B
DENGAN ST ELEVASI MIOKARD (STEMI) DI IGD
RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. M. HATTA
BUKITTINGGI
DISUSUN OLEH:
CITRA RESKI
NAILIL AZIMAH
NANCY HENDRI
NEVI PERMATA SARI
SOLIMAN NUR SETIA
A. Latar Belakang
Penyakit jantung merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan
penyebab nomor satu kematian di dunia. Penyakit infark miokard
merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot
jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan kororner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari
pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Bruner
& Suddarth, 2014).
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2016 menyebutkan,
lebih dari 17 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan
pembuluh darah. Atau sekitar 31% dari seluruh kematian di dunia, sebagian
besar atau sekira 8,7 juta kematian disebabkan oleh karena penyakit
jantung koroner. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
menunjukkan bahwa sebesar 1,5% atau 15 dari 1.000 penduduk Indonesia
menderita penyakit jantung koroner. Sedangkan di Sumatera Barat
pravelensi penyakit jantung koroner sebesar 1,6% (Kemenkes RI, 2019).
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan salah satu masalah
kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia. STEMI
mempunyai gejala khas yang berkaitan erat dengan hasil EKG yaitu elevasi
segmen ST yang persisten. Data menunjukkan bahwa mortalitas akibat STEMI
sering terjadi dalam 24-48 jam pasca onset dan 30 hari setelah serangan adalah
30% (Brunner & Suddarth, 2013).
STEMI disebabkan oleh adanya aterosklerotik pada arteri koroner atau
penyebab lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen miokardium. Pada kondisi awal akan
terjadi iskemia miokardium, namun bila tidak dilakukan tindakan reperfusi
segera maka akan menimbulkan nekrosis miokard yang bersifat irreversible.
Komplikasi yang biasa terjadi pada penderita STEMI yaitu adanya remodelling
ventrikel yang pada akhirnya akan mengakibatkan shock kardiogenik, gagal
jantung kongestif, serta disritmia ventrikel yang bersifat lethal aritmia.
Diagnosis awal yang cepat dan penanganan yang tepat setelah pasien tiba di
ruang IGD dapat mencegah kerusakan miokardial yang besar serta mengurangi
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien sehingga menurunkan risiko
kematian. Pencegahan keterlambatan dalam penanganan STEMI sangat penting
di fase awal yaitu saat pasien mengalami nyeri dada yang hebat. Defibrillator
harus tersedia, pemberian terapi pada tahap awal terutama terapi reperfusi
(PERKI, 2015).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat Pada Tn. B Dengan STEMI” adalah agar
penulis dapat memahami dan mampu menerapkan asuhan keperawatan pada
pasien STEMI menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini diharapkan penulis
mampu:
a. Melakukan pengkajian pada Tn. B dengan STEMI di Instalasi Gawat
Darurat RSOMH Bukittinggi.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. B dengan STEMI di
Instalasi Gawat Darurat RSOMH Bukittinggi.
c. Menyusun rencana tindakan pada Tn. B dengan STEMI di Instalasi
Gawat Darurat RSOMH Bukittinggi.
d. Mengimplementasikan rencana keperawatan pada Tn. B dengan STEMI
di Instalasi Gawat Darurat RSOMH Bukittinggi.
e. Mengevaluasi tindakan keperawatan pada Tn. B dengan STEMI di
Instalasi Gawat Darurat RSOMH Bukittinggi
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ
pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia
antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat
lima kali lipat.
2) Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita pre- menopause kecuali
jika terdapat diabetes, hiperlipidemia dan hipertensi berat. Setelah
menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan
atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan
dengan pria. Hal ini diperkirakan merupakan pengaruh dari hormone
estrogen.
3) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50
tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.
b. Faktor yang dapat diubah
1) Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan tingginya kolesterol dengan kejadian
penyakit arteri koroner memiliki hubungan yang erat. Lemak yang
tidak larut dalam air terikat dengan lipoprotein yang larut dengan air
yang memungkinkannya dapat diangkut dalam sistem peredaran
darah. Tiga komponen metabolisme lemak, kolesterol total,
lipoprotein densitas renah (low density lipoprotein) dan lipoprotein
densitas tinggi (high density lipoprotein). Peningkatan kolesterol Low
Density Lipoprotein (LDL) dihubungkan dengan meningkatnya risiko
koronaria dan mempercepat proses arterosklerosis. Sedangkan kadar
kolesterol High Density Lipoprotein (HDL) yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria dengan
cara mengangkut LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan kemudian
diekskresi.
2) Hipertensi
3) Merokok
4) Diabetes Mellitus
5) Stress Psikologik
Terapi Oksigen
O:
a. Monitor kecepatan aliran oksigen secara periodic
dan pastikan fraksi yang diberikan cukup
b. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
c. Monitor efektifitas terapi oksigen
T:
a. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan
tingkat mobilitas pasien
b. Berikan oksigen tambahan jika perlu
E: Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
oksigen
K: Kolaborasi penentuan dosis oksigen
4. Implementasi
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien sesuai sesuai
dengan rencana keperawatan yang telah dibuat. Dalam melaksanakan rencana
kegiatan tersebut harus diperlukan kerja sama dengan tim kesehatan lainnya,
keluarga, dan klien sendiri. Hal-hal yang harus diperhatikan:
a. Kebutuhan dasar klien
b. Dasar dari tindakan
c. Kemampuan perseorangan, keahlian, atau keterampilan dalam tindakan.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian keberhasilan rencana keperawatan dalam
memenuhi kebutuhan klien. Pada klien dengan STEMI dapat dinilai hasil
perawatan dari hasil catatan perkembangan, hasil pemeriksaan klien, melihat
langsung keadaan dan keluhan pasien, yang timbul sebagai masalah berat.
Evaluasi yang dilakukan merupakan tahap akhir dari setiap proses keperawatan
untuk menilai keefektifan dan keberhasilan dalam memberikan asuhan
keperawatan yang menggunakan metode SOAP (S : Subjektif, O : Objektif, A :
Analisa, dan P : Perencanaan).
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Identitas
Nama : Tn. B
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No. Medrec : 142791
Tanggal Masuk : 25 September 2021
Kasus : ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)
2. Pengkajian Primer
Airway :
Tidak ada sumbatan pada jalan napas atau jalan napas bebas.
Breathing:
Tn. B tidak sesak, pergerakan dada simetris, frekuensi napas 20 kali/menit,
suara napas vesikuler, irama teratur, dan tidak terdapat penggunaan otot
tambahan.
Circulation :
Nadi 84 kali/menit, irama teratur, denyut nadi kuat, TD 110/70 mmHg,
ekstremitas dingin, pasien mengatakan nyeri dada, karakteristik nyeri
menyebar ke leher, CRT < 3 detik, tidak ada oedema, turgor kulit baik,
mukosa mulut kering.
Disability :
Tingkat kesadaran composmentis, GCS 15 (E: 4 M:6 V:5), pupil isokor, dan
reflek terhadap cahaya positif.
3. Secondary Survey
a. Tanda – tanda vital :
Nadi 84 kali/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, respirasi 20 kali/menit,
suhu 36,2 c.
b. Keluhan Utama dan Riwayat Kesehatan Saat Ini
Keluhan Utama:
Pasien mengatakan nyeri dada kiri sejak 2 jam sebelum masuk rumah
sakit, keringat dingin, mual, muntah, dan badan terasa letih.
c. Pemeriksaan Fisik
Tn. B tampak pucat, letih, dan meringis. Tampak distensi vena
jongularis dan pembengkakan pada leher. Pergerakan dada simetris,
frekuensi napas 20 kali/menit, suara napas vesikuler, irama teratur, dan
tidak terdapat penggunaan otot tambahan. Bunyi jantung normal, tidak
terdengar bunyi jantung tambahan. Pasien mengatakan nyeri pada dada
sebelah kiri. Pada abdomen, tidak terdapat nyeri tekan, bising usus 15
kali/menit. Pada sistem Musculoskeletal : kekuatan otot 5, ADL
(Activity of Daily Living) dibantu oleh perawat dan keluarga.
d. Hasil Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan Hb 13,9 gr/dl, Leukosit
9540/mm, Trombosit 262000, Eritrosit 4.51, Hematokrit 41,5, GDR 96
mg/dl, Na 137 mmol/l, Ka 3,6 mmol/l, Cl 100 mmol/l. Hasil pemeriksaan
Tropinin I menunjukkan hasil >1 ng/ml (<0,04 ng/ml). Hasil
pemeriksaan EKG terdapat ST Elevasi pada lead II, V5, V6.
e. Program Terapi
Terapi yang diberika pad Tn. B selama di IGD yaitu IVFD Rl 5000 ml/24
jam, ISDN 5 mg, Aspilet 160 mg, CPG 300 mg, O2 3 liter/menit,
ondansentron 4 mg, NTG 5 mikto (1,5 cc/jam).
f. Analisa Data
Data Objektif:
a. Skala nyeri 8 ( nyeri berat).
b. Tn. B tampak meringis.
c. TTV: Nadi 84 kali/menit, TD
110/70 mmHg, RR 20
kali/menit, Suhu 36,2 c.
d. Hasil EKG menunjukkan ST
Elevasi pada Lead II, V5, V6.
e. Troponin I > 1 ng/ml.
2. Data Subjektif: Ketidakseimbangan Intoleransi
a. Tn. B mengatakan badahnya antara suplai dan aktivitas
terasa letih. kebutuhan oksigen.
b. Tn. B mengatakan nyeri yang
dirasakan bertambah berat saat
beraktivitas.
Data Objektif:
a. Pasien tampak letih
b. Aktivitas pasien dibantu
keluarga.
ADA DATA
DIPENGKAJIAN
B. Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
C. Intervensi
Tabel 3.2 Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1 Nyeri akut berhubungan Tingkat Nyeri Manajemen nyeri
dengan agen pencedera Setelah dilakukan perawatan 1 x 24 jam O:
fisiologis. tingkat nyeri menurun dengan kriteria a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi,
hasil: kwalitas, intensitas
a. Keluhan nyeri menurun b. Identifikasi skala nyeri
b. Meringis menurun c. Identifikasi faktor yang memperberat dan
c. Gelisah menurun memperingan nyeri
d. Frekwensi nadi membaik d. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
e. Pola nafas membaik sudah diberikan
f. Tekanan darah membaik e. Monitor efek samping penggunaan analgesik
T:
a. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
b. Fasilitasi istirahat/tidur
c. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
E:
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Planing:
Intervensi dilanjutkan.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
Dari hasil pengkajian pada Tn. B usia 18 Tahun didapatkan hasil: Tn. B
mengatakan nyeri dada kiri menjalar ke leher sejak 2 jam sebelum masuk
rumah sakit, keringat dingin, mual, muntah, dan badan terasa letih. Ekstremitas
pasien teraba dingin dan distensi vena jogularis. Hasil pemeriksaan Tropinin I
menunjukkan hasil >1 ng/ml (<0,04 ng/ml). Hasil pemeriksaan EKG terdapat
ST Elevasi pada lead II, V5, V6. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Black & Hawks (2014) yang mengatakan bahwa tanda dan gejala yang
dirasakan pada pasien STEMI adalah nyeri dada sentral yang berat terjadi
secara mendadak dan terus menerus tidak mereda, biasanya dirasakan diatas
region sternal bawah dan abdomen bagian atas, seperti rasa terbakar, ditindih
benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung
lebih dari 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Nyeri dapat
menjalar ke arah rahang dan leher. Gejala yang menyertai yaitu berkeringat,
pucat, mual, sulit bernapas, cemas dan lemas. Ekstremitas yang teraba dingin,
perspirasi, rasa cemas dan gelisah akibat pelepasan katekolamin. Keletihan dan
rasa lemah akibat penurunan perfusi darah ke otot rangka. Nausea dan vomitus
akibat stimulasi yang bersifat refleks pada pusat muntah oleh serabut saraf
nyeri atau akibat refleks vasovagal. Distensi vena jugularis yang
mencerminkan disfungsi ventrikel kanan dan kongesti paru.
B. Diagnosa
Menurut Bruner & Suddarth (2014) diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien dengan ST Elevasi Miokard Infark adalah: nyeri akut berhubungan
dengan sindroma koroner akut, penurunan curah jantung berhubungan dengan
penurunan afterload, risiko perfusi miocard tidak efektif, intoleransi aktivitas
berhubungan Penyakit jantung koroner, gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan gagal jantung kongestif.
Pada kasus penulis hanya menegakkan diagnosa Nyeri akut berhubungan
dengan agen pencedera fisiologis dan Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Diagnosa nyeri akut
ditegakan berdasarkan data yang didapatkan yaitu Tn.B mengatakan dadanya
terasa nyeri dan menjalar ke leher, Tn. B mengatakan nyeri yang dirasakan
seperti ditusuk dan bertambah berat saat beraktivitas, Tn.B mengatakan nyeri
yang dirasakan muncul secara tiba-tiba sehingga ia terbangun dari tidur, Skala
nyeri 8 (nyeri berat), Tn. B tampak meringis, TTV: Nadi 84 kali/menit, TD
110/70 mmHg, RR 20 kali/menit, Suhu 36,2 c, Hasil EKG menunjukkan ST
Elevasi pada Lead II, V5, V6, Troponin I > 1 ng/ml.
Penulis tidak menegakkan diagnosa keperawatan penurunan curah
jantung berhubungan dengan penurunan afterload, risiko perfusi miocard tidak
efektif, gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gagal jantung kongestif.
Hal ini dikarenakan tidak didapat data yang mendukung untuk menegakkan
diagnosa tersebut pada saat pengkajian.
C. Intervensi
Menurut PPNI (2016) Intervensi keperawatan adalah segala treatment
yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan. Tahap
perencanaan dapat disebut sebagai inti atau pokok dari proses keperawatan
sebab perencanaan merupakan keputusan awal yang memberi arah bagi
tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan, termasuk bagaimana,
kapan, dan siapa yang akan melakukan tindakan keperawatan.
Adapun intervensi keperawatan pada diagnosa keperawatan nyeri
akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis yaitu Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi, frekwensi, kwalitas, intensitas, identifikasi skala nyeri,
identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri, monitor
keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan, monitor efek samping
penggunaan analgesik, kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri,
fasilitasi istirahat/tidur, fertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri, jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri,
jelaskan strategi meredakan nyeri, anjurkan memonitor nyeri secara mandiri,
dan kolaborasi pemberian anagesik.
Sedangkan pada diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen adalah
Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mngakibatkan kelelahan, monitor
kelelahan fisik dan emosional, monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktifitas, sediakan lingkungan yang nyaman, makukan rentang
gerak pasif/aktif, merikan aktifitas distraksi yang menyenangkan, anjurkan
tirah baring, anjurkan melakukan aktifitas bertahap, anjurkan menghubungi
perawat bila tanda dan gejala keklelahan tidak berkurang, dan kolaborasi
dengan ahli gizi tentang cara peningkatan asupan makanan.
D. Implementasi
Menurut PPNI (2016) Implementasi keperawatan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah
status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Ukuran implementasi
keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan,
pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-
keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul
dikemudian hari.
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada Tn. B dilakukan pada
tanggal 25 September 2021. Implementasi dilakukan sesuai dengan
intervensi yang dibuat dan di sesuaikan dengan masalah keperawatan yang
ditemukan pada klien. Pada diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan
dengan agen pencedera fisiologis implementasi yang dilakukan adalah
mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi, kwalitas, intensitas,
mengidentifikasi skala nyeri, mengidentifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri, mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri,
mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri, berkolaborasi dalam pemberian terapi yaitu ISDN 5 mg,
Aspilet 160 mg, CPG 300 mg, O2 3 liter/menit, NTG 5 mikro (1,5 cc/jam),
dan berkolaborasi dalam pemberian terapi oksigen 3 liter/menit. Sedangkan
pada diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen implementasi yang
dilakukan adalah Memonitor kelelahan fisik dan emosional, memonitor
ketidaknyamanan selama melakukan aktifitas, menyediakan lingkungan yang
nyaman, menganjurkan pasien untuk tirah baring, dan menganjurkan
melakukan aktifitas bertahap.
Pada saat dilakukan implementasi keperawatan tidak semua rencana
tindakan yang telah disusun dapat penulis implementasikan pada pasien.
Hal ini dikarenakan kondisi pasien gawat darurat yang harus ditangani
secara cepat dan tepat. Sehingga penulis hanya mengimplementasikan
intervensi yang dapat segera mengatasi masalah keperawatan pada pasien.
E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses
keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang
telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan
mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan
yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Penilaian adalah tahap
yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu berkaitan dengan
tujuan yaitu pada komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi
dan tanda gejala yang spesifik (PPNI, 2016).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gawat darurat pada Tn.B,
masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis teratasi sebagian. Dimana pada saat evaluasi didapatkan data
Tn.B mengatakan nyeri dadanya sudah berkurang, skala nyeri 3 ( nyeri ringan),
Tn. B tampak sedikit rileks, dan hasil TTV: Nadi 91 kali/menit, TD 110/70
mmHg, RR 20 kali/menit, Suhu 36,7 c. Sedangkan diagnosa keperawatan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen tidak teratasi. Dimana pada saat evaluasi didapatkan data
Tn. B mengatakan badahnya masih terasa letih, pasien tampak letih, aktivitas
pasien dibantu keluarga.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada tahap pengkajian keperawatan pada Tn. B didapatkan hasil: Tn. B
mengatakan nyeri dada kiri menjalar ke leher sejak 2 jam sebelum masuk
rumah sakit, keringat dingin, mual, muntah, dan badan terasa letih.
Ekstremitas pasien teraba dingin dan distensi vena jogularis. Hasil
pemeriksaan Tropinin I menunjukkan hasil >1 ng/ml (<0,04 ng/ml). Hasil
pemeriksaan EKG terdapat ST Elevasi pada lead II, V5, V6.
2. Setelah dilakukan pengkajian dan analisa data Tn.B didapatkan dua
diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis dan intolerasi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
3. Adapun intervensi keperawatan pada diagnosa keperawatan nyeri akut
berhubungan dengan agen pencedera fisiologis yaitu Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi, frekwensi, kwalitas, intensitas, identifikasi skala nyeri,
identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri, monitor
keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan, monitor efek
samping penggunaan analgesik, kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri, fasilitasi istirahat/tidur, fertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri, jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri, jelaskan strategi meredakan nyeri, anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri, dan kolaborasi pemberian anagesik. Sedangkan pada
diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen adalah Identifikasi
gangguan fungsi tubuh yang mngakibatkan kelelahan, monitor kelelahan
fisik dan emosional, monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktifitas, sediakan lingkungan yang nyaman, makukan rentang
gerak pasif/aktif, merikan aktifitas distraksi yang menyenangkan, anjurkan
tirah baring, anjurkan melakukan aktifitas bertahap, anjurkan menghubungi
perawat bila tanda dan gejala keklelahan tidak berkurang, dan kolaborasi
dengan ahli gizi tentang cara peningkatan asupan makanan.
4. Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang dibuat dan di
sesuaikan dengan masalah keperawatan yang ditemukan pada klien.
Pada saat dilakukan implementasi keperawatan tidak semua rencana
tindakan yang telah disusun dapat penulis implementasikan pada pasien.
Hal ini dikarenakan kondisi pasien gawat darurat yang harus ditangani
secara cepat dan tepat. Sehingga penulis hanya mengimplementasikan
intervensi yang dapat segera mengatasi masalah keperawatan pada
pasien.
5. Setelah dilakukan tindakan keperawatan gawat darurat pada Tn.B,
masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis teratasi sebagian. Sedangkan diagnosa keperawatan intolerasi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dengan adanya studi kasus ini, dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran bagi mahasiswa/i di kampus Institut Kesehatan Prima
Nusantara Bukittinggi, khususnya pada pembelajaran tentang asuhan
keperawatan gawat darurat.
2. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dengan adanya studi kasus ini, dapat dijadikan sebagai
bahan masukan dan bahan evalusi yang diperlukan dalam pemberian
asuhan keperawatan di Instalasi Gawat Darurat.
3. Bagi Perawat
Diharapkan dengan adanya studi kasus ini, dapat dijadikan sebagai
acuan untuk meningkatkan mutu pemberian asuhan keperawatan pada
kasus ST Elevasi Miokard Infark.
DAFTAR PUSTAKA