Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA Tn.

B
DENGAN ST ELEVASI MIOKARD (STEMI) DI IGD
RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. M. HATTA
BUKITTINGGI

DISUSUN OLEH:

CITRA RESKI
NAILIL AZIMAH
NANCY HENDRI
NEVI PERMATA SARI
SOLIMAN NUR SETIA

INSTITUT KESEHATAN PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI


PROFESI NERS
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit jantung merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan
penyebab nomor satu kematian di dunia. Penyakit infark miokard
merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot
jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan kororner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari
pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Bruner
& Suddarth, 2014).
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2016 menyebutkan,
lebih dari 17 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan
pembuluh darah. Atau sekitar 31% dari seluruh kematian di dunia, sebagian
besar atau sekira 8,7 juta kematian disebabkan oleh karena penyakit
jantung koroner. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
menunjukkan bahwa sebesar 1,5% atau 15 dari 1.000 penduduk Indonesia
menderita penyakit jantung koroner. Sedangkan di Sumatera Barat
pravelensi penyakit jantung koroner sebesar 1,6% (Kemenkes RI, 2019).
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan salah satu masalah
kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia. STEMI
mempunyai gejala khas yang berkaitan erat dengan hasil EKG yaitu elevasi
segmen ST yang persisten. Data menunjukkan bahwa mortalitas akibat STEMI
sering terjadi dalam 24-48 jam pasca onset dan 30 hari setelah serangan adalah
30% (Brunner & Suddarth, 2013).
STEMI disebabkan oleh adanya aterosklerotik pada arteri koroner atau
penyebab lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen miokardium. Pada kondisi awal akan
terjadi iskemia miokardium, namun bila tidak dilakukan tindakan reperfusi
segera maka akan menimbulkan nekrosis miokard yang bersifat irreversible.
Komplikasi yang biasa terjadi pada penderita STEMI yaitu adanya remodelling
ventrikel yang pada akhirnya akan mengakibatkan shock kardiogenik, gagal
jantung kongestif, serta disritmia ventrikel yang bersifat lethal aritmia.
Diagnosis awal yang cepat dan penanganan yang tepat setelah pasien tiba di
ruang IGD dapat mencegah kerusakan miokardial yang besar serta mengurangi
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien sehingga menurunkan risiko
kematian. Pencegahan keterlambatan dalam penanganan STEMI sangat penting
di fase awal yaitu saat pasien mengalami nyeri dada yang hebat. Defibrillator
harus tersedia, pemberian terapi pada tahap awal terutama terapi reperfusi
(PERKI, 2015).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat Pada Tn. B Dengan STEMI” adalah agar
penulis dapat memahami dan mampu menerapkan asuhan keperawatan pada
pasien STEMI menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini diharapkan penulis
mampu:
a. Melakukan pengkajian pada Tn. B dengan STEMI di Instalasi Gawat
Darurat RSOMH Bukittinggi.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. B dengan STEMI di
Instalasi Gawat Darurat RSOMH Bukittinggi.
c. Menyusun rencana tindakan pada Tn. B dengan STEMI di Instalasi
Gawat Darurat RSOMH Bukittinggi.
d. Mengimplementasikan rencana keperawatan pada Tn. B dengan STEMI
di Instalasi Gawat Darurat RSOMH Bukittinggi.
e. Mengevaluasi tindakan keperawatan pada Tn. B dengan STEMI di
Instalasi Gawat Darurat RSOMH Bukittinggi
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep ST Elevasi Miokard


1. Definisi
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan oklusi total dari
arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi
seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen
ST pada EKG. STEMI merupakan bagian dari Sindrom Koroner Akut
(SKA) yang pada umumnya diakibatkan oleh rupturnya plak aterosklerosis
yang mengakibatkan oklusi total pada arteri koroner dan disertai dengan
tanda dan gejala klinis iskemia miokard seperti munculnya nyeri dada,
adanya J point yang persistent, adanya elevasi segmen ST serta
meningkatnya biomarker kematian sel miokardium yaitu troponin (Black &
Hawks, 2014).
2. Etiologi
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah
terjadinya rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar
kasus, terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya
STEMI, antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional dan
penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini
dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat
diubah dan faktor resiko yang dapat diubah menurut (Smeltzer, dkk, 2013)
yakni:

a. Faktor yang tidak dapat diubah

1) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ
pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia
antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat
lima kali lipat.
2) Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita pre- menopause kecuali
jika terdapat diabetes, hiperlipidemia dan hipertensi berat. Setelah
menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan
atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan
dengan pria. Hal ini diperkirakan merupakan pengaruh dari hormone
estrogen.
3) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50
tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.
b. Faktor yang dapat diubah
1) Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan tingginya kolesterol dengan kejadian
penyakit arteri koroner memiliki hubungan yang erat. Lemak yang
tidak larut dalam air terikat dengan lipoprotein yang larut dengan air
yang memungkinkannya dapat diangkut dalam sistem peredaran
darah. Tiga komponen metabolisme lemak, kolesterol total,
lipoprotein densitas renah (low density lipoprotein) dan lipoprotein
densitas tinggi (high density lipoprotein). Peningkatan kolesterol Low
Density Lipoprotein (LDL) dihubungkan dengan meningkatnya risiko
koronaria dan mempercepat proses arterosklerosis. Sedangkan kadar
kolesterol High Density Lipoprotein (HDL) yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria dengan
cara mengangkut LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan kemudian
diekskresi.
2) Hipertensi

Hipertensi juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan penyakit


arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan dapat meningkatkan
gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri saat
memompa darah. Tekanan darah yang tinggi terus menerus dapat
mengakibatkan suplai kebutuhan oksigen di jantung meningkat.

3) Merokok

Merokok dapat membuat penyakit koroner semakin memburuk di


akibatkan karena karbondioksida yang terkandung dalam asap rokok
akan lebih mudah mengikat hemoglobin daripada oksigen, sehingga
oksigen yang dikirim ke jantung menjadi berkurang. Nikotin pada
tembakau dapat memicu pelepasan katekolamin yang mengakibatkan
konstriksi pada arteri dan membuat aliran darah serta oksigen ke
jaringan menjadi terganggu. Merokok dapat meningkatkan adhesi
trombosit yang akan dapat mengakibatkan kemungkinan peningkatan
pembentukan thrombus.

4) Diabetes Mellitus

Penyakit DM dapat menginduksi hiperkolesterolemia serta


meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Penderita diabetes lebih
berisiko menderita infark miokard dari pada yang tidak menderita
diabetes. Penderita diabetes mellitus mempunyai prevalensi yang
lebih tinggi mengalami aterosklerosis, karena hiperglikemia dapat
mengakibatkan peningkatan agregasi trombosit yang dapat
membentuk thrombus.

5) Stress Psikologik

Stres dapat mengakibatkan peningkatan katekolamin yang bersifat


aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang dirasakan pada pasien STEMI menurut (Black
& Hawks, 2014):
a. Nyeri dada sentral yang berat terjadi secara mendadak dan terus menerus
tidak mereda, biasanya dirasakan diatas region sternal bawah dan
abdomen bagian atas, seperti rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung lebih dari 20
menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Nyeri dapat menjalar ke
arah rahang dan leher. Gejala yang menyertai yaitu berkeringat, pucat,
mual, sulit bernapas, cemas dan lemas
b. Ekstremitas yang teraba dingin, perspirasi, rasa cemas dan gelisah akibat
pelepasan katekolamin
c. Tekanan darah dan denyut nadi pada mulanya meninggi sebagai akibat
aktivasi sistem saraf simpatik. Jika curah jantung berkurang, tekanan
darah mungkin turun. Bradikardi dapat disertai gangguan hantaran,
khususnya pada kerusakan yang mengenai dinding inferior ventrikel kiri
d. Keletihan dan rasa lemah akibat penurunan perfusi darah ke otot rangka
e. Nausea dan vomitus akibat stimulasi yang bersifat refleks pada pusat
muntah oleh serabut saraf nyeri atau akibat refleks vasovagal
f. Sesak napas dan bunyi krekels yang mencerminkan gagal jantung
g. Suhu tubuh yang rendah selama beberapa hari setelah serangan infark
miokard akut akibat respon inflamasi
h. Distensi vena jugularis yang mencerminkan disfungsi ventrikel kanan
dan kongesti paru
4. Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara


mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya pembuluh darah
kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vascular dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian
besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis dan
akumulasi lipid. Sehingga terjadi trombus mular pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrosis cup yang tipis
dan kaya inti. Pada STEMI gambaran patologi klasik terdiri dari fibrin rich
red trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan
respon terapi trombolitik (Ulinnuha, 2017).

Kemudian pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,


epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang
paten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan formasi reseptor
glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor
mempunyai fungsi tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi
yang larut (integrin) seperti faktor von willebrand dan fibrinogen dimana
keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat platelet yang
berbeda secara simultan. Menghasilkan ikatan silang platelet yang agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konkersi
protrombin menjadi thrombin yang kemudian mengonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin. Iskemia
yang berlangsung lebih dari 30 – 45 menit akan menyebabkan kerusakan sel
irreversible serta nekrosis atau kematian otot. Bagian miokardium yang
mengalami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara permanen.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Ulinnuha, 2017).
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penderita STEMI menurut Smeltzer
(2013) yaitu:
a. Elektrokardiogram (EKG)
EKG memberi informasi mengenai elektrofisiologi jantung. Lokasi dan
ukuran relative infark juga dapat ditentukan dengan EKG. Pemeriksaan
EKG harus dilakukan segera dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di
IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG dengan interval
5-10 menit atau pemantauan EKG 12 lead secara lanjutan harus
dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
b. Angiografi koroner
Angiografi koroner adalah pemeriksaan diagnostik invasif yang
dilakukan untuk mengamati pembuluh darah jantung dengan
menggunakan teknologi pencitraan sinar X. Angiografi koroner
memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan PJK.
c. Foto polos dada
Tujuan pemeriksaan adalah untuk menentukan diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
d. Pemeriksaan laboratorium
1) Creatinine Kinase-MB (CK-MB) meningkatkan setelah 2-4 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 12-20 jam dan
kembali normal dalam 2-3 hari.
2) Creatinine Kinase (CK) meningkat setelah 3-6 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 12-24 jam dan kembali normal
3-5 hari.
3) cTn ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzi mini meningkat setelah
2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan cTn T masaih dapat di deteksi setelah 5- 14 hari sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.
6. Penatalaksanaan
Penatalakasanaan pasien ST Elevasi Miokard Infark menurut Smeltzer
(2013):
a. Farmakologi
1) Nitrogliserin
Nitrogliserin (NTG) seblingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. NTG
selain untuk mengurangi nyeri dada juga untuk menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. NTG harus
dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
pasien yang dicurigai mengalami infark ventrikel kanan.
2) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tata laksana nyeri dada pada STEMI. Morfin
diberikan dengan dosis 2 - 4 mg dapat tingkatkan 2 - 8 mg IV serta
dapat di ulang dengan interval 5 - 15 menit. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriol
melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan
mengurangi curah jantung dan tekanan arteri.
3) Aspirin
Aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
dengan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukal dengan dosis 162 mg - 325 mg di ruang emergensi dengan daily
dosis 75-162 mg.
4) Beta Bloker
Beta‐blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil.
Jika tidak ada kontraindikasi, pasien diberi beta‐ blocker
kardioselektif misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan
tekanan darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah
sakit. Kontraindikasi terapi beta‐blocker adalah: hipotensi dengan
tekanan darah sistolik <100 mmHg, bradikardi <50 denyut/menit,
adanya heart block, riwayat penyakit saluran nafas yang reversible,
beta‐blocker harus dititrasi sampai dosis maksimum yang dapat
ditoleransi.
5) Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi
lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi
(PCI) yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan
obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik).
b. Non Farmakologi
1) Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa
awal infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien
dengan STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam
pertama. Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus
didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung
kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam
pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya
menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan
komplikasi lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi
dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau
ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m
minimal tiga kali sehari.
2) Istirahat Fisik
Bedrest dengan posisi semifowler atau menggunakan cardiac chair
dapat mengurangi nyeri dada dan dispnea. Posisi kepala yang lebih
tinggi sangat bermanfaat bagi pasien karena: Volume tidal dapat
diperbaiki karena tekanan isi abdomen terhadap diafragma berkurang
sehinngga pertukaran gas dapat lebih baik, drainase lobus atas paru
lebih baik serta Aliran balik vena ke jantung (preload) berkurang
sehingga mengurangi kerja jantung.
3) Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI,
pasien hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-
12 jam pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung
kolesterol ± 300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-
55% dari kalori total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium,
magnesium, dan serat tetapi rendah natrium.
c. Tatalaksana di Instalasi Gawat Darurat
1) Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCI 0,9%.
2) Monitor EKG
3) Pantau tanda vital: setiap 1/2 jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam
atau sesuai dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60
kali/mnt atau >110 kali/mnt; tekanan darah < 90 mmHg atau >150
mmHg; frekuensi nafas < 8 kali/mnt atau > 22 kali/mnt.
4) Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan mobilisasi sesuai toleransi
seteiah 12 jam
5) Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet
jantung (kompleks karbohidrat 50- 55% dari kalori, monounsaturated
dan unsaturated fats < 30% dari kalori), termasuk makanan tinggi
kalium (sayur, buah), magnesium (sayuran hijau, makanan laut) dan
serat (buah segar, sayur, sereai).
6) Tirah baring - pemberian oksigen 2-4 L/menit untuk mempertahankan
saturasi oksigen
7) Pasang jalur infus dan pasang monitor
8) Pemberian aspirin 150-325 mg tablet kunyah bila belum diberikan
sebelumnya dan tidak ada riwayat alergi aspirin
9) Pemberian nitrat : biasa diberikan nitrat oral sublingual yaitu isosorbid
dinitrat 5 mg dapat diulang tiap 5 menit sampai 3 kali untuk mengatasi
nyeri dada
B. Konsep Asuhan Keperawatan ST Elevasi Miokard
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu aspek penting
perawatan pasien STEMI. Adapun pengkajian yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut:
a) Identitas
Pada klien penderita ST Elevasi Miokard Infark diantaranya terjadi pada
usia 35-55 tahun. Klien yang menderita STEMI umumnya adalah lak-
laki.
b) Keluhan Utama
Keluhan utama yang timbul pada pasien dengan STEMI yaitu nyeri dada
yang khas (seperti tertekan, berat, atau penuh).
c) Riwayat Kesehatan Sekarang
1) Kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur
2) Faktor perangsang nyeri yang spontan.
3) Kualitas nyeri: rasa nyeri digambarkan dengan rasa sesak yang berat
atau mencekik.
4) Lokasi nyeri: dibawah atau sekitar leher, dengan dagu belakang, bahu
atau lengan.
5) Beratnya nyeri: dapat dikurangi dengan istirahat atau
pemberian nitrat.
6) Waktu nyeri: berlangsung beberapa jam atau hari, selama serangan
pasien memegang dada atau menggosok lengan kiri.
7) Diaforeasi, muntah, mual, kadang-kadang demam, dispnea.
8) Syndrom syock dalam berbagai tingkatan.
d) Riwayat Kesehatan Dahulu
1) Riwayat pembuluh darah arteri.
2) Riwayat merokok.
3) Kebiasaan olahraga yang tidak teratur.
4) Riwayat Diabetes Melitus, hipertensi, gagal jantung kongestif.
5) Riwayat penyakit pernafasan kronis.
e) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat keluarga penyakit jantung atau Infark Miokard Akut (IMA),
Diabetes Melitus, stroke, hipertensi, penyakit vaskuler periver.
f) Tingkat kesadaran
Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang dipantau dengan
ketat. Perubahan penginderaan berarti jantung tidak mampu memompa
darah yang cukup untuk oksigenasi otak. Bila pasien mendapatkan obat
yang mempengaruhi fungsi pembekuan darah, maka pengawasan
terhadap adanya tanda-tanda perdarahan otak merupakan hal penting
yang harus dilakukan.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Bruner & Suddarth (2014) diagnosa keperawatan yang
muncul pada pasien dengan ST Elevasi Miokard Infark adalah:
a. Nyeri akut berhubungan dengan sindroma koroner akut
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan afterload
c. Risiko perfusi miocard tidak efektif
d. Intoleransi aktivitas berhubungan Penyakit jantung koroner
e. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gagal jantung kongestif
3. Intervensi

Tabel 2.1 Rencana Asuhan Keperawatan


No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1 Nyeri akut berhubungan Tingkat Nyeri Manajemen nyeri
dengan sindroma koroner Setelah dilakukan perawatan tingkat nyeri O:
akut menurun dengan criteria hasil: a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi,
a. Keluhan nyeri menurun kwalitas, intensitas
b. Meringis menurun b. Identifikasi skala nyeri
c. Gelisah menurun c. Identifikasi faktor yang memperberat dan
d. Diaporesis menurun memperingan nyeri
e. Frekwensi nadi membaik d. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
f. Pola nafas membaik sudah diberikan
g. Tekanan darah membaik e. Monitor efek samping penggunaan analgesic
T:
a. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
b. Fasilitasi istirahat/tidur
c. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
E:
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
K: Kolaborasi pemberian anagesik
2 Intoleransi aktifitas Toleransi aktifitas Manajemen energy
berhungan dengan penyakit Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam O:
jantung koroner toleransi aktifitas ekspektasi meningkat a. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
dengan kriteria standar: mngakibatkan kelelahan
a. Dispnea saat aktifitas menurun b. Monitor kelelahan fisik dan emosional
b. Dyspnea setelah aktifitas menurun c. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
c. Aritmia saat ktifitas menurun melakukan aktifitas
d. Sianosis menurun T:
e. Tekanan darah membaik a. Sediakan lingkungan yang nyaman
f. Frekwensi nafas membaik b. Lakukan rentang gerak pasif/aktif
g. ECG iskemia membaik c. Berikan aktifitas distraksi yang menyenangkan
E:
a. Anjurkan tirah baring
b. Anjurkan melakukan aktifitas bertahap
c. Anjurkan menghubungi perawat bila tanda dan
gejala keklelahan tidak berkurang
K:
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara peningkatan
asupan makanan
3 Penurunan curah jantung Curah Jantung Perawatan jantung
berhubugan dengan Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam O:
penurunan afterload curah jantung meningkat dengan criteria a. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah
hasil: jantung (dispnea, kelelahan, edema, peningkatan
a. Kekuatan nadi perifer meningkat CVP)
b. Gambaran ECG aritmia menurun b. Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah
c. Dispnea menurun jantung (hepatomegali, distensi vena jugularis,
d. Pucat/sianosis menurun palpitasi, ronchi, oliguri, batuk,kulit pucat)
e. Tekanan Darah membaik c. Monitor tekanan darah
d. Monitor intake output
e. Monitor saturasi oksigen
f. Monitor ECG 12 lead
T:
a. Posisikan pasien semi fowleratau fowler
b. Berikan O2 untuk mempertahankan saturasi
oksigen >94%
E:
-
K:
Kolaborasi pemberian anti aritmia

4 Risiko perfusi miokard tidak Perfusi Miokard Manajemen aritmia


efektif Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam O:
perfusi miokard meningkat dengan criteria a. Periksa onset dan pemicu aritmia
hasil: b. Identifikasi jenis aritmia
a. Gambaran ECG aritmia menurun c. Monitor frekwensi dan durasi aritmia
b. Nyeri dada menurun d. Monitor keluhan nyeri dada
c. Diaphoresis menurun e. Monitor respon hemodinamik akibat aritmia
d. Mual menurun f. Monitor saturasi oksigen
e. Takikardi membaik g. Monitor kadar elektrolit
f. Tekanan darah membaik
g. CRT membaik T:
a. Berikan lingkungan yang tenang
b. Pasang monitor jantung
c. Rekam ECG 12 sadapan
d. Berikan oksigen sesuai indikasi
e. Pasang akses intra vena
E:
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
K:
a. Kolaborasi pemberian anti aritmia, jika perlu
b. Kolaborasi pemberian Kardioversi, jika perlu

5 Gangguan pertukaran gas Pertukaran gas Pemantauan respirasi


berhubungan dengan gagal Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam O:
jantung kongestif pertukaran gas meningkat dengan criteria a. Monitor frekwensi, irama, kedalaman, dan upaya
hasil: nafas
a. Tingkat kesadaran meningkat b. Monitor pola nafas
b. Dispnea menurun c. Auskultasi bunyi nafas
c. Pusing menurun d. Monitor saturasi oksigen
d. Diaforesis menurun e. Monitor AGB
e. Gelisah menurun f. Monitor hasil x-ray thorax
f. pCO2 membaik T:
g. pO2 membaik a. Atur interval pemantauan respirasi
h. pH arteri membaik b. Dokumentasikan hasil pemantauan
i. Takikardi membaik E: Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
j. Pola nafas membaik K:

Terapi Oksigen
O:
a. Monitor kecepatan aliran oksigen secara periodic
dan pastikan fraksi yang diberikan cukup
b. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
c. Monitor efektifitas terapi oksigen
T:
a. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan
tingkat mobilitas pasien
b. Berikan oksigen tambahan jika perlu
E: Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
oksigen
K: Kolaborasi penentuan dosis oksigen
4. Implementasi
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien sesuai sesuai
dengan rencana keperawatan yang telah dibuat. Dalam melaksanakan rencana
kegiatan tersebut harus diperlukan kerja sama dengan tim kesehatan lainnya,
keluarga, dan klien sendiri. Hal-hal yang harus diperhatikan:
a. Kebutuhan dasar klien
b. Dasar dari tindakan
c. Kemampuan perseorangan, keahlian, atau keterampilan dalam tindakan.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian keberhasilan rencana keperawatan dalam
memenuhi kebutuhan klien. Pada klien dengan STEMI dapat dinilai hasil
perawatan dari hasil catatan perkembangan, hasil pemeriksaan klien, melihat
langsung keadaan dan keluhan pasien, yang timbul sebagai masalah berat.
Evaluasi yang dilakukan merupakan tahap akhir dari setiap proses keperawatan
untuk menilai keefektifan dan keberhasilan dalam memberikan asuhan
keperawatan yang menggunakan metode SOAP (S : Subjektif, O : Objektif, A :
Analisa, dan P : Perencanaan).
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas
Nama : Tn. B
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No. Medrec : 142791
Tanggal Masuk : 25 September 2021
Kasus : ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)

2. Pengkajian Primer
Airway :
Tidak ada sumbatan pada jalan napas atau jalan napas bebas.

Breathing:
Tn. B tidak sesak, pergerakan dada simetris, frekuensi napas 20 kali/menit,
suara napas vesikuler, irama teratur, dan tidak terdapat penggunaan otot
tambahan.

Circulation :
Nadi 84 kali/menit, irama teratur, denyut nadi kuat, TD 110/70 mmHg,
ekstremitas dingin, pasien mengatakan nyeri dada, karakteristik nyeri
menyebar ke leher, CRT < 3 detik, tidak ada oedema, turgor kulit baik,
mukosa mulut kering.

Disability :
Tingkat kesadaran composmentis, GCS 15 (E: 4 M:6 V:5), pupil isokor, dan
reflek terhadap cahaya positif.
3. Secondary Survey
a. Tanda – tanda vital :
Nadi 84 kali/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, respirasi 20 kali/menit,
suhu 36,2 c.
b. Keluhan Utama dan Riwayat Kesehatan Saat Ini
Keluhan Utama:
Pasien mengatakan nyeri dada kiri sejak 2 jam sebelum masuk rumah
sakit, keringat dingin, mual, muntah, dan badan terasa letih.

Riwayat Kesehatan Sekarang:


Provokatif/Paliatif : Tn.B mengatakan dadanya terasa nyeri.
Quality : Tn. B mengatakan nyeri yang dirasakan seperti
ditusuk. Bertambah berat saat Tn. B
bergerak/beraktivitas.
Region : Tn. B mengatakan nyeri yang dirasakan di dada
menyebar ke leher.
Scale : Tn. B mengatakan skala nyeri yang dirasakan
adalah 8 (nyeri berat). Tn. B tampak meringis.
Time : Tn. B mengatakan nyeri dirasakan tiba-tiba saat
ia tidur, sehingga terbangun. Nyeri muncul terus
menerus. Dua hari sebelumnya Tn. B juga
merasakan nyeri yang sama, tetapi hilang
dengan sendirinya.

c. Pemeriksaan Fisik
Tn. B tampak pucat, letih, dan meringis. Tampak distensi vena
jongularis dan pembengkakan pada leher. Pergerakan dada simetris,
frekuensi napas 20 kali/menit, suara napas vesikuler, irama teratur, dan
tidak terdapat penggunaan otot tambahan. Bunyi jantung normal, tidak
terdengar bunyi jantung tambahan. Pasien mengatakan nyeri pada dada
sebelah kiri. Pada abdomen, tidak terdapat nyeri tekan, bising usus 15
kali/menit. Pada sistem Musculoskeletal : kekuatan otot 5, ADL
(Activity of Daily Living) dibantu oleh perawat dan keluarga.
d. Hasil Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan Hb 13,9 gr/dl, Leukosit
9540/mm, Trombosit 262000, Eritrosit 4.51, Hematokrit 41,5, GDR 96
mg/dl, Na 137 mmol/l, Ka 3,6 mmol/l, Cl 100 mmol/l. Hasil pemeriksaan
Tropinin I menunjukkan hasil >1 ng/ml (<0,04 ng/ml). Hasil
pemeriksaan EKG terdapat ST Elevasi pada lead II, V5, V6.

e. Program Terapi
Terapi yang diberika pad Tn. B selama di IGD yaitu IVFD Rl 5000 ml/24
jam, ISDN 5 mg, Aspilet 160 mg, CPG 300 mg, O2 3 liter/menit,
ondansentron 4 mg, NTG 5 mikto (1,5 cc/jam).
f. Analisa Data

Tabel 3.1 Analisa Data


No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1. Data Subjektif: Agen pencedera Nyeri Akut
a. Tn.B mengatakan dadanya fisiologis
terasa nyeri dan menjalar ke
leher.
b. Tn. B mengatakan nyeri yang
dirasakan seperti ditusuk dan
bertambah berat saat
beraktivitas.
c. Tn.B mengatakan nyeri yang
dirasakan muncul secara tiba-
tiba sehingga ia terbangun dari
tidur.

Data Objektif:
a. Skala nyeri 8 ( nyeri berat).
b. Tn. B tampak meringis.
c. TTV: Nadi 84 kali/menit, TD
110/70 mmHg, RR 20
kali/menit, Suhu 36,2 c.
d. Hasil EKG menunjukkan ST
Elevasi pada Lead II, V5, V6.
e. Troponin I > 1 ng/ml.
2. Data Subjektif: Ketidakseimbangan Intoleransi
a. Tn. B mengatakan badahnya antara suplai dan aktivitas
terasa letih. kebutuhan oksigen.
b. Tn. B mengatakan nyeri yang
dirasakan bertambah berat saat
beraktivitas.

Data Objektif:
a. Pasien tampak letih
b. Aktivitas pasien dibantu
keluarga.

ADA DATA
DIPENGKAJIAN

B. Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
C. Intervensi
Tabel 3.2 Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1 Nyeri akut berhubungan Tingkat Nyeri Manajemen nyeri
dengan agen pencedera Setelah dilakukan perawatan 1 x 24 jam O:
fisiologis. tingkat nyeri menurun dengan kriteria a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi,
hasil: kwalitas, intensitas
a. Keluhan nyeri menurun b. Identifikasi skala nyeri
b. Meringis menurun c. Identifikasi faktor yang memperberat dan
c. Gelisah menurun memperingan nyeri
d. Frekwensi nadi membaik d. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
e. Pola nafas membaik sudah diberikan
f. Tekanan darah membaik e. Monitor efek samping penggunaan analgesik
T:
a. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
b. Fasilitasi istirahat/tidur
c. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
E:
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri

K: Kolaborasi pemberian anagesik


Terapi Oksigen
O:
a. Monitor kecepatan aliran oksigen secara periodic
dan pastikan fraksi yang diberikan cukup
b. Monitor efektifitas terapi oksigen
T:
a. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan
tingkat mobilitas pasien
b. Berikan oksigen tambahan jika perlu

E: Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan


oksigen
K: Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2 Intoleransi aktivitas Toleransi aktifitas Manajemen energy
berhubungan dengan Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam O:
ketidakseimbangan antara toleransi aktifitas ekspektasi meningkat a. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
suplai dan kebutuhan
dengan kriteria standar: mngakibatkan kelelahan
oksigen.
a. Dispnea saat aktifitas menurun b. Monitor kelelahan fisik dan emosional
b. Dyspnea setelah aktifitas menurun c. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
c. Aritmia saat ktifitas menurun melakukan aktifitas
d. Sianosis menurun T:
e. Tekanan darah membaik a. Sediakan lingkungan yang nyaman
b. Berikan aktifitas distraksi yang menyenangkan
E:
a. Anjurkan tirah baring
b. Anjurkan melakukan aktifitas bertahap
c. Anjurkan menghubungi perawat bila tanda dan
gejala keklelahan tidak berkurang
K:
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara peningkatan
asupan makanan

D. Implementasi dan Evaluasi


Tabel 3.3 Catatan Perkembangan
No Hari/Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi
1. Sabtu/ 25 Nyeri akut berhubungan dengan a. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, Subjektif:
September 2021 agen pencedera fisiologis. durasi, frekwensi, kwalitas, intensitas Tn.B mengatakan nyeri dadanya
b. Mengidentifikasi skala nyeri sudah berkurang.
c. Mengidentifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan nyeri Objektif:
d. Mengontrol lingkungan yang a. Skala nyeri 3 ( nyeri ringan).
memperberat rasa nyeri b. Tn. B tampak sedikit rileks.
e. Mempertimbangkan jenis dan sumber c. TTV: Nadi 91 kali/menit, TD
nyeri dalam pemilihan strategi 110/70 mmHg, RR 20
meredakan nyeri kali/menit, Suhu 36,7 c.
f. Berkolaborasi dalam pemberian terapi
yaitu ISDN 5 mg, Aspilet 160 mg, CPG Analisa:
300 mg, O2 3 liter/menit, NTG 5 mikro Masalah teratasi sebagian
(1,5 cc/jam).
g. Berkolaborasi dalam pemberian terapi Planing:
oksigen 3 liter/menit Intervensi dilanjutkan.
2. Sabtu/ 25 Intoleransi aktivitas a. Memonitor kelelahan fisik dan Subjektif:
September 2021 berhubungan dengan emosional Tn. B mengatakan badahnya
ketidakseimbangan antara suplai b. Memonitor ketidaknyamanan selama masih terasa letih.
dan kebutuhan oksigen.
melakukan aktifitas
Objektif:
c. Sediakan lingkungan yang nyaman a. Pasien tampak letih
d. Menganjurkan pasien untuk tirah b. Aktivitas pasien dibantu
baring keluarga.
e. Menganjurkan melakukan aktifitas
bertahap Analisa:
Masalah belum teratasi

Planing:
Intervensi dilanjutkan.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pengkajian
Dari hasil pengkajian pada Tn. B usia 18 Tahun didapatkan hasil: Tn. B
mengatakan nyeri dada kiri menjalar ke leher sejak 2 jam sebelum masuk
rumah sakit, keringat dingin, mual, muntah, dan badan terasa letih. Ekstremitas
pasien teraba dingin dan distensi vena jogularis. Hasil pemeriksaan Tropinin I
menunjukkan hasil >1 ng/ml (<0,04 ng/ml). Hasil pemeriksaan EKG terdapat
ST Elevasi pada lead II, V5, V6. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Black & Hawks (2014) yang mengatakan bahwa tanda dan gejala yang
dirasakan pada pasien STEMI adalah nyeri dada sentral yang berat terjadi
secara mendadak dan terus menerus tidak mereda, biasanya dirasakan diatas
region sternal bawah dan abdomen bagian atas, seperti rasa terbakar, ditindih
benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung
lebih dari 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Nyeri dapat
menjalar ke arah rahang dan leher. Gejala yang menyertai yaitu berkeringat,
pucat, mual, sulit bernapas, cemas dan lemas. Ekstremitas yang teraba dingin,
perspirasi, rasa cemas dan gelisah akibat pelepasan katekolamin. Keletihan dan
rasa lemah akibat penurunan perfusi darah ke otot rangka. Nausea dan vomitus
akibat stimulasi yang bersifat refleks pada pusat muntah oleh serabut saraf
nyeri atau akibat refleks vasovagal. Distensi vena jugularis yang
mencerminkan disfungsi ventrikel kanan dan kongesti paru.

B. Diagnosa
Menurut Bruner & Suddarth (2014) diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien dengan ST Elevasi Miokard Infark adalah: nyeri akut berhubungan
dengan sindroma koroner akut, penurunan curah jantung berhubungan dengan
penurunan afterload, risiko perfusi miocard tidak efektif, intoleransi aktivitas
berhubungan Penyakit jantung koroner, gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan gagal jantung kongestif.
Pada kasus penulis hanya menegakkan diagnosa Nyeri akut berhubungan
dengan agen pencedera fisiologis dan Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Diagnosa nyeri akut
ditegakan berdasarkan data yang didapatkan yaitu Tn.B mengatakan dadanya
terasa nyeri dan menjalar ke leher, Tn. B mengatakan nyeri yang dirasakan
seperti ditusuk dan bertambah berat saat beraktivitas, Tn.B mengatakan nyeri
yang dirasakan muncul secara tiba-tiba sehingga ia terbangun dari tidur, Skala
nyeri 8 (nyeri berat), Tn. B tampak meringis, TTV: Nadi 84 kali/menit, TD
110/70 mmHg, RR 20 kali/menit, Suhu 36,2 c, Hasil EKG menunjukkan ST
Elevasi pada Lead II, V5, V6, Troponin I > 1 ng/ml.
Penulis tidak menegakkan diagnosa keperawatan penurunan curah
jantung berhubungan dengan penurunan afterload, risiko perfusi miocard tidak
efektif, gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gagal jantung kongestif.
Hal ini dikarenakan tidak didapat data yang mendukung untuk menegakkan
diagnosa tersebut pada saat pengkajian.

C. Intervensi
Menurut PPNI (2016) Intervensi keperawatan adalah segala treatment
yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan. Tahap
perencanaan dapat disebut sebagai inti atau pokok dari proses keperawatan
sebab perencanaan merupakan keputusan awal yang memberi arah bagi
tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan, termasuk bagaimana,
kapan, dan siapa yang akan melakukan tindakan keperawatan.
Adapun intervensi keperawatan pada diagnosa keperawatan nyeri
akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis yaitu Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi, frekwensi, kwalitas, intensitas, identifikasi skala nyeri,
identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri, monitor
keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan, monitor efek samping
penggunaan analgesik, kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri,
fasilitasi istirahat/tidur, fertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri, jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri,
jelaskan strategi meredakan nyeri, anjurkan memonitor nyeri secara mandiri,
dan kolaborasi pemberian anagesik.
Sedangkan pada diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen adalah
Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mngakibatkan kelelahan, monitor
kelelahan fisik dan emosional, monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktifitas, sediakan lingkungan yang nyaman, makukan rentang
gerak pasif/aktif, merikan aktifitas distraksi yang menyenangkan, anjurkan
tirah baring, anjurkan melakukan aktifitas bertahap, anjurkan menghubungi
perawat bila tanda dan gejala keklelahan tidak berkurang, dan kolaborasi
dengan ahli gizi tentang cara peningkatan asupan makanan.

D. Implementasi
Menurut PPNI (2016) Implementasi keperawatan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah
status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Ukuran implementasi
keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan,
pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-
keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul
dikemudian hari.
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada Tn. B dilakukan pada
tanggal 25 September 2021. Implementasi dilakukan sesuai dengan
intervensi yang dibuat dan di sesuaikan dengan masalah keperawatan yang
ditemukan pada klien. Pada diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan
dengan agen pencedera fisiologis implementasi yang dilakukan adalah
mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi, kwalitas, intensitas,
mengidentifikasi skala nyeri, mengidentifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri, mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri,
mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri, berkolaborasi dalam pemberian terapi yaitu ISDN 5 mg,
Aspilet 160 mg, CPG 300 mg, O2 3 liter/menit, NTG 5 mikro (1,5 cc/jam),
dan berkolaborasi dalam pemberian terapi oksigen 3 liter/menit. Sedangkan
pada diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen implementasi yang
dilakukan adalah Memonitor kelelahan fisik dan emosional, memonitor
ketidaknyamanan selama melakukan aktifitas, menyediakan lingkungan yang
nyaman, menganjurkan pasien untuk tirah baring, dan menganjurkan
melakukan aktifitas bertahap.
Pada saat dilakukan implementasi keperawatan tidak semua rencana
tindakan yang telah disusun dapat penulis implementasikan pada pasien.
Hal ini dikarenakan kondisi pasien gawat darurat yang harus ditangani
secara cepat dan tepat. Sehingga penulis hanya mengimplementasikan
intervensi yang dapat segera mengatasi masalah keperawatan pada pasien.

E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses
keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang
telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan
mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan
yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Penilaian adalah tahap
yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu berkaitan dengan
tujuan yaitu pada komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi
dan tanda gejala yang spesifik (PPNI, 2016).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gawat darurat pada Tn.B,
masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis teratasi sebagian. Dimana pada saat evaluasi didapatkan data
Tn.B mengatakan nyeri dadanya sudah berkurang, skala nyeri 3 ( nyeri ringan),
Tn. B tampak sedikit rileks, dan hasil TTV: Nadi 91 kali/menit, TD 110/70
mmHg, RR 20 kali/menit, Suhu 36,7 c. Sedangkan diagnosa keperawatan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen tidak teratasi. Dimana pada saat evaluasi didapatkan data
Tn. B mengatakan badahnya masih terasa letih, pasien tampak letih, aktivitas
pasien dibantu keluarga.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pada tahap pengkajian keperawatan pada Tn. B didapatkan hasil: Tn. B
mengatakan nyeri dada kiri menjalar ke leher sejak 2 jam sebelum masuk
rumah sakit, keringat dingin, mual, muntah, dan badan terasa letih.
Ekstremitas pasien teraba dingin dan distensi vena jogularis. Hasil
pemeriksaan Tropinin I menunjukkan hasil >1 ng/ml (<0,04 ng/ml). Hasil
pemeriksaan EKG terdapat ST Elevasi pada lead II, V5, V6.
2. Setelah dilakukan pengkajian dan analisa data Tn.B didapatkan dua
diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis dan intolerasi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
3. Adapun intervensi keperawatan pada diagnosa keperawatan nyeri akut
berhubungan dengan agen pencedera fisiologis yaitu Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi, frekwensi, kwalitas, intensitas, identifikasi skala nyeri,
identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri, monitor
keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan, monitor efek
samping penggunaan analgesik, kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri, fasilitasi istirahat/tidur, fertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri, jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri, jelaskan strategi meredakan nyeri, anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri, dan kolaborasi pemberian anagesik. Sedangkan pada
diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen adalah Identifikasi
gangguan fungsi tubuh yang mngakibatkan kelelahan, monitor kelelahan
fisik dan emosional, monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktifitas, sediakan lingkungan yang nyaman, makukan rentang
gerak pasif/aktif, merikan aktifitas distraksi yang menyenangkan, anjurkan
tirah baring, anjurkan melakukan aktifitas bertahap, anjurkan menghubungi
perawat bila tanda dan gejala keklelahan tidak berkurang, dan kolaborasi
dengan ahli gizi tentang cara peningkatan asupan makanan.
4. Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang dibuat dan di
sesuaikan dengan masalah keperawatan yang ditemukan pada klien.
Pada saat dilakukan implementasi keperawatan tidak semua rencana
tindakan yang telah disusun dapat penulis implementasikan pada pasien.
Hal ini dikarenakan kondisi pasien gawat darurat yang harus ditangani
secara cepat dan tepat. Sehingga penulis hanya mengimplementasikan
intervensi yang dapat segera mengatasi masalah keperawatan pada
pasien.
5. Setelah dilakukan tindakan keperawatan gawat darurat pada Tn.B,
masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis teratasi sebagian. Sedangkan diagnosa keperawatan intolerasi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.

B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dengan adanya studi kasus ini, dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran bagi mahasiswa/i di kampus Institut Kesehatan Prima
Nusantara Bukittinggi, khususnya pada pembelajaran tentang asuhan
keperawatan gawat darurat.
2. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dengan adanya studi kasus ini, dapat dijadikan sebagai
bahan masukan dan bahan evalusi yang diperlukan dalam pemberian
asuhan keperawatan di Instalasi Gawat Darurat.
3. Bagi Perawat
Diharapkan dengan adanya studi kasus ini, dapat dijadikan sebagai
acuan untuk meningkatkan mutu pemberian asuhan keperawatan pada
kasus ST Elevasi Miokard Infark.
DAFTAR PUSTAKA

Blak, Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinik Untuk


Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Emban Patria.
Bruner, Sudarth. 2014. Keperawatan Medikal Bedah (12th Ed; Eka Anisa,
Mardela, Ed). Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2019. Laporan Provinsi Sumatera Barat Riskesdas 2018. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kemenkes RI. 2019. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC
TIM Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1. Jakarta: PPNI
TIM Pokja SIKI DPP PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1. Jakarta: PPNI
Ulinnuha. 2016. Perbedaan Profil Lipid Pada Pasien STEMI dan Non STEMI di
RSUD Yogyakarta (Skripsi). Yogyakarta: Universitas Aisyiyah Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai