Anda di halaman 1dari 7

Tugas Individu

KESEHATAN DAN PENANGGULANGAN BENCANA


“BENCANA SOSIAL KEBAKARAN HUTAN”

Oleh:

Nama : AFEZA AVRIANTI


Stambuk : 201711263

FAKULTAS KEGURUANN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI KONSENTRASI PENDIDIKAN IPA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI
KENDARI
2019
A. Pengertian bencana sosial

Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial, antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat dan teror. Salah satu Contoh bencana sosial adalah
kebakaran.

Kebakaran adalah bahaya yang nyata yang timbul karena pemakaian listrik.
Kebakaran menyebabkan kehilangan nyawa dan tak hanya meliputi seseorang saja,
tetapi dapat terjadi di tempat-tempat di mana banyak manusia berkumpul, seperti
pabrik, pusat perbelanjaan dsb.nya. Selain kehilangan nyawa manusia juga
mengakibatkan kerugian besar dalam hal materi. Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi,
atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar tetapi juga
dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Penyebab umum
termasuk petir, kecerobahan manusia,dan pembakaran. Musim kemarau dan pencegahan
kebakaran hutan kecil adalah penyebab utama kebakaran hutan besar. 

Ada beberapa tanda tanda kebakaran seperti :

1.Muncul bau benda terbakar masuk ke ruang kabin terkadang disertai asap.
2.Segera menepikan kendaraan di posisi yang aman dan kosong, matikan mesin.
3. Sebelum keluar dari mobil, tarik tuas pembuka kap mesin. Kemudian ambil
barang-barang penting seperti ponsel, STNK (ada yang biasa meletakkannya di
balik penghalau matahari di atas kaca depan), dan terpenting—kalau tersedia tabung
pemadam.
4.Arahkan pemadam api lewat celah kap mesin (jika sudah menyemburkan api).
Jangan sekali-sekali mencoba membuka kap mesin lebar-lebar karena masuknya
udara segar akan membuat api membesar seketika.
5. Jika api membesar, jangan coba memadamkannya sendiri. Cari bantuan, telepon
polisi atau pemadam kebakaran.
6. Jangan berada dekat mobil, mengingat ledakan yang mungkin terjadi.
7.Memadamkan api dengan air tak ada gunanya.
Daerah rawan kebakaran
1. Daerah pemukiman padat penduduk dengan tingkat kerapatan antar bangunan
yang tinggi. Dearah seperti ini dapat dijumpai di pemukiman-pemukiman
kumuh seperti di Jakarta. Bahan bangunan yang masih semi permanen dan
instalasi listrik yang tidak teratur semakin memperbesar potensi terjadinya
kebakaran besar. Selain itu sulitnya mencari sumber air dan jauh dari hydrant
menyebabkan sulitnya pemadaman apabila terjadi kebakaran.
2.Di daerah hutan dan lahan gambut khususnya di Kalimantan dan Sumatera.
Hutan-hutan tropis basah yang belum terganggu (masih asli) umumnya tahan
terhadap kebakaran hutan dan kemungkinan akan mengalami kebakaran hanya
jika terjadi musim kemarau berkepanjangan. Namun maraknya pembalakan
hutan akhir-akhir ini yang menyebabkan degradasi pada hutan mebuat hutan
jauh lebih rentan terhadap kebakaran. Ditambah lagi dengan adanya lahan-lahan
gambut yang sangat mudah terbakar mengakibatkan api dengan sangat mdah
menjalar.
3.Daerah pertokoan atau pasar biasanya antara satu dengan lainnya hanya
dipisahkan oleh sekat sehingga sangat rapat dan apabila terjadi kebakaran sangat
mudah menjalar. Misalnya saja di daerah pertokoan seperti Tanah Abang,
Malioboro, dsb.
4.Daerah dengan banyak bangunan vertical atau gedung-gedung bertingkat juga
sangat rentan terjadi kebakaran. Pada gedung bertingkat api dapat menjalar
dengan cepat ke bengunan-bangunan di atasnya ditambah lagi dengan
banyaknya instalasi listrik yang dipakai terutama di perkantoran.
5.Daerah pertambangan dengan hasil tambang berupa bahan yang mudah
terbakar seperti batubara, minyak bumi, dsb. Di tempat seperti ini apabila ada
percikan api sedikit saja akan sangat mudah memicu kebakaran.
B. Penanggulangan kebakaran hutan

Pemadaman dari darat


1. Instalasi dan Penempatan Peralatan Pemadam di Lokasi yang Rawan
Kebakaran
Saat ini, kebanyakan peralatan pemadam kebakaran dikonsentrasikan di
kantor/posko yang berada di kota provinsi/kabupaten. Sehingga pada saat
diperlukan untuk pemadaman, mobilisasi alat menjadi kendala. Selain itu, pada
daerah-daerah yang diidentifikasikan rawan kebakaran, jarang terdapat sarana
penampung air, semisal embung-embung air. Instalasi dan penempatan
peralatan/sarana harus sudah dilakukan sebelum kebakaran.
2.   Mencari subsitusi air untuk pemadaman kebakaran
Air merupakan unsur yang terpenting dalam pemadaman kebakaran. Namun,
tidak semua lokasi kebakaran terdapat sumber mata air, sehingga harus dicari
pengganti air yang dapat digunakan untuk mematikan api. Materi yang dapat
digunakan antara lain, tanah, pasir, dan batang pohon basah/segar yang
ditumbangkan. Substitusi air hanya dapat dilakukan untuk kebakaran
permukaan. Untuk kebakaran tanah gambut, mutlak diperlukan air.
3 Pemilihan Metode Pemadaman tepat.
Terdapat beberapa metode pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Saat ini
kebanyakan metode yang digunakan adalah pemadaman api/kebakaran secara
langsung, padahal tidak semua jenis kebakaran dapat ditanggulangi dengan
pemadaman langsung. Pemadaman langsung dapat dilakukan apabila kebakaran
belum meluas dan jumlah regu pemadam memadai. Namun, apabila kebakaran
sudah terjadi pada skala luas, pemadaman langsung tidak efektif, maka harus
dicari metode lainnya. Metode yang efektif untuk kebakaran yang sudah meluas
adalah melokalisir kebakaran. Konsepnya adalah mengorbankan areal yang
sudah pasti terbakar dengan menyelematkan areal lainnya yang lebih luas.
Pemadaman dari udara
1. Hujan Buatan
Hujan adalah cara terbaik dan paling efektif untuk memadamkan kebakaran.
Sayangnya hujan secara alami terjadi pada musimnya. Kebakaran hutan dan
lahan biasanya terjadi pada musim kemarau, sehingga sangat sulit
mengharapkan bantuan hujan untuk pemadamanya. Cara yang bisa bisa
ditempuh adalah mengadakan hujan buatan. Meski demikian, hujan buatan dapat
diselenggarakan apabila kondisi awannya memungkinkan. Dari beberapa
kejadian kebakaran, hujan buatan terbukti cukup signifikan mengurangi
kebakaran dan dampaknya.
2.   Pengeboman Air (Pemadaman Menggunakan Pesawat)
Pemadaman kebakaran menggunakan pesawat dapat efektif kalau sumber air
tersedia dan kapasitas angkut pesawat memadai. Dari beberapa upaya
pengeboman air, seperti di Riau dan Kalimantan Tengah, efektifitasnya masih
rendah, karena daya angkut air pesawat kecil (300-500 liter), sehingga pada
tingkat kebakaran yang besar, tidak dapat dipadamkan secara signifikan.

C.Dari segi kesehatan pasca bencana


Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal internasional
Atmospheric Chemistry and Physic tahun 2016 yang dilakukan di Kalimantan
Tengah oleh beberapa universitas dari Amerika termasuk Institut Pertanian Bogor
(IPB), Prof. Bambang mendapati bahwa terdapat lebih dari 90 jenis gas yang
terlepas ke udara selama kebakaran gambut berlangsung, dimana 50 persennya
beracun ketika dihirup."Lalu, apa dampak nyata bahaya dari kandungan gas ini?
Ribuan kasus gangguan kesehatan di antaranya mengidap pneumonia, asma,
gangguan penglihatan, penyakit kulit, dan ISPA, serta ada pula yang meninggal,"
ujar Prof. Bambang dalam keterangan tertulisnya.

Untuk memberikan gambaran mengenai betapa berbahayanya kandungan


gas ini, Prof. Bambang mengingatkan kita pada kasus pembunuhan di salah satu
pusat perbelanjaan di Jakarta yang menggunakan sianida. Bentuk lain dari senyawa
ini adalah hidrogen sianida yang dihirup oleh jutaan masyarakat yang terkena
dampak kebakaran hutan khususnya, pada areal bergambut."Efeknya memang tidak
langsung membunuh tapi layaknya seperti bom waktu, mengintai dan siap
meledak," imbuh dia.

Selain itu, kandungan gas ini juga akan mempengaruhi kesehatan jangka
panjang masyarakat. Senyawa lain, furfuran atau furan, dapat berdampak buruk
pada ibu hamil dengan mengakibatkan cacat janin atau yang lebih ekstrim adalah
kematian janin yang dikandung oleh ibu yang menghirup senyawa ini dalam
jumlah yang berbahaya."Kualitas udara di desa-desa sekitar kebakaran pada tahun
2015 melampaui angka 1.000 (bahkan ada yang mencapai 3.000) pada indeks
s.tandar pencemaran udara (ISPU). Padahal, angka 300 saja sudah merupakan
ambang bahaya," lanjut Prof Bambang.

Selain itu, kandungan gas ini juga akan mempengaruhi kesehatan jangka
panjang masyarakat. Senyawa lain, furfuran atau furan, dapat berdampak buruk
pada ibu hamil dengan mengakibatkan cacat janin atau yang lebih ekstrim adalah
kematian janin yang dikandung oleh ibu yang menghirup senyawa ini dalam
jumlah yang berbahaya."Kualitas udara di desa-desa sekitar kebakaran pada tahun
2015 melampaui angka 1.000 (bahkan ada yang mencapai 3.000) pada indeks
s.tandar pencemaran udara (ISPU). Padahal, angka 300 saja sudah merupakan
ambang bahaya," lanjut Prof Bambang.

"Salah satu upaya pemerintah ialah membentuk Badan Restorasi Gambut


melalui Perpres Nomor 1 tahun 2016 untuk mempercepat proses restorasi
ekosistem gambut yang terdegradasi akibat kebakaran lahan yang terjadi pada
tahun 2015," imbuh dia.Namun pertanyaannya, apakah upaya restorasi itu serta
merta langsung menihilkan angka kebakaran hutan?"Tentu saja tidak! Restorasi
yang mulai dilakukan pada tahun 2016 adalah upaya awal membasahi kembali
ekosistem gambut yang rusak. Ibarat orang yang menderita sakit yang akut, upaya
pemulihan itu memerlukan waktu. Demikian pula halnya dengan restorasi gambut.
Apalagi ekosistem ini sudah sangatlah parah kerusakannya," ujar Prof. Bambang.

Upaya restorasi ini memang memakan waktu. Namun menurut Prof.


Bambang, titik panas dan kebakaran di lahan gambut telah berkurang hingga lebih
80 persen dari angka yang sama pada 2015. Menurut Prof. Bambang, memulihkan
gambut sama seperti memulihkan kesehatan, yakni sama-sama memerlukan waktu.
DAFTAR PUSTAKA

Barber, C.V. & Schweithelm, J. (2000). Trial by fire. Forest fires and forestry policy in
Indonesia's era of crisis andreform. World Resources Institute (WRI), Forest Frontiers
Initiative. In collaboration with WWF-Indonesia and  Telapak Indonesia Foundation,
Washington D.C, USA.

Bureau of Statistic Tumbang Titi sub-district (1999). Tumbang Titi in Figure, 1999.


Biro Pusat Statistik (BPS) Province, Ketapang, Indonesia.

Dennis, R.A. (1999). A review of fire projects in Indonesia 1982 - 1998. Center for
International Forestry Research, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai