara adil, hak menjaga privasi
manusia, dan tidak berpihak dalam perlakuan terhadap manusia.
G.4 Imformed consent
Imformed consent berupa lembar persetujuan untuk menjadi responden,
tujuan pemberiannya agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian dan
mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan dan jika responden tidak bersedia, maka
peneliti harus menghormati hak pasien.
G.5 Anonimity (tanpa nama)
Anonimity menjelaskan bentuk penulisan kuesioner dengan tidak perlu
mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, hanya menuliskan kode
pada lembar pengumpulan data.
G.6 Kerahasiaan
Kerahasiaan menjelaskan masalah-masalah responden yang harus
dirahasiakan dalam penelitian. Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan
dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan dalam hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai