Anda di halaman 1dari 355

INSPIRED BY A TRUE STORY

ua a
Kisah seorvurg manusia �jalan hidupnya

"Mualaf adalah kisah menakjubkan tentang perjalanan psikologis dan spiritual


dari seorang pemuda lnggrls yang akhirnya menganut agama Islam. Setelah
mengalami hidup penuh gejolak selama masa muda dengan keluarga yang
berantakan, narkoba dan alkohol, serta hubungan seksual tanpa ikatan, sang
pemuda akhirnya tiba di Indonesia dan tertarik pada agama Islam. Bukan
tanpa diskusi dan argumen keagamaan, dia akhirnya menerlma Islam sebagai
jalan Jurus (al-Sirat al-Mustaqim). Kisah ini pasti akan memperkaya iman siapa
pun yang mencari jalan Jurus dalam dunia yang penuh gejolak."

-AZYUMARDI AZRA, CBE;


Profesor Sejarah; Direktur Pascasarjana
Universitas Islam Negeri, Jakarta, Indonesia
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Clpta


Pasal 2:
I. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara oto­
matis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana:
Pasal 72
I. Barangslapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (I) atau Pasal 49 Ayat (I) dan Ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat I (satu) bulan
danfatau denda paling sediklt Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun danfatau denda paling banyak
RpS.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, mernamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak clpta
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (I) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun danfatau denda paling banyak RpS00.000.000,00 (lima
raws juta rupiah).
]oHNM1cHAELSON

INSPIRED BY A TRUE STORY

ua a
Kisah seorang manusia menemukanjalan hidupnya

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

if;, •
• �- -:
.f l l:&Mi
" :
'
U . .
, . '.
. ·· .

:
.::. "' - -··�- r. .:..
.. -·�--
:

' ·''··-.
:.
_,_._ .. v- ...
-· .

·
MUALAF

oleh John M ichaelson

GM 401 01 14 0045

© Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5
JI. Palmerah Barat 29-33, Jakarta I 0270

Penerjemah: Barokah Ruziati


Editor: Fair Measure
Desain sampul: Marcel AW.

Diterbitkan pertama kali oleh


Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN: 978 - 602 - 03 - 0417 - 5

352 him; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia. Jakarta


lsi di luar tanggung jawab Percetakan
�ku /ahir pada akhir tahun 1970-an di kota pinggir taut di ba­
rat daya lnggris. Ayahku seorang pelaut yang beketja di kapal da­
gang dan ibuku seorang praktisi perawat Perkawinan mereka tidak
bahagia dan saat umurku tiga tahun perkawinan itu mulai goyah.
Kami pindah ke rumah yang sangat besar di pinggiran kota dengan
lima kamar tidur dan tiga kamar mandi, memberi mereka ruang
yang cukup untuk menghindar satu sama lain. Rumah itu dilengkapi
satu ekar taman di bagian be/akang, dengan pagar koyu tinggi serta
sebaris pohon ape/ yang tak pernah berbuah.
Ayahku membeli mobil-mobil bertenaga besar dan di waktu
luangnya dia senang mendaki perbukitan berbatu di padang berum­
put di sebelah utara rumah kami. Dia sering memarahi ibuku
karena terlalu takut untuk mengendarai mobil-mobil itu atau meng­
ikutinya mendaki perbukitan. Situasi tersebut ber/aku untuk banyak
ha/ hingga akhirnya /bu se/alu takut dan Ayah se/alu marah. Maka
mereka bercerai dan selama beberapa waktu ibuku dan aku tinggal
bersama kakek-nenekku.
lni masa-masa sulit bagi semua orang yang terlibat. Kedua
orangtuaku merasa sangat gaga/ sebab ketika itu perceraian be/um
menjadi sesuatu yang populer. Ayahku bersikap sangat getir meng­
hadapi seluruh persoa/an tersebut dan mengembangkan kebiasaan
untuk menya/ahkan /bu serta ke/uarganya. lbuku menya/ahkan diri
sendiri karena tak mampu mempertahankan perkawinan. Semen­
tara kakek-nenekku, walaupun mereka pasti tak setuju, tidak me­
nya/ahkan siapa pun. Mereka orang-orang yang terlalu rasional
untuk membuang waktu dengan omong kosong semacam itu.
Tak banyak yang dapat diceritakan mengenai maso-masa awal
ini. Aku ingat pindah ke apartemen ked/ bersama ibuku dan be­
tapa tempat tersebut begitu membekukan di musim dingin. Suatu
kali aku berbuat nakal dan /bu mengancam akan memukul kedua
kakiku. Aku mempersilakannya, kubilang aku tak peduli. Dan se­
waktu dia melakukannya, bisa kulihat dari wajahnya bahwa dia
jauh lebih terluka dibandingkan aku. /tu satu dari segelintir ke­
jadian ketika aku sengaja menyakitinya.
Pekerjaan ayahku mengharuskannya pergi berbulan-bulan seka/i­
gus don soot dia kembali, ka/au sedang libur sekofah, aku tinggal
bersamanya. Dia menetap di luar kota dalam sebuah kompleks
apartemen yang terpendl dan sangat eksk/usif. Kou bisa melempar
batu ke lout dari balkonnya don kola badai mendera, angin me­
lontarkan perdkan air bergaram ke jende/a. Kami biasanya beper­
gian dengan mobil bertenaga besarnya atau berjalan-jalan menyu­
suri pantai, mencari harta karun.
Soot umurku tujuh tahun, /bu menikah dengan seorang pria
bernama Mike dan kami pindah ke rumahnya yang terletak di
sebelah barat kota. Sebuah rumah dupleks dengan ha/aman depan
don belakang yang sebelumnya dia tempati bersama istri serta

8
kedua anaknya sebelum wanita itu melarikan diri untuk hidup ber­
sama pria lain. Rumah itu seolah dipenuhi kekecewaan dan setiap
akhir pekan anak-anaknya datang untuk menginap, dan kami tak
ter/alu soling menyukai.
Seperti itu/ah keadaannya se/ama empat tahun berikutnya. Aku
be/ajar di sekolah setempat dan berteman dengan anak-anak di
lingkungan tersebut Cerdas tanpa menjadi yang paling cemerlang,
pandai dalam olahraga tapi tak menekuni bidang itu, satu-satunya
sifatku yang menonjol ada/ah rasa ingin tahu. Saat liburan tiba aku
biasanya pergi ke suatu tempat bersama ibuku, Mike dan anak­
anaknya atau jika ayahku di rumah aku akan tingga/ bersama dia
dan siapa pun yang sedang dipacarinya saat itu.
Liburan dengan ibuku berkisar seputar perkemahan. Kami se­
mua akan berjejalan di da/am mobil don menaiki feri untuk me­
nyeberang ke Eropa lalu menghabiskan dua minggu berhujan ter­
kurung dalam tenda bocor. Ka/au kami beruntung, area
perkemahannya dilengkapi ruang permainan dan kami akan ber­
main biliar atau tenis meja sementara orangtua kami minum ang­
gur /oka/ yang keras dan menyantap hidangan barbekyu bersama
para orangtua dari anak-anak yang boson dan tak tahu berterima
kasih /ainnya.
Liburan dengan ayahku jauh lebih menyenangkan. Di pagi hari
kami berlari menyusuri hutan di belakang kompleks apartemen
dan bi/a sekarang menutup mata, aku masih dapat mencium uda­
ra berbau tanah serta mendengar paduan suara (ajar. Saat hari
beranjak siang kami memancing ikan dan berenang dari kapal
Ayah. Aku menjadi begitu kuat di air sehingga mampu menyelam
sampai keda/aman sepuluh meter dan menyentuh dasar /aut
Kemudian ayahku bertemu Sara dan semuanya mulai berubah.
Orangtua Sara memiliki apartemen di lantai atas yang mereka
gunakan sebagai rumah liburan. Sara masih muda, pirang, don
amat mirip dengan wanita-wanita lain yang pemah dipacari Ayah.
Topi berbeda dengan wanita /ainnya dia tidak pergi sete/oh be­
berapa bu/an. Dia ma/ah menemukan tempat di hati ayah yang,
meskipun tak kusadari ketika itu, merupakan tempat yang sepi
don tak ramah untuk ditinggali.

Pada usia sebe/os tahun aku berada di tahun terakhir sekolah


dasar. Aku lulus ujian don diterima di satu-satunya grammar
school' di kota itu, tapi Ayah ingin aku menjalani pendidikan
privat. lni membutuhkan biaya besar don baka/ menjauhkanku dari
/bu. /bu berusaha me/orang tapi protesnya hanya membuat ayahku
marah. Ayah mengancam akan membawa /bu ke pengadilan untuk
mempero/eh hak asuh don pada akhimya diputuskan bahwa aku
akan tinggal bersama Ayah don Sara.
Sebelumnya aku membayangkan bahwa hidup bersama ayahku
akan sangat menyenangkan. Bagaimanapun, liburan-liburan yang
kami /ewatkan bersama termasuk di antara saat-saat paling seru
yang pernah kua/ami. Topi aku so/ah. Sara lumayan cantik tapi juga
lumayan lamban don ini sangat menjengkelkan Ayah, karena Ayah
bukan orang yang sabar. Dia kerap mengamuk gara-gara kesa/ahan
kecil yang dibuat Sara don kemarahannya akan mereda menjadi
keheningan beku yang menggelayuti apartemen se/ama berhari-hari.
Ketika pekerjaan Ayah kemba/i membawanya pergi, rasanya
nyaris melegakan. Aku bilang nyaris, karena aku masih terperang-

1
Setingkat SMP. Namun berbeda dengan sekolah umum di lnggris. grammar school
menyeleksi calon muridnya. dan memiliki kualitas serta fasilitas yang dianggap lebih
bagus daripada sekolah umum.

10
kap di sana bersama Sara dan bahkan sebagai bocah dua be/as
tahun aku menganggap wanita itu menyusahkan. lnilah awal
dari masa yang sangat tidak membahagiakan. Aku rindu ibuku
dan teman-teman di lingkunganku. Perjalanan ke dan dari seko­
lah terasa berat dan sewaktu kembali ke apartemen tak ada
yang bisa dilakukan se/ain makan, menonton te/evisi don meng­
abaikan PR-ku.
Musim panas berikutnya Sara hamil dan aku dikirim untuk
tinggal di sekolahku, yang memiliki asrama untuk anak-anak /e/aki
yang orangtuanya tinggal jauh dari sana. Ada dua kategori murid
di asrama, penghuni tetap don penghuni mingguan. Aku dimasuk­
kan sebagai penghuni tetap, maka meskipun rumah ibuku tak jauh
dari sana, aku tak diizinkan tinggal bersamanya selama akhir pe­
kan.
Walaupun merasa terluka karena dikirim ke sana, aku cepat
beradaptasi dengan kehidupan di asrama. Tak ada lagi perjalanan
panjang don berat ke don dari sekolah. Se/ain itu, aku punya ba­
nyak teman seumur. Dan jika aku melompat ke /uar jendela saat
larut ma/am lalu memanjat dinding batu tinggi di belakang asrama,
aku bisa berjalan ke perumahanku yang lama dalam duo puluh
menit
Se/ama dua setengah tahun aku hidup seperti ini. Be/ajar ber­
sama teman-teman sebaya, mendapatkan pendidikan berkualitas,
dan berkembang menjadi pemain rugbi yang dapat diandalkan.
Me/ewatkan liburan seko/ah di kompleks apartemen atau bersama
ibuku jika Sara dan Ayah ber/ibur ke suatu tempat. Mereka
sudah punya anak sekarang, Jamie kecil, dan aku makin ja­
rang bertemu mereka. Sampai ke tahap ketika Ayah hanya meng-

11 �
"'


-

g
hubungiku soot membaca nilai rapor yang memburuk di akhir
setiap triwulan.
Pada musim semi di tahun keempatku, seorang murid baru da­
tang ke asrama kami. Orangtuanya harus pergi untuk menangani
musibah ke/uarga dan dia akan tinggal bersama kami selama ku­
rang-lebih sebulan. Sejak pertemuan pertama aku langsung tahu
dia amat terluka karena ditinggalkan. Anak-anak lain juga tahu
don mengerubunginya seperti burung bangkai, karena seko/ah as­
rama dipenuhi para pem-bully don mereka tak dapat menahan
diri bi/a mencium aroma kesedihan anak lain. Jodi aku melindungi
anak itu don tak lama kemudian kami menjadi akrab.
Suatu ma/am, setelah aku menunjukkan tempat don cara me­
manjat dinding belakang, dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya
dan memperlihatkannya kepadaku. Ternyata sebatang rokok yang
dilinting dengan tangan don dia bilang rokok itu mengandung
mariyuana. Jantungku berhenti sedetak dan beberapa saat kemu­
dian kami berjongkok di pintu dekat situ, mengisap 'rokok'. Aku
sangat menyukai efek dari mariyuana dan, terlebih lagi, aku me­
nyukai fakta bahwa aku melanggar semua aturan.
Dalam waktu enam bu/an aku sudah punya bandar sendiri dan
membe/i secara teratur. Aku memperkenalkan beberapa temanku
dengan benda itu dan di ma/am hari kami mencari tempat yang
sepi untuk te/er. Seharusnya itu cukup bagiku, namun rasa ingin
tahuku soma sekali be/um terpuaskan. Karena bandarku juga men­
jua/ LSD, tak butuh waktu lama sebelum aku juga mengonsumsi­
nya. Dan seiring meningkatnya ketergantunganku, meningkat pula
kebutuhanku akan uang. Jodi aku mulai menjualnya ke beberapa
murid di sekolah, don ini terbukti menjadi sa/ah satu kesalahan
terbesar do/am hidupku.
''
�staga." Pria tua yang duduk di seberangku terlihat siap
meledak. "Mencoba melindungi bandarmu sama sekali bukan
tindakan cerdas:'
Kantor tersebut berpenerangan buruk dan dilengkapi de­
ngan kursi-kursi kulit, sofa hijau tua serta meja yang dise.saki
map-map berdebu dan tumpukan kertas. Ada aroma yang ma­
nis dan tak lazim, seakan-akan sesuatu sedang dalam proses
pembusukan. Aku menghindari ta.ta.pan sang kepala sekolah dan
menoleh kepada pria di sebelah kananku, Mr. Peters, pimpinan
asrama sekaligus musuh bebuyutanku.
"Kami sudah bicara pada polisi."
Kuharap dia hanya menggertak. "Tak ada komentar; Sir:·
"Tak ada komentar?" Dia memandangku dengan sorot mata
menuduh. "lni bukan film detektif sialan, kau benar-benar ter­
libat masalah serius."
"Maaf, Sir, ta.pi saya tidak tahu mesti bilang apa."
Kepala sekolah menghela napas panjang dan berat. "Yah,
mungkin kau bisa mulai dengan meminta maaf pada orangtua
dari anak-anak yang kaujerumuskan:'
"Apa mereka ada di sini, Sir?" Aku mencium bau alkohol
dalam napasnya dan melihat sebotol wiski pada rak buku di
belakangnya.
"Saat ini dalam perjalanan kemari, termasuk ibu dan ayahmu
sendiri."

Kemudian terdengar ketukan di pint.u dan sekretaris kepala


sekolah menjulurkan kepala ke dalam lalu mengucapkan sesuatu
kepadanya tanpa suara. Pria itu menggerutu dan mengangguk,
lalu meminta Mr. Peters mengantarku kembali ke asrama. Kami
meninggalkan kantornya dan berjalan melintasi halaman sekolah
dalam keheningan. Saat itu sore musim gugur yang dingin dan
angin menarik air mata keluar dari mataku.
Jadi ayahku sudah kembali ke lnggris. Sudah berapa lama dia
pulang dan kenapa tidak ada yang memberitahuku soal iw? Aku
membayangkan ayahku di apartemen, bersenang-senang dengan
Sara dan Jamie, dan merasakan tikaman rasa nyeri yang de­
ngan cepat berubah menjadi kemarahan. Ayah pergi melaut
selama tiga bulan terakhir dan pertemuan pertama kami ha­
rus berlangsung dalam situasi menyedihkan seperti ini. Aku
hanya akan menerima luapan kekecewaannya, seperti yang
terjadi dengan rapor sekolahku.
"Aku kecewa pada.mu." Kami baru saja tiba di asrama dan
Mr. Peters jelas sudah membaca pikiranku. "Tak ada tempat
untuk teler di sekolah seperti ini:'
"Sebenarnya ada beberapa, Sir, misalnya di belakang blok
sains."
"Sudah cukup kelancanganmu:' Dia mencengkeram lengan

16
atasku dan menghelaku ke kamar. "Sekarang diam di sini sam­
pai ada yang mendatangimu:'
Aku menunggu di sana untuk waktu yang sangat lama dan
setiap suara di koridor membuat jantungku seakan melonjak
ke mulut. Apa yang sedang diputuskan di kantor kepala sekolah
dan kenapa lama sekali? Apa komentar orangtuaku dan siapa
di antara anak-anak itu yang sudah menyeretku ke dalam ke­
kacauan ini? 6elum pernah aku merasa begitu ingin merokok
seperti sekarang, tapi ini jelas bukan saat yang tepat untuk
memanjat dinding.
Ketika pintu akhirnya terbuka aku kaget sekaligus lega me­
lihat ibuku berdiri di sana bersama Mr. Peters. Ada tatapan di
matanya yang belum pernah kulihat selama ini dan dia ber­
terima kasih kepada Mr. Peters karena sudah mengantarnya lalu
meminta, dengan suara yang tenang namun tegas, agar kami
ditinggalkan sendiri. Aku girang sekali melihat pria itu langsung
mematuhinya.
"Ya ampun, Nak:' Dia duduk di sampingku di tempat tidur
lalu meremas tanganku. "Kau benar-benar kelewatan kali ini.
Mereka mengeluarkanmu."
"Ya Tuhan, Ayah bilang apa?"
"Dia cuma duduk di sana dan menerima keputusan me­
reka:'
"Pasti dia marah sekali." Wajahku panas oleh rasa malu.
"Dia bakal membunuhku:·
"Sebenarnya dia tampak cukup tenang:' lbu mengangsurkan
selembar tisu dari tasnya. "Dia ingin bicara denganmu nanti,
katanya dia akan menjemputmu sekitar pukul setengah empat:'
"Menjemputku dari mana?"
"Rumah kita:'
Hatiku melambung oleh harapan. "Menurutmu dia bakal
mengizinkanku tinggal denganmu lagi?"
"Kita lihat saja, my love. Kau harus berkemas sekarang. Aku
akan menjemputmu begitu sudah mengosongkan tempat di ba­
gasi mobil."
Saat itu aku memeluknya erat-erat dan bisa kurasakan kasih

sayangnya melingkupiku, membuatku ingin menangis. Kemudian


dia mengecup pipiku sebelum pergi dan aku mulai mengum­
pulkan barang-barangku la.lu menjejalkannya ke dalam peti tua
berwarna biru yang kusimpan di kaki tempat tidur. Mr. Peters
datang menemuiku dan berusaha mengatakan sesuatu yang filo­
sofis. Kata-katanya pasti tak banyak berpengaruh karena lima
menit kemudian aku sudah lupa semua yang dia ucapkan.
Tak sampai satu jam kemudian aku sudah menunggu di da­
sar tangga di depan gedung asrama. Dan selagi menatap din­
ding hijau pucat serta jendela-jendela kelabunya yang dingin,
aku merasakan dalam banyak hal bahwa aku sedang dibebaskan
dari penjara. Di kejauhan bel sekolah berbunyi dan murid-mu­
rid yang berjalan pulang mengamatiku. Tiba-tiba saja aku me­
rasa cukup berani untuk menyalakan rokok. Mr. Peters me­
neriakiku dari salah satu ruangan di lantai atas.

* * * * *

Waktu ayahku datang menjemput, sorot matanya dingin. Dia


berbicara sebentar dengan ibuku sementara aku menunggu di
mobil, kemudian dia masuk, membanting pintu dan meluncur
pergi. Dia tidak berbicara kepadaku atau memandangku, hanya

18
memusatkan perhatian pada jalanan di depan dan mengemudi
dengan kecepatan yang membahayakan. Selarik pembuluh darah
berdenyut di keningnya. Akhirnya kami mendekati apartemen
Ayah namun bukannya berbelok di tikungan yang biasa, kami
berhenti di lahan parkir di tepi barat hutan. Dia turun dari
mobil lalu memutar ke sisiku, kemudian membuka pintu dan
menarikku ke tanah dengan menjambak rambutku.
"Baiklah." Sepatu botnya menghantam punggungku. "Dari
mana kau mendapatkan barang itu?"
Aku terla.lu shock untuk menjawab.
"Dasar anjing keparat." Dia menghelaku berdiri lalu menye­
retku ke bangku terdekat. "Dari mana kau mendapatkan barang
itu?"
Aku menangis sekarang dan tak sanggup menatapnya.
"Dari mana kau mendapatkan barang iw?" Dia menampar
sisi kepalaku. "Aku bisa melakukan ini sepanjang malam, jadi
sebaiknya kau bilang saja:•
"Aku tidak tahu:·
Dia menamparku lagi. "Dari mana kau mendapatkan barang
itu?"
"Aku tidak tahu:· Aku memandang ayahku dari balik derai
air mata lalu menunduk.
"Dari mana kau mendapatkan barang itu?" Dia menamparku
lagi.
Aku bisa melihat munculnya sebuah pola dan menebak bah­
wa tindakan Ayah berikutnya adalah menamparku lagi dan ber­
tanya dari mana aku mendapatkan barang terlarang itu. Pada
saat itu aku merasakan bara pembangkangan di dalam dada
dan aku mengipasi bara tersebut sampai menjadi kobaran api.
Pria ini sudah mengambilku dari lbu hanya supaya lbu tak bisa
memilikiku. Dia meninggalkanku bersama istri bodohnya dan
memilih wanita itu daripada aku. Dan sekarang, gara-gara ke­
salahan yang takkan mungkin kulakukan andai aku sedikit saja
bahagia, dia memukuliku.
Ayah menamparku lagi. "Dari mana kau mendapatkan ba­
rang itur'
"Aku tak akan memberitahumu:· Kuangkat kepalaku dan
kutatap matanya lekat-lekat. "Silakan saja kau menghajarku
sampai pagi:'
Dan dia pasti merasakan kesungguhan dalam ucapanku ka­
rena dia tidak menamparku lagi, hanya meluncur kembali ke
da.lam keheningan yang membekukan itu lalu kami masuk ke
mobil dan melanjutkan perjalanan ke apartemennya. Sara sudah
menunggu di ruang tamu, menyebutku jahanam kecil dan me­
ngatakan banyak hal lainnya yang tak kupedulikan. Aku merasa
baga.i berada di bawah air dan segala hal di sekelilingku tere­
dam.
Ayah menyuruhku mandi sebelum makan malam. Dia benar­
benar menipu diri sendiri bila mengira aku akan mau duduk
dan makan bersamanya dalam waktu dekat. Aku beranjak ke
kamar mandi dan menyalakan pancuran, kemudian berjingkat­
jingkat ke kamarku, mengenakan sepatu, menggeser jendela
hingga terbuka, la.lu melompat dua lantai ke petak bunga di
bawah sana. Setelah itu aku berlari sampai paru-paruku ter­
bakar dan kakiku menolak membawaku lebih jauh lagi.
Aku tiba di sebuah pondok yang terletak di tepi jalan me­
nuju kompleks apartemen. Pemiliknya seorang pria berumur
enam puluhan dan kami tak pernah berbicara sebelumnya, tapi

20
dia pasti cukup sering melihatku melintas selama bertahun-ta­
hun ini untuk mengenali wajahku. Hari hampir gelap sewaktu
aku membuka gerbang dan menyusuri jalan setapak berkerikil
ke pintunya. lalu menunggu sejenak sampai napasku tak terlalu
memburu.
"Halo:' Suaranya terdengar takut. "Siapa di sana?"
Aku mencoba menjawab tapi Isak tangisku terlalu hebat
sehingga aku tak mampu berkata-kata.
Dia membuka pintu secelah dan mengintaiku. "Ya ampun,
ada masalah apa?"
Selagi duduk di dapurnya dengan secangkir teh susu, aku
mengetahui bahwa rumahnya baru kecurian belum lama ini. Jadi
sungguh keputusan yang berani dan murah hati untuk meng­
izinkan pemuda malang ini masuk ke rumahnya dan memboleh­
kan si pemuda menelepon sang ibu untuk menjemputnya. Dia
bahkan memberiku sebatang rokok, yang kala iw menjadi ro­
kok paling mewah yang pernah kuisap.
Ketika lbu datang, dia berterima kasih kepada pria itu dan
meminta maaf sedikitnya selusin kali untuk semua kehebohan
ini. Aku khawatir Ayah sudah keluar mencariku, maka lega rasa­
nya waktu kami masuk ke mobil dan pergi dari sana. Bibiku
ikut di dalam mobil dan dia memajukan tubuh dari kursi bela­
kang lalu menyentuh bahuku.
"Jangan khawatlr, my darling, semua akan baik-baik saja."
"Trims." Kuletakkan tanganku di tangannya dan menggigit
bibir. "Tapi rasanya tidak baik-baik saja."
"Coba ceritakan pada kami kejadiannya:• lbu berbelok ke
kiri di ujung jalan dan lampu-lampu pondok menghilang di be­
lakang kami. "Ayahmu bilang dia hanya ingin bicara."

21 �
"'


g
Sungguh tidak menyenangkan harus menceritakan kisah itu.
Aku ingin melupakannya, bukan menghidupkannya lagi, dan aku
harus berhentl beberapa kali untuk mengusap mata dan mem­
biarkan isakanku reda. Bayangan Ayah terus-terusan melintas di
benakku, ayunan tangannya dan recik-recik ludah di bibir ba­
wahnya. Ketika akhimya selesai, aku menoleh ke kegelapan dan
melihat wajah ibuku basah oleh air mata.
"Aku benar-benar menyesal, Nak, dia berjanji hanya akan
bicara denganmu."
Aku belum pernah melihat ibuku sesedih ini, atau mende­
ngar suaranya begitu parau oleh emosi, dan andai Ayah ada di
sana saat itu, lbu pasti sudah mencakar matanya keluar. Ayah
jelas tahu persis apa yang hendak dia lakukan sewaktu meng­
ucapkan janjinya. Ketika itu aku tersadar bahwa lbu akan se­
lamanya menyalahkan diri sendiri atas kejadian ini, dan untuk
pertama kalinya aku benar-benar menyesal sudah menjual obat
terlarang.

22
Saru bertahun-tahun kemudian aku mendengar kabar ayahku
lagi. Malam itu, lbu bicara amat singkat kepadanya untuk me­
ngabarkan aku sudah aman dan selamat. Sesudahnya pria itu
menghilang begitu saja dari hidup kami. Dan kini kami dihadap­
kan pada tantangan menemukan sekolah baru untukku, sebab
aku masih harus menjalani sisa satu tahun studi sebelum dapat
mengikuti ujian akhir.
"Mereka tak mau menerimamu:' lbu menutup telepon dan
menggeleng-geleng. "Seakan-akan kesalahanmu seberat pembu­
nuhan tingkat pertama:•
"Park High bagaimana? Sepertinya mereka menerima para
pembunuh:'
"Aku mengharapkan tempat yang lebih ... "

"Terhormat?" Aku beranjak dari ruang makan ke dapur.


"Yah, kecuali kita pindah ke kota lain, bisa dibilang kita tak pu­
nya pilihan."
lni benar. Kami sudah mendatangi tiga sekolah berbeda dan

aku menjalani tiga wawancara yang menyiksa dengan tiga ke­


pala sekolah yang sama tegasnya. Komentar ibuku tentang di­
perlakukan seperti pembunuh sayangnya sangat akurat dan
semua wawancara itu tampak persis seperti sidang pembebasan
bersyarat yang kita lihat di film-film. Tentu saja soya sudah di­
rehabilitasi, Sir, soya sudah mendapat pencerahan dan tak akan
pernah /agi melakukan kejahatan sekeji itu.
Aku membuka pintu belakang dan duduk di puncak undak­
undakan batu yang mengarah ke taman sempit. Kucing tetangga
meringkuk di bawah semak, batuk-batuk memuntahkan gum­
palan rambut. Aku menyalakan rokok dan beberapa menit ke­
mudian lbu keluar lalu duduk di sampingku dengan secangkir
teh di tangan.

"Kau tak sepatutnya mengalami ini." Aku menyentuh lutut­


nya. "Aku menyesal, Bu:·
"Aku tahu, tapi penyesalan tak bisa memberimu sekolah
baru:·

"Mungkin aku bisa cari kerja saja."


"jangan konyol, Nak, kau minimal harus berusia enam belas
tahun untuk bekerja. Dan tanpa keahlian, kau bakal menghabis­
kan seumur hidupmu membersihkan toilet."
"Yah, kalau begitu Park High saja:• Aku mencuri sesesap teh
dari cangkir lbu lalu menjentikkan rokokku ke taman, nyaris
mengenai si kucing. "Lebih baik melewatkan satu tahun di
toilet daripada membersihkannya seumur hidup."
Jadi ibuku membuat janji dan hari Senin berikutnya kami
berjalan melewati gerbang sekolah yang dikenal dengan julukan

24
Trailer Park High2•Aku dapat melihat jelas alasannya, lantaran
area sekolah dipenuhi kabin-kabin temporer dalam kondisi
yang memprihatinkan. Bangunan utamanya berupa gedung be­
ton dua lantai dengan jendela-jendela besar dan gelap bagai
deretan mata yang hampa. Kami melaporkan kedatangan di
meja resepsionis lalu menunggu di kursi-kursi plastik untuk
bertemu sang kepala sekolah.
"Demi Tuhan, Nak, cobalah terlihat antusias:·
"Aku berusaha, Bu."
Beberapa menit kemudian, sekretaris kepala sekolah me­
manggil ibuku masuk. Selagi aku duduk di sana menyerap ling­
kungan baruku, bau deterjen serta poster-poster motivasi di
dinding, seorang anak lelaki datang dan berbicara kepada sa­
lah satu wanita di meja resepsionis. Anak itu tinggi dan
berbadan lebar dengan anting perak dan kepalan tinju yang
menggantung dari lengan bajunya bagaikan bola-bola peng­
hancur. Aku menatapnya saat dia melintas ke area tunggu.
"Liha t apa, Bung? Matamu bermasalah?"
" S ama sekali tidak, aku hanya mengira aku mengenalimu."
"Yah, kau tidak kenal aku, kan? Kecuali kau mau ... "
lbuku keluar dan anak itu terdiam lalu si sekretaris me-
lambai menyuruhku masuk. Aku beranjak ke dalam kantor ke­
pala sekolah dan pria itu bangun dari kursinya untuk menyam­
butku, sesuatu yang tidak dilakukan kepala sekolah lainnya, dan
kuanggap sebagai isyarat positif. Nama pria itu Mr. Pritchard,
jabat tangannya hangat dan dia sebotak bayi yang baru lahir.

2 Trailer Park adalah kawasan tinggal orang-orang miskin/kelas bawah di dalam


bangunan berupa rumah semipermanen.

25 �
"'


g
"lbumu bilang kau senang main rugbi."
" Sedikit, Sir."

" K a u tahu kami punya tim di sinir''


"Tentu saja, Sir." Sekolahku yang dulu mempecundangi me­
reka dua kali setahun. " Saya senang sekali bila ada kesempatan
bermain lagi:'

" Senang mendengarnya:' Dia tersenyum dan aku tahu ke­


bohonganku telah menemukan targetnya. "Tentu saja dengan

latar belakangmu kami perlu berpikir baik-baik sebelum memu­


tuskan untuk menerimamu. Bagaimanapun kami mesti menjaga
reputasi:'

"Ya, Sir." Aku menahan diri agar tidak tertawa. " Tentu saja,
.
Sr
1 ."
"Dan kau harus jadi murid teladan, tidak boleh lagi menjual
obat terlarang atau perilaku antisosial lainnya. Park High butuh
pahlawan, bukan penjahat."
"Tentu, Sir:'
Mr. Pritchard kemudian bercerita tentang latar belakangnya
sendiri, bagaimana dia tumbuh besar di lingkungan kumuh dan
belajar mati-matian agar bisa memperbaiki kehidupannya. Serta
bagaimana dia berhasil menghalau godaan obat terlarang meski­
pun sebagian besar temannya adalah pecandu.
" Sekarang di sinilah aku:' Dia membentangkan tangan se­
olah-olah sekolah ini adalah hadiah ajaib.
Jika ini hasil akhir dari usaha kerasnya, menghalau godaan
obat terlarang sepertinya tindakan yang percuma. Jauh lebih

masuk akal untuk sekadar menikmati perjalanan tanpa meme­


dulikan tujuan. Tapi dia sudah berbaik hati mencoba menginspi-

26
rasiku, jadi aku tersenyum dan mengatakan bahwa aku amat
setuju dengannya.
"Sepertinya sudah cukup untuk saat ini:' Dia menggaruk
bagian belakang kepalanya yang mengilap. "Salah satu petugas
penyambutan kami akan dengan senang hati memandumu ber­
keliling ..."
"Boleh juga."
". . .dan kami akan menyampaikan keput"'1san kami akhir
. . . ,,
mmggu m1.
"Tentu, Sir."
lbuku berdiri sewaktu aku meninggalkan kantor dan anak
lelaki dengan tinju mengepal serta anting perak itu menatapku
dengan bengis. Kami menghampiri meja resepsionis dan me­
nanyakan tentang tur kepada salah satu wanita di sana. Dia
tidak terlihat segembira yang mungkin diharapkan Mr. Pritchard,
tapi dia berkata akan menemani kami beberapa menit lagi. lbu
berterima kasih kepadanya dan mengatakan kami akan menung­
gu di luar. Matahari mulai menyeruak menembus awan dan
angin Oktober yang menggigit telah mereda.
"Bagaimana wawancaranya?"
"Sangat lancar menurutku:' Aku merogoh saku untuk meng­
ambil rokok lalu ingat bahwa aku seharusnya menjadi pahlawan.
''Tapi sekali lagi harus bilang 'Tentu, Sir', sepertinya aku bakal
munta. h"
.

* * * * *

"Seragammu bagus:' Temanku Tom berseru dari ambang pintu.


"Warna cokelat sangat cocok untukmu:·
"Warna cokelat tak cocok untuk siapa pun." Dua minggu
telah berlalu dan ini hari pertamaku sebagai murid Park High.
"Aku seperti kotoran monyet:'
" Baumu juga seperti kotoran monyet. Semoga beruntung
untuk hari ini, kau bakal membutuhkannya, Sobat."
" T rims." Perutku melilit. " Nanti malam kuceritakan padamu,
kalau aku masih hidup:'
Sekolah baruku berada di salah satu r ute bus utama dan
udara pagi membekukan lubang hidungku sewaktu aku berjalan
ke halte terdekat. Aku berusaha meredam kegelisahan dan ber­
tanya-tanya sebaik apa aku dapat beradaptasi di sana. Akankah
murid-murid lain berbicara kepadaku atau hanya menatap dan
membisikkan hal-hal mengerikan di belakang punggungku? Aku
membayangkan mereka mengejek cara bicaraku, karena aku
sudah terbiasa menggunakan semacam aksen kelas atas di se­
kolahku yang dulu.
Di halte bus aku menyalakan rokok dan bus datang se­
belum rokokku habis. Sopirnya merengut waktu aku menyerah­
kan selembar uang kertas dan bertanya apakah aku punya uang
yang lebih kecil, lalu saat kujawab tidak punya, dia menggumam­
kan sesuatu yang jahat dan tak menyenangkan. Aku duduk dan
bus tersentak maju. Kusandarkan kepala di jendela dan aku
tertidur. Saat itu musim panas dan aku sedang berjalan me­
nyusuri tembok pelabuhan di kompleks apartemen ayahku dan di
depan sana seorang anak tercebur ke air dan mulai tenggelam.
. da hk
" ...pm an tasmu, Bung ... "
Aku membuka mata, menguap dan berkedip, lalu menatap
seorang gadis berambut pirang dan bermata biru dengan hi­
dung ditindik. Dia tampak kuat serta penuh percaya diri, dan

28
sesuatu pada dirinya benar-benar memikatku, aku merasa se­
akan-akan kami sudah saling kenal di kehidupan sebelumnya.
"Kau tolol atau bagaimana? Pindahkan tasmu:·
Dia duduk di sampingku dan parfumnya berbau seperti per­
men karet. Bus penuh sesak oleh murid-murid Park High dan
mereka menyanyi, bercanda dan berbicara dengan suara luar
biasa lantang tentang berbagai hal yang mereka lakukan pada

akhi r pekan. Sebenarnya ini sangat mirip dengan berada di da­


lam bus rugbi, hanya saja cerita-cerita tentang seks dan nar­
kotiknya mungkin benar-benar terjadi.
"Belum pernah melihatmu:·
"Sama kalau begitu."
"Aksenmu lucu banget:' Dia tersenyum dan memperkenal­
kan diri sebagai Amy.
"Senang berkenalan denganmu." lni pertama kalinya aku
berbicara dengan gadis remaja. "Karena aku tolol, sayangnya
aku tak bisa ingat namaku sendiri:'
"Tidak apa-apa, dengan suara seperti itu kurasa aku akan
memanggilmu Jeeves3.''
"Jeeves si pelayan kepala tolol."
Dia tertawa. "ltu lumayan cocok buatmu."
Pada saat kami tiba di halte Park High, aku nyaris tak tahu
apa-apa tentang Amy dan dia tahu hampir segalanya tentangku.
Namaku, tempat tinggalku, alasanku pindah sekolah di tengah
semester musim gugur. Aku tak begitu yakin berapa banyak
yang dia tanyakan dan berapa banyak yang kuceritakan dengan

' Reginald Jeeves, diambil dari karakter fiksi dalam buku-buku karya P.G. Wodehouse,
adalah pelayan kepala yang dikenal dengan gaya bicara beraksen kelas atas.

29
sukarela, tapi apa pun itu, aku merasa seakan-akan aku telah
dicurangi.
"Sampai nanti, Jeeves:· Dia beranjak menghampiri sekelom­
pok murid yang sedang turun dari bus lain. "Mungkin kita bisa
merokok bareng kapan-kapan, kalau kau yang traktir:·

Aku tersenyum dan berpaling ke gerbang lalu menarik na­


pas panjang. Jadi inilah dia, hukuman penjara Park High-ku,

delapan bulan yang mesti kulewati untuk mempersiapkan ujian


akhir sambil berharap tidak mengalami pelecehan atau dipukuli
sampai mati atau keduanya. Aku mengawasi murid-murid yang
berdatangan dengan sepatu kotor serta kemeja mereka yang
tak dikancing. dan mereka terlihat seperti para pengungsi dari

masa depan yang penuh bencana.


Sekolah sudah mengirimiku surat yang harus kubawa ke
meja resepsionis pukul setengah sembilan. Aku mengecek arloji
dan melihat masih ada sisa waktu beberapa menit. Setiba di

sana, salah satu wanita mengangkat telepon dan Mr. Pritchard


keluar dari kantornya, larik-larik cahaya dari lampu fluoresens

memantul di kepala pria itu. Kelihatannya dia bermaksud meng­


antarku ke kelas, yang akan sangat memalukan.
"Sedikit gugup, ya?"
"Hanya sedikit, Sir:•
"Aku yakin sebentar saja kau bakal punya banyak teman."

Kami berjalan menyeberangi lahan parkir menuju deretan

kabin temporer dan aku merasa amat terekspos seraya ber­


harap aku bisa menghilang begitu saja. Semua mata tertuju
kepadaku dan aku nyaris bisa mendengar isi pikiran murid-mu­

rid lainnya. Uhat si penjilat yang bersama kepala sekolah itu,

30
dasar cengeng, harus ado yang memegangi tangannya don mem­
bantunya berkeliling.
"Kita sudah sampai. Sebelas s:• Kami berhenti di undak­
undakan pendek dari kayu yang mengarah ke salah satu kabin.
'Wali kelasmu Mrs. Harvey:'
"Terima kasih, Sir."
"Kalau ada masalah, kau tahu ke mana harus mencariku:'
Aku mengawasinya berbalik menyeberangi lahan parkir, lalu
aku menaiki undak-undakan dan meraih pegangan pintu yang
bengkok. Masalah apa pun yang menanti, aku tahu pasti Mr.
Pritchard bukanlah orang yang bisa membantuku. Kelangsungan
hidupku di sini merupakan tanggung jawabku sendiri dan jika
tidak ingin mengalami mimpi buruk tanpa akhir, aku harus sa­
ngat berani atau sangat beruntung.
Tiga puluh pasang mata menatapku lekat-lekat saat aku me­
langkah ke dalam ruang kelas. Salah satunya milik anak lelaki
dengan anting dan kepalan tinju bagai bola penghancur. Aku
menghindari pandangannya dan menemukan tempat duduk. Se­
seorang mengucapkan kata-kata menghina, disambut tawa mu­
rid-murid lain, dan seandainya lantai terbelah lalu menelanku
hidup-hidup, aku pasti akan sangat bersyukur.
"Hei, Jeeves."
Aku mengedarkan pandangan dan rupanya anak lelaki itu
lagi.
"Hei, Jeeves, kau suka cewekku, ya?"
"Cewekmu?"
"Ya, cewekku." Dia menirukan aksenku, diikuti gelak tawa
yang lainnya.
"Amy bukan cewekmu lagi." Saat itu seorang gadis me-

31
masuki ruang kelas. "Dan kalau kau masih terus berkeliaran di
luar rumahnya, ayah Amy bakal mematahkan kakimu."
"Oh enyahlah, Tanya, aku sampai mengompol di celana."
"Baunya memang begitu, Mason:' Gadis itu menjatuhkan tas

di meja lalu duduk di sampingku. "Berarti kau pasti Jeeves. Mau


menjual narkotik pada kami atau bagaimanar'

32
"JZ.au seperti orang bingung, Nak." lbu memanggil saat aku
berjalan menaiki tangga. "Kuharap kau tidak mengisap benda itu
lagi."
"Tentu saja tidal<:' Sesungguhnya aku sedang teler berat dan
suara lbu memantul-mantul seperti pinball di dalam kepalaku.
"lni hanya hari yang panjang dan aku benar-benar capek."
"Kalau begitu, kenapa tidak mencoba pulang lebih cepat?
Siapa tahu, kau mungkin bisa menyelesaikan pekerjaan rumah-
mu."
"Semua yang kulakukan saat ini tak ada yang benar, ya?
Oulu kau ingin aku diam di rumah dan mengerjakan PR, lalu
kau ingin aku keluar dan lebih banyak bergaul. jadi aku keluar
dan lebih banyak bergaul, lalu kau ingin aku diam di rumah dan
mengerjakan PR. jangan plinplan begitu:'
"Berani-beraninya kau bicara seperti itu padaku:' Suara ibu
dingin dan tajam dan aku tahu aku sudah keterlaluan. "Seandai­
nya kau belum tahu, belakangan ini aku sudah sangat pemaaf."

33
"Oke, oke, aku menyesat:'
"Menyesal itu hal terkecil yang bisa kaulakukan. Berapa
banyak orangtua lain yang mau mendukung anaknya melewati
masalah seperti ini? Yang jelas bukan ayahmu, itu sudah pasti."
"Apa kau harus mengingatkanku?" Aku menunduk meman­
dangnya dari puncak tangga dan mataku berkaca-kaca. "Bukan
kau yang ditendang dari satu tempat ke tempat lain."
Aku berbalik dan masuk ke kamarku sambil mem banting
pintu. Keadaan tidak berjalan lancar di Park High dan meskipun
aku sudah mengira bahwa kehidupan di sana berbeda, yang ku­
temukan ternyata jauh lebih berbeda. Di sekolahku yang dulu,
kau memperoleh staws dengan berprestasi dalam bidang olah­
raga atau dalam pelajaran. Tapi di Park High sebaliknya. Semakin

malas dan bodoh tingkah lakumu, kau malah semakin populer.


Kemudian ada masalah soal urusan dengan lawan jenis. Aku
datang dari sekolah khusus laki-laki tempat anak perempuan
hanya menjadi objek hasrat dan fantasi, sementa.ra pikiran dan
perasaan mereka yang sesungguhnya benar-benar asing bagi
kami. Namun sekarang aku berhadapan dengan mereka setiap
hari dan mendapati mereka begitu sulit untuk dipahami se­
hingga kuputuskan bahwa hal termudah unwk dilakukan adalah
menghindari mereka.
Satu-satunya gadis yang punya hubungan denganku hanya
Amy dan tampaknya hubungan ka.mi terhenti di tahap perte­
manan. Mungkin ada baiknya juga, karena Mason pasti akan
menganggap kisah asmara sekecil apa pun sebagai alasan
kuat untuk membunuhku. Dia selalu menempel seperti duri
dan menyambar setiap kesempatan untuk membuatku men­
derita. Baru beberapa hari lalu dia duduk di belakangku dalam

34
kelas sains dan selama pelajaran berlangsung dia mel ontarkan
ludah ke jaketku. Aku malu sekali ketika seseorang menunjuk­
nunjuk jaketku dan sejak itu benakku dikuasai keinginan mem­
balas dendam.
Saat itu terdengar ketukan di pintu kamar. "Bisa bicara de­
nganmu se bentar?"
ltu Mike, yang selalu memperlakukanku dengan sangat baik
sejak semua kesulitanku dimulai. Kuayunkan kaki t.urun dari
tempat tidur lalu mengundangnya masuk. Dia bersandar pada
mejaku, menggaruk telinga dan bersedekap, lalu berdeham dan
menggaruk telinga lagi.
"l bumu dan aku ... "
"Ya...
"

1a , am1. sedang ... "


""'hk
"Lanjutkan ..."
"Kami sedang ...
"

"Kalian sedang menantikan bayit'


"Astaga, tidak, kami ..."
"Sedang merencanakan pesta makan malam?"
"Jangan konyol, kami sedang ...
"

"Patungan untuk mengobati dengkuranmu?"


"l bumu dan aku sedang mengalami kesulitan:· Dia menatap­
ku lekat-lekat. "Kau yakin kau tidak mengisap benda terlarang
itu?"
"Se benarnya iya, tapi jangan beritahu l bu:• Aku meregangkan
bahu. "Apa persisnya yang kaumaksud dengan masalah?"
Rupanya percik gairah telah menghilang dari pernikahan
mereka. Mereka berdua luar biasa sibuk dengan pekerjaan, ter­
utama Mike setelah dipromosikan menjadi asisten manajer di

35
super market te mpatnya bekerja. Aku tak begitu yakin mengapa
dia men cerit akannya padaku, tapi kuduga dia merasa aku dekat
dengan l bu dan berharap mungkin aku bisa memengaruhinya
dengan suatu cara .
"Ke mbalinya aku ke sini mungkin hal terakhir yang kalian
butuhkan."
"Yah, aku takkan bilang begitu:· Dia tersenyum dengan mu­
lutnya tapi tidak dengan matanya. "Keadaan memang cu ku p
berat belakangan ini. Tapi yang ku maksud, kami tak punya wak­
tu dan tempat untuk me mbereskannya."
"Jadi, kau ingin aku lebih sering keluar rumah?" Aku me­
nyalakan rokok . "Tapi kau pasti dengar percakapanku barusan
dengan lbu."
"Kurasa hampir semua tetangga dengar."
" Berarti kau ta hu dia ingin aku pulang lebih cepat."
"Aku minta satu boleh?"
Kunyalakan rokok kedua dan ku berikan kepadanya.
"Aku tidak memintamu keluar rumah sepanjang waktu, ha­
nya beberapa malam seminggu. Setiap Selasa dan Sabtu mung­
kin, supaya ka mi punya kese mpatan untuk mendapatkan kem­
bali sedik it keajaiban itu:·
"Yah, kalau kau bisa mengusahakan lbu selalu bersikap ma-
nis ... "
" Seharusnya t ak masalah:' Kali ini senyumnya lebih tulus.
"Nanti ku beri uang saku untuk nonton di bioskop atau apa.
Jangan sampai kau berkeliaran di udara dingin:'
"Kalau begitu, kita sepakat." Kubayangkan diriku kabur ke
ru mah bandarku dengan setumpuk uang kertas baru. "Besok
mala m kau bahkan takkan tahu aku ada."

36
** * * *

Ada sebuah taman yang amat luas di pinggir lingkungan rumah­


ku. Bila berjalan mengelilinginya kau butuh waktu sedikitnya
satu jam, mungkin satu setengah jam kalau baru mengisap ma­
riyuana. Kalau kau juga menenggak L S D dan tanah bagaikan
meleleh di bawah kakimu, mungkin butuh lebih dari dua jam

untuk menyelesaikan perjalanan. Dan seandainya kau bersama


teman-temanmu yang juga sedang teler, mungkin kau tak bakal
mau repot-repot melakukan perja.lanan itu.
"Aku selalu punya penghargaan tinggi untuk burung." Tom
berbaring di sebelah kiriku, beralaskan tanah berumput halus
yang dingin. "Mereka tak pernah mengganggu siapa pun, hanya
bertengger di pohon, membuat sarang, dan makan cacing se­
kali-sekali."
"Tergantung jenis burungnya." Danny berbaring di sebelah
kananku. "Kalau burung mural mungkin bakal mencoba mencuri
perhiasan darimu:·
"Dan kalau burung camar mungkin bakal menjatuhkan se­
suatu di kepalamu:· Mulutku saat itu terasa menyiksa keringnya,
dan kubayangkan dipenuhi kotoran burung. "Atau mematuki
kantong sampahmu mencari makanan."
"Atau mematuki matamu seperti di film Alfred Hitchcock."
"Makasih, Danny, gambaran yang indah. Mulutku rasanya be­
nar-benar tidak enak."
Tom melambai-lambaikan rokok ganja di atas wajahku.
"Coba pakai ini."
"Oh, itu pasti sangat menyegarkan."

37
"Lebih bagus daripada tidak ada."
Kami berada di puncak tanjakan yang menghadap tanah la­
pang, jalan setapak, ser ta beberapa semak dan petak-petak
bunga yang baru ditanam. Di b elakang ka mi t erdapat lapangan
sepak b ola, p ertandingan sore baru saja berakhir dan para tim
ser ta pendukung mereka sudah pulang , sampai akhir p ekan
berikutnya. Langit dipenuhi sulur-sulur awan kelabu yang me­
layang m elintasinya, ditiup angin sepoi- sepoi dari timur.
Aku mengisap rokok ganja itu dalam-dala m dan sekonyong­
konyong merasakan tanah b erguncang di bawahku. "Apakah
kalian t idak merasakannya ?"
"Oh mulai lagi d eh, kalian berdua t erlalu paran oid." Tom
mengulurkan tangan dan mencomot r ok ok ganja dari j ema­
riku. "lni cu ma efek obat-obatan, b erhentilah mencemaskan
segala hal:'
"Aku serius, tanahnya berguncang."
"Gawat, inl Armageddon, burung- burung akhirnya datang
untuk mematuki kita sampai mati:'
"Jangan konyol:' Aku mulai berdiri. "Burung-burung tak ba­
kal membuat tanah b erguncang:'
"Yah, ayam bisa:•
"Ayam yang sangat besa r:· Suara Danny t erdengar agak his­
t eris. "T ingglnya tiga meter d engan paruh sep ertl kerucut lalu
l lntas:'
Aku berdiri lalu mengedarkan pandangan dan perutku mem­
beku. " Oh slalan:·
Gerombolan anak lela ki b erderap ke arah kami d engan
t ongkat-tongkat g olf, d lpimpin oleh Ma son. Sulit mengukur ja­
rak m ereka d engan LS D yang mencemari pikiranku, dan suara

38
langkah kaki mereka di sekelilingku bagai serbuan kawanan ga­
jah. Mata Mason menyala-nyala bagai api neraka, giginya seperti
barisan taring kuning yang mengerikan, dan dia menyerangku
sebelum aku sempat menggerakkan satu otot pun.
Aku berpaling dan pukulan pertama mendarat di belakang
telingaku. Sinar terang meledak dalam otakku, aku berjongkok
dan menutup kepala dengan kedua tanganku, tanah berputar di

bawahku kemudian satu lutut menghajar rusukku lalu aku ter­

jungkir ke lereng dan menggelinding, merasakan tanah, langit


serta bau rumput basah lalu aku menghantam dasar tanjakan
kemudian bangkit berlari, tersengal-sengal, awan-awan kelabu

berputar di atasku, teman-temanku sudah mendahului di depan


dan kami tak berhenti sampai tiba di lingkungan rumah kami.
"Apa-apaan sih?" Tom meletakkan tangan di lutut dan
mengatur napas.
"ltu tadi perjalanan yang luar biasa."
"Dompetku hilang." Danny megap-megap dan menepuki
saku-saku nya.
Tom meludah ke trotoar. "Persetan dengan dompet."
"Ya, itu kan bukan akhir dunia:•
"Dompetku:' Danny merengek dan merogoh semua sakunya
berulang-ulang, walaupun sudah jelas tidak ada isinya. "Dompet­
ku, dompetku hilang, mereka mengambil dompetku:·
"Tenang, Sobat." Aku melingkarkan lengan di bahunya. "Ke­
jadiannya bisa lebih buruk lagi."

Dia menjauhkan diri dariku. "Dompetku, mereka mengambil


dompetku."
"Ayolah, Danny, tarik napas, demi Tuhan:•

39
"Kenapa kau. . . ?" Dia mulai menangis. "Kenapa kau mem­
biarkan mereka mematuki wajahku?"
"Kau ini bicara apa? Hei, Tom, tolong bantu aku:•
Danny terisak-isak sekarang dan meskipun sudah berusaha
sekuat tenaga, kami tak dapat menenangkannya, semakin lama
dia malah semakin panik. Bola mata Danny bergulir ke bela­
kang dan dia pasti menggigit lidah atau apa karena ada darah
di bibirnya dan dia terisak-isak, mengoceh tak jelas, tersengal­
sengal, terisak tak jelas, mengoceh, tersengal tak jelas, terisak­
isak, dan tiba-tiba saja dia ambruk ke trotoar.
Di seberang jalan, satu lampu menyala dan seorang pria se­
paruh baya keluar dari rumahnya karena mendengar keributan
ini. Kami menjelaskan kejadiannya, tanpa menyebut-nyebut LSD
tentu saja. lstri pria itu keluar untuk bergabung dengan kami,
tapi dia menyuruhnya kembali ke rumah dan menelepon am­
bulans. Pada saat itu mata Danny sudah membelalak liar dan
napasnya tersedak, kami takut setengah mati dia tidak akan s�
lamat.

40
"
�el ah t erjadi p encurian di lab s ains." Mr. Pritchard me­
nunduk memandangi k ami d ari p odiu mnya. "Dua ti mbangan
elektronik dan beberapa a.lat penyulingan :·
Wajahku merah padam, karena aku tahu p ersis apa yang
terjadi p ada alat-alat penyulingan itu. Semu anya ada di ka mar·
ku, menjadi b agian dari pipa mariyu an a. Aku menekuri l antai
parket yang tergores-gores di aul a d an b erharap tak ad a yang
menyadari p eru bahan sikapku.
" Untuk itu, kami akan mel akukan penggel edahan acak :' Dia
membi arkan ucapannya menggantung ses aat s eolah mengha­
rapkan datangnya protes . "Sekarang berlanjut ke topik l ain.
K ar ya s eni kelas sembilan t erpilih men duduki t empat ketiga
di p ameran gedung b alai kota ... "

Terdengar t epuk tangan s etengah hati.


" .. .j adi s el amat b agi s emua yang t erlibat. Untuk kel as se­
belas dan s et erusnya, p enasihat k arier kita sudah kembali dari
cuti melahirkan ... "

41
Ka li ini tak ada tepuk tangan.
"...ka lian b is a membuat janji temu melalu i w a li ke las kal ian.
Dan a k h r
i nya kita sampai d i turnamen rugbi. Turnamen in i
a kan d ilangsungkan Jumat minggu depan. Silakan menemu i ke­
pa a
l tim ka lian untuk informas i se le ngkapnya."
Sama seperti d i seko a
l hku yang dulu, k a m i d b
i a g i menjad i
beberapa kelompok untuk acara-acara o a
l hraga internal dan
Park Hi gh men ggunakan nama-nama santo pe li ndun g d i lng­
gris. Un tuk dosa-dosaku aku di tempatkan d i t im Saint
Patrick, beranggotakan murid-murid yang nyaris tak mampu
berjalan dan b icara pada saat bersamaan, apalagi membe rikan
kon t r b
i usi berar t i d i lapangan.
Saa t kami menin ggalkan aula pertemuan, Amy menar ik le ­
ngan bajuku. " Untung lah kau sedang cedera, rugb i selalu ber­
akhir dengan pertumpahan darah:'
"Kudengar beg itu." Kami berjalan keluar menuju lahan par­
kir. "Jadi, ada apa dengan penas ih a t karier ini ?"
"M si s W likinson?" Amy memutar bola mata. "Kata temanku
d i kelas dua be a
l s, wanita itu tak be rguna. Bahkan ta k b si a me­
nemukan bokongnya dengan kedua tangan:·
" Si penas ihat karier tak b isa menemukan bokong teman­
mu?"
"Tak b isa menemukan bokongnya sendiri, tolo l." D a
i me­
nusuk kan jari ke rusukku. " Ba k
i lah, banya k urusan dan banyak
pertemuan. See you later, alligator."
"In a while, crocodile.4"Aku mengawas inya se lagi d ai berjalan

• Merupakan ungkapan yang berirama sama, sangat umum digunakan dalam


pertemanan di lnggris. Secara harfiah berarti; sampai jumpa lagi, aligator, sampai
bertemu, buaya.

42
pergi dan merasakan sensasi mendam ba jauh di dalam hatiku,
karena semakin mengenalnya, se makin ingin aku bersamanya.
Dan m engetahui dia tak ingin b ersamaku s epertinya hanya
mem buat hasratku makin membara.
" Hei banci, berhenti menatapnya, dia tak bakal jatuh cinta
padamu:·
Tercabut dari lamunan, aku menoleh dan melihat M ason.
" Om ong-omong bagaimana teman-teman kecilmu?"
,

Perutku melilit dan aku mem bayangkan Danny di bagian


b elakang a mbulans. Wajah k et akutan dan napas paniknya s e­
waktu para medis m enyam bungkannya d engan botol oksigen.
Tom dan aku hanya berdi ri di sana, tolol dan tak berguna, me­
lont arkan kebohongan t entang k ejadian yang menimpa kami.
Saat itu juga k ami b ersumpah satu sama lain, tak akan pernah
menyentuh LS D lagi.
" Oh, mereka baik-baik saja." Kupaksakan mulutku memben­
tuk s enyum. "Bagaimana d engan permainan golfmu, b erhasil
mencetak hole-in-one?"
"Barry Mason." Mr. Pritchard keluar dari aula perte muan.
"Kalau tidak salah kau s eharusnya bertemu denganku pukul s em­
bilan l ebih s epuluh :'
" Eh, ya, Sir:·
"Kalau begitu ikut aku, sekalian s aja kit a berjalan s ama-sama:·
Sebelum merek a pergi, Mr. Pritchard menunjuk lututku. " Masih
b elum sembuh b etul, kudengar:•
"Sebenamya, Si r; saya berencana ke dokter sore ini:'
" Oh y a?"
"Ta pi saya lu pa membawa surat untuk Mrs. Har vey."
"Tidak masalah, bilang saja padanya aku mem berimu i zin."

43
Dia tersenyum cerah. "Yang penting sekarang kau fokus agar
bisa kembali beraksi."
Mata Mason membara saat itu dan aku menduga dia mem­
bayangkan cedera parah yang mungkin bisa dia timpakan ke­
padaku. Sejak nyaris dikeluarkan, dia tak berani membuat ma­
salah selama jam sekolah. Tapi kecelakaan selalu terjadi dalam
permainan rugbi dan jika Mason berhati-hati, dia bisa mematah­
kanku menjadi dua tanpa takut dihukum.
Aku mengikuti pelajaran pagi dengan pikiran mengembara,
lalu menemui Mrs. Harvey dan memberitahunya tentang kun­
jungan ke dokter untuk cedera lutut yang kukarang demi
menghindari tim rugbi Park High. Dustaku mengalir dengan
cukup mudah. Dia mendoakan kesembuhanku dan aku men­
cangklong tas lalu berjalan keluar sekolah dengan perasaan
bebas yang menyenangkan. Sekarang aku hanya perlu mencari
kesibukan untuk mengisi sore hariku.
Akhirnya kuputuskan mengunjungi rumah Kakek dan Nenek.
lbu sudah lama mendesakku untuk melewatkan lebih banyak
waktu bersama mereka, karena mereka tak mungkin bertam­
bah muda dan aku bakal menyesal bertahun-tahun dari seka­
rang jika tak pernah berusaha. lbu benar, tentu saja. Setelah
diusir dari sekolah, aku terlalu malu untuk menghadapi mereka
dan kami sudah cukup lama tak bertemu.
"Halo, orang asing." Kakek menjabat tanganku di ambang
pintu. "Kami sudah mulai lupa wajahmu."
"Hai, Kek." Aku membebaskan diri dari cengkeraman kuat­
nya. "Masih rajin olahraga rupanya."
"Tak ada yang lebih buruk daripada jabat tangan lemah,
Nak:'
Kami melintasi koridor dan masuk ke dapur. Nenekku te­
ngah duduk di depan meja pinus tua dan dia berdiri kala me­
lihatku lalu mencium pipiku. Dia bertanya apakah aku ingin
sandwich dan kujawab ya, karena aku belum makan siang di
sekolah.
"Kau ingin ham atau keju?"
"Apa bisa dua-duanya?"
"Ternyata selera makanmu belum berubah:' Nenek me­
natapku dengan mata bijak nan hangat dan aku sadar betapa
aku sangat merindukannya. "Kakek akan membuatkan teh untuk
kita semua:·
"Oh begitu, ya?" Kakek mengangkat alis.
"Ya, my dear, kecuali kau ingin memasak makan malammu
sendiri."
Kakek memperlihatkan wajah lucu lalu menjerang cerek.
"Mau pakai moster?"
"Ya, Nek, tolong." Kuambil koran dari meja dan membuka
halaman lowongan pekerjaan. "Oh lihat, galangan kapal memulai
program magang lagi."
"Kakek bermaksud menunjukkannya padamu:'
"Banyak pekerjaan yang lebih buruk dibandingkan di ga­
langan, selama tujuh tahun yang kuhabiskan di sana:·
Aku tahu Kakek bersiap-siap menceritakan salah satu cerita
lama di tempat kerjanya dan aku bertanya-tanya cerita mana
kali ini. Ada cerita tentang dia yang mendorong mandornya ke
dinding karena suka mem-bu//y. Cerita tentang dia yang me­
ngerjakan mesin bor istimewa selama dua bulan berturut-turut.
Serta cerita tentang galangan yang mengganti sumber bahan
bakar dari batu bara ke minyak, lalu menawarkan sisa batu

45
bara simpanan mereka dan hanya Kakek yang berminat. Dia
mondar-mandir lebih dari lima puluh kali dengan mobil penuh
batu bara dan membawa pulang cukup banyak untuk meng­
hangatkan keluarganya sepanjang musim dingin.

** * * *

Hari turnamen rugbi akhirnya tiba. Selama seminggu terakhir


aku hampir-hampir terobsesi dan berharap akan ada semacam
perubahan yang positif, karena aku sudah cukup lama ber­
sekolah di Park High dan keadaan sama sekali tidak membaik.
Ke mana pun berpaling aku bertemu Mason atau pengaruh
dari Mason. Anak-anak lelaki yang layak dikenal terlalu takut ke­
padanya dan anak-anak perempuan tidak tertarik pada seseorang
yang tak berteman dengan satu pun anak lelaki yang layak dikenal.
"Gila:• Aku berjalan ke dalam ruang ganti dan tempat itu
berbau lumpur, jamur, serta obat gosok untuk nyeri otot. "Di­
ngin sekali di sini."
"Di sekolah lamamu ada pemanas sentral, ya?" Mason se­
dang menalikan sepatu bot dan kakinya ternyata lebih kurus
daripada yang kukira. "Dasar banci kecil:'
Ruangan itu mendadak sunyi senyap dan anak-anak lainnya
menghentikan kegiatan mereka.
"Sepertinya kau sering sekali menyebutku banci:'
"Apa maksudmu bicara begitu?"
"Yah, entah kosakatamu sangat terbatas." Aku meletakkan
tas di salah satu bangku dan berharap dia tak melihat betapa
gemetarnya tanganku. "Atau kau seorang homoseksual tertutup
dan melampiaskan rasa frustrasimu padaku."

46
"Dasar banci kecil kurang ajar. . ."
"ltu kesimpulanku."
"Akan kukubur kau hari ini."
"Asal kau tidak menguburku dengan pelukan dan ciuman."
Dia berdiri dan beranjak menghampiriku. Jantungku berden-
tam ngeri dan dia menonjok perutku sampai aku terbungkuk.
"ltu hanya sedikit petunjuk tentang apa yang bakal kaudapat­
kan, Jeeves. Akan kupukul kau sepuluh kali lebih keras daripada
yang bisa dilakukan papamu:'
Setelah berhasil mengatur napas, aku berdiri tegak dan
anak-anak lainnya memalingkan wajah. Pada saat itu rasanya aku
sanggup membunuh mereka semua karena begitu patuh dan
pengecut. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruang ganti de­
ngan sorot mata serta hati yang dingin membeku, dan aku
membenci semua hal dan semua orang di sekolah itu. Terma­
suk Amy, yang jelas-jelas sudah membocorkan rahasia tergelap­
ku kepada Mason, ka.rena aku tak pernah menceritakan kepada
siapa pun tentang Ayah yang memukuliku.
Pertandingan pertama melawan tim Saint George. Kami me­
nempati posisi dan menunggu wasit memberi tanda mulai. Angin
bulan Desember menderu di lapangan tapi aku nyaris tak me­
rasakannya. Kemudian peluit ditiup dan tim lawan melempar­
kan bola tinggi dan panjang. Aku menangkapnya dan berlari
selurus panah ke arah lautan pemain yang bergerak maju. Tu­
buh-tubuh berjatuhan di bawah sepatu botku dan seseorang
berteriak kesakitan tapi aku terus berlari dan beberapa saat
kemudian kami memimpin.
Pola ini berlangsung sepanjang sisa pertandingan. Di sekolah
lamaku aku pemain yang lumayan bagus tapi jelas bukan yang

47
terbaik. Aku tidak berlatih sekeras yang lain selama sesi-sesi
sore yang melelahkan dan tidak menghabiskan waktu sebanyak
yang lain di gym, mengangkat beban dan memupuk stamina. Tapi
berdasarkan standar Park High aku luar biasa dan meskipun
timku buruk, kami memenangkan pertandingan pertama kami
dengan selisih nilai yang cukup memuaskan.
"Ayo, boys:' Aku mengumpulkan anggota tim di sekelilingku.
"Berikutnya kita melawan Saint Andrew:'
"Tahun lalu mereka mengalahkan kami empat puluh kosong:'
"Mereka punya semua pemain terkuat:'
"Yeah, dan mereka punya Mason."
"Serahkan saja bajingan itu padaku." Aku sedang tak ber­
nafsu untuk kalah dan mereka pasti merasakannya karena me­
reka mematuhi setiap perkataanku. "Persiapkan diri, menyebar
ke seluruh lapangan, dan cobalah mengikuti petunjukku."
Mereka melakukan yang kuminta dan ketika tim Saint
Andrew melontarkan bola tinggi dan panjang ke arah kami,
kami sudah siap. Aku menangkap dan mengoperkannya ke salah
satu rekan satu tim sebelum aku dijegal. Kami bergerak maju
di lapangan dan beberapa operan kemudian, kami berada di sisi
lapangan lawan. Bola jatuh ke tanah dan aku menjatuhkan diri
di atasnya, lalu berbalik dan melemparkannya ke rekan satu
timku. Dia mengoperkannya dan kami hampir tiba di garis gol
lawan sebelum semua berubah menjadi bencana.
Bola direbut dari salah satu pemain bertubuh kecil dan me­
nemukan jalan ke Mason yang menempati posisi sebagai pe­
main sayap, lalu dia berlari melintasi lapangan tanpa menemui
satu halangan pun. Sungguh menyakitkan melihatnya. Timku ter­
lalu takut untuk menjegalnya. Kami sudah terlihat begitu bagus

48
selama beberapa waktu dan bermain penuh percaya diri, tapi
hanya dengan satu gerakan singkat, kepercayaan diri itu runtuh
dan semua orang menundukkan kepala.
"Kau suka itu?" Mason melenggang melewatiku dalam per-
jalanan kembali ke lapangan. "Aku masih punya banyak."
"ltu kali terakhir kau mencetak angka:'
"Yeah terserahlah, anak papa:·

Dia pasti melihat wajahku saat itu dan berpikir kata-katanya


menyakitiku, namun kerusakan sudah terjadi pada saat aku me­
ngetahui Amy telah mengkhianati kepercayaanku. Tega benar dia
berbuat seperti itu? Membiarkanku menceritakan semua ra­
hasia terdalam, lalu berlari menemui Mason dan melaporkan
seluruh detailnya. Aku mengawasi saat Mason bergabung kem­
bali dengan timnya dan kuputuskan untuk mengakhiri per­
mainan anak itu.
Karena Saint Andrew baru mencetak angka, sekarang giliran
kami menendang bola kepada mereka. Aku menoleh ke kiri
lapangan tempat Mason berdiri, lalu meluncurkan bola rendah
yang pasti akan dia tangkap. Dia meraupnya dan mulai berlari,
rekan-rekan satu timku dengan putus asa menyingkir dari jalur­
nya. Aku tetap di posisi dan dengan saksama mengikuti arah
larinya sampai aku menjadi satu-satunya pemain yang berdiri
antara dia dan garis gol.
Ketika itu pandanganku seolah menyusut hingga hanya
Mason yang dapat kulihat. Aku menunggu di sana saat dia me­
laju ke arahku dan mengingat semua penghinaan yang pernah
dia lontarkan kepadaku. Bau ludahnya di jaketku sewaktu ku­
cuci di wastafel, ekspresi wajahnya saat dia menyerangku dan
teman-temanku dengan tongkat golf. Dan akhirnya, persis se-

49
belum dia tiba di tempatku, aku membayangkan dia dan Amy
menertawakan kejadian yang kualami dengan ayahku. Kemudian
aku menegakkan punggung dan memantapkan pijakan kaki, lalu
mendorong bahuku ke depan menghantam pinggangnya.

50
ben'Ja..n Sepenuh
ha..riku

"
O'Jemilih jalur karier adalah hal terpenting yang akan kau­
lakukan dalam hidupmu."
"Bukan menikah, ya?" Aku berada di kantor Miss Wilkinson,
menerima pengarahan. "Atau memutuskan untuk punya bayi?"
"Maaf?"
"Yah, kalau salah pilih karier, kita bisa meninggalkannya de­
ngan cukup mudah . . ."

"Begitu:·
". . .sementara memulai keluarga jelas merupakan komitmen
yang lebih besar."
"Apa kau berencana memulai keluarga?"
"Tidak juga, saya hanya ingin menegaskan intinya:•
"Dan apa intinya?"
"Bahwa memilih jalur karier bukan hal terpenting yang akan
kulakukan dalam hidup ini:'
Dia melepas kacamatanya sebentar dan mencubit batang

51
hidungnya. "Apa kau akan menanggapi ini dengan serius atau
aku hanya membuang waktu?"
"Ya , Miss, t entu saja."
"Ya untuk menanggapi ini dengan serius atau ya aku hanya
membuang waktu?"
"Ya untuk menanggap i ini dengan serius." Karena sudah
meng si ap dua per t g
i a rokok ganja dalam perjalanan k e se­
kolah, aku m erasa ag ak can ggung dan apatis. "Say a h an y a ing in
mengetahui pilihan-pil ihan saya setelah lulus akhir tahun in i:'
"ltu tergantung hasil GCS E5-mu. K au butuh setidaknya l ima
nilai bagus jika menginginkan pekerjaan yang layak:'
"Bagaimana dengan program magang?"
"Program magang amat jarang belakangan in i."
"Saya l ihat g alangan k apal memp erkenalkan k em bal i progam
itu:·
"Oh ya?"
"Apakah Anda t idak mem baca koran l o k al , Miss? Ada ha­
laman lowongan kerja yang bagus setiap Senin . Mung kin ber­
guna untuk seseorang yang bekerja d i bidang seperti Anda."
Percakapan terus berlanjut seper ti itu, Miss W il k inson me­
nawarkan kata-kata hampa dan aku menghancurkannya hanya
untuk memuaskan diri. Saat aku berjalan keluar dari k antornya,
d ia lega melihat kepergianku dan aku hanya sed ik it le bih bijak­
sana d iban d ing k an se belumnya. J k
i a ingin melamar ke galangan
k apal aku butuh nilai yang bagus serta CV yang menunjukkan
komitmen dan pengalaman kerja. Karena undang-undang me­
larang kami melakukan pekerjaan profes ional se belum umur

' Standar kelulusan sekolah menengah di lnggris.

52
enam belas, aku menganggap syarat terakhir ini cukup menyu­
sahkan.
Aku melangkah keluar menyongsong pagi musim semi yang
tak berangin, dengan matahari yang menggantung tinggi di langit
biru pekat. Sudah lima bulan berlalu sejak kecelakaan rugbi
Mason dan dia masih belum sepenuhnya pulih dari kejadian
tersebut. jalannya pincang sekarang dan dia tampak jauh lebih
kecil serta lebih diam dibandingkan dulu, walaupun mungkin
saja itu hanya imajinasiku. Tapi apa pun kebenarannya, dia tidak
menggangguku dan aku tidak mengganggunya.
Murid-murid tahun kesebelas6 mendapatkan cuti belajar,
yang artinya kami bisa tinggal di rumah dan mempersiapkan
ujian GCSE kami. Karena sudah memperoleh pendidikan yang
berbobot di sekolah lamaku, ujian tidak terlalu menakutkan
bagiku dan itu hanya perlu mengingat fakta-fakta dan mema­
hami teori-teori. Satu-satunya pelajaran yang agak mencemas­
kanku hanya matematika, sebab aku tak pernah pandai di bi­
dang itu.
"Apa kabar, Jeeves?"
"Halo, Tanya." Aku sudah tiba di halte bus. "Kau datang un­
tuk mencari pekerjaan impian, ya?"
"Ah, sepertinya sih tidak. Aku mau lanjut sekolah dan meng­
ambil ujian A-levels:·
"Kupikir kau bukan tipe akademis."
"Penampilan bisa menipu, Sobat." Dia tersenyum dan giginya


Tahun terakhir pendidikan wajib di lnggris (usia 15·16 tahun), sebelum Undang·
undang Pendidikan baru yang mulai bertaku tahun 2013, menaikkannya menjadi
usia 18 tahun.

53
luar biasa rata dan putih. "Kau tak bertemu Amy di dalam
sana, ya?"
"Untungnya tidak."
Senyum Tanya memudar. "Kapan kau akan berhenti meng-
hukumnya?"
"Aku tak mengerti kenapa kau harus peduli:'
"Astaga, tak mengerti perempuan, ya?"
"Sudah jelas tidal<." Aku tak mampu mendebat pernyataan
seakurat itu. "lntinya, bagaimana aku bisa yakin aku bisa me­
mercayainya lagi?"
"Kau takkan pernah bisa yakin, tidak seratus persen, tapi
bukan begitu cara kerja kepercayaan:·
Setelah dia pergi aku menyalakan rokok dan bus tiba se­
belum rokokku habis. Kutunjukkan karcis harianku kepada
sopir bus lalu menyandarkan kepala ke jendela dan mencoba
menghalau perasaan muram yang melingkupiku. Teguran Tanya
benar-benar tak masuk akal. Aku yang sudah disakiti, bukan
Amy, dan tahu apa mereka berdua soal memercayai orang lain?
Aku tetap duduk sampai bus tiba di pusat kota. Langit siang
ini berawan dan aku berjalan ke selatan melewati deretan kafe
serta toko lalu terus ke arah pinggir laut dengan penginapan­
penginapan murahnya yang dilengkapi papan tanda kecil yang
bernuansa ceria. Mendekati puncak bukit, udara bertambah se­
juk sementara burung-burung laut terbang berputar di atas
kepala dan aku bisa mencium aroma laut sebelum melihatnya.
Dari satu bangku kosong di promenade aku memandang ke
bawah pantai berbatu karang, air laut tengah surut dan batu­
batu karang di permukaan lebih rendah terselimuti rumput laut
hitam yang tebal. Sejumlah perahu layar melintas mengirisi per-

54
luar biasa rata dan putih. "Kau tak bertemu Amy di dalam
sana, ya?"
"Untungnya tidak."
Senyum Tanya memudar. "Kapan kau akan berhenti meng-
hukumnya?"
"Aku tak mengerti kenapa kau harus peduli:'
"Astaga, tak mengerti perempuan, ya?"
"Sudah jelas tidal<." Aku tak mampu mendebat pernyataan
seakurat itu. "lntinya, bagaimana aku bisa yakin aku bisa me­
mercayainya lagi?"
"Kau takkan pernah bisa yakin, tidak seratus persen, tapi
bukan begitu cara kerja kepercayaan:·
Setelah dia pergi aku menyalakan rokok dan bus tiba se­
belum rokokku habis. Kutunjukkan karcis harianku kepada
sopir bus lalu menyandarkan kepala ke jendela dan mencoba
menghalau perasaan muram yang melingkupiku. Teguran Tanya
benar-benar tak masuk akal. Aku yang sudah disakiti, bukan
Amy, dan tahu apa mereka berdua soal memercayai orang lain?
Aku tetap duduk sampai bus tiba di pusat kota. Langit siang
ini berawan dan aku berjalan ke selatan melewati deretan kafe
serta toko lalu terus ke arah pinggir laut dengan penginapan­
penginapan murahnya yang dilengkapi papan tanda kecil yang
bernuansa ceria. Mendekati puncak bukit, udara bertambah se­
juk sementara burung-burung laut terbang berputar di atas
kepala dan aku bisa mencium aroma laut sebelum melihatnya.
Dari satu bangku kosong di promenade aku memandang ke
bawah pantai berbatu karang, air laut tengah surut dan batu­
batu karang di permukaan lebih rendah terselimuti rumput laut
hitam yang tebal. Sejumlah perahu layar melintas mengirisi per-

54
airan dan sebuah kapal feri melaju ke kejauhan, mungkin me­
nuju Prancis atau Spanyol atau Portugal. Ketika itu aku ber­
harap sedang bersandar pada pagar buritannya, menyaksikan
kampung halamanku menghilang di belakangku.

* * * * *

Cuti belajar datang dan pergi. Setelah dua minggu ujian akhir,

hukuman penjara Park High-ku akhirnya usai. Dan jika aku


mengharapkan terjadinya keajaiban, sudah jelas aku kecewa.
Satu-satunya hal yang layak dicatat adalah kami saHng menan­
datangani seragam sebagai tanda perpisahan. Di luar itu, semua
berjalan seperti biasa dan aku melangkah keluar dari area se­
kolah dengan perasaan yang sama seperti saat meninggalkan
gedung asrama.
Sewaktu tiba di rumah, ibuku tengah berada di dapur. "Jadi,
bagaimana ujiannya?"
"Bisa lebih buruk." Aku mencomot sepotong wortel dari
talenan. "lbu kan tahu sejak dulu aku suka sejarah."
"Coba lihat kemejamu, Nak, nodanya tidak bakal hilang di­
cuci."
"Aku tidak bakal memakainya lagi:'
Kerutan muncul di dahi ibuku. "Kita perlu bicara tentang
rencanamu untuk mengisi waktu mulai saat ini."
"Ma.ksud lbu?"
"Yah, aku tak mau kau bermalas-malasan di rumah sepan­

jang hari tanpa melakukan apa pun."


"Jangan khawatir soal itu." Aku mencomot potongan wortel

55
kedua. "Aku berencana bermalas-malasan di rumah orang lain
sepanjang hari."
"Cepat atau lambat lidahmu itu bakal membawa masalah
untukmu:'
"Kau takkan menginginkan diriku yang berbeda."
"Jangan terlalu yakin soal itu:· Dia menampar tanganku se­
waktu aku mengulurkannya ke arah talenan lagi. "Sisakan untuk
makan malam, bisa tidak?"
"Aku kelaparan:•
"Anak-anak di Afrika yang kelaparan."
"Oke, aku lapar."
"Buat sandwich sendiri kalau begitu."
"Aku tidak mau repot."
"Yah, aku takkan membuatkannya untukmu:• Suara lbu ter­
dengar lebih tajam. "Kalau kau cukup besar untuk meninggalkan
sekolah, maka kau cukup besar untuk mengurus kebutuhanmu
sendiri. Termasuk urusan mencuci baju dan menyetrika:'
Aku menduga ini hukumanku karena tidak ingin mengikuti
ujian A-levels. Kami sudah membicarakannya berulang kali dan
aku bersikeras tidak akan melanjutkan sekolah, tapi dia jelas
berharap aku akan berubah pikiran ketika hasil ujian sudah
keluar. Jadi jika ini yang dibutuhkan agar dia tidak mengusikku
terus, aku mesti mengikuti permainannya.
"Aku setuju-setuju saja. Bagaimana cara menggunakan mesin
cuci?"
"Nanti, Nak, aku agak sibuk sekarang."
Aku naik ke kamarku dan duduk di depan jendela yang ter­
buka sambil mengisap rokok ganja. Saat itu sore yang hangat
di bulan Juni, ditingkahi angin sepoi-sepoi yang bertiup dari

56
barat. Anak-anak bermain bola di jalanan di bawah sana. Karena
ibuku sedang marah-marah terus, aku berharap udara akan te­

tap seperti ini selama beberapa bulan ke depan. Jadi setidaknya


aku bisa menghabiskan sebagian besar waktu di luar rumah.
lni akan menjadi musim panas yang bebas dari rasa takut
terhadap suasana hati ayahku atau pada hari-hari yang dihabis­
kan di perkemahan Prancis nan suram, sebab anak-anak Mike
sudah lebih besar sekarang dan kami tak lagi harus tersiksa
oleh liburan-liburan keluarga. Semuanya sungguh melegakan
bagiku. Aku bisa bangun slang ka.lau mau, aku bisa tidur larut
kalau mau, dan aku bisa menghabiskan sepanjang hari mengisap
mariyuana di taman kalau mau.
Bukan berarti taman masih memiliki daya pikat yang sama.
Danny sudah sembuh secara fisik tapi sekarang ada sesuatu
yang kurang beres pada dirinya. Sejak hari nahas itu, serangan
acak dari geng sepertinya kian sering terjadi dan baru be­
berapa minggu lalu, dua pria tua dipukuli hingga babak belur.
Salah satunya meninggal di tempat dan yang satu lagi masih
dirawat di rumah sakit dengan bantuan mesin penopang kehi­
dupan.
Aku melihat Tom melangkah menyusuri jalan. Dia menenga­
dah ke jendela dan melambai kepadaku lalu aku turun me­
nemuinya. "Semua sudah selesai, kan?"
"Matamu kelihatan merah sekali."
"Naiklah sebentar, aku harus mencopot seragam ini:'
"Coba lihat kemejamu. . . "

"Kau terdengar persis seperti ibuku."


". . .itu tidak bisa hilang dicuci."
"Aku menyimpannya untuk kenang-kenangan. Siapa tahu, sa-

57
lah satu tanda tangan ini mungkin akan bernilai mahal ber­
tahun-tahun dari sekarang:'
"Kau bercanda, ya? Lulusan Park High hanya mungkin ter­
kenal kalau mereka jadi bintang porno:·
"Atau pembunuh berantai." Aku berbalik dan menaiki tang­
ga. "Ayo, ada setengah batang rokok ganja di atas khusus un­
tukmu."
"Omong-omong, siapa sih Amyr'
Wajahku merah padam. "Cuma teman cewek di sekolah."
"Yah, dia jelas menganggapmu lebih daripada teman cowok
biasa. Dia minta maaf untuk apa?"
"Kau ini bicara apa sih?" Aku menutup pintu kamar di bela­
kang kami dan menunjuk ke arah jendela. "Di asbak sebelah
sana."
"Coba kaulihat bagian belakang kemejamu:•
Saat itulah aku ingat, kami berkerumun di lahan parkir se­
telah ujian sejarah dan seseorang di belakangku begitu lama
menuliskan pesannya. Aku tidak ingat melihat Amy di sana, tapi
karena banyaknya orang. bisa saja mataku melewatkan gadis itu.
Jadi apa sebenarnya yang dia tulis? Kubuka kancing kemejaku
lalu kulepas kemeja itu dan kuangkat menghadap cahaya.
Maa( untuk segalanya. Dia menggunakan bolpoin merah dan
menyertakan nomor teleponnya. Aku mencintaimu dengan se­
penuh hatiku Jeeves, tolong hubungi aku.

58
"
P ertama-tama, aku ingin kau pergi ke gudang peralatan dan
membawakanku palu kidal."
"Aku tidak bakal tertipu, Bert. Tak ada yang namanya palu
kidal:'
Dia mengusap janggut kelabu tebalnya. "Yah, sayang sekali."
"Dan selagi kita membicarakan ini, aku juga tak mau me­
nanyakan satu set kait melayang:'
"Bagaimana kalau sekotak paku kaca atau sekaleng cat
garis-garis?"
"Kurasa tidak."
"Wah, kau berandal kecil yang sangat percaya diri, ya?" Dia

menggaruk puncak kepala botaknya sesaat. "Kita lihat apakah


kau punya disiplin yang sama tingginya."
Sudah setahun lebih berlalu dan ini hari pertamaku selepas
pelatihan dasar. Setiap pekerja magang ditugaskan kepada se­
orang mentor dan aku mendapat Bert Baxter, duda tua masam
yang dikenal memiliki standar amat tinggi dalam kecakapan

59
kerja na mun amat rendah dalam perawatan diri. Pada kesan
pertama, s ep ertinya dia t a k terlalu menyukaiku.
"Jad i, bagaima na rencananya?" Kugoso k-gosok kan tangan ku.
"Apa yang sedang kita kerjakan?"
"Kita tidak akan mengerjakan apa pun sampai kau pergi ke
gudang pe ralat an:·
" Untuk apa, tugas buat o rang bodoh ?"
"Yah, memang itu tugas." Dia menelengkan kepala. "Tapi
apakah kau bodoh atau tidak, hanya waktu yang a kan mem­
beritahu kita:'
A ku meninggalkan beng kel kerja dengan me mbawa dafta r
barang-barang yang dia inginkan. Pi sau gergaji, satu set ki ki r
kecil, be berapa si kat kawat, dan seju mlah barang lainnya. Area
galangan kapal terbentang seluas delapan kil ometer le b ih d i
wilayah pinggir laut dan kau bisa dengan mudah t ers esat di
antara rangkaian ruwet gudang-gudang, b eng kel-beng kel serta
gedung-gedung ad min istrasi. A ku mengikuti petunjuk dari Be rt
dan sepuluh menit ke mudian sudah ti ba di tempat tujuan ku.
"K elihatannya sep erti tulisan tangan si tua Bert ." Salah satu
penjaga gudang menga mati da fta r. "Kau pasti pemagang baru­
nya:'
"Kudengar yang t erakhi r t ewas kel elahan."
"Nasi b mu bisa jauh lebih buruk, p ercayalah. Dia mung kin
me mbuatmu beke rja ke ra s tap i kau akan menjadi le b ih bai k."
"Apa dia selalu seramah itu?"
"A ku p ernah melihatnya t ersenyum beberapa tahun lalu,
tap i mungkin saja dia sedang sa kit pe rut:'
S i penjaga gudang menghilang di antara de retan rak dan
barisan rak yang t erhampar sepanjang bangunan.T erdengar se-

60
buah lagu di radio yang kusukai waktu pertama kali mende­
ngarnya namun kini sudah diputar sedikitnya seribu kali. Be­
berapa menit kemudian si penjaga gudang kembali dengan
barang-barang dalam daftar dan aku keluar lalu menemukan
tempat yang sepi untuk merokok ganja.
Cuaca mendung dan lembap dan aku berharap ada di ru­

mah saat ini, meringkuk di tempat tidur, karena tidurku tak

terlalu nyenyak semalam. lni tampaknya akan menjadi hari yang

paling tidak menyenangkan. Setelah selesa.i di galangan, aku ha­

rus menggali taman kakek-nenekku, karena punggung Kakek


sakit dan dia tak dapat melakukannya. Sesudah itu aku mesti

membantu Mike memasang perabot rakitan karena dia benar­


benar payah bila harus menggunakan obeng.
Bert menyambut kedatanganku dengan gerutu. "Lama se­
kali kau. Sebaiknya kita cari sesuatu yang berguna untuk
kaukerjakan sebelum kau menghilang lagi."
"Oh betapa bahagianya."
"Bahagia sekali." Dia memanduku ke meja kerja yang di­
penuhi beragam sambungan pipa karatan. "Lihat benda-ben­
da cantik ini?"
"Ya, Bert." Hatiku langsung hancur, sebab kukira kami
akan mengerjakan salah satu kapal selam nuklir. "Aku me­
lihat benda-benda cantik itu dengan sangat jelas."
"Pertama-tama kau harus menyikatnya sampai bersih."
Dia menunjuk sambungan-sambungan pipa dan benda-benda
yang kubawa dari gudang peralatan. "Kemudian kau harus
mengikir semua galur yang rusak dan permukaan sam­
bungan-sambungan pipa itu."

61
"Tapi pasti ada ratusan sambungan pipa di situ, aku bakal
butuh waktu seminggu penuh."
"Seminggu penuh atau sebulan, tetap saja harus dikerja­
kan."
"Oh Tuhan."
"Tuhan takkan membantumu, tapi perkakas dan tingkah
lakumu mungkin bisa membantu." Dia menatapku dengan

sorot mata tajam dan mantap. "Kalau kau punya tingkah


laku yang tepat, tentunya."
"Oke, terserah apa katamu." lnilah yang kubutuhkan,
pelajaran hidup dari seorang pria yang penampilannya se­
perti penghuni kolong jembatan. "Sebaiknya aku mulai saja."
"Aku takkan menghalangimu."
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling bengkel kerja dan
bertanya-tanya apakah aku sanggup berada di sini hari demi
hari. Bau kain gombal berminyak, debu, keringat, poster-poster
tua koyak yang mengelupas dari dinding serta lampu-lampu
yang menerakan cahaya jingga kotor ke atas segalanya.
"Apa kau akan berdiri di sana dan mengawasiku seharian?"
"Hanya memastikan kau tahu mana ujung sikat yang harus
kaupegang."

* * * * *

"lbumu bilang kau pindah rumah dengan gadis ini:'


"Tergantung apakah kami bisa menemukan tempat tinggal."
Aku menengadah kepada bibiku, yang baru saja masuk ke da­
pur kakek-nenekku. "Kami sedang mencari apartemen di
Waterloo:'

62
"Apartement' Dia mendengus. "Lebih mirip lubang tinja:·
"Jaga bicaramu:· Nenek memberinya tatapan sedingin es.
"Kau tahu aku takkan menoleransi omongan semacam itu di
rumah ini."
Dapur menjadi hening dan aku menekuri tanganku yang
rusak lalu mengernyit. Sakitnya luar biasa, terutama saat aku
mencoba mengepalkannya atau memasukkannya ke saku. Le­

puh-lepuh akibat menggenggam sikat kawat kini terbuka gara­


gara mencengkeram gagang sekop taman dan aku berharap aku
menuruti nasihat Bert untuk mengenakan sarung tangan yang
dia tawarkan.
"Aku ingat waktu Waterloo masih menjadi area yang ter­
hormat:' Kakek membawa cangkir-cangkir teh ke meja lalu
duduk. "Nenek dan aku punya rumah di sana tahun lima pu­
luhan:·
"Keadaan sudah berubah sekarang, Ayah:'
"Jadi kau dan lbu gadis-gadis dari Waterlool"
"lbumu bukan:' Bibi menggeleng. "Kami pindah sebelum dia
lahir:·
"Oulu tempatnya menyenangkan. Anak-anak bisa bermain
dari pagi sampai ma.lam dan tak ada yang perlu mencemaskan
mereka."
"Sekarang isinya hanya ibu-ibu lajang, para penipu tunjangan
kesejahteraan, dan bandar-bandar."
Suka atau tidak. bibiku memang benar tentang Waterloo. ltu
bagian kota yang paling tidak menyenangkan dan sebagian besar
penghuninya adalah orang-orang tak terhormat. Tapi di sana
banyak apartemen murah dan uang kami tidak banyak jadi
kami mesti puas dengan apa yang ada sampai kami mampu

63
pindah ke tempat yang lebih layak. Ditambah lagi bandarku
sendiri juga tinggal di sana, dan itu sangat berguna.
"Apa pendapat ibumu tentang ini?"
"Kemerosotan Waterloo?"
"Tentang kau yang pindah dengan teman gadismu." Nenek
rihat sebentar dari kesibukan memasak dan bergabung dengan
kami di meja. "Di zaman kami itu tidak mungkin terjadi:'
"Yah, zaman sudah berubah."
"Mereka banyak lagak sekarang, anak-anak ini:' Bibi mem­
berikan lambaian-tangan-menghina padaku. "Tidak mau ber­
komitmen untuk menikah tapi senang-senang saja kumpul
kebo."
"Apa yang sudah kubilang soal menjaga bicaramu?"
"Maaf, Bu, tapi memang benar. Mereka tidur bersama be­
berapa kali dan langsung mengira mereka saling mencintai. Dan
gadis ini mungkin hanya melakukannya karena dia tak suka
tingga.I di rumah bersama ibu dan ayahnya:'
Maka dimulailah topik yang tak berkesudahan mengenai be­
tapa keadaan jauh lebih balk di masa lalu. Betapa uang lebih
bernilai dan orang-orang lebih baik hati dan musim panas lebih
cerah dan para remaja jauh lebih berbudi. Meskipun biasanya
aku bisa menoleransi obrolan semacam itu, malam ini aku me­
rasa semua omongan mereka hanya ditujukan kepadaku serta
situasiku.
"Yah, aku tak peduli apa pendapatmu. Pokoknya aku mau
pindah, titik."
"Jangan meninggikan suara seperti itu."
"Biar saja dia kena batunya nanti, Bu:' Bibiku menandaskan
tehnya dan meletakkan cangkir keras-keras di meja. "Hanya

64
dengan cara iW dia akan mengerti. Lihat saja apa yang terjadi
dengan ayahnya."
"Apa hubungannya masalah ini dengan ayahku?"
"Kau melompat-lompat riang ke tempatnya karena mengira
rumput di sana lebih hijau."
"Mana aku tahu dia bakal memperlakukanku seperti itu?"
"Sejak dulu aku sudah tahu seperti apa orangnya:•
"Yah, selamat, betapa benarnya dirimu."
"Tunggu sebentar..."
"Kau tahu apa masalahmu? Kau terobsesi untuk selalu be­
nar:•
"Lancang sekali kau."
"Lancang sekali kalian berdua:' Suara Nenek laksana sam­
baran kilat. "Beginikah cara kalian menghormati rumah kami?"
"Sudahlah, my love. . ."
"Jangan mencoba menenangkanku." Dia menatap Kakek de­
ngan dingin, lalu kembali berpaling kepada Bibi dan aku. "Kalau
masih lanjut terus, kalian akan pulang dengan tendangan di bo­
kong."
Mendapat teguran seperti itu, kami melewatkan sisa malam
dengan tidak membicarakan Waterloo, yang sama sekali bukan
masalah bagiku. Kami berbicara tentang kerja magangku, ten­
tang taman sayuran Kakek, tentang radang sendi yang makin
parah di pinggul Nenek. Dan pada satu titik Bibi menyinggung
tentang Mike dan lbu. Meskipun sudah tahu keadaan di antara
mereka tidak terlalu baik, aku tetap terkejut mendengar soal
perceraian.
Kakek menghabiskan potongan kentang terakhirnya. "Un­
tunglah tidak ada anak-anak kecil yang terlibat:'

65
"Kau bisa bilang apa saja tentang perceraian:· Nenek me­
nyalakan keran air panas di bak cuci. "Tapi itu merusak anak­
anak:'
"Begitu pula bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia:·
"Aku tidak bilang itu benar atau salah."
"T:ap1 . . ...
.

"Tidak ada tapi. Hari sudah larut." Dia mengangkat tangan

dan mengakhiri percakapan itu. "Kek, tolong pakai sepatumu


dan antar mereka pulang."
Kami memberi Nenek ciuman perpisahan di pintu depan,
lalu Kakek mengendarai mobilnya ke rumah bibiku terlebih
dahulu kemudian ke rumah lbu. Sebelum aku keluar dari mobil
dia menyelipkan uang ke tanganku dan memintaku berjanji ti­
dak akan terlibat masalah. Aku menyalakan rokok dan duduk
di depan pintu selama beberapa waktu, berharap kepindahanku
dari sini dapat memberi kesempatan pada lbu dan Mike untuk
memperbaiki keadaan.

66
U1ang tahunku yang kedelapan belas bertepatan dengan ke­
pindahan ke apartemen di Waterloo. Dan entah mereka setuju
atau tidak dengan keputusanku, keluargaku sedapat mungkin ber­
usaha membantu kami. Ada sejumlah amplop berisi uang dan
Mike memberi kami beberapa lembar voucher supermarket.
lbuku bahkan membuat kue cokelat.
"Aku sungguh-sungguh merasa dia tidak menyukaiku:· Amy
mengawasi dari jendela sementara lbu dan Mike naik ke mobil
dan meluncur pergi. "Mungkin dianggapnya aku tak cukup baik
untukmu."
"Apa yang membuatmu berkata begitu?"
"Entahlah." Dia duduk di sampingku di sofa hijau yang
mengisi ruang tamu. "Barangkali ini intuisi perempuan."
"Dia mungkin hanya terlalu protektif." Aku mencon­
dongkan tubuh dan mengecup pipinya. "Kau tahu seperti
apa para ibu."

67
"Sebenarnya tidak, Jeeves." Dia menjauh dengan ekspre­
si masam. "Karena ibuku menghabiskan sebagian hidupnya
di tempat rehabilitasi terkutuk."

"Maaf, Sweetheart." Kehidupan keluarga Amy termasuk


topik yang rawan dan aku mengutuk diriku karena tidak
berpikir sebelum bicara. "Kita pesan piza sekarang? Pin­
dahan ini membuatku lapar."

"Berhentilah memanggilku Sweetheart, aku bukan bo­

neka Barbie."
"Maaf, kebiasaan buruk."
"Lupakan soal piza, kita minum ini saja:' Dia mera.ih ke ba­
wah dan mengangkat sebotol vodka. "Kuharap kau tidak meng­

habiskan Coca-Cola-nya:'
"Masih ada sisa di kulkas:'
"Nah, buatlah dirimu berguna dan bawakan dua gelas untuk
kita:'
Aku pergi ke dapur yang saat itu terlihat penuh sesak dan
kotor. Sebenarnya seluruh apartemen tampak seperti itu, dari
kamar tidur kecil yang gelap dengan satu jendela, sampai kamar
mandi yang berbau lumut dan catnya mengelupas dari dinding.
Semua terjadi begitu cepat dan aku begitu bersemangat unwk
pindah sehingga tidak memperhatikan hal-hal semacam ini.
"Tidak ada gelas:' Aku berteriak ke ruang tamu. "Kita harus
puas dengan mug-mug ini."
"Aku rela minum dari sepatu bot kakek-kakek kalau me­
mang harus:'
"lni dia:' Kuletakkan kedua mug dan Coca-Cola di meja
kopl. "Mau mencoba ranjang baru kita malam ini?"

68
"Mungkin:· Amy menuangkan dua minuman dengan banyak

porsi vodka. "Tergantung semabuk apa aku:·


Kami terus minum sampai aku mengecek jam dan ternyata
sudah hampir pukul satu pagi. Coca-Cola sudah habis berjam­
jam lalu dan kami melanjutkan minum vodka tanpa campuran
apa pun sambil bermain 'kejujuran atau tantangan' yang dia

pelajari dari Mason. Sakit rasanya membayangkan mereka ber­

dua dan yang ingin kulakukan hanya membawa Amy ke tempat


tidur, seolah-olah bercinta bisa meredam hantu-hantu masa
lalunya. Tapi dia lebih suka berjaga sepanjang malam, merokok
dan mendengarkan musik.
"Jangan konyol, Jeeves." Kata-kata Amy mulai tumpang-tindih

sekarang. "Kita ini tinggal bersama, demi Tuhan, kita bisa tidur
kapan pun kita mau:•
"Nah, kenapa tidak sekarang? Empat jam lagi aku harus
siap-siap berangkat kerja."
"Tidur sendiri saja kalau begitu:•
Membayangkan tidur tanpa Amy sama sekali tak menarik

bagiku. Sudah berminggu-minggu aku menantikan saat ini, tak


perlu lagi menunggu orangtua kami pergi agar kami bisa me­
nikmati sedikit privasi. Selain itu, aku juga sedang berulang ta­
hun dan rasa cemburu membuat perutku terasa mual, memi­
kirkan semua mantan pacar yang dia sebut-sebut sepanjang
percakapan kami.
"Ayolah, Amy, ini benar-benar sudah larut:'
"Tidur sajalah dan biarkan aku sendiri. Apa kau tak bisa Ii­
hat aku sedang bersenang-senang?"
"Oh yeah:' Aku berdiri dan limbung sedikit selagi vodka

69
mengalir ke kakiku. "Kelihatannya kau memang sedang ber­
sukaria."
"Jangan mulai, Jeeves."
"Jangan mulaW' Kusadari kata-kataku juga sudah tumpang­
tindih. "Aku hanya menegaskan fakta bahwa kau tidak tampak
terlalu bersenang-senang:•
"Oh, pergilah tidur, bocah kecil:'
Kata-katanya menghantamku bagai tamparan di wajah. "Tak
perlu seperti itu:·
"Semua ini tak perlu:•
"lkutlah denganku, Sweetheart:'
"Berapa kali aku harus bilang? Jangan panggil aku begitu:·
"Aku hanya ingin dekat denganmu:·
"Kau sedang berdiri di sampingku, tolol. Lebih dekat lagi
dan kau bakal menimpaku:•
"Yah, memang itu maksudnya."
"Biarkan aku sendiri, demi Tuhan:· Dia menyambar botol
vodka dan melemparnya ke tembok. "Kau seperti burung pela­
tuk sialan yang mematuki kepalaku."
Aku terlalu kaget untuk mengatakan apa pun dan meman­
dang dari karpet ke tembok lalu kembali lagi. Kepalaku pusing
dan di mana-mana ada pecahan kaca. Sebagian bahkan meman­
tul dan mendarat di pinggir meja kopi.
"Lihat apa yang kulakukan gara-gara kau:' Dia mendesak
melewatiku dan menyerbu ke kamar mandi sambil mengumpat
keras. "Dasar tolol."
Aku mengambil pengki dan sapu dari bawah bak cuci piring
di dapur la.lu mulai membersihkan beling, yang bertebaran ke
setiap sudut ruangan. Dua puluh menit kemudian aku hampir

70
selesai dan kugunakan pengisap debu untuk menyedot ser­
pihan-serpihan yang kecil. Tanganku berdarah di beberapa tem­
pat dan sepotong beling tertanam di telapak kakiku.
Aku duduk di sofa yang kosong lalu melinting rokok ganja.
Kepalaku sakit bukan main. Bukan begini bayanganku tentang
malam pertama kami di tempat baru dan aku sungguh ber­
harap ini hanya insiden yang takkan terulang. Setelah rokokku

habis aku mencari Amy tapi dia sudah tergeletak mendengkur

di tempat tidur. Aku berbaring di sampingnya dan kamar itu


berbau uap vodka.

* * * * *

Pada bagian tengah kapal selam, di geladak bawah dalam kom­

partemen yang panas dan gelap, hiduplah mesin bernama mo­


cerator. Mesin itu mendapat pasokan makanan dari pipa baja
tebal dan menghancurkan limbah dari dapur serta toilet-toilet.
Aku berbaring di geladak, melonggarkan mur yang mengaman­
kan dan menyegel pipa baja tebal itu, dan beberapa saat kemu­

dian aku terciprat cairan paling busuk yang bisa kaubayangkan.


"Kau senang sekali membuatku tertawa." Bert mengulurkan
tangan yang memegang kain gombal dan membungkusnya di
sekeliling pipa. "ltu sudah pasti bakal membuatmu sadar."
"Menjijikkan sekali:' Kuseka wajah dengan lengan overall-ku.
"Kenapa kau tidak memperingatkanku?"

"Sudah, tapi kau sedang berada di dimensi lain."


"Tidak mungkin:· Aku terbatuk dan meludah di geladak.
"Kau pasti cuma berbisik:'

71
"Yah, kurasa itu menjadi pelajaran bagimu agar tidak masuk
kerja dalam keadaan mabuk."
"Aku tidak mabuk, Bert, tidurku hanya kurang nyenyak."
Sekarang setelah pipa jalur masuk sudah lepas, kulonggarkan
pipa pembuangan dan mencopot baut-baut yang menahan unit
macerator ke geladak. Kemudian kami mendorong unit itu ke
samping lalu memisahkan macerator dari motornya dan benda

itu bukan main beratnya sewaktu kami seret naik dari kege­
lapan kapal selam ke cahaya matahari.
"Kau kelihatan berantakan, Nak."
"Sudah kubilang tidurku tidak nyenyak."
"Terlalu sibuk menggelontorkan bir ke perutmu."
"Hentikan, Bert." Kutangkupkan tangan ke wajahku dan
langsung menyesalinya. "Bagaimana kau bisa tahan dengan bau
. . ,,,
lnl.
"Yah, sebagai permulaan, aku berusaha tidak melumuri tu­
buhku dengan itu:·
Aku mengamati Bert dari atas ke bawah dan terpaksa
mengakui bahwa dia berhasil menjaga overa/1-nya tetap bersih.
Tak diragukan lagi, sebagian karena aku yang melakukan hampir
semua pekerjaan. Meski demikian, dia tetap mendampingiku
dalam kompartemen sempit itu dan membantuku menangani
macerator yang mengerikan.
"Ayo kita bawa si cantik ini kembali ke bengkel:'
Kami menurunkan macerator melewati sisi kapal dengan tali
gantungan dan menempatkannya di troli. Enak rasanya berada
di luar lagi dan aku menghirup udara November yang segar
seraya berharap aku tidak minum vodka sebanyak itu. Kejadian
semalam hanya samar-samar dalam ingatanku. Aku terbangun di

72
fajar yang dingin dan kelabu dalam keadaan lemah dan mua.1,
sementara Amy sudah menarik selimut menutupi kepala dan
menolak untuk bicara.
Galangan berdenyut sibuk oleh para pekerja dan kami ber­
henti sesekali agar Bert bisa berbasa-basi dan mengumumkan
kondisiku yang menyedihkan kepada semua orang. Dia mem­
beritahu mereka bahwa aku pekerja paling tak berguna yang

pernah dia kenal dan wajahku merah padam karena malu. Aku
tahu para pekerja magang selalu diledek tapi aku merasa dia
terlalu menikmatinya dan kusampaikan pendapatku kepadanya.
"Yah, kau tahu mesti berbuat apa:·
"Apa, Bert? Melemparmu ke laut?"
"Wah, kuharap tidak." Dia menatap air yang memukul-mu-
kul dermaga. "Aku tak pernah belajar berenang:•
"Tapi serius, kau tak perlu sejahat itu "
.
"Dan kau tak perlu seteler itu:·
Aku membuka mulut untuk protes namun dia menghenti­
kanku dengan pelototan.
"Kuberitahu sesuatu." Dia menunjuk ke belakang kami de­
ngan ibu jarinya. "Kaulihat kapal selam yang baru saja kita ker­
jakan?"
Aku mengangguk, yang membuat kepa.laku semakin pusing.
"Yah, sesekali kita harus masuk dan memperbaiki tabung-ta­
bung torpedo. Dan kau tahu apa yang bisa terjadi saat itu?
Tentu saja tidak, sebab kau berkeliaran setiap hari di dunia
mimpi terkutuk."
"Apa begitu penting bagimu untuk bicara padaku seperti
sampahr''
"Akan kubiarkan kau menilainya sendiri kalau kau mau ber-

73
henti menyelaku. Jadi, saat kau berada dalam tabung, hanya ada
satu jalan keluar yaitu jalan yang sama waktu kau masuk. Kalau
mulai banjir, mereka akan menyelamatkan kapal dengan menu­
tup lubang palka di belakangmu dan membiarkanmu tengge­
lam."
"Tidak mungkin:·
"Kapal selam nuklir bernilai sejuta kali lebih tinggi diban­

dingkan uang pertanggungan untuk pekerja malang yang tewas.


lw sebabnya kau selalu membawa teman bersamamu, agar dia
bisa menghajar pelaut yang mereka tugaskan untuk menjaga
lubang palka di sana:'
"Kau bercanda, ya?"
"Aku tak pernah seserius ini." Dia menyentuhkan tangan ke
jantungnya. "Jadi ka.lau kau ingin aku lebih ramah, sebaiknya
kauperbaiki sikapmu. Sebab melihat kondisi saat ini, kau bakal
terlalu sibuk menghitung unicorn di kepalamu untuk menyela­
matkan nyawaku."
Kami kembali ke bengkel tanpa bersuara dan meletakkan
mesin macerator di meja kerja lalu mulai membongkarnya. Kata­
kata Bert menghantamku bagai seember air dingin dan aku
merasa kecil, bingung, dan bodoh. Dia pasti menyadarinya ka­
rena tiba-tiba saja dia sepertinya lebih sabar ketimbang biasa­
nya.
"Jadi di sini semua urusan berakhir." Penutup depan sudah
dilepas dan dia menunjuk piringan baja besar dengan pinggiran
bergerigi tajam. "Kotoranmu dan segala macam limbah masuk
lewat sini dan benda ini bergerak dengan kecepatan seribu
putaran . . . "

"Baunya parah sekali."

74
". . .dan setelah semuanya hancur, cairan akan mengalir ke­
luar lewat sini."
Aku berusaha tetap fokus tapi baunya membuatku mual dan
keringatku mulai bermunculan. lalu ketika aku melihat sepo­
tong jagung manis di punggung tangan Bert, punggungku merin­
ding, kakiku lemas dan kurasakan perutku bergejolak.
"Maaf, Bert, aku harus dapat udara segar:·

Aku berlari ke luar untuk muntah dan terdengar paduan


sorak sorai dari dalam bengkel. Aku menarik napas panjang
beberapa kali tapi terus saja muntah. Mataku berair, mulut dan
lubang hidungku bagai terbakar. Kemudian langit menggelap di­
sertai hujan yang mulai turun. Dan jika seseorang menawariku
kematian yang tenang dan damai, pasti akan kuterima dengan
senang hati.

75
�Vinrer SoLsrice

"
hukum Bernoulli menyatakan bahwa energi total dari
cairan selalu konstan." Doug wajah-jerawat, salah seorang re­
kan magangku, menirukan guru dinamika cairan kami. "Dan jika

energi total selalu konstan, maka kita bisa pulang cepat dan
minum bir dingin yang enak."
Sebagai bagian dari program magang, kami wajib mendapat­
kan Sertifikat Nasional dengan masa pendidikan dua tahun di
bidang llmu Teknik. Sekali seminggu kami dibebaskan dari ga­
langan untuk belajar di kampus setempat dan aku membenci
setiap detiknya karena pelajaran dititikberatkan pada matema­
tika. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menempati
posisi terendah di kelas dan mendapati bahwa itu tempat yang
sangat tidak menyenangkan.
"Jadi, bagaimana hasilnya, Sobat?" Saat itu pagi hari di
pengujung Desember dan kami baru saja mengikuti ujian akhir
semester. "Kau keluar dari sana secepat kilat."

76
"Lumayan:· Doug pura-pura merendah tapi bisa kulihat dari
matanya dia merasa percaya diri. "Tapi soal terakhir tentang
permukaan terenda.m benar-benar mimpi buruk:'
"Setuju:' Aku tak menjawab soal itu. "Kita jadi memancing?"
''Tentu saja."
Kami mengemudi ke selatan lalu ke timur dan melintasi
Waterloo. Jendela di toko-tokonya dipasangi jeruji dan bilik­
bilik telepon dipenuhi coretan graffiti. Aku memajukan tubuh
unwk menyalakan radio dan sewaktu mundur lagi, aku melihat
sekelompok orang yang bersandar pada tembok di luar apotek.
Di antara mereka ada Amy, yang duduk sambil merokok dan
memandangi tanah.
"Pemadat berengsek." Doug meludahkan kata-kata itu. "Me­
nunggu metadon mereka:'
Aku tenggelam dalam pikiran dan tidak kembali ke per­
mukaan sampai kami tiba di lokasi memancing. Ada lahan par­
kir dengan burung-burung laut yang menjerit-jerit di atas sana
serta jalan tanah sempit yang mengarah ke hamparan karang
bergerigi di bawah. Angin sepoi-sepoi berembus dari selatan
dan udara pekat oleh bau tajam garam laut.
"Kau diam sekali, Sobat:' Doug menyerahkan tongkat-tong­
kat pancing. "Ada yang kaupikirkan?"
"Bukan sesuatu yang ingin kubicarakan saat ini:'
Kami menyusuri jalan setapak dan sepuluh menit kemudian
pelampung tali pancing kami terangguk-angguk di tengah om­
bak. Langit sewarna timah. Begitu pula lautnya, tapi dihiasi buih­
buih putih. Kukeluarkan rokok ganja dari saku dan mencoba
menyalakannya.
"Pantas saja kau diam:• Dia menangkupkan tangan di sekeliling

77
pemantikku untuk mencegah angin meniup habis apinya. "Mengi­
sap barang itu sepanjang hari pasti tak bagus untukmu."
"Hentikan, kau terdengar seperti Bert."
"Kau tahu keponakan laki-lakinya meninggal karena over-
dosis?"
"Overdosis mariyuana?"
"Tunggu sebentar, Sobat, umpanku dimakan."
Pelampung pancingnya meluncur ke bawah ombak semen­
tara jorannya tersentak-sentak. Dia memantapkan kaki, tangan­
nya menjadi tegang dan pucat selagi dia bertarung melawan
ikan itu. Aku bergegas menuruni karang dengan jaring dan ikan
itu melompat ke udara sesaat. lkan makarel, hijau-perak-hitam,
Doug memutar penggulung senar, joran melengkung lalu ikan
itu muncul ke permukaan dan tiba-tiba joran tersentak lurus,
senarnya lunglai dan dengan sekali kibasan ekor, ikan itu meng­
hilang dari pandangan.
"Kaulihat ukuran makhluk itu?"
"Semoga lain kali lebih beruntung:• Aku naik lagi dan me­
nepuk pundaknya. "Kita harap saja masih ada banyak di luar
sana:·
"Sebaiknya begitu, ibuku bakal mengeluh semalaman kalau
aku tidak bawa pulang sesuatu:·
"Kau harus coba tinggal sendiri:'
"Belum mampu, Sobat."
Untuk sesaat aku merasa gembira. Aku duduk bersandar
pada karang dan memandang laut. Angin sepoi-sepoi membelai
wajah dan aku tak mengkhawatirkan apa pun di dunia. Namun
perasaan itu tak bertahan lama dan sesaat kemudian aku kem­
bali memikirkan Amy. Kenapa dia berkumpul bersama para

78
pecundang padahal seharusnya dia sedang bekerja di salon ka­
kak perempuannya? Aku mencoba mencari penjelasan yang
dapat membenarkan tindakan Amy, tapi sulit sekali menemu­
kannya.
Malah, aku benar-benar kesulitan menemukan sesuatu yang
positif tentang Amy. Malam insiden botol vodka itu hanya awal
dari semua kegilaan dan telah melampaui puncaknya saat dia

menghancurkan cermin kamar mandi serta menendang pintu


dapur sampai berlubang. Seandainya dia membayar semua
amukan itu dengan aksi di tempat tidur mungkin akan lebih
tertanggungkan, tapi dia tidak melakukannya dan situasi ini
sungguh membebaniku.
"Umpanmu kena."
"Apa?"
"Lupakan saja." Doug menatapku seakan-akan aku anak
kecil. "Sudah terlambat, umpanmu pasti sudah hilang."
"Maaf, pikiranku jutaan mil dari sini:'
"Di planet mariyuana, aku rasa. Kenapa sih kau mau me­
nyentuh benda itu?"
Doug tak pernah mengisap benda ilegal apa pun seumur
hidupnya, tapi tidak ragu-ragu minum sampai pingsan setiap
Jumat dan Sabtu malam. Kujelaskan gairah dan semangat yang
ditimbulkan mariyuana padaku dan bagaimana benda itu mem­
bantuku melihat berbagai hal dari perspektif yang baru. Dan
kukatakan kepadanya, andai saja semua orang mengikuti lang­
kahku, takkan ada lagi kelaparan maupun perang.
"Jadi, itu resepmu untuk perdamaian dunia?" Dia mengang­
kat alis. "Memaksa setiap lelaki, perempuan, dan anak-anak
untuk mulai mengisap mariyuana?"

79
Aku tersenyum samar.
"Astaga, Sobat. Kurasa aku lebih memilih Hukum Ber­
noulli."

* * * * *

Doug menurunkanku di rumah lbu dengan kantong plastik pe­


nuh ikan. Aku membuka pintu depan dan mengumumkan keda­
tanganku tapi tidak ada jawaban, jadi aku masuk dan dari undak­
undakan dapur bisa kulihat ibuku di halaman, sedang mengangkat
jemuran. Dia tampak lebih pucat dan lebih kurus diban­
dingkan biasanya dan aku bertanya-tanya apakah dia sakit.
"Halo, my love, bawa apa itu?"
"Karunia alam." Aku menirukan suara bajak laut. "Berkah
dari tujuh lautan:·
"Masih konyol seperti biasanya." Dia memasukkan pakaian
terakhir ke keranjang lalu menaiki tangga dan mengecup pipi­
ku. "Senang melihatmu."
"Senang melihatmu juga. Bagaimana kehidupan?"
"Tergantung apakah kau mau jawaban mudah atau susah:'
"Aku punya banyak waktu untuk jawaban kedua:• Aku
mengikutinya ke dapur dan meletakkan kantong ikan di meja.
"Keadaan tak berjalan terlalu baik?"
"Kuharap kau sudah membersihkan isi perutnya."
"Jangan khawatir, sudah bersih:'
"Puji syukur untuk rahmat-rahmat kecil." Dia meletakkan
keranjang di koridor dan kembali untuk mengamati lebih sak­
sama. "Kakap-ka.kap ini bagus sekali, tapi aku tidak yakin ten­
tang makarelnya. Mike tak terlalu suka ikan berminyak."

80
"Sayang sekali kalau . . ."
"Kenapa tidak kau bawa pulang untukmu dan Amy?"
"Dia tldak mau makan apa pun yang punya mata:' Aku ke­
luar ke undak-undakan dan menyalakan rokok. "Lagi pula, dia
tak bakal tahu mesti diapakan ikan-ikan ini."
"Jadi, kenapa kau tidak mengajarinya?"
'' ,,

"Dia bisa membungkusnya dalam kertas timah lalu me-


manggangnya di oven."
"Minggu lalu dia membuat mashed potato."
"Oh sedap."
"Seharusnya begitu, kalau dia membersihkan kentangnya
dulu. Aku menghabiskan sebagian malam dengan mengorek­
ngorek tanah dari gigiku."
"Bisakah kusimpulkan ini bukan masa-masa bahagia?"
"Yah, bisa dibilang begitu."
lbuku membuatkan teh untuk kami lalu bergabung denganku
di undak-undakan. Aku menyalakan rokok kedua dan mengung­
kapkan isi pikiranku. Betapa Amy tampak begitu penuh rahasia
belakangan ini dan tak pernah beres-beres, betapa dia menjadi
sangat pelit menunjukkan kasih sayangnya.
"Kau memang tidak terlalu mengenalnya sebelum kalian
tinggal bersama."
"Aku rasa menyampaikan hal yang sudah jelas tidak akan
membantuku."
"Aku rasa bersikap kurang ajar juga tidak. Sekarang kita
jujur saja, kau tidak merasa nyaman dengannya sejak pertama
kali kalian berkencan:•
"Aku selalu mengira hubungan baru seharusnya penuh gairah:'

81
"Memang benar, Nak, tapi hanya jika keadaan di antara me­
reka berjalan baik."
Meskipun sudah cukup lama menyadari bahwa keadaan di
antara aku dan Amy tidak berjalan dengan baik, mendengarnya
dari mulut orang lain terasa seperti pukulan keras. Sekonyong­
konyong aku merasa sudah membuat kesalahan besar. Terlebih
lagi, aku merasa masalah ini timbul karena ada yang salah de­
nganku Seandainya Amy hidup bersama pria lain mana pun di
.

planet ini, mereka pasti akan bercinta seratus kali sehari.


"Kau pernah menga.lami sesuatu seperti ini?"
"Kurasa pernah, pada suatu masa."
"Lalu apa yang kaulakukan?"
"Mungkin aku mencemaskannya berbulan-bulan hingga akhir­
nya kuputuskan semuanya berakhir:·
"Dan menurutmu aku harus berbuat serupa?" Kubayangkan
diriku berjalan meninggalkan Amy, adegan yang begitu menye­
dihkan, dan dia menangis di sofa dengan kosmetik berlepotan,
mengatakan dia tak sanggup hidup tanpaku. "Meninggalkannya
begitu saja di apartemen itu sendirian?"
"Yah, dia jelas mampu bertahan sebelum kau datang:·
"Bagaimana dengan tagihan-tagihan? Dia nyaris tak mendapat
gaji di salon:'
"Dia bisa mencari seseorang untuk berbagi apartemen de­
ngannya:'
"Entahlah." Sekarang aku membayangkan dia mengajak te­
man perempuannya pindah ke sana dan mereka membawa
cowok-cowok pulang setelah mabuk-mabukan di kota. "Seperti­
nya benar-benar tidak adil:'
"Dan menurutmu dia bersikap adil padamu?"

82
Percakapan ini sama sekali tidak membantu. Aku masih te­
tap bingung harus berbuat apa dan satu-satunya yang ingin
kulakukan saat ini adalah naik ke tempat tidur dan terlelap
seribu tahun. Jika beruntung, aku akan bangun dan mendapati

semua ini hanya mimpi buruk sebab pada kenyataannya Amy


menginginkanku lebih daripada aku menginginkannya.
"Baiklah, sebaiknya aku pergi." Kuedarkan pandangan ke ha­

laman. Siang hari terasa berlalu dengan sangat cepat. "Senja

gelap ini sungguh membuatku depresi:'


"Kalau tidak salah hari ini adalah winter solstice."
"Harl apar''
"Hari terpendek dalam setahun:'
"Terima kasih Tuhan, pasti akan menyenangkan bisa berang­
kat-pulang bekerja di hari terang:•
"Mungkin dengan begitu kau akan merasa lebih positif."
Sebelum pergi, aku ke kamar mandi di atas. Kamar mandi­
nya begitu bersih dan segar, dan aroma pinus serta disinfektan
yang selalu digunakan lbu mengingatkanku pada hari-hari yang
lebih baik. Aku mencuci tangan la.lu menengok kamar lamaku
sebentar dan terkejut melihat kamar itu sudah ditata ulang.

Kamar itu kini juga berisi pakaian dan barang-barang Mike, se­
akan-akan dia tidur di sana. Mungkin dengkuran Mike akhirnya

tak dapat ditoleransi lagi.


Aku kembali turun dan mencium ibuku untuk berpamitan
lalu melangkah ke ja.lan. Udara malam yang dingin membuat

napasku beruap dan aku menaikkan kerah lalu berjalan melin­


tasi lingkungan rumah lamaku. Orang-orang sudah menyalakan
rangkaian lampu Nata.I dan rumah mereka memancarkan kece-

83
merlangan sekaligus kehangatan. Saat itu aku merasa begitu
kesepian sampai nyaris menangis.
Setiba di apartemen satu jam kemudian, Amy sedang berada
di kamar mandi dan ruang tamu seperti kapal pecah. Ada mug­
mug kotor di meja kopi, asbak penuh sampai tumpah dan bau
tembakau apak tercium di mana-mana. Aku duduk di sofa de­
ngan kepala bertumpu di tangan. Beberapa saat kemudian ter­
dengar bunyi toilet dibilas dan pintu kamar mandi terbuka.
"Kau lama sekali." Mata Amy merah dan bengkak. "Aku su-
dah menunggumu:•
"Aku mampir ke rumah lbu sebentar:•
"Kita perlu bicara:·
"Sudah pasti, lihat betapa kacaunya tempat ini:'
"Jangan mulai:'
Aku menatapnya dan hatiku dipenuhi rasa muak. Dia pikir
dia siapa, berani-beraninya bicara seperti itu padaku? Aku amat
berhak mengeluhkan kondisi apartemen, aku membayar uang
sewa serta sebagian tagihan dan dia bahkan tidak pergi bekerja,
malah menghabiskan sepanjang hari dengan minum teh dan
merokok.
"Jangan mulai? Aku sangat berhak. . ."
"Aku serius:· Dia duduk di sampingku. "Ada masalah lebih
besar yang perlu kaukhawatirkan ketimbang itu."
"Oh ya, apa misalnya? Pacarku bergaul dengan para pema­
dat?"
"Apa maksudmur''
Kuberitahu apa yang kulihat siang tadi dan dia menatapku
seakan-akan aku sudah gila.
"Kau tidak waras kalau sampai berpikir begitu. Petugas

84
apotek terlambat dan aku hanya menunggu di luar bersama
pembeli lainnya. Kau ingin tahu kenapa aku ada di sana, kan,
Jeeves? Untuk membeli alat tes kehamilan sialan, itu alasannya:'

85
Saat itu Kamis sore di awal bulan Juni. Aku sedang meng­
operasikan mesin bubut di sisi jauh bengkel dan udara terasa
tak wajar panasnya untuk musim seperti sekarang. Kami sudah
membuka semua pintu lebar-lebar dan memasang beberapa
kipas angin berdiri, tapi aku masih berkeringat setengah mati
dalam balutan overall katun yang tebal.
"Sekarang ingat." Bert berseru dari bangkunya. "Periksa dua
kali, potong sekali:'
"Mana mungkin aku lupa?" ltu adalah aksioma yang di­
tanamkan kepada para pekerja magang dengan keteraturan
yang menjengkelkan. "Kau mengingatkanku dua puluh ribu kali
sehari:'
Kami sedang memperbaiki periskop yang salah satu suku
cadangnya rusak dan kami harus membuat yang baru. Dalam
situasi normal ini tidak akan menjadi masalah, tapi kami hampir
kehabisan bahan baku yang tepat, sejenis perunggu khusus yang

86
amat mahal dan amat sulit diolah dengan mesin. Kesalahan se­
kecil apa pun dapat mengakibatkan gagalnya pekerjaan kami.
Aku menghentikan mesin bubut dan menginjak pedal rem,
membiarkan suku cadang itu dingin. Dimensinya harus akurat
sampai hitungan sepersepuluh milimeter, tanganku gemetar dan
jantungku berdebar kencang sewaktu aku mulai mengukurnya.
Dengan hati-hati aku meluruskan kaliperku, diameternya sangat
tepat dan kuiz:inkan diriku menyunggingkan senyum puas se­
kilas.
"Hei, Bert." Aku pura-pura terdengar cemas. "Aku sudah
memotongnya dua kali tapi tetap terlalu kecil:'
"Kau apa?"
"Aku memotongnya dua kali, seperti yang kausuruh."
"Berengsek:' Dia menghentikan kesibukannya dan bergegas
menghampiri. "Berikan kalipermu."
"Tenang dulu:·
"Kau tak bisa dipercaya untuk apa pun, ya? Berapa ukuran
seharusnya?"
"Tiga puluh tujuh koma lima."
"Tunggu sebentar, kelihatannya ini benar:'
"Menurutku juga benar, cuma ingin melihat secepat apa aku
bisa membuatmu bergerak:'
"Dasar anak sinting." Dia merenggut lenganku dan kupikir
dia akan memukulku, kemudian matanya berbinar dan dia mulai
tersenyum. "Kau benar-benar mengerjaiku."
"Kelihatannya kau sudah siap menghajarku."
"Jujur saja, keinginan itu sempat terlintas:'
Beberapa pekerja lainnya tertawa dan mereka berteriak ke
arah kami.

87
"Tipuan hebat, anak muda;"
"Belum pernah kulihat si tua itu bergerak begitu cepat."
"Sebaiknya kau beli celana dalam baru, Bert."
Sungguh perubahan yang menyenangkan bisa menjadi pen­
cetus lelucon dan bukan korbannya. Ketika derai tawa sudah
mereda dan kami kembali bekerja, untuk pertama kalinya aku
merasa menjadi bagian dari pria-pria ini. Tentu saja itu hanya
sejumput momen bahagia di antara kemuraman yang berlang­
sung hampir sepanjang tahun, tapi aku senang bisa memanfaat­
kannya semaksimal mungkin.
"Coba lihat itu." Bert memasang suku cadang buatanku ke
rakitan periskop. "Sebagus periskop baru."
"Tak perlu bertepuk tangan kalau kau tak mau."
"jangan gegabah, Nak, kau hanya sebaik pekerjaan terakhir-
mu:'
Sepertinya dia tak pernah bosan mengatakan hal itu kepada­
ku. Seseorang bisa bekerja di ga.langan bertahun-tahun dan
mengira dia menguasai segalanya, tapi hanya butuh satu kesa­
lahan untuk membuat dunianya runtuh. Kapal-kapal selam ini
mengangkut ratusan awak dan jika tidak bekerja dengan benar,
kamilah yang bakal bertanggung jawab atas kematian mereka.
ltu pikiran yang menggugah kesadaran.
Ketika periskop akhirnya selesai dirakit, kami menaruhnya
di troli dan pergi keluar. Matahari terik, tinggi, dan cerah. Tak
ada sepotong awan pun di langit dan kami berjalan menyusuri
tepi pelabuhan, memandangi air yang berkilauan. Beberapa
kapal pesiar meluncur lewat dan aku teringat ayahku, bertanya­
tanya di mana dia berada dan apa kiranya yang sedang dia
lakukan.

88
Apa kira-kira yang akan dia katakan jika mengetahui situasi­
ku? Umur delapan belas tahun, tinggal di tempat kumuh ber­
sama pacar yang sedang hamil besar, yang sepertinya meng­
habiskan setengah hari di tempat tidur dan setengah hari
berikutnya tidur-tiduran di sofa. Sudah pasti dia akan menyalah­
kan ibuku dan mengatakan lbu membiarkan semua ini terjadi,
tapi memangnya dia tahu apa? Seandainya dia begitu peduli de­
ngan kesejahteraanku, seharusnya dia tak menelantarkanku
sejak awal.
"Kembali ke alam mimpi lagi?"
"Hanya sedang banyak pikiran, Bert:'
''Yakin kau tidak teler?"
"Tentu saja tidak:' Sudah beberapa lama aku tidak pernah
teler saat datang ke tempat kerja, sebagian karena menghor­
mati Bert dan sebagian lagi karena tak punya uang. "Aku ber­
usaha menganggap serius pekerjaanku."
"Yah, untuk saat ini aku memberimu nilai lima dari sepuluh:'
"Hanya lima? Setidaknya aku enam atau tujuh."
"Enak saja enam atau tujuh, jalan di depanmu masih pan­
jang:• Dia menatapku dengan sorot mata tajam dan mantap itu.
"Sudah berapa hari kau mengambil izin sakit tahun ini?"
Aku merona dan mulai mengocehkan alasan dan dia bilang
aku penuh omong kosong.

* ** * *

"Hanya ini yang kaumakan hari ini?" Di atas kulkas ada sand­
wich isi kornet yang sudah setengah dimakan dan bungkus
keripik kosong. "Pantas saja kau kelihatan sangat tidak sehat."

89
"Aku beli sepotong piza tadi dari toko di luar pasar."
"Oh bagus:· Kukeluarkan sebotol susu dan kuberikan ke­
padanya. "Apa saja topping-nya?"
"Tidak ingat:' Dia ragu-ragu sebentar lalu menambahkan
susu ke dalam mug-mug teh kami. "Sepertinya ham dan jamur."
"Kau tidak ingat?"
"Jangan mulai, Jeeves."
"Astaga, apa hanya itu kata-kata yang kau tahu?"
"Yah, aku juga pandai mengatakan 'pergilah ke neraka' dan
'berhentilah mematuki kepala sialanku':·
Dia mengangkat mug teh dan sebagian isinya tumpah ke
meja dapur.
"Apa kaukira aku tidak mengkhawatirkanmu?" Aku meng­
ikuti Amy ke ruang tamu dan mengawasinya menyalakan tele­
visi. "Coba lihat kakimu, seperti dua tusuk gigi sialan:'
"Pergilah dan mandi atau apa, baumu menjijikkan."
Aku kembali ke dapur dan menyalakan rokok. Tehku encer,
terlalu manis, dan terlalu banyak susu. Setiap hari aku pulang
disambut drama yang sama dan setiap hari aku membatin bah­
wa keadaan akan membaik, namun jauh di lubuk hati aku sama
sekali tak memercayainya. Bangun pagi-pagi lalu berjalan kaki
ke galangan untuk menghemat uang, bekerja sampai larut dan
berjalan pulang lagi, kemudian membersihkan apartemen, me­
masak makan malam dan merokok atau minum sekadar untuk
meredakan kegelisahanku. Sambil terus berharap Amy menda­
dak akan hidup lagi dan menunjukkan sedikit antusiasme untuk
sesuatu, apa pun.
Terdengar ketukan di pintu.
"Kita menunggu tamu?"

90
"Rasanya tidak:' Dia tidak bergerak dari sofa. "Bisa buka
pintunya?"
Aku melintasi ruang masuk untuk membuka pintu dan ber­
hadapan dengan induk semang kami, seorang pria kecil dan keji
bernama Andy, yang dikenal selalu mendapatkan keinginannya.
Dia tersenyum kepadaku dan bertanya apakah dia bisa masuk.
Kubilang sebaiknya tidak dan dia bilang sebaiknya dia masuk

dan meskipun aku tak ingin bertengkar dengannya, tapi aku


sedang tak ingin diatur-atur.
"Dengar, Bung, pacarku hamil tujuh bulan dan sedang tidur
lelap. Apa pun urusannya, tak bisakah kita bicarakan saja di
sini?"
"Kau terlambat bayar uang sewa:·
"Apa maksudmu? Kami sudah bayar dua minggu lalu:•
"Tapi cuma setengah:'
"Apa maksudnya cuma setengah?"
"Maksudku pacarmu cuma bayar seratus delapan puluh ke
anak buahku:'
"Apa?"
"Apa-apa melulu, kau mulai terdengar seperti orang bodoh."
Amy tidak menyebut-nyebut soal ini padaku. Biasanya anak
buah Andy, seorang raksasa bernama Darren, berkeliling me­
ngumpulkan uang sewa dan belum pernah ada masalah. Malah
dia salah satu raksasa paling baik yang pernah kami kenal dan
kadang-kadang dia masuk untuk minum teh dan merokok jika
sedang tidak begitu sibuk dengan tugasnya.
"Maaf, Andy, baru sekarang aku mendengarnya." Kuangkat
tanganku sebagai tanda menyerah. "Aku akan bicara dengan
Amy setelah dia bangun dan menanyakan alasannya:'

91
"Alasannya adalah dia bercerita pada Darren tentang kau
yang kehilangan semua uangmu untuk bertaruh dalam pacuan
kuda. Rupanya kau punya sedikit masalah judi:'
"Wah itu kabar baru bagiku, akan kubereskan masalah ini:'
"Sebaiknya begitu:· Dia menggeleng tak percaya. "Kau punya
waktu sampai besok malam atau kau akan melihat sisi lain
Darren yang tega menggantung orang ke luar jendela dengan
memegangi kakinya:·
Aku menutup pintu dan berdiri sejenak dalam keremangan
lampu kuning ruang masuk. Apa yang diperbuat Amy dengan
semua uang itu? Seumur hidup aku belum pernah masuk ke
tempat taruhan, apalagi membuang-buang uang untuk pacuan
kuda, dan aku benar-benar tidak paham mengapa Amy sampai
mengatakan hal seperti itu. Darren pasti menganggapku pecun­
dang terpayah di planet ini.
"Siapa itu?" Meskipun tidak merawat dirinya sendiri, Amy masih
tampak sangat cantik dari samping. "Sepertinya kau bicara lama
sekali:'

"Andy yang datang:' Aku tahu Amy mendengar percakapan


kami, karena suara dapat terdengar dengan mudah di apartemen
sekecil ini. "Dia menagih sisa uang sewa."
"Dasar orang kerdil jahat:' Amy mengacungkan remote control
ke televisi dan menekan tombolnya kuat-kuat. "Kita butuh
baterai baru, mau mengganti saluran rasanya seperti mimpi
buruk."
"Apa kau dengar omonganku?"
"Yeah, soal uang sewa. Kakakku butuh uang, itu saja kok."
Di manakah Amy yang dulu kukenal? Gadis di depanku saat
ini sama sekali tak punya semangat, tak terhubung dengan

92
realitas, dan saat membayangkan masa depan kami berdua aku
sungguh-sungguh ketakutan. Kami akan melahirkan anak ke du­
nia padaha.I kami sendiri tak lebih daripada anak-anak dan se­
gala hal yang diperingatkan keluargaku kepadaku mulai menjadi
nyata.

93
"
Kami agak kesulitan mempertahankan gula darahnya."
"Apa tepatnya maksudmu?" Aku menatap anakku dalam
inkubator, terbungkus dalam kain putih dengan slang infus yang
ditusukkan ke pergelangan tangan mungilnya. "Apakah semua­
nya akan baik-baik saja?"
"Yah, kita tak pernah bisa seratus persen yakin:' Perawat
itu berusia awal tiga puluhan dan berbicara dengan aksen
lrlandia yang lembut. "Beratnya waktu lahir agak kurang, tapi
itu bukan hal yang aneh bila ibunya kecanduan opium."
Mataku membelalak. "Kecanduan apa?"
"Anda tidak tahu?" Dia merona tapi tetap tenang. "Mari
kita cari tempat yang lebih tertutup:'
Dia memanduku ke sebuah ruangan dan menjelaskan bahwa
Amy selama ini menggunakan heroin dan bahwa anak kami
harus menjalani proses pembersihan. Dia tidak dapat me­
mastikan berapa lama proses tersebut akan berlangsung na-

94
mun karena Amy bukan pemadat berat, kemungkinan sembuh
dengan cepat amat tinggi. Aku mendengarkan penjelasannya
dalam keheningan yang dingin membekukan dan setelah dia
pergi aku keluar untuk merokok.
"Jadi, laki-laki atau perempuan?" Seorang pria muncul, yang
kuingat berada di area penerimaan sewaktu Amy dan aku da­
tang tadi pagi. "Ya Tuhan, ini pasti hari tergila dalam hidupku:·
"Lelaki kec:il:'
''Yah, tidak mungkin lelaki besar, kan?" Dia menertawakan
lelucon payahnya sendiri dan aku menahan dorongan untuk
mencolok matanya. "Pokoknya selamat, Bung, sebaiknya aku
kembali ke dalam dan menemui pacarku."
Aku berdiri di sana, merokok merokok merokok sampai
bibiku tiba. lbu dan Mike sedang pergi liburan akhir pekan,
berusaha memperbaiki perkawinan mereka yang goyah, dan aku
tidak tahu siapa lagi yang mesti dihubungi. Sejak kabar keha­
milan itu, aku nyaris tak pernah bicara dengan Kakek-Nenek
sementara kakak dan suami Amy tak dapat dijangkau untuk
cinta maupun uang.
"Selamat, my darling." Dia menarikku mendekat dan rasanya
baru kali ini setelah berbulan-bulan, seseorang menunjukkan
sedikit kasih sayang kepadaku. "Jadi, di mana Amy?"
"Sedang mabuk epidural." Kujatuhkan rokok ke tanah dan
meremukkannya dengan kakiku. "Dan mungkin menikmati se­
tiap detiknya:'
"Bayinya bagaimana?"
Kami masuk dan menemukan tempat untuk duduk lalu ku­
ceritakan penjelasan perawat kepadaku sedetail yang aku mam­
pu dalam kondisiku saat ini. Bibi sepertinya menerima kabar

95
itu dengan tenang, tidak berteriak atau mengertakkan gigi, dan
setelah menceritakan segalanya aku merasa sedikit lebih baik.
"Lalu setelah ini bagaimana, kau akan tetap tinggal bersama­
nya?"
"Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi kalau aku
pergi:'
"Kau harus bertanya pada dirimu sendiri apakah kau bisa
memaafkan dia atau tidak.''
"Mana mungkin setelah semua inir'' Kami keluar lagi untuk
merokok "lni sama saja seperti dia menempelkan pistol di ke­
pala anak kami dan bermain Russian Roulette."
"Kau sama sekali tak tahu apa-apa soal ini?"
"Kalau mengingatnya sekarang, seharusnya aku sudah bisa
men duga . . . "
"Tidak ada gunanya mengungkit kejadian di masa lalu."
" . . . tapi aku tak punya energi lagi setelah bekerja dan se­
baga.inya:'
"Yah, tak ada gunanya meratapi hal itu sekarang:· Dia me­
nyalakan rokokku serta rokoknya sendiri dan mengembuskan
asap dalam kepulan puas. "Tapi kuharap kau mau mendengar·
kanku waktu itu:·
"Percayalah, aku juga berharap begitu."
"Kalian anak muda begiw mudah mengambil keputusan yang
terlalu cepat:'
"Tapi aku sungguh-sungguh mencintainya:·
"Kau mungkin beranggapan demikian, my darling, tapi cinta
sejati tidak datang dan pergi semudah itu. Mungkin kalau kalian
berpacaran lebih lama, kau akan menyadari hubungan ini takkan
berhasil."

96
itu dengan tenang, tidak berteriak atau mengertakkan gigi, dan
setelah menceritakan segalanya aku merasa sedikit lebih baik.
"Lalu setelah ini bagaimana, kau akan tetap tinggal bersama­
nya?"
"Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi kalau aku
pergi:'
"Kau harus bertanya pada dirimu sendiri apakah kau bisa
memaafkan dia atau tidak.''
"Mana mungkin setelah semua inir'' Kami keluar lagi untuk
merokok "lni sama saja seperti dia menempelkan pistol di ke­
pala anak kami dan bermain Russian Roulette."
"Kau sama sekali tak tahu apa-apa soal ini?"
"Kalau mengingatnya sekarang, seharusnya aku sudah bisa
men duga . . . "
"Tidak ada gunanya mengungkit kejadian di masa lalu."
" . . . tapi aku tak punya energi lagi setelah bekerja dan se­
baga.inya:'
"Yah, tak ada gunanya meratapi hal itu sekarang:· Dia me­
nyalakan rokokku serta rokoknya sendiri dan mengembuskan
asap dalam kepulan puas. "Tapi kuharap kau mau mendengar·
kanku waktu itu:·
"Percayalah, aku juga berharap begitu."
"Kalian anak muda begiw mudah mengambil keputusan yang
terlalu cepat:'
"Tapi aku sungguh-sungguh mencintainya:·
"Kau mungkin beranggapan demikian, my darling, tapi cinta
sejati tidak datang dan pergi semudah itu. Mungkin kalau kalian
berpacaran lebih lama, kau akan menyadari hubungan ini takkan
berhasil."

96
"Yah, seperti kaubilang, tidak ada gunanya mengungkit ke­
jadian di masa lalu."
"Zaman sekarang tidak ada kepercayaan diri:' Dia mengisap
rokok dalam-dalam dan wajahnya dihiasi keriput. "Kalian semua
sepertinya begitu ingin menyingkirkan kesucian kalian, seolah­
olah sudah tak ada harganya lagi. Seandainya kalian lebih meng­
hargai diri sendiri, pasti tidak segampang itu naik ke ranjang
dengan orang pertama yang datang..."
Dia terus mengocehkan hal yang sama sampai akhirnya aku
berhenti mendengarkan dan mulai bertanya-tanya apa yang ha­
rus kulakukan. Aku tetap tingga.I waktu mengetahui Amy hamil
karena tidak tega menambah lagi jumlah ibu lajang di dunia.
Tapi jika aku pergi sekarang, itulah tepatnya yang akan kulaku­
kan. Mengakui kekalahan dan bergabung dengan kelompok ayah
yang menjemput anak-anak mereka setiap hari Sabtu, menyuapi
mereka dengan McDonald's lalu memulangkan mereka pada
hari Minggu dan bertengkar dengan ibu mereka soal tunjangan
anak.
". . .menyalahkan media, memamerkan model-model yang
diperindah dengan airbrush terkutuk. Mana ada yang penam­
pilannya seperti itu dalam kehidupan nyata? Tidak heran kalian
semua tumbuh dengan perasaan rendah diri .... "

Tapi mana mungkin aku tetap tinggal bersama Amy setelah


apa yang dia perbuat? Perasaan cinta atau apa pun yang ku­
punya telah lenyap begitu aku tahu tentang heroin. Sekarang
semuanya menjadi jelas, siang itu di luar apotek, uang yang
terus-menerus dia pinjamkan pada kakaknya, ketiadaan sema­
ngat, ga.irah dan selera makan, tingkah lakunya, tatapan kosong
di matanya.

97
" . . . dan tentu saja kalau kau nekat bicara tentang nilai-nilai
lama semua orang memandangmu seakan-akan kau makhluk
kuno yang tak pantas. . " .

"Mmm hmm."
.. '
. . . b1cara tentang apa pun . . ."
"Ya, aku mengerti maksudmu. Mau minum kopi?"
"Oh, kedengarannya nikmat:' Dia menyelesaikan rokoknya.
"Mungkin setelah itu mereka mengiz:inkan kita melewatkan se­
dikit waktu bersama si bayi."

** * * *

Delapan bulan kemudian aku sedang menunggu di mobil lbu


sementara Amy mengambil metadonnya dari apotek. Bayi kami
tidur lelap di bangku belakang dan di tembok luar apotek
duduk kelompok pemadat yang sama, dengan wajah-wajah kuyu
dan gerakan tubuh menyentak-nyentak yang sama.
"Kau pasti mempertanyakan logika dari pengaturan ini." lbu­
ku mengetuk-ngetukkan jemari pada kemudi. "Mereka ingin
orang-orang ini bersih dari heroin tapi menempatkan mereka
dalam risiko tinggi dengan meminta mereka mengambilnya sen­
diri:'
"Benar sekali, kuharap mereka mengizinkanku masuk dan
mengambil obat itu menggantikan Amy. Pikiranku benar-benar
tidak tenang di tempat kerja karena tahu dia ada di sini dan
bertemu teman-teman pemadatnya."
Kami terdiam sejenak lalu dia mulai mengajukan rangkaian
pertanyaan yang sama kepadaku: bagaimana kabar Amy, bagai­
mana kabar si bayi, bagaimana pekerjaanku dan apa yang ku-

98
rasakan tentang segala hal? Aku memberikan jawaban-jawaban
pendek yang hambar dan mengelak sepenuhnya dari pertanyaan
terakhir, karena belakangan ini aku sulit merasakan apa pun.
Entah ini stres atau shock atau semacam mekanisme penang­
gulangan, aku merasa seakan-akan hati dan jiwaku telah direng­
gut keluar dan diganti dengan pompa mekanis serta papan
induk.
"Sebelum aku lupa." Dia merogoh-rogoh tasnya dan menge­
luarkan sepucuk surat. "lni datang untukmu kemarin. Pasti
sempat hilang di jalur pengantaran karena sudah dikirim ber­
bulan-bulan lalu:'
"Dari siapa kira-kira?" Amplopnya kecil dan putih dengan
nama dan alamat yang dicetak dalam tulisan miring hitam. "Ke­
lihatannya seperti surat resmi."
"Cap posnya. . ."
"Ya Tuhan, mereka benar-benar membuatmu menunggu lama
di dalam sana:• Amy membuka pintu mobil dan aku melipat
surat itu lalu memasukkannya ke saku. "Apoteker yang baru
benar-benar menyebalkan."
Kami meluncur pergi dan hujan mulai turun. Saat hujan se­
makin deras dan langit makin gelap, kami membatalkan rencana
berjalan-jalan di tepi laut dan memutuskan untuk menghabiskan
beberapa jam di rumah ibuku sebaga.i gantinya. Kami bisa me­
nikmati semangkuk sup miju-miju lezat buatan sendiri dan me­
nonton film Sabtu sore di televisi.
"Pelankan mobilnya, Bu:· Kami sudah tiba di lingkungan ru­
mah ibuku sekarang dan hujan tercurah semakin deras. "Apa­
kah itu Danny di sebelah sana?"
"Aku tak bisa lihat dari sini:'

99
"Aku yakin itu dia, pelan sedikit bisar' Satu sosok berdiri
sendirian di pojok jalan, di luar bilik telepon. "Coba lihat, dia
benar-benar basah kuyup:'
lbu menghentikan mobil dan aku menurunkan kaca jendela.
"Halo, Sobat, kau sedang apa?"
Dia menatap melewatiku.
"Danny, ini aku. Coba lihat dirimu:•
"Aku sedang menunggu telepon." Wajahnya kosong. "Mereka
tak menginginkanku di sini."
"Kau ini bicara apa? Bilik teleponnya kosong:'
"Mereka tak menginginkanku di sini:'
"Apa maksudmu, Sobat? Ayo masuk, kami antar kau ke ru­
mah."
"Mereka tak menginginkanku di sini, tak ada yang meng­
inginkanku:• Kemudian dia melompat maju dan meninju wajah­
ku keras-keras. "Jangan menatap mulutku, dasar burung kotor."
Aku memejamkan mata dan mengangkat satu tangan untuk
menangkis pukulan kedua. Namun pukulan kedua itu tak per­
nah datang dan ketika aku membuka mata lagi dia sudah di
dalam bilik telepon dengan kemeja ditarik menutupi kepalanya.
Dan dia berbicara sendiri tapi aku tak dapat menangkap kata­
katanya.
"Dasar orang aneh:' Amy memecah keheningan. "Apa-apaan
itu tadi?"
"Kau tidak apa-apa, my love?"
"Tidak apa-apa, Bu, kita pulang saja ya:·
Sepuluh menit kemudian Amy dan aku duduk di sofa lbu
dengan cangkir-cangkir teh. Si bayi masih tidur dan tubuhnya
kecil untuk anak seumurnya tapi dia sehat dan dokter senang

100
melihat kemajuannya, mengatakan semua sepertinya baik-baik
saja. Aku memandang anak itu di kursi mobilnya dan berharap
dapat merasakan ikatan yang kukira akan muncul secara alami
pada setiap orangtua.
"Aneh sekali orang tadi:' Amy mengulurkan tangan dan
menyentuh alisku. "Sakit tidak?"
"Sakit kalau kautekan seperti itu:·
"Benar dia Danny yang dulu selalu berkumpul denganmu?"
''Ya, itu memang Danny. Bajingan malang."
"Yang kena serangan panik di taman?"
"Mmm hmm:•
"Bukankah dia... "
"Berengsek, jangan tanya-tanya terus, kau lebih parah dari-
pada ibuku:·
"Kau tidak perlu . . ."
"Tidak perlu apa, Amy?"
"Tidak perlu bicara seperti itu padaku." Dia tampak ter-
singgung. "Aku cuma tanya."
"Jangan tanya-tanya, aku sedang kesal."
"Kau selalu kesal, entah apa yang salah denganmu:·
Aku menyentuh alisku yang bengkak dan tiba-tiba merasa
bersalah akan nasib yang menimpa Danny. Bersalah karena
memberinya narkotik yang jelas telah memicu semacam penya­
kit mental dan bersalah karena tak pernah ada untuk men­
dukungnya selama beberapa tahun terakhir. Sejak mulai ber­
pacaran dengan Amy, aku meninggalkan teman-teman lamaku
dan pengorbanan tersebut jelas tidak setimpal.
"Makan siang siap lima menit lagi:' Suara ibuku melayang
dari dapur. "Amy, Sweetheart, bantu aku menyiapkan meja:•

IOI
Ketika Amy sudah meninggalkan ruangan aku mengeluar­
kan amplop dari saku dan membuka lipatannya. Perekat pada
kelepak segelnya sangat kuat dan aku butuh waktu untuk
mengelupasnya hingga terbuka, lalu mengeluarkan surat itu.
Seperti halnya nama dan alamat, isi surat dicetak dengan tu­
lisan miring hitam dan saat membaca kalimat pembuka aku
tahu dari mana surat ini berasal.

102
Sen Barlow adalah manajer tim pemeliharaan kami dan
salah satu rutinitasnya adalah joging melintasi galangan setiap
pagi, dengan setelan lari serta sepatu olahraga mahal. Dia
mungkin mengira kami terkesan pada dedikasi dan kebu­
garannya, namun semua orang tahu istri Ben menurunkannya
persis di belokan dengan mobil Toyota mereka yang tua dan
berkarat.
"Aku tak mungkin mengizinkanmu cuti dengan pemberi­
tahuan sesingkat ini:' Dia menatap dari atas kacamatanya dan
tersenyum tipis. "Terla.lu banyak pekerjaan yang harus disele­
saikan:·
"Aku sudah bicara dengan Bert dan katanya dia bisa me-
nyelesaikan pekerjaan tanpaku."
"Yah, terakhir kali kuperiksa, dia bukan manajermu:•
"Hanya satu sore:·
"Kau sudah mendapat cukup banyak libur belakangan ini."

103
Aku tak dapat menyangkal bahwa catatan kehadiranku bu­
ruk. Ada banyak sekali hari-hari sakit dan absen-absen tanpa
izin selagi aku berjuang mengatasi kondisiku. Tapi aku berusaha
sebaik mungkin untuk memperbaiki diri dan selama beberapa
bulan terakhir aku bekerja seperti orang kerasukan. Asupan
rokok ganjaku bahkan hanya satu batang per malam.
"lni bukan permintaan asal-asalan, aku sudah bertahun-tahun
tidak mendengar kabar ayahku " .

"Aku tidak terkejut, melihat caramu menjalani hidup."


Kata-katanya mengirisku bagai pisau dan bisa kurasakan ta­
nganku mulai mengepal.
"Kalian begitu dimanja, generasi zaman sekarang. Kau tahu,
waktu putriku lahir aku bahkan tidak ada di negara ini. Dan
kaupikir aku memohon-mohon pada komandanku agar diberi
cuti? Kaupikir aku izin sakit satu minggu tanpa surat dokter..."
"Berapa lama kau akan menghukumku untuk itu? Dia harus
kembali ke kapalnya besok dan aku hanya minta izin satu sore.
Akan kuganti dengan lembur seminggu tanpa dibayar:'
"Bukan itu intinya, kalau aku . . . "
"Oh ayolah, Ben."
"Kalau kubiarkan kau mendapat. . ."
"lni benar-benar tidak adil."
"Aku tak peduli kau menganggap ini adil atau tidak. Kalau
kubiarkan kau mendapat libur dengan pemberitahuan sesingkat
ini, berarti aku menetapkan preseden dan . . ."
"Kau tahu?" Aku murka sekarang dan cahaya perak ber­
kelebatan dalam pandanganku. "Silakan kautelan presedenmu itu.
Dan mengenai ketidakhadiran saat putrimu lahir, aku yakin kau
juga tidak hadir saat istrimu dibuahi."

104
"Berani-beraninya kau bicara seperti itu." Wajah Ben mulai
berubah warna menjadi ungu tak sehat. "Keluar sebelum aku
melakukan sesuatu yang kita berdua sesali:'
Aku pergi tanpa menutup pintu di belakangku, seluruh tu­
buhku gemetar dan perutku bagai terpilin-pilin. Beberapa pe­
gawai administrasi mengawasiku dan aku turun dengan amarah
yang menggelegak lalu meninggalkan bangunan tersebut. Di luar,
hujan turun disertai angin kencang bulan Maret. Setiba di beng­
kel tubuhku menggigil dan rambutku basah kuyup.
Bert melihatku masuk. Aku menatap lurus kepadanya, lalu
mendadak air mataku menggenang dan aku mundur lagi ke
tengah hujan. Barlow pikir dirinya siapa sampai merasa ber­
hak menilai kehidupan pribadiku? Dalam benakku hanya
terlihat wajah bodohnya dan kubayangkan diriku meninju
wajah itu berulang kali.
"Jadi, kau tidak dapat izin, ya?"
"Dia benar-benar bajlngan." Kurasakan lengan Bert me­
melukku. "Cuma satu sore."
"Yah, ada banyak cara untuk melakukan sesuatu."
Dia menjelaskan bahwa kami memang akan memperbaiki
salah satu kapal selam hampir sepanjang sore dan kemung­
kinan besar tak seorang pun akan menyadari jika aku
menghilang. Yang harus kulakukan hanyalah pergl sebelum
Barlow melihatku, sesuatu yang tidak terlalu sulit karena dia
selalu istirahat makan siang lebih awal dan untuk waktu yang
lama.
"Biar aku yang mencari alasan kalau ada yang menanya­
kanmu."
"Trims, Bert."

105
"Tak masalah, Nak, aku tahu betapa ini sangat berarti bagi-
mu."
"Sekarang Barlow bakal membuat hidupku bagai di neraka,
kan?"
"Yah, kau tidak bisa protes juga, setelah ucapanmu padanya."
Dia menggeleng-geleng dan tertawa pelan kepada diri sendiri.
"Tunggu saja sampai kuceritakan pada yang lain, kau bakal ter­

kenal:'

Kami masuk lagi dan aku menyibukkan diri selama beberapa


jam. Aku mulai merasa sangat gugup menghadapi pertemuan
dengan Ayah dan bertanya-tanya apa yang akan kami bicarakan

setelah bertahun-tahun berpisah. Akankah dia menerima kehi­


dupan yang kuciptakan untuk diriku sendiri atau dia akan
menganggapku gaga! karena tidak melanjutkan kuliah, mem­
pelajari hukum atau kedokteran atau apalah?
Pukul setengah satu siang aku meninggalkan bengkel dan
berjalan menuju gerbang utama. Kubayangkan mata Barlow
mengawasiku saat aku tiba di pos keamanan dan menjalani

proses penggeledahan yang biasa, untuk memeriksa apakah para


pekerja mencuri perkakas atau materi radioaktif apa pun. Se­
sudah itu aku bebas dan aku berdiri di pinggir jalan, mengisap
rokok dan merasa lega karena hujan telah berhenti.

Aku masih menunggu di sana tiga batang rokok kemudian,


mengecek arlojiku mungkin untuk ratusan kalinya. Dan pada
saat itu aku kembali berusia enam tahun, sendirian dan terba­
ngun di apartemen Ayah sementara dia pergi minum dengan
teman-temannya sampai pukul dua pagi. Tiba-tiba saja aku di­
kuasai dendam, aku merasa marah dan terabaikan dan sudah hen-

106
dak berjalan pergi ketika mobil Mercedes hitam berhenti di
sampingku.
"Halo, orang asing:• Ayah tersenyum saat aku membuka
pintu. "Maaf aku terlambat."
"Tak masalah, aku juga belum lama menunggu."
Aku menyusup masuk dan mobil iw berbau baru, aku me­
natap Ayah dan dia hampir-hampir tidak berubah. Mungkin ada
lebih banyak kerutan di sekeliling mata dan perutnya sedikit

lebih besar, tapi dia tetap terlihat setegas dulu dan sama
mengintimidasinya.
"Senang bertemu denganmu, Ayah:'
"Aku juga senang. Nak, semakin lama kau semakin mirip

ibumu." Dia memasukkan gigi mobil dan kami meluncur me­


masuki lalu lintas. "Dan demi Tuhan, badanmu benar-benar bau

rokok:'

* * * * *

"Aku masih tak percaya kau merokok." Ayah berseru darl da­
pur tempat dia sedang membuatkan kopi. "Kebiasaan yang
sangat menjijikkan."
"Jangan dengarkan dia:' Sara berbisik. "Aku sendiri merokok
saat dia tidak ada:·
"Merokok saja marahnya seperti aku ini pembunuh berantai:'
"Aku tahu, dia memang lelaki tua penggerutu:·
Aku menganggap situasi ini sungguh tidak nyata. Kali ter­
akhir berada di ruang tamu mereka, aku mengalami serangan
verbal serius dan sekarang aku bercakap-cakap santai dengan

107
wanita yang selama tiga setengah tahun terakhir menjadi sa­
saran kebencianku.
"Kau harus lihat seperti apa reaksinya kalau aku tidak
membersihkan kamar mandi dengan benar."
"Sepi sekali di sini." Ayah muncul dengan membawa nampan.
"Kuharap kalian tidak berkomplot untuk membunuhku."
"Kami sempat memikirkannya, tapi nanti tidak ada yang
membuatkan kopi:'
"Nah, Nak, coba kita ulangi lagi untuk memastikan tidak ada
yang terlewat olehku." Dia menyamankan diri di sofa di sam­
ping Sara. "Kau meninggalkan sekolah tanpa mengikuti ujian
A-levels, kau hidup bersama pacarmu yang pengangguran di
sebuah apartemen di Waterloo, kau punya bayi . . ."

"Dan kau punya cucu:'


"Ya, Sara, terima kasih sudah mengingatkan. Kau punya bayi,
kau bekerja di galangan sebagai tukang di kapal selam, dan kau
baru saja bertengkar hebat dengan manajermu:'
"Aku rasa itu sudah mencakup semuanya."
"Yah, itulah yang terjadi kalau ibumu membesarkanmu."
Aku hampir saja menanggapi bahwa yang dikatakannya ada-
lah omong kosong, tapi aku tak ingin merusak momen ini dan
kembali melewatkan waktu bertahun-tahun tanpa bertemu
Ayah. Jika dia sungguh-sungguh percaya bahwa orang lain harus
disa.lahkan atas situasiku saat ini, apa yang bisa kukatakan atau
lakukan untuk mengubah pendapatnya?
"Jadi, bagaimana kabar Jamie kecil?" Aku menyesap kopiku,
yang menurutku terlalu kenta.I. "Pasti sekarang sudah umur
enam atau tujuh tahun:'
"Oh, dia baik-baik saja, kau tahu seperti apa mereka umur

108
segitu:· Sara tersenyum bangga. "Dia ingin bertemu denganmu
tapi kami pikir mungkin akan terlalu berlebihan, jadi dia di ru­
mah temannya."
"Kapan aku mesti menjemput monster itu?" Ayah mengecek
arlojinya. "Mungkin kita bisa menjemputnya dalam perjalanan
kembali ke kota."
"Aku memberitahu Jenny kau akan tiba di sana antara jam
empat dan Hrna:·
"Kau mau berjalan-jalan menyusuri tembok pelabuhan sebe­
lum kita berangkat, Nak?"
Sesaat kemudian kami meninggalkan Sara di apartemen dan
turun dengan lift lalu berputar ke bagian depan kompleks tem­
pat angin bertiup kencang. Aneh rasanya melakukan perjalanan
yang sudah kulakukan ribuan ka.li sebelumnya namun segala hal
tampak lebih kecil, dan berkurang menariknya. Keajaibannya
seolah menguap bersama keluguanku.
"jadi, bagaimana kabar ibumu?" Kami berada di titik awal
tembok pelabuhan sekarang dan rangkaian ombak bagaikan
pegunungan kelabu yang dipuncaki salju. "Masih bersama si
penyusun rak supermarket?"
"Mike manajer sekarang:'
"Berarti sudah di akhir jalur kariernya:·
"Aku rasa Mike tak terlalu peduli:'
"Dan bagaimana denganmu, apa kau akan bahagia di ga­
langan kapal seumur hidupmu?"
"Kontrak magangku setahun lagi, tapi setelah kejadian tadi
pagi aku takkan kaget kalau mereka memecatku:·
"Bagaimana pendapatmu tentang bekerja di laut?"
"Aku akan senang mencobanya:·

109
"Akan kucoba mencari informasi soal ini kalau begitu:· Dia
menendang sebutir batu ke air. "Tapi hati-hati saja, mereka me­
meriksa pemakaian obat terlarang. Jadi kalau kau mengkon­
sumsi apa pun saat ini, sebaiknya hentikan secepatnya."
Setiba di ujung tembok pelabuhan, kami menikmati peman­
dangan sejenak lalu berangkat untuk menjemput Jamie. Dia
senang sekali melihatku. Aku tersenyum, mengangguk dan
mendengarkan cerita seru mengenai mainan-mainan dan to­
koh-tokoh kartun kesukaannya. Pada saat kami tiba di
Waterloo, saling bertukar ucapan se/omot tinggal dan sampai
bertemu Jagi, aku betul-betul butuh minuman dan rokok.
Sewaktu berjalan memasuki lobi gedung apartemenku, mau
tak mau aku membandingkannya dengan lobi yang kutinggalkan
beberapa jam lalu. Lift rusak versus lift yang berfungsi, ruangan
tangga penuh coretan versus ruangan tangga berhias foto-foto
hitam-putih elegan bergambar tempat-tempat terkenal di se­
kitar situ. Aku menaiki tangga dengan kaki berat, membuka
pintu apartemen tua yang sama dan menemukan Amy yang
sama, di sofa tua yang sama.
"Jadi, bagaimana pertemuannya?"
"Lumayan, aku rasa. Mana si bayi?"
"Menginap di rumah kakakku malam ini, jadi kupikir mung­
kin kita bisa memesan makanan:'
Di belakang benakku aku sudah memperkirakan sesuatu
seperti ini. Selama beberapa bulan terakhir Amy berusaha se­
baik mungkin menggairahkan kembali hubungan kami dan aku
tak tahu cara mengatakan kepadanya bahwa dia hanya mem­
buang waktu. Dia bisa menjauhi heroin selamanya dan berubah

1 10
menjadi Bunda Theresa atau apalah, namun api di hatiku sudah
padam untuk selamanya.
"Kami tadi sudah makan piza di jalan:•
"Oh enak, kau pilih topping apa?"
"Tidak ingat. Aku beranjak ke jendela, menyalakan rokok
"

dan memandang jalanan di bawah sana sementara hujan mulai


turun lagi. "Sepertinya ham dan jamur:•

111
"
1'.au tampak sehat." Nenek duduk di sampingku di bangku
taman. "Senang melihatmu dihiasi sedikit warna di wajah."
"Yah, ini bukan berkat situasi domestik yang bahagia:•
"Pasti tidak mudah ya, berbagi rumah dengan rekan kerja:•
"Doug lumayan kurasa, hanya saja ini pengafaman pertama-
nya jauh dari rumah." Sebuah bayangan terlintas di benakku,
pakaian dalam kotor Doug di kamar mandi. "Taman ini indah
sekali."
"Kau tahu kakekmu, dia menghabiskan hampir sepanjang
waktu di sini."
"Bagaimana punggungnya akhir-akhir init'
"Sepertinya hanya kambuh saat ada sesuatu yang ingin dia
hindari."
"Kuharap kau tidak membicarakanku lagi." Kakek keluar ke
taman dengan senampan minuman dingin dan sandwich. "Bisa
kurasakan telingaku terbakar."

1 12
" Bukan cuma itu yang akan terbakar kalau kau tidak segera
membawakan tabir surya."
"Ya, my Jove, sudah kubawa. Kau mau aku mengeluarkan
kipas angin listrikny a r ·
" Biar aku s a j a , K e k , sekalian mau k e kamar mandi. Masih
disimpan di lemari kecil di bawah tangga ?"
" Benar sekali, Nak:' Dia duduk dan menyesap minumannya.
"Jangan lupa am bil kab el p er panj angannya, kau b isa m en col ok­
kannya ke salah satu stopkontak dekat cerek:'
Aku menatap pantulan diriku di cermin kamar mandi, mata­
ku berbinar dan kulitku h a.lus dan bersih. Entah karena tidak
lagi mengisap mariyuana atau ka rena berhubungan kembali de­
ngan ayahku, aku merasa lebih bertenaga dan optimistis ketim­
bang yang kurasakan selama bertahun -t ahun. S atu-satunya yang
menodai semangatku adalah perasaan bersalah karena mening­
galkan Amy dan putraku.
" Puji syukur untuk itu." Wajah Nenek menggambarkan ke­
legaan ketika kipas angin berputar malas ke arahnya. " Rasanya
seperti mau pingsan."
"Agustus terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah."
" Oh ini di a, Tuan Meteorologi:'
"Aku cuma memberitahu, my love."
" Kau seperti laporan cuaca berjalan:'
"Tamannya indah sekali, Kek:' Aku menggigit sandwich tuna­
ku. "Apa yang kautanam tahun ini?"
" Oh banyak, kemarilah dan lihat."
K a m i menyusuri setengah bagian taman yang lebih tinggi,
berisi petak rumput yang terpangkas rapi serta semak-semak
bunga , lalu melewati celah di pagar tanaman yang mengarah ke

1 13
bagian taman yang lebih rendah. Ada barisan zukini dengan bu­
nga kuning cerah, tanaman buncis pada kerangka bambu, se­
mak-semak redcurrant dan gooseberry, lalu barisan tanaman
terakhir dengan tunas-tunas yang tampak menyedihkan.
"Seharusnya ini tanaman apa?"
"Bawang bombai."
"Kelihatannya tidak begitu sehat."
"Kelompok bibit yang buruk aku rasa:· Suaranya bernada
kecewa. "Tanahnya subur dan aku sudah memberi banyak air."
"Yah, kurasa kau tak mungkin memenangkan semuanya."
"Tapi sayang sekali, harganya luar biasa mahal di toko."
"Bukan cuma bawang." Aku menghampiri tembok di ujung
taman. "Aku tak mampu membeli apa pun yang bukan makanan
beku atau dalam kemasan:'
"lbumu kemari tempo hari:' Dia bergabung denganku dan
kami menatap ladang-ladang berbatas sungai di kejauhan yang
berkilau tertlmpa cahaya matahari. "Dia sangat sedih dengan
situasimu."
"Dia bukan satu-satunya."
"Menurutnya itu tak mungkin terjadi kalau bukan gara-gara
dia dan Mike:'
"Kakek tahu mereka tidur di kamar terpisah?"
"Betapa menyedihkan."
"Tapi sepertinya tak ada gunanya lbu menya.lahkan diri sen­
diri, aku bukan anak-ana.k:'
Kami berdiri di sana menikmati pemandangan sampai kehe­
ningan menjadi tak nyaman kemudian kami kembali ke tempat
Nenek, yang sudah memakai kacamatanya dan tengah serius
membaca koran Minggu. Saat itu hampir tengah hari dan ku-

1 14
beritahu mereka aku hendak bertemu Ayah kurang-lebih satu
jam lagi.
"Kenapa kau tidak memintanya menjemputmu di sinit'
"Kau sudah tahu jawabannya." Nenek menghalau seekor
lalat dari wajahnya. "Dia khawatir aku bakal mengomeli orang
tak tahu adat itu:'
"Aku yakin bukan itu alasannya, my love:'
"Dia pantas menerima lebih dari sekadar omelan untuk
tingkah lakunya." Kemudian Nenek menatapku dengan sorot
mata serius. "Kau mesti berhati-hati dan jangan terlalu ber­
harap. Kalau dia bisa mengecewakanmu satu kali, dia bisa me­
ngecewakanmu seribu kali."
Aku berpamitan lalu berjalan ke halte bus dengan sinar
mentari di wajahku dan kata-kata Nenek di kepalaku. Kunyala­
kan rokok dan bus tiba sebelum aku sempat menghabiskannya.
Rute bus berputar-putar melewati beberapa lingkungan peru­
mahan, termasuk tempat kakak Amy tinggal, dan aku meman­
dang ke luar jendela dengan harapan bisa melihatnya di jalan.
Belakangan ini kami makin saling menghormati. Terutama
setelah dia tahu aku sebenarnya bukan pecandu judi, sebab dia
juga ditipu Amy untuk meminjamkan uang dengan keyakinan
bahwa akulah sumber masalahnya. Dan bersama ibuku dia
memberi dukungan penuh untuk menjauhkan Amy dari heroin.
Aku berutang budi kepada mereka berdua, atas kebaikan dan
kesabaran mereka.
Mesin bus mendadak berhenti dan sopirnya memberitahuku
dia hendak ke toilet, yang pasti melibatkan koran dan sebatang
rokok karena dia baru kembali hampir dua puluh menit kemu­
dian. Aku mengumpat dan mengecek arlojiku lalu mengumpat

1 15
lagi. Ketika akhirnya tiba di kota aku bergegas menemui ayahku
dan dia sudah menunggu di dalam mobil dengan wajah bagai
guntur.
"Maaf, aku terlambat."
"Aku baru saja mau membatalkan."
.
"Sop1r busnya. . . "
"Waktu aku berangkat, lautnya semulus kaca:•
"Kedengarannya sempurna untuk selan.ar
c air:·
"Yah, jangan terlalu berharap, Nak."
Kami meluncur pergi, selarik pembuluh darah berdenyut di
keningnya dan dia jelas sedang tidak kepengin bicara jadi aku
duduk tanpa suara dan mengamati pemandangan yang menderu
lewat. Ketika akhirnya kami tiba di apartemen, laut masih cu­
kup mulus dan aku merasa amat lega, sebab aku tahu dia bakal
menyalahkanku jika tidak begitu.

* * * * *

"Sejujurnya, Sara, ada apa dengannya?" Kami berjalan sambil


membawa papan-papan selancar di tempat peluncuran kapal
sementara Ayah menyiapkan kapal. "Tidak mungkin hanya ka­
rena aku terlambat:'
"Cobalah mengabaikannya, dia sudah berhari-hari seperti
ini."
Kami naik ke kapal dan meninggalkan pelabuhan lalu me­
luncur kencang melintasi teluk. Ayahku berdiri di konsol tengah,
angin menderu mengibarkan rambutnya yang menipis. Sara dan
aku duduk di belakangnya dengan mesin yang menjerit-jerit di
telinga kami.

1 16
"Bagaimana kabar bayimu?"
"Dia kena flu akhir pekan lalu dan begitu menderita jadi
aku terpaksa memulangkannya lebih awal:'
"Kena apa?"
"Flu, aku memulangkannya lebih awal."
"Anak malang, apakah dia menderita?"
Rasanya seperti mencoba bercakap-cakap dalam klub yang

bising dan sebentar saja kami sudah memasrahkan diri pada

suara mesin serta gerakan kapal. Di sebelah kanan, pesisir


membentang hijau dan cokelat-kelabu sementara di sebelah kiri,
beberapa kapal pukat meluncur memasuki marina utama di

bawah kawanan burung laut. Dan jauh di cakrawala, samar-sa­


mar dapat kukenali bentuk sebuah kapal selam.
Aku merasakan semburan kebanggaan mendadak dan men­
duga bahwa Bert dan aku mungkin pernah menangani kapal iW
pada suatu wakw. Barangkali periskop yang kami perbaiki ter­
pasang di sana, atau salah satu dari ratusan komponen yang
sudah kami garap sejak aku memasuki gerbang galangan untuk
pertama kalinya. Sulit dipercaya bahwa itu baru dua tahun yang
lalu dan aku berharap bisa memutar waktu sekaligus menanam­
kan akal sehat pada diriku.
"Baiklah, siapa yang mau menyetir?"
Kami sudah tiba di lokasi selancar pilihan kami, bentangan
air berkilau tempat pepohonan tumbuh dekat dengan garis
pantai dan melindungi ka.mi dari angin barat yang bertiup ma­
kin kencang. Ayah sudah mematikan mesin dan keheningan
hanya dipecahkan oleh suara air yang memukul-mukul lembut
lambung kapal.

1 17
"Biar aku saja:' Sara meraih ke bawah kursi kami. "Tali apa
yang kauinginkan?"
"Berikan yang pegangannya lebih lebar:·
Sewaktu ayahku sudah mencebur ke air, kulemparkan gu­
lungan tali ski kepadanya dan Sara menyalakan mesin. Kami
beringsut maju sampai tali menegang dan papan selancar Ayah
berdiri tegak. Dia mengangkat ibu jari dan Sara mendorong

tuas gas lalu kapal tersentak maju. Sesaat Ayah sepertinya akan
jawh tapi dia berpegangan erat-erat dan memantapkan tubuh,
lalu setelah beberapa saat, dia berdiri tegak di belakang kami
dengan raut kemenangan di wajahnya.
Selagi menyaksikannya meliuk-liuk menerjang ombak, aku
merasakan bahwa masa-masa sulit akhirnya akan usai. Ya, ayah­
ku cepat marah dan ketus dan pendiriannya sangat keras, tapi
dia juga bisa lucu, cerdas, dan menginspirasi. Aku merasa kem­
bali berada di tempat yang tepat dan apa pun yang menunggu
di depan sana akan jauh lebih menyenangkan ketimbang semua
yang sudah berlalu.
"Selancar terbaik tahun ini." Ayah berseri-seri saat naik lagi
ke kapal. "Aku tak sanggup berpegangan lebih lama lagi, lengan­
ku benar-benar mati rasa:•
"Kau mau giliran selanjutnya, Sara?"
"Sedang halangan, Nak:'
"Yah, aku tak perlu ditanya dua kali:' Aku melompat ke da­
lam air dan bahkan di musim panas, airnya cukup dingin unwk
membuatku terkesiap. "Mari kita mulai."
Ayah menyorongkan papan selancar kepadaku, kuselipkan
kaki ke dalam sepatu bot sementara tanganku mencengkeram
tali dan berharap aku masih ingat apa yang mesti dilakukan.

1 18
Kumantapkan kaki pada papan selancar dan berusaha menjaga
keseimbangan. Persis saat kupikir lenganku tak sanggup mena­
han lagi, aku sudah berdiri tegak dan mulai berselancar.
Udara yang menderu terasa dingin di wajahku, kulepaskan
satu tangan dari tali dan menyeka air dari mata. Ayah yang
menyetir sekarang, dia menoleh ke belakang sesekali dan aku
memberinya sinyal agar melaju lebih cepat. Air terasa semakin

keras di bawah papan selancar, aku mencondongkan tubuh ke


kiri dan menciptakan lengkungan yang lebar dan mantap men­
jauhi jalur air lalu memasuki perairan sebening kaca.
Aku begitu dekat dengan garis pantai, rasanya nyaris dapat
meraih dan menyentuh pepohonan, yang melesat melewatiku
dalam kelebatan samar cokelat dan hijau. Wajahku sudah ham­
pir kering dan kulitku terasa kaku akibat garam yang mengkris­
tal, dan sewaktu aku berbelok tajam lalu melesat kembali ke
sisi lain, aku merasa sangat hidup. Aku terus meluncur, rasanya
seperti berjam-jam lamanya, sampai lenganku begitu lemah dan
aku terpaksa melepaskan tali.
"Luar biasa:· Kapal berhenti di sampingku. "Aku benar-benar
capek."
"Kau tampak hebat:' Sara tersenyum. "Rasanya aku tak per­
nah melihatmu berselancar sebagus itu:·
Aku naik ke kapal dan mengatur napas, lalu kami mengemas
peralatan dan meluncur kembali ke pelabuhan. Setelah kapal
ditambatkan dan semua peralatan tersimpan rapi, kami pulang
ke apartemen dan ayahku langsung mandi. Terlindung dari pa­
nasnya matahari, aku menyadari kulit tengkukku terbakar dan
aku mengetuk pintu kamar Sara untuk meminta losion pendi­
ngin kulit.

1 19
"Masuk saja:• Sara masih mengenakan bikini dengan handuk
melilit pinggang dan sedang meletakkan pakaian ayahku di tem­
pat tidur. "Sepertinya ada di meja rias sana:•
"Ya Tuhan, sakit sekali:'
"Aku tidak heran." Dia tertawa. "Kulitmu semerah tomat:'
"Terima kasih untuk simpatinya:•
"Ada apa ini?" Ayah masuk ke kamar dan sorot matanya
dingin.
"Mau mengambil losion pendingin kulit:'
"Coba lihat kulitnya, anak ma.lang:'
Setelah itu aku mandi dan semburan air terasa bagai
napalm di leherku. Kuturunkan suhunya dan menunggu rasa
nyeri mereda. Dari kamar mereka bisa kudengar suara-suara
redam pertengkaran dan meskipun suara Sara terlalu pelan
untuk ditangkap, suara ayahku kaku dan semakin lama semakin
lantang.
'' ''

"...ada sesuatu di antara kalian berdua. . . "

,, It

". . . buat apa bilang padanya kau sedang halangan . . . "

'' ,,

"...pria dewasa di kamar kita dan kau setengah telan-


.
1ang. . ."
,, ,,

"...bercanda di belakang punggungku ... "


,, It

". . .sekarang aku tahu kenapa kau memaksaku menulis surat


sialan itu ... "

'' ,,

120
Aku selesai mandi lalu cepat-cepat masuk ke kamar Jamie.
Sa.lah satu mainannya patah terinjak kakiku dan aku bersyukur
dia berada di rumah orangtua Sara karena jika tidak, dia pasti
sudah menangis habis-habisan. Pertengkaran berlangsung
semakin sengit, lalu diiringi dentaman mendadak serta bunyi
gelas pecah, pertengkaran berakhir dan aku mendengar langkah
kaki di lorong.

"Pakai bajumu, dasar anjing keparat:' Ayah memasuki pintu


kamar dengan wajah penuh angkara. "Dan minggat dari sini."

121
"
Letakkan tas di lantai dan menjauhlah:' Petugas di bandara
Boston Logan meraih pistol di sabuknya. "Apa keperluan Anda
di sini?"
"Saya mau bekerja di kapal:'
"Dan di mana kapalnya, Sir?"
"Saya tidak tahu, agen yang akan mengantar saya."
"Dan di mana agen ini?"
"Kurasa sedang menunggu di area kedatangan:· Aku mem­
beri isyarat ke arah pintu-pintu keluar di ujung antrean bea
cukai. "Apakah ada masalahr''
"Anda yang menentukan, Sir. Apa nama agennya?"
"Detail-detailnya ada di surat penerimaan dalam saku tas

saya." Aku mulai kehilangan kesabaran tapi sepertinya dia tak


ragu-ragu menggunakan pistolnya. "ltu yang sedang saya cari
waktu Anda menghentikan saya."
"Saku yang mana, Sir?"

125
Aku menunjuk dengan kakiku dan dia berlutut lalu menarik
tas ke arahnya tanpa melepaskan pandangan dariku. Dia mem­

buka ritsleting saku seakan-akan benda itu mungkin menyimpan


ranjau dan aku bertanya-tanya apa gunanya semua pemeriksaan
sebelumnya. Aku sudah melewati beberapa mesin pemindai dan
menjawab rentetan pertanyaan di meja imigrasi.
"Seharusnya ada surat di dalam situ:'
"Yang ini, Sirr"
"Ya, itu dia."
"Oke, coba kita lihat apa isinya:' Dia membuka lipatan surat
dan menggumamkan namaku serta nama dan alamat agen. "Tu­
juh Agustus. . . teknisi sistem. . . instalasi kabel... CS Jupiter.
Sepertinya ini surat yang sah:'
Dua puluh menit kemudian aku berada dalam mobil van
agenku bersama sejumlah insinyur Skodandia yang sedang me­
lakukan perba.ikan darurat pada kerangka-A kapal, apa pun
artinya itu. Ketika kuceritakan kejadian di bandara, mereka
menganggapnya sangat lucu dan berkata aku beruntung aku
tidak melawan atau seluruh tubuhku mungkin bakal digeledah.
Butuh waktu cukup lama untuk menembus lalu lintas pada
jam makan siang dan kuceritakan kepada mereka tentang latar
belakangku, juga bahwa ini adalah pekerjaan pertamaku di luar
negeri. Mereka lumayan ramah tapi sepertinya tidak begitu ter­
tarik jadi kubiarkan saja mereka mengobrol sendiri sementara
aku tergelincir ke alam tidur. Anak itu berjuang beberapa saat,
kemudian menghilang ke bawah permukaan don aku menyelam ke
dalam air untuk mencoba menyelamatk.annya.
". . . kita sudah sampai teman-teman . . . "

"...untunglah, aku sudah kebelet. . ."

126
". . .bangun, anak muda:· Tangan yang kuat mencengkeram
bahuku. "Kita sudah sampai di dermaga."
Aku mengerjapkan mata dan menguap. Rahangku nyeri, aku
pasti sudah mengertakkan gigi sewaktu tidur. Mimpiku menguap
selagi kami menyusuri rangkaian ruwet bangunan-bangunan gu­
dang, truk-truk (orkli�, peti-peti kemas serta kendaraan-ken­
daraan kerekan yang menjulang. Ketika barisan kapal yang se­
dang berlabuh mulai terlihat, salah seorang insinyur Skotlandia
itu menunjuk Jupiter.
"Gundukan kecil sampah merah itu:· Terdengar nada meng­
hina dalam suaranya. "Kapal tertua dalam armada, seharusnya
sudah ditenggelamkan bertahun-tahun lalu:·
Si agen menghentikan mobil dan kami keluar lalu meregang­
kan kaki. Udara lembap dan pekat oleh bau minyak serta ga­
ram laut. Kami mengambil tas-tas kami dari bagian belakang
van dan kami bertiga menyalakan rokok. Beberapa menit ke­
mudian, sejumlah kelasi berkebangsaan Filipina menuruni tangga
kapal dalam balutan sepatu bot kerja dan overall biru cerah.
Mereka mengambil tas-tas para insinyur dan mencoba
mengambil tasku juga, tapi menurutku tidak benar jika orang
lain harus membawakan barang-barangku. Kami mengikuti me­
reka naik dan memasuki kapal kemudian menemui kepala ke­
uangan, Jeffrey, pria berusia awal lima puluhan dengan rambut
hitam klimis dan mata malas. Dia mengambil pasporku dan aku
menandatangani namaku di manifes, kemudian dia bertanya apa­
kah aku butuh uang tunai di muka yang akan dipotong dari
gajiku.
"Baga.imana dengan kami?" Salah seorang insinyur Skotlandia
mengedipkan mata. "Apa kami juga bisa dapat uang mukar''

127
"Kalian pekerja lepas dan tidak akan berlayar dengan kami:'
"Yah, kalian juga takkan bisa berlayar kecuali kami memper­
baiki kerangka-A kalian:•
"Kau memang pria tua yang menyedihkan, Jeffrey, kami cuma
bercanda."
"Tok tok:' Seorang pria dengan kacamata bundar kecil ber­
diri di ambang pintu, dan aku langsung punya firasat bahwa dia

klien yang licik "Kau pasti teknisi sistemku:·


.

"Ah, ya:· Kuberitahukan namaku. "Dan Anda adalah ... ?"


"Brian, SSE-mu."
"SSE?"
"Senior Submersibles Engineer7• Jadi apa jurusanmu?"
"Jurusan saya? Saya tak paham maksud. . . "
"Jurusanmu. Mekanik atau listrik?"
"Mekanik. Saya dilatih sebagai. . ."
"Kalau begitu kurasa sebaiknya aku mengajakmu berkeliling."
Dia memandu jalan ke kabinku, tempat aku meletakkan tas
sebelum mengikutinya naik ke geladak. Lalu kami beranjak ke
buritan dan dia menunjukkan mesin penanam kabel yang akan
kutangani selama tiga bulan ke depan, terdiri atas lima belas ton
baja berkarat, pelantak hidrolik, dan slang-slang. Dia bilang kami
akan menariknya melintasi dasar laut dan mesin itu akan meng­
gali parit untuk kabel serat optik.
Radio Brian mendadak meretih hidup dan dia dipanggil. Se­
belum pergi dia menunjukkan arah ke bengkel agar aku dapat
menemui rekan-rekan kerja baruku, yang menurutnya saat itu
hanya ada dua orang. Tadi malam, Richie, rekan kerja ketiga,

7
lnsinyur divisi bawah laut.

128
jatuh gara-gara mabuk saat sedang menari telanjang di meja
dan kini berada di rumah sakit terdekat untuk diperiksa apa­
kah dia menderita gegar otak.
"Tony, senang berkenalan denganmu." Pria pertama, kecil
dan kelabu, meletakkan palu serta pahatnya dan menjabat ta­
nganku. "Berarti kau datang bersama pria-pria Skotlandia itu?"
"Ya, setidaknya dari bandara. Kami naik penerbangan yang
berbeda:·
"Mereka itu bajingan-bajingan tamak." Pria kedua, Bill, memi­
liki wajah bundar dan perut yang sama bundarnya. "Uang yang
mereka dapatkan dari memperbaiki kerangka-A cukup untuk
membiayai seluruh kapal sialan ini."
"Yah, kalau melihat kondisi Jupiter, uang receh di sakuku
juga cukup. Apa kita benar-benar akan memasang kabel bawah
laut dengan kapal ini?"
"Jangan pernah meremehkan kuasa keberuntungan." Dia
tertawa dan suaranya jernih. "Kami sudah melakukan ratusan
pekerjaan menggunakan kapal ini dan hanya dua yang berakhir
dengan kegagalan:•
"Kalau begitu mari kita berharap ini bukan yang ketiga."
"Omong-omong, aku melihat nama keluargamu di daftar
pergantian personel:' Tony bersandar pada meja kerja lalu me­
ngeluarkan sebungkus rokok dari saku dan membaginya dengan
enggan. "Kau tak punya paman yang kebetulan pernah jadi
nakhoda?"
"Paman tidak, tapi ayahku memang pernah bertugas di
Apollo."
"Aduh, sebaiknya aku menjaga omonganku kalau begitu:•

1 29
"Tak perlu sungkan-sungkan hanya karena ada aku. Bajingan
tua itu tak pernah melakukan apa pun untukku:·
Tentu saja aku mungkin ingin memercayainya, tapi jujur saja
aku takkan pernah mendapatkan pekerjaan ini tanpa ayahku.
Kurang-lebih enam bulan yang lalu dia menulis surat lagi dan
kata-katanya amat menyentuh. Aku merasa begitu terharu se­
hingga kembali memberinya kesempatan. Rupanya selama ini

Sara berselingkuh dengan seorang agen properti setempat, lalu

Ayah menambahkan dua dengan dua dan mendapat hasil lima.


Jadi bukan cuma aku yang tidak pandai matematika.
"Kau kelihatan sangat capek, anak muda:•
"Memang benar, Bill, perjalananku menguras tenaga:'
"Kalau begitu sebaiknya kau istirahat dulu beberapa jam."
Dia melingkarkan lengan di tubuh kurus Tony dan meremasnya
dengan bercanda. "Sekarang ulang tahun si tua bodoh ini, jadi
nanti malam dia yang traktir minuman."
"Boleh kutanya ulang tahun keberapa?"
"Hanya kalau kau mau berenang." Tony tersenyum dan me­
ngedipkan mata. "Tidurlah dulu dan kami akan menemuimu di
bar kapal jam setengah enam. Kalau beruntung, Richie sudah

akan kembali saat itu. Aku punya firasat kau dan dia akan sa­
ngat akur."

* * * * *

"Tak kukira makhluk-makhluk ltu bisa bertahan di udara begitu


lama:• Aku meneguk kaleng birku dan menjentikkan rokok ke
luar kapal. "Pasti berusaha melarikan diri dari para predator:'

130
"Yah, aku ragu mereka melakukannya sekadar untuk senang­

senang."
"Entahlah, sepertinya mereka menikmatinya:•

"Menikmatinya?" Richie mengusap janggut merahnya yang


jarang sementara cahaya matahari memantul pada antingnya
dan saat itu dia terlihat seperti gambaran klasik bajak laut.
"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Mereka hanya tampak bahagia."

"Kurasa kau terlalu banyak minum bir, Sobat:'

ltu benar. Sudah hampir dua minggu sejak aku bergabung


dengan Jupiter dan tak pemah melewatkan satu malam pun da­

lam keadaan sadar. Diawali pesta minum ulang tahun Tony, disusul
hangover yang begitu parah sampai-sampai mataku nyaris berda­
rah, kemudian malam demi malam yang dipenuhi suplai alkohol

murah serta berbagai macam alasan untuk meminumnya. Per­


tama-tama selesainya perbaikan Kerangka-A, kemudian ulang
tahun rekan kerja lainnya, dan yang terakhir adalah keberhasilan­
ku melewati perjalanan pertama melintasi Segitiga Bermuda.
Richie dan aku duduk di kursi geladak dengan mesin pena­
nam kabel di belakang kami dan hamparan kanvas biru Sa­

mudra Atlantik di depan kami. lkan-ikan terbang berlompatan


keluar dari air lalu meluncur sepanjang ombak dalam keha­
ngatan sinar matahari sore. Dan aku mendapati bahwa jika
menatap cakrawala lekat-lekat, aku samar-samar bisa mengenali
bentuk daratan.

"Berapa hari lagi sampai tiba di Panama?"


"Dua, mungkin tiga hari." Dia mengangkat kaki dan buang
gas. "Tergantung cuaca."

131
"Kelihatannya cukup cerah."
"Jangan terlalu yakin, Sobat, cuaca bisa berubah drastis da­
lam hitungan jam dan tiba-tiba saja kau sudah meringkuk di
tempat tidurmu dengan jaket pengaman:'
"Kita harap saja tidak." Aku menyalakan rokok. "Aku terlalu
ganteng untuk mati sekarang."
"Tapi mungkin kita tidak akan turun ke darat. Si Mata Malas
tua selalu gelisah bila berhubungan dengan Panama. Kali terakhir
Jupiter berlabuh di sana, dia mengarang cerita kalau dia tidak
berhasil mendapatkan izin turun ke darat untuk kami."
"Apa tujuannya?"
"Beberapa tahun lalu salah seorang insinyur bertengkar di
bar. Pemilik bar menampari istrinya dan pria ini mencoba
menghentikan lalu menit berikutnya ada psikopat yang menu­
sukkan linggis ke dadanya."
"Yang benar saja." Aku mengernyit dan meneguk birku. "Apa
itu mungkin?"
"Aku mengatakan hal yang persis sama pada diriku sendiri.
Tapi begitulah Panama. Kalau mau nasihat dariku, hindari ma­
salah saat jauh dari rumah. Hukumnya, warganya, budayanya,
semua berbeda, Sobat, terutama di tempat seperti Amerika
Tengah:'
Sesaat aku membayangkan sebatang linggis menembus dada
pria malang itu. Kengerian yang dia rasakan dan betapa menye­
dihkan harus mati di bar asing ribuan mil jauhnya dari teman­
teman dan keluarga. Aku bertanya-tanya seberapa besar ke­
kuatan keji yang dikerahkan si pembunuh dan memutuskan
akan menunggu sampai San Diego sebelum turun ke darat un­
tuk minum.

132
''Tinggal enam minggu lagi dan aku akan pulang:' Richie
buang gas lagi lalu menghabiskan birnya dan membuang kaleng
ke luar kapal. "Aku tak sabar bertemu gadis kecilku:'
"Bagi sebagian orang mungkin menyenangkan, tapi yang me­
nungguku hanya masalah kebersihan teman serumahku dan
selera musiknya."
"Seperti mimpi buruk, ya?"
"Kami akur-akur saja sebelum tinggal serumah, tapi sekarang
dia hanya membuatku jengkel:'
"Mungkin dia merasakan hal yang sama tentangmu:·
"Ya, mungkin juga."
''Tapi kau pasti ingin sekali bertemu putramu:·
"Tentu saja:' Aku menghabiskan birku sendiri dan mengulur­
kan tangan untuk mengambil lagi, namun temyata sudah meng­
habiskan semuanya. "Tapi untuk itu pun keadaannya cukup
rumit."
"lbunya mengejarmu untuk minta uang?"
"Sepanjang waktu:·
"Minta birnya lagi.''
"Sudah habis.''
"Biar kuhabiskan rokokku dulu, nanti kuambilkan lagi di da-
,,
1 am.
"Bukannya aku pelit, tapi aku hanya mendengar kabar dari­
nya kalau dia mau minta uang. Waktu anakku baru bisa ber­
jalan, tidak ada telepon. Waktu dia mengucapkan kata pertama­
nya, tidak ada telepon. Tapi kalau ibunya kehabisan uang rokok
atau terlambat bayar sewa rumah, nah ceritanya benar-benar
berbeda.''
"Aku dan pacarku berpisah beberapa lama dan keadaannya

133
persis seperti t
i u. Pada akhirnya kuputuskan lebih mudah untuk
tetap bersama."
"Dan lebih murah."
"Yeah, itu benar. Untunglah dia tidak melibatkan CSA:'
Mendengar dia menyebut-nyebut CSA, perutku melilit dan
aku menyalakan rokok lagi. Waktu aku pergi enam belas bulan
yang lalu, Amy menghubungi Child Support Agency (Lembaga
Dukungan Anak) dengan harapan mendapat jaminan pemba­
yaran pemeliharaan dariku. Tapi dia tidak tahu bahwa ibu
pengangguran tidak memperoleh tunjangan tambahan apa pun,
meski lembaga tersebut tetap menagih uang dari para ayah.
Jadi selama ini aku memberikan sepertiga gajiku kepada mereka
sebagai uang tunjangan untuk putraku dan mereka malah
menggunakannya untuk keperluan intern lembaga tanpa me­
nyisakan sepeser pun untuk Amy.
"Kuambilkan birnya."
"Bawa yang banyak:'
"Katanya mau tidur cepat?"
"Aku sedang ingin minum sekarang. Jadi, sekalian saja kau-
ambil juga minuman yang lebih keras."
"Baiklah, Bung, ada permintaan khusus?"
"Kau yang putuskan:·
Aku kembali menyalakan rokok dan mengawasi matahari
terbenam melanjutkan perjalanan sunyinya memasuki samudra.
Angin dingin mulai bertiup, membuat lengan dan punggungku
menggigil. Dan ketika Richie kembali, kami mengganyang dua
belas kaleng bir serta tiga perempat botol rum Bermuda hitam.

134
�ku duduk dalam kabin pengendali katrol hidrolik dan de­
ngan perlahan menarik mundur tuas kontrol untuk menghela
masuk lebih banyak kabel penarik. Mesin penanam kabel meng­
gantung di bawah kerangka-A yang mencuat keluar melewati
buritan kapal dan kami bekerja dengan serempak untuk me­
ngembalikan mesin itu ke atas kapal. Richie bertanggung jawab
atas jalur suplai tenaga mesin penanam, Bill bertanggung jawab
atas kerangka-A, Tony terbaring di tempat tidur karena demam,
dan Brian berada di geladak, memberi perintah-perintah melalui
radio.
"Katrol hidrolik katrol hidrolik, apakah ketegangannya oke
di sana?"
"Uh, ya, Brian."
"Apakah ketegangannya kelihatan oke di sana?"
"Ya, Brian, beres:·
"Apakah ketegangannya kelihatan oke di sana?"

13 5
"Ketegangannya baik-baik saja di sini, Brian, sama sekali tak
ada masalah."
"Afirmatlf, afirmatlf. Berapa kali harus kukatakan padamu?
Kita mengata.kan afirmatif di radio, bukan ya atau oke:'
"Tapi kau bilang oke waktu bertanya padaku:·
"Aku tidak menggunakannya sebagai pengganti kata ya."
"Maksudmu pengganti afirmatlf?"
"Apa?"
"Kau tidak menggunakan oke sebagai pengganti kata afirma-
tlf, Brian. ltu maksudmu?"
"Ya, itu maksudku:•
"Afirmatif, Brian, kita tidak menggunakan kata ya di radio."
"Ya Tuhan, kau benar-benar menyebalkan. Untunglah kau
akan pergi."
"Apa maksudmu?"
"Temui aku setelah kita selesai di sini. Dan melihat kece­
patan kerja kita, mungkin baru akan selesai pertengahan tahun
depan:'
Kami mulai menaikkan mesin lagi dan setelah akhirnya ber­
ada di kapal, aku meregangkan bahu lalu mematikan katrol dan
menyalakan rokok. Dahiku terasa hangat dan kuharap Tony tl­
dak menularkan penyakitnya kepadaku. Selagi aku berjalan ke
geladak, matahari pagi muncul di atas depot Meksiko yang
berisi kabel untuk proyek instalasi kami.
"Jadi, ada masalah apa ini?"
"Aku menerima e-mail tempo hari." Dia mendengus dan
menatap sepatu botnya. "Mereka memintamu pulang untuk
mengikuti pelatihan penyambungan kabel."
"Baiklah, kapan pelatihannya?"

136
"Kau berangkat besok pagi:'
"Besok pagi? Kapan kau menerima e-mail ini?"
"Senin malam."
"Tapi itu hampir tiga hari lalu." Sekarang aku tahu
mengapa perlakuannya padaku lebih tidak hormat lagi di­
bandingkan biasanya. "Kenapa kau tidak memberitahuku
lebih awal?"
"Aku pasti lupa."
"Aku sama sekali tak percaya."
"Terserah kau mau percaya atau tidak. Agen akan men­
jemputmu pukul delapan."
Aku berjalan menjauhinya lalu membelok ke samping dan
menatap perairan berminyak di bawah sana. Pukul delapan
pagi? Aku baru berlayar selama lima minggu dan bahkan belum
melihat San Diego, apalagi berpartisipasi dalam proyek instalasi.
Jam-jam yang dilewatkan untuk menyiapkan mesin penanam
kabel, semua latihan dan peluncuran percobaan itu, semuanya
sia-sia.
"Sudahlah, Sobat." Bill bersandar pada pagar di sampingku.
"Jangan kesal gara-gara dia."
"Dia benar-benar tolol, kapan dia bermak.sud memberitahu-
..
ku.,
"Tak ada gunanya berdebat dengan orang seperti dia, kau
hanya akan merendahkan dirimu sendiri:'
Bert pernah mengatakan sesuatu yang mirip. Dan mendadak
aku berharap dia ada di sampingku, dengan janggut kelabu,
mata kuat yang tenang dan kerelaannya untuk melindungiku,
bahkan saat aku melakukan kesalahan. Selama setahun penuh
dia memperjuangkanku dan mencegah Barlow memecatku. Aku

13 7
berutang begitu banyak kepadanya sampai-sampai air mataku
menggenang ketika akhirnya aku meninggalkan galangan.
"Yang jelas kau masih punya banyak waktu, ada tempat-tem­
pat yang lebih bagus dibandingkan San Diego:'
"Tapi bukan itu intinya."
"Ayolah, Nak, bergembiralah, kita akan turun ke darat ma­
lam ini dan memberimu perpisahan yang layak:'
"Sayang sekali Tony sakit." Aku menyalakan rokok lagi. "Dia
berutang satu atau lima minuman padaku:·
"Aku yakin kita bisa menyeretnya keluar dari sarang seben­
tar:·
Setelah Brian pergi, kami membilas air laut dari mesin pena­
nam kabel dan melakukan pemeriksaan pasca-penyelaman yang
biasa. Mesin itu jelek tapi aku mula.i suka menanganinya dan
berharap bisa tetap tinggal untuk melihatnya beraksi. Dari atas
mesin aku mengawasi para kelasi Filipina yang sedang meman­
cing dari dermaga. Mereka melambai dan tersenyum sewaktu
melihatku, dan aku bertanya-tanya bagaimana mereka bisa se­
lalu bersikap positif padahal bayaran mereka sangat kecil dan
mereka begitu jauh dari rumah.
Kami melewatkan sisa hari itu dengan menghindari Brian
dan saat malam menjelang kami menyusuri jalanan. Perasaanku
campur aduk, sedih karena mesti meninggalkan teman-teman
baruku dan senang karena bisa bertemu keluargaku lagi. Bar
pertama yang kami datangi menyediakan pelacur serta band
mariachi yang mengerikan dan sewaktu kami mencoba pergi, si
penjaga pintu meminta uang. Semua pikiran untuk protes lang­
sung lenyap begitu dia mengeluarkan pisau berburu dan me­
lambaikannya kepada kami.

138
** * * *

Saat baru kembali, aku mendapati Doug sudah mengajak pa­


carnya pindah ke rumah kami. Dan aku mungkin bakal menga­
muk seandainya tidak mabuk berat sepulang dari Meksiko dan
sakit akibat keracunan alkohol serta ketularan demam Tony.
Jadi aku mempermudah keadaan untuk kami semua dan pindah
ke tempat ayahku, yang sedang di rumah untuk cuti panjang
sementara perceraiannya dengan Sara sedang diproses. Bukan
berarti kami sering bertemu, karena tempat pelatihanku di
London dan aku hanya pulang setiap akhir pekan.
"Kau semakin gemuk setiap kali melewati pintu itu."
"Enam minggu tinggal di hotel, Ayah:' Kuletakkan tasku se-
bentar. "Terlalu banyak makanan gratis:·
"Seharusnya kau berolahraga untuk menghilangkannya."
"Lihat siapa yang bicara:·
"Aku lebih tua tiga puluh tahun darimu, Nak."
"Berarti sema.kin besar alasan untuk berolahraga, sebelum
lututmu menyerah untuk selamanya."
Aku mengikutinya melewati ruang ta.mu, tempat Jamie ber­
baring di sofa, memainkan semacam video game portabel. Dia
hanya menggumam waktu kusapa dan matanya tetap terpaku
ke layar dan ayahku tidak menegurnya agar bersikap lebih
sopan. Andai aku bertingkah seperti itu waktu kecil dulu, dia
pasti sudah murka padaku dan menyuruhku diam di kamar
sepanjang hari.
"Jadi, apa rencanamu?"
"Mungkin menginap di rumah lbu untuk sementara:•

139
"Bagaimana kabar ibumu dan si penyusun rak?"
"Lebih baik ketimbang kau dan Sara, kurasa. Setidaknya me­
reka masih tinggal bersama:•
"Dan itu bagus, ya?"
Di dapur, aku bersandar ke meja dan menghirup aroma da­
ging kambing panggang serta sayuran. Beberapa panci bergagang
terlihat mendidih di kompor dan Ayah mengeluarkan loyang
pemanggang dari oven lalu menuangkan sari daging ke dalam
teko. Kemudian dia menambahkan bubuk saus instan ditambah
sepercik air dari salah satu panci lalu memintaku mengambil
tepung jagung dari dalam lemari.
"Sudah hampir kosong." Aku mengguncang bungkusnya.
"Dan kedaluwarsa satu tahun."
"Kau bercanda:·
"Tidak:'
"Coba lihat:' Wajahnya berubah merengut. "Berengsek, satu
lagi kejutan kecil Sara. Kau tahu, dia menghabiskan setiap sen
penghasilanku tapi bahkan tak bisa menjaga lemari tetap terisi
persediaan . . . "
"Hmm, yeah."
" ...dan kondisi kamar mandi sia.lan itu ..."
"Yeah, hmm:·
" . . . dan kau tak bakal mengira apa yang kutemukan baru­
baru ini:'
"Apa?"
"Nah . . . "
Sebenarnya, aku sama sekali ta k tertarik. Setiap kali kami
bertemu ceritanya selalu sama dan aku sungguh berharap dia
bisa bersikap jantan dan melanjutkan hidupnya. Dia memang

140
terluka, tapi lalu kenapa? Amy dan Mike juga terluka, begitu
pula ibuku, begiw pula semua bajingan malang di planet ini. Dia
tak pernah menjadi orang yang bersimpati pada orang lain

maka dia tak berhak mengharapkan simpati sekarang, dan aku


sungguh-sungguh berharap dia tidak melibatkan Jamie dalam
semua omong kosong ini.
"Sebenarnya aku mesti, yah begitulah."
". . .seharusnya mengganti kunci sialan di tempat ini. . . "

"Jadi yah, aku sebenarnya. . ."


". . .hak asuh, langkahi dulu mayatku . . ."
"Sebenarnya, Ayah, aku mesti pergi sekarang."
"Kau tidak makan malam di sini?"
"Sisakan saja sedikit untukku."
Dia tidak mengatakan apa-apa dan aku keluar ke mobil
sewaanku, mengisap rokok lalu melaju pergi. Jalan-jalan per­
desaan segera beralih menjadi jalan-jalan perkotaan dan lalu
lintas lumayan lancar untuk hari Jumat malam. Hanya dalam
waktu kurang-lebih setengah jam aku sudah tiba di lingkungan
rumahku yang lama. Setiap kali kembali kemari rumah itu se­
akan-akan tampak lebih kecil. Aku membuka pintu dan meng­
umumkan kedatanganku, disambut suara Mike yang menyerukan
sapaan teredam dari ruang tamu.
"lbumu sedang keluar sebentar:•
"Tak masalah, aku tak keberatan menunggu."
"Senang bertemu denganmu:• Mike duduk di kursi berle­
ngannya dengan segelas anggur. "Bagaimana kabarmu?"
"Aku baru mau menanyakan hal yang sama:•
"Aku sangat rindu padanya, kau tahu:·

141
"Dia belum pindah, ya?"
"Secara fisik mungkin belum." Suara Mike diwarnai kese­
dihan. "Aku rindu tawa dan kasih sayangnya, Nak. Aku juga
merindukan pertemanannya. Dulu kami begitu gembira."
"Maaf, Mike, aku tak tahu mesti bilang apa."
"Tidak apa-apa:'
"Menurutmu ini benar-benar sudah berakhir?"

Pintu depan terbuka, lbu melintasi ruang depan dan masuk

ke ruang tamu. "Ya ampun, di luar semakin . . . oh halo, my love,


senang melihatmu."
"Senang melihatmu juga:' Kucium pipinya dan ibuku berbau
alkohol serta parfum. "Habis berpesta pora rupanya?"
"Kau masih konyol seperti biasa:'
"Sebaiknya aku menjerang cerek:' Mike bangkit dari kursi.
"Ada yang mau minum teh?"
"Aku mau segelas anggur juga kalau boleh."
"Kau harus menyetir, Nak:'
"Segelas takkan berbahaya buat dia:·
Mike beranjak ke dapur dan aku duduk bersama lbu di sofa,
mengomentari betapa sehat kondisinya, meskipun itu tidak se­
penuhnya benar. Wajah dan tubuhnya mungkin tampak sehat
namun matanya mengungkapkan kisah yang berbeda. Dia me­
letakkan tangannya di atas tanganku lalu seperti biasa mengaju­

kan terlalu banyak pertanyaan dan aku berusaha sebaik mung­


kin untuk tetap sabar selagi menjawab semua pertanyaan itu.

Ya, aku akan menemui putraku besok, dan ya kami akan


pergi ke kebun binatang, tidal<, aku tidak berencana menemui
Bibi, ya aku tetap akan makan siang dengan Kakek-Nenek hari

142
Minggu, tidak, aku tidak tahu di mana kapalku yang berikutnya
akan berlabuh, dan ya, pelatihan kabelnya lancar, walaupun se­
bagian besar rekan kerjaku hampir menjadi pecandu alkohol.

143
memori Sa..ra..f

"
8ahkan dari jauh terlihat amat mengesankan:• Teman seper­
jalananku, orang California tinggi dan kurus bernama Dave,
memberi isyarat ke luar jendela kereta api supercepat kami. "Si
siput berusaha semampunya. Namun perlahan-lahan, sangat per­
lahan, dia mendaki Gunung Fuji nan perkasa:'
"Puisi yang bagus."
"Menggambarkan perjuangan abadi manusia dalam meng­
hadapi keilahian:•
"Kau menulisnya sendirir'
"Kuharap begitu:' Dia tertawa. "Aku mengutipnya dari buku
kecil yang hebat tentang puisi yang kubeli di LA:'
"Oh begitu."
"Kau harus membacanya kapan-kapan."
Kami bertemu di bandara Narita, Tokyo, ketika agen men­
jemput kami dan rasanya menyenangkan punya teman untuk
melewati sisa perjalanan ini. Kereta api supercepat akan mem­
bawa kami sejauh yang ia bisa, kemudian kami harus naik ke-

144
reta api lokal yang lebih kecil ke pelabuhan ikan tempat CS
Hermes tengah bersiap untuk berlayar ke Kobe. lni perjalanan
pertamaku ke Jepang tapi sepertinya Dave sudah pernah ke
sini beberapa kali.
"Jadi, seperti apa dia, kapal itu?"
"Aku tak punya petunjuk sama sekali. Baru sekarang kapal
itu difungsikan sebaga.i kapal perbaikan. Sebelumnya CS Hermes

beroperasi sebagai feri penumpang, dan mereka baru saja


mengubahnya untuk kapal operasi kabel:'
"Jadi kita bakal punya peralatan baru yang bagus untuk di­
mainkan."
"Dan pekerja-pekerja Jepang yang baru:· Dia meraih ke ba­
wah meja, mengambil dua kaleng Coca-Cola dari tasnya. "Nih,
sepertinya kita berdua butuh asupan gula.:'
"Kenapa orang jepang?" Aku membuka kaleng dan nyaris
menghabiskannya dalam sekali teguk, karena hampir sepanjang
penerbangan aku tidur dan belum minum apa pun sejak be­
berapa waktu lalu. "Kukira kita hanya mempekerjakan orang
barat."
"Perjanjian dengan pihak berwenang di pelabuhan. Kalau
ingin berlabuh di sana, harus ada lima puluh persen pekerja
lokal:'
"Pasti menarik."
"Kita lihat saja nanti, kemungkinan bakal banyak miskomuni­
kasi:'
Pada saat kami menaiki kapal itu, hari sudah menjelang sen­
ja dan udaranya ternyata sangat dingin. Kuletakkan tas-tasku di
kabin dan berhenti sejenak untuk mengagumi pemandangan,
karena melalui jendela tingkap aku bisa melihat ke seberang

145
perairan, tempat lereng bukit yang suram namun indah berdiri.
Sungai kecil mengalir menuruninya bagaikan urat nadi perak
dan beberapa rumah mungil mengepulkan asap ke langit ungu.
Aku pergi mencari SSE dan dia lebih muda daripada per­
kiraanku. Namanya Mark dan dia bilang akan menunjukkan
departemen kabel besok. Kami membuat janji untuk bertemu
di bar setelah makan malam dan minum-minum sedikit. Kemu­

dian dia kembali bekerja dan aku kembali ke kabinku, berniat


untuk tidur sebentar ketika seseorang mengetuk pintu.
"Halo, selamat sore:• Seorang wanita Jepang berambut pen­
dek yang membawa papan jepit berdiri di sana sambil menun­
dukkan kepala. "Mr. David Parker-sanr'
"Ah, bukan, bukan saya:• Aku menyebutkan namaku. "Kabin-
nya di sebelah sana:·
"Maaf sekali, nama saya Kumiko:·
"Senang berkenalan dengan Anda."
"Perwira Kedua." Ada pembuluh darah yang pecah di pipi­
nya dan ketidaksempurnaan ini malah membuatnya semakin
menarik. "Saya hendak memberikan tur keamanan."
Aku memakai sepatu sementara Kumiko mendatangi Dave,
lalu dia memandu kami berkeliling kapal yang rasanya seperti
berjam-jam. Kecermatannya untuk menerangkan segala hal
terasa merendahkan, seolah-olah dia menganggap kami bodoh,
tapi kami hanya tersenyum dan melontarkan komentar-komen­
tar ramah untuk menjaga perasaannya. Ketika tur akhirnya
selesai dia menjabat tangan kami, menundukkan kepala lagi dan
bergegas pergi.
"Sungguh menarik." Dave menyikut rusukku. "Semoga saja
yang lain juga sama cantiknya:·

146
"Jangan terlalu berharap, bisa jadi mereka semua lelaki paro
baya yang kelebihan berat badan."
"Kedengarannya seperti tim kabel kita pada umumnya:'
Kami kembali ke kabin untuk mengenakan seragam, sebab
Hermes adalah kapal "putih" dan kami diharuskan tampil ter­
hormat saat makan malam. Beratku bertambah banyak selama
beberapa bulan terakhir dan celanaku sangat ketat selagi aku

duduk di meja, menyantap sajian tiga-hidangan sembari berke­


nalan dengan rekan-rekan kerja baruku. Pada saat kami semua
pindah ke bar, aku terpaksa membuka kancing atas celanaku
dan melonggarkan sabuk.
"Jadi, kapal Jupiter yang hebat:' Mark meneguk birnya. "Ber­
arti kau bekerja dengan Brian Simmons, kalau aku tidak salah?"
"Afirmatif:'
"Bagaimana dengan Jeffrey si kepala keuangan, apakah dia
juga bekerja di sana?"
"Bajingan tua t
i u." Salah seorang rekan kerja kami berseru
dari seberang bar. "Jangan pernah memercayai orang yang tak
bisa menatap langsung ke matamu."
"Melarang kami turun ke darat di Panama:'
"Mungkin ada baiknya juga:' Mark menandaskan birnya. "Be­
berapa tahun lalu, seorang insinyur. . ."
"Apakah ini cerita yang ada linggisnya?"
"Ya, benar sekali:' Wajahnya berubah datar dan saat itu aku
sadar mungkin sebaiknya kubiarkan dia menyelesaikan ceritanya.
"Bagaimana dengan teknisi sistem di Labrador?"
"Labrador? Kuharap ini bukan cerita tentang hubungan
seksual dengan binatang:'
"Labrador di Newfoundland, Kanada." Dia mengisap rokok-

147
nya dalam-dalam. "Lelaki ini minum-minum sepanjang malam,
waktu itu Malam Tahun Baru, lalu sekitar pukul empat pagi dia
memutuskan untuk kembali ke kapal dan tidur:•
"Oke."
"Masalahnya, dia tak pernah sampai di kapal. Menghilang
begitu saja. Mereka menunggu selama satu atau dua hari, siapa
tahu dia tersasar ke ranjang perempuan setempat, kemudian

mereka menghubungi pihak berwenang dan mereka melakukan


operasi pencarian dan sebagainya."
"Astaga, apakah mereka berhasil menemukannya?"
"Tidak. Peristiwa itu terjadi tiga, empat tahun yang lalu. Pen­
dapat yang beredar, dia begitu mabuk sampai-sampai dia
ambruk di jalan dan seseorang tak sengaja melindasnya lalu
membawanya ke perbukitan dan menguburnya di sana:•
"Astaga:·
"Begitu luasnya padang belantara yang beku, polisi takkan
bisa menemukannya. Cerita ini hanya untuk mengingatkan, se­
baiknya hati-hati saat kau jauh dari rumah:'
"Hei, Cesar:" Seorang rekan kerja bersuara keras yang sama
berseru lagi, kali ini kepada seorang pelayan Filipina yang se­
dang mengosongkan asbak-asbak. "Hei, Cesar, kami hampir
kehabisan bir. Cepat isi lagi kulkas sialannya:·
"Kalau dia begitu ingin minum, kenapa tidak mengambil
sendiri saja?"
"Tenang, Sobat:' Mark mengangkat alis. "Jangan memancing
masalah."
Aku menyalakan rokok lagi dan minum bir lagi lalu meng­
ulangi siklus tersebut sampai bar hampir kosong dan jam me­
nunjukkan hampir pukul tiga pagi. Kemudian aku terhuyung-

148
huyung ke kabin dan tertidur dengan pakaian lengkap. Tubuhku
begitu dehidrasi akibat perjalanan dan alkohol sehingga infeksi
perlahan-lahan menggerogoti kandung kemihku.

** * * *

Enam minggu kemudian aku duduk bersama Kumiko di ruang


tunggu sebuah klinik privat yang sibuk. Kapal Hermes sekarang
berada di Kobe dan infeksiku sudah mulai pulih. Jika tes-tes ter­
akhir hasilnya negatif, aku bakal dinyatakan sembuh dan bebas
minum lagi. Bukan berarti aku ingin buru-buru, sebab hidup bersih
dari alkohol punya banyak keuntungan. Berat badanku turun, tidur­
ku nyenyak dan aku belajar lebih banyak tentang budaya se­
tempat dibandingkan jika aku hanya mabuk di bar lrlandia yang
bertebaran di mana-mana.
"Menurutmu ada yang tahu?"
"Entahlah:' Dia menggaruk kelopak matanya. "Barangkali si
agen merasakan sesuatu."
"ltu bukan akhir dunia:·
"Bagimu mungkin bukan:•
Perawat keluar dan memanggil kami untuk menemui dokter,
yang sedang mencuci tangan di wastafel baja kecil di sudut. Dia
mengangguk kepada kami sebagai tanda mempersilakan duduk
lalu menanyakan kondisiku dengan bahasa lnggris yang beran­
takan. Mela.lui Kumiko, kujelaskan kepadanya bahwa meskipun
rasa sakit sudah hilang, namun masih ada sensasi aneh di kan­
dung kemihku setelah buang air kecil.
"Mungkin memori saraf."

149
"Memori saraf?" Aku berpaling kepada Kumiko. "Bisa kau­
tanyakan apa maksudnya?"
"Dia bilang kondisimu mungkin membaik tapi sarafmu masih
mengingat rasa sakitnya."
"Jadi, menurutnya semua itu hanya ada di kepalaku?"
"Mungkin:'
"Banyak kata mungkin hari ini. Bisa kautanyakan apakah aku
harus tetap minum obat?"
"Dia bilang mungkin berhenti dulu untuk saat ini dan me­
nunggu hasil tes."
"Baiklah kalau begitu:' Aku lega mendengarnya, karena aku
minum begitu banyak pil sampai-sampai rasanya aku berderak­
derak sewaktu berjalan. "Tes urin dan darah lagi?"
"Dia bilang ya."
"Baik." Aku berdiri dan menjabat tangan pria itu. "Terima
kasih, Dokter."
"Sama-sama:· Dia tersenyum lalu mengatakan sesuatu ke­
pada Kumiko dan wajah wanita itu menggelap, kemudian dia
berpaling kembali kepadaku dan senyumnya agak memudar.
"Mungkin hanya memori saraf:'
Ketika si perawat selesai mengambil sampel, Kumiko dan
aku meninggalkan klinik lalu berdiri di lahan parkir sementara
dia menghubungi agen dari ponsel mungilnya. Matahari bulan
Januari sama sekali tak memancarkan panas dan angin dingin
berputar-putar di sekeliling kami, membuatku merapatkan man­
tel ke tubuh. Kami berdua menyalakan rokok dan agen itu
datang sebelum kami sempat menghabiskan rokok.
"Dokter itu bilang apa padamu tadi?"
"Bukan hal penting:'

150
"Ayolah, dia bilang apat'
"Sudah kujawab, bukan hal penting:'
Semakin kudesak, semakin keras dia bertahan. Dan dilihat
dari rona wajahnya, kubayangl<an pasti ada hubungannya dengan
masalah seksual. Aku mendadak marah kepadanya, kepada dok­
ter tadi serta segala hal lainnya di negeri terkutuk ini. Tempat
macam apa yang menjual pakaian dalam kotor dari mesin pen­
jual dan harus memiliki kompartemen kereta api yang terpisah
unwk wanita guna mencegah orang-orang cabul mengintip rok
mereka dengan cermin?
"Tidak perlu marah:'
"Bicara sih gampang." Aku menatap ke luar jendela, ke ja­
lanan yang sibuk dan para pejalan kaki laki-laki yang kini telah
menjadi makhluk-makhluk cabul. "Bukan kau yang dibiarkan
dalam kegelapan:'
"Apa yang dibiarkan dalam kegelapan?"
"Cuma istilah, lupakan saja."
"Bukan hal penting."
"Yah, kalau tidak penting, kenapa kau menyembunyikannya
dariku?"
"Kau hanya akan marah:'
"Aku sudah marah, Kumiko."
"Tapi kau takkan mengerti:'
"Oke, kau mungkin benar." Aku memajukan tubuh dan me-
nepuk bahu si agen. "Mr. Kawashima, tolong berhenti di sini."
"Apa yang kaulakukan?"
"Silakan kembali ke kapal sendiri, aku tak peduli."
Aku turun dari mobil dan dia berusaha mengikutiku tapi
kututup pintu di depan wajahnya lalu beranjak pergi. Jalanan

151
bagai terowongan angin, kubenamkan tanganku dalam-dalam di
saku dan kubungkukkan bahuku. Aku terus melangkah tanpa
tujuan, Gunung Maya yang menaungi Kobe mengawasiku, dan
angin menarik a.ir mata keluar dari sudut mataku.

152
Om Sena..n'J

"
Selamat sore, Bung." Sopir itu tersenyum selagi aku menen­
teng tas dari stasiun kereta api dan naik ke kursi belakang
taksinya. "Baru pulang dari tempat yang menyenangkan?"
"jepang:•
"Seperti apa di sana, apa kau mencoba makan sushi?"
"Tidak seburuk yang kita kira:•
"Aku selalu membayangkan rasanya terlalu amis:•
Kami memasuki lalu lintas dan aku memejamkan mata, me­
mikirkan kekacauan yang kutinggalkan. Kawashima pasti mem­
beritahu Kapten tentang hubunganku dengan Kumiko dan
sebelum kami sadar, Kumiko sudah diskors dari tugasnya dan
kini tengah menunggu penyelidikan. Aku tidak tahu penyeli­
dikan dalam bentuk apa yang akan mereka lakukan, karena
setahuku kami tidak melanggar hukum apa pun. Tapi akibatnya
para pekerja jepang memperlakukanku dengan muak dan dua
bulan terakhir di kapal benar-benar menyiksa bagiku.
"Kudengar ada badai yang lumayan dahsyat:'

153
"Benar sekali, Bung:' Si sopir menambah kecepatan saat
kami tiba di pinggir kota. "Setengah genting atapku berjatuhan
ke jalan."
"Ada jaringan telepon yang terputus?"
"Aku takkan kaget kalau ada, terutama di daerah lnl.''
.

"Sudah berminggu-minggu aku mencoba menghubungi ayah­


ku:'
"Wilayah mari na kondisinya benar-benar parah, lebih dari
tiga puluh kapal hancur berkeping-keping."
"Tak ada yang terluka, kuharap:'
"Di marina tidak, tapi seorang miliuner sombong yang se­
dang membawa anjingnya berjalan-jalan tersengat listrik. Ja­
ringan listrik ambruk dan membunuhnya di tempat:'
"Oh, kasihan:'
"Ya, kasihan, siapa yang akan memberi makan anjingnya?"
Jalan-jalan perdesaan melesat lewat dan kami tiba di be-
lokan menuju kompleks apartemen. Aku melihat beberapa po­
hon tumbang dan sedang dibelah menjadi potongan-potongan
yang lebih kecil. Kami melewati pondok si pria tua dan sesaat
kemudian tiba di jalan masuk lahan parkir. Aku berterima kasih
kepada sopir ta.ksi dan memberinya tip yang cukup besar.
Kemudian aku masuk ke lobi, menaiki lift dan tak sabar ingin
menikmati secangkir teh serta mandi air panas.
Sewaktu mencoba membuka pintu apartemen, ternyata di­
kunci, jadi aku membunyikan bel dan menunggu sejenak tapi tak
ada yang menjawab. Kupikir ayahku mungkin sedang keluar tapi
ketika kunciku tidak pas aku mulai merasa gelisah. Lalu terpikir
olehku bahwa Ayah mungkin mengganti kunci untuk mencegah
Sara datang dan mengambil kembali barang-barangnya.

154
"Dia sudah pindah lebih dari sebulan yang lalu."
"Pindah?" Aku menoleh ke sumber suara. "Kau bercanda?"
"Untuk apa aku melakukan itu?" Rupanya tetangga sebelah,
Brenda, perawan tua angkuh berusia awal empat puluhan yang
kesukaannya pada anjing-anjing kecil sudah hampir masuk kate­
gori obsesif. "Tak bisa bilang aku sedih melihatnya pergi. Kau
tahu dia mencoba meracuni salah satu cintaku?"
"Aku menyesal mendengarnya. Apa kau tahu dia pindah ke
mana?"
"Ke neraka mungkin, apa peduliku? Angus kecil sakit se­
minggu:·
''Tidak ada alamat untuk meneruskan surat?"
"Coba tanya keluarga Thompson di bawah, cuma mereka
yang mau berbicara dengannya. Dan kalau kau bertemu ba­
jingan itu, bilang padanya dia berutang seratus pound padaku
untuk tagihan dokter hewan."
"Kau tahu, Brenda?" Kusampirkan tasku di bahu dan me­
nyalakan rokok. "Sayang sekali bukan kau yang dia racuni:'
Aku menemui keluarga Thompson dan mereka hanya bisa
menyampaikan bahwa Ayah pergi dengan terburu-buru dan
bahwa beberapa orang yang penampilannya seperti juru sita
terlihat berkeliaran di apartemen. Mereka menyerahkan seren­
ceng kunci yang dititipkan Ayah kepada mereka bertahun-tahun
lalu. Sepertinya mereka kaget waktu kuberitahu Ayah sudah
mengganti kunci sehingga aku mulai ragu dan kembali ke atas
untuk mengeceknya.
Semua kunci itu juga tidak cocok, tapi kulihat ada satu kun­
ci untuk kotak surat dan aku turun untuk memeriksa. Ada
bermacam-macam surat dari perusahan kartu kredit dan ku-

155
bayangkan Sara atau Ayah pasti meninggalkan utang yang besar.
Ada juga beberapa surat untukku, rekening-rekening koran dan
slip-slip gaji, serta surat dari CSA yang meminta informasi me­
ngenai tempat kerja baruku supaya mereka bisa mulai memo­
tong gajiku lagi.
Aku menelepon taksi dari telepon umum di lobi lalu keluar
dan menyalakan rokok. Aku menduduki tasku sampai sopir
taksi datang lalu kami meluncur ke kota dan hari hampir gelap
ketika kami tiba di lingkungan rumah lamaku. Kami melewati
rumah Danny yang lampu-lampunya menyala dan aku bertanya­
tanya apakah dia masih di rumah, atau sudah kembaH ke panti
perawatan lagi agar orangtuanya yang malang bisa beristirahat.
"lbumu sedang pergi seminar." Mike duduk di depan meja
dapur dengan segelas cognac dan botol setengah kosong di
sampingnya. "Pulang besok malam."
"Seminar lagi?"
"Kurasa dia selingkuh:'
"Yah, setidaknya dia tidak menghilang:•
"Menghilang?"
"Tuangkan segelas untukku dan akan kuceritakan detail-de­
tailnya yang menyeramkan." Kujatuhkan tas ke lantai dan me­
nyalakan rokok. "Boleh pinjam telepon sebentar?"
"Silakan saja, Nak:'
Aku pergi ke ruang makan dan mencoba menghubungi Amy
tapi tak ada jawaban, jadi aku menghubungi rumah kakaknya.
Suaminya yang mengangkat dan mengatakan Amy ada di sana.
Kudengar dia menyerukan nama Amy dan setelah jeda yang
terasa berlangsung selamanya, wanita itu akhirnya mengangkat

156
telepon. Dia terdengar agak bingung dan ada suara tangisan di
sekitarnya.
"jadi akhirnya kau kembaU:'
"Yeah, aku mau mengantarkan uang:'
"CSA mencari-carimu."
"Bilang saja kau tidak tahu aku ada di mana:'
"Cukup mudah, karena biasanya aku memang tidak tahu."
"Bagaimana si bocah?"
"Merindukan ayahnya." Suara Amy berubah getir. "Bukan
berarti kau peduli:'
"Jangan mulai, Amy, aku akan datang besok pagi."
"Kau mau mengasuhnya akhir pekan ini?"
"Aku pergi hari Jumat, ada pelatihan kabel lagi:'
"Berengsek kau, Jeeves, tidak pernah ada habisnya dengan-
mu:•
Waktu aku menutup telepon, tanganku gemetar dan dapat
kurasakan perutku melilit dan mengencang. Amy selalu seperti
ini, bahkan dua kali lebih agresif jika bertemu langsung, dan hal
terburuk dari semua ini adalah dia benar. Ya, aku memang
menghindari tanggung jawab, dan ya, aku ayah yang tak ber­
guna, dan ya, bahkan suami kakaknya lebih mengenal anakku
dibandingkan aku sendiri.

** * * *

Selagi menjalani pelatihan aku membuat kesepakatan dengan


perusahaan. Mereka membutuhkan teknisi sistem da.lam waktu
dekat, maka aku bersedia membantu jika aku bisa berlibur dulu
sebentar. Hanya beberapa minggu untuk menemui Kumiko, yang

157
tinggal di Osaka, kemudian berangkat ke Shanghai unwk ber­
gabung dengan CS Artemis. Sepertinya itu sangat masuk akal.
Mereka akan membayari penerbangan ke Jepang dan mengurus
visa kerjaku di sana sementara aku mengongkosi tahap akhir
perjalananku.
"Sudah beres:· Kawashima menyerahkan pasporku dan aku
melawan dorongan untuk menyeretnya dari kedutaan dan me­
lemparnya ke jalan. "Hati-hati, jangan sampai hilang."
"Nasihat yang sangat bagus, terima kasih banyak."
"Mau kuantar ke suatu tempat?"
"Kami bisa sendiri dari sini."
"Tidak, ini sangat jauh:' Kumiko berbicara kepadanya dalam
bahasa Jepang yang cepat. "Dia bisa mengantar kita ke dekat
stasiun kereta api:'
"Kukira kau tinggal di kota:'
"Kota besar, wilayahnya banyak:'
Jadi kami menerima tawaran tumpangan dan Kawashima
berkata dia akan menghubungi kami bila tiba saatku untuk
pergi. Kami mengawasinya berlalu kemudian kami makan siang
di sebuah kafe kecil. Makanannya enak dengan pelayanan yang
sopan, dan akhirnya aku bisa merasakan diriku mulai rileks.
Penerbanganku sungguh membuat stres, dengan bayi yang
menjerit-jerit dan seorang lelaki sinting yang terus-terusan
berteriak lantang dan menurunkan celananya.
"Jadi, bagaimana kabarmu?" Aku meraih ke seberang meja.
menggenggam tangan Kumiko dan kulitnya terasa kering dan
kencang. "Senang bisa bertemu denganmu."
"Kukira kau takkan pernah kembali:'
"Aku sudah janji, ingat?"

158
"Di gunung."
"Ya, itu benar." Semakin kuamati tangannya, semakin ku­
sadari kondisinya yang buruk. "Apa yang terjadi? Kulitmu
biasanya lembut sekali."
"Mungkin alergi, mungkin stres."
"Sakit tidak?"
"Kadang-kadang agak gatal:'
"Mungkin kau hanya butuh belaian dan kasih sayang."
Kami membayar makanan lalu menaiki kereta. Kupandangi
daerah pinggir kota Osaka yang meluncur lewat dari balik jen­
dela yang hening. Saat itu awal April, bunga-bunga sakura se­
dang mekar dalam keagungannya dan tiba-tiba aku mengerti
mengapa orang-orang begitu mengaguminya. Bunga-bunga itu
bagaikan semburat halus warna pada bentangan kota dan ku­
bayangkan tangan Tuhan sendiri yang melukisnya.
Setiba di tujuan, kami meninggalkan stasiun dan mendatangi
minimarket tak jauh dari apartemen Kumiko yang ditempatinya
bersama seorang penyewa lain. Kami membeli ikan, telur, roti,
rumput laut, mi Somen yang putih dan tipis serta beberapa
kaleng bir. Kami sempat berdebat tentang jumlah yang perlu
dibeli tapi akhirnya aku menang dan kami pergi dengan mem­
bawa dua belas kaleng bir. Apartemen Kumiko sempit, teman­
nya rewel dan kami harus merokok di depan jendela yang
terbuka.
"Ada kabar tentang pekerjaanmu?"
"Mungkin dipindahkan."
"Kapal kabel juga?"
"Mungkin kapal perbekalan:' Dia menyesap birnya. "Hitachi,
barangkali:'

159
"Hitachi?"
"Di utara jepang."
"Kukira itu hanya merek peralatan listrik:'
Kami terus merokok dan minum sampai hari mulai gelap
dan Kumiko memuwskan untuk menyiapkan makanan. Dia me­
manggang dan menghanguskan roti, membuat telur orak-arik
menjadi sekenyal karet, dan aku meledek ketidakmampuannya
memasak. Aku terkejut saat ejekanku ternyata membuatnya
marah, karena aku hanya bercanda, dan lebih terkejut lagi se­
waktu dia mengunci diri dalam kamar mandi.
"Ayolah, aku cuma bercanda:·
"Kau hanya ingin mabuk dan menertawakanku."
"Aku tertawa bersamamu, bukan menertawakanmu:·
"Sama saja:·
"Ayolah, keluar dari situ:· Kuderapkan jemariku di pintu
kamar mandi. "Kau lebih jago masak dibandingkan mantanku:·
"Sekarang kau membandingkanku dengan mantan pacarmu?"
"Kumiko, ayolah, aku tak bermaksud apa-apa:·
"Kau terlalu banyak minum."
"Kalau kau tidak keluar, akan kuhabiskan semua birnya dan
kubeli lebih banyak lagi di toko:·
Ancaman ini tampaknya berhasil dan beberapa menit kemu­
dian dia sudah kembali ke depan jendela dengan rokok di satu
tangan dan kaleng bir di tangan satunya. Kami mengobrol ten­
tang pekerjaan sebentar dan kuberitahu bahwa kami akan me­
masang sistem kabel di luar pesisir Shanghai. Kemudian kami
berbicara tentang ayahku dan tentang ayahnya sendiri yang
meninggal sewaktu dia masih remaja. Rupanya ini membuat
Kumiko selalu memulai hubungan dengan pria yang lebih tua

160
dan kubayangkan dia bercinta dengan seorang pekerja yang
kelihatannya dekat dengannya di kapal Hermes.
"Tapi aku lebih muda darimu, jadi bagaimana bisa?"
"Entahlah:'
"Apakah ada yang lain di kapaW'
"Apa pentingnya?"
"Karena ini penting, Kumiko:• Aku membuka kaleng bir ter­
akhir dan menyalakan rokok lagi. "Bukan pertama kalinya kau
bertingkah seperti ini:'
"Kenapa kau memaksaku?"
"Pertama dokter di Kobe, sekarang kegemaranmu pada om
senang."
"Jangan dokter itu lagi."
"Ya, dokter itu lagi. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu:·
"Kau hanya akan marah:'
"Aku sudah marah, Kumiko."
Lalu dia bercerita bahwa dokter itu menanyakan tentang pil
kontrasepsi darurat yang dia berikan pada Kumiko waktu kami
baru tiba di Kobe. Pil yang diminum Kumiko setelah sepanjang
malam mabuk-mabukan dengan salah seorang rekan kerjaku.
Aku menatap Kumiko dengan mata berapi-api. Dia berlari ke
kamar lalu membanting pintu dan aku meninggalkan apartemen
untuk mencari dua belas kaleng bir lagi.

161
Sha.n<Jha.i

"
'Ciga hari sialan:· Aku mengetuk papan ketik kuat-kuat.
"Dasar bajingan pembohong, si Peter Jenkins."
"Tapi kedengarannya kau juga tidak senang di sana:'
"Mereka seharusnya memberiku libur dua minggu:'
"Begitulah hidup, Sobat." Richie melempar bola kertas ke
belakang kepalaku. "Bukan cuma kau yang pernah dikerjai per­
sonalia:'
"Mungkin begitu, tapi aku tak harus mendiamkannya saja:·
"Dan menurutmu mereka mau repot-repot membaca surat­
mu?"
"Yah, secidaknya ini membuatku merasa lebih baik:'
"Syukurlah kalau begitu." Dia menghampiri dari belakang
dan meletakkan tangan berbintiknya di bahuku. "Karena sudah
dua puluh tahun kau tak juga berhenti membicarakannya:'
"Sudah kubilang jutaan kali, jangan suka melebih-lebihkan:·
Kami berada dalam kabin pengendali mesin penanam di ka­
pal Artemis dan tengah berlayar kembali ke Shanghai setelah

162
menyelesaikan proyek instalasi pendek. Artemis adalah kapal
yang baru dibangun, awak kapalnya sebagian besar orang Den­
mark dan mereka adalah kelompok pekerja paling serius yang
pernah berlayar dengan kami. Tidak ada bar di kapal, tidak ada
rokok yang dijual, dan hubungan intemasional menjadi renggang
sejak Richie menggambar janggut kambing pada lukisan raw
mereka yang digantung di dapur kapal.

"Perhatian semua awak." Suara kepala keuangan yang berke­


bangsaan Denmark terdengar melalui pengeras suara. "Karena
masalah dengan komputer, imigrasi Cina tidak bisa mengeluar­
kan izin turun ke darat untuk ka.lian . . ."
"Berengsek."
"Diamlah, biarkan si bajingan selesai bicara:·
". . .gunakan surat izin yang diberikan pada kalian terakhir
kali kita berada di pelabuhan:'
"Tak masa.lah kalau begitu:' Richie menunjukkan tarian ke­
menangan. "Tadinya kupikir kita bakal terkurung di kapal
semalaman."
"Yah, bagimu memang tak masalah. Surat izinku sudah jadi
bubur dalam mesin terkutuk itu."
"Kau meninggalkannya di celana?"
"Sudah jelas:·
"Kesalahan mendasar, selalu periksa saku-sakumu sebelum
mencuci baju:'
"Agak terlambat untuk itu:•
"Selalu ada lain kali, Sobat." Dia benar-benar tertawa saat
mengucapkannya. "Aku akan memikirkanmu saat menikmati bir
dingin yang enak di Jiu Liu Liu."
Kusimpan surat keluhan yang sedang kutulis dan menyalakan

163
rokok murah yang kubeli saat terakhir kali turun ke darat. Di
luar di geladak, salah seorang rekan kerjaku, Derek, sedang si­
buk mengelas di bawah mesin penanam kabel dan aku turun
untuk melihat kemajuan pekerjaannya. Dua minggu kemarin
benar-benar berat, banyak kerusakan dan dasar laut sangat ke­
ras meskipun survei menjanjikan sebaliknya.
"Halo, Sobat, kaudengar pesan si kepala keuangan?"
"Pesan apat' Dia mendorong kaca helmnya ke atas, me­
nampakkan wajah yang bahkan ibunya pun sulit untuk suka.
"Mau mulai menagih kita untuk tisu toilet?"
"Mereka tldak mengeluarkan surat izin baru, harus meng­
gunakan yang lama:'
"Oh sial, sepertinya punyaku sudah hilang:·
"Sama:• Kujatuhkan rokok ke lantai geladak dan menginjak­
nya. "Aku bisa gila kalau harus tinggal di sini semenit lebih
lama."
"Aku juga."
"Bagaimana kalau kita memalsukan surat izin?"
"Agak berisiko:·
"Sangat berisiko, tapi sistem mereka sedang terganggu jadi
pasti susah mengecek nomornya."
"Menurutmu kau bisa membuatnyat'
"Pasti bisa:·
Kami punya alat-alat tulis dan mesin fotokopi berwarna di
kabin pengendali mesin penanam. Menggunakan surat izin
Richie sebagai panduan, tak butuh waktu lama bagiku untuk
menghasilkan izin palsu bagi Derek dan aku serta tlga rekan
kerja kami. Satu-satunya masalah adalah nomor surat izin, tidak

164
mungkin kami bisa mengetahuinya, jadi aku mencermati format

surat izin Richie dan membuat tebakan yang intelek.


Beberapa jam kemudian kami meluncur menuju kota dalam
mobil van yang dikemudikan tanpa keahlian maupun hati nurani
oleh si agen Cina. Para penjaga di pos keamanan hampir-ham­
pir tidak memperhatikan surat izin kami dan semangat kami

menyala-nyala selagi mobil bergerak di antara lalu lintas petang.

Di depan kami matahari tengah terbenam, derek-derek tinggi


menjulang ke langit merah tua dan ke mana pun kami menatap,
terlihat proyek pembangunan besar-besaran.
"Kau sudah dengar cerita tentang teknisi sistem di Labra­
dor?''
"Ya, dan insinyur di Panama." Aku menghitung uang dalam
dompetku. "Kenapa kita tak pernah mendengar cerita yang
menyenangkan?"
"Watak manusia, Sobat:'
"Lagi pula, sebagian cerita itu mungkin hanya karangan:'
"Kebohongan sudah berkelana keliling dunia sementara ke-
benaran masih mengenakan sepatunya:'
"Siapa yang bilang begitu?"
"Mark Twain kalau tak salah."
"Yeah, tapi dia mencuri sebagian besar tulisannya dari
Abraham Lincoln."
"Kira-kira dari mana Lincoln mendapatkannya?"
"Dari neneknya aku rasa:'
"Terberkatilah wanita itu:·
"Terberkatilah semua nenek:'
"Sumber segala pengetahuan:'

165
"Nenekku tidak, dia di panti jompo dan menderita pikun
parah:'
Aku langsung terdiam, teringat kakek-nenekku. Sesaat se­
belum berangkat ke jepang aku melewatkan sore hari bersama
mereka dan mereka menceritakan banyak kisah dari masa lalu.
Aku mengamati pasangan yang telah mendukung satu sama lain
selama lima puluh tahun lebih itu dan akhirnya mulai meng­
hargai banyak hal yang telah berusaha mereka ajarkan kepada­
ku. Perlakukan orang lain seperti halnya dirimu ingin diperlaku­
kan, selalu menepati janji, bekerja keras untuk mencari nafkah.
"Kita sudah sampai, ayo mabuk sampai pingsan:·
"Akhirnya." Kami menyusuri jalan Jiu Liu Liu yang sibuk,
dengan lampu-lampu neon yang bersinar terang dan para pela­
cur yang berjajar meriah. "Kukira kita takkan pernah sampai:'
"Badlands atau Fallen Madonnas?"
"Kita coba tempat lain sekali-sekali:'
"Bagaimana kalau itu?" Kutunjuk sebuah bar di seberang
jalan. "The Drunken Sailor:'
Kami masuk dan salah seorang pelayan bar memberitahu
kami saat ini sedang jam happy haur sehingga semua minuman
dijual setengah harga selama empat puluh menit ke depan.
Nama pelayan bar itu Angel dan usianya pasti tak lebih dari
enam belas tahun. Kami membeli minuman keras untuk semua­
nya ditambah empat teko bir, kotak musik memainkan lagu-lagu
tahun 80-an dan tempat itu berbau muntahan, tembakau, dan
disinfektan.
Saat setengah jam berlalu, kami sudah menghabiskan teko­
teko kami. Aku merasa bersemangat, menunggangi ombak me­
musingkan yang selalu menyertai gelas-gelas minuman pertama,

166
kemudian Richie memesan minuman keras lagi untuk meja
kami dan kami menandaskan gelas-gelas kami lalu membanting­
nya ke meja dan dia memesan lagi, kami menghabiskannya,
kemudian dia memesan lagi.
"Gila, keras sekali minumannya."
"Bisa menumbuhkan rambut di dadamu:•
"Merontokkannya, lebih tepat:'
"Hei, kalian sudah dengar cerita tentang SSE di Korea Se­
Iatan?"
"Kalau sudah pun, aku yakin kau bakal tetap menceritakan-
nya:•
"Jatuh menimpa jendela kaca sebuah agen perjalanan:·
"Pasti sakit sekali besok paginya:•
"Dia tidak hidup selama itu, bagian atas kaca jatuh dan
membelah bajingan malang itu jadi dua."

** * * *

Aku membuka mata dan tidak tahu berada di mana. Detik-de­


tik berlalu bagaikan menit-menit saat aku terbatuk dan me­
ngerjap-ngerjap sembari mencoba mengingat keberadaanku.
Kepalaku sakit, mulutku masam, perutku seperti diaduk. Aku
terbaring di sofa dan cahaya matahari pagi menerobos dari
sela-sela tirai kotor. Kupalingkan kepala ke satu sisi lalu mun­
tah. Mataku berair, muntahan itu membakar lubang hidungku
dan dadaku mengeluarkan suara-suara mendecit.
"Baunya busuk di sini." Sebuah pintu terbuka di belakangku.
"Kau muntah atau apa?"
"Ugh."

167
"Kau mabuk berat semalam:·
"Ya Tuhan." Kuletakkan kaki di lantai dan membenamkan
kepala di tanganku. "Apa yang terjadi?"
"Kau benar-benar mabuk berat:'
"Ya ya, aku sudah dengar tadi."
Wanita itu berusia akhir tiga puluhan atau awal empat pu­
luhan, dilihat dari garis-garis kerutan di sekeliling mulutnya. Dia
memberitahukan namanya tapi aku langsung lupa. Rupanya
kami bertemu di Badlands dan dia membawaku pulang ke apar­
temennya dengan anggapan akan ada aksi di tempat tidur. Un­
tung bagiku, dan pasti baginya juga, aku terlalu mabuk untuk
melakukan apa pun selain menghujat Kumiko lalu pingsan di
sofa.
"Astaga, maaf:'
"Kenapa orang barat selalu mabuk?"
"Membantu kami lupa diri sejenak, kurasa:•
"Kenapa kalian ingin lupa diri?"
"Kenapa kau banyak bertanya, kenapa kalian menenggelam­
kan bayi-bayi perempuan di sungai?"
"Temanmu bajingan." Dia menyeberangi ruangan dan mem­
buka tirai-tirai. "Yang rambutnya merah, seperti bajak laut:'
"Oh ya, apa yang dia perbuat?"
"Tidak penting lagi sekarang, tapi kau jangan jadi bajingan
juga, oke?"
Tak ada lagi yang dapat kulakukan selain mencari-cari a.lasan
dan kabur dari sana. Kapal hanya berlabuh untuk memuat ka­
bel dan dijadwalkan berlayar sebelum tengah hari, aku bakal
dapat masalah serius jika belum berada di kapal saat itu. Jadi
aku berdiri dengan kaki lemas dan goyah, meminta maaf un-

168
tuk keseratus kalinya, lalu turun ke jalan yang sibuk untuk
memanggil taksi. Matahari beranjak terbit, udara mulai panas
dan asap kendaraan begitu tebal aku nyaris dapat melihatnya.
Kembali ke depot, setelah melalui salah satu perjalanan taksi
paling brutal seumur hidupku, kukeluarkan uang yang tersisa
dari dompet dan membayar si sopir. Matahari pagi bersinar
terik, aku merasa pening dan mual saat tiba di pos keamanan
dan mengangguk kepada para penjaga Mereka tersenyum dan
.

balas mengangguk, lalu mengawalku sampa.i ke kantor kepala


keuangan tempat sang Kapten Denmark serta beberapa polisi
tengah menungguku.
"Kami punya alasan untuk meyakini bahwa surat izin turun
ke darat yang kaumiliki tidak sah:' Suara Kapten tenang namun
matanya berapi-api. "Tolong kosongkan saku-sakumu:'
"Oke, tak masalah." Kuletakkan dompet, rokok, dan peman­
tikku di mejanya. "Apa maksudmu tidak sah?"
"Kurasa kau tahu benar maksudku:·
Salah seorang polisi memeriksa dompetku dan aku mengu­
tuk diri sendiri karena sudah begitu ceroboh. Seandainya punya
akal sehat, aku pasti langsung membuang surat izinku begitu
keluar dari depot. Tapi di luar dugaanku, si polisi tak menemu­
kan apa pun dan dengan kegembiraan mendadak aku menya­
dari surat izin itu pasti hilang selama malam yang kulewatkan
dengan mabuk-mabukan.
Si polisi mengeluarkan semua rokokku dan memeriksa
bungkus yang kosong lalu memberi isyarat kepada rekannya
untuk menggeledahku. Dia menepuk-nepuk tubuhku dan me­
nyuruhku membalik semua saku sehingga bagian dalamnya ter­
julur keluar. Kemudian dia menyuruhku melepas sepatu lalu

1 69
kaus kaki lalu memeriksanya juga, dan aku iba pada pekerjaan
yang harus dia lakukan karena bau kakiku cukup memuakkan.
"Beberapa temanmu memiliki surat izin:'
"Aku mengerti, Kapten:'
"Surat i.zin tidak sah."
"Mmm hmm:'
"Dan surat-surat itu sekarang disita:'
"Lalu apa hubungannya denganku?"
"Polisi ingin tahu bagaimana mereka bisa mendapatkan surat
izin itu."
"Oke:' Aku mual dan lelah dan yang kuinginkan hanya
menggosok gigi, mandi lalu tidur. "Tapi aku tetap tidak mengerti
apa hubungannya denganku."
"Kau tidak tahu bagaimana mereka bisa mendapatkan surat
izin itu?"
"Tentu saja tidak, Kapten:'
Pemeriksaan berakhir dan aku tak bisa percaya betapa mu­
dahnya aku lolos. Rekan-rekanku, Tuhan memberkati mereka,
sudah menutup mulut dan dengan keberuntungan aku bisa be­
bas. Aku pergi ke kabinku dan berlama-lama mandi air panas,
lalu naik ke ranjang dan menunggu tidur mendekapku. Namun
kantuk tak kunjung datang dan akibatnya aku terjaga sambil
merenungkan betapa aku nyaris tidur dengan gadis bar, di kota
yang terjangkit wabah HIV.

170
1'.ira-kira setahun kemudian aku berada di Filipina dalam ka­
pal CS Aphrodite. Sebelumnya aku sudah melakukan tiga per­
ja.lanan, yang pertama di Singapura dengan kapal CS Hera, yang
kedua di Taiwan dengan kapal CS Apollo, dan yang ketiga di
Jepang dengan kapal CS Jupiter. Perjalanan terakhir sama sekali
tidak menyenangkan dan aku berkelahi dengan seorang rekan kerja
yang dengan mabuk bercerit:a tentang Kumiko. Rupanya sekarang
Kumiko sudah menjadi bagian dari dongeng kapal kabel dan
aku takkan pernah bisa sepenuhnya bebas dari wanita itu.
"Kau mesti mencobanya."
"Makanan apa sih itu?"
"Kilawin." Dia menunjuk satu hidangan di area ruang makan
awak Filipina. "Tuna segar, bawang bombai, air limau, caba.i.
Asam dalam air limau memasak tunanya:•
"Tapi apa benar-benar matang, Dave?"
"Pernah melihat orang lokal yang sakit?"
"Mungkin sebaiknya kau dulu yang mencoba."

171
"Aku alergi makanan laut, ingat?"
lni ketiga kalinya aku bekerja dengan Dave dan kami sudah
menjalin hubungan pertemanan yang nyaman. Dia memiliki
pengalaman hidup yang kaya serta pikiran eklektik yang luar
biasa dan dia mampu bicara berjam-jam tentang segala hal. Dia
selalu mencoba memperluas wawasanku dengan buku-buku
serta musiknya, dan seandainya aku tidak mendekam di bar
sepanjang waktu, mungkin aku bisa mendapatkan manfaat dari
itu semua.
"Rasanya lumayan:• Kami duduk di meja dekat pintu masuk.
"Sangat pedas:•
"Pasti dari cabainya."
"Mungkin aku bakal sakit perut:'
"Ada apa dengan orang lnggris dan kesinisan kalian? Kalian
mengharapkan yang terburuk dalam hidup dan sepertinya ke­
cewa saat itu tak terjadi."
"Karena kami suka kekecewaan, Dave, membuat kami nya­
man." Aku kembali melahap Kilawin. "Kalian dibesarkan dengan
pikiran bahwa segalanya mungkin terjadi, langit adalah batasnya,
mimpi Amerika atau apalah. Tapi kami sebaliknya. Beberapa hal
memang tak mungkin terjadi, kemungkinan besar kau akan ga­
gal, jadi sekalian saja kau menerimanya dari sekarang."
"ltu menggelikan." Dia menyemburkan tawanya yang lepas.
"Seperti menghukum diri sendiri."
"Yah, setidaknya kami tidak saling tembak:'
"Tidal<, kalian hanya saling menghancurkan dengan lidah se­
tajam silet."
"Lidah tak bisa melawan senapan:·

172
"Perang kata-kata bisa memulai atau mengakhiri perang sen­
jata."
"Ya Tuhan, kau mulai berfalsafah lagi:' Kuputuskan Kilawin
bukan makanan untukku dan menyingkirkan piringku. "Waktu­
nya minum bir, kurasa."
"Kau saja, aku mau tidur cepat malam ini:'
Aku melucuti overall-ku lalu mandi kilat dan sudah mengena­
kan seragam bersih dan rapi pada pukul lima lewat lima belas
menit. Tirai-tirai diwtup, bar yang remang-remang terasa sejuk
dan nyaman. Aku mengambil dua ka.leng bir dari kulkas dan
langsung menandaskan kaleng pertama lalu berlama-lama me­
nikmati kaleng kedua sementara rekan-rekan kerjaku yang lain
mulai berdatangan.
"Akhirnya kita dapat pekerjaan:'
"Sistemnya rusak di Hong Kong:'
"Kerusakan badai:'
"Kita berlayar besok malam."
"Sudah waktunya, aku bisa kena sirosis kalau diam di sini
terus."
"Hei, Romeo:' Seorang rekan kerjaku, pria London gempal
bernama Andy, berseru kepada pelayan yang sedang menyiap­
kan kudapan bar. "Bagaimana kalau tirai-tirainya dibuka."
"Nanti terlalu panas di sini, Bos:'
"Alasan saja."
"Benar juga, Andy, panasnya bisa seperti rumah kaca dengan
matahari sore seperti ini:'
"Bajingan-bajingan kecil ini cuma takut kulitnya tambah ge­
lap:' Dia meneguk bir. "Ayo, angkat bokongmu dan biarkan
sinar matahari masuk."

17 3
Aku sangat tidak menyukai pembicaraan semacam ini tapi
memutuskan untuk menghindari pertengkaran lagi. Reputasiku
sudah cukup buruk gara-gara insiden di Jupiter, dan hal ter­
akhir yang kubutuhkan adalah peringatan tertulis kedua. Jadi
aku tutup mulut, minum bir lagi, mencomot kudapan dan me­
,

mikirkan ibuku. Dia akhirnya meninggalkan Mike seminggu


sebelum aku berangkat dan aku khawatir sebab dia tinggal
sendirian di apartemennya.
"Sudah dengar tentang SSE yang jatuh menimpa jendela
restoran ?"
"Bukannya jendela agen perjalanan? "

"Bagaimana dengan tukang las yang tak sengaja tidur dengan


waria?"
"Aku yakin dari awal dia sudah tahu tapi terlalu mabuk un-
tuk peduli."
"Mereka bajingan-bajingan kecil kotor.''
"Siapa, tukang las?"
"Perempuan-perempuan sialan itu, beri mereka setengah
mangkuk nasi dan mereka bakal kuat semalaman."
Birku berikutnya datang dan pergi dan kepalaku mulai
terasa ringan. Aku juga semakin bosan dengan rekan-rekan ker­
jaku serta topik percakapan mereka, maka kutuangkan wiski
dobel untukku dan membuka bungkus rokok yang baru. Ce­
rita-cerita yang sama, wajah-wajah yang sama, semuanya sama.
Cairan wiski membuka jalur berapi sampai ke perutku dan aku
menenggak gelas kedua lalu ketiga.
"Teknisi sistem di Labrador itu dikuburkan di bukit.''
"Bajingan malang.''

174
"Kalau kaupikir perempuan di sini kotor, kau harus coba
perempuan Jepang."
"Ada satu perempuan di kapal Jupiter yang mengencani tiga
lelaki di malam yang sama:·
"Cerita yang hebat, Andy." Kudorong gelasku dan bangkit
berdiri. "Aku menduga kau salah satu dari tiga lelaki itu, be­
nar?"
"Oh, dia mulai lagi, beberapa gelas wiski dan hati kecilnya
mulai berdarah."
"Jangan ganggu dia, dia cuma anak muda:•
"Kalau dia cukup besar untuk minum di sini, berarti dia
cukup besar untuk menerima konsekuensi."
"Konsekuensi apa? Kau mau menghajarku seperti yang kau-
lakukan pada gadis dari Betty's?"
"Jalang kecil itu pantas ditampar."
"Dia menertawakan ukuran penismu, ya?"
"Bawa dia pergi dari sini sebelum kucabut kepalanya:•
Tepat pada saat itu, Perwira Pertama serta Kapten meleng-
gang masuk dan atmosfer di dalam bar langsung berubah dras­
tis. Punggung-punggung tegak, bir disesap bukan ditenggak, dan
percakapan beralih ke topik-topik yang berhubungan dengan
pekerjaan. Aku duduk di sana cukup lama untuk menghabiskan
rokokku kemudian tersaruk-saruk kembali ke kabin dan
ambruk ke ranjang. Kehidupan di kapal kabel membuatku
depresi dan aku benci fakta bahwa aku selalu mabuk dan aku
benci karena tak bisa bertemu keluargaku, aku benci rekan-re­
kan kerjaku, dan aku juga benci diriku sendiri.

** * * *

17 5
"Selama hidup kita punya arti, kita mampu mengatasi segala­
nya?"
"Kurang-lebih begitu.''
"Dia lelaki pemberani."
"Kau mesti membaca tulisan Herman Hesse juga.''
"Pelan-pelan, Dave.'' Kuletakkan buku itu di lututku sejenak.
"Kau pernah lihat salah satu kamp konsentrasi ini?"

"Temanku pernah pergi ke Auschwitz clan rupanya burung-

bunmg pun tidak berkicau di sana."


"Sulit memercayai hal semacam ini bisa benar-benar terjadi.''
"Menurutmu begitu? Coba lihat Bosnia, lihat Zimbabwe.''

Kami berada dalam salah satu dari beberapa taksi yang


membawa kami ke acara pesta daging panggang di pantai se­
tempat. Tugas perbaikan di Hong Kong telah selesai dan kami
kembali berlabuh di Filipina dan aku berhasil menjaga diriku
cukup bersih dari alkohol sejak perdebatan di bar. Aku juga
membaca, yang membuat Dave amat gembira, tentang seorang
psikiater Austria yang selamat dari kengerian Holocaust.
Meskipun harus menyaksikan berbagai kematian dan keke­
jaman, meskipun harus kehilangan istri dan saudara laki-lakinya,
psikiater ini tetap mempertahankan martabat dan berusaha
sebaik mungkin untuk membantu orang lain melakukan hal

yang sama. Dia menegaskan bahwa hanya ada dua ras manusia
di kamp-kamp konsentrasi, mereka yang bermoral dan yang
tida.k, dan ini sama sekali tak berhubungan dengan etnis, usia,
maupun agama. Kata-katanya menanamkan kesan yang begitu
dalam padaku dan aku bertanya-tanya, aku termasuk ras yang
mana.

176
"Baiklah, teman-teman." Taksi menurunkan kami di pintu
masuk pantai. "Sebaiknya siapkan uang peso kalian."
"Sepertinya agak membatasi sampai harus menetapkan uang
masuk."
"Oh, tutup saja mulutmu:·
"Maafkan aku karena punya hati nurani, Andy:' Udara pekat
oleh aroma kayu bakar dan daging panggang. "Pasti kau yang
pertama protes kalau tidak sanggup membayar uang masuk ke
pantai di negaramu sendiri:'
Kami membayar lalu melewati gerbang. Pasir pantai ber­
warna merah dan emas dalam siraman cahaya matahari ter­
benam. Sekelompok orang Filipina sedang memutar seekor babi
di atas perapian terbuka dan ada meja-meja kayu yang dipenuhi
roti burger, buah, dan salad. Di sebelah kiri, rekan-rekan kerja­
ku berdiri mengelilingi sejumlah kotak pendingin. Aku mengam­
bil sekaleng bir, melepas sandal dan beranjak ke tepian air
untuk menikmati pemandangan.
"Mereka bilang laut tak punya kenangan."
"Aku baru dengar ucapan itu." Aku begitu terbenam dalam
pikiran sehingga tidak menyadari kehadiran Kapten yang ber­
jalan tanpa suara ke sampingku. "Menurutmu apa artinya?"
"Aku benar-benar tidak tahu:•
"Kadang-kadang aku berharap tak punya kenangan:'
"Kurasa kita semua merasakan hal yang sama." Dia terdiam
sejenak. seolah berjuang mengingat sesuatu yang penting.
"Waktu aku masih kecil, kami biasanya pergi ke Eastbourne
untuk menghabiskan sore hari bersama nenek dari pihak ayahku.
Pada masa itu belum banyak yang paham tapi Nenek pasti men­
derita penyakit Alzheimer atau sesuatu serupa itu:·

17 7
"Aku ikut sedih:'
"Oh tidak apa-apa, semua sudah berlalu sekarang. Lucunya,
hampir sepanjang waktu dia berada dalam kondisi kacau dan
linglung, tapi sesekali pikirannya menjadi sangat jernih, seakan­
akan ada yang menyalakan lampunya. Aku dulu selalu mem­
bayangkan memori Nenek itu seperti terperangkap di dalam
kolam-kolam karang terpisah. Ketika air pasang datang dan
bergabung ke dalamnya, seperti itulah memorinya terkumpul
kembali:'
"Aku tak pernah bertemu kakek-nenek dari pihak Ayah,
ayahku memungkiri mereka sebelum aku lahir:'
"Aku pernah bekerja bersama ayahmu beberapa kali, se­
belum dia pindah kerja."
"Pasti membuatmu tertekan:'
"Yah, memang begitulah kenyataannya, itu sudah pasti." Dia
perlahan terdiam lagi, kali ini lebih lama. "Aku sudah bicara
kepada kalian satu per satu:'
"Oke. . . "

"Ada e-mail dari Kantor Pusat. . . "


"Begitu:'
". . . dan sepertinya mereka bermaksud melakukan sejumlah
pengurangan."
Dia kemudian memberitahuku bahwa perusahaan mengu­
rangi jumlah armada akibat penurunan di industri kabel. Untuk
teknisi sistem seperti aku, mereka akan melakukan program
pengurangan tenaga kerja sebesar tiga puluh persen dan akan
memberikan penawaran yang kompetitif bagi yang rela meng­
ambilnya. Aku tak terlalu yakin mengenai bagian kompetitifnya,

178
tapi kuasumsikan itu berarti sama kikirnya seperti di tempat
lain.
"Pokoknya, kaupikirkan dulu."
"Tentu:·
"Kau masih punya banyak waktu ... "
"Sementara yang lain tidal<, ya aku mengerti."
". . . harus membayar hipotek, uang sekolah . . ."
"Mmm hmm."
,, . . .. ,,
. . . prem1 asurans1 1 1wa...
Kubiarkan dia mengoceh selama beberapa waktu dan ku­
palingkan pandangan kepada rekan-rekan kerjaku di pantai.
Setengah dari mereka kelebihan berat badan dan pecandu
alkohol, mengulangi cerita-cerita membosankan yang sama,
membual tentang petualangan seks seakan-akan mereka bocah­
bocah remaja di bus Park High. Dan ketika aku memikirkan
beberapa pilihan yang terpaksa harus kubuat sepanjang
hidupku, kusadari ini akan menjadi pilihan yang paling lugas.

1 79
K.etika Dave dan aku meninggalkan Aphrodite, kami naik pe­
sawat ke Budapest dan tinggal di sana beberapa hari sebelum
menumpang kereta ke Wina. Aku sangat menikmati Budapest,
jalan-jalan sempitnya, keramahannya, dan perjalanan eska.lator ke
bawah tanah yang mirip petualangan memasuki inti bumi. Wina
tidak begitu kusukai, gedung-gedung mentereng dan jalan-jalan
megahnya menjadi pengingat akan dekadensi masa sebelum perang.
"Ya ampun, absinthe8 itu benar-benar membunuhku sema­
lam."
"Kau makin tua, Dave, itu saja."
"Kuharap mereka punya sajian prasmanan yang enak, aku
lapar sekali:'
"Aku takkan terlalu berharap kalau jadi kau." Kuedarkan
pandangan ke sekeliling gerbong kereta tujuan Krakow yang

8
Minuman berkadar alkohol tinggi yang populer pada zaman Bohemian. Dan di­
percaya dapat memberikan efek halusinasi ringan.

180
K.etika Dave dan aku meninggalkan Aphrodite, kami naik pe­
sawat ke Budapest dan tinggal di sana beberapa hari sebelum
menumpang kereta ke Wina. Aku sangat menikmati Budapest,
jalan-jalan sempitnya, keramahannya, dan perjalanan eska.lator ke
bawah tanah yang mirip petualangan memasuki inti bumi. Wina
tidak begitu kusukai, gedung-gedung mentereng dan jalan-jalan
megahnya menjadi pengingat akan dekadensi masa sebelum perang.
"Ya ampun, absinthe8 itu benar-benar membunuhku sema­
lam."
"Kau makin tua, Dave, itu saja."
"Kuharap mereka punya sajian prasmanan yang enak, aku
lapar sekali:'
"Aku takkan terlalu berharap kalau jadi kau." Kuedarkan
pandangan ke sekeliling gerbong kereta tujuan Krakow yang

8
Minuman berkadar alkohol tinggi yang populer pada zaman Bohemian. Dan di­
percaya dapat memberikan efek halusinasi ringan.

180
kelihatannya sudah lima puluh tahun tidak pernah dibersihkan.
"Kita sudah beruntung kalau bisa mendapat secangkir kopi dan
sebungkus biskuit:'
"Kendalikan kesinisanmu, anak muda."
"Kendalikan optimismemu."
"Keputusasaan bukanlah temanku:·

"Keputusasaan boleh datang kapan saja, harapanlah yang


menghancurkan hatiku."

"Bagus juga."
"Dikutip dari suami kedua ibuku."
Kereta akhirnya meninggalkan stasiun dan aku memejamkan
mata, memikirkan apa yang menungguku di rumah. Aku men­

coba menelepon lbu dari Wina tapi dia tidak sedang berada di
kantor sementara apartemennya tak dilengkapi sambungan tele­
pon dan dia menolak mengikuti kemajuan zaman dengan mem­
beli telepon seluler. Jadi aku menelepon Mike dan dia terde­
ngar begitu patah semangat sehingga aku meminta bibiku
untuk mengunjungi dan menghiburnya.
Sewaktu turun dari kereta di Krakow, kami dikepung gadis­
gadis yang melambaikan papan tanda dan pamflet. Mereka be­
kerja untuk hostel-hostel setempat dan bersaing keras untuk
mendapatkan tamu. Pada akhirnya kami memilih hostel yang

menawarkan layanan antar-jemput ke dan dari Auschwitz, se­


bab mengunjungi kamp tersebut merupakan alasan utama
kedatangan kami.

"Kita benar-benar harus makan sebelum pergi ke sana."


"Pernahkah sekali saja kau tidak memikirkan perutmu?"
Aku berpaling kepada gadis hostel kami, Natalya, dan mem-

181
berinya senyum yang kuharap terlihat seperti senyum keme­
nangan. "Jam berapa busnya berangkat?"
"Satu tamu lagi, setelah itu sopir akan mengantar kalian."
"Ke hostel atau ke kamp?"
"Ya."
"Ke mana?"
"Ke hostel, tentu saja." Dia menatapku seakan-akan aku
tolol. "Bus akan berangkat ke kamp sore hari."
"Kurasa dia suka padamu."
"Diamlah, Dave:'
Tak lama kemudian tamu ketiga berhasil didapat dan kami
mengikuti Natalya ke minibus biru yang sudah tua. Sopirnya
kurus dan botak dengan kumis tebal. Dia mengantar kami ke
hostel lalu memberitahu kami untuk menemuinya lagi antara
pukul setengah dua dan dua. Sembari menunggu, kami berjalan
ke alun-alun utama, menyantap bermangkuk-mangkuk borscht
dengan potongan roti cokelat kasar. Cuaca amat cerah ber­
mandikan cahaya matahari bulan Agustus dan kami kembali ke
hostel dengan perut kenyang dan semangat tinggi.
"Ayo cepat." Natalya berdiri di samping minibus. "Kalian
terlambat:'
"Mana sopirnya?"
"Dia juga terlambat."
"Cuma kami yang berangkat?"
"Ya, sepertinya begitu."
"Kalau begitu santai saja:' Aku menyalakan rokok. "Kau ikut
. ,,,
1uga.
"Ada kereta lagi jam setengah lima."
Sewaktu si sopir akhirnya datang, dia memperlihatkan tan-

182
da-tanda orang yang melewatkan jam makan siang dengan mi­
num-minum. Dia mengemudi sembarangan dan mengebut, me­
lampiaskan kemarahannya pada semua pengguna jalan lain, dan
memelototi kami dari kaca spion dengan pandangan menuduh
setiap kali kami tertawa atau bicara terfalu keras. Saat akhirnya
tiba di kamp, kami berdua bisa dibilang agak terguncang.
"Arbeit Macht Frei." Dave membaca kata-kata yang tertulis

pada lengkungan jalan masuk. "Kerja keras membawa kebe­


basan."
"Yeah, kebebasan dari dunia fana:•
"Aku ingin tahu berapa banyak di antara mereka yang
membaca tulisan ini dan memercayainya."
"Yah, kurasa dengan memercayainya telah memberikan me­
reka harapan:•
"Hitler pernah berkata, semakin besar kebohongan, se-
.
makin ... "
"Orang akan memercayainya:· Aku tersenyum dan menyala-
kan rokok. "Sejarah modern, kelas sebelas:·
"ltu bagian dari kurikulum kalian?"
"Benar sekali:'
"Seorang temanku mengajar bahasa lnggris sebaga.i Bahasa
Kedua."
"Aku berpikir untuk mencobanya."
"Jangan berharap bisa dapat banyak uang dari itu." Dave
memimpin ja.lan memasuki kamp. "Jadi kembali ke cerita tadi,
dia menanyai murid-muridnya tentang pahlawan mereka dan
safah satu murid menjawab Adolf Hitler."
"Pilihan yang sangat aneh:'
Semakin banyak bagian kamp yang kami lihat, semakin sedi-

183
kit kami bicara. Pondok-pondok yang dirancang untuk ditinggali
lima puluh orang dijejali oleh lima ratus orang, pajangan yang
memperlihatkan tumpukan tinggi kacamata dan bundel-bundel
rambut manusia yang digunakan untuk mengisi bantal orang
Jerman. Tempat itu seperti jalur produksi di pabrik: Masukkan
mereka, lucuti semua barang berharga, pekerjakan mereka
sampai mati atau tak berguna lagi lalu lempar tubuh rusak
mereka ke dalam tungku pembakaran.
"lni dinding kematian." Kami sudah tiba di halaman tempat
mereka dulu mengeksekusi para tahanan yang dianggap me­
mancing kemarahan para penawan mereka. "Orang-orang itu
membariskan mereka di sini dan dor, sepanjang hari, setiap
hari, seperti pembantaian binatang:'
"Gila, Dave:•
"Aku tahu, mengerikan sekali:'
"Bagaimana mungkin Tuhan membiarkan ini terjadi?"
"Pertanyaanmu salah:' Dia memalingkan muka. "Bagaimana
mungkin umat manusia membiarkan ini terjadi?"

* * * * *

"Enam juta orang:' Suara bibiku melayang dari dapur ke kamar


mandi, tempat aku sedang sibuk membersihkan kutu dari ke­
pala anakku. "Kudengar burung-burung pun tak berkicau:·
"Sebenarnya itu cuma mitos, mereka berkicau cukup riang:'
"Aku berniat pergi ke sana bertahun-tahun lalu."
"Seharusnya kau pergi, benar-benar menggugah kesadaran."
Kualirkan lagi air panas ke dalam bak rendam untuk mereda­
kan gigil anakku. "Orang-orang itu diberitahu kalau mereka

184
akan mandi dan ratusan orang berdiri di sana, menunggu air
memancur."
"Sulit dipercaya hal semacam itu terjadi di zaman modern."
"Dan bahkan bukan atas nama Tuhan. Kita sering menyalah­
kan agama sebagai akar semua kejahatan. Tapi Holocaust tak
ada hubungannya dengan agama:•
"Kau terdengar sangat terpelajar:·
"Tidak juga, hanya saja belakangan ini aku banyak mem­
baca:·
Kuceritakan lebih banyak tentang Dave dan bagaimana dia
memberiku sepaket buku yang katanya wajib aku baca. Ku­
ceritakan juga bagaimana aku sudah menuruti pennintaannya dan
sekarang rasa ingin tahuku terasah, aku merasa seakan-akan pi­
kiranku terbangun setelah tidur bertahun-tahun. Bibi sepertinya
tidak terlalu tertarik dan mengatakan aku bakal miskin sepan­
jang sisa hidupku bila memutuskan berhenti bekerja dan me­
lanjutkan sekolah.
"Omong-omong, aku belum menyerahkan surat pengun­
duranku."
"Pikirkan baik-baik."
"Tentu saja:· Aku keluar dari kamar mandi sambil meng-
gendong putraku. "Sudah selesai, akhirnya segar dan bersih."
"Sudah kausingkirkan semuanyat'
"Paling tidak kutunya sudah, tapi telurnya masih banyak."
"Beritahu Amy kalau dia menyisiri anak itu setiap tiga hari
sekali selama beberapa minggu, itu bakal memutus siklusnya.
Jauh lebih baik daripada menggunakan semua bahan kimia ini."
"Yah, bicara memang gampang:• Aku menggendong putraku
ke ruang tamu. "Nah, anak ganteng, sekarang duduk di sini

185
dulu, Ayah mau menyiapkan makan siangmu dan memasukkan
bajumu ke pengering."
"Ya, Ayah."
"Cuma sebentar, oke."
"Mmm hmm." Perhatian anak itu sudah terpaku ke televisi.
"Oke, Ayah."
"Kau seharusnya melihat kondisi rumahnya." Aku kembali

ke dapur dan mulai membuat sandwich. "Kelihatannya sudah


berbulan-bulan tidak pernah dibersihkan."
"lbumu juga bilang begitu."
"Aku tidak mengkhawatirkan kasih sayangnya pada anak
kami, sudah jelas dia menyayanginya:·
"Tapi di luar itu . . ."
"Ya, di luar itu benar-benar mimpi buruk. Setiap kali aku
menjemput anakku, pakaiannya kotor, kepalanya berkutu, dan
hanya Tuhan yang tahu kapan terakhir kali dia menyuruh anak
itu menggosok gigi."
"Tak banyak yang bisa kaulakukan kecuali kau melibatkan
Dinas Sosial."
"Dinas Sosial?" Aku memutar bola mata. "Maksud mereka
cukup bail<, tapi mereka tak ada gunanya."
"ltu karena mereka mempekerjakan orang-orang yang salah.
Sama seperti perawat, syarat nomor satu seharusnya berhati
emas. Kau harus benar-benar peduli pada orang lain dan ber­
sedia menolong mereka tanpa pamrih:'
"Seperti lbu."
"Persis. Tapi sekarang mereka mencari orang yang punya
gelar, harus punya kualifikasi ini, ikut kursus itu, dan tak se­
orang pun dari mereka punya kepedulian yang cukup atau

186
pengalaman yang berarti. Merawat orang seharusnya merupa­
kan panggilan jiwa, bukan profesi:'
"Ya, dia juga bilang begitu padaku:'
"Terlalu banyak dokumen ini itu sekarang:•
"Menurutmu dia akan baik-baik saja?"
"lbumu lebih kuat daripada kelihatannya."
"Dia membiarkan masa.lah dengan Mike berfarut-larut."
"Yang paling sulit diterimanya, membuat kesalahan yang
sama dua kali:'
Waktu aku mengantarkan ma.kan slang anakku dia hampir­
hampir tak menggubrisku. Kuletakkan nampan di sampingnya dan
kucium puncak kepalanya lalu aku kembali ke dapur, membuat
kopi dan kami membicarakan perencanaan tempat tinggalku. Ku­
bilang aku akan tinggal dengan lbu untuk sementara dan mungkin
mencari tempat sendiri jika memilih melanjutkan ke universitas.
"Rupanya aku harus ikut kursus Akses ke Pendidikan Tinggi
dulu:·
"Oh begitu:·
"Karena aku tidak mengambil ujian A-levels:·
"Mahal tidak?"
"Tidak juga." Aku meminum kopiku. "Lagi pula perusahaan
akan membayar biaya pendidikan selama setahun sebagai bagian
da.ri paket pengurangan tenaga kerja. Dua malam seminggu, se­
tiap Selasa dan Kamis, jadi aku hanya perlu pekerjaan yang
mudah supaya tetap punya penghasilan."
"Kedengarannya kau sangat yakin soal ini."
"Aku lihat di koran mereka sedang mencari portir untuk
rumah sakit. Apa kau tahu si wa Barney masih bekerja di sana
atau tidak?"

187
"Barney si Buah Bit?"
"Ya."
"Aku menyimpan nomor teleponnya entah di mana:•
"Dia dulu sering menceritakan kisah-kisah seru."
"Kauingat cerita tentang wanita yang mereka bawa untuk
dirontgen? Dua rekannya pergi ke bangsal penggantian sendi
untuk menjemput wanita tua ini. Mereka masuk ke kamarnya
yang kecil dan wanita itu berbaring dengan tenang di tempat
tidur, putranya di sampingnya memegangi tangannya. . ."
"Mmm hmm:·
"... dan mereka memberitahu pria itu agar tidak perlu
mengkhawatirkan ibunya, mereka akan berhati-hati supaya tidak
membangunkan wanita itu dan akan mengembalikannya ke ka­
mar dalam waktu singkat."
"Oke:·
"Jadi mereka mendorong ranjang wanita itu ke luar bangsal
dan masuk ke lift. Mereka berhati-hati agar ranjangnya tidak
terguncang atau terantuk dan akhirnya mereka tiba di ruang
rontgen..:·
"Mmm hmm:•
"...radiolog menatap wanita itu satu kali dan memberitahu
mereka bahwa dia sudah meninggal. Mereka menghabiskan
waktu dua puluh menit untuk membawanya ke sana, padahal
mau terguncang seperti apa pun, wanita itu tidak baka.I ba­
ngun."
"Ya ampun, kasihan anaknya:'
"Pasti sedih sekali:'
"Hei, aku sudah pernah cerita tentang insinyur di Panama?"
"Ya, my darling, paling tidak sudah seratus kali:'

188
"Oke, kalian punya waktu lima menit berkenalan dengan
partner kalian, selanjutnya aku minta perkenalkan mereka ke­
pada yang lainnya." Pengajar ka.mi, Martin McAllister, menyan­
darkan jaketnya di sandaran kursi. "Sedikit informasi mendasar
sudah cukup:'
"Anna, senang berkenalan denganmu:' Gadis itu pendek dan
gemuk, berkacamata tebal, dengan aksen dari suatu wilayah di
utara. "Aku tidak tahu apa yang mesti kutanyakan:'
"Bagaimana kalau kuceritakan saja padamu?" Aku memper­
kenalkan diri dan menjelaskan bahwa setahun terakhir ini aku
bekerja di rumah sakit dan belajar di sekolah malam. "Dan ku­
rasa aku di sini untuk memperluas wawasan, mungkin belajar
untuk menjadi guru, mencari jawaban untuk semua pertanyaan:'
"Jauh lebih menarik daripada ceritaku:'
"Berapa umurmu?"
"Delapan belas:·
"Masih sangat muda, dunia terbentang luas di depanmu."

189
"Kau terdengar seperti nenekku:·
"Akan kucoba menganggapnya sebagai pujian:·
"Satu-satunya alasanku berada di sini adalah karena dipaksa
orangtua:•
Lima menit berlalu dan kami bergantian memperkenalkan
partner kami. Dengan pengecualian tiga orang lainnya, aku yang
tertua di ruangan ini dan salah satu dari segelintir orang yang
tampaknya punya alasan kuat untuk berada di sini. Aku merasa
percaya diri dan superior, dan kuyakinkan diri bahwa aku sudah
membuat pilihan yang tepat, aku akan lulus dari sini dengan
nilai tinggi serta pola pikir yang jauh berkembang.
"Jadi yang terpenting dulu." Martin mengambil setumpuk
buku latihan dari mejanya dan mulai membagikannya. "lni akan
menjadi referensi pertama kalian untuk semester pertama.
Pengantar Bahasa lnggris, pondasi dari semua yang akan kalian
pelajari. Belajarlah dengan serius, putuskan pacar kalian, tiga
tahun ke depan tidak akan menjadi perjalanan yang mudah:'
"Kau punya cowok, Anna?"
"Aku lesbian."
"Jadi halaman pertama, penggolongan kata. Ada yang bisa
membacakan keempat kategori utama?"
"Noun, adjective, verb, adverb."
"Oke, kalian semua pasti sudah tidak asing dengan kategori
tersebut:'
"Tidak juga:' Aku berbisik kepada Anna. "Kau paham soal
. .,,,
lnl.
"Penggolongan kata? Aku berada di tempat yang amat salah
kalau tidak tahu:'
Kepercayaan diriku mulai runtuh dan kusadari aku harus

190
memberi perhatian penuh. Sebagian besar siswa baru lulus dari
sekolah dan sudah mempelajari mata pelajaran di A-level dan
pasti tidak asing dengan semua terminologi ini. Mereka juga
punya keuntungan dengan tinggal di kampus sehingga memiliki
akses yang mudah ke perpustakaan serta para dosen. Bukannya
terperangkap di rumah sewa seperti aku, dengan teman se­
rumah yang menderita insomnia parah serta pacarnya yang bau
dan selalu bepergian.
"Jadi noun adalah nama. . ."
"Noun adalah benda:'
"Oke, tapi apa tepatnya yang dimaksud dengan benda?"
"Sesuatu yang bisa kita lihat atau rasakan."
"Ya, bisa berikan contohnya?"
"Meja, kursi:'
"Ya..."
. "
"c·inta, benc1 ...
"Bagus sekali. Tapi dapatkah kita melihat cinta, dapatkah kita
merasakannya?"
"Kita dapat merasakannya."
"Atau kita hanya merasakan efeknya? Cinta, bend, hasrat,
kecewa, takut, semua itu hanya gagasan, konsep. Kita tidak da­
pat mengukur atau menyimpannya dalam stoples atau meng­
angkatnya ke cahaya dan memeriksanya:•
"Bagaimana dengan naga?"
"Pertanyaan bagus. Jadi noun bisa merupakan sesuatu yang
bahkan tidak ada."
"Atau Tuhan:•
"Tidak perlu melibatkan Dia di sini, setuju?"
"Persamaan hak."

191
"Ya, kurasa kita bisa berargumen bahwa persamaan hak ti­
dak ada:·
"Hak asasi manusia:·
"Dan sebagainya." Martin mengusap dagu dan tersenyum.
"Yang membawa kita dengan sangat mulus ke topik selanjutnya.
Hak asasi manusia. Apakah manusia termasuk noun atau
adjective?"
"Dalam contoh inir'
"Ya, dalam hak asasi manusia. Atau lebih luas lagi kalau ka­
lian mau:·
"Dalam contoh ini termasuk noun. karena kita bicara ten­
tang hak asasi untuk manusia."
"Oke."
"Menurut William Burroughs." Aku mengangkat tangan de­
ngan ragu-ragu dan merasakan tatapan seisi ruangan tertuju
kepadaku. "Manusia hanya boleh digunakan sebagai adjective."
"Bersedia menjelaskanr''
"Yah, adjective digunakan untuk menjabarkan kualitas se­
suatu, benar?"
"Ya, itu salah satu definisi yang lebih luas."
"Jadi manusia sebagai adjective berarti bahwa seseorang me­
miliki kualitas tertentu, seperti kebaikan hati, empati, dan se­
bagainya. Tapi manusia sebagai noun berarti bahwa setiap orang
sama dan manusia adalah jati diri kita, bukan bagalmana ma­
nusia bersikap:•
"Pandangan yang menarik."
"Dan sepenglihatan saya, banyak orang di luar sana yang
perilakunya sudah pasti tidak akan saya kategorikan sebagai
manusia."

192
"Ada yang mau menambahkan?"

Ruangan kelas sehening kuburan dan suasananya berubah


dingin. Selagi kami melanjutkan pembahasan tentang penggo­
longan kata, aku merasa bahwa tanpa disadari aku sudah men­
jauhkan diri dari yang lain. Mungkin mereka pikir aku pamer
atau membuang waktu mereka dan untuk sesaat kucoba me­
nempatkan diri di posisi mereka. Pria berumur dua puluhan
dalam kelas yang dipenuhi remaja. Dia mungkin menghabiskan
waktu sang dosen dan duduk di sana mengira dia lebih baik dari
semua orang. Lalu aku sadar bahwa aku takkan pernah disukai
di sini dan memutuskan bahwa tak ada yang bisa kuperbuat
tentang hal itu.
"Burroughs, ya?"
"Sebagian besar pemikirannya terlalu eksentrik, tapi tulisan­
nya tetap layak dibaca." Aku tengah berjalan pulang setelah
kelas berakhir dan Martin McAllister menjajari langkahku. "ltu
tertulis dalam salah satu suratnya untuk Allen Ginsberg!'
"Aku heran kau tidak memilih jurusan sastra."

"Bagiku lebih baik menikmati daripada menganalisis, setidak­


nya dalam hal karya fiksi. Kalau tidak, kau seperti mematahkan
sayap kupu-kupu hanya untuk melihat bagaimana cara kerja
makhluk malang itu."
"ltu satu sudut pandang yang berbeda!' Kami tiba di pintu
menuju halaman dan dia menahannya tetap terbuka untukku.
"Manusia sebagai adjective, mungkin aku akan menggunakannya
dalam kelas berikutnya. Aku ingin tahu dari mana dia menda­
patkan ide itu."
"Entahlah!' Aku melangkah memasuki udara September yang

193
sejuk dan menyalakan rokok. "Barangkali dari nenek Abraham
Lincoln."

* * * * *

Kurang-lebih satu bulan kemudian aku berada di tanah lapang

perbukitan bersama lbu dan putraku. Ada jembatan batu yang


gemuk pendek tempat dua sungal bertemu dan udara terasa

manis oleh aroma tanah yang tersiram hujan serta tumbuh­


tumbuhan. Putraku berjalan di depan kami, memilih langkah
yang aman, menyusuri sepanjang jalan berbatu sejajar dengan
sungai yang beraliran deras.
"Dia senang di sini:'

"lni salah satu tempat yang sering didatangi ayahmu dulu:•


"Kau tahu aku pernah jatuh sekali, di tengah musim dingin
pula."
"Dia tak pernah cerita:•
"Kau kelihatan kaget."
"Mungkin seharusnya tidak perlu." Dia berseru memanggil
putraku dan memperingatkannya untuk tidak berkeliaran terlalu
jauh. "Kau pernah merindukannya?"
"Ayah? Mungkin iya kalau kuberi kesempatan pada diriku
untuk merindukannya:·
"Dia bukan pria yang mudah dihadapi."
"Seperti apa rasanya menikah dengannya?"
"Aku terlalu muda, kami berdua terlalu muda, dan aku tidak

siap untuk itu:·


"Menurutmu sekarang akan berbeda?"

194
"Siapa yang tahu, Nak, mungkin tidak. Kau mungkin sudah
paham aku bukan pakar da.lam hal berumah tangga:•
Kami tlba di lahan terbuka tempat jalan setapak melebar
dan ada sepetak tanah yang menghitam bekas api unggun se­
malam. Aku menyalakan rokok dan kami duduk di batang kayu
terbalik sementara putraku berdiri di pinggir sungai, melem­
parkan batu-batu ke air yang mengalir deras. Kami mengobrol
tentang perceraian ibuku, tentang program pengurangan meta­
don Amy, dan tentang CSA yang berhasil melacak keberadaan­
ku saat aku mulai bekerja di rumah sakit.
"Aku cukup yakin mereka tak dapat berbuat apa-apa selama
aku kuliah penuh waktu."
"Yah, mereka juga tidak bakal pergi, kau tahu:·
"Terima kasih sudah mengingatkan:· Kuhancurkan rokok di
bawah kakiku. "Kita bicarakan hal lain saja, itu sudah cukup
untuk membuatku muntah."
"Bagaimana universitas?"
"Aku lebih menantlkan tahun depan:·
''Tidak menarik?"
"Yah, sebena.rnya agak kurang menantang dibandingkan per­
kiraanku. Tapi di tahun kedua kami bisa memilih modul sendiri
dan ada beberapa kelas mengenai analisis wacana di mana kami
bisa membahas tentang bagaimana media menggunakan bahasa
untuk memanipulasi kita. Dan salah satu pengajarnya adalah Dr.
Rachel Bryant."
"Berarti dia bagus, ya?"
"Semua orang membicarakan dia:•
"Apakah kau akan mengambil kelas psikologi lagi?"
"Tidak juga, tidak sejak aku lulus mata kuliah itu di college."

195
"Sayang juga, kau sepertinya suka."
"Yah, kurasa ada persilangan. Kami sedikit mengulas tentang
psikologi tingkah laku dalam salah satu modul sosiologiku dan
itu cukup menarik. lngat Anjing-anjing Pavlov?"
"Percobaan-percobaan dengan binatang itu?"
"Ya, dia membunyikan lonceng lalu memberi makan anjing­
anjingnya dan setelah beberapa waktu dia membunyikan lon­

ceng tanpa memberi mereka makan:·

"Sepertinya agak kejam."


"Tapi dia tidak memakaikan kosmetik di mata mereka."
"Ku rasa tidak."
"Jadi, anjing-anjing itu meneteskan liur, yang menunjukkan
bahwa tubuh mereka bereaksi terhadap sesuatu yang mereka
alami secara berulang-ulang di masa lalu. Seperti perilaku yang
terbentuk dari hasil belajar."
"Mungkin anjing-anjing itu yang bereksperimen pada Pavlov:'
"Maksudnya?"
"Yah, mencoba membuatnya membunyikan lonceng."
"Hei, itu menarik. Jadi anjing-anjing itu berkata, 'aku yakin
kita bisa membuatnya membunyikan lonceng kalau kita mulai
berliur."'
Setelah putraku selesai melemparkan batu-batu dan mata­

hari musim dingin hampir tenggelam, kami berjalan kembali ke


lahan parkir dan membeli es krim. Setelah itu kami duduk da­
lam mobil dan memakannya lalu ibuku mengantar kami kembali
ke kota. Kami berhenti di Waterloo untuk memulangkan putra­
ku. Amy membuka pintu dengan wajah merengut dan meminta
tambahan uang.

196
"Aku sudah memberimu semua yang bisa kuberikan bulan
IOI.''
.

"Yah, banyak tagihan yang mesti dibayar."


"Bukan cuma kau yang mesti membayar tagihan."
"Keadaannya lebih ba.ik waktu kau bekerja di tempat yang
jauh:'

"Lucu, kau selalu mengeluh aku tak pernah ada di sini."


"Setidaknya anak kita bisa punya pakaian dan barang-barang

lain:•
"Dan sekarang dia tidak punya? Jujur saja. Amy, dia tak per­
nah kekurangan barang-barang yang paling diperlukan. Mungkin
kau harus mulai mengatur uangmu dengan lebih baik:'
"Dan mungkin kau harus berhenti minum-minum setiap ma­
lam."
"Kita semua punya kebiasaan buruk." Perutku melilit. "Aku

membayar lebih dari yang seharusnya:•


"Tapi itu tidak cukup:'
"Denganmu memang tidak pernah cukup. Aku bisa saja
memberimu seribu pound seminggu dan kau bakal minta dua
ribu. Kenapa kau tidak mencari kerja?"
"Oh, mulai lagi deh:'
"Apa yang menghalangimu bekerja? Dia sudah sekolah seka­
rang:'
Kami bersilat lidah beberapa lama lagi, dua orang tolol yang
berma.in tenis meja dan tak ada yang mau mengalah. Kucium
putraku untuk berpamitan lalu masuk ke mobil dan duduk tan­

pa bersuara selagi lbu mengantarku pulang. Setiba di sana te­


man-teman serumahku sedang berpesta, ruang tamu dipenuhi

19 7
orang mabuk dan percakapan mereka yang tak keruan. Aku
nieninggalkan rurnah lagi, pergi ke toko dan ·membeli ena!n
kaleng bir serta sebotol vodka.

198
A..ka.demisi

P ada akhir tahun pertama kuliah, aku melewatkan musim


panas di lrlandia bersama salah satu saudara lelaki Ayah. Kami
bisa berhubungan berkat Facebook dan dia mengundangku un­
tuk tinggal bersama istri dan anaknya, sekalian membantu bisnis
pertukangan kayunya. Aku berhasil mendapatkan sejumlah uang
di sana dan pulih dari hubungan singkat yang tak berguna de­
ngan seorang wanita yang kutemui di apotek rumah sakit. Se­
karang aku sudah kembali ke kampung halaman dan tahun
kedua universitas tengah berja.lan.
"Apakah dia seperti ayahmu?"
"Sangat mirip, Nek, dalam penampilan dan perilaku:'
"Berarti pemarah, ya."
"Merusak apa yang seharusnya menjadi pengalaman hebat.
Sungguh, dengan semua pendanaan dari Uni Eropa, tempat itu
seperti tambang emas. Semua orang ingin dibuatkan sesuatu.
Dek taman, pagar, perabot, kau bisa minta bayaran berapa saja."
"Kedengarannya menyenangkan:' Kakek meletakkan cangkir-

199
cangkir teh kami di meja. "Dan cuacanya juga bagus, melihat
warna kulitmu:·
"Kulit cokelat terbaik, menurutku. Jadi, kami berlimpah uang
tapi dia menginginkan lebih dan lebih lagi. Mencari jalan pintas
agar pekerjaan selesai lebih cepat dari jadwal, berteriak-teriak
dan mengumpat kalau aku tidak bekerja secepat yang dia ingin­
kan:'
"Pasti sudah turunan di keluarga mereka."
"Aku mau santai-santai dulu di ruang tamu:· Nenek berdiri
dan berjalan terpincang-pincang dari dapur sambil membawa
cangkir tehnya. "Membaca buku sebentar:·
"Oke, Nek.''
"Oke, my love."
Pintu mengklik tertutup di belakangnya.
"Dan kau tahu yang terburuk, Kek� Kami dibayar untuk
pekerjaan seburuk itu."
"Sekarang di mana-mana seperti itu:·
"Seperti perampokan di siang bolong:'
"Aku menyebutnya sindrom YPS. Yang Penting Selesai. Waktu
kami di galangan, ada standar yang harus kami patuhi dan kami
yang mesti bertanggung jawab kalau hasil kerja kami tidak cu­
kup bagus."
"Waktu aku di sana juga begitu."
"Tapi zaman sekarang orang lupa berlaku adil. Mereka be­
kerja dengan setengah hati dan setengah pikiran lalu mengata­
kan yang penting se/esai, tapi mereka yang. . ."
"Pertama kali protes kalau tidak dibayar penuh."
"Benar sekali, Nak."
"Sayang sekali sebenarnya, kalau kami sedang tidak bekerja

200
dia cukup menyenangkan. Bercerita banyak tentang Ayah dan
keluarga mereka."
"Ayahmu selalu menggambarkan mereka sebagai orang-orang
yang mengerikan:·
"Rupanya salah satu saudara lelakinya tepergok mengutil, itu
ketika Ayah sudah bekerja di laut, dan ketika dia pulang saat
cuti, dia menghajarnya habis-habisan:'
"Ya ampun."
"Dan penyebab dia tidak mengakui mereka semua adalah
karena dia pernah bertengkar hebat dengan saudara lelakinya
yang lain lalu mencoba memaksa ibunya memilih di antara me­
reka:'
"Dia tidak terlalu paham tentang keluarga, ya?" Kakek me­
nandaskan isi cangkimya lalu beranjak untuk menyalakan cerek.
"Aku menduga ibunya menolak memihak:'
Kami menikmati minuman teh kedua kami lalu dia menanya­
kan keadaan di rumah sewa yang kutempati dengan orang lain.
Aku berkeluh kesah bahwa aku tak punya cukup uang untuk
menyewa tempat pribadi dan Kakek menyiratkan bahwa aku
sudah memilih meninggalkan pekerjaan sangat bagus dan se­
harusnya aku tidak boleh mengeluh. Setelah itu dia mengantar­
ku pulang. Aku naik ke kamarku, duduk di depan meja dan
menyalakan rokok. Kukeluarkan berkas catatan kuliah dan mulai
membaca tugas yang baru diberikan kepada kami.
Kumpulan Dokumen lrak. Sebuah laporan yang disiapkan
oleh pemerintah lnggris untuk membenarkan perang preventif
melawan rezim Saddam Hussein. Laporan yang penuh dengan
permainan bahasa. Rachel Bryant menjelaskan kepada kami
bahwa dengan bahasa setua bahasa lnggris, ada puluhan cara

201
untuk mengungkapkan ketidakpastian. Dan tugas kami adalah

menganalisis kumpulan dokumen tersebut serta lampiran e-mail


resmi pemerintah, dan memutuskan sampai sejauh mana ke­
benaran telah dipelintir.

"Oh berengsek." Ponselku berdering dari suatu tempat di


dalam tas dan butuh beberapa saat bagiku untuk menemukan­
nya. "Selamat malam, Mike, apa kabar?"

"Halo, Nak, lama tak berjumpa."

"Aku baru ke sana minggu lalu:·


"Yah, itu sudah cukup lama:· Suaranya berat oleh minuman.
"Apa kau sudah punya acara untuk Rabu malam?"
"Rasanya tidak ada:'
"Mereka memutar Coffee and Cigarettes di Arts Centre."
"Oh ya?"
"Seingatku kau suka sutradaranya dan kupikir kita mungkin

bisa menonton bersama:•


"Tentu, kenapa tidak?"
"Jam lima bagaimana? Aku bisa menjemputmu kalau kau
mau."
"Mungkin sebaiknya kita naik bus saja." Kupikir jauh lebih

aman bagi semua orang jika dia tidak mengendarai mobil. "Kau
tahu ongkos parkir sekarang mahal."
"Benar juga. jadi kita sepakat, ya?"
"Kedengarannya bagus juga."
"Bagus, sa.mpai bertemu jam enam."
"Kupikir jam lima."
"Kalau begitu sampai bertemu jam lima."
"Aku akan menemuimu di rumah:'

202
"Oke, Nak:' Dia terdiam sejenak. "Omong-omong, bagai­
mana kabar ibumu?"

* * * * *

"Kita berangkat sekarang?"


"Kuhabiskan dulu minumanku:• Mike duduk di depan meja
dapur, abu rokok mengotori sweternya. "Jam berapa busnya?"
"Bus ke kota cukup sering lewat."
"Aku percaya saja padamu."
"Sudah beli tiket filmnya?"
"Kupikir kita datang saja dan mencoba peruntungan kita."
"Kau tahu Arts Centre hanya menampung seratus kursi?"
"Yah, kalau terpaksa, kita bisa minum-minum saja sebagai
gantinya:'
Selagi kami berjalan melintasi lingkungan rumah lamaku, ku­
lihat rumah Danny diberi tanda dijual. Aku bertanya-tanya ba­
gaimana keadaan Danny dan aku juga bertanya-tanya tentang
teman lamaku Tom, yang berniat menjadi tentara kali terakhir
kami bertemu. Ketika itu aku mencoba membujuk Tom untuk
membatalkan niatnya, mengatakan bahwa operasi lobotomi
mungkin menyakitkan, tapi dia bukan orang yang mau mende­
ngarkan nasihat orang lain dan kubayangkan dia mungkin sudah
melaksanakan niatnya.
"Kurasa sekarang kita harus menunggu lama sekali:'
"Jangan khawatir, Mike." Kami baru saja tiba di halte. "Aku
jamin bakal ada bus yang datang sebelum rokokku habis."
"ltu aneh."
"Kalau kita boleh merokok di dalam bus, ceritanya lain lagi."

203
"Jadi, bagaimana kehidupan mahasiswa?"
"Sama sekali tidak buruk, kami melakukan beberapa hal
yang menarik."
"Banyak perempuan di sana."
"Nasibku kurang beruntung dalam hal itu."
"Aku juga."
"Kurasa aku terla.lu terburu-buru, Mike:' Bus tiba dan kami
naik. "Mereka ingin mulai pelan-pelan dan aku keliru mengarti­
kannya sebagai tanda tidak tertarik:'
"lbumu pernah bilang padaku, perempuan itu seperti sabun
batangan:·
"Oh?"
"Kalau tidak dipegang erat-erat mereka bakal lepas dari
genggamanmu:' Dia mengulurkan tangan untuk menggambarkan
maksudnya. "Dan kalau diremas terlalu kencang, akibatnya juga
sama."
"Secara teori bagus, tapi aku tak yakin soal praktlknya:·
"Kau pernah merindukan pekerjaan lamamu?"
"Mmm, entahlah, mungkin uangnya." Aku kaget dengan peru­
bahan topik ini. "Tapi tidak ada kepuasan hatl dengan menjadi
teknisi lepas pantai:'
"Bekerja di manajemen juga tidak ada kepuasan hati."
"Bagaimana kau menghadapi semua omong kosong peru-
sahaan itu?"
"Tidak terlalu baik:'
'"Bersama kita bisa:"
"'Kami tak punya masalah, hanya tantangan:"
"Di laut juga mulai terasa seperti itu, apalagi dengan semua
program pengurangan tenaga kerja. Dan yang terburuk adalah

204
mereka berlagak sangat tersinggung kalau kau menolak me­
nelan omong kosong mereka, jadi seolah kau harus tersenyum,
memuji kelezatan omong kosong itu, lalu menulis ucapan te­
rima kasih untuk mereka. Sama seperti Dokumen lrak ini,
sudah jelas mereka tidak punya bukti adanya senjata kimia. . ."
"Mmm hmm:'
". . .jadi mereka memolesnya dengan kata-kata kerja bantu
dan apa pun yang bisa mereka gunakan. Bahkan ada lalu lintas
e-mail antardepartemen yang membahas bagaimana mereka
bisa membuat dokumen itu tampak lebih meyakinkan . . ."
"Mmm hmm:'
". . .dan tidak dianggap ilegal. ltu hanya perang tak adil me­
lawan kehendak para pemilih yang sudah mengangkat para
pejabat pemerintah. Seharusnya mereka mengadili Tony Blair
untuk kejahatan perang..."
"Aku melihat ibumu bersama seorang pria tempo hari:'
"Pria lainr''
"Ada lebih dari satu?"
"Maaf, Mike." Aku jelas sudah salah mengerti. "Bisa ulang
lagi?"
"Minggu la.lu aku membawa sepatuku untuk diperbaiki dan
kulihat ibumu sedang santai minum kopi bersama seseorang.
Pria tinggi botak dengan topi gaya Panama."
"Dari mana kau tahu dia botak kalau dia pakai topi?"
"Dia melepasnya untuk menggaruk kepala:•
''Yah, lbu tidak bilang apa-apa padaku."
lni jelas-jelas bohong. Beberapa bulan lalu dia bertemu sese­
orang di bar dan sepertinya dia menganggap orang itu pria
paling hebat di dunia. Kesan pertamaku tidak begiw bagus, aku

205
menganggap pria itu jauh dari hebat, tapi lbu sepertinya cukup
bahagia dan itu yang utama bagiku. Satu-satunya masalah adalah
Mike, yang sudah cukup sengsara dan hanya akan bertambah
parah jika dia tahu tentang pacar lbu.
"Aku hanya tak mengerti, Nak, hubungan kami tidak terlalu
buruk."
"Tapi benarkah seperti itu? Hanya karena satu orang meng­
anggap semuanya baik-baik saja, bukan berarti kenyataannya
seperti itu. Kau tahu seperti apa lbu, dia lebih suka memen­
dam masalah."
"Apa dia pernah terbuka padamu?"
"Sesekali, kurasa. Jika ini bisa membantu, menurutku tak ada
yang dapat kaulakukan. Kita berada di dunia yang sepenuhnya
berbeda sekarang, orang-orang bicara tentang menemukan jati
diri, membutuhkan ruang dan sebagainya."
"Kurasa aku takkan pernah memahaminya:·
"Memahami sesuatu tidak menjadikan rasa sakitnya berku-
rang."
"Jam berapa filmnya mula.i?"
"Aku tidak tahu Mike, kau yang mengajakku:·
Kami turun dari bus di tengah kota dan berjalan sedikit ke
Arts Centre. Sekelompok orang menghalangi pintu dan Mike
tanpa basa-basi meminta mereka menyingkir. Gadis di konter
menjual dua tiket terakhir kepada kami dan mengatakan film
akan dimulai setengah jam lagi, jadi kami naik ke kafe dan me­
mesan dua potong quiche keju-bawang, dan sebotol Sauvignon
Blanc.
"Kuharap kau suka filmnya:•

206
"Yah, kalau tidak sesuai seleraku, aku toh bisa tidur se­
bentar."
"Tolong jangan tidur, dengkuranmu bisa menerbangkan atap:'
"Kau terdengar seperti ibumu:·
"Dan kau terdengar persis seperti gajah dewasa:•
"Tidak perlu berlebihan, Nak, paling buruk juga gajah re­
maja."
Aku permisi lalu turun ke ruang bawah tanah menuju toilet

kecil suram yang berbau jamur. Aku buang air kecil, memeriksa
gigiku di cermin dan sedang berjalan kembali melintasi lobi
ketika melihat Rachel Bryant berdiri di sana. Dia bersama pria

lebih wa yang mengenakan setelan linen hitam dan mereka se­


pertinya sedang berbagi lelucon pribadi. Aku menunggu sampai
bisa menangkap tatapannya lalu menyeberangi lobi untuk me­
nyapanya
"Rachel, aku tidak tahu kau suka Jim Jarmusch."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Rupanya Jim pernah bilang dia lebih suka menulis tentang
orang yang mengajak jalan-jalan anjingnya daripada tentang
Kaisar Cina:• Aku tersenyum dan memperkenalkan diri. "Sung­

guh menyegarkan bagi seseorang untuk fokus pada hal-hal re­

meh dalam hidup."


"Pikiran yang hebat membicarakan gagasan, pikiran yang
rata-rata membicarakan peristiwa. . . "
"Dan pikiran yang kecil membicarakan orang-orang:• Rachel
tertawa menang saat menyelesaikan argumen balasan pria yang
lebih tua. "Eleanor Roosevelt, kalau aku tidak salah."
"Akan kucoba mengingatnya."

207
"Tak perlu mencoba, itu yang selalu kukatakan, lakukan
saja."
Percakapan dengan segera kehabisan amunisi, aku meng­
ucapkan selamat malam pada mereka dan mulai berjalan kem­
bali ke atas. Kemudian terlintas pertanyaan tentang tugasku dan
kuputuskan tidak ada ruginya bertanya. Jadi aku berbalik turun
lagi dan sedang menghampiri mereka dari belakang ketika per­
cakapan mereka menghent�kan langkahku.
". . . anak muda yang menyebalkan."
"Aku tahu:· Rachel tertawa. "Sangat memuakkan."
"Bagaimana kau bisa tahan menghadapi mahasiswa yang ter-
lalu bersemangat?"
"Yah, Roger, kau tahu bagaimana mereka:' Dia menjalin je­
mari dengan pria itu. "Beberapa nilai bagus dan mereka lang­
sung menganggap diri mereka akademisi:'

208
"
hai, Nek:' Aku mengaktifkan pengeras suara pada ponselku
dan melanjutkan mengemas tas. "Apa kabar?"
"Kuduga kau menelepon tentang besok malam?"
"Dari mana bisa tahu?"
"Saat sudah seumurku, kau bisa melihat berbagai hal sebe­
lum terjadi."
"Oh asyik. berapa angka lotre yang keluar minggu depan?"
"Jangan harap." Ada senyum dalam suaranya. "jadi, kau tidak
akan mampir kemari?"
"Terlalu banyak yang harus dikerjakan:•
"Mungkin minggu depan, kalau begitu."
Saat itu pertengahan bulan Juli dan aku baru saja menye­
lesaikan tahun keduaku. Dalam waktu satu jam dan tiga puluh
tujuh menit lagi aku dijadwalkan mengajar kelas bahasa lnggris
pertamaku untuk sekelompok siswa Prancis. Setelah itu, jika
berhasil lolos dari kegugupan yang membuatku tak bisa tidur

209
selama tiga malam terakhir, aku harus menemui Martin
McAllister untuk membicarakan skripsiku.
Kunyalakan rokok dan mencangklong tas lalu melangkah
keluar disambut pagi cerah yang sejuk tanpa segumpal awan
pun di langit. Perusahaan tempatku bekerja, ACE, membuka
kelas-kelas bahasa lnggris untuk siswa asing yang datang meng­
isi liburan musim panas mereka. ACE menyewa sekolah-sekolah
pribadi yang kosong selama musim libur, menggunakan ruang­
ruang kelas, asrama-asrama, dan fasilitas olahraga di sana. Dan
sungguh kebetulan, sekolah kali ini adalah yang pernah menge­
luarkanku bertahun-tahun lalu.
"lni juga pengalaman pertamamu?"
"Kelihatan jelas, ya?" Jantungku berdebar dan perutku melilit
saat aku berbaur di ruang guru dengan guru-guru bahasa lng­
gris lainnya. "Kuharap semuanya lancar."
"Kau pasti bisa."
"lngat saja, mereka tidak tahu kau belum berpengalaman:'
"Yang kaulakukan selama satu jam pertama hanya memberi
mereka ujian tertulis. . ."
"Lalu panggil mereka satu per satu untuk ujian lisan."
"Semua sudah punya cukup kertas ujian?"
"Mudah-mudahan aku dapat kelas beginner, mereka yang
paling menyenangkan:'
"Tidak, aku lebih baik dapat kelas yang lebih tinggi:'
Begitulah percakapan berlangsung, sampai jam menunjukkan
pukul sembilan dan kami beranjak ke kantin sekolah untuk
mengumpulkan murid kami. Mereka baru selesai sarapan dan
kami menunggu di sana sebentar, la.lu tersenyum pada lautan
wajah seraya bertanya-tanya mana di antara mereka yang akan

210
kami ajar. Tak lama kemudian aku mendapatkan grupku, ku­
pandu mereka ke kelas dan meminta mereka duduk lalu mem­
bagikan ujian tertulis. Kemudian setelah mereka duduk nyaman,
aku memanggil siswa pertama, bocah lelaki pendek gemuk ber­
nama Jonathan, dan kami memulai tanya jawab lisan.
"Jadi, berapa usiamu dan di mana tempat tinggalmu?"
"Usiaku tiga belas tahun:' Tangan Jonathan gemetar. "Dan
aku tinggal di Paris."
"Apa pekerjaan orangtuamu?"
"Ayahku, dia seorang politisi. . . "
"Kedengarannya pekerjaan yang hebat:'
". . .dan ibuku, dia sudah meninggal:'
"Aku ikut berduka, Jonathan:'
"Kakak perempuanku juga, mereka meningga.1 dalam kecela­
kaan ski:'
"Ya ampun:'
"Aku tinggal di rumah dengan lima kamar tidur, ada kolam
renang di atap, ada pelayan, kami juga punya tiga ekor anjing
dan seekor marmut."
"Oke:'
"Hobiku bermain permainan komputer dan sepak bola."
"Oh bagus, tim mana yang kausuka?"
"Manchester United.''
"Dan ini pertama kalinya kau ke lnggris?"
"Sudah tiga kali aku kemari dan aku sela.lu benci di sini.''
Aku merasa sangat iba pada bocah itu dan membayangkan
seperti apa hidupku tanpa kehadiran lbu. Aku menyuruhnya
kembali mengerjakan ujian tertulis lalu menatap ke luar jendela
sebentar sebelum memanggil siswa berikutnya. Langit mulai

211
berawan, aku bisa melihat kantor kepala sekolah di seberang
sana dan gemuruh kemarahan menerpaku. Satu jentikan jari
saja dari Ayah pasti sudah cukup untuk mempertahankanku di
sekolah ini. Bagaimanapun, Ayah membayar mereka untuk
mengawasiku, bukan membiarkanku tersesat.
"Celine Dubois:'
"Ya, Sir." Seorang gadis kecil ramping berambut cokelat ke-
merahan. "Bagaimana kabar Anda hari ini?"
"Baik, terima kasih."
"Berapa usia Anda?"
"Tunggu sebentar, aku yang seharusnya mengajukan per­
tanyaan."
"Oh, maaf, aku hanya ingin tahu."
"Yah, kita akan pergi ke kota sore ini, kau bisa bertanya
padaku nanti:'
"Di kota ini ada mal?"
"Tidak j uga."
"Jadi, apa gunanya pergi ke sana?"
Sisa pagi itu berlalu tanpa insiden, hasil ujian dikumpulkan
dan kami mendapat kelompok-kelompok baru berdasarkan
level mereka. Pada saat aku mulai mengajar kelas tingkat inter­
mediate, waktu belajar tinggal setengah jam. Kami memainkan
beberapa permainan untuk saling mengenal dan menyepakati
serangkaian peraturan kelas. Kemudian kami menikmati makan
siang penuh lemak di kantin sekolah dan bersiap-siap untuk
perjalanan belanja sore kami.
"Kuharap kau tidak tersinggung aku mengatakan ini, tapi kau
kelihatan agak tua untuk jadi mahasiswa S I :·
"Umurku akhir dua puluhan."

212
"Bukan usia yang umum untuk mahasiswa:• Karim, pemuda
Aljazair tampan berusia awal dua puluhan, merupakan salah
satu pemimpin rombongan yang mengawasi para siswa. "Di

Prancis, kami kuliah setelah SMA."


"Aku memutuskan sekolah lagi setelah bekerja di laut."
"Oh, keren sekali. Apa jurusanmu?"
"Bahasa lnggris, dengan jurusan tambahan sosiologi."
"Wah, semakin keren lagi."

"Kau kuliah sosiologi juga?"


"Aku kuliah hukum, tapi kami juga mempelajari ilmu-ilmu
sosial."
Temyata kami memiliki banyak minat yang sama. Karim
amat tertarik mengenai cara media membentuk opini publik,
terutama sebagal Muslim yang dibesarkan di negara barat. Kami

berdua juga sepakat bahwa dunia sudah gila, umat manusia se­
pertinya kehilangan arah, dan sebagian besar pemimpin kita tak
punya mora.I. Tapi dalam hal agama kami punya pemikiran yang
berbeda dan kami belum lama kenal sehingga tidak membahas­
nya lebih lanjut.
"lni pertama kalinya kau kemari?"
"Ya, aku sering datang ke sekitar London tapi tak pernah
ke kota ini:'
"Kalau begitu kuberi saran untukmu:•
"Tentu:·
"Tolong peringatkan para siswa agar jangan terlalu berisik
atau menatapi orang lain."
"Oh?"
"Terutama para remaja:• Aku menya.lakan rokok dan me-

213
nawarinya tapi dia bilang dia tidak merokok. "Orang-orang di
sini tak butuh banyak alasan untuk meninju mulutmu."

* * * * *

Sinar matahari bulan November menyusup dari jendela ka­


marku dan terpapar miring di mejaku. Saat itu Minggu pagi
menjelang siang, teman-teman serumahku sudah pergi ke
Amsterdam untuk merokok mariyuana dan menyantap kentang
goreng dengan mayones. Putraku di bawah menonton saluran
kartun sementara aku mengerjakan skripsi dan berbicara sen­
diri, sesuatu yang sering kulakukan.
"Demi Tuhan, kepalaku sakit sekali."
"Yah, kau menghabiskan semua vodka teman serumahmu."
"Terima kasih sudah mengingatkan, aku harus membeli
gantinya untuk mereka."
"Aku tidak bakal repot-repot, mereka meminjam uang dari-
mu dan tak pernah mengembalikannya:•
"Tapi kenapa harus ada tiga pencuri, bukannya dua?"
"Diamlah dan lanjutkan pekerjaanmu."
Saat memikirkan apa yang sudah kupelajari sejauh ini, be­
tapa hampir segala hal dapat dipelintir demi kepentingan
finansial atau ideologi, aku merasakan kemarahan membara
jauh di dalam perutku. lklan-iklan membidik golongan yang tak
memiliki pemahaman, perang dibenarkan dengan klaim-klaim
palsu, orang-orang memperoleh jabatan melalui tindakan krimi­
nal dan janji-janji yang diingkari. Aku jadi heran bagaimana kita
bisa begitu buta dan menganggap umat manusia telah membuat
kemajuan.

214
"Jam berapa kita berangkat, Ayah?"
"Belum tahu, Ganteng:• Aku berputar di kursiku dan me­
lihat putraku berdiri di ambang pintu, tampak murung. "Mung­
kin makan siang dulu di sini lalu kita berangkat jam setengah
tiga:·
"Jason bilang kami akan membuat layang-layang."
"Kau kan seharusnya pergi ke rumah bibimu."
"Ya aku tahu, Jason dan lbu akan menemuiku di sana:•
"Jam berapa itu?"
"Jam satu."
"Oke, Ayah kerja dulu dua puluh menit lagi."
"Oh." Wajah kecilnya berubah muram. "Ayah selalu bilang
begitu."
Kusingkirkan buku-bukuku dan kumatikan komputer. Masih
ada waktu untuk makan siang kalau kami buru-buru. Kami tu­
run ke dapur dan mulai memasak. Putraku selalu suka telur
orak-arik dan aku sudah mengajarkan cara membuatnya supaya
dia bisa menyiapkan makanan sendiri bila ibunya sedang tidur.
Kali ini dia memasaknya di microwave, cara memasak yang be­
lum pernah kulihat, dan dia mengatakan bahwa menurut Jason,
cara sebelumnya sangat bodoh.
Kami menyantap telur dengan tomat dan roti panggang oles
mentega yang rasanya sangat lezat dan membuatku merasa makin
payah. Aku bukan hanya ayah tak pedulian yang sibuk dengan
buku-buku atau hal lain, tapi juga ayah dengan metode me­
masak yang ketinggalan zaman. Kami selesai makan dan cepat­
cepat mencuci piring la.lu bergegas ke jalan utama untuk me­
ngejar bus ke rumah kakak Amy.
"Jadi, Jeeves, ibumu punya teman pria baru?"

215
"Ya, benar."
"Dia wanita yang hebat, menyayangi putramu sepenuh hati."
"Omong-omong soal teman pria:• Aku mengikuti kakak
Amy ke dapur. "Seperti apa si Jason ini?"
"Lumayan, menurutku:·
"Punya pekerjaan?"
"Dia pelukis:·
"Seniman?"
"Dekorator." Dia mengisi cerek di wastafel lalu menjerang-
nya. "Teh atau kopi?"
"Kopi saja, terima kasih. Pakai susu, gulanya dua:•
"Kalau mau merokok, ada asbak di atas kulkas:·
"Jadi, Jason oke?" Aku menyalakan rokok. "Memperlakukan
anakku dengan baik dan sebagainya?"
"Yeah, kelihatannya dia pria baik-baik."
Kami mengobrol di dapur sementara putraku bermain kom­
puter di ruang tamu. Aku menanyakan banyak hal tentang Amy
dan rupanya dia sudah bebas dari metadon, kabar terbaik yang
kudengar selama bertahun-tahun. Sebaliknya, kakak Amy me­
nanyaiku tentang universitas dan sinar matanya memudar
ketika aku mulai menjawab. Bukan hal yang mengejutkan ka­
rena semua orang yang kuajak bicara soal ini bereaksi serupa.

216
"
J adi, ini dia:' Kuletakkan skripsiku yang sudah selesai di meja
Martin McAllister. "Sepuluh ribu kata omong kosong:'
"Selamat, tampaknya kau akan mendapat hasil yang layak:'
"Tergantung pendapat Rachel tentang skripsi ini."
"Yah, kalau kau menggunakan bahan referensimu dengan
baik, aku yakin takkan ada masalah."
"Tentu saja aku menggunakannya, meski berlawanan dengan
keyakinanku."
"Masih terpukul gara-gara tugas etnografi itu?"
Ya, masih. Semester lalu kami mengerjakan proyek berdasar­
kan pengamatan terhadap perilaku manusia di lingkungan sosial.
Jadi aku melewatkan satu minggu di kafe setempat, mengamati
orang-orang yang datang dan pergi dan mencurahkan seluruh
hati dan jiwaku guna menghasilkan laporan terbaik yang mam­
pu kubuat. Kemudian aku dikritik karena tidak mengutip teori­
teori yang relevan dan makin memperburuk keadaan dengan

217
menyatakan bahwa menurutku teori-teori itu sama sekali tidak
relevan.
"Konyol seka.li, kita seharusnya belajar berpikir untuk diri
sendiri, bukan percaya begitu saja pada pendapat orang lain:·
"ltu bisa diperdebatkan:· Dia menyunggingkan senyum ku­
rang antusias. "Sepenglihatanku, kalian mempertentangkan dua
hal yang jauh berbeda."
"Oh ya?"
"Pertama, bahwa kita harus bebas berpikir dan menuliskan
apa pun yang kita mau. Dan sudah jelas kau melakukan iw, tapi
jangan harap hasil karyamu akan dianggap serius."
"""
ap·I
Ii "
. • •

"Tidak ada tapi. Kalau mengikuti kehendakmu, orang sinting


mana pun yang punya teori bisa menerbitkan tulisannya."
"Lain halnya dengan orang sinting mana pun yang bergelar
doktor?"
"Dan itu yang membawa kita ke argumen keduamu. Yaitu
bahwa menurutmu para akademisi tak punya kapasitas untuk
membedakan antara yang benar dan salah . . ."
"Tidak semuanya:·
". . .walaupun mereka sudah mengabdikan hidup untuk bi­
dang keahlian mereka."
"Aku hanya tak mengerti mengapa kita mesti berasumsi
kalau mereka sempurna."
"Sudah berapa lama kau di sini?"
"Hampir tiga tahun:·
"Belum terlalu lama bukan?"
"jadi, hanya butuh waktu dan usaha untuk menetapkan
mana yang benar dan salah? ltu seperti teori yang mengatakan

218
bahwa seruangan penuh simpanse dengan mesin tik pada akhir­
nya akan menghasilkan sesuatu yang berarti."
"Sekarang kau menyamakan akademisi dengan simpanse?"
"Tentu saja tidak."
"Jadi, apa maksudmu?"
"Kau pura-pura tak mengerti:'
"Aku berperan sebagai provokator:·
"Entahlah, aku hanya merasa mereka terpisah dari realitas:·
"Realitas mana yang kaumaksud?"
"Oh, soal itu lagi. Tak ada satu realitas tunggal, ada banyak
realitas yang bisa kita yakini sebagai kenyataan:·
"Postmodernisme."
"Post apalah, itu hanya istilah canggih untuk 'kami tak tahu
apa-apa:"
Setelah meninggalkan kantornya, aku pergi ke bagian admi­
nistrasi akademis untuk menyerahkan skripsiku. Beberapa gadis
dari kelasku lewat dan berkomentar tentang aku yang sudah
mengumpulkan skripsi satu bulan sebelum tenggat waktu. Biasa­
nya aku tak memedulikan komentar semacam itu tapi aku
sedang merasa agak sensitif dan membalas bahwa mereka bisa
lebih berguna bagi masyarakat jika bekerja sebagai pemandu
wisata di Magaluf.
Selagi meninggalkan kampus dan menumpang bus ke kota,
aku menyadari bahwa masa-masa sebagai mahasiswa sudah men­
dekati akhir. Tinggal menunggu ujian akhir yang tak begitu ku­
takuti karena hanya perlu mengingat fakta-fakta dan memahami
teori-teori. Aku bisa dibilang cukup sukses selama beberapa
tahun terakhir dan sudah berada di jalur yang tepat untuk me­
raih tujuanku, jadi mengapa aku merasa begitu kecewa?

219
"Halo, Kawan."
"Oh, halo, Barney:' Aku mendongak menatap wajah rekan
kerja tuaku di rumah sakit, yang tampak merah manyala ber­
sanding dengan janggutnya yang putih bersih. "Lama tak ber­
temu:·
"Minggir sedikit kalau begitu:·
"Bagaimana kabarmu?"
"Tak terlalu buruk. aku rasa." Dia duduk di sampingku. "Bos
cuti sakit lagi."
"Bukan penyakit remeh, aku harap."
"Belakangan ini dia benar-benar menjengkelkan:·
"Tak bisa bilang aku merindukannya."
"Tapi dia merindukanmu."
"Aku yakin begitu, seperti dia merindukan sakit gigi:'
Kami membicarakan masa kerjaku di rumah sakit, mem­
bangkitkan berbagai kenangan indah. Aku begitu terpikat de­
ngan sekolah malam dan masih dipenuhi kejailan yang kudapat
dari bekerja di laut dan juga pekerjaan ini begitu mudah mem­
buatku seakan-akan sedang liburan setahun penuh. Berbagi le­
lucon konyol dengan rekan-rekan kerja, berpindah dari bangsal
ke bangsal dengan langkah ringan, dan di atas segalanya. merasa
berguna bagi pasien-pasien yang kudampingi setiap hari.
"Jadi, berikutnya apa, setelah kau menjadi cendekiawan seka-
rang?"
"Masih gelap."
"Kau bisa menjadi doktor sastra:·
"Bahasa, kurasa tidak:'
"Terlalu sulit?"
"Sama sekali tidal<, Barney, kau tak perlu jadi orang jenius

220
untuk menjadi akademisi. Kecerdasan jelas membantu, tapi yang
utama adalah punya uang untuk menopang dirimu selama me­
lakukan riset.''
"Biasanya kau tidak segetir ini:'
"Aku rasa dunia akademik telah mengecewakanku."
"Kembalilah dan bekerja bersama kami lagi:'
"Undangan yang menggoda, tapi aku mesti memanfaatkan
gelarku untuk sesuatu. Mungkin menghabiskan musim panas
dengan mengajar dan melihat perkembangan selanjutnya:•
Ketika bus tiba di pusat kota, kami berpisah jalan dan aku
melangkah ke selatan menuju tepi laut. Dari sebuah bangku di
promenade aku memandang ke bawah pantai berbatu karang,
air laut tengah surut dan batu-batu karang di permukaan lebih
rendah terselimuti oleh rumput laut hitam yang tebal. Sejumlah
perahu layar melintas mengirisi perairan dan kapal feri melaju
ke kejauhan, dan perasaan deja vu yang kuat menerpaku.

** * * *

Saat bulan Agustus memasuki dua minggu terakhirnya, aku pin­


dah ke asrama untuk tugas mengajar musim panas terakhirku.
Satu bulan terakhir kuhabiskan di kampung halaman dan baru
saja tiba di tempat baru ini, sekolah swasta berjarak satu jam
dari London. Perjalanannya panjang dan bermasalah, dengan
kereta yang rusak, pergantian bus, kemudian sopir taksi yang
menderita emfisema dan meneriakkan kata kata kasar terus
-

menerus. Seakan belum cukup, lbu menelepon dan mengabar­


kan ada pesan dari CSA di mesin penjawab teleponnya.
"Tunggu:• Aku menyahut ketukan di pintu. "Sebentar lagi:'

221
u ,,

"Karim, apa kabarmu?"


"Aku melihatmu turun dari taksi:'
"Sudah berapa lama di sini?"
"Sepanjang musim panas." Matanya berbinar. "Mau kuantar
berkeliling?"
"Boleh juga. Seperti apa makanannya?"
"jauh lebih enak daripada tempat yang dulu."
Kukunci kamarku dan dia memanduku keluar, udara hangat
dan berbau rumput yang baru dipangkas. Kami menyusuri jalan
masuk panjang dengan pohon-pohon elm dan sycamore berbaris
di kedua sisinya lalu tiba di bangunan tua berlantai satu dari
bata cokelat. lni kantin sekolah dan kami masuk, membuat kopi
lalu duduk di meja di seberang ambang pintu yang terbuka.
"Jadi, skripsimu sudah selesai?"
"Skripsi sialan."
"Kau kesulitan mengerjakannya?"
"Tidak juga, Sobat, aku hanya muak dengan itu semua:• Ku­
sesap kopiku dan ternyata butuh gula lagi. "Ada anggapan bah­
wa saat lulus dari universitas, kau memiliki semua jawaban."
"Tapi bukan itu yang terjadi:'
"Sama sekali bukan:·
"Tapi setidaknya kau sudah belajar memandang berbagai hal
secara kritis."
"Yah, aku tak yakin itu hal yang bagus, Karim. Saat ini kita
hidup di zaman yang serbakacau. Kurasa sebagian orang me­
mandang dunia dan melihat kebaikan di dalamnya, tapi yang
bisa kulihat hanya kejahatan dan itu membuatku takut setengah
mati:'

222
Kami menghabiskan kopi kami dan melanjutkan berkeliling.
Sekolah itu sangat besar dengan banyak bangunan, semuanya
dari bata cokelat yang sama, dan di depan kami lapangan-la­
pangan olahraga membentang bagai samudra hijau luas. Ku­
putuskan bahwa jika cuaca tetap cerah, dan jika para siswa
seramah yang selazimnya, mungkin ini akan menjadi akhir yang
menyenangkan dari musim panas yang tidak terlalu menyenang­
kan.
"Jadi, kau memutuskan untuk mengajar lagi?"
"Ya, ini bukan pekerjaan yang buruk:'
"Tahun lalu sepertinya kau tidak terlalu yakin:·
"Mungkin aku hanya merasa gugup. Kau tahu seperti apa
sikap orang saat mereka takut akan sesuatu. Tapi aku selalu
suka berbicara dengan orang-orang yang berbahasa asing, itu
salah satu hal paling menarik selama bekerja di kapal:'
"Kau pasti merindukannya."
"Ya dan tidak, sebenarnya. Aku merindukan sisi teknisnya,
bisa menyibukkan kedua tanganku, dan beberapa mesin serta
proses kerjanya sungguh menakjubkan. Senang rasanya saat kau
punya tanggung jawab sebesar itu dan harus melakukan tugas­
mu tanpa kekeliruan:'
"Tapi satu kesalahan saja bisa mahal harganya, bukan?"
"Tentu, tapi kau hanya menerimanya sebagai bagian dari pe­
kerjaan:• Ka.mi duduk di bangku yang menghadap salah satu
lapangan kriket. "Kau punya tanggung jawab besar di sini,
• • • • tt
mengawasr semua srswa mr.

"Memang benar."
"Dan ka.lau salah satu dari mereka terluka, itu jauh lebih
buruk daripada mesin yang rusak."

223
"Tahun ini saja sudah ada dua pergelangan kaki yang patah
dan satu ... apa ini namanya?"
"Wrist Pergelangan tangan."
"R, I, S, T?"
"Pakai W"
"Bahasa kalian sangat aneh."
"Yah, setidaknya kau sudah dewasa." Aku menyodok rusuk­

nya. "Bayangka.n bagaimana perasaanku, harus mempelajarinya

sejak bayi:'
Pukul enam sore kami kembali ke kantin sekolah untuk
makan malam. Karim memperkenalkanku pada pemimpin rom­
bongan lainnya. Aku menjabat tangan mereka, berbasa-basi lalu
pergi mencari tim pengajar bahasa lnggris. Aku menemukan
mereka di meja sudut, kelihatannya mereka kelompok yang
menyenangkan dan setelah makan kami memutuskan pergi ke
pub untuk minum-minum.
"Karim lumayan baik, tapi beberapa pengawas lain tak ber­
guna."
"Sangat tak bertanggung jawab, seperti anak-anak mengawasi
anak-anak:'
"Untunglah hanya ada tiga kunjungan ke rumah sakit."
"Kau tahu dia Muslim?"
"Yang benar Muslim at.au orang Muslim?"
"Bisa keduanya." Aku menimbrung. "Tergantung apa yang
hendak kaubicarakan."
"Maksudnya?"
"Yah, Muslim sebagai noun berarti identitas diri."
"Benar. . . "

224
"Dan Muslim sebagai adjective berarti kualitas yang kau­
miliki."
"Jadi, seperti apa dirimu, bukan siapa dirimu?"
"Mereka semua hanya domba menurutku." Seorang guru
lain urun suara. "Menuruti semua hal di dalam kitab itu seperti
zombie terkutuk:'
"Domba zombie, kreatif sekali:'
"ltu komentar orang yang menuruti semua hal yang dia
baca di surat kabar."
Pub itu cukup jauh dari sekolah dan kami butuh waktu
setengah jam lebih untuk tiba di sana. Kami memesan mi­
numan dan membawanya ke luar. Udara malam terasa enak,
birku juga lebih enak lagi dan aku menghabiskannya terlalu
cepat. Aku memesan gelas berikutnya lalu berikutnya lagi, mata­
hari terbenam di balik pepohonan dan aku membeli sebungkus
rokok lagi dan sewaktu kami pergi dari sana, aku menceritakan
kisah-kisah lautku yang lama.

225
bua tahun lebih telah berlalu dan aku bagaikan kapal tak
bertiang. Ada pekerjaan mengajar selama liburan sekolah dan
bagi mereka yang tak keberatan mendapat honor kecil, kadang­
kadang ada pekerjaan temporer di sekeliling kota. Aku pernah
bekerja sebagai buruh, penyortir surat, penjual asuransi, wkang
cat dan dekorator. Tapi tak ada lowongan yang cocok dengan
gelar sarjanaku dan nasibku sama seperti setengah lulusan uni­
versitas di negeri ini.
Keadaan tersebut diperparah oleh CSA, yang akhirnya bisa
menemukanku dan memaksa dengan ancaman penuntutan un­
wk membayar tunggakan tunjangan anak. Jumlahnya sudah
mencapai beribu-ribu pound dan aku bekerja di setiap jam
pemberian Tuhan dan akhirnya berhasil melunasi timbunan
utang tersebut. Tanpa kebaikan Mike, aku bahkan tak punya
tempat untuk beristirahat, lantaran lbu sudah menyewakan
apartemennya dan kini tinggal bersama pacarnya.
"Mau ke biro tenaga kerja hari inir"

226
"Benar sekali, seperti yang selalu kulakukan dua minggu
belakangan."
"Siapa tahu." Mike menenteng tas kerjanya dan menyu­
suri koridor. "Mungkin kali ini kau lebih beruntung."
"Mereka sepertinya tak pernah menawariku pekerjaan
yang layak. Kali terakhir mereka ingin aku melamar untuk
lowongan di salon pencokelatan kulit."
"Seandainya aku bisa mencarikan pekerjaan untukmu, tapi
perekrutan pegawai sama seka.li di luar kuasaku:·
"Tak masalah, aku juga menentang nepotisme:•
"Kau terdengar seperti kakek-nenekmu:•
''Yah, suka atau tidak, mereka punya pengaruh yang cukup
besar padaku."
"Teladan yang sulit ditiru, itu sudah pasti."
Setelah dia pergi aku menyalakan rokok dan menghabiskan
cangkir kopi keduaku lalu mandi, berpakaian, dan mengambil
dokumenku. Buku Kuitansi Tunjangan dan Jurnal Pencarian Pe­
kerjaan. Yang kedua benar-benar konyol, laporan pengiriman la­
maran kerja, tiga lamaran per hari, atau departemen akan meng­
hentikan wnjanganku. Dan karena lowongan kerja amat terbatas,
aku melakukan hal yang sama dengan semua orang yaitu ber­
bohong habis-habisan. Setengah nama perusahaan yang tertulis
di sana tak lebih dari khayalanku semata.
Aku memotong jalan melalui taman. Angin bulan Januari di­
ngin menggigit, kukancingkan kerah baju dan kubenamkan ta­
ngan dalam-dalam di saku. Di kejauhan, melewati batas per­
kotaan, laut terhampar kelabu dan murung. Untuk kesejuta
kalinya aku berharap sedang berada di atas kapal, berlayar me­
nuju matahari terbenam. Di sini tak ada apa-apa untukku, tak

227
ada apa-apa untuk siapa pun, para investor mulai meninggalkan
wilayah barat daya lnggris dan kembali ke London dengan se­
mua uang mereka.
"Halo:· Aku mengangkat ponsel dan menyebutkan namaku.
"Dengan siapa saya bicara?"
"lni Susie dari Temp Power:'
"Oh, ya:·
"Kau menaruh namamu di daftar tunggu kami."
"Tentu saja, ya:'
"Kami punya beberapa lowongan di Royal House:'
"Yang di dekat stasiun kereta?"
"Benar sekali. Akibat kerusakan rel yang disebabkan badai
musim dingin, mereka dibanjiri keluhan pelanggan:'
"Begitu:·
"Jadi kau akan menerima telepon serta menjawab surat dan
e-mail. Bagaimana?"
Temp Power berada di pusat kota dan aku nyaris berlari ke
sana karena takut orang lain akan mendapatkan pekerjaan itu
sebelum aku. Aku melesat melewati pintu, resepsionis sedang
berbicara di telepon dan dia memberiku isyarat untuk duduk
sebentar. Jadi kuturuti permintaannya lalu lima menit kemudian
seorang wanita berambut pirang dan bermata biru duduk di
sampingku.
"Astaga, dingin sekali di luar:·
"Setu;u:•
"Aku baru pulang dari Turki dan cuaca seperti ini sungguh
menyiksaku."
"Jadi, apa yang membawamu kemari?"

228
"Mencari pekerjaan, tolol." Dia memutar bola mata. "Untuk
apa lagi aku berada di biro tenaga kerja?"
"Entahlah, mungkin kau kemari untuk membersihkan toilet."
Dia memperkenalkan diri sebagai Kathryn dan aku bertanya
mengapa dia bertandang ke Turki. Kathryn menuturkan bahwa
dia mengajar bahasa lnggris di sana. Namun sekarang peraturan
tenaga kerja berubah dan dia harus mengikuti kursus Cam­
bridge, yang akan memungkinkannya bekerja hampir di semua

tempat di dunia. Aku menjelaskan bahwa nasibku sama dengan­


nya dan musim panas ini mungkin akan menjadi musim panas
terakhirku bersama ACE.
"Aku juga pernah bekerja untuk mereka:·
"Yang benar? Kau kenal Karim Abdullah?"
"Kedengarannya seperti nama teroris. Bagaimana dengan
Toby Simmons atau Andy Dawson?"
"Rasanya aku tahu Toby. Pria tinggi besar dengan rambut
model dreadlock?"
"Kami pernah berhubungan singkat beberapa tahun lalu."
"Oh begitu." Entah mengapa aku merasakan sentakan rasa
cemburu. "Sepertinya dia guru yang bagus:'
"Kau bercanda, Bung? Hampir sepanjang waktu dia teler."
"Aku tak menyadarinya:'

"Kau bukan perokok, ya?"


"Rokok biasa?"
"Rokok satunya:'
"Oulu iya, sepanjang waktu, tapi tidak lagi:'
"Senang mendengarnya. Aku lebih memilih vodka apa pun
yang terjadi:'

229
"Sebenarnya aku sempat mulai lagi, tapi langsung berhenti
lagi."
"Kok bisa begitu?"
"Yah, kurasa aku memulainya karena bosan, tapi aku ber­
henti karena mengonsumsinya membuatku kacau. Waktu muda
dulu rasanya tidak terlalu buruk, tapi sekarang banyak yang
telah terjadi dan aku meninjau kembali hidupku dan terlalu
berintrospeksi ... "

"Mmm hmm."
". . . hampir tidak mungkin rasanya membuat pikiranku ber­
henti berputar. Aku ingat waktu baru lulus kuliah, rasanya se­
perti mimpi buruk, segala hal tentang teori kritis itu dan aku
benar-benar gelisah ... "
"Mmm hmm."
"... kurasa aku hanya kecewa karena aku punya gagasan be­
sar tentang menjadi seorang akademisi tapi kenyataannya jauh
berbeda."
"Kathryn Daniels?"
"Sebentar, itu aku." Dia menghampiri meja resepsionis dan
kembali sesaat kemudian dengan formulir aplikasi. "Rupanya aku
mesti mengisi formulir ini lalu mengikuti ujian penempatan:·
"Tenang saja, mudah sekali kok, mereka memberikan ujian
yang sama untuk semua orang:•
"Bahkan pembersih toilet?"

* * * * *

"Sebenarnya, Bu, menurutku pekerjaan ini sangat menarik:'

230
"Aku yakin kau akan menganggap pekerjaan apa pun me­
narik setelah menganggur selama empat bulan terakhir:'
"Kau takkan percaya hal-hal yang dikeluhkan orang. Kami
pernah menerima e-mail dari seorang wanita yang menumpah­
kan kopi ke tangannya:'
"Aduh."
"Ya, aduh:' Aku menyalakan rokok. "Dia bilang petugas pras­
manan tidak memperingatkan kalau kopinya panas. Betapa ko­
nyolnya itu?"
"Sayangnya itu bukan hal baru, kau mesti melihat beberapa
gugatan malpraktik yang harus dihadapi para dokter kami. Tak
ada orang yang mau disalahkan atas kemalangan mereka sen­
diri."
"Persediaan mora.litas sepertinya sangat terbatas."
"Oh, aku bisa bicara panjang lebar soal itu, Nak. Kau
tahu, salah satu anggota parlemen kita menggunakan uang
negara untuk membayari apartemen penthouse kekasihnya. Buat
apa kita repot-repot bayar pajak kalau hanya mereka habiskan
untuk itu?"
"Aku pernah baca beritanya:·
"Kita memilih orang-orang ini untuk memimpin kita tapi
seperti ini tingkah laku mereka? Dan saat akhirnya ketahuan,
mereka bahkan tak punya kesopanan untuk minta maaf."
"Yah, Bu, seperti yang pernah dikatakan Jonathan Swift,
'Aku tak pernah heran melihat orang berbuat jahat, tapi aku
sering heran melihat mereka tak punya malu:"
"Ugh, betapa menyedihkan, sulit sekali meyakini apa pun
belakangan ini:'
Sifku berakhir satu jam lalu dan aku datang ke rumah lbu

231
untuk makan malam, karena pacamya sedang berlibur di Kuba.
Ada pesta ulang tahun seorang rekan kerjaku yang kemayu
dan kebetulan tempatnya tak jauh dari sini, jadi kupikir aku
bisa makan di sini lalu mandi dan mengganti baju dengan pa­
kaian santai. Pestanya mulai pukul tujuh dan aku sudah mem­
buat janji untuk bertemu Kathryn di sana sekitar pukul sete­
ngah delapan.
"Sepertinya kau tidak terlalu yakin dengan hubungan ini."
"Yah, Bu, sejarah hubungan asmaraku tak bisa dibilang ba­
gus."
"Menurutku kalau di awal saja sudah serumit ini, mungkin
tak layak untuk dilanjutkan."
"jadi, situasinya berbeda untuk lbu dan pacar lbu?"
"Saat kau semakin tua, prioritasmu berubah:'
"Soalnya kau selalu memberi kesan bahwa hubungan as­
mara harus penuh gairah di awal masa pacaran. Tapi itu tak
pernah benar-benar terjadi padaku:'
"Memang idealnya begitu, bukan?"
"Mungkin idealnya begitu, tapi bukan itu yang kutanyakan."
"Entahlah, Nak:'
"Karena ada fantasi yang terbentuk mengenai apa yang se­
harusnya terjadi. Lihat saja dongeng-dongeng kita, film-film
yang menyertai masa kecil kita, semua ilusi tentang cinta ro­
mantis yang menggambarkan bahwa kau akan bertemu seorang
putri jelita dan memikat hatinya serta semua omong kosong
itu."
"Aku rasa itu satu cara untuk memandangnya."
"Apakah pernah seperti itu yang kau alami?"
"jawaban apa pun yang kuberi tidak akan memperbaiki ke-

232
adaanmu. Aku tak senang melihatmu begitu tak bahagia."
"Hubunganmu dengan Mike juga seperti itu selama ber­
tahun-tahun dan kami semua menyaksikannya. Hubungan kami
baru beberapa bulan, apa salahnya bertahan untuk sementara?"
"Baiklah, kalau memang itu yang kauinginkan. Aku hanya tak
mengerti mengapa kau menginginkannya."

Sebenarnya aku juga tidak mengerti. Kathryn wanita yang


sulit, tak mau berkomitmen da.n penuh rahasia, dan aku sudah

merasa tak nyaman sejak pertama kali kami berkencan. Minat


kami hanya sedikit yang sama, kami berselisih tentang banyak
ha.I, dan yang jelas hubungan kami sepertinya tak punya masa

depan. Namun entah mengapa aku merasa tak mampu ber­


pisah, seakan-akan ada tangan tak kasatmata yang menahanku
tetap di tempat.

Setelah mandi dan berpakaian aku mencium ibuku dan ber­


jalan sejauh lima menlt ke rumah Trevor. Dia menyambutku
dengan anwsias dan Kathryn sudah ada di sana dengan sebotol
cider setengah kosong di tangan. Aku mengomentari bajunya
yang cantik dan dia menuduhku hanya menggombal. Aku mem­
buka sekaleng bir dan menyalakan rokok lalu berkeliling, mem­

perkenalkan diri pada tamu-tamu lainnya.


"Hei, Trevor sedang membacakan garis tangan di bawah."
"Aku tak percaya ramalan:' Beberapa jam telah berlalu dan

aku sedang menikmati kaleng bir keempat atau kelima. "Tapi


aku tahu Kathryn suka:'
"Suruh dia mencoba."
"Kalau dia pernah keluar dari kamar mandi:'
"Hei, aku tidak tuli, Bung:' Dia berseru dari balik pintu.

233
"Tunggu saja aku di bawah:'
"Oke, Sweetheart, tak usah marah-marah."
"Jangan panggil aku Sweetheart, aku bukan boneka Barbie:•
"Dia mabuk. pacarmu itu:· Seorang tamu lain mengikutiku
menuruni tangga dan menghentikanku sebelum mencapai ruang
tamu. "Kalau jadi kau, Bung, aku akan buru-buru membawanya
keluar dari sini, dia sudah membuat jengkel beberapa orang:•

"Bicara sih mudah."


"Yah, dicoba saja, oke?"
Tak lama kemudian Kathryn turun dan Trevor bersedia
membacakan garis tangannya lalu meminta Kathryn duduk di
kursi berlengan dekat jendela. Sebagian besar tamu sudah ma­
buk saat itu dan suasana cukup berisik. Kathryn meminta
semua orang diam agar dia bisa mendengar perkataan Trevor.
Trevor memulai dengan pidato pendek bahwa dia mewarisi
bakat tersebut dari neneknya dan bahwa dia tak mau disalah­
kan jika sampai mengungkapkan sesuatu yang tak ingin dide­
ngar Kathryn.
"lya, iya, tak usah serius begitu, Bung:•
"Oke, Say, kau yang tanggung risikonya:•
"Ayo mulai kalau begitu:•
"Kau punya, coba kulihat, kau punya satu kakak perempuan
dan dia hampir setahun lebih tua darimu."
"Setengah tamu di sini bisa memberitahumu soal itu:•
"Dan orangtuamu sedang menga.lami masa-masa sulit saat
• • tt
IOI.

"Baiklah, lumayan juga."


"Kau lebih dekat dengan ayahmu ketimbang ibumu:·
"Oke, itu benar aku rasa."

234
"Ayahmu sangat mendambakan anak lelaki. Dia tak terlalu
kecewa waktu kakakmu lahir karena dia pikir mungkin dia
bakal mendapat kesempatan kedua:'
Ruangan kini sunyi senyap.
"Siapa yang memberitahumu?"
"Dia kecewa waktu kau lahir dan membesarkanmu seperti
anak lelaki:'
"lni lelucon, yar'
"Semua perjalanan berburu itu, mengajak anjing-anjing ber­
jalan-jalan, membantunya menyimpan perkakas waktu dia pulang
kerja. Dan sekarang tak ada lelaki yang bisa menandinginya. . ."
"Oke, sudah cukup."
". . .dan kau tak membiarkan siapa pun dekat denganmu . . ."
"Aku bilang sudah cukup."
". . .sebenarnya ibumu curiga kau lesbian dan dia mengira
mungkin ayahmu ... "
"Persetan denganmu:' Dia membebaskan tangannya dan me­
nampar wajah Trevor. "Kau tak tahu apa-apa tentang aku, tak
seorang pun dari bajingan-bajingan seperti kalian yang tahu:·

235
"
J;...ku tak mengerti kenapa kau senang minum:"'
"Yah, Karim, mungkin karena aku merasa bersalah:'
"Bersalah kenapa?"
"Bersalah karena minum:·
"lni dari buku The Little Prince, benar?"
"Pengamatan yang tajam." Aku meraih ke samping bangku,
mengambil kaleng bir lagi dan membukanya. "Buku hebat."
"Minum-minum sepertinya cara yang mahal untuk kehilangan
martabat."
"Kalau menurutmu aku payah, kau harus bertemu pacarku:·
"Aku tak yakin aku ingin bertemu dengannya."
lni musim panas keempat kami bekerja bersama-sama di
wilayah London. Setiap bulan Agustus kami mengatur agar be­
kerja bersama selama dua minggu untuk bertukar cerita ten­
tang yang terjadi dalam setahun dan kubayangkan pasti sulit
bagi Karim melihatku berada di situasi yang tidak membahagia-

236
kan. Kebiasaan minum dan merokokku makin menjadi-jadi dan
aku kehilangan joie de vivre9, itu istilah yang dia gunakan.
"Sudahlah, tak ada gunanya membujukku berhenti minum:'
"Aku punya kewajiban untuk melakukannya. Kitab Suci Al­
Quran menganjurkan kami untuk menyampaikan kebenaran."
"Menurutku, kitab itu menganjurkan banyak hal. Seperti
terorisme, penindasan terhadap perempuan, dan menghujat ke­

yakinan orang lain:'


"ltu bukan perintah Tuhan, itu interpretasi manusia."
"Yah, kenapa Dia menurunkan kitab yang begitu ambigu?"
"Aku tak berhak mempertanyakan:'
"Oh, jawaban yang mudah sekali."
"Mungkin bisa membantu jika kau memandangnya seperti
ini:' Dia menepukkan tangan ke lutut. "Kami diajarkan bahwa
beberapa bagian dari Kitab Suci Al-Quran bisa menimbulkan
interpretasi yang berbeda-beda, jadi itu bukan hal baru bagi
Muslim yang taat. Tapi bagian-bagian terpenting sangat jelas dan
bagian-bagian yang tidak begitu jelas bukanlah yang terpenting:•
"Begitu, ya?"
"Ya, begitu. Aku bukan orang yang suka mengada-ada. Yang
tadi ingin kukatakan adalah, hanya Tuhan yang mengetahui mak­
na sebenarnya dari hal-hal yang dianggap multitafsir dan hanya
Dia yang dapat menilai apakah interpretasi kita salah. Sebagai
Muslim kami harus selalu berusaha dekat dengan-Nya saat
membaca Kitab Suci Al-Quran. Dengan begitu, bagian-bagian
yang tak jelas menjadi sarana untuk menguji hati kami."
Kami duduk beberapa lama lagi, keheningan hanya dipecah-

9
Ungkapan dalam bahasa Prancis yang berarti semangat untuk menjalani hidup.

237
kan oleh kertak rokok dan tegukan birku. Aku memikirkan
akhir musim panas dan kursus Cambridge yang kudaftar ber­
sama Kathryn beberapa bulan lalu. Rencana kami adalah pergi
ke luar negeri dan melakukan perjalanan, mengajar setahun di
sini, setahun di sana, sambil berusaha menabung penghasilan
kami.
"Bagaimana putrimur''
"Maksudmu putraku?"
"Ya, aku selalu tertukar dua kata itu."
"Dia baik-baik saja."
"Bagaimana perasaannya saat tahu kau akan pergi jauh?"
"Aku belum bilang apa-apa, tapi tak ada yang bisa kulakukan
untuknya kalau aku tetap di sini:'
"Kau bisa jadi ayahnya:•
"Dan mengurusnya setiap dua akhir pekan sekali, tanpa cu­
kup uang bahkan untuk sekadar membelikan sepatu baru?"
"Yah, kau punya uang untuk kursus mengajar ini."
"Dari kartu kredit yang hanya mampu kulunasi kalau aku
mendapat pekerjaan yang layak." Kujatuhkan rokok ke tanah
dan menggerusnya dengan tumit sepatu. "Omong-omong, siapa
yang memintamu jadi penasihat moralku? Kau tak tahu seperti
apa rasanya berada di posisiku:·
Dan ini bisa dibilang menandai akhir dari percakapan. Karim
kembali ke gedung asrama untuk memastikan para siswa
sudah berada di kamar mereka sementara aku tetap duduk
di bangku yang menghadap lapangan kriket. Sejak hari ke­
lahiran putraku, beban rasa bersalah begitu menekanku. Selain
itu, aku selalui dihantui perasaan bahwa cinta seorang ayah
seharusnya muncul secara otomatis dan karena tidak merasa-

238
kan pengalaman seperti itu, entah bagaimana aku bukanlah
manusia yang utuh.
Matahari telah beranjak ke peraduan, udara sejuk, dan ta­
ngan-tangan musim gugur perlahan mencengkam leher musim
panas. Aku mencoba menelepon Kathryn tapi seperti biasa dia
tidak menjawab, terlalu sibuk pergi berpesta dengan teman­
temannya untuk menyisakan sedikit waktu buatku. Di kejauhan

terdengar lolongan anjing dan aku menyalakan rokok lagi ke­


mudian membuka kaleng bir terakhirku.

** * * *

Pada pertengahan Oktober kami hampir menyelesaikan kursus.


Karena tempat kursus berada di luar kota, bibiku meminjami
kami mobilnya dan kami harus bangun pagi-pagi untuk me­
nempuh perjalanan sejauh satu jam. Kursus tersebut amat
intensif dan mereka sudah memperingatkan kami sejak hari
pertama bahwa kami akan lelah secara fisik maupun mental
pada akhir kursus. Tapi tak satu pun dari kami yang menang­
gapinya dengan serius, baru sekarang kami menyadari bahwa
mereka tidak berbohong.
"Ya Tuhan, satu hari lagi berlalu."
"Rasanya sudah berminggu-minggu aku tidak tidur."
"Observasi terakhir itu benar-benar mimpi buruk."
"Kejadian lagi. Jangan pernah bertanya pada siswa apakah
mereka sudah paham."
"lni bukan akhir dunia, tinggal empat hari lagi."
"Mereka selalu menjawab sudah, padahal belum:·
"Kelasmu hebat, Kathryn."

239
"Yeah, kau benar-benar menguasainya."
"Aku memang berbakat, memangnya kalian belum tahu?"
Aku mengamati Kathryn selagi kami berja.lan menuju mobil,
masih berbinar-binar menerima semua pujian itu, dan hatiku
terasa mencelus begitu dalam. Kelasku sendiri sama sekali jauh
dari sempurna, si penyelia banyak mengkritik dan yang benar­
benar kuinginkan adalah Kathryn meyakinkanku bahwa semua

akan baik-baik saja. Tapi dia malah berkata dia hanya bisa fokus
pada aktivitas mengajarnya sendiri dan bahwa aku harus me­
nelan kritik tersebut serta mencari jalan keluar sendiri.
"jadi, spageti untuk makan malam."
"Ayahku butuh banwan mengerjakan faktur-fakturnya."
"Baru sekarang aku mendengar alasan itu:· Kunyalakan me-
sin mobil, memasukkan gigi, dan kami melaju pergi dari tempat
kursus. "Aku sudah membeli bahan-bahannya:'
"Oh mula.i deh, muka kecewa itu lagi:'
"Yah, apa yang kauharapkan?"
"Di Indonesia nanti, kita bakal bersama-sama terus setiap
hari."
"Kau membuatnya terdengar seperti hal yang buruk:'
"Dengar, sebaiknya kita jangan membuang waktu untuk ini."
Dia mengeluarkan dan menyalakan dua batang rokok lalu
memberikan sebatang kepadaku. "Lebih cepat kau menyadari
kalau aku boleh berubah pikiran, semakin mudah bagi kita ber­
dua."
"Baiklah." Aku hanya tak punya energi untuk berdebat.
"Lupakan saja kalau begitu."
"Kau tahu itu masuk akal:'
"Tak sabar menunggu tanggal lima November."

240
"Sayang lokasinya bukan di Jakarta, kota kecil itu membo­
sankan."
"Yah, karena itu satu-satunya pekerjaan yang butuh dua
guru, kita tak punya banyak pilihan."
Jalan perdesaan dengan segera berganti menjadi wilayah
pinggir kota, lalu perkotaan, dan kami tiba di rumah Kathryn.
Kami minum kopi dan aku berjanji akan menjemputnya besok

pagi. Kemudian, bukannya pulang untuk membuat spageti, ya.ng

pasti takkan terasa enak jika dimakan sendirian, kuputuskan


saja mengunjungi bibiku selama beberapa jam. Masih ada per­
siapan pelatihan yang mesti kukerjakan, tapi melihat wajah yang
ramah sepertinya lebih mendesak.
"Jadi, bagaimana kabarmu?"
"Benar-benar pekerjaan yang melelahkan:·
"Kathryn atau pelatihannya?"
"Dua-duanya, sebenarnya." Aku duduk di depan meja dapur
dan menyala.kan rokok. "Tapi saat ini memang banyak tekanan
jadi tidak heran kalau dia bertingkah agak serampangan."

"Kau sungguh mirip ibumu, sangat pemaaf:'


"Menurutmu lbu bahagia?"
"Aku rasa dia merasa nyaman:·
"ltu lebih balk daripada tidak sama sekali."
"Semakin tua usiamu, prioritasmu berubah:'

"Sekarang siapa yang mirip ibuku?" Aku tertawa tapi terasa


dipaksakan. "Kau tahu, aku sering bertanya-tanya apa yang se­
benarnya terjadi antara dia dan Ayah."
"Terlalu banyak keinginan, itu masalah ayahmu. lbumu harus
berkano menyusuri sungai yang deras la.lu menit berikutnya

241
mesti memasak sajian tiga hidangan. Dan seperti banyak orang,
ayahmu menyalahartikan kebaikan ibumu sebagai kelemahan:'
"Salah besar."
"Dan itu tepatnya yang dilakukan Kathryn terhadapmu."
"Entahlah, hanya saja kalau kuingat-ingat, sepertinya aku tak
pernah memberi cukup waktu untuk semua hubunganku di
masa lalu. Begitu ada masalah, aku langsung pergi:'
"Dengan Amy tidak begitu."
"Yah, dia hamil, jadi kurasa situasinya berbeda."
Kami mengobrol beberapa lama dan dia memintaku me­
ngunjungi Kakek-Nenek sebelum aku pergi. Saran yang menye­
balkan menurutku, karena aku mengunjungi mereka sama ru­
tinnya dengan dia. Kemudian dia membuatku semakin jengkel
dengan meramalkan bahwa keadaan akan semakin buruk di
Indonesia dan aku bakal pulang sebelum satu tahun. Aku me­
ninggalkan rumahnya dengan suasana hati yang buruk dan
mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi saat pulang ke
rumah Mike. Kami berbagi spageti serta tiga setengah botol
anggur.

242
1'.ami disambut di bandara Soekarno-Hatta oleh wanita ber­
usia akhir dua puluhan bernama Nurul. Dia bertubuh kecil dan
langsing dengan gigi agak tidak rata dan aura melankolis yang
sepertinya lebih cocok dimiliki seseorang yang lebih tua dan
lebih bijak. Kami berbasa-basi saat berjalan keluar dari bandara
sambil menghindari serbuan sopir taksi yang berusaha mem­
peroleh penumpang. Dan setelah dua jam kami akhirnya me­
luncur di jalan yang lengang, bebas dari kemacetan Jakarta.
"Ya Tuhan, aku capek sekali:'
"Astaga, Kathryn, kau tldur hampir sepanjang penerbangan:•
"Aku tidak tidur, aku hanya memejamkan mata."
"Jadi, aku duduk di sana, bosan setengah mati, padahal se­
benarnya aku bisa mengobrol denganmu?"
"Kata sopir mungkin dua jam lagi:' Nurul menoleh ke bela­
kang dan menyunggingkan senyum minta maaf. "Kita bisa ber­
hentl untuk makan, kalau kalian mau."

245
"Di e-mail yang kaukirimkan untuk kami, tertulis tiga jam
perjalanan:'
"Maaf, Kathryn, jalanan padat sekali:'
"Bukan Nurul yang mengirim e-mail itu, tapi Simon, Di-
rektur Pendidikan."
"Sama saja, Bung:'
"Bagaimana bisa begitu?"
"jangan mulai, aku sedang tidak kepengin."
Indonesia melesat di luar jendela selagi kami mendaki me­
masuki daerah pegunungan dan aku takut sekaligus gembira.
Takut lantaran sopir membanting kami di setiap kelokan dan
menyalip para pengguna jalan lain seakan-akan kami sedang
mengikuti balap maut. Dan gembira melihat keindahan peman­
dangan, wajah-wajah penuh senyum di pinggir jalan serta de­
retan toko kecil dan restoran yang mengiklankan makanan
yang belum pernah kudengar, apalagi kucicipi.
Sesekali aku mengobrol dengan Nurul tentang sekolah, kota
yang kami tuju dan detail-detail kontrak kami. Dia menjelaskan
bahwa dia akan menjadi penghubung kami dan membantu jika
ada apa pun yang kami butuhkan. Dia juga menyinggung me­
ngenai budaya lokal, a.pa yang boleh dan tidak boleh kami laku­
kan untuk menjaga sopan santun. Lama-kelamaan aku terlelap.
Aku sedang berenang untuk menyelamatkan seorang anak don
dapat kurasakan tekanan air pada gendang telingaku.
". . . selalu bicara dalam tidurnya. . . "

"...m1 hoteI kal.1an "


. · . • •

". . . ayo, bangun:• Ada tangan yang mengguncangkan lengan


atasku. "Kita sampai."

246
"Ugh, maaf' Aku mengecek jam di ponsel dan sekarang
pukul setengah empat sore. "Ya Tuhan, aku haus sekali."
"Kami sudah menyiapkan makanan dan minuman di kamar
kalian."
"Bagus sekali, terima kasih, Nurul."
"Berapa lama kami akan tinggal di sinir'
"Menurut e-mail Simon, beberapa hari:'

"Kami sedang menunggu guru sebelumnya meninggalkan


rumah." Nurul memandu kami ke dalam dan mendatangi meja
resepsionis. "Lalu akan kami bersihkan dan setelah itu kalian
bisa menempatinya:'
''Tak masalah bagiku."
"Sebaiknya ada air keran di sana, cuma itu yang ingin ku­
katakan:'
"Kita hanya di negara yang berbeda, Kathryn, bukan di abad
yang berbeda."
Setelah mendaftar di hotel, kami berterima kasih kepada
Nurul dan dia mengatakan bahwa Simon serta asistennya,
Wening, akan menemui kami besok pagi untuk tur keliling kota
dan meninjau tempat kursus. Setelah itu kami berpamitan lalu
pergi ke kamar kami dan mandi. Salah satu perasaan paling
menyenangkan saat tubuh segar dan bersih kembali setelah
perjalanan yang begitu panjang dan senang akhirnya bisa berada
di sini setelah perencanaan berminggu-minggu.
"Kita keluar sekarang?"
"Lumpia ini enak sekali."
"Terlalu berlemak untukku." Kathryn menunjukkan wajah
tidak suka. "Ayo, kita keluar dari sini:'
"Kau melihat ada supermarket di jalan tadi?"

247
"Ada satu tak jauh dari sini?'
"Bir dingin yang enak dan rokok, itu yang kubutuhkan:'
"Setuju:' Dia duduk di sampingku di tempat tidur dan mulai
mengenakan sandalnya. "Ada simpanan uang lokal atau kau su­
dah memberikan semuanya pada bajingan yang membawa tas­
tasku�"
"Aku bawa kartu debit?'

"Kalau tak salah ada mesin AT M di tikungan jalan."


"Yah, akhirnya kita sampai:' Kuulurkan tanganku dan meng­
usap rambutnya. "lni akan sangat menyenangkan:'
"Angkat tanganmu, nanti rambutku berminyak."
Kami meninggalkan kunci kamar di meja resepsionis dan
melangkah memasuki panasnya sore hari. Saat meninggalkan
area hotel dan menyusuri jalan raya, kami bagaikan diterpa tsu­
nami guncangan budaya. Orang-orang berteriak hey mister, hey
missus, hey bule, hey where are you going dan who is your name?
Klakson mobil menggelegar tanpa alasan, mesin motor meraung­
raung. dan ribuan pasang mata menatap kami lekat-lekat.
Semua itu sulit dipahami, sebab di negara kami sangat ti­
dak sopan jika menatap secara terang-terangan, dan lebih
tidak sopan lagi jika meneriaki orang. Membunyikan kla.kson
mobil menandakan hilangnya pengendalian diri dan biasanya
mengisyaratkan awal perkelahian atau perselisihan. Dan seperti
Anjing-anjing Pavlov kami melangkah menyusuri jalan, dipenuhi
kebingungan dan kemarahan, sembari berpikir seandainya kami
memilih tempat lain saja.

* * * * *

248
"Aku sudah muak, lima hari terakhir yang kumakan hanya nasi
goreng."
"Yah, apa yang kauharapkan, ham dan telurt'
"Maksudku, tidak ada variasi:'
"Mungkin ada, Kathryn, tapi butuh waktu untuk membiasa­
kan diri dengan hal-hal di sekeliling kita:' Saat itu pengujung
pagi dan kami berada dalam angkot menuju tempat kursus.
"lngat pesan ibuku, kita butuh tiga bulan penuh unt.uk terbiasa
dengan tempat yang baru."
"Kau dan ibumu, aku tak percaya kau sudah membujukku
datang kemari:'
"Kau bercanda? Aku sudah bertanya ratusan kali apakah kau
yakin."
"Hey driver, pull over!" Kami sudah tiba di tujuan. "Hey, are
you deaf? Pull over!''
"Kiri, kiri, Mas, makasih ya:•
"Monyet-monyet ini sama sekali tak mengerti bahasa
lnggris:'
Kami berjalan melewati gerbang menuju ruko dan masuk ke
tempat kursus. Nurul menyapa dari meja resepsionis dan kami
naik ke ruang guru untuk mempersiapkan kelas sore kami.
Simon ada di sana, empat puluh lima tahun dan berkepala bo­
tak, begitu pula Jaya, pria muda gemuk dengan kepala bulat dan
besar yang memberiku kesan kurang menyenangkan. Menurutku
dia terlalu lancang, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
amat pribadi dan memaksa mengambil foto kami sepanjang
waktu.
"Selamat pagi, Kathryn:'
"Selamat pagi, Jaya:·

249
"Kau tampak cantik hari ini:'
"Selamat pagi, Jaya."
"Selamat pagi, kau sudah coba roti bakar itu semalam?"
"Enak. tapi manis sekali."
"Orang Indonesia punya lidah sangat manis."
"Maksudmu gigi manis?"
"Kupikir lidah manis:'
"Mungkin kau menerjemahkan secara harfiah."
"Coba kutanya Wening kalau dia sudah datang:•
Bagaimana mungkin dia berpikir aku salah? Tentu saja ka­
dang-kadang kami membuat kesalahan, tapi aku penutur asli
dan terang-terangan meragukan ucapanku sepertinya sangat
konyol. Terpikir olehku untuk bertanya pada Simon tapi dia
sedang berada di planetnya sendiri, duduk di sana dengan ear­
phone terpasang, menjelajahi internet mencari barang-barang
elektronik murah. Jadi aku menggigit lidah, lidah manis-ku, dan
keluar untuk minum sebotol teh sambil merokok.
"Good morning, Sir."
"Good morning, Mas, how are you?"
"/ am fine." Satpam itu tersenyum. "Very hot today."
"Panas banget, ya?"
"Ya, panas banget. You can speaking Bahasa Indonesia?"
"Yah, lagi belajar."
"Bagus sekali kok:' Dia duduk di sampingku lalu menyalakan
rokok. "Wanita pirang itu ... "
"Kathryn?"
"Dia istrimu?"
"Ah, ya:·
"Dia bilang dia hanya rekan kerjamu:·

250
lni benar-benar situasi yang canggung bagiku. Tempat kursus
meminta kami berpura-pura sudah menikah, karena tinggal se­
rumah tanpa menikah akan dipandang negatif oleh siswa-siswa
kami maupun para tetangga kami. ltu tak masalah bagiku, bukan
kebohongan yang berbahaya, tapi Kathryn sama sekali tidak
senang sebab menurutnya itu akan menjadi simbol komitmen.
Namun akhirnya dia setuju dengan kesepakatan tersebut dan
kukira masalahnya sudah selesai.
Aku menegaskan bahwa satpam itu salah paham lalu kem­
bali ke tempat kursus untuk mencari Nurul. Dia tldak ada di
meja resepsionis dan kulihat salah satu pintu kantor terbuka
se<likit, maka aku menghampiri dan membukanya untuk menge­
cek apakah dia ada di dalam. Dan aku terkejut, sebab Nurul
tengah bersimpuh di atas sajadah, berbalut jubah putih halus
dengan rangkaian manik-manik di tangannya. Dia tampak begitu
tenteram di sana, bagai patung gading, dan sebelum aku sempat
mundur matanya mendadak terbuka.
"Maaf sudah mengganggu:·
''Tak apa-apa:'
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Tentu saja:'
"Apakah masalah besar kalau Kathryn dan aku tidak me­
nikah?"
"Kami menjaga reputasi lembaga kursus ini."
"Oke, tapi kami tetap bisa tinggal bersama seandainya
orang-orang sudah tahu yang sebenarnya?"
"Aku rasa bisa, tapi mereka takkan suka:'
"Tapi ini sebenarnya bukan urusan mereka:'
"Indonesia sangat berbeda dengan negara barat." Cara ber-

251
tuturnya tenang namun terus terang. "Orang tidak tinggal se­
rumah kalau belum menikah."
"Tapi bagaimana kalau mereka mendapati ternyata mereka
tidak cocok?"
"Mungkin bercerai, tapi itu sangat tidak dianjurkan:•
Sisa hari itu berlalu dengan cepat, diisi dengan membuat

perencanaan, mengajar beberapa kelas, istirahat untuk merokok,

dan mengobrol dengan guru-guru lokal. Jaya dan Wening pergi

membelikan makan siang untuk kami, gado-gado serta ke­


toprak, dan kuputuskan aku lebih suka yang kedua. Pedas,
gurih, tidak terlalu manis, salah satu makanan paling lezat yang
pernah kusantap. Setelah waktu mengajar berakhir; Kathryn dan
aku meminta sopir mengantar kami ke Cherries untuk minum­
minum usai bekerja.

"Kelas beginner-ku sungguh menyebalkan hari ini:'


"Tak apa, kita semua pasti pernah berperforma buruk di
kelas sekali-ka.li."
"Tak ada yang salah dengan performaku:·
"Oke:· Aku memesan botol bir ketiga dan menoleh ke
belakang pada sekelompok polisi mabuk yang sedang bermain
biliar. "Ada seorang gadis yang sangat menjengkelkan di kelas­
ku."
"Menjengkelkan bagaimana?"
"Menirukan suara-suara babi di belakangku:'
"Aku juga pernah dibegitukan:· Dia meneguk banyak-banyak
dari botolnya. "Jadi aku menyuruh mereka maju dan menirukan
suara-suara di peternakan."
"Oh ya?"

252
"Ya. Sapi, ayam, domba, babi."
"Kau mesti hati-hati, hal-hal seperti itu bisa membuatmu
mendapat komplain:'
"Mereka semua menganggapnya sangat lucu."
"Nurul bilang mereka takkan berterus terang di depan
kita:'
"Oh ya, percakapan rahasia dengan Mrs. Gigi Bengkok?"

"Lihat siapa yang bicara, bidadari kecil jaya."

"Tidak mungkin. Di matanya cuma ada Wening:'


"Mereka bakal jadi pasangan yang serasi."
"Wening rupanya sudah menikah:'
"Kau takkan mengira, melihat cara wanita itu memeluk Jaya
saat membonceng motornya."
"Kau tahu apa masalahmu?" Kathryn meneguk banyak-ba­

nyak minumannya. "Kau terlalu konservatif."


"Lebih baik begitu daripada terlalu permisif, apalagi di tem­
pat seperti ini. Aku jadi ingat, kenapa kau memberitahu satpam
kalau kita tidak menikah?"
"Karena kita memang tidak menikah, tolol:'
"Aku tolol, ya?" Kuulurkan tangan dan menjentik puncak
bahunya. "Komentar yang luar biasa, melihat yang bicara adalah
orang yang memakai atasan tanpa lengan padahal sudah diminta
secara khusus untuk tidak mengenakannya:'
"Jangan mulai, Bung:'
Ka.mi duduk-duduk di Cherries sampai tengah malam lalu
keluar ke jalan dan mulai berjalan pulang ke rumah. Beberapa
wkang ojek menawari kami wmpangan tapi kutolak karena kami
terlalu mabuk untuk membonceng motor. Kathryn berkata aku

253
mencoba merusak hidupnya dan sewaktu kami mampir di mini­
market setempat untuk membeli camilan, dia menuduh kasir
toko memberinya uang kembalian yang kurang lalu melempar
sekantong keripik singkong ke kepala gadis malang itu.

254
Ora-n<J-Ora-n<J Seperri
R.a.-u da.-n �ku

"
Soleh gabung denganmu sebentar?"
"Tentu:· Aku sedang berada di kantin kecil di seberang ruko
dan Nurul bersama Wening yang bertubuh pendek-berisi baru
saja muncul. "Silakan duduk:'
"Kau makan nasi rames?"
"Rupanya itu nama makanan ini:'
"Dan sambalnya tidak masalah bagimu?"
"Sambal?"
"Yang ini." Wening menunjuk pasta cabai di pinggir piringku.
"Banyak bule menganggapnya terlalu pedas untuk perut
mereka."
"Buie, hah? Apa kau tahu arti sebenarnya dari kata itu?"
"Orang asing:'
"Albino:· Aku menyesap teh manis panasku. "Bayangkan ka­
lau aku memanggilmu si hitam."

255
"Kami perlu bicara denganmu tentang sesuatu:·
"Oke, silakan Nurul."
"Kami mendapat keluhan dari tetangga-tetanggamu." Dia
merona dan memalingkan wajah sejenak. "Mereka mengirim
ketua RT untuk menemui kami kemarin."
"RT?"
"Rukun Tetangga, pemimpin warga di area perumahan:'
"Oh begitu, apa masalahnya�"
"Sebenarnya keluhan mereka lebih banyak tentang Kathryn."
Wening tampak hampir sama malunya dengan Nurul. "Me­
reka bilang dia mabuk sepanjang hari."
"Yah, memang agak berlebihan."
"Dan mereka bilang dia berisik."
"Baiklah, aku akan bicara dengannya nanti malam."
"Kau tidak marah?"
"Tidak juga." Aku lebih merasa malu dibandingkan pe­
rasaan lainnya, sebab tetangga-tetangga kami sepertinya
orang baik-baik. "Tak mungkin memperbaiki keadaan kalau
kami tak tahu apa masalahnya."
"Terima kasih."
"Kami sempat khawatir menyampaikan hal ini padamu."
Nurul tersenyum dan membenarkan letak cincin kawinnya,
yang kelihatannya terlalu kecil untuk jarinya. "Guru yang
terakhir sangat sensitif."
"Maksudmu Michelle?"
"Bukan, Alison, yang menempati rumah itu sebelum ka­
lian."
"Dia tidak suka di sini:' Wening mengerutkan dahi. "Ada­
ada saja yang dia keluhkan."

256
Mereka meninggalkanku untuk menyelesaikan makan
siang tapi selera makanku sudah lenyap. Meskipun Kathryn
memang selalu sulit dihadapi, namun beberapa minggu terakhir
aku terpaksa merasa khawatir setiap kali dia minum. Akhir
pekan lalu dia pergi sendirian dan baru terhuyung-huyung pu­
lang pada dini hari. Aku mendengarnya bicara di telepon de­
ngan ayahnya, mengatakan dia baru saja meninju seorang tu­
kang becak. Aku sempat berharap Kathryn hanya besar mulut,
karena dia selalu ingin membuat ayahnya terkesan, tapi se­
makin memikirkannya, semakin aku khawatir dia memang
mengatakan yang sebenarnya.
Matahari begitu panas membakar saat aku melangkah kem­
bali ke tempat kursus dan berdiri di luar sambil merokok,
bertanya-tanya baga.imana cara mengatakan masalah ini kepada
Kathryn. Aku menduga bahwa apa pun yang kukatakan akan
dia anggap sebagai serangan, entah dariku atau dari negeri ini
yang belum juga membuatnya betah. Situasi itu membuatku
kesal dan ketika melihat Simon berjalan ke arahku, kutarik dia
ke samping dan minta bicara dengannya sebentar.
"Kau sudah cukup lama tinggal di sini, bukan?"
"Beberapa tahun:·
"Pernah dapat keluhan dari tetangga?"
"Mereka sekumpulan orang yang selalu ingin tahu, itu sudah
pasti:' Dia memaksakan tawa. "Tapi kurasa mereka tak pernah
mengeluh tentangku:·
"Yah, tetangga-tetangga kami mengeluh tentang kami."
"Aduh."
"Atau lebih tepatnya tentang Kathryn dan kebiasaan minum­
nya:·

257
"Aku memang mengkhawatirkan hal itu waktu mewawan-
carai dia."
"Maksudmu?"
"Dia banyak bertanya tentang kehidupan ma.lam di sini:'
"Astaga." Kunyalakan sebatang rokok lagi. "Tadinya dia ke-
lihatan cukup senang untuk datang kemari."
"Aku bilang dia selalu bisa berkunjung ke Jakarta:'
Jadi itu sebabnya dia merecokiku selama ini. Bagiku, mem­
bayangkan akhir pekan bermabuk-mabukan di kota besar nyaris
sama menariknya dengan pencabutan gigi geraham bungsu. Se­
lain itu pasti akan sangat mahal, padahal aku harus berhemat,
dengan adanya tagihan CSA, kartu kredit, dan tunjangan untuk
putraku. Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin itulah yang benar­
benar dibutuhkan Kathryn. Bagaimanapun, tak semua orang
menyukai kehidupan yang tenang.
"Aku rasa kami bisa mencobanya:•
"Tiket kereta sebenarnya tidak terlalu mahal:'
"Trims, Simon, akan kubicarakan dengannya nanti malam."
"Coba cari di internet, hotel-hotel di sekitar Jalan Jaksa."
"Oke."
"Di sana juga banyak bar:·
"Dan turis-turis mabuk, orang-orang yang berlagak kebarat­
kebaratan juga, pastinya."
Sisa hari itu berjalan lambat. Perhatianku terpecah saat
mengajar dan murid-muridku pasti merasakannya karena me­
reka tampak lebih gelisah ketimbang biasanya. Kami membahas
perayaan agama dari seluruh dunia dan mereka bercerita pan­
jang lebar kepadaku tentang ldul Fitri, yang kudengarkan tanpa
terlalu antusias. Setelah waktu mengajar berakhir, sopir me-

258
nurunkan kami di supermarket dan kami bertengkar hebat
tentang jumlah bir yang harus dibeli.

** * * *

"Tapi mereka sendiri boleh berisik jam setengah lima pagW'


"Di sini memang wajar, itu waktu salat mereka:•
"Bukan hal yang wajar kalau berdiri di depan rumah dan
bicara sekencang-kencangnya sementara tetanggamu mencoba
tidur." Dia menghabiskan botol keduanya lalu menaruhnya di
meja ruang makan. "Dan bukan hal yang wajar membiarkan
anak-anak mereka main ayunan di pagar kita."
"Ya, itu memang mengganggu, tapi bukan masa.lah besar:•
"Bagimu mungkin begitu, kau selalu penuh semangat di pagi
hari:'
"Apa maksudmu, penuh semangat?"
"Kau selalu ingin mengobrol dan sebagainya waktu aku ma­
sih setengah tidur:·
"Demi Tuhan, bagaimana bisa kau selalu bersikap negatif?"
"Dan bagaimana bisa kau dengan menyebalkannya bersikap
positif? Berkeliaran dengan senyum tolol di wajahmu. Di sini
benar-benar payah, berhentilah berpura-pura bersikap sebalik­
nya:•
"Nenekku selalu bilang. . ."
"Ugh, kau dan nenek sialanmu."
Kathryn berdiri lalu beranjak ke kamar mandi. Kukosong­
kan asbak ke tong sampah dan menaruh botol-botol kosong
dekat pintu belakang. Persis seperti yang kucemaskan, Kathryn
menanggapi keluhan para tetangga sebagai serangan pribadi.

259
Dan aku bertanya-tanya apakah hanya dia, sebab Kathryn ham­
pir delapan tahun lebih muda dariku, atau seluruh generasinya
memang seperti itu. Tak berani bertanggung jawab atas tin­
dakan mereka, selalu mencari orang lain untuk disalahkan.
"Kau selalu mengoceh tentang keluargamu."
"Aku apa?"
"Keluargamu." Dia mengambil botol lagi di kulkas. "Mau
tambah minumnya?"
"Masih ada setengah botol."
"Lumayan lambat untuk ukuranmu:•
"Aku berharap kita bisa membereskan rnasalah ini dulu:·
Aku rnenyalakan rokok. "Omong-ornong, kau bilang apa tadi
tentang keluargaku?"
"Kau selalu mengoceh tentang mereka, seakan-akan kau tak
bisa rnelakukan apa pun tanpa merninta persetujuan mereka
dulu. Kata nenekku begini, rnenurut ibuku begitu, kakekku bi­
lang aku harus melakukannya dengan cara berbeda:·
"ltu karena mereka adalah faktor utama dalam hidupku:·
"Kau seharusnya rnencoba rnenjadi dirimu sendiri:'
"Jadi, sekarang aku bukan diriku sendiri?"
"Tidak kalau kau selalu rneminta nasihat pada mereka:'
"Tapi mereka bagian dariku." Aku rneneguk isi botolku.
"Dan aku bagian dari mereka. Bukan hanya dalam hal DNA
atau apa, tapi perilaku, karakter, disiplin, nilai-nilai moral:'
"Oh ini dia, nilai moral terkutuk lagi:'
Kami terus rninum dan berbicara, jam demi jam mulai ber­
lalu dan aku lega karni tak perlu bekerja keesokan harinya.
Masih ada enam botol bir di kulkas dan aku berharap Kathryn
akan cukup rnabuk untuk menurunkan pertahanannya, tapi

260
tidak terlalu mabuk sehingga kehilangan akal sehat. Kupelankan
suara musik dan menyalakan rokok lagi, lalu kujelaskan betapa
aku mengkhawatirkan dia dan betapa aku berharap dia bisa
rileks dan lebih menikmati pengalaman ini.
"Tidak, Bung, kau yang harus rileks. Sejak kita tiba di sini
yang kudengar darimu hanya 'terbukalah, bicara.lah kepadaku'
dan 'katakan bagaimana perasaanmu' dan semua omong kosong

itu . Asal kau tahu, tak semua orang ingin rnernbicarakan pe­
rasaan mereka. Kau sungguh menyedihkan."
"Ucapanmu agak kasar."
"Oh ya? Kalau begitu kenapa kau tidak tidur saja dan me-
nangis seperti minggu lalu?"
"Apa kau benar-benar tak ingat perkataanmu padaku?"
"Yah, aku hanya bisa memercayai omonganmu:•
"Oh benar, sanggahan basi itu lagi, ya? 'Aku mabuk, itu bu­
kan salahku, kau cuma mengada-ada supaya aku merasa ber­
salah.'"
"Jangan mulai, dasar nenek-nenek menyedihkan."
"Ornonganmu benar-benar kurang ajar."
"Tidur saja sana."
Kuhabiskan minumanku lalu pergi ke kamar mandi dan
buang air kecil. Benarkah aku menyedihkan? Seandainya masa
laluku dapat dijadikan acuan, maka jawabannya jelas iya. Aku
berulang kali menyia-nyiakan waktu dengan orang-orang yang
tak membalas perasaanku. Dan bukannya jujur pada diri sen­
diri serta mengakui bahwa aku bersama orang yang salah, aku
malah terus-terusan mengejar dengan harapan mereka tiba­
tiba menginginkanku sebesar aku menginginkan mereka.
"Kau tahu?"

261
"Apa, Bung?"
"Seharusnya aku tak mendesakmu terus."
"Senang mendengarnya:•
"Kau berhak mendapat ruang gerak:' Aku duduk di meja
dan menyalakan rokok lagi. "Jadi takkan ada pertanyaan lagi
tentang perasaanmu:·
"Syukurlah:'
"Tapi aku serius, menurutku kau harus minta maaf atas per­
kataanmu."
"Perkataan yang kuucapkan semenit lalu atau yang katamu
kuucapkan minggu lalu?"
"Kataku kauucapkan? Percayalah, kau memang mengucap­
kannya:·
"Yah:' Dia mengisap rokok dalam-dalam dan mengembuskan
asap dalam sulur tebal dan mantap. "Makan saja permintaan
maafmu, dasar anjing keparat:'
"Apa?"
"Kaudengar tadi:'
"Anjing, katamu?"
"Mmm hmm:•
"Baiklah, aku sudah mencoba bersikap baik padamu:• Ta­
nganku gemetar dan jantungku mencoba membebaskan diri
dari kungkungan tulang rusuk. "Tapi jelas tak ada gunanya:•
"Jelas sekali:'
"Kau ingin tahu sesuatu yang barangkali tidak disadari oleh
orang-orang sepertimu?"
"Katakan saja, kau toh tetap akan memberitahuku."
"Kau menganggap kebaikan sebagai kelemahan:·
"Oh, begitu, ya?"

262
"Ya, begitu. Dan kaupikir kau bisa bicara semaumu karena
orang-orang sepertiku terlalu lemah atau bodoh untuk me­
lawan. Masa.lahnya, Sweetheart, cara kerjanya sama sekali tldak
seperti itu. Orang-orang sepertiku sebenarnya kasihan pada
orang-orang sepertimu. Kami melihat kalian sebagai pribadi
yang rusak dan tak mampu mengendalikan diri dan kami me­
makluminya dan menutup mulut rapat-rapat, karena kalau kami

mengutarakan pendapat yang sebenarnya, mungkin kalian bakal


hancur."
"Pidato yang hebat, dasar anjing keparat."
"Oh, itu baru permulaan. Sekarang beralih ke Kathryn
Daniels, yang amat berpuas diri karena orangtuanya tetap ber­
sama sementara orangtua lainnya bercerai. Meskipun mereka
saling membenci dan hampir sepanjang pernikahan mereka
selalu bertengkar di depan dia dan kakak perempuannya. Jadi
dia tumbuh dengan semua kelainan saraf ini lalu kuliah umur
delapan belas tahun sementara ada orang la.in . . . "
"Oh, ini luar biasa."
". . .sementara ada orang lain yang mesti mencari nafkah.
Tapi dia tak pernah benar-benar merasa diterima dalam ling­
kungannya karena sesungguhnya dia adalah lelaki di dalam tu­
buh perempuan, walaupun dia tak pernah bisa mengakui kalau
dia tertarik pada sesama perempuan sebab itu akan meng­
hancurkan hatl ayahnya. Putrinya seorang lesbian? Tidak mung­
kin, dia akan memberinya cucu-cucu dan menetap di sebuah
rumah kecil yang indah, persis seperti ayah dan ibunya. jadi dia
berusaha membuat ayahnya bahagia sambil sesekali memacari
seorang pria yang kemudian dia perlakukan seperti sampah . . . "

"Oke, sudah cukup:'

263
"Benarkah? Kau boleh menghinaku sepanjang hari, tapi aku
harus langsung berhenti kalau kau bilang sudah cukup? Kau
meremehkan dan merendahkanku karena menganggap masa
lalumu lebih bersih dibandingkan aku. Ya, orangtuaku memang
bercerai tapi asal kau tahu, keadaannya bisa jauh lebih buruk,
aku bisa berakhir seperti dirimu andai mereka tetap bersama.
Dan ya aku sudah punya anak, dan ya aku meninggalkannya
waktu dia masih bayi, dan ya aku sudah merasa cukup bersa­
lah tanpa harus kautuding terus . . . "

"Kubilang cukup."
"Tak perlu menangis, aku hampir selesal. Jadi kaulihat, kaulah
yang tolol, Kathryn, bukan aku. Kau selalu bicara tentang apa
yang seharusnya dan tidak seharusnya kulakukan di masa lalu,
tapi masa lalu telah lewat dan tak mungkin lagi mengubahnya.
Yang dapat kita harapkan adalah berbuat sebaik mungkin untuk
masa kini dan itulah yang berusaha kulakukan, dengan atau
tanpa bantuan terkutukmu. Dan jangan sampai aku mengungkit
tentang tingkah lakumu di sini, kau membuatku malu menjadi
orang barat."

264
A..wa..l ya..n'J Sa..ru

belapan hari kemudian aku berada di mobil bersama Nurul


dan sopir kami, Yuda. Kami menuju area perumahan di pinggir
kota, tempat salah seorang guru sebelum kami tinggal. Lantaran
Kathryn dan aku tak mungkin lagi tinggal bersama, tempat
kursus harus mencari akomodasi baru untuk salah satu dari
kami. Diputuskan bahwa aku yang akan pindah kemari dan
berangkat ke kota setiap pagi dengan menumpang ojek.
"Aku benar-benar minta maaf atas semua hal yang terjadi:'
"Kita hampir sampai:' Nurul sepertinya tak mendengar
ucapanku. "Tinggal belok di sana."
"Oh bagus, ada toko yang menjual botol air dispenser:•
"Kami menyebutnya galon, kau bisa meminta pemilik toko
mengantarkannya ke rumahmu."
"Di rumah yang dulu aku selalu melakukannya sendiri:'
"Dan ini rumah ketua RT:'
Kami berbelok, Yuda memutar kemudi ke kiri dan kami ber­
ada di ja.lan kecil dengan barisan rumah di kedua sisinya serta

265
kumpulan pohon pisang di ujung jalan. Cantik sekali. Pada per­
tengahan jalan, di sisi sebelah kanan, berdiri sebuah rumah
mungil bercat jingga dengan pagar hitam tinggi di depan. Ha­
lamannya tak terawat, jendela-jendelanya kotor, dan Nurul me­
ngatakan sesuatu dalam bahasa Indonesia yang kuasumsikan
sebagai ungkapan ketidakpuasan atas kondisi rumah ini.
"Kelihatannya bagus:·
"Berantakan sekali:'
"Tak ada yang tak bisa diperbaiki dengan sedikit kerja ke­
ras."
"Mungkin harus lihat-lihat dulu sebelum kau memutuskan:·
"Baiklah." Aku turun dari mobil dan mencoba membuka
pagar. "Kau punya kuncinya?"
"Tolong sabar sebentar, ya:•
"lya, oke, lbu."
"Aku bukan ibumu."
Setelah pagar terbuka, kami menyusuri jalan setapak dan
masuk ke rumah. Yuda menyalakan rokok dan secara refleks
aku meraih rokokku sendiri, hanya untuk menyadari bahwa
sakuku kosong dan seharusnya aku sudah berhenti merokok.
Jika ingin memulai dari awal, aku harus membuat banyak peru­
bahan, dan merokok serta minum alkohol merupakan hal per­
tama yang harus disingkirkan. Bagaimanapun, seperti perkataan
Einstein, mengharapkan hasil yang berbeda dari percobaan yang
sama bisa dianggap kegilaan.
"Aku suka dapurnya, jauh lebih besar daripada rumah satu­
nya:·
"Kami bisa membawakan kompor gas yang baru."
"Yang ini kelihatannya baik-baik saja."

266
"Kotor sekali:'
"Kalau kompor ini ada di rumahmu sendiri, apakah kau
akan membuangnya dan membeli yang baru?"
"Tentu saja tidak."
"Jadi, kenapa kau mengira aku berbeda?"
"Biasanya orang barat itu rewel:'
"Bagaimana dengan guru yang tingga.I di sini sebelum aku?"
"Michelle? Yah, dia sudah sangat tua dan berpengalaman:·
Nurul kemudian bercerita tentang masalah-masalah yang
ditimbulkan sebagian besar guru asing pada tempat kursus ini.
Mereka mengeluh tentang kualitas tempat tinggal mereka, ten­
tang kebersihan dan kepedasan makanan lokal, tentang ku­
rangnya organisasi saat menjalani berbagai hal. Harus kuakui
bahwa yang terakhir itu juga kerap kukeluhkan, sebab kami
kadang-kadang diminta mempersiapkan acara khusus dalam
waktu yang keterlaluan singkatnya.
"Kami tidak terbiasa membuat rencana jangka panjang."
"Tidakkah menurutmu itu merugikan kalian, Nurul?"
"Kadang-kadang iya, tapi kau harus lebih fleksibel."
"Kalau melakukan sesuatu dengan terburu-buru, kami ter­
paksa mengorbankan kualitas."
"Kami tak keberatan, setidaknya kau menunjukkan sema­
ngat."
"Kurasa kita perlu menemukan keseimbangan, benar?"
"Setuju:· Dia memastikan Yuda ada di dekat situ lalu me­
nunjukkan kamar tidur kepadaku. "Kami akan menyervis AC­
nya:•
"Kau tahu kau aman bersamaku, bukan?"
"Oh ya, tapi kita tak boleh memberikan kesan yang salah:'

267
"ltu kuno sekali."
"Orang-orang senang bergosip:'
"Aku sadar itu." Kamar tidurnya lumayan, ranjang ukuran
double, satu lemari pakaian, satu nakas, semua terbuat dari
kayu gelap yang sama. "Entah apa saja yang mereka bicarakan
tentang Kathryn dan aku:•
"Dia sudah mengatakan banyak hal pada mereka."

Kami melihat-lihat bagian rumah lainnya lalu kembali keluar

dan siang hari berlalu dengan cepat. Di seberang jalan, se­


kelompok anak kecil berteriak hey mister lalu berlari menjauh
sambil berteriak-teriak. Aku mena.mpakkan wajah sedih dan
Nurul menyunggingkan senyum lembut di bawah matahari sore.

Kemudian Yuda membuka kunci mobil, aku menurunkan tas­


tasku dan meletakkannya di jalan setapak.
"Kau yakin mau tinggal di sini?"
"Kenapa tidak?"
"Lokasinya jauh, tidak ada angkutan umum dan kalau malam
gelap sekali."
"Michelle sepertinya baik-baik saja di sini."
"Dia wanita yang sangat kuat:'
"Aku juga wanita yang sangat kuat."
"Dasar konyol:' Nurul tersenyum lagi. "Kalau kau membeli
produk pembersih tambahan, bawa saja kuitansinya hari Senin:'
"Sudah, berhentilah mengkhawatirkanku, aku bukan anak
kecil:'
"Telepon saja aku kalau ada masalah:'
"Terima kasih banyak:' Aku membungkuk untuk mengangkat
tas-tasku. "Dan sekali lagi, aku minta maaf atas semua ini:'

268
"Tidak apa-apa, pasti menyakitkan bila suatu hubungan tak
berjalan dengan baik:'
Aku kembali ke dalam rumah, membongkar barang-barangku
lalu menonton DVD dan beberapa waktu kemudian membeli
semangkuk bakso dari pedagang keliling. lni malam Minggu per­
tamaku setelah bertahun-tahun tanpa bir dan rokok. Ada pe­
rasaan seolah-olah jutaan serangga berkerumun dalam tubuhku

selagi aku berbaring di tempat tidur dan mencoba tidur. Detak


jam alarm membuatku gila, maka aku membuka laci nakas
untuk menyingkirkan benda menyebalkan itu. Dan di sana ku­
temukan Kitab Suci Al-Quran.

* ** * *

"Halo:' Aku menjawab telepon di tengah kegelapan pekat.


"Siapa inW'
"lni aku. Kau terdengar mengantuk:'
"Sekarang jam empat pagi, Bu."
"Maaf, my love, hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
"Tidak terlalu buruk aku rasa, kecuali pemadaman listrik
. . ,,
mr.

"Ya ampun, sejak kapan?"


"Kira-kira empat puluh menit lalu:'
"Kau sudah di tempat yang baru?"
"Ya, syukurlah. Berat sekali tinggal di rumah yang lama:'
"Bisa kubayangkan." Dia terdiam sejenak dan batuk. "Apa
kau akan menepati kontrakmu?"
"Kalau tidak, aku takkan bisa membayar CSA:'
"Kathryn bagaimana?"

269
"Barangkali tidak, kau tahu seperti apa dia:'
"Tentu saja."
"Sepertinya dia menceritakan banyak kebohongan di tempat
kursus:'
"Jangan khawatir, my love, pikiran orang bisa berubah karena
pengalaman, bukan karena argumentasi:'
Kami berbicara beberapa lama lagi. Aku menanyakan kabar
keluargaku dan semua orang tampaknya baik-baik saja. Putraku
menginap di rumah lbu semalam dan menghabiskan sebagian
besar waktunya dengan menjelajahi Facebook, dan menurut lbu
dia semakin mirip saja denganku. Setelah pembicaraan kami
berakhir aku merayap ke kamar mandi, tersaruk-saruk dalam
kegelapan, panggilan salat berkumandang dan aku keluar ke ha­
laman, menatap langit nan luas.
Aku masih di halaman setengah jam kemudian dan beberapa
tetanggaku berjalan pulang dari masjid, menyapaku dengan ha­
ngat dan antusias. Ada sesuatu yang terasa benar tentang ritual
pagi mereka, seperti kakek-nenekku di kala fajar, mempersiap­
kan hati dan pikiran mereka untuk menghadapi hari yang men­
jelang. Lalu matahari terbit dan burung-burung bernyanyi dan
tiba-tiba aku merasa bahwa aku dibawa kemari untuk suatu
alasan.
Selama beberapa jam berikutnya aku membersihkan rumah
lalu mengirim SMS kepada Nurul, mengabarkan tentang pema­
daman listrik. Dia mengatakan aku perlu membeli pulsa untuk
meteran listrik, yang terpasang pada dinding di luar pintu de­
pan, dan beberapa toko di sekitar perumahan bisa mengerja­
kannya untukku. Yang kubutuhkan hanya nomor meter dan
pembayaran minimumnya adalah lima puluh ribu rupiah, jadi

270
beberapa menit kemudian aku sudah berdiri di luar toko yang
menjual galon air.
"Ha.lo:' Aku mengetuk kosen pintu dan seorang pria tua
keluar. Pria itu kecil dan botak, gerak-geriknya energik dengan
senyum yang hangat dan ramah. "Selamat pagi."
"Oh, selamat pagi juga:•
"Saya mau beli pulsa:·

"Ya, tentu saja boleh:' Matanya berbinar. "Pulsa untuk hand


phone?"
"Unwk rumah saya, pulsa listrik."
"Oh itu, menantu saya yang bisa pakai komputer:•
"Oke:•
"Sebentar." Dia menghilang ke belakang toko dan kembali
beberapa menit kemudian bersama pria seumuranku yang tam­
pak bijak. "lni Nasori."
"Halo:· Aku memperkenalkan diri. "Senang bertemu Anda."
"Dan nama saya Sukaryo:·
"Senang bertemu Anda juga."
"Silakan masuk, kau suka jahe?"
"Jahe?"
"jahe, eh, ginger."
"Jahe, ya, saya suka sekali:'
"Bagus, bagus, masuklah, lepas saja sandalnya di sana:•
Aku mengikutinya ke belakang, memasuki halaman dalam
kecil dengan meja kopi bundar berdaun kaca serta beberapa

kursi rotan yang semestinya sudah dibuang bertahun-tahun lalu.


Dia memberi isyarat agar aku duduk lalu dia beranjak ke da­
pur. Aku duduk di sana, mengamati sekelilingku, merasa a.mat

271
bahagia bisa hidup. Beberapa menit kemudian dia kembali de­
ngan dua cangkir minuman jahe panas yang melimpah-limpah
dari bibir cangkir.

"Terima kasih, Pak Sukaryo."

"Panggil Karyo saja:'


"Pak Karyo, minuman ini aromanya enak sekali, terima ka­
.
SIh" •

"Ginger, ginger."

"Jahe."
"Ya, jahe." Dia tersenyum lagi lalu menyesap minuman dari
cangkirnya. "Dalam surat Al-lnsan, disebutkan bahwa kita akan
minum jahe di surga:'
"ltu dari Kitab Sud Al-Quranr''
"Tentu saja:'
"Sebenarnya saat ini saya sedang membacanya."
"Alhamdulillah, kau bisa membaca bahasa Arab?"
"Yang saya baca terjemahan bahasa lnggris:'
"Ah, terjemahan." Dia menggaruk dagunya. "Kau tahu kata­
kata itu berasal dari Tuhan?"
Aku memang t:ahu. Karim pernah menuturkan tent:ang wah­
yu dan aku menganggapnya menarik tapi hanya secara abstrak.
Kata-kata dari Tuhan diturunkan sedikit demi sedikit selama
lebih dari dua puluh tahun, dengan perintah untuk menghafal­
nya kata per kata sehingga tidak dapat dipelintir dengan cara
apa pun. Tapi sampai sekarang itu hanya konsep bagiku dan
hanya dengan membacanya sendiri, aku mulai menyadari apa
sebenarnya yang diributkan orang.
"Menantu saya itu, pengetahuannya sangat luas:'

272
bahagia bisa hidup. Beberapa menit kemudian dia kembali de­
ngan dua cangkir minuman jahe panas yang melimpah-limpah
dari bibir cangkir.

"Terima kasih, Pak Sukaryo."

"Panggil Karyo saja:'


"Pak Karyo, minuman ini aromanya enak sekali, terima ka­
.
SIh" •

"Ginger, ginger."

"Jahe."
"Ya, jahe." Dia tersenyum lagi lalu menyesap minuman dari
cangkirnya. "Dalam surat Al-lnsan, disebutkan bahwa kita akan
minum jahe di surga:'
"ltu dari Kitab Sud Al-Quranr''
"Tentu saja:'
"Sebenarnya saat ini saya sedang membacanya."
"Alhamdulillah, kau bisa membaca bahasa Arab?"
"Yang saya baca terjemahan bahasa lnggris:'
"Ah, terjemahan." Dia menggaruk dagunya. "Kau tahu kata­
kata itu berasal dari Tuhan?"
Aku memang t:ahu. Karim pernah menuturkan tent:ang wah­
yu dan aku menganggapnya menarik tapi hanya secara abstrak.
Kata-kata dari Tuhan diturunkan sedikit demi sedikit selama
lebih dari dua puluh tahun, dengan perintah untuk menghafal­
nya kata per kata sehingga tidak dapat dipelintir dengan cara
apa pun. Tapi sampai sekarang itu hanya konsep bagiku dan
hanya dengan membacanya sendiri, aku mulai menyadari apa
sebenarnya yang diributkan orang.
"Menantu saya itu, pengetahuannya sangat luas:'

272
"NasorH"
"Ya, pengetahuannya luas:·
"Bahasa lnggrisnya bagaimana?"
"Ah, sayangnya tidak sebagus saya:•

273
"NasorH"
"Ya, pengetahuannya luas:·
"Bahasa lnggrisnya bagaimana?"
"Ah, sayangnya tidak sebagus saya:•

273
Per-rema..na..n

"
J adi, kau bakal mencari pacar baru?" Jaya mengunyah sepo-
tong cumi-cumi goreng. "Setelah Kathryn pergir'
"Aku belum terlalu memikirkan soal itu:'
"Pasti akan sangat mudah bagimu:·
"Mudah menemukan seseorang, mungkin, tapi tidak mudah
menemukan orang yang tepat.''
"Orang bule gampang saja dapat cewek:'
"Atau cowok."
"Kathryn bilang hubungannya dengan pria baru itu tidak
serius:'
"Jujur saja, aku sama sekali tak peduli soal itu:·
"Katanya kau membuat dia patah hati."
"Menurutku itu mustahil."
"Dan kau membawa pergi semua uangnya:•
Yang terakhir itu memang ada benarnya, karena aku sudah
membayari tiket pesawat Kathryn ke Indonesia dan berkeras
agar dia mengganti uangku sebelum pergi. Namun, aku tidak

274
berniat menjelaskannya kepada Jaya, sebab aku belum terlalu
mengenalnya. Dan meskipun aku sangat menghargai keramahan­
nya belakangan ini, semisa.I pergi ke restoran dengan motornya
seperti sekarang ini, tidak berarti aku ingin berbagi semua pi­
kiran dan perasaan pribadiku kepadanya.
"Boleh tanya sesuatu tentang agamamur'
"Tentu saja, sila.kan:'
"Dari pemahamanku, seorang Muslim harus salat lima kali
sehari."
"Dan kau ingin tahu kenapa aku tidak melakukannya?"
"Sebenamya bukan itu yang ingin ku. . . "

"Kau sangat tertarik tentang Islam?"


"Pastinya." Aku menggigit potongan babat. "Reputasi Islam
cukup buruk di negara barat:'
"Gara-gara teroris?"
"Yah, begitulah, tapi mengingat seperlima warga dunia adalah
Muslim, sepertinya persentase terorisme sangat kecil. Hanya
saja media barat selalu mendengungkannya, seakan-a.kan Islam
adalah iblis yang tak terbayangkan:·
"Kau tidak setuju?"
Jelas tidak. Beberapa minggu terakhir benar-benar telah
membuka mataku dan menegaskan kecurigaanku bahwa publik
barat sekali lagi telah disesatkan. Dan aku merasa sangat malu
karena tidak membaca Kitab Suci Al-Quran lebih awal, ber­
asumsi bahwa itu hanya naskah kuno yang tak relevan dan tak
punya tempat di dunia modern. Tetapi nyatanya Al-Quran sama
relevannya di zaman sekarang, mungkin bahkan lebih relevan,
seperti ketika diturunkan di zaman Nabi Muhammad.
"Jadi, bagaimana pendapatmu tentang guru yang baru?"

275
"Menurutku, Jaya, dia agak emosional:'
"Para siswa terus-menerus menanyakan Kathryn, dan ber-
tanya kenapa mereka harus diajar oleh George:'
"Aku yakin sebentar lagi mereka akan terbiasa dengannya:•
"Dia membuat semua orang stres."
"Ya, bahkan Nurul juga bilang begitu, padahal dia adalah satu
da.ri banyak orang paling tenang yang pernah kukenal:'
"Wening cerita padaku, George bertanya apakah aku dan
Wening pacaran."
"Aneh sekali:' Aku ba.ru saja menerima SMS. "Kenapa dia
berpikiran begitu, ya?"
"Siapa yang kaukirimi pesan?"
"Maaf?"
"Cewek, ya?"
Sebenarnya SMS itu dari Nasori, menanyakan apakah aku
jadi bertemu dengannya nanti malam. Dia berusaha mengajari­
ku segala hal tentang Islam, didampingi Pak Karyo yang mem­
bantu menerjemahkan, dan aku menghargai kebaikannya tapi
dia terlalu berapi-api dalam meyakinkanku tentang keindahan
Islam. Aku tak perlu dibujuk-bujuk, aku hanya butuh informasi
yang berkualitas, dan aku mampu menarik kesimpulan sendiri.
Bagaimanapun, Tuhan telah bersabda bahwa tidak boleh ada
pemaksaan dalam agama.
"Jadi, dari cewek, ya?"
"Kenapa kau ingin tahu?"
"Sahabat selalu berbagi segalanya:·
"Begitu."
"Jadi, dari slapa?"
"Sungguh, Jaya, kau harus berhenti mendesakku:·

276
"Tapi kau bakal cerita kalau sudah punya pacar?"
"Kurasa begitu:·
"Oke:· Dia menghabiskan teh lemonnya. "Kita minta bonnya
sekarang?"
Kami melaju menembus jalanan malam dan deru angin
terasa sejuk di kulitku. Arang pembakar sate tampak berpijar
di pinggir jalan. Orang-orang mengobrol, merokok, makan, dan

tidak menyadari kehadiran si bule dalam kegelapan, tidak me­


neriakinya atau meminta uang darinya. Lima belas menit kemu­
dian kami tiba di depan pagar rumahku. Aku berterima kasih
kepada jaya lalu menjabat tangannya dan dia melepas helmnya
dan bertanya apakah kami berteman.

** * * *

Minggu berikutnya aku duduk di lantai berubin hitam-putih da­


lam masjid di perumahanku. Dengan ketidakhadiran Pak Karyo
dan Nasori, yang sedang pergi ke Solo untuk urusan keluarga,
aku meminta Nurul membantuku menjadi seorang Muslim.
Orang-orang di masjid mengatakan mereka akan menyediakan
saksi, tapi Nurul dan Wening mengajukan diri untuk datang
guna memberi dukungan moral. Dan di sinilah kami sekarang,
dalam lingkaran yang hening. bersama beberapa pria tua yang
mengenakan busana Muslim.
"Assalamualaikum:•
"Wa alaikum salam."
"Bapak Haji Sulaeman."
"Bapak Sulaeman:• Aku menjabat tangan sang imam. "Senang
sekali bertemu Anda:•

277
"Dari mana Anda berasal, Amerikat'
"Dari lnggris."
"Ah, dari lnggris:' Dia menatap orang-orang yang hadir se­
akan-akan aku baru saja mengungkapkan sesuatu yang amat
penting. "Sudah berapa lama di Indonesia?"
"Sejak bulan November, jadi sudah hampir lima bulan."
"Anda senang di sini?"
"Sangat senang, orang-orangnya dan makanannya luar biasa:·
"Cuacanya?"
"Sangat panas, tapi tak masalah, di lnggris biasanya dingin
dan basah:'
"Kenapa Anda ingin masuk Islam?"
Aku terdiam sejenak, karena bahasa lndonesiaku terbatas.
Bukan berarti pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mu­
dah dalam bahasa apa pun, sebab di satu sisi ada banyak alasan
namun di sisi lain hanya ada satu alasan. Apa yang harus ku­
katakan kepadanya? Bahwa segala hal dalam Kitab Suci Al­
Quran masuk akal dan logis serta sesuai dengan pandanganku
sendiri mengenai moralitas? Bahwa sebagian besar Muslim yang
tinggal di sekitarku menjalani kehidupan yang begitu bersih dan
damai sehingga kerap kali aku merasa tak berharga di hadapan
mereka? Atau aku sebaiknya hanya mengucapkan kalimat syaha­
dat? lkrar yang jujur dan tulus bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan terakhirNya.
"Asy-hadu allaa ilaaha illallaah, wa asy-hadu anna Muham-
madar-rasulallah:'
"Kalimat syahadat?"
"Ya, benar:·
"Tunggu sebentar." Kerutan muncul di dahi lebarnya dan dia

278
mengusap kumisnya lalu berunding dengan orang-orang lainnya
dalam lingkaran. "Tidak ada lagi?"
"Apakah itu tidak cukup?"
"Ucapan itu datang dari hati Anda?"
"Tentu saja."
"Bukan karena Anda ingin menikahr'
"Maaf?"
"Banyak bule yang masuk Islam karena alasan itu:·
Dia berpaling kepada Nurul dan Wening lalu menanyakan
sesuatu yang tak begitu kupahami. Begitu Nurul menjawab,
terjadi perubahan pada wajah Wening, bagaikan awan gelap
yang melintas singkat menutupi matahari. Kemudian beberapa
saat berlalu dan Pak Sulaeman berbicara dengan yang lain se­
lama beberapa menit sampai salah satu pria tua yang hadir
batuk ke tangannya untuk menarik perhatian semua orang. Dia
berbicara dengan lembut namun tegas dan mantap, dan setelah
dia selesai terdengar gumam setuju.
"Anda bawa handuk dan pakaian bersih? Anda harus mem­
bersihkan badan setelah ritual selesai."
"Tentu, Pak Sulaeman." Aku mengangguk. "Ada dalam tas
saya di sana."
"Baiklah kalau begitu, harus dari hati, ya?"
"Tentu."
"lkuti setelah saya." Dia menggenggam tanganku. "Asy-hadu
allaa ilaaha illallaah, wa asy-hadu anna Muhammadar-rasulallah:'
Aku mengulangi kalimat syahadat itu.
"Lagi."
"Asy-hadu allaa ilaaha illallaah, wa asy-hadu anna Muham­
madar-rasulallah:'

279
"Tidal<, bukan seperti itu. Ucapkan lebih perlahan." Dia me­
ngerutkan dahi dan menggenggam tanganku dengan lebih kuat.
"Asy-hadu allaa ilaaha illallaah, wa asy-hadu anna Muhammadar­
rasulallah."
Aku mengulanginya lagi sebelum perhatianku teralihkan dari
ritual tersebut. Ada motor parkir di halaman masjid, rupanya
ditumpangi Jaya bersama seorang pria lain. Mereka masuk ke
masjid dan mulai sibuk memotret. Menurutku ini sangat me­
malukan karena aku menganggap peristiwa ini merupakan
urusan pribadi dan oleh karena itu tidak mengundang siapa­
siapa lagi.
"Baiklah, sekali lagi."
"Asy-hadu allaa ilaaha illallaah, wa asy-hadu anna Muham-
madar-rasulallah."
"Ulangi lagi:'
Aku mengulangi ka.limat syahadat itu.
"Asy-hadu allaa ilaaha illallaah, wa asy-hadu anna Muham­
madar-rasulallah:'
"Asy-hadu allaa ilaaha illallaah, wa asy-hadu anna Muham­
madar-rasulallah:'
"Baiklah, sudah selesai:'
"Sudah cukupt'
''Ya:'
"Anda yakin?"
"Tentu sa;a:'
Setelah mandi besar dan disertai banyak Alhamdulillah, riwal
pun berakhir. Pak Sulaeman memintaku datang setiap pagi ke
masjid untuk salat Subuh dan menerima pelajaran. Setelah itu
kami semua berjabat tangan dan berpisah jalan. Suami Wening

280
datang menjemputnya dan Wening menggumamkan ucapan sela­
mat untukku. jaya pergi bersama temannya dan yang tertinggal
hanya Nurul dan aku. Kami melangkah ke pojok jalan tempat
pangkalan ojek, matahari sore bersinar terik di atas kepala
kami.
"Pak Sulaeman bilang apa padamut'
"Tidak penting:•
"Ayolah, pasti penting. Wening kelihatannya tidak senang:•
"Dia menanyakan statusku dan aku terpaksa bilang kalau
aku sudah bercerai tahun lalu."
"Oh, benarkah? Kukira kau menikah:'
"Semua orang mengira begitu. Mantan suamiku bekerja di
Kalimantan jadi tidak sulit menutupi yang sebenarnya:•
"Kenapa harus menutup-nutupi?"
"Perceraian itu memalukan:•
"Di tempat asalku, perceraian sudah seperti hobi:'
"Di kantor pasti tidak nyaman lagi sekarang:· Matanya ber­
kaca-kaca. "Wening pasti marah:'
"Kenapa kau begitu mempedulikan pendapatnya?"
Nurul menjelaskan bahwa Wening pasti sangat tersing­
gung. Karena mereka bersahabat, ada ekspektasi bahwa
mereka akan saling terbuka mengenai hidup mereka, tapi
Nurul terlalu malu mengenai perceraiannya dan tidak memer­
cayai Wening untuk merahasiakannya. Tak peduli sekeras apa
aku berusaha menghibumya, mata Nurul tak lagi bercahaya, dan
aku melambaikan tangan kepada seorang wanita yang begitu
terpukul, sementara ojeknya melaju hingga lenyap di kejauhan.

281
"
Lima Rukun Islam:•
"Mengucapkan dua kalimat syahadat, salat, puasa. . ."
"Y:a, bagus."

". . .zakat, naik haji:'


"Bagus." Pak Sulaeman nyaris tersenyum. "Bagus sekali:'
"jadi, besok surat Al-Fa.laq?"
"Ya, jam yang biasa, jangan lupa buku lqro-mu:'
Kami berjabat tangan, aku meninggalkan masjid dan berjalan
pulang. Matahari mulai menyingsing, udara segar dan bersih,
langit berwarna indigo pudar, dan aku melantunkan surah yang
baru saja kupelajari. Ritual ini dengan segera menjadi kegiatan
harian favoritku, berjalan pulang dari masjid setelah belajar, se­
makin mendekati kesempurnaan dalam salatku dan mulai mem­
perlancar hubunganku dengan Pak Sulaeman.
Aku tidur lagi sebentar laiu membersihkan rumah, mencuci
pakaian dan menjemurnya di luar. Setelah itu aku membeli nasi
kuning dari wanita tua yang berkeliling perumahan setiap

282
pagi, menyeduh teh dan mendengarkan musik selama bebera­
pa jam. Pukul setengah dua belas aku menaiki motor yang
kubeli dari teman Nasori dan berangkat ke kota untuk makan
siang bersama Jaya.
"Kau kelihatan senang sekali hari ini."
"Yah, sekarang akhir pekan."
"Kau pergi ke masjid tadi pagi?"
"Tentu:·
,, ,
,

"Sebenarnya di sana menyenangkan, damai dan akrab de­


ngan para tetangga:• Aku memanggil pelayan dan memberikan
kertas pesanan. "Mereka membuatku merasa sangat diterima:·
"Termasuk Pak Sulaeman?"
Nurul sudah menjelaskan padaku apa yang terjadi saat
upacara. Pak Sulaeman tidak yakin akan motifku dan barang­
kali tidak akan mau membantu seandainya tidak mendengar
pendapat pria tua yang menyela bicara. Pria tua itu mengingat­
kan semua orang akan perkataan Nabi Muhammad, bahwa
siapa pun boleh masuk Islam tanpa dihalangi atau dicurigai, dan
aku sangat bersyukur atas intervensi nan mulia itu.
"Yah, Jaya, aku dengar banyak orang barat masuk Islam ha­
nya karena ingin menikah."
"Tapi kau tidak?"
"Mengucapkan kalimat syahadat tanpa bersungguh-sungguh?
ltu namanya bermain api."
"Kurasa begitu." Dia membuka sebungkus kerupuk. "Bagai­
mana motor barumu?"
"Baru di sini aku melihat orang-orang berkendara melawan
arah:'

283
"Yang paling parah itu sopir angkot:'
"Yeah, mereka memang gila:•
"Hanya dua orang yang tahu ke arah mana angkot menuju,
sopirnya sendiri dan Tuhan:·
Makan siang kami tiba, mi goreng untukku dan sapi lada
hitam untuk Jaya. Waktu sedang menikmati makanan, aku me­
nerima SMS dari Nurul, yang saat ini sangat membutuhkan

bantuanku. Rupanya George minta bertemu dokter untuk ma­


salah di area bawah perut dan Nurul merasa tidak nyaman
menangani situasi ini sendirian.
"Maaf, aku harus pergi sebentar lagi:'
"Dari pacarmu, ya?"
"Jaya, harus berapa kali aku bilang padamu. . ."
"Jadi, dari siapa?"
"Cuma masalah dengan George:·
"Dia selalu punya masalah:'
"Yeah, dalam hal itu kau benar."
"Tak ada yang menyuka.inya, Simon juga tidak:'
"Simon tidak suka siapa pun yang memaksanya meninggal­
kan dunia maya."
Saat aku tiba di rumah George, rumah yang dulu kutempati
bersama Kathryn, tetangga sebelah melambai dan aku merasa­
kan sentakan rasa ma.lu. Keluarganya pasti sering terbangun
gara-gara musik yang terlalu keras, teriakan, dan bunyi gelas
pecah. George membuka pintu dengan handuk yang melilit ping­
gangnya. Rumah itu berbau rokok dan kaki kotor, aku merasa
mual saat duduk di meja ruang makan dan berbicara kepadanya.
"Jadi, Nurul tidak menyebutkan masalahmu dengan jelas:·
"Aku tak percaya dia meneleponmu:·

284
"Kurasa dia memercayaiku."
"Barangkali begitu." Dia menyusurkan tangan pada rambut
kelabu pendeknya dan kacamatanya melorot di hidung. "Tapi ini
masalah yang sangat pribadi:'
"Dan posisi Nurul sangat sulit. Menurutmu bagaimana nanti
pandangan orang tentangnya, pergi ke dokter bersama pria barat
yang menderita penyakit kelamin?"
"ltukah yang dia katakant'

"Kurang-lebih begitu."
"Oh, astaga. lni sempurna."
"Sudahlah, George, tidak semua orang tahu:• Aku menatap
matanya dan meyakinkan bahwa apa pun masalahnya, pasti ti­
dak akan tersebar lebih jauh. "Jadi, bagaimana kejadiannya?"
"Perempuan sialan yang kutemui di internet:'

"Begitu, ya?"
"Dia bersumpah demi nyawanya kalau dia bersih."
Aku mengirim pesan lagi pada Nurul dan memintanya me­
nemui kami di tempat praktik dokter, setelah itu kami menaiki
motorku dan melaju ke kota. Jalanan padat, matahari tinggi di
langit dan George berpegangan terlalu erat padaku dan aku
lega ketika kami akhirnya tiba, aku terbebas dari cengkeraman
tangannya yang berkeringat. Dan aku semakin lega kala melihat
Nurul, senyum lembut dan lambaian anggun tangannya saat

menyapa kami dan kami pun mengikutinya ke dalam.


"Silakan duduk dulu, aku mau mendaftar di meja registrasi:'
''Terima kasih, Nurul, maaf sekali sudah merepotkanmu se­
perti ini."
"Tak apa-apa, George:·

285
"Ya Tuhan." Dia duduk di sampingku selagi Nurul berjalan
menjauh. "Dia benar-benar baik hati:'
"lbunya kena stroke beberapa tahun lalu, dan sejak itu bisa
dibilang dia mengurus rumah tangga sendirian. Dua saudara
lelaki, satu saudara perempuan, ayah yang juga tidak terlalu
sehat. Meski begitu dia tetap bisa menyelesaikan semua peker­
jaan kantor dan masih punya waktu untuk menolong orang­
orang seperti kau dan aku.''
"Luar biasa:·
"Setuju."
"Kau tahu, kau dan dia bisa jadi pasangan yang sangat se­
rasi."
"Lucu juga kau bilang begitu, waktu kami mengambil SIM-ku
minggu lalu, salah seorang polisi mengatakan hal yang sama:•
Nurul kembali dan kami pun mengobrol. George mengajukan
banyak pertanyaan tentang budaya lokal dan rasanya menyenangkan
bisa menjawab sebagian pertanyaan itu. Kemudian perawat muncul
dan meminta mereka masuk. Aku menunggu di sana sambil
membaca poster-poster di dinding. Beberapa menit kemudian,
Nurul dan George keluar lalu menebus resep di apotek yang
bersebelahan dengan ruang tunggu.
"Di sini ada toilet, Nurul?"
"Lewat sana." Dia menunjuk sebuah pintu. "Di sekitar kori­
dor:·
"Aku mau pakai obatnya sekarang:'
"Oke, George."
"lni benar-benar mengganggu:· Dia menggaruk tubuhnya se­
bentar kemudian berlalu. "Kita bertemu di luar, ya:•
"Dia bakal sembuh?"

286
"Dokter bilang tidak parah, hanya perlu diolesi krim selama
seminggu:•
"Untunglah kalau begitu:' Kami melangkah ke luar dan di­
sambut matahari sore. "Mau makan siomai? Ada yang jual di
seberang jalan."

** * * *

Aku datang ke tempat kursus lebih awal pada hari Rabu pagi
untuk menyiapkan tes penilaian kemajuan siswa. Nurul ada di
kantor, tampak lesu dan serius, dan ketika kutanyakan ada ma­
salah apa, dia mulai menangis. Rupanya Wening dan Jaya me­
nemui pemilik kursus dan melaporkan bahwa Nurul dan aku
berpacaran. Seseorang di gedung kantor si pemilik mencuri de­
ngar percakapan tersebut dan menyampaikannya kepada orang
lain yang kemudian menyampaikannya kepada Yuda.
"Astaga, apa tak ada yang peduli kalau gosip itu dilarang?"
"Kita bahkan tak berbuat apa pun."
"Aku tahu itu, kau juga tahu."
"Tidak penting apa yang kita tahu, orang lain sudah ber­
asumsi sendiri:'
"Oh ayolah, Nurul." Kuletakkan tanganku di bahunya. "Harus
ada batas bagimu untuk berhenti memedulikan pendapat orang
lain."
"Kau masih belum mengerti." Dia menjauhkan diri. "Hidup­
ku bakal seperti di neraka."
Dan sekali lagi tak ada yang dapat kuperbuat untuk meng­
hiburnya. Dia yakin reputasinya akan rusak dan sebaiknya se­
kalian saja dia mencari pekerjaan lain dan mendengar ucapan-

287
nya, aku mulai merasa marah. Apa hak Wening dan Jaya
mencampuri urusan pribadi kami? Kutinggalkan kantor ad­
ministrasi untuk mencari Simon dan menemukan pria itu di
tempat biasa, di pojok ruang guru.
"Aku harus bicara denganmu tentang masalah yang sen-
sitif:'
"Aduh."
"Ya, aduh."
"Jadi, ada masalah apa?"
"Wening dan Jaya, itu masalahnya."
"Benarkah?" Tiba-tiba suaranya terdengar ragu. "Apa yang
sudah mereka perbuat?"
"Mengadukan Nurul dan aku pada pemilik lembaga ini. Me­
reka bilang kami pacaran:•
"Baiklah, jadi kau ingin aku melakukan apa?"
"Kau Direktur Pendidikan, Simon, artinya kau manajer
kami:'
"lya. . . "
Butuh waktu bagiku untuk meyakinkannya bahwa dia harus
menanggapi masalah ini secara serius. Dengan jabatan yang di­
embannya, dia bertanggung jawab atas kesejahteraan para staf
dan gangguan semacam itu tidak dapat dibenarkan. Bahkan, itu
bisa dikategorikan perbuatan jahat yang harus segera dihenti­
kan. Dan bagaimana dengan Nurul serta keluarganya yang harus
dia biayai dengan bekerja begitu keras? Maka Simon memanggil
Wening dan jaya untuk rapat dan kami berempat bertemu di
salah satu ruang kelas sesaat sebelum makan siang.
"Jad·I. "
• •

288
"Jadi?" Wening membelalak dengan wajah tak berdosa "Ada
masalah apa?"
"Yah. . .
"

"Kau ingin aku yang memulai, Simon?"


"Mmm hmm:·
"Kalian menemui dan berbicara dengan pemilik lembaga ini tem­
po hari:' Aku menatap para pengaduku dan mereka tak mau mem­
balas tatapanku. '1adi aku benar-benar ingin tahu lebih banyak soal
iw:·
"Hubungan kalian tldak bisa dibenarkan, kau dan Nurul:'
"Dia janda:'
''Ya, dia bercerai:'
"Memangnya apa urusan kalian?"
"Ada masa tunggu:'
"Dia belum siap:'
"Kalian tidak menjawab pertanyaanku:· Jantungku mulai ber-
debar kencang. "Apa urusannya dengan kalian?"
"Kau janji bakal memberitahu kalau sudah punya pacar:'
"Aku tidak janji apa-apa, Jay;L'
"Ya, kau sudah janji:'
"Lagi pula apa hubungannya? Nurul bukan pacarku:'
"Kami melihat kalian hari Sabtu:'
"Kami siapa?"
'1aya dan aku:' Wening bergerak-gerak gelisah di kursinya. "Ka­
lian sedang makan siomai:'
Jadi apa yang dilakukan Wening dan jaya di sana? Wanita
yang sudah menikah dan pria lajang bersama-sama hampir se­
panjang waktu, tapi bisa-bisanya mereka kompla.in soal perte­
mananku dan Nurul? Yang lebih parah lagi, mereka mengguna-

289
kan ajaran Islam untuk menguatkan tuduhan mereka,
mengungkit masa tunggu sebagai alasan untuk ikut campur. Le­
bih baik mereka berhenti meributkan hal-hal yang sebenarnya
tidak mereka pahami.
"Baiklah, pasangan munafik, aku mau tanya sesuatu."
"Tidak perlu begitu:· Selain suara-suara menggeruw, ini per­
tama kalinya Simon menimbrung dalam percakapan kami. "Aku
yakin kita semua bisa berteman:·
"Kau bisa bicara dengan jaya soal itu, dia sangat ahli dalam
hal pertemanan."
"Sudah, sudah, tidak perlu ..."
"Sangat perlu, Simon." Darahku nyaris mendidih. "Kalau kau
tak mau membelaku, setidaknya kau bisa membiarkanku mem­
bela diri. Wening, jaya:·
"Mmm hmm."
"Kalian tahu kapan Nurul bercerair'
"Ah . ."
.

"Tidak tahu persisnya:·


"Begitu. Dan dari mana kalian dapat informasi tentang masa
tunggu ini?"
"Dari kakak laki-lakiku."
"Dari kakakmu, Wening, bagus sekali:' Aku tersenyum mes­
kipun perutku bagai diaduk. "Apa kalian berdua tak terpikir
untuk mencarinya dalam Kitab Suci Al-Quran?"
"Kami sudah tahu isinya."
"Oh ya? Kapan terakhir kali kalian benar-benar memegang
dan membacanya? Yang kumaksud bukan di sekolah dan bukan
sekadar excerpt kecil"
"Mereka tak bakal tah u arti excerpt"

290
"Oh terima kasih, Simon, komentar yang tak berhubungan."
,, tt

'' ,,

"Nah, mungkin kalian harus mencoba memahami apa yang


kalian bicarakan sebelum mulai menuduh orang lain. Aku serius,
cobalah, ada beratus-ratus Al-Quran dijual di toko buku. Dan
kalau sudah selesai mempelajarinya dari awal sampai akhir,
mungkin kalian berdua bisa mulai menjalani hidup sesuai ajaran
Al-Quran daripada sibuk mencampuri urusan orang lain:·

291
hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, suasana di
tempat kursus menjadi semakin dingin. Ruang guru, yang dulu
menjadi tempat untuk berbicara bahasa lnggris, kini menjadi
tempat berbicara bahasa Indonesia yang terlalu cepat untuk
dipahami pemula seperti aku. Simon tak berbuat apa pun un­
tuk menghentikannya, tidak juga menasihati Jaya agar berhenti
menyebarkan gosip, dan aku kehilangan rasa percaya pada ma­
najer dan rekan-rekan kerjaku.
"Sedang apa di sini hari Sabtu?"
"Selamat pagi juga, Wening:• Aku menengadah dari pesan
Facebook yang sedang kuwlis untuk putraku. "Hanya mengirim
beberapa e-mail."
"Kau tak punya internet di rumah?"
"Yah, sejak sopir tak mau lagi bicara pada Nurul, aku yang
mengantarnya ke kantor."
,,, ,

292
"Omong-omong, mumpung kau di sini, bisa bicara tentang
sesuatu?"
"Apa?"
"Komentar-komentar di Facebook ini:' Aku memberinya
isyarat agar mendekat. "Apa Jaya benar-benar perlu mengung­
kapkan perasaannya dengan begitu terbuka?"
"Kau harus tanya padanya:'
"Aku sudah menduga kau bakal bilang begitu " .

"Yah, itu bukan urusanku."


"Kau asisten Direktur Pendidikan, bukan?"
"Benar:•
"Nah, salah satu gurumu menulis pesan-pesan tak menye­
nangkan yang bisa dilihat sebagian besar siswa, dan kaubilang
ini bukan urusanmu?"
"Oke, aku akan bicara padanya."
lni hanya kemenangan kecil tapi tetap penting. Jujur saja,
rasanya aku tak mampu mendekati Jaya tanpa didorong ke­
inginan untuk menghajarnya, sebab di tempat asalku perilaku
seperti itu tidak dapat dimaklumi. Pria sejati takkan mungkin
melakukan hal-hal semacam itu. Dan sejak menjadi seorang
Muslim, aku berusaha mengendalikan emosiku dan Jaya me­
rupakan pengingat nyata akan betapa mudahnya melenceng
dari jalur yang benar.
Aku menyelesaikan menulis pesan lalu mengecek rekening
bank lnggris-ku dan membayar tagihan kartu kredit bulanan.
CSA akhirnya tak lagi memburuku, keadaan mulai membaik
dan menurut perhitungan, aku akan terbebas dari utang se­
tahun lagi. Sayang sekali keadaan di tempat kursus tidak begi­
tu baik. Namun aku mulai menyadari bahwa segala hal terjadi

293
untuk suatu alasan dan tanpa perang dingin di tempat kursus,
Nurul dan aku barangkali takkan pernah sedekat ini.
"Sepuluh menit lagi aku selesai."
"Aku sedang memikirkanmu!'
"Mudah-mudahan bukan pikiran buruk." Dia tersenyum
kepadaku, matanya lembut dan hangat. "Kau mau makan siang
apa?"
"Lotek mungkin, atau karedok:'
"Di dekat rumahku?"
"Tidak ah, terlalu asin." Kuletakkan kedua tangan di bela­
kang kepala dan meregangkan punggung. "Ada lbu Habis jualan
di depan rumah Pak Karyo."
"lbu Habis?"
"Aku memanggilnya begitu karena dia selalu kehabisan Ion-

tong sebelum aku tiba di sana!'


"Kau ingin aku bertemu Pak Karyo?"
"Jangan cemas begitu, ini kan bukan lamaran."
"Kau sudah cerita padanya tentang perceraianku?"
Sampai Nurul bisa menerima kesalahannya di masa lalu,
dia takkan pernah benar-benar mendapatkan penerimaan
dari orang lain. Mantan suami Nurul sudah menghamburkan
maskawin, melalaikan kewajiban pernikahannya, dan Nurul sa­
ngat berhak mengajukan cerai. Hatiku sakit melihatnya meng­
hukum diri sendiri. Kukatakan padanya bahwa dia perlu me­
lupakan kepedihan dan dia mengingatkan bahwa aku sebaiknya
menuruti nasihatku sendiri.
"Baiklah, cukup, akhir pekan sudah dimulai."
"Bisa kita belanja dulu?"
"Asalkan kau tidak minta lontong untuk lotekmu."

294
"Kita bisa beli di jalan:·
"Oke, setuju:·
"Kita harus bawa kue untuk mereka."
"Tak masalah:' Kumatikan komputer. "Di mana kau me­
naruh helm kita?"
Kami berkendara ke toko kue di tengah udara yang luar
biasa panas dan Nurul lama sekali memilih kue yang hendak
dibeli. Pilihannya begitu banyak dan menurutku semuanya ter­
lihat enak. lni mulai menjadi masalah buatku karena celana­
celanaku mulai sempit dan masih tiga minggu lagi sebelum
Ramadan. Sejak berhenti minum alkohol dan merokok, selera
makanku melonjak dan berat badanku melebihi tahun-tahun
sebelumnya.
"Menurutmu istri Pak Karyo bakal suka yang ini?''
"Yah, kalaupun dia tidak suka, yang penting niatnya."
"Putrinya bagaimana?"
"Dia tidak ada waktu aku membagikan daftar pertanyaan."
"Sudah cukup." Dia menyodok rusukku. "Kau membuang-
buang waktu sekarang."
"Waktu bersamamu tidak pernah sia-sia."
Kami melaju menembus kemacetan akhir pekan menuju
area perumahanku dan saat memasuki belokan terakhir, se­
orang anak tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Aku membanting
kemudi untuk menghindari anak itu dan Nurul nyaris ke­
hilangan keseimbangan, secara refleks memeluk pinggangku
untuk memantapkan diri dan aku begitu kaget oleh sentuhan­
nya sampai-sampai kami nyaris menabrak. Nurul memukul sisi
helmku dan menyuruhku lebih berhati-hati atau aku tak boleh
lagi mengantarnya ke mana pun.

295
''Assa.lamualaikum:'
"Wa alaikum salam:• Pak Karyo bergegas berdiri dari balik
konter. "Silakan masuk, lepas sandalnya di sana:•
"lbu Habis ke mana?"
"Suaminya sakit."
"Aduh:'
"Tidak apa-apa, istriku masak ayam kampung:•
"Pak Karyo, ini Nurul."
"Masuk, Nak, masuk." Senyum Pak Karyo sungguh menular.
"Mudah-mudahan kau suka jahe:'

** * * *

Aku mengantar Nurul pulang ke rumah keluarganya dan adik


perempuan dan laki-lakinya sedang minum kopi di depan ru­
mah. Kami mengobrol sebentar, aku terpikat oleh ketenangan
dan kesopanan mereka. Setelah itu aku kembali ke perumahan­
ku dan berhenti di masjid untuk salat Magrib bersama para
tetangga. Dan matahari senja bersinar menerobos jendela,
membuat seisi masjid bermandikan cahaya tembaga nan agung.
''Assalamuala.ikum:•
"Wa alaikum salam."
"Apa kabar?" Aku menjabat tangan Pak Sulaeman. "Maaf,
tadi pagi saya ketiduran:'
"Tidak apa-apa:•
"Saya hampir menyelesaikan Al-Quraisy."
"lqro-mu bagaimana?"
"Susah sekali, Pak."
Aku tidak berlebihan. Rangkaian abjad baru, rangkaian bunyi

296
baru, dan sepertinya kemajuanku tidak terlalu banyak. Aku me­
ngerti bahwa Kitab Suci Al-Quran harus dibaca dalam bahasa
aslinya, tapi tentunya ada perbedaan yang amat besar antara
membaca dan memahami. Dan di tahap awal ini, menurutku
lebih penting untuk mengetahui arti surah-surah serta hukum
dan prinsip yang ditetapkan Tuhan untuk kita semua.
"Aku melihatmu bersama seorang wanita tadi:'
"Ya."
''Temanmu?"
"Bapak sudah pernah bertemu dengannya:•
''Assalamualaikum:•
'Wa alaikum salam, Pak Wibowo." lni pria tua yang ber­
bicara membelaku pada hari aku menjadi seorang Muslim. "Se­
hat?"
"Ya, Alhamdulillah:'
"Keluarga bagaimana?"
"Sehat juga." Dia duduk di sampingku. "Kudengar kau ber­
sama seorang wanita tadi:'
Sebagai orang yang tak terbiasa berbagi detail-detail kehi­
dupan pribadi, aku merasa tak nyaman menerima perhatian
semacam ini. Dan aku lega ketika pemuda masjid menyerukan
iqamat lalu kami berdiri membentuk saf dan mendengarkan
indahnya lantunan bacaan salat Pak Sulaeman. Suaranya begitu
penuh dan kuat, dia benar-benar menghidupkan surah-surah
yang dia baca, dan aku meninggalkan masjid dengan keman­
tapan hati yang baru.
Kulewatkan beberapa jam membaca buku tentang Nabi Mu­
hammad lalu menelepon ibuku. Dia berkata semuanya baik-baik
saja tapi dia tidak bisa berbicara lama-lama sebab pacarnya

297
akan mengajaknya makan siang di luar. Seluruh keluarga sehat
walafiat, dia sudah cukup lama tak bertemu putraku, peng­
gantian tulang pinggul Nenek berjalan lancar, dan bibiku baru
kembali dari berlibur. Kami mengakhiri pembicaraan dan aku
duduk di sana, memikirkan apa yang harus kulakukan selanjut­
nya. Kuputuskan bahwa aku benar-benar perlu mengetahui
kabar Mike.
"Halo, Nak."
"Bagaimana kabarmu?"
"Tidak terlalu buruk, aku rasa."
"Kedengarannya kau baru minum-minum:'
"Yah, sekarang akhir pekan:' Dia tertawa tapi nyaris tanpa
humor. "Berarti tidak ada acara minum bir Sabtu sore lagi
untukmu, ya?"
"Aku sewaras hakim belakangan ini."
"Luar biasa:'
"Aku bahkan tak pernah memikirkannya lagi:'
"Apa rahasianya, Nak?"
Mengatakan kepada Mike betapa Islam telah betul-betul
mengubah hidupku sepertinya tak berguna. Setidaknya jika le­
wat telepon saat dia sedang mabuk. Aku jadi merasa bersalah
atas kebahagiaanku sendiri dan berharap bisa membantunya,
karena dia pria yang baik dan terhormat, dan selalu meno­
longku dalam keadaan sulit. Tapi apa yang dapat kulakukan dari
jarak ribuan mil jauhnya?
"Aku bertemu teman lamamu Tom tempo hari."
"Sudah lama sekali aku tak mendengar kabarnya:'
"Menyedihkan."

298
"Yah, kadang-kadang kita kehilangan kontak dengan teman­
teman."
"Maksudku kakinya:•
"Kaki apa?"
"Dia kehilangan kedua kakinya."
"Apa?"
"Afghanistan:•
"Ya Tuhan:'
"Dia berkeliling supermarket dengan kursi roda."
Ka.Ii terakhir aku berbicara dengan Tom, dia baru menye­
lesaikan pelatihan dasarnya dan kini dia di rumah tanpa masa
depan maupun sepasang kaki. Apa sebenarnya yang kami laku­
kan di sana? Mengirim para pemuda kami ke negara yang
memiliki kandungan minyak dan mineral sangat tinggi dengan
kedok berperang melawan teror kelompok Islam. Tak heran
orang-orang menghubungkan kami dengan materialisme dan
agresi militer.
"Apakah dia kembali ke rumah orangtuanya?"
"Entahlah, kami tidak mengobrol."
"Sungguh mengerikan."
"Maaf, sudah menjadi pembawa kabar buruk:'
"Kita tak pernah belajar, ya?"
"Entahlah, Nak."
"Dan yang paling parah, kita malah kaget saat ada yang
mencoba mengebom kita:'
"Kau yakin tidak jadi kelompok ekstremis di sana?"
"Jangan konyol, Mike."
"Cuma tanya." Dia melontarkan tawa tanpa humor itu lagi.
"Tak ada salahnya berhati-hati:'

299
Sesa..ma.. Sa..uda..ra..

bi seberang jalan dari perumahanku ada stadion tempat


orang-orang berolahraga setiap Minggu pagi. Pada akhir pekan
terakhir sebelum Ramadan, Nurul dan aku berjalan mengelilingi
area tersebut, mencari tempat untuk mengistirahatkan kaki
dan menyantap sarapan. Sungguh mengejutkan betapa banyak­
nya pedagang yang sudah berjualan sepagi itu. Kami membeli
bubur ayam lalu duduk di bawah naungan dahan-dahan pohon
kersen.
"Berapa lama sebelum kau menyadari sudah membuat ke-
salahan?"
"Beberapa hari:'
"Secepat itu?"
"Di malam pernikahan kami, dia merokok di kamar.''
"Ya ampun, sungguh tidak berkelas.''
"Kami pacaran sembilan bulan dan dia merahasiakannya
dariku.''
"Wow.''

300
"Dan kalau dia bisa berbohong soal itu, entah apa lagi yang
sudah dia sembunyikan dariku:·
"Pasti berat bagimu."
"Kau juga, dengan ibu putramu:·
"Kurasa begitu, tapi kau harus mencoba memberi kesem­
patan pada orang lain. Seperti kata Ernest Hemingway, 'cara
terba.ik untuk mengetahui apakah kau dapat memercayai sese­
orang adalah dengan memercayainya:"
"Dan kau percaya itur"
"Tentu:· Aku meniup bubur ayamku agar lebih dingin. "Kalau
kau tidak mengusir hantu dari hubunganmu di masa lalu,
mereka hanya akan menghantui hubunganmu di masa seka­
rang:•
"Puitis sekali:'
"Selain itu, kau hanya akan bersikap getir dan menutup
diri."
"Menutup diri, maksudnyat'
"Kau berusaha terlalu keras untuk melindungi dirimu sendiri
dan menyingkirkan orang lain dari hidupmu."
Kami memanggil seorang pedagang keliling dan membeli dua
botol teh, lalu Nurul memintaku bercerita lebih banyak tentang
lnggris. Dia ingin tahu apakah aku merindukan kehidupan di
sana dan kujelaskan bahwa ini sesuatu yang sudah bertahun­
tahun kuhadapi. Setiap kali berada di tempat yang jauh, aku
ingin pulang. Tapi setiap kali pulang. aku ingin pergi jauh lagi.
Baru setelah datang ke Indonesia, perasaan itu akhirnya mulai
memudar.
"Menurutmu kau akan tinggal di sini setelah kontrakmu
selesait'

301
"Pertanyaan macam apa itu?"
"Pengalamanmu begitu banyak:'
"Lalu?"
"Kau sudah mendatangi banyak tempat:'
"Tapi di semua tempat itu tidak ada dirimu." Aku meng­
ulurkan tangan dan menyentuh kulit lembut tempat rahangnya
bertemu sisi lehernya. "Bukankah aku barusan bilang, aku suka

di sini?"
"Sepertinya begitu."
"Dan menurutmu kau tak cukup berharga untuk membuat­
ku tetap bertahan di sini?"
"Kau tahu aku tak percaya diri:'
"Tak ada salahnya, lebih baik merendah daripada menyom­
bongkan diri, tapi tolong jangan pernah berpikir aku lebih
tinggi darimu. Sungguh, kau tak tahu betapa hebatnya dirimu
di mataku:·
Dia tampak malu mendengar perkataanku, begitu pula aku,
dan kami buru-buru mengubah topik. Kami bicara tentang ke­
luarga, latar belakang dan agama kami, kemudian dia mene­
rangkan lebih jauh tentang makna Ramadan. Dalam banyak hal
dia adalah guru yang kubutuhkan, pikiran tenang dan cerdas
yang selalu berhasil mengejutkanku dengan sudut pandangnya.
Tentu saja kami tidak selalu sepakat dalam segala hal, tapi itu
malah semakin mempererat hubungan kami.
Setelah beberapa saat berlalu, stadion semakin ramai dan
kami kembali ke area perumahan Nurul. Aku sekarang sudah
hafal jalan-jalan di sini dan kota ini mulai terasa seperti kotaku
sendiri. Aku merasa lebih bahagia daripada yang bisa kuingat
selama ini. Dunia kerjaku mungkin tidak terlalu menyenangkan,

302
namun kehidupan pribadi dan spiritualku menjadi kompensasi
yang setimpal. Dan selagi kami berhenti di pinggir jalan untuk
membeli sup buah, aku melirik ke langit dan mengucapkan te­
rima kasih tanpa bersuara.
"lni benar-benar sempurna."
"Nikmatilah selagi bisa, puasa dimulai hari Jumat."
"Tentu:• Kombinasi susu dan nangka terasa amat lezat. "Aku
sudah tak sabar:·
"Kau akan memasak untuk sahur di rumah?"
"Aku belum memikirkannya."
"Mungkin kau bisa datang dan makan bersama keluargaku
sekali-sekali."
"Dengan senang hati. Kita bisa pergi ke masjid agung ber­
sama-sama:•
Pada saat kami tiba di rumah Nurul, matahari sudah panas
menyengat dan hampir masuk waktu salat Dzuhur. Kami duduk
di depan, menonton ayam-ayam yang berkeliaran mencari ma­
kan di halaman, dan tak ada yang lebih kuinginkan selain me­
meluk Nurul dan menciumnya. Lalu dia berpaling kepadaku
dengan mata berkaca-kaca dan bertanya apakah dia bisa me­
mercayaiku. Kuletakkan tangannya di dadaku dan bersumpah
atas nama Tuhan bahwa aku takkan pernah mengecewakannya.

** * * *

"Kau perokok, kan, George?"


"Aku sudah lama mencoba berhenti."
"Tapi kau pasti tidak begitu kepengin merokok waktu di
pesawat menuju kemari:'

303
"Yah, tidak:'
"Menurutmu kenapa?" Aku membukakan pintu untuknya dan
kami melangkah masuk ke tempat kursus lalu naik ke ruang
guru. "Biasanya kau tidak bisa melewatkan setengah jam saja
tanpa merokok."
"Entahlah, atmosfernya berbeda, mungkin."
"Bukan karena tahu kau pasti ketahuan kalau merokok?"
"Yah, mungkin juga."
"Nah, Ramadan persis seperti itu. Tak peduli sebaik apa kau
mencoba menyembunyikannya, Tuhan selalu bisa melihatmu ma­
kan atau minum:·
Kami masuk ke ruang guru. Wening dan Jaya sedang duduk
di sudut ruangan, tampak menyembunyikan sesuatu. Wening
memegang sekantong kerupuk sementara Jaya memunggungi
kami maka kami tak dapat memastikan apakah dia memakannya
atau tidak. Waktu melihat kami, mereka berdiskusi kecil lalu
buru-buru keluar ruangan dan aku menyarankan pada Jaya
untuk menyeka remah-remah di kemejanya sebelum ada yang
melihat.
"Merokok di pesawat."
"Bukan kali ini saja, George."
"Menurutmu banyak Muslim yang melanggar perintah?"
"Orang-orang yang Islam KTP, mungkin."
"KTP?"
"ltu nama kartu identitas mereka. Mereka harus mencan­
tumkan agama mereka saat membuatnya."
"ltu menarik."
"Aku menyebut mereka Muslim dalam bentuk noun, hanya
namanya yang Muslim, tapi perilakunya tidak."

304
George dan aku sepanjang pagi tidak berada di tempat
kursus. Sebuah perusahaan minyak dan gas di dekat situ mem­
butuhkan pelajaran privat untuk jajaran manajer mereka dan
kami sudah mengajar di sana sejak sebelum Ramadan. Bagiku,
itu perubahan suasana yang menyenangkan dan aku bisa men­
jauh sejenak dari situasi tak nyaman di tempat kursus. Keadaan
belum juga membaik dan aku mengkhawatirkan Nurul, yang
jauh lebih perasa dibandingkan aku dan tidak terbiasa dengan
semua konflik ini.
"Boleh aku tanya tentang perpindahan agamamu?"
"Silakan, George, walaupun aku tak mau menyebutnya begi-
tu."
"Maksudmu?"
"Perpindahan berarti aku mengubah keyakinanku dari satu
agama ke agama lain:· Kutumpangkan kaki kanan di atas kaki
kiriku. "Tapi sebenarnya aku hanya berubah dari yang tadinya
tidak percaya menjadi percaya:·
"Kau tadinya ateis?"
"Mungkin agnostik lebih tepat:'
"Oh, benarkah, apa yang mengubah pikiranmu?"
"Sulit menjelaskannya, kau hanya sampai pada titik ketika
akhirnya kau menyadari bahwa segala sesuatu terjadi dalam
hidupmu untuk alasan yang bagus. Kau tahu, seperti persiapan.
Semua kesenangan dan kesedihan, semua hal yang tak masuk
akal, semua itu memang sudah semestinya terjadi:'
"Tapi kenapa Islam?"
"Pertama-tama ada Kitab Suci Al-Quran. Aku tak bisa ber­
henti menegaskan ka.lau kau harus mencoba membacanya.
Orang-orang membicarakan Islam sebagai sesuatu yang kuno

305
dan jahat, tapi kau bakal terkejut melihat betapa egaliternya
Islam."
"Mmm hmm:'
"Kemudian semua keaktifan itu. . . apakah keaktifan termasuk
kata bakur''
"Entahlah:'
"Guru bahasa macam apa kita ini. Maksudku, keaktifan ini,
seperti menyembah Tuhan lima kali sehari tanpa putus, bagiku
itulah arti menganut agama yang sesungguhnya. Dan kurasa aku
menganggap kedisiplinan dan pengabdian itu sungguh menarik.
Kemudian ada Rukun Islam seperti naik haji, berpuasa, beramal
pada yang tak mampu, dan lain-lainnya."
"Bagaimana dengan salat, bukankah kau harus melakukannya
da.lam bahasa Arab?"
"Setahuku begitu:·
"Aku heran bagaimana kau bisa mencari waktu untuk me­
ngerjakan semua itu."
"Kau takkan pernah bisa mencari waktu, kau mesti me­
luangkan waktu."
Begitu George mulai bertanya, tak ada yang dapat kulaku­
kan untuk menghentikannya. Rasanya seperti penyelidikan, tapi
penyelidikan yang menyenangkan, dan semakin gencar dia ber­
tanya, semakin aku menyadari masih banyak yang harus ku­
pelajari. Namun hal utama yang kupetik dari percakapan kami
adalah aku merasa amat bahagia setiap kali berdiskusi tentang
Islam. Bukan jenis bahagia yang kudapat dari alkohol atau nar­
kotik, tapi jauh lebih da.lam, lebih bersih, dan lebih bermanfaat.
"Nurul tidak termasuk Muslim KTP, kan?"
"Jelas tidak, dia Muslim adjective, sepenuhnya."

306
"Sayang juga."
"Apa maksudmu?"
"Yah, kau tahu . . ." Dia membuat gerakan seperti sedang
meremas payudara. "Tak ada lelaki normal yang menolak diberi
itu:·
"Astaga, George, itu sama sekali tidak pantas dibicarakan:·
"lni hanya antarlelaki, tentu saja:•
'' ,,
...

"Oh maaf." Dia tertawa. "Aku sudah kelewatan, aku sudah


membuatmu malu."
Aku bukannya malu, tapi tersinggung. Nurul salah satu wa­
nita paling terhormat di planet ini dan melihat George ber­
fantasi menjijikan tentang Nurul seperti itu membuat perutku
melilit. Hampir sepanjang sore itu aku resah dan baru merasa
lebih baik saat datang waktu Magrib dan tiba saatnya berbuka
puasa. Para siswa berlarian keluar dari kelas dan kami semua
turun ke ruang resepsionis menikmati air minum, biskuit, dan
kurma.
"Malam ini Tarawih?"
"Aku pergi dengan adik perempuanku." Nurul menyesap
airnya. "Kau bagaimana?"
"Yah, aku belum terlalu mengenal adik perempuanmu."
"Kau ini tak pernah serius, ya?"
"Hanya ka.lau benar-benar perlu." Aku tersenyum dan men­
cari tempat untuk membuang biji kurma. "Tahu tidak? Aku akan
Tarawih dengan Pak Laeman:·
"Dia mengizinkanmu memanggilnya begitu?"
"lya, aku juga kaget."
Setelah mengantar Nurul pulang, aku berbalik arah dan me-

307
laju ke area perumahanku. Masjid sangat ramai dan aku meng­
ganti pakaian kerjaku di ruangan kecil yang terselip persis di
belakang mimbar. Setelah itu aku wudu dan mencari Pak
Laeman. Dia sudah menyisakan tempat untukku di baris kedua
dan dia menjabat tanganku serta mencium pipiku seperti sau­
dara yang lama tak bertemu. Dan aku memang bagian dari
saudara-saudara seiman dalam masjid itu. Kami salat hingga
jauh malam, kipas angin berputar malas di atas kepala, lampu
diredupkan dan hati kami berkobar oleh rasa cinta kepada
Allah.

308
l dul Fitri telah menjadi pengalaman yang menakjubkan. Keber­
samaan saat salat di pagi hari, kumpul-kumpul di rumah Pak
Karyo, lalu sore harinya kulewatkan bersama Nurul dan ke­
luarganya. Mereka membuatku merasa sangat diterima dan aku
begitu tersentuh oleh kemurahan hati mereka, terutama karena
mereka tak memiliki banyak uang dan menghadapi banyak
kesukaran. Aku pun tersadar betapa beruntungnya aku memiliki
Nurul dalam hidupku, dan bulan-bulan berikutnya semakin
membuktikan keyakinanku itu.
"Tidak mudah makan sambil diperhatikan semua orang:'
"Benar sekali, Sweetheart, aku jadi tidak makan dengan nya­
man."
"Aku selalu menganggap guru-guru lain berlebihan:•
"Salah satu tantangan menjadi orang asing di negeri asing."
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling food court yang ra­
mai, penuh oleh orang-orang yang berbelanja di akhir pekan.
"Di kota-kota yang lebih besar tidak terlalu buruk:'

309
"Menurutmu begitu?"
"Yah, pengalamanku seperti itu di Cina dan jepang."
"Gawat:' Wajah Nurul berubah. "Ada Wening dan Jaya di
sana."
"Bagus sekali:'
"Mereka bertingkah seperti raja, terutama Jaya. Dia ber­
sembunyi di belakang Wening karena jabatan Wening lebih
t�nggi dan jaya selalu lolos walaupun sudah membuat banyak
kesalahan. Sertifikat tidak ditandatangani, tak masalah. Keting­
galan kertas ujian di rumah, tak masalah. Terlambat masuk ke­
las, tak masalah:'
"Menurutmu kenapa mereka begitu membenci kita? Mak­
sudku, oke, mereka tak menyetujui hubungan kita, semua orang
boleh punya pendapat, tapi aku tak mengerti kenapa mereka
mesti meracuni orang lain. Guru lokaI yang baru, Ashriana, dia
sangat ramah dan sopan waktu kami baru berkenalan. Tapi ke­
mudian dia pergi makan slang dengan yang lain dan semenjak
itu dia jarang lagi berbicara denganku:•
"Beberapa orangtua siswa juga begitu, mereka tidak ber-
sikap sopan padaku."
"Menurutmu mungkinkah keadaan bakal membaikr''
"Mungkin saja, kalau kita pindah ke tempat lain."
"Tapi aku baru memperbarui kontrakku:·
"Aku tak tahan lagi bekerja di sana."
Saat menatap mata Nurul, bisa kulihat dia bersungguh-sung­
guh dengan ucapannya. Kami sudah berkali-kali membicarakan
hal ini dan aku selalu berhasil membujuknya bahwa melarikan
diri bukan pilihan yang realistis. lni adalah perjuangan kami un­
tuk bertahan di jalan yang benar dan hidup dengan harga diri,

310
tak peduli apa yang terjadi di sekitar kami. Memang benar, kita
semua berada dalam perjuangan abadi melawan kegelapan, tapi
tak ada yang mengatakan kita harus berdiam diri.
"Ayo, kita beli bahan-bahan spagetinya:·
"Sebaiknya salat Dzuhur dulu."
"Oke:·
"Kau tidak menghabiskan baksomu?"
"Hari ini tidak enak."
"Lebih enak beli di pinggir jalan:•
"Ayo:' Aku berdiri dan menatap ke arah Wening dan Jaya.
"Kita sudah terlalu banyak menghabiskan waktu di dekat me­
reka, seharusnya hari Minggu kita bebas dari mereka."
Kami menaiki eskalator ke lantai dasar dan berpisah jalan
saat tiba di musholla. Aku berwudu la.lu masuk ke musholla,
dan seperti biasa disambut tatapan antara penasaran dan cu­
riga, kemudian diminta untuk menjadi imam, sesuatu yang kini
membuatku terbiasa. Pasti aneh melihat orang barat salat,
orang-orang selalu ingin aku membuktikan diri dan aku belajar
menerimanya sebagai bagian dari menjadi mualaf.
Setelah salat aku bersalaman dengan yang lain lalu keluar
dengan hati hangat dan pikiran tenang. Nurul sudah menunggu
di luar dan kami pergi ke supermarket, membeli daging sapi,
tomat, jamur serta bahan-bahan lain yang dibutuhkan untuk
membuat saus spageti. Setelah itu kami na.ik motor ke peru­
mahanku dan melihat Pak Karyo di jalan, sedang membeli rujak
buah dari lbu Habis.
"Assalamualaikum."
"Wa alaikum salam."
"Selamat sore, teman-teman, apa kabar?"

3I I
"Baik, Pak." Aku mengangkat kantong belanja. "Mau mene­
mani kami supaya kami bisa memasak saus spageti?"
"Bah, spageti." lbu Habis mencibir. "Seharusnya beli karedok
saya saja:•
"Lontongnya ada?"
"Tentu:·
"Kenapa lbu cuma punya lontong kalau saya sedang tidak
mau beli?"
"Dia memang konyol:' Pak Karyo tertawa dan menepuk
punggungku. "Mbak Nurul, bagaimana kondisi ibumu?"
"Sudah agak mendingan, mau mencoba berjalan pakai tong­
kat."
"Tolong sampaikan salam saya:'
Kami duduk dan mengobrol sambil menikmati jahe panas
yang menjadi minuman wajib, lalu Pak Karyo bertanya tentang
rencanaku dan dengan penuh arti mengetukkan jemarinya.
Nurul menatapku dengan sorot mata bertanya. Aku mengang­
kat bahu dan menghabiskan minumanku lalu berdiri. Setelah
itu kami melanjutkan perjalanan ke rumahku, diikuti oleh Pak
Karyo, lalu mulai mengolah daging dan sayuran.
"lni sangat indah, Sweetheart:'
"Tomatnya?"
"Melewatkan waktu bersamamu:'
"Aku juga suka." Dia mendorong tanganku yang hendak
mengambil dari talenan. "Tapi aku masih tidak enak pada te­
tangga-tetanggamu.''
"Tidak apa-apa, mereka tak suka spageti."
"jangan bercanda:·
"Yah, kita kan tidak cuma berduaan di rumah. Lagi pula, se-

312
keras apa pun kau mencoba, orang-orang akan selalu berpikir
sekehendak mereka."
Sewaktu terdengar adzan Ashar, kami meminta Pak Karyo
meneruskan memasak saus spageti sementara kami beranjak
ke ruang tamu yang sejuk. Dengan hati berdebar kuraih tangan
Nurul dan kukeluarkan cincin pertunangan dari saku kemudian
berlutut di depannya. Kata-kata yang sudah kulatih ratusan kali
mendadak lenyap dari mulutku dan aku bagaikan orang bodoh
yang berlutut melama.r wanita yang dicintainya.

** * * *

"Yah, aku takkan berguna sebagai suami ka.lau tak bisa me­
lindunginya dari semua ini:'
"Cukup adil:' Bibiku menguap keras dan panjang. "Ya Tuhan,
aku nyaris tak sanggup membuka mata."
"Maaf menelepon selarut ini, aku hanya butuh nasihatmu."
"Tak bisakah kau mencari pekerjaan di tempat lain?"
"Bisa kalau memang harus, tapi barangkali itu artinya pindah
ke Jakarta:'
"Kau tak suka tinggal di kota besar?"
"Aku hanya mengkhawatirkan Nurul. Secara teori memang
tidak ada masalah, tapi pada kenyataannya, dia istri baru di
tempat yang jauh dari kelua.rga dan teman-temannya. Kalau aku
sibuk bekerja, aku takkan bisa menemaninya:•
''Yah, segala sesuatu ada harganya."
"Sayang sebenarnya, sungguh menyenangkan tingga.I di sini:'
"Hidup memang seperti itu, my darling. Saat kau merasa
nyaman, ada saja bajingan yang berusaha merusaknya:'

313
Dia tidak salah. Di setiap tempat kerjaku, selalu ada para
pembuat masalah, orang-orang yang mendapat kesenangan de­
ngan mengorbankan orang lain. Satu-satunya pilihanku adalah
bicara dengan pemilik kursus dan menjelaskan masalah yang
Nurul dan aku hadapi, dan entah bagaimana caranya berusaha
memaksakan perubahan. Pantas saja tempat kursus itu kesulitan
mempertahankan guru-guru baratnya, dengan Direktur Pendi­
dikan yang sibuk sendiri dan tidak pedulian.
"Omong-omong, bagaimana kabar Mike? Aku sulit menghu­
bunglnya:'
"Masih merana merindukan ibumu:·
"Dan bagaimana kabar lbu? Kau tahu dia lebih senang me­
nyimpan sendiri isi hatinya."
"Agak khawatir tentang kau dan wanita ini:'
"Yah, aku bisa bilang apa? Kalau hatimu sudah yakin, buat
apa menunggu lama-lama?"
"Semoga saja kau lebih beruntung dalam perkawinan dari­
pada orangtuamu."
"Sebenarnya aku ingin seperti Nenek dan Kakek." Mungkin
kedengarannya terlalu muluk, tapi aku merasa sangat yakin.
"Yang, omong-omong, sudah lama tak berbicara denganku:'
"Mereka kesulitan dengan sambungan telepon yang lambat."
"Pastinya tidak sesulit ltu."
"Tunggu sampai umurmu delapan puluhan, kita lihat saja
apakah kau masih bisa bilang begitu:'
Kami mengobrol beberapa lama lagi dan dia mendoakan
agar pertemuanku dengan sang pemilik berjalan lancar. Setelah
itu aku memasak telur dan menyeduh teh, lalu berlatih meng­
hafalkan surah Al-Humazah, yang ayat keduanya menurutku

314
cukup sulit. Pukul setengah sembilan pagi aku mandi lalu salat
Dhuha beberapa rakaat dan dua puluh menit kemudian aku
sudah berada di lobi gedung kantor pemilik tempat kursus.
Resepsionis memintaku menunggu sebentar dan aku duduk
di sana cukup lama untuk mengirimkan beberapa pesan ke­
pada Nurul. Kemudian pintu di sebelah kiriku terbuka dan
sang pemilik memanggilku ke dalam dengan raut wajah yang
menyiratkan bahwa pertemuan ini sama sekali tidak menye­
nangkan baginya. Dia memutari meja kacanya yang besar dan
memberi isyarat agar aku duduk. Resepsionis mengantarkan
secangkir kopi panas untukku.
"Mau diambilkan susu dan gula?"
"Tidak usah, terima kasih, Pak:'
"Saya sendiri tidak minum kopl, bermasalah dengan kandung
kemih."
"Oh, saya tahu seperti apa rasanya."
"Bagaimana kabar tunanganmu?"
"Baik, setidaknya dalam hal kesehatan."
"Kesehatan itu sangat penting, bukan?" Dia bersedekap dan
hampir-hampir tersenyum. "Kita bisa punya uang berlimpah, tapi
tidak ada artinya kalau kita sakit."
"Benar sekali:'
Basa-basi itu berlangsung beberapa lama dan aku berhasil
mengait-ngaitkan antara kesehatan dan kebahagiaan. Kusampai­
kan padanya betapa besar tekanan yang dihadapi Nurul dan
aku, dan betapa kondisi di tempat kursus membuat kami sa­
ngat terpukul. Sudah cukup sulit merencanakan pernikahan
dengan dana terbatas, belum lagi pekerjaan tambahan dari

315
perusahaan minyak dan gas, tanpa harus berurusan dengan per­
sekongkolan Wening dan Jaya.
"Waktu saya bertemu istri saya, keadaannya juga sulit."
"Oh ya?"
"Dia bertunangan dengan orang lain kala itu."
"Apakah kalian sangat tertekan?"
"Sebenarnya, kami malah jadi semakin kuat:'
"Saya paham maksud Anda." Nurul dan aku juga merasa
begitu. ''Tapi tetap tidak mengubah kenyataan bahwa sebagian
staf Anda bersikap buruk. Anda tahu seberapa sering saya
mengajukan masalah ini kepada Simon? Paling tidak sudah enam
atau tujuh kali."
"Mmm hmm."
"Dan dia sama sekali tak berbuat apa pun. Bayangkan kalau
ada yang menyebarkan rumor tentang Anda dan istri Anda.
Apakah Anda hanya akan diam saja dan membiarkannya?"
"Jadi, kau ingin saya melakukan apa?"
"Saya berharap mungkin Anda punya saran:' Kopiku pekat,
hitam, dan sangat pahit. "Dan tolong jangan meminta saya un­
tuk bersabar dan mengatakan semua ini akan berhenti sendiri:'
"Mungkin saya butuh waktu untuk memikirkannya:'
"Berapa lama?"
"Kau harus sabar."
"Maaf, aku rasa tidak juga, Pak:'
"Nanti juga berhenti sendiri:'
Kami tidak mendapatkan kemajuan apa pun, jadi aku meng­
ubah taktik dan menuturkan beberapa cara agar tempat kursus
ini bisa lebih sukses. lde-ide sederhana dan praktis serta pro­
sedur-prosedur yang kuperoleh dari pengalamanku selama ini.

316
Selama berbicara, aku nyaris bisa mendengar roda pikirannya
berputar. Aku muda, cerdas, memenuhi kualifikasi, dan akan
menikah dengan wanita lokal. Jika memainkan kartunya dengan
benar, dia dapat menggunakanku untuk keuntungannya.
"lni alamat e-mail saya."
"Mmm hmm:• Kuambil kartu nama itu dari tangannya.
"Baiklah."
"Menurutmu tempat kursusku bisa lebih baikr'
"Pastinya:·
"Bisa kaukirimkan beberapa idemu minggu depanr''
"Dan Anda akan bicara dengan Simon?"
"Kami memang ada pertemuan besok, membicarakan kon­
traknya."
Aku meninggalkan kantornya dengan perasaan menang. Se­
tidaknya aku sudah menyampaikan pendapatku dan berterus
terang mengenai perasaanku. Sebagai lelaki yang terlihat jelas
menghargai istrinya, kuharap dia bisa berempati padaku. Begitu
aku tiba di rumah, hujan turun dan aku menelepon Nurul lalu
membuka laptop. Ada permintaan pertemanan di laman Face­
book-ku dan aku tercengang sewaktu mengklik lambangnya dan
melihat nama ayahku.

317
"
Saya terima nikahnya Nurul Dwi Halimah, putri dari Bapak
Budiarso, dengan maskawin tersebut dibayar tunai:'
"Bismillaahirrahmaanirrahiim." Penghulu melepaskan tangan­
ku diiringi bacaan dalam bahasa Arab. "Asy-hadu allaa ilaaha
illallaah, wa asy-hadu anna Muhammadar-rasulallah."
Aku menatap Nurul, matanya begitu hidup, hangat dan ce­
merlang, dan gelombang kegembiraan membanjiriku. Selain
saat menjadi seorang Muslim, ini adalah hari terindah dalam
hidupku, kesempatan untuk berikrar di hadapan Tuhan bahwa
aku akan menjadi suami yang setia, pemberi dukungan dan se­
mangat dan pelindung istriku unwk selamanya. Aku t:ahu Nurul
juga merasakan hal yang sama dan setelah selesai menanda­
tangani buku nikah kami, kuraih tangannya dan kubawa dia
menjauhi keramaian.
"Kau cantik sekali."
"Bajunya terlalu ket:at." Dia tertawa. "Aku harus mengurangi
berat badan:'

318
"Aku mencintaimu, Sweetheart."
"Aku juga mencintaimu:·
"Ha.la.man tampak indah, sayangnya gerimis:·
"ltu pertanda baik:'
Kami berdiri dalam diam, akhirnya menjadi sepasang suami­
istri, memandang hamparan rumput hijau rimbun di taman yang
kami sewa untuk acara hari ini. Tamu kami tidak banyak dan
hanya orang-orang yang dekat dengan kami. Orangtua dan
saudara-saudara kandung Nurul, Pak Karyo beserta istri, putri
dan menantunya. Orangtuaku sendiri menelepon tadi pagi, lbu
menyampaikan ucapan selamat dari keluarga. dan Ayah juga me­
nelepon dari rumahnya di Amerika. Selanjutnya akan ada lagi
tamu yang datang, bapak-bapak dari masjid dan dari perusa­
haan minyak dan gas beserta istri mereka, teman-teman kuliah
dan kerabat Nurul, serta beberapa orang dari tempat kursus
yang masih berhubungan baik dengan kami.
"Ayo, waktunya foto:'
"Baiklah, kalau memang harus:• Aku tersenyum kepada Pak
Karyo yang tampak terharu. "Tapi sebelumnya kami ingin ber­
terima kasih atas kehadiran Bapak di sini."
"Hari ini aku merasa seperti ayahmu sendiri:'
"Aku juga merasa begitu, Pak."
"Mbak Nurul cantik sekali:'
"Riasannya terlalu tebal:'
"Tidak setebal riasan istriku waktu aku menikah dengannya.
Waktu itu dia seperti boneka porselen:·
Kami bertiga beranjak ke pelaminan. Sebuah sofa merah
kecil berbingkai latar belakang satin hijau dan putih serta rang­
kaian pohon palem dalam pot. Kami berpose bersama tamu-

319
tamu kami sementara fotografer mengambil gambar demi
gambar demi gambar dan setelah setengah jam berlalu kami
istirahat lalu pindah ke taman. Kami sudah menyepakati per­
paduan barat dan timur untuk konsep pernikahan kami. Selain
duduk di pelaminan, kami juga berkeliling untuk menemui
tamu-tamu kami.
"Kau sudah makan, Sweetheart?"
"Terlalu gugup tadi pagi." Nurul menghaluskan kerutan di
lengan jasku. "Kau bagaimana?"
"Aku tak pernah terlalu gugup untuk makan."
"Mungkin justru harus."
"Yeah, kurasa begitu:· Aku menepuk perutku, yang serata
papan waktu baru tiba di Indonesia empat belas bulan lalu.
"Tapi tergantung seenak apa masakanmu:'
"Kuharap kau suka."
"Mereka bilang, cara merebut hati seorang pria adalah me­
lalui perutnya."
"Kalau begitu kau pasti sangat cinta Indonesia."
Kami menyusuri tepian kolam renang lalu duduk di bangku
yang terhindar dari tetesan gerimis karena dinaungi jalinan
dahan-dahan sejumlah pohon. Untuk sesaat tak ada yang me­
lihat dan kami memajukan tubuh untuk berciuman. Tiba-tiba
fotografer muncul dan menyerahkan buket bunga mawar ke­
pada Nurul. Kulingkarkan lenganku di pinggang rampingnya
dan kami tersenyum ke kamera seraya berharap kami sudah
berada di dalam kamar hotel.
Menjelang siang, sebagian besar tamu kami sudah datang.
Band memainkan musik jazz dan blues, makanan terhidang
rapi dan matahari bersinar cerah. Kami salat Dzuhur dan

320
sungguh suatu kehormatan besar bisa menjadi imam untuk
istriku, kemudian kami keluar lagi dan kembali ke pelaminan
untuk sesi foto berikutnya. Aku belum pernah merasa seutuh
ini dan ketika mengenang tahun yang telah berlalu, kusadari
betapa banyak yang telah Nurul dan aku alami.
"Pak Laeman, assalamualaikum."
"Wa alaikum salam:'
"Terima kasih sudah datang."
"Kau ganteng sekali:' Dia menggenggam tanganku dan men-
cium pipiku. "Dan Mbak Nurul, cantik betul hari ini."
"Terima kasih, Pak."
"lstriku sebentar lagi kemari:'
"Nanti kita foto bersama."
"Dia sangat suka kartu undanganmu:·
"Maha suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu ber­
pasang-pasangan." Nurul tersenyum. "Dari surah Yasin:•
"Memang lua.r biasa, Pak. Surah tiga puluh enam, ayat tiga
puluh enam:·
''Yang juga berpasangan." Dia menggenggam tanganku lagi.
"Subhanallah:'
Setelah berfoto, istri Pak Laeman mengatakan kepada kami
untuk segera punya anak. Nurul dan aku sudah begitu sering
membicarakannya dan itu adalah sesuatu yang kami berdua
inginkan sepenuh hati. Beberapa ja.m berikutnya berlalu bagai
dalam mimpi dan tiba-tiba saja kami sudah dalam perjalanan
menuju hotel, menumpang mobil salah seorang paman. Seorang
teman di perusahaan minyak dan gas membantu kami men­
dapatkan harga diskon di hotel dan selama satu malam kami
akan dijamu layaknya bangsawan.

321
"Satu hal lagi:'
"Kotak-kotak makanan?"
"Aku sudah mengirim pesan pada penjualnya." Nurul me­
remas tanganku dan tersenyum. "Dia sudah menunggu kita:'
"Menurutmu tetangga-tetanggamu tidak keberatan dengan
nasi Padang?"
"Yah, memang tidak biasa:·
"Seluruh kisah kita memang tidak biasa."
Mobil berhenti di restoran Padang kecil tempat Nurul dan
aku sering makan. Aku keluar dan menyapa si penjual lalu me­
muat kotak-kotak makanan di bagasi mobil. Setelah membayar
dan menjabat tangan si penjual, kami melanjutkan perjalanan.
Lalu lintas lengang dan sepuluh menit kemudian kami sudah
berada di meja resepsionis. Setelah itu kami mendaftar dan
diantarkan ke kamar kami. Kami mengucapkan terima kasih
pada pelayan hotel lalu menutup pintu dari dunia luar.

* * * * *

Bulan madu kami sederhana. Kami tinggal di rumahku sampai


pertengahan Januari, saat kontrak sewa berakhir, dan kami me­
nikmati kebebasan dari tempat kursus itu. Sang pemilik me­
nawariku posisi Direktur Pendidikan tapi kutolak dengan per­
timbangan Simon sudah terla.lu tua dan tidak cakap untuk
mencari pekerjaan baru. Aku juga khawatir takkan bisa me­
nahan diri untuk membalas dendam kepada Wening dan Jaya
serta semua orang lain yang cukup lemah untuk dipengaruhi
oleh mereka. Maka aku memilih menerima tawaran mengajar
di Jakarta Barat.

322
"Satu hal lagi:'
"Kotak-kotak makanan?"
"Aku sudah mengirim pesan pada penjualnya." Nurul me­
remas tanganku dan tersenyum. "Dia sudah menunggu kita:'
"Menurutmu tetangga-tetanggamu tidak keberatan dengan
nasi Padang?"
"Yah, memang tidak biasa:·
"Seluruh kisah kita memang tidak biasa."
Mobil berhenti di restoran Padang kecil tempat Nurul dan
aku sering makan. Aku keluar dan menyapa si penjual lalu me­
muat kotak-kotak makanan di bagasi mobil. Setelah membayar
dan menjabat tangan si penjual, kami melanjutkan perjalanan.
Lalu lintas lengang dan sepuluh menit kemudian kami sudah
berada di meja resepsionis. Setelah itu kami mendaftar dan
diantarkan ke kamar kami. Kami mengucapkan terima kasih
pada pelayan hotel lalu menutup pintu dari dunia luar.

* * * * *

Bulan madu kami sederhana. Kami tinggal di rumahku sampai


pertengahan Januari, saat kontrak sewa berakhir, dan kami me­
nikmati kebebasan dari tempat kursus itu. Sang pemilik me­
nawariku posisi Direktur Pendidikan tapi kutolak dengan per­
timbangan Simon sudah terla.lu tua dan tidak cakap untuk
mencari pekerjaan baru. Aku juga khawatir takkan bisa me­
nahan diri untuk membalas dendam kepada Wening dan Jaya
serta semua orang lain yang cukup lemah untuk dipengaruhi
oleh mereka. Maka aku memilih menerima tawaran mengajar
di Jakarta Barat.

322
"Buburnya enak sekali:'
"Agak aneh pakai emping:·
"Ya, agak aneh:'
"Dan ada minimarket dalam gedung apartemen:' Kupunguti
emping di bagian atas buburku dan memberikannya kepada
Nurul. "Nyaman sekali, kan:·
"Terlalu nyaman, kita jadi sering belanja camilan:·
Apartemen kami tipe studio berukuran mungil yang kami
sewa selama satu bulan dengan harapan kami bisa menemukan
tempat yang lebih baik setelah mengenal daerah ini. Tempat
kerja yang baru masih menunggu visa kerjaku selesai dan aku
belum ada jadwal mengajar sampai pertengahan Februari. Maka
bulan madu pun berlanjut, keluar mencari sarapan di pagi hari
yang santai, menjelajah kota di sore hari, dan di malam hari
kami bercinta atau menonton televisi.
"Sepertinya aku butuh nomor ponsel baru, Darling. Koneksi
internetku sangat lambat:'
"Nomorku tidak ada masalah:'
"Boleh kupakai? Mau mencari apartemen lagi."
"Sebentar, aku periksa e-mail dulu:' Aku menyendok bubur
lagi. "Ada e-mail dari lembaga kursus, mereka memintaku
mengajar di Jakarta Pusat:'
"Mungkin biaya hidup di sana lebih mahal:'
"Syukurlah ada uang pemberian ayahku."
"Mmm hmm."
"Aneh sebenarnya, dan ini bukan pertama kalinya. Waktu
aku bersama Amy, hal yang sama juga terjadi. Ayahku tiba-tiba
saja muncul dan membantuku memulai hidup baru."
"ltu cara Tuhan menjagamu:•

323
"Kurasa begitu:'
"Oh.'' Wajah Nurul mendadak pucat. "Oh, jangan lagi."
Dia bangkit dan buru-buru ke toilet. Aku bisa mendengar­
nya muntah-muntah. Tempo hari, kami makan sate yang tidak
terlihat meyakinkan dan sesudahnya kami berdua merasa agak
sakit, tapi kondisi Nurul belum juga membaik. Kunyalakan pe­
manas air lalu masuk ke kamar mandi dan menggosok-gosok
punggungnya, setelah itu membuatkan secangkir teh untuknya.
Setengah jam kemudian kami berjalan kaki ke pusat per·
belanjaan dekat apartemen yang kulihat kemarin dilengkapi
apotek.
"Pelan-pelan."
"Rasanya aku sudah pelan."
"Terlalu cepat untukku.''
"Aku tadi sudah menyarankan agar kau istirahat saja di ka­
mar.''
"Hei, Mister, cewekmu suka makan pisang besarmu?"
"Demi Tuhan.'' Darahku langsung mendidih. "Semoga saja
mereka tak pernah pergi ke lnggris. Mereka bisa masuk rumah
sakit kalau berani meneriaki hal seperti itu.''
"Tenanglah."
"Aku sudah coba, tapi itu benar-benar kurang ajar."
Kami melanjutkan perjalanan tanpa berbicara dan aku ber·
usaha seba.ik mungkln mengendalikan kemarahanku. Aku mem­
batin bahwa ini semua bagian dari pengalaman hidup di negara
lain dan bahwa orang asing di lnggris pasti juga menghadapi
masalah serupa. Menganggap dunia barat lebih unggul sama se­
kali tak sesuai dengan pendirianku, tapi kadang-kadang aku
sungguh tak mampu mengendalikan diri. Sekali lagi aku menjadi

324
Anjing-anjing Pavlov yang menarik-narik tali kekang hendak
menerkam seseorang.
Apoteker mengangkat alis ketika Nurul menjelaskan gejala
yang dia alami dan menyarankan agar kami membeli alat uji ke­
hamilan saja. Dalam kondisiku yang sedang sangat sensitif, aku
merasa orang-orang memandang kami sebagai pasangan berbeda
ras yang tidak sah, dan suasana hatiku segelap tengah malam
pada saat kami tiba kembali di apartemen.Aku berbaring di tem­
pat tidur dan menatap televisi sementara Nurul mengeluarkan
barang yang kami beli tadi dan beranjak ke kamar mandi.
"Jadi, apa hasilnya?"
"Butuh beberapa menit."
"Di mana kau menaruh bungkusnya?"
"lni:' Dia duduk di pinggir tempat tidur dan menyerahkan­
nya kepadaku. "Di sini tertulis satu garis merah muda berarti
negatif dan dua berarti positif'
"Bayangkan kalau kau sudah hamii. . ."
"Masih tetap satu garis:'
". . .betapa menyenangkan."
"Negatif' Dia mengangkat alat uji kehamilan itu. "Untunglah
kita juga membeli obat mual."
"Tidak apa-apa, Sweetheart."
Maka berakhirlah babak ketiga dari hari yang tidak berun­
tung. Direndahkan di jalan, dihina di apotek, kecewa di aparte­
men. Membayangkan menjadi ayah lagi, membesarkan anak di
rumah yang penuh kasih sayang, terasa begitu emosional sam­
pai-sampai napasku tersekat. Tapi semakin memikirkan kega­
galanku dengan putra pertama, semakin aku merasa tak layak
mendapatkan kesempatan kedua.

325
"
1'.udengar istrimu sedang hamil."
"Kabar baik cepat beredar."
"Sudah berapa bulan?"
"Kira-kira tujuh minggu:' Aku bersandar ke meja dan terse­
nyum pada resepsionis. "Kami melakukan USG untuk me­
meriksa detak jantungnya kemarin."
"Menggembirakan sekali:'
"Aku tahu, dan begitu cepat, kami belum lama menikah:'
Tempat kursus yang baru benar-benar kebalikan dari tempat
yang lama. Luas, bersih, dan sangat kompetitif, dengan jajaran
staf lokal dan barat yang berkualitas. Sejak uji kehamilan kedua,
semua sepertinya berjalan dengan sangat baik dan kami betul­
betul bahagia. Kami sudah pindah ke paviliun berjarak sepuluh
menit perjalanan naik taksi dari sini, di samping kanal dan de­
kat masjid. Pemiliknya seorang wanita ramah berusia awal lima
puluhan. Aku sedang menjalani minggu terakhir orientasi dan
tak lama lagi akan mendapat jadwal mengajar penuh waktu.

326
"Dua menit sebelum dimulai."
"Siap." Aku berpaling kepada Judith, gadis berambut merah
dari Missouri yang kelasnya akan kuobservasi. "Aku sudah
menaruh kursi tambahan di dalam kelas:'
"Bawa lembar observasi?"
"Sudah:'
"Kau seperti orang lokal saja:•
"Oh ya?"
"Mereka selalu bilang sudah."
Kami masuk ke kelas dan aku duduk sementara Judith me­
manggil para siswa lalu membagikan daftar absen. Dia meminta­
ku memperkenalkan diri kemudian melakukan pemanasan de­
ngan permainan ingatan dan aku mulai membuat catatan pada
lembar observasi. Di pertengahan pelajaran, aku bisa merasakan
ponselku bergetar dan wakw mengecek pesan jantungku se­
olah melompat ke mulut. Nurul mengalami perdarahan ringan
dan kram perut.
Aku minta izin pulang lalu naik taksi ke rumah. Nurul ber­
baring di sofa dengan wajah pucat pasi. Tak ada yang dapat
dilakukan malam itu dan kami berpelukan sepanjang malam lalu
mendatangi poli kebidanan dan kandungan begitu sudah buka.
Rasanya lama sekali kami duduk di ruang tunggu dan ketika
perawat mengantarkan ke ruang USG, kami nyaris gila karena
cemas. Kemudian Nurul berbaring di ranjang dan kami me­
natap monitor bersama dokter yang bertugas, berharap se­
penuh hati tidak ada yang salah.
"Sudah mati."
"Oh tidak:' Nurul menutup tangis di mulutnya dengan ta­
ngan. "Tidal<, tidak mungkin."

327
"Tidak apa-apa, Sweetheart."
"Maafkan aku."
"Tak perlu minta maaf, kau tidak berbuat sa.lah:' Aku me­
remas tangannya dan mengecup sisi kepalanya. "Dokter, bagai­
mana ini bisa terjadi?"
"Mungkin ada masalah dengan perkembangan janin:•
"lni salahku, aku terlalu sibuk bersih-bersih:'
"Kadang-kadang hal seperti ini memang terjadi, tak ada yang
dapat kaulakukan:'
"Kehendak Tuhan." Dokter bertanya apakah Nurul memilih
obat atau dikuret. "Obat tidak begitu berisiko karena tidak
perlu dimasukkan alat, tapi mungkin tidak bisa membersihkan
rahim lbu sampai tuntas:·
Kami menunggu di apotek dan mataku bagaikan buta ka­
rena menahan air mata. Aku merasa sangat terkutuk. Obat­
nya selesai lalu kami naik taksi dan aku m engirim pesan ke
tempat kursus, mengabarkan aku tidak bisa kembali ke sana
hari ini. Aku juga mengirim kabar kepada ibuku. Lalu lintas
begitu padat dan butuh waktu satu jam lebih untuk tiba di
rumah. Kami memasuki kegelapan kamar mungil kami dan
terkulai lemas ke tempat tidur.
"Aku sungguh minta maaf, Darling." Wajah Nurul basah
dengan air mata. "Aku tidak bermaksud membiarkan ini
terjadi."
"Kau tidak berbuat salah."
"Seharusnya aku tidak bekerja terlalu keras."
"Oh tidak, siapa ini?" Ponselku berdering dan rupanya
dari lbu. "Halo."

328
"Halo, my love, aku ikut berduka mendengar kabar dari­
mu."
"Aku tahu."
"Bagaimana keadaan Nurul?"
"Sedih sekali.''
"Kami semua memikirkan kalian.''
"Oke."
"Seandainya aku bisa berada di sana bersama kalian ber­
dua.''
"Tidak apa-apa, sebentar lagi bulan Juni."
"Pastikan Nurul makan, kau harus memulihkan raga un­
tuk memulihkan jiwa.''
"Baik.''
"Telepon aku beberapa hari lagi kalau sudah lebih te­
nang."
Kutarik Nurul mendekat dan kupeluk erat-erat dengan mata
panas. Rasa kehilangan dan kekecewaanku tak ada artlnya diban­
dingkan apa yang dirasakan istriku, dan tiba-tiba aku sadar bah­
wa inilah arti cinta sejati. Kau berusaha sekuat mungkin untuk
menghapus kesedihan orang itu, menyerahkan segenap hatimu
tanpa sedikit pun memikirkan diri sendiri. Dan saat itu juga
aku tahu bahwa aku harus lebih kuat daripada sebelumnya,
jika ingin menuntun istriku keluar dari kegelapan ini.
"Oke, kita harus memikirkan makanan."
"Tidak mau makan."
"Aku juga tidak, tapi sakit karena lapar takkan membantu
kita berdua."
"Soto mungkin.''
"Penjual soto biasanya sudah tidak ada jam segini.'' Ku-

329
sibakkan rambut yang terjuntai di dahi Nurul. "Bagaimana
kalau mi ayam atau ketoprak?"
"Ketoprak saja, dan air kelapa."
"Baiklah."
"Aku mencintaimu, Darling."
"Aku juga mencintaimu."
Di luar terasa amat berbeda dari suasana kamar yang di­
liputi kesedihan dan aku seperti orang linglung sewaktu mem­
beli makanan dan minuman. Saat aku tiba di rumah, kami
langsung makan dan ketoprak, anehnya, terasa enak. Nurul
kemudian tidur sementara aku membasuh badan di kamar mandi
kami yang sempit lalu beranjak ke ruang tamu untuk salat dan
air mataku mengalir deras. Aku teringat surah Ali-lmran ayat
enam, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyerah­
kan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Kembali ke kamar, Nurul sudah bangun lagi dan aku menun­
tunnya ke kamar mandi lalu membantunya mandi. Setelah bersih,
kami menonton DVD lalu mengobrol tentang kisah hubungan
kami dan rupanya ada manfaatnya menengok ke belakang, me­
ngenang betapa kami sudah berhasil mengatasi setiap tantangan
bersama-sama. Tak lama kemudian malam menjelang, kami me­
matikan lampu dan pergi tidur. Dan aku merasakan tekanan air
bertambah kuat Kali ini aku berhasil meraih anak itu dan mem­
bawanya ke permukaan dan saat tiba di pantai dan menelentangkan
anak itu, ternyata aku menatap diriku sendiri.

** * * *

330
Beberapa bulan berlalu dan kami menyibukkan diri untuk me­
nangkal kesedihan. Lembaga kursus menawari promosi jabatan
dan kuputuskan untuk mengajukan diri, mengingat gaji yang
lebih besar akan sangat membantu untuk menopang keluarga
baruku. Sementara Nurul mencurahkan perhatiannya untuk
membuat paviliun kami lebih nyaman, juga menjaga tubuh dan
pikirannya sesehat mungkin.
"Oke, kurasa aku harus pergi, Sweetheart:'
"Pulang jam berapar''
"Seperti biasa, tergantung lalu lintas:•
"Sangat macet di sini:'
"Sayang aku tak bisa jalan kaki saja, barangkali malah lebih
cepat:'
"Terlalu panas:·
"Tepatnya terlalu berbahaya, ojek-ojek suka naik ke trotoar."
Aku berjalan ke jalan utama untuk mencari taksi, dan tak
lama kemudian sudah berada di ruang guru dengan secangkir
kopi, mengecek e-mail. Ayahku berulang tahun keenam puluh
tiga hari ini dan aku bermaksud mengiriminya pesan dengan
harapan dia akan sudi untuk membalasnya dalam beberapa hari
bukan berbulan-bulan seperti yang sudah-sudah. Tidak mudah
berpikiran positif terhadapnya, terlepas dari bantuan keuangan
yang dia berikan, sebab dia tak pernah sekali pun meminta
maaf atau memberikan penjelasan atas sikapnya.
"Hei, Dude."
"Pagi, Bradley."
"Pagi sekali kau datang:• Dia seorang guru bertubuh gempal
berusia empat puluhan, tipe pecinta diri sendiri, tangan bertato,
dan kepala botak. "Supaya manajemen terkesan?"

33 1
"Tak ada salahnya."
"Seharusnya aku tidak berpesta terlalu heboh semalam."
"Sakit kepala?"
"Aku terpaksa menghentikan ojekku dan muntah di pinggir
jalan."
"Begitu, ya?"
"Komputer komputer ini sudah diperbaiki belum? Aku harus
-

memperbarui CY-ku."
"Lima menit lagi kau bisa pakai komputer ini."
Setelah menulis dan mengirimkan e-mail, aku pindah ke sa­
lah satu meja di sudut untuk mempersiapkan materi mengajar.
Bradley duduk di depan komputer dan langsung membuka si­
tus berita, menghabiskan sepuluh menit berikutnya mengomen­
tari semua berita utama. Dan itu menjengkelkan karena be­
berapa alasan, terutama karena dia sepertinya tak bisa
menyimpan sendiri pendapatnya.
"Born bunuh diri lag1:·
"Di mana sekarang?"
"Maaf, Dude, aku tahu kau Muslim dan sebagainya, tapi be­
berapa orang ini benar-benar sinting."
"Aku setuju, selalu ada kelompok psikopat dalam setiap
segi kehidupan."
"Bagaimana bisa mereka mematuhi segala hal yang tertulis
dalam sebuah buku?"
"Yah, itu bukan buku sembarangan, tapi sabda Tuhan."
"Oh benar, dan Tuhan macam apa yang menghasutmu un­
tuk berkeliaran sambil meledakkan orang-orang?"
Aku berusaha menjelaskan kepadanya apa yang pernah di­
jelaskan Karim kepadaku. Bahwa ada bagian-bagian dalam Ki-

332
tab Suci Al-Quran yang maknanya sangat jelas dan itu me­
rupakan pondasi utama dari Islam. Namun ada bagian-bagian
lain yang bersifat kiasan dan terbuka untuk diinterpretasikan.
Dalam pandanganku, bagian-bagian ini laksana cermin, meman­
tulkan hati dan jiwa pembacanya. Hati yang sesat akan me­
nemukan makna yang sesat, sementara hati yang bersih akan
menemukan makna yang mulia.
"Tapi bagaimana jika seseorang tidak cukup cerdas untuk
membedakannya?"
"Tuhan tidak mungkin membebani kita melebihi apa yang
sanggup kita tanggung:'
"jadi, asalkan para pengikut ini tak punya otak, mereka be­
bas dari semua konsekuensi?"
"Tak punya otak bukan berarti tak punya hati nurani,
Bradley. Lagi pula, kurasa itu tergantung pada apa atau siapa
yang mereka ikuti. Tuhan sudah menyatakan dengan sangat jelas
dalam surah Al-An'am bahwa jika kamu hanya menuruti ke­
banyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan me­
nyesatkanmu:·
"ltu dia, lagi-lagi kau mengutip buku kecilmu." Dia kembali
mengalihkan perhatiannya ke monitor. "Aku heran bagaimana
kau bisa memercayai semua sampah itu:·
"lni masalah keyakinan, aku rasa:'
"llmu pengetahuan sudah menjelaskan pada kita tentang
teori ledakan dahsyat:'
"ltu teori atau cerita?"
"jadi, kau percaya kalau Tuhan yang menciptakan alam se­
mesta?"
Aku ingin balas bertanya, bagaimana mungkin dia percaya

333
bahwa alam semesta adalah produk dari peristiwa kebetulan
semata. Bahwa dunia di sekeliling kita hanyalah hasil dari jutaan
elemen acak yang menyatu setelah miliaran tahun. Dan bahwa
kisahnya terdengar lebih mustahil dibandingkan kisahku. Tapi
aku sudah diajarkan bahwa lebih baik membiarkan dia dengan
keyakinannya dan aku dengan keyakinanku sendiri.
Pada saat itu manajer kami, Michael, masuk ke ruangan dan
bertanya apakah salah satu dari kami bersedia bekerja lembur.
Sebelum aku sempat membuka mulut untuk menjawab ya,
Bradley sudah mengajukan diri dan kesempatan untuk men­
dapat uang tambahan terlepas dari genggaman. Kuhabiskan
sisa-sisa kopiku yang pahit lalu keluar ke koridor dan Michael
mengikutiku lalu bertanya apakah kami bisa bicara empat mata.
"Mereka ingin mewawancaraimu besok:'
"Oh, baiklah. Ada saran?"
"Tunjukkan saja pada mereka kalau kau punya minat yang
besar terhadap pendidikan:·
"ltu cukup mudah:'
"Dan bersiaplah untuk pertanyaan yang tak terduga." Dia
mengusap janggutnya. "Aku ingat mereka bertanya padaku,
binatang apa yang paling tepat menggambarkanku."
"Apa jawabanmu?"
"Antelop Afrika:•
"Spesifik sekali:'
"Mereka salah satu binatang yang berpasangan untuk se­
umur hidup."
"Jadi, kau penganut monogami sejati?"
"Tidak juga:• Dia mengedip dan matanya menyorot jenaka.
"Tapi manajemen di sini menjunjung tinggi komitmen:'

334
Reuni

"
A.staga, Nak. cepat sekali kau tumbuh:'
"Nomor dua tertinggi di kelasku sekarang."
"Aku yakin begitu."
"Lebih tinggi dari Jason:·
"Pasti dia tidak terlalu suka:'
Nurul dan aku berada di bandara Soekamo-Hatta, menemui
lbu dan putraku yang baru saja muncul di terminal kedatangan.
Bagasi mereka pasti keluar paling akhir di ban berjalan, sebab
pesawat sudah mendarat satu setengah jam yang lalu. Tak ter­
kira senangnya bisa bertemu mereka, ibuku terlihat lebih tua
dan sedikit lebih gemuk, sementara putraku sangat mirip de­
nganku wakw remaja. Bukan lagi seorang anak tapi belum
dapat disebut dewasa, dan jika dia mengikuti jalan yang kutem­
puh, perjalanannya masih cukup panjang.
"Berat badanmu bertambah, Nak:'
''Terima kasih, lbunda:'
"Dan Nurul, senang bertemu denganmu."

335
"Kami menyewa minivan dan sopir:· Aku tersenyum sambil
berusaha menahan kuap. "lebih nyaman daripada kita semua
berjejalan dalam taksi:'
"Ya ampun, udaranya sangat hangat untuk ukuran jam se-
belas malam."
"Aku lapar sekali, Oma:•
"Dia tidak suka makanan di pesawat."
"Kalau begitu, sekalian saja kita cari makan di sini."
Kami menemukan kafe yang memiliki area luar lalu meme­
san minuman dan dua piring nasi goreng. Sudah satu setengah
tahun aku tidak bertemu mereka, dan aku ingat hari terakhir
kami bersama, perjalanan yang muram menyusuri tepi laut di­
susul perpisahan yang emosional. Begitu banyak yang telah
terjadi antara saat itu dan sekarang. dan kami tak tahu mesti
memulai dari mana, jadi sepuluh menit pertama kami habiskan
dengan membicarakan hal-hal remeh.
"Nurul dan aku punya kabar untuk kalian:•
"Oh ya?"
"Sembilan minggu hari ini." Kusentuh perutnya dengan lem-
but. "Dan semua sepertinya baik-ba.ik saja."
"Ya Tuhan, itu kabar yang sangat baik:'
"Terima kasih, Bu."
"Pastikan kau cukup istirahat, my dear."
"Aku tak suka nasi gorengnya, Ayah. Terlalu pedas."
Setiba di minivan, sopirnya membantuku memuat barang-ba­
rang lalu kami meluncur keluar dari lahan parkir bandara. Jalan
raya cukup lengang, dan dari jendela kota Jakarta terlihat me­
lesat, gelap dan terang, kotor dan bersih, korup dan jujur,
serta segala hal di antaranya. Aku memberikan hadiah ulang

336
tahun yang lebih awal untuk putraku, dan ibuku menyampai­
kan berbagai kabar terbaru tentang keluarga kami, semen­
tara Nurul berbicara tentang kamar yang sudah kami sewa
untuk mereka. Tak lama kemudian kami tiba di tujuan.
"Jadi, kau akan datang menemui kami besok pagi?"
"Kau belum bebas dariku." Kutarik pegangan koper ibuku.
"Aku mau di sini dulu sebentar dan membantumu beres-be-
res:·
"Nurul, kau kelihatan capek, my dear."
"Mungkin sebaiknya aku pulang duluan:'
"Ide bagus, Sweetheart. Kau pegang uang dan kunci rumah?"
"Sebentar." Dia memeriksa tas tangannya. "Ya, ada padaku."
"Jangan sampai kami merepotkanmu, Nak:'
"Tidak apa-apa, Bu. Tempat kami hanya dua menit dari sini."
Nurul pergi bersama sopir dan kami membawa masuk ba-
rang-barang ke penginapan lalu naik ke kamar mereka yang
bersebelahan di lantai dua. lbuku menyeduh air dengan teko
pemanas lalu membuat secangkir teh sementara putraku mulai
membongkar tasnya di kamar sebelah. Aku duduk di pinggir
tempat tidur dan meminta maaf pada lbu karena mereka tak
bisa tinggal bersama kami di paviliun. Masalahnya, tempat itu
terlalu sempit dan bisa-bisa kami bertubrukan setiap saat.
''Tak masalah, di sini tidak apa-apa."
"Senang kan, mendengar kabar tentang bayi kami?"
"Kalian tak butuh waktu lama."
"Kami dapat nasihat bagus dari salah satu siswa dewasaku:'
"Oh ya?"
"Dia spesialis kesuburan, dan menurutnya menghitung siklus
ovulasi malah merepotkan bukannya membantu. Rupanya lebih

337
baik berhubungan saja dua atau tiga kali seminggu dan cepat
atau lambat kau akan mendapatkan waktu yang tepat:'
"Nurul sepertinya sangat baik:'
"Aku beruntung, Bu, dia wanita yang luar biasa. Jujur, pe-
kerja keras, murah hati."
"ltu yang paling penting."
"Benar sekali."
"Nenek dan Kakek kirim salam sayang."
"lbu sudah memberitahu mereka kalau aku memeluk agama
Islam?"
"Semua orang hanya ingin kau bahagia, Nak."
"Seandainya Ayah bisa pengertian seperti itu."
Kami membicarakan hal ini dan itu, dan aku berpindah-pin­
dah antara dua kamar. Putraku benar-benar lelah, aku membu­
juknya untuk tidur dan menyelesaikan beres-beres besok pagi.
Setelah itu aku kembali ke kamar lbu dan dia sudah bersantai
di tempat tidur sambil membaca buku. Kami sepakat untuk
bertemu besok siang antara jam sepuluh atau sebelas. Saat
beranjak meninggalkan kamarnya, dia memanggilku dan memin­
taku menghabiskan sebanyak mungkin waktu bersama putraku.
"Dia sedang mengalami masa yang sulit saat ini."
"Oke."
"Dia sama sekali tidak akur dengan Jason:'
"Yah, lbu tahu seperti apa remaja seusia itu."
"Ditambah lagi, ibunya tak pernah mengatakan hal-hal baik
tentangmu."
"Aku tidak heran:' Aku berjalan ke pintu. "Jangan khawatir,
aku akan bicara dengannya."
"Baiklah, selamat malam, Nak."

338
Aku meninggalkan penginapan dan sudah hampir jam dua
pagi saat aku tiba di rumah lalu naik ke tempat tidur. Nurul
terbangun sebentar dan bertanya apakah semua baik-baik saja
dan kujawab tidak ada masalah, lalu mencium pipinya dan tidur.
Dan beberapa jam kemudian lampu kamar menyala dengan
Nurul berdiri di depanku dengan wajah panik dan dia mengata·
kan dia menga.lami perdarahan ringan lagi.

* * * * *

"Aku selingkuh dengan Sara?"


"lbu bilang begitu."
"Maksudnya Sara istri ayahku?"
"Jadi, itu tidak benar?"
"Ya Tuhan:' Aku benar-benar terpukul mendengarnya. "Jahat
sekali dia berkata seperti itu."
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Dengar; Nak, kalau umurmu sudah delapan belas tahun, kau
boleh tanya apa saja padaku dan akan kujawab dengan jujur.
Tapi sebelum saat itu tiba, kau hanya harus berusaha berpikiran
terbuka."
Dua minggu berlalu dalam sekejap dan ibu serta putraku
sudah akan pulang besok. Nurul beristirahat di rumah, ibuku
berbelanja oleh-oleh dan aku menyaksikan putraku menyan­
tap burger dan kentang goreng di food court. Bisa dibilang ini
satu-satunya makanan yang bisa dia terima dan aku merasa
agak malu karena dia kurang punya jiwa petualang. Tapi juga
aku jarang berada di dekatnya untuk membinanya dalam hal
itu, jadi apa pantas aku menghakimi?

339
"Ya ampun, ramai sekali:'
"Hei, Bu:·
"Rasanya lama sekali aku mengantre di sana:• Dia duduk di
sampingku. "Dan orang-orangnya begitu masa bodoh:'
"Begitulah kehidupan di kota besar:·
"Apa susahnya bilang permisi?"
"London juga sama. Kalau terlalu banyak orang di saw tempat,
mereka jadi lupa sopan santun. Sayang kau tak ada di sini waktu
Ramadan."
"Kenapa memangnya?"
"Yah, Ramadan bukan hanya waktu untuk berpuasa:· Aku men­
comot beberapa potong kentang goreng putraku dan mencelup­
kannya ke saus tomat. "Tapi juga berusaha menjadi orang yang
lebih baik, mengekang semua kebiasaan buruk serta perilaku yang
tak pantas dan mencoba meneladani Nabi Muhammad."
"Bukankah seharusnya kau melakukan itu sepanjang tahun?"
"Tak ada salahnya diingatkan:·
"Aku masih menganggap tidak sehat kalau terlalu lama tidak
minum:·
"Puasa tak pemah membunuh siapa pun, Bu. Lagi pula, ada
pengecualian bagi anak-anak, orang sakit, orang yang bepergian
jauh, dan sebagainya. ltu salah satu hal yang tak pernah di­
ungkapkan kepadamu, betapa Islam sangat logis dan fleksibel."
"Apakah itu artinya Nurul tidak harus berpuasa?"
"Benar sekali, dia mesti menjaga tubuhnya agar tetap kuat:'
Setelah putraku selesai makan kami pindah ke tempat bo-
ling di dekat situ. lbuku pergi mencari toilet, aku dan putraku
mengenakan sepatu yang mirip sepatu badut, menuliskan nama
kami di komputer lalu mulai bermain. Aku menjatuhkan satu

340
pin lalu lima pin pada lemparan berikutnya, sementara putraku
menjatuhkan dua pin lalu enam. Setelah itu kami duduk dan
menunggu ibuku mengambil gilirannya.

"Aku minta maaf keadaannya tak bisa berbeda, Nak."


"Tidak apa-apa, Ayah:'
"Yang penting kau mengerti bahwa semua ini bukan salah­

mu:·
"Baiklah:'

"Mengenai Jason, ingat pesanku padamu, selama kau tinggal


di bawah atap orang lain, kau mesti menghormati aturan me­
reka."

"Halo, Anak-anak."
"Hai, Bu, kukira kau jatuh ke toilet:'
"Oh, lucu sekali:'
"Giliranmu, Oma:'
"Kalian harus janji tak boleh tertawa, sudah bertahun-tahun
aku tidak ma.in boling:•
"Tenang saja, kami akan tertawa bersamamu, bukan mener­
tawakanmu:'

lbu berhasil melakukan strike dan mengulanginya beberapa


kali lagi sepanjang pertandingan. Kami melanjutkan ke babak
kedua dan ketiga dan tak lama kemudian waktu Magrib tiba
jadi aku harus mencari musholla. Kami pergi ke kafe, memesan
minuman dan camilan, lalu kutinggalkan lbu dan putraku se­
bentar untuk salat. Saat aku kembali, kami membicarakan ren­

cana ke bandara dan kenyataan bahwa mereka akan pulang


besok mendadak terasa sangat nyata.
"Berapa jam penerbangannya, Oma!"

341
"Kali ini transitnya lebih singkat, jadi total kira-kira dua
puluh satu jam."
"Semoga film-filmnya lebih bagus saat perjalanan pulang:'
"Mengingat kau tidur hampir sepanjang penerbangan, me-
nurutku itu tidak penting."
"ltu sebabnya aku tidur, film-filmnya jelek."
"Begitu:·
"Tahun depan kami usahakan bisa datang ke tempat kalian."
"Kita lihat saja nanti, Nak, satu tahun waktu yang sangat
lama:·
Kami menghabiskan hidangan lalu naik taksi kembali ke
penginapan. Sewaktu kami turun, seorang sopir angkot yang
kebetulan lewat meneriakkan sesuatu kepada ibuku dan aku
bersyukur dia tidak mengerti bahasa Indonesia. Malam mem­
bawa suasana melankolis dan kami duduk di kamar ibuku, ber­
usaha berpura-pura semuanya baik-baik saja. Namun kenyataan­
nya tidak demikian dan segera saja kami kehabisan kata-kata,
hati kami bagaikan awan hujan membengkak yang siap pecah.

342
Saat itu pertengahan januari dan aku akhirnya mulai menik­
mati posisi baruku. Enam bulan pertama sama sekali tidak mu­
dah dan aku harus memikirkan ulang gaya manajemenku serta
mengenal lebih jauh para staf lokal. Keterusterangan dan ke­
d isiplinan tak banyak gunanya di sini dan pendekatan baratku
mesti diperhalus, bahkan terkadang mesti disingklrkan sepenuh­
nya. Dan memang sudah waktunya sebab negeri ini adalah
,

rumahku sekarang, rakyatnya adalah saudara sebangsaku, dan


akulah yang harus beradaptasi, bukan orang lain.
"Halo, Darling, bagaimana harimu?"
"Tidak terlalu buruk, mengingat aku harus memberitahu
mereka soal bonus."
"Apakah mereka sangat kecewa?"
"Sulit memastikannya." Kulepaskan sepatu dan celana kerja­
ku lalu melangkah ke dalam. "Hujannya lebat sekali, ya? Air
sampai setinggi lututku waktu aku melewati pasar:'

343
"Salah satu pompa rusak."
"Akan sangat membanw kalau orang-orang tidak membuang
sampah di sungai:'
"Masalahnya di Bogar, mereka menggunduli terlalu banyak
hutan untuk membangun perumahan dan air hujan langsung
mengalir turun dari perbukitan."
Aku mengganti bajuku dengan kaus oblong dan sarung, la.lu
kami menyantap makan malam dan masuk ke kamar untuk
menonton televisi. Pria-pria gemuk menangkap lele-lele gemuk
dengan tangan mereka yang gemuk-gemuk. Ketlka malam makin
larut aku mematikan lampu, mencium istri cantikku sebagai
ucapan selamat malam, dan menyanyikan ninabobo untuk gadis
kecil nakal yang sedang tumbuh di dalam perutnya. Dan di luar
hujan turun semakin deras dan aku tertidur dibuai derai air
yang menimpa atap.
"Mbak Nurul."
"Hah?"
"Apa, Bu?"
"Mbak Nurul, permisi Mbak." Saat itu pagi buta dan pemilik
rumah mengetuk-ngetuk jendela kami dengan panik. "Bangun,
airnya masuk ke rumah."
"Hah?"
"Darling, nyalakan lampunya."
"Oke." Aku turun dari tempat tldur dan meraba-raba men­
cari sakelar. "Jam berapa ini?"
Kami berpakaian dengan terburu-buru lalu bergegas keluar.
Genangan air yang cokelat dan kotor sudah sejajar dengan
ambang pintu. Pemilik rumah bersama putra-putranya keluar­
masuk bagian rumah yang mereka tempati, menaikkan barang-

344
barang berharga mereka setinggi mungkin. Kami pun mulai
melakukan hal yang sama, Nurul mengumpulkan surat-surat
penting sementara aku memasukkan pakaian kami ke kotak­
kotak plastik lalu menaruh barang-barang elektronik di atas
lemari pakaian. Air sudah setinggi mata kaki, sebetis, lalu se­
lutut, dan akhirnya sepaha.
"Boks bayinya bagaimana?"
"Aku taruh di tempat tidur kita:·
"Oke." Nurul menduduki tembok dapur di samping mesin
cud kami. "Sari kurmanya?"
"Entahlah."
"Mbak, tetangga kita rumahnya dua lantai." Salah satu putra
pemilik rumah berjalan dengan susah payah di koridor ke arah
kami. "Sebaiknya Mbak Nurul ke sana sebelum banjirnya se­
makin tinggi."
"Apa tidak ada yang punya perahu?"
"Pak RT mungkin punya, tapi tidak ada waktu."
Jadi dengan ransel di punggung, aku membopong istriku
yang sedang hamil wa keluar lalu mengarungi sungai berlumpur
yang tadinya adalah jalan di depan rumah kami. Rumah te­
tangga itu tiga pintu dari rumah kami dan ketika kami men­
capai anak tangga air sudah mencapai pinggangku. Nurul dan
aku naik ke lantai dua, pemilik rumah kami sudah berada di
sana dan oleh si tetangga kami diantarkan ke kamar sempit
yang dilengkapi kipas angin dan kasur matras.
"Sweetheart, aku harus kembali dan membereskan barang­
barang kita:'
"Hati-hati, ya:•
"Apa lagi kira-kira yang kaubutuhkan?"

345
"Yang penting carikan sari kurma:'
"Oke."
"Mungkin sandalku juga."
"Sepertinya aku melihat sandalmu mengapung di ha.laman.
Kau sudah mengepak charger ponsel kita?"
Kembali ke paviliun kami, air sudah setinggi dada. Dispenser
kami terguling, kulkas mengapung-apung di ruang tamu, begitu
pula botol-botol samba!, minyak goreng, dan benda-benda lain­
nya. Aku menemukan sari kurma dan sandal Nurul, tulang ke­
ringku terantuk meja kopi dan sebungkus tisu bayi meluncur
melewatiku, jadi mau tak mau aku tertawa geli. Kemarin, di jam
yang sama, satu-satunya hal yang kami pikirkan hanya menu
sarapan dan sekarang rumah kami serta sebagian besar isinya
terendam a.ir.
"Sudah dapat:'
"Hebat." Nurul mengulurkan handuk padaku. "Mandilah se-
belum aliran air dihentikan."
"Di mana, Sweetheart?"
"Kamar mandinya di samping kamar ini."
"Bagaimana perasaanmu? Stres tidak?"
"Aku tidak apa-apa, Darling:•
"Si kecil bagaimana?"
"Dia aktif sekali, sudah menendang-nendang ratusan kaH:'
Aku pergi ke ka.mar mandi dan membersihkan badan lalu
saat kembali ke kamar, kedua putra pemilik rumah kami sedang
membagikan bungkusan nasi Padang dari kantong plastik Nurul
dan aku duduk berdampingan di kasur matras dan rasanya ini
salah satu makanan paling lezat yang pernah kami santap lalu
tetangga kami menghidangkan teh manis dan membuka se-

346
kaleng butter cookies. Aku sangat tersentuh oleh kebaikan hati
semua orang dan terlepas dari bencana yang menimpa kami,
ini salah satu hari paling berarti yang pernah kualami.

* * * * *

"Seandainya bisa lahir alami:'


"Tak masalah, Sweetheart, setidaknya kita sudah siap:·
"Tapi mereka bilang sakit sekali."
"Aku yakin begitu, tapi kita tak punya banyak pilihan."
Kami menaiki taksi pada pagi yang gerimis di bulan Februari.
Udara tak bergerak dan langit tampak kuning keabu-abuan.
Gadis kecil kami sudah melewati hari perkiraan lahir, ukurannya
semakin membesar dan makanan pedas maupun olahraga tak
berhasil membujuknya untuk muncul ke dunia. Karena dokter
kami tidak menjadikan operasi Caesar sebagai sarana untuk
mempertebal kantongnya, dia menyarankan agar Nurul diinduksi.
"Bayangkan saja, besok di waktu yang sama, kita sudah akan
menggendongnya."
"Aku tak sabar ingin melihat rupanya."
"Mudah-mudahan lebih mirip kau daripada aku:·
"Kuharap dia mewarisi matamu . . ."
"Lalu aku pakai mata siapa?"
". . .tapi jangan selera humormu:·
Tak lama kemudian kami tiba di rumah sakit dan dibawa
menyusuri koridor yang berlika-liku membingungkan ke ruang
persalinan. Para bidan mencatat tanda-tanda vital Nurul dan
dokter datang lalu berbicara dengan kami sebentar. Dia bilang
butuh waktu beberapa jam sampai pengaruh hormon bekerja

347
dan kemungkinan besar kontraksinya lebih kuat dibandingkan
persalinan normal. Setelah itu jarum infus dimasukkan, monitor
jantung bayi dinyalakan, para bidan dan dokter pergi untuk
mengurus pasien lainnya.
"Bagaimana perasaanmur'
"Cuma gugup:·
"lni tahap terakhir, Sweetheart:' Aku duduk di pinggir tem­
pat tidur dan mencium keningnya. "lngatlah segala hal yang
sudah kita lalui untuk sampai ke tahap ini."
"Aku punya firasat dia akan menjadi gadis kecil yang tangguh:'
"Sekarang pun sudah, dia bisa bertahan melewati trimester
pertama yang berat:'
"Kau sudah mengirim e-mail untuk ayahmu dan istrinya?"
"Kau tahu seperti apa dia, mungkin tak baka.I dijawab juga:'
"Darling, kau harus menerima ayahmu apa adanya:'
Nurul punya kemampuan hebat untuk melihat ke dalam
hatiku, dan meskipun sangat ingin mendebatnya, harus kuakui
bahwa dia benar. Apa gunanya mengharapkan sesuatu yang
sudah pasti takkan bisa diberikan oleh pria itu? Aku harus ber­
henti mengejar cintanya dan menerima keterbatasannya. Mung­
kin dengan begitu aku dapat menyingkirkan kepedihan yang
telah sekian lama membebani. Dan mungkin suatu hari nanti
putraku sendiri bisa melakukan hal yang sama untukku.
Satu jam berlalu, kemudian satu setengah jam, dua, dan saat
hampir dua setengah jam, kontraksi akhirnya dimulai. Awalnya
lemah tapi semakin lama semakin kuat dan pada pukul empat
sore Nurul sudah sangat kesakitan. Dia berbicara beberapa
menit lalu terdiam dengan keringat membanjir, meringkuk mi­
ring dan tersengal-sengal selagi keajaiban hormon bekerja. Para

348
bidan masuk sesekali untuk melihat sudah sejauh apa bukaan­
nya dan ketika kesakitannya makin memuncak, waktu seolah
berja.lan lebih lambat.
"Ayo, Sweetheart, kau harus kuat."
"Tidak bisa."
"Pasti bisa:• Aku memaksanya minum teh manis hangat.
"Beberapa jam lagi dan semua penderitaan ini hanya akan men­
jadi kenangan:'
"Panggil bidan:·
"Kita baru memanggil mereka lima menit lalu:·
"Panggil sekarang juga:•
"Mereka hanya akan menyuruhmu menarik napas dalam-da­
lam."
"Panggil bidan:' Dia mencengkeram kemejaku dan memun­
timya saat kontraksi berikutnya mengguncang wbuhnya. "Bilang
pada mereka aku mau operasi Caesar."
Dan terus seperti itu, setiap dua puluh menit, lalu lima be­
las menit, sepuluh menit, lima menit dan kontraksi datang se­
makin kuat dan semakin rapat jaraknya dan Nurul nyaris gila
karena kesakitan. Sungguh menyakitkan melihatnya begitu men­
derita, kekasihku, sahabatku, istriku tercinta. Aku merasa begitu
tak berguna, berdiri di sampingnya tanpa bisa melakukan apa
pun selain mengucapkan kata kata dukungan dan membiarkan
-

kemejaku kusut.
Setelah waktu yang seolah takkan pernah berakhir, para bi­
dan memberitahu kalau gadis kecil kami akhirnya siap keluar.
Dan semua mulai berlangsung dengan sangat cepat. Nurul
mendorong, seprai terpuntir-puntir di bawahnya, para bidan
memanggil dokter yang langsung memeriksanya dan minta di-

349
bawakan nampan peralatan. Kemudian dia mulai memberi pe­
rintah, Nurul mendorong dan menunggu, mendorong dan me­
nunggu, mendorong dan menunggu.
"Aku tidak kuat."
"Kau kuat, kami sudah bisa melihat puncak kepalanya seka-
rang, Sweetheart."
"Satu, dua, tiga, dorong."

"Tidak kuat." Dia menjerit. "Tidak kuat."


"Berhenti, tarik napas."
"Sudah hampir keluar, ayo, kau pasti bisa:•
"Tunggu, tarik napas:'
"Aku tidak kuat."
"Kau kuat."
"Sekarang satu, dua, tiga, dorong:'
Aku bisa melihat puncak kepala gadis kecil kami, gumpalan
rambut mungil berwarna gelap, tapi bahkan aku pun bisa me­
lihat bahwa dia tidak bergerak keluar. Dorongan Nurul tidak
terlalu menunjukkan hasil dan saat memikirkan sudah berapa
lama gadis kecil kami di bawah sana, aku takut dia tidak akan
selamat. Terperangkap di ujung jalan, terjepit dan tercekik se­
belum dia sempat membuka mata dan memandang dunia untuk
pertama kalinya.
Dokter sepertinya membaca pikiranku karena dia tiba-tiba
menyeka Nurul dengan obat merah, menyuntiknya, dan mem­
buat sayatan dengan gunting bedah. Lalu dia meminta Nurul
untuk mendorong sekali lagi sementara para bidan menekan
perutnya dan aku menggenggam tangannya dan mengusap-usap
punggungnya kemudian dokter menyiapkan alat pengisap dan
dengan satu upaya terakhir, gadis kecil kami akhirnya terlahir.

350
"Kau berhasil, Sweetheart."
"Ya Allah."
"Kaudengar itu?"
"Tidak ada masalah?"
"Yah, dia punya sepasang paru-paru yang sehat." Aku me­
ngecup telinga Nurul dan mengatakan betapa hebatnya dia,
dengan tersenyum lemah dia kembali bersandar di bantal. "Ya

Tuhan, kau berhasil melakukannya:·


"Coba lihat apakah semuanya baik-baik saja:•
"Aku mencintaimu, Sweetheart."
"Aku juga mencintaimu:•
Para bidan sudah membawa gadis kecil kami ke unit neo­
natal dan aku pergi mencarinya sementara dokter mengurus
Nurul. Kutinggalkan ruang persalinan dan menyusuri koridor
rumah sakit. Melalui jendela di sebelah kanan, bisa kulihat me­
reka sedang membersihkan putriku dan menyiapkan timbangan.
Mereka melambai menyuruhku masuk. Saat melangkah ke da­
lam ruangan, putriku menengadah kepadaku dan hatiku begitu
penuh sampai terasa nyaris meledak. Dia jauh lebih cantik dari­
pada yang kubayangkan, dengan semburat warna merah jambu
di kedua pipi mungilnya, serta matanya yang bening dan jernih
juga penuh semangat. Lalu kugenggam tangan mungilnya yang
lembut, kucondongkan tubuh ke arahnya dan berbisik di
telinganya.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar . . . "

35 1

Anda mungkin juga menyukai