Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH ILMU KALAM

ALIRAN KALAM JABARIAH DAN MU’TAZILAH

Disusun Oleh:
Intan Roudatul Janah
NPM : 1617.03.009
Susih
NPM: 1617.03.016
Dosen pembimbing : Ashabul Kahfi, M.Pd.I.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


BINAMADANI TANGERANG
TAHUN AKADEMIK 2019-2020

0
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi
sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru
sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada
terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Aliran Jabariah dan Mu’tazilah”.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah ilmu kalam di
program studi Pendidikan guru sekolah ibtidaiyah,di Sekolah tinggi agama Islam
Bina madani. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Bp Ashabul kahfi,M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah
pembelajaran ipa dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan
serta arahan selama penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... 1


DAFTAR ISI ................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 4
C. Tujuan ................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
A. ALIRAN JABARIAH
1. Pengertian Aliran Jabariah ........................................................... 6
2. Tokoh Aliran Jabariah ................................................................... 9
3. Dalil Dalil yang mendasari ............................................................ 12
B. ALIRAN MU’TAZILAH
1. Pengertian Aliran Mu’tazilah ........................................................ 13
2. Sejarah Lahirnya Mu’tazilah .......................................................... 14
3. Tokoh Tokoh Mu’tazilah ............................................................... 21
4. Lima Prinsip Dasar Mu’tazilah ...................................................... 23
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 31

2
BAB l
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran
Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad.Pentingnnya masalah aqidah ini
dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di
Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang
cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-
Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada
masalah keimanan.1
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari
faktor historis yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad
saw wafat, riak-riak perpecahan di antara kaum Muslim timbul kepermukaan.
Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa pengganti pemimpin setelah
Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. Semua terbungkus dalam isu-
isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan keyakinan
tentang tuhan dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok mereka sebagai
pemegang “predikat kebenaran”.
Munculnya corak pemikiran yang beragam dalam Islam disebabkan karena
semakin luasnya wilayah Islam ke Timur dan ke Barat. Umat Islam mulai
bersentuhan dengan keyakinan dan pemikiran dari ajaran-ajaran lain, terutama
filsafat Yunani. Seperti diketahui wilayah-wilayah yang bergabung dengan Islam,
terutama di bagian Barat adalah wilayah-wilayah yang pernah diduduki oleh
bangsa Romawi(Yunani).
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan muktazilah.
Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang
aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang
lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.

1
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi
Ulum al-Qur'an,(Jakarta: Litera AntarNusa, 2004), h. 86.

3
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Aliran muktazilah dan Jabariyah?
2. Bagaimana Aliran muktazilah dan Jabariyah muncul?
3. Bagaimana pokok pemikiran Aliran muktazilah dan Jabariyah?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Aliran muktazilah dan Jabariyah.
2. Untuk mengetahui kemunculan Aliran muktazilah dan Jabariyah.
3. Untuk mengetahui pokok pemikiran Aliran muktazilah dan Jabariyah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang


Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam
berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya
sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah
kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang
membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi
seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya
perbedaan antara umat Islam.Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam
bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan
politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan
teologi.2
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat
mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu
demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang
berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya
masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan
kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak
mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang
kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan
Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran.
Diantaranya yaitu Jabariyah dan muktazilah.

2
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 1986.
Jakarta: UI-Press, Cet ke-5, h.1

5
A. ALIRAN JABARIYAH
1. Pengertian dan Asal-usul Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam
istilah Inggrisnya paham ini disebut fatalism atau predestination3. Dalam kamus
Jhon M. Echols, pengertian fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib menguasai
segala-galanya, sedangkan predestination adalah takdir.4 Di dalam kamus Munjid
dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah
adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah
Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan
semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan
perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).5 Sehingga makna secara umum
adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qodo dan Qadar Tuhan.
Dalam konteks pemikiran kalam, istilah jabariyah diartikan bahwa
manusia makhluk yang terpaksa di hadapan Tuhan.
Menurut Syahrastani, Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan
dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt.
Artinya, manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya,
Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan
bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan
Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia
tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat,
karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.6
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya
penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak

3
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 33.
4
Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 234-443.
5
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), h. 63.
6
Harun Nasution, h. 31.

6
zaman sahabat dan masa Bani Umayyah.7 Paham Jabariyah ini dalam sejarah
teologi Islam ditonjolkan pertama kali oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang
mengembangkannya kemudian adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm Ibn
Safwan merupakan pendiri golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia ikut
dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Jahm yang terdapat dalam
aliran jabariyah sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam
kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam
gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm dapat
ditangkap dan kemudian dihukum mati di tahun 131 H8. Sepeninggalnya, faham
jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn Jabariyah Jahamiyah (ekstrim),
Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah Dhirariyah.9
Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup dikenal di
kalangan Jabariyah, yaitu al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang tokoh dari
golongan Jabariyah moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah ini
adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul
sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab
yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara
hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat
sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi
tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput
yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta
keringnya udara.10
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat
arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai
dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi

7
Tim, Enseklopedi Islam, Jabariyah, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 239.
8
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, h. 35.
9
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.
132.
10
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), h. 64.

7
kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam,
sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.
Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian
disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam,
Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan
Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam
gerakan melawan Bani Umayah. Sebenarnya faham al-Jabar sudah muncul jauh
sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah
berikut ini:
a. Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam
masalah takdir tuhan. Nabi melarang mereka untuk mendebatkan
persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-
ayat tuhan mengenai takdir.11
b. Khalifah umar bin khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan
mencuri. Ketika dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan
aku mencuri” mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap
orang itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan
dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan.
Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir tuhan.12
c. Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya
dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju
perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala
sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan
qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu
merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji
dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan
tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Pada pemerintahan daulah Bani Umayyah, pandangan tentang al-Jabar
semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya

11
Aziz Dahlan, Sejarah Pemikiran Perkembangan dalam Islam, (Jakarta: Beunneubi
Cipta 1987), h. 27-29.
12
Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. 1958. Kairo:t.t, h. 15.

8
memberikan reaksi kertas kepada penduduk syria yang diduga berfaham
jabariyah.
e. Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan
bahwa kemunculannya diibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu
pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab
Yacobit.13

2. Tokoh dan Pemikiran Jabariyah


Sebelum membahas lebih jauh tentang pemuka dan doktrin Jabariyah,
maka perlu dipahami dengan seksama, jika terdapat beberapa penggolongan
tentang aliran-aliran dalam Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Hanafi dalam
bukunya as-Syihritsani. Penggolongan tersebut sebagai berikut;
Sifat-sifat Tuhan dan peng-Esaan sifat. Perselisihan tentang pokok
persoalan ini menimbulkan aliran-aliran Asy-‘Ariyah, Karramiah, Mujassimah
dan Mu’tazilah.
Qadar dan Keadilan Tuhan. Perselisihan tentang soal ini menimbulkan
golongan-golongan: Qodariah, Nijariah, Jabariyah
Sama’ dan Akal (maksudnya apakah kebaikan dan keburukan hanya
diterima dari syara’ atau dapat diketemukan akal pikiran), keutamaan nabi dan
imamah (khalifah). Persoalan ini menimbulkan aliran: Syi’ah, Khawarij,
Mu’tazilah, Karramah dan Asy’Ariyah.14
Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, ekstrim dan moderat. Diantara dokrin jabariyah ekstrim adalah
pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan oleh dirinya.
Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas
kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha’ dan qadhar tuhan yang
menghendaki demikian.15
Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:

13
Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali), h. 133.
14
M. Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna 1992), h. 58.
15
Harun Nasution, h. 286-287.

9
a. Jahm bin shofwan, nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham Bin
Shafwan. Ia barasal dari Khurasan bertempat tinggal di kuffah.
Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah
sebagai berikut ini;
1. Syurga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
2. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini
pendapatnya sama dengan aliran kaum Murji’ah.
3. Kalam tuhan adalah mahluk. Allah maha suci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan
melihat.16
4. Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly, karena hal ini akan menjadikan
Allah serupa dengan makhluk.Pendapat ini sama dengan apa yang
dikemukakan oleh Mu’tazilah.
5. Bid’ah jabr. yaitu pernyataan bahwa manusia tidak mempunyai
kemampuan dan daya upaya sama sekali, bahkan semua kehendaknya
muncul karena dipaksa oleh Allah Swt.
6. Bid’ah irja’, yaitu bahwa iman cukup hanya dengan ma’rifat. barang
siapa yang inkar di lisan maka hal tersebut tidak membuatnya kafir
sebab ilmu dan ma’rifat tidak bisa lenyap karena ingkar, dan
keimanan tidak berkurang dan semua hamba setara dalam
keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati tidak dalam
perbuatan.17
b. Ja’ad bin Dirham. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang kristen yang
senang membicarakan tentang teologi. Ia adalah seorang maulana dari bani
Hakam dan tinggal di Damaskus. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur
Kufah yaitu Khalid bin Abdullah El-Qasri. Dokrin pokok Ja’ad secara
umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai
berikut;
1. Al-quran itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang

16
Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Wijaya 1980), h. 102.
17
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal, (Beirut: Dar al-
Kutub Ilmiah), h. 35.

10
baru itu tidak dapat disifatka kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti
berbicara, melihat, dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa
Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
yang baik. Tetapi manusia mempunyai bagian dalamnya. Yang termasuk tokoh
jabariyah moderat adalah sebagai berikut;
a. An-Najjar, nama lengkapnya adalah husain bin muhammad an-najar, para
pengiktnya disebut An-Najariyyah atau Al-Husainiyah. Najjariyyah juga
terbagi menjadi beberapa kelompok kecil (Barghutsiyah, Za’faraniyah dan
Mustadrikah), tetapi mereka tidak berbeda dalam prinsip-prinsip pokok
dalam aliran Jabariyah.18 Diantara pendapat-pendapatnya adalah sebagai
berikut;
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan
itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ry.19
2. Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat, akan tetapi ia menyatakan bahwa
tuhan dapt saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata
sehingga manusia dapat melihat tuhan.20
b. Adh-Dhirar, nama lengkapnya adalah Dhirar Bin Amr. Pendapatnya
tentang perbuatan manusia sama dengan husein an-najjar, bahwa manusia
tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang, manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-
mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Mengenai ru’yat tuhan
diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui
indera keenam.21

18
Ibid, 75.
19
Ibid, 89.
20
Ibid, 35.
21
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-
Kutub Ilmiah, h. 78.

11
3. Dalil-Dalil yang menjadi Dasar Ajaran Jabariyah
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam
Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar
belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
‫َو ه‬
َ ُ‫ٱَّللُ َخلَقَ ُكمۡ َو َما تَ ۡع َمل‬
٩٦ ‫ون‬
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu"

b. QS al-Anfal: 17
‫ت َو َٰلَ ِك هن ه‬
‫ٱَّللَ َر َم َٰى َولِي ُۡبلِ َي‬ َ ‫ت إِ ۡذ َر َم ۡي‬ ‫فَلَمۡ تَ ۡقتُلُوهُمۡ َو َٰلَ ِك هن ه‬
َ ‫ٱَّللَ قَتَلَهُمۡۚۡ َو َما َر َم ۡي‬
١٧ ‫يم‬ٞ ِ‫س ِميع َعل‬ ‫َل ًء َح َسنً ۚۡا إِ هن ه‬
َ َ‫ٱَّلل‬ َ ِ‫ۡٱل ُم ۡؤ ِمن‬
ٓ َ َ‫ين ِم ۡنهُ ب‬
Artinya: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan
tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika
kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk
membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang
mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui

c. Q.S. al-Insan: 30

َ ‫ٱَّللَ َك‬
٣٠ ‫ان َعلِي ًما َح ِك ٗيما‬ ۡۚ ‫َّل أَن يَ َشآ َء ه‬
‫ٱَّللُ إِ هن ه‬ ٓ ‫ون إِ ه‬
َ ‫َو َما تَ َشآ ُء‬
Artinya: Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana

d. Q.S. al-An’am: 112

ۡ‫ضهُم‬ ُ ‫نس َو ۡٱل ِجنِّ يُو ِحي بَ ۡع‬ ِ ‫ٱۡل‬ ِ ۡ ‫ين‬ َ ِ‫َو َك َٰ َذل‬
َ ‫ك َج َع ۡلنَا لِ ُكلِّ نَبِ ٍّي َع ُد ٗوا َش َٰيَ ِط‬
َ ُّ‫ُور ۚۡا َولَ ۡو َشآ َء َرب‬
ۡ‫ك َما فَ َعلُو ُۖهُ فَ َذ ۡرهُم‬ ٗ ‫ُف ۡٱلقَ ۡو ِل ُغر‬ َ ‫ض ُز ۡخر‬ ٖ ‫إِلَ َٰى بَ ۡع‬
َ ‫َو َما يَ ۡفتَر‬
١١٢ ‫ُون‬

12
Artinya: Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah
mereka dan apa yang mereka ada-adakan

e. Q.S. al-Hadid: 22

ٖ َ‫ض َو ََّل فِ ٓي أَنفُ ِس ُكمۡ إِ هَّل فِي ِك َٰت‬


‫ب ِّمن‬ ۡ
ِ ‫صيبَ ٖة فِي ٱۡلَ ۡر‬ ِ ‫اب ِمن ُّم‬ َ ‫ص‬ َ َ‫َمآ أ‬
٢٢ ‫ير‬ ٞ ‫ٱَّللِ يَ ِس‬ َ ِ‫قَ ۡب ِل أَن نه ۡب َرأَهَ ۚۡآ إِ هن َٰ َذل‬
‫ك َعلَى ه‬
Artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah
Setelah melihat ayat-ayat yang menjadi sandaran bagi kaum
Qadariyah dan Jabariyah di atas, maka tidak mengherankan kalau dua
paham ini masih tetap berkembang dalam kalangan umat Islam, walaupun
pelopor-pelopor paham ini sudah tiada. Dalam sejarah teologi Islam,
selanjutnya paham Qadariyah dianut oleh kaum Mu’tazilah, sedangkan
paham jabariyah, dilanjutkan oleh Asy’ariyah.22

B. Pengertian Muktazilah
a. Muktazilah Secara Bahasa dan Istilah
Muktazilah secara bahasa diambil dari kata ‫يزز اَّليئززتعلله اعتزز‬
yang bermakna ‫ لعنز هنحز‬yang berarti memisahkan diri. Dalam Al-
Quran disebutkan( َ‫ " )يُونِل َ ِۡل ْنليَ ْمله ُْؤ ِمنُواليِيلفَاعْت‬yang artinya jika kalian
tidak beriman kepadaku maka jangan bersamaku.23 Maka Muktazilah
secara bahasa berarti memisahkan diri (alinfishaal wat tanahhii)24
Dan secara istilah, Muktazilah berarti nama sebuah kelompok yang

22
Ibid, 39
23
QS. Ad-Dhukhan ayat 21
24
Qamus Al-Muhiith, Juz 4 h. 15

13
muncul pada awal abad kedua hijriyah, yang menggunakan akal
dalam membahas teologi Islam. Pengikut Washil bin Atha yang keluar
dari Majlis Hasan Al-Bashri.
Ada anggapan lain bahwa kata Mu'tazilah mengandung arti
tergelincir, dan karena tergelincirnya aliran Mu'tazilah dari jalan yang
benar, maka ia diberi nama Mu'tazilah, yaitu golongan yang
tergelincir. Kata I’tazala berasal dari kata akar a’zala yang
berarti”memisahkan” dan tidak mengandung arti tergelincir. Kata yang
dipakai dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang dekat bunyinya
dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi bagaimanapun, nama Mu'tazilah
tidak bisa berasal dari kata zalla.
Mu‟tazilah memiliki banyak nama, berikut ini penjelasan
ringkas yang menunjukkan dua pendapat tentang penamaan
Mu‟tazilah. Satu pendapat berasal dari pihak luar, dan satu pendapat
lagi dari kaum Mu‟tazilah sendiri.

b. Sejarah Lahirnya Mu’tazilah


1. Asal Nama Muktazilah
Setelah mengetahui arti kata Mu‟tazilah secara bahasa dan istilah
dan nama lain Mu‟tazilah, kita mempelajari asal penamaan Mu‟tazilah
itu sendiri. Ketika membahas asal Muktazilah, ahli sejarah terbagi
menjadi dua kaca mata yaitu kaca mata politik dan kaca mata agama.
a. Pendapat Pertama dari kaca mata Agama
Pendapat yang mengatakan bahwa nama Mu‟tazilah mulai
muncul sejak peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan al-
Bashri, di mana dari Hasan Bashri muncul ucapan “I’tazala
‘Anna”. Dari kata-kata tersebut muncullah kemudian sebutan
Mu‟tazilah bagi Washil dan para pengikutnya. Pendapat mayoritas
ini dipegang oleh penulis buku buku firaq seperti Al-Baghdadi dan
As-Sahrastani. Mereka meriwayatkan bahwa Wasil bin Atha‟ telah
berbeda dengan gurunya Hasan Bashri. Washil bin Atha‟ ber-

14
pendapat bahwa bagi orang yang melakukan dosa besar sedang ia
tidak bertaubat, maka pada hari akhirat kelak ia berada di antara
dua tempat (antara surga dan neraka) yang diistilahkan dengan Al-
Manzilah Baina Al-Manzilatain. Washil bin Atha‟ kemudian
memisahkan diri dari gurunya dan diikuti oleh beberapa murid
Hasan Bashri, seperti „Amr ibn „Ubayd. Atas peristiwa ini Hasan
al-Bashri mengatakan: “Washil menjauhkan diri dari kita (I’tazala
‘anna)”. Kemudian mereka digelari kaum Mu‟tazilah.
Ada riwayat lain tentang penyebutan nama Mu‟tazilah
sebagaimana disebutkan Ibnu Khalkan, Qatadah ibn Da‟amah pada
suatu hari masuk ke Mesjid Bashrah dan menuju ke majelis „Amr
ibn „Ubaid yang disangkanya adalah Hasan al-Bashri. Setelah
ternyata yang didapatinya bukan majelis Hasan al-Bashri, ia berdiri
dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum
Mu‟tazilah”. Semenjak itu mereka disebut kaum Mu‟tazilah.25
Mu‟tazilah ini muncul disebabkan karena persoalan agama.
Mu‟tazilah inilah yang kemudian melahirkan ilmu baru dalam
Islam yang dikenalkan Namanya adalah Abu Said Al-Hasan bin
Abil Hasan bin Yasar Al-Bashri.
Mu'tazilah, yaitu “Ilmu Kalam” yang berisi perpaduan
antara Filsafat dan Logika dengan ajaran-ajaran agama Islam,
sehingga merupakan gagasan-gagasan baru, konsepsi-konsepsi
filsafat mengenai teologi Islam .

b. Dari kaca mata Politik


Nama Muktazilah pernah muncul satu abad sebelum
munculnya Muktazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha‟.
Sebutan Mu‟tazilah ketika itu merupakan julukan bagi kelompok

25
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1972), hal. 38-39. Lihat juga Wafayatul A’yan: 4 h.85

15
yang tidak mau terlibat dengan urusan politik, dan hanya menekuni
kegiatan dakwah dan ibadah semata. Secara khusus sebutan
Mu‟tazilah itu ditujukan kepada mereka yang tidak mau ikut
peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Saidina Ali ibn Abi
Thalib dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara
pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib melawan pasukan Mu‟awiyah.
Kedua peperangan ini terjadi karena persoalan politik.26
Akibat perang ini umat Islam terbagi menjadi beberapa
kelompok mengenai pelaku dosa besar yang dipelopori oleh
Khawarij yang menganggap bahwa Ali dan pendukung arbitase
adalah pelaku dosa besar karena mereka mengambil hukum tidak
berdasarkan hukum Allah SWT sehingga mereka dicap kafir.
Pernyataan ini dibantah oleh kelompok Murjiah, menurut mereka
pelaku dosa besar tetap mukmin dan persoalan dosanya
dikembalikan kepada Allah SWT. Reaksi dari dua kelompok
tersebut, memicu timbulnya kelompok baru yaitu Muktazilah,
menurut mereka pelaku dosa besar tempatnya antara mukmin dan
kafir (al-manzilah bainal manzilatain).27
Mu‟tazilah sempat eksis pada masa dinasti Umayyah dan
mengalami puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah. Berikut
penjelasan singkat perkembangan Mu‟tazilah pada masa Umayyah
dan Abbasiyah.

c. Mu’tazilah pada masa Dinasti Umayyah


Muktazilah muncul di masa Umayyah dengan pendirinya
Washil bin Atha‟. Mu‟tazilah pada fase pertama ini masih bersifat
sederhana yakni berkisar tentang pelaku dosa besar, akan tetapi

26
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal
Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, h. 89
27
Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal TAPIs Vol.7
No.13 Juli-Desember 2011 h.95

16
pada masa ini muncul lima ajaran pokok Mu‟tazilah yang harus
dipegang oleh penganutnya. Pada masa ini Mu‟tazilah tidak
menunjukkan sikap anti pemerintahan, sehingga bisa tumbuh
secara damai.
“Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, kaum Mu‟tazilah
dapat hidup tenteram karena tidak menunjukkan sikap ekstrim
terhadap pemerintahan yang berkuasa sehingga aliran ini tetap
eksis dan berkembang”. Pada masa Umayyah, Filsafat mulai
muncul dan semakin menampakkan diri ketika khalifah Abdul
Malik Ibn Marwan menjadikan Alexandria, Antioch dan Bactra
menjadi kota-kota pusat ilmu pengetahuan. Hal ini kemudian
memberi kan pengaruh yang cukup besar bagi pemikiran umat
Islam pada masa itu. Banyak dari pemuka agama dan para
intelektual Islam yang mulai terpengaruh dengan filsafat yang lebih
banyak menggunakan rasio dan akal ini, sehingga mereka mulai
membaurkan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani tersebut,
begitu pula dengan aliran Mu‟tazilah yang memang tumbuh pada
masa itu pula.28
Pada masa Umayyah, Mu'tazilah tidak mendapat dukungan
dari pemerintah yang berkuasa; karena pemerintahan pada saat itu
masih sibuk mengurusi persoalan politik pemerintahan yang terjadi
dan sibuk dengan perluasan wilayah, sehingga mereka hanya
bersifat satu aliran teologi saja. Masa pemerintahan bani Umayyah
terkenal dengan suatu era agresif, dimana perhatian tertumpu
kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Badri Yatim
menyebutkan bahwa “teologi rasional Mu‟tazilah muncul diujung
pemerintahan bani Umayyah, namun pemikiran-pemikirannya
yang komplek dan sempurna baru dirumuskan pada masa

28
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973,
h.11

17
pemerintahan bani Abbasyiah priode pertama,setelah kontak
dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional
dalam Islam”.
d. Mu’tazilah pada masa Dinasti Abbasiyah
Pada periode Abbasiyah, Mu‟tazilah lebih berkembang dan
menonjolkan diri, karena Mu‟tazilah ini menjadi garda depan
pemerintah ketika mulai terjadi penyerangan-penyerangan oleh
orang-orang non Islam terhadap Islam, sehingga aliran ini menjadi
terkemuka dan banyak tokoh Mu‟tazilah yang terkenal. Meskipun
filsafat tidak menjadi tujuan utama dari Mu‟tazilah, melainkan
sebagai alat untuk menolak serangan-serangan lawannya. Namun
dengan adanya filsafat itu mereka serta merta memasuki fase baru
dalam sejarah mereka. Karena filsafat telah menimbulkan revolusi
pikiran yang penting bagi kehidupan mereka. Setelah mereka
mengenal persoalan-persoalannya dan memperdalamnya, maka
mereka mencintai filsafat karena filsafat itu sendiri.
Pada periode khalifah Abu Ja‟far al Mansur, Mu‟tazilah
mulai lebih menonjolkan diri; hal ini dikarenakan Al Mansur
sendiri adalah seorang yang cinta ilmu pengetahuan dan suka
menggunakan akal pikirannya. Selain itu salah seorang pemuka
Mu‟tazilah yaitu Amr Ibnu Ubaid adalah seorang teman dekat Abu
Ja‟far Al Mansur sebelum beliau menjadi khalifah, sehingga
Mu‟tazilah dapat memiliki kebebasan dan leluasa dalam
mengembangkan ajaran-ajarannya. Pada masa Harun al Rasyid,
khalifah kelima dari bani Abbasyiah, Mu‟tazilah mulai terangkat
karena banyak diantara mereka yang menjadi penasihat dan
pendidik putra-putri khalifah dan Mu‟tazilah mulai mengadakan
pendekatan-pendekatan kepada penguasa saat itu.29

29
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996, h. 64

18
Mu‟tazilah berkembang pesat pada masa Al Ma‟mun.
Beliau adalah seorang intelektual yang cerdas, pintar dan cinta
kepada ilmu pengetahuan. Beliau memilih Mu‟tazilah yang
rasional dan liberal. Mu‟tazilah pada priode ini disebut aliran
Baghdad; hal ini dikarenakan washil bin Atha‟ pernah mengutus
muridnya yang bernama Bisyir al Mu‟tamar untuk menjadi
pemimpin Mu‟tazilah di Bashrah. Selain hal tersebut, Al Ma‟mun
memindahkan ibu kota dari Al Hasyimiah yang didirikan di dekat
kota Kuffah ke Baghdad, sehingga dengan demikian secara
otomatis kota Baghdad menjadi jantung kota dan pusat segala
kegiatan masyarakatnya. Terutama sebagai pusat peradaban baik
dalam bidang seni, politik, agama dan ilmu pengetahuan.
Menjadinya al Ma‟mun sebagai penganut Mu‟tazilah, maka
kedudukan Mu‟tazilah berubah menjadi mazhab resmi negara.
Kemudian al Ma‟mun mulai mengadakan majlis-majlis besar
untuk membahas ilmu-ilmu pengetahuan dari aliran Mu‟tazilah.
Beliau menjadikan istana negaranya untuk menjadi tempat tempat
pertemuan ahli pikir dari semua aliran yang ada. Bahkan dalam
mengekspresikan kefanatikannya terhadap Mu‟tazilah, beliau
menggunakan kekuasaannya memaksa rakyat untuk mengikuti
aliran kepercayaan yang dianutnya tersebut dengan melakukan
Mihnah.
Peristiwa Mihnah ini mengalami puncaknya pada tahun 218
Hijriyah ketika Al-Makmun menginstruksikan kepada Ishaq bin
Ibrahim Al-Khuza‟i untuk mengumpulkan para ulama guna
melakukan pengujian (fit and proper test) bagaimana sikap mereka
terhadap pernyataan Khalqul Quran. Al-Makmun juga menulis
kepadanya untuk memeriksa tujuh orang yaitu; Muhammad bin
Sa‟ad, Abu Muslim Al-Mustamli, Yazid bin Harun, Yahya bin
Ma‟in, Abu Khaitsamah Zuhari bin Harb, Ismail bin Abu Mas‟ud,
Ismail bin Daud dan Ahmad bin Ibrahim Al-Daruqi. Awalnya

19
mereka tidak berkomentar tentang kemakhlukan Al-Quran, namun
belakangan di bawah ancaman pedang mereka bertaqiyyah dengan
mengatakan sebagaimana yang dikatakan Al-Makmun, contohnya
Yahya bin Ma‟in yang mengatakan: “kami memberi komentar
karena takut terhadap ancaman pedang”. Dan parahnya, sikap
ulama tersebut dijadikan sebagai bentuk rekomendasi dan
dukungan tentang pernyataannya, karena para pengusung ajaran
Jahmiyah itu selanjutnya menyeru kepada masyarakat untuk
menerima doktrin tersebut dengan menyertakan jawaban para
ulama di atas, akibatnya banyak dari mereka yang terpengaruh
dengan seruan bid‟ah ini sehingga terjadilah fitnah yang amat
besar.
Kemudian Al-Makmun memerintahkan kepada Ishaq bin
Ibrahim untuk memanggil ulama periode kedua, di antara mereka
adalah Ahmad bin Hanbal, Qutaibah bin Sa‟id, Bisyr bin Al-
Walid, Abu Hasan Al-Ziyadi, Ali bin Abu Muqatil, Sa‟dawaih Al-
Washiti, Ali bin Ja‟di, Ishaq bin Abu Israil, Ibnu Al-Hars, Ibnu
Aliyah Al-Akbar, Yahya bin Abdul Hamid Al-Umari, Abu Nashr
Al-Tamr, Abu Ma‟mar Al-Qathi‟i, Muhammad bin Hatim bin
Maimun, Muhammad bin Nuh, Al-Fadhl bin Ghanim, Ubaidillah
bin Umar Al-Qawariri, Al-Hasan bin Hammad Sajadah dan
lainnya. Setelah mereka terkumpul Ishaq bin Ibrahim membacakan
surat dari khalifah Al-Makmun kepada mereka.
Empat orang saja yang tetap tegar tidak mengakui
pernyataan tesebut, keempatnya adalah Ahmad bin Hanbal,
Muhammad bin Nuh, Al-Hasan bin Hammad Sajadah dan
Ubaidillah bin Amr Al-Qawariri, dan akhirnya mereka dibelenggu
dengan rantai besi. Keesokan harinya mereka diinterogasi kembali,
Sajadah mengakui kemakhlukan Al-Quran, lalu ia dilepaskan dari
belenggunya dan dibiarkan pergi, hari berikutnya giliran Al-
Qawariri yang mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk sehingga ia

20
dilepaskan menyusul rekannya Sajadah, hingaa yang tetap ditahan
adalah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh.
Sebelum meninggal dunia al Ma‟mun menulis surat wasiat
kepada penggantinya yaitu Abu Ishak Muhammad al Mu‟tashim,
agar tetap terus melaksanakan mihnah. Al Mu‟tashim sendiri
dibesarkan dalam suasana ketentaraan, sehingga beliau lebih
menyenangi kemiliteran dari pada ilmu pengetahuan, sehingga
Mu‟tazilah tidak lagi mendapat prioritas yang utama. Mihnah
sendiri tetap dilaksakan, hanya saja sebatas pemenuhan surat
wasiat. Akan tetapi bagi yang membangkang ia akan diberi
hukuman tegas. Dalam pelaksanaan wasiat ini al Mu‟tashim
melakukan mihnah dengan lebih kejam kepada para ulama. Bahkan
sebagian ada yang dibunuh. Ahmad Ibnu Hambal dicambuk dan
dipenjarakan karena faham khalq Al Qur‟an dan ia menerimanya
dengan tabah.30
Setelah al Mu‟tashim meninggal dunia dan digantikan oleh
Abu Ja‟far Harun al Watsiq. Pada periode ini mihnah tetap
dilaksanakan, bahkan ia sendiri yang membunuh pembangkang
yang menolak mihnah. Kemudian ia meninggal dunia. Khaliafah
selanjutnya adalah Abu Ja‟far Al Mutawakkil. Al Mutawakkil
bukan penganut Mu‟tazilah, sehingga pada masanya, mihnah
hanya berlangsung 2 tahun saja. Kemudian ia menurunkan aliran
ini dari mazhab resmi negara dan membebaskan Ahmad Ibnu
Hambal.

2. Tokoh – Tokoh Muktazilah


Dalam perkembangannya, Muktazilah tidak hanya berpusat di kota
Basrah sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad,

30
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996, h. 82

21
yang merupakan ibu kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara
tentang tokoh pendukungnya maka kita harus melihatnya dari kedua
kota tersebut. Menurut analisa Yoesoef Sou‟yb, antara kedua daerah
tersebut terdapat beberapa perbedaan karakteristik, yaitu : Pertama,
Pemuka Mu‟tazilah di Basrah cenderung menghindari jabatan
birokrasi di pemerintahan maupun di pengadilan.
Dengan demikian mereka dapat lebih fokus pada bidang agama
dan keilmuan dan dapat mengemukakan pemikiran secara leluasa
tanpa terikat dengan kepentingan pemerintah atau pihak lainnya.
Sedangkan di Bagdad, mereka menggunakan kesempatan untuk
menduduki jabatan-jabatan dengan tujuan untuk mendapat dukungan
sekaligus perlindungan. Kedua, Pemuka di Basrah menyebarkan
paham tanpa pemaksaan dan kekerasan, melainkan lebih banyak
menanti kesadaran umat untuk mengikutinya. Sedangkan di Bagdad,
terkadang berusaha secara sungguh-sungguh dan melakukan kekerasan
agar masyarakat mengikuti aliran Mu‟tazilah.31
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Bashrah:
1. Washil ibn Atha (80-131 H). Ia dilahirkan di Madinah dan
kemudian menetap di Bashrah. Ia merupakan tokoh pertama yang
melahirkan aliran Mu‟tazilah. Karenanya, ia diberi gelar
kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Mu‟tazilah wa Qadimuha,
yang berarti pimpinan sekaligus orang tertua dalam Muktazilah.
2. Abu Huzail Muhammad ibn Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul
al- Allaf. Ia lahir di Bashrah tahun 135 dan wafat tahun 235 H. Ia
lebih populer dengan panggilan al-Allaf karena rumahnya dekat
dengan tempat penjualan makanan ternak. Gurunya bernama
Usman al-Tawil salah seorang murid Washil ibn Atha.

31
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam, (Jakarta:
PustakaAl-Husna, 1982), cet.I, h.265.

22
3. Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazham. Tahun kelahirannya
tidak diketahui, dan wafat tahun 231 H . Ia lebih populer dengan
sebutan Al- Nazhzham.
4. Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i. Dilahirkan di Jubba
sebuah kota kecil di propinsi Chuzestan Iran tahun 135 H dan
wafat tahun 267 H. Panggilan akrabnya ialah Al-Jubba‟i
dinisbahkan kepada daerah kelahirannya di Jubba. Ia adalah ayah
tiri dan juga guru dari pemuka Ahlussunnah Waljamaah Imam Abu
Hasan al-Asy‟ari.

c. Lima Prinsip Dasar (Al-Ushul Al-Khamsah) Muktazilah


Secara umum Muktazilah adalah kelompok yang menolak sifat
azali bagi Allah SWT yang bertujuan untuk mempertahankan konsep
Tauhid mutlak bagi Allah SWT. Mereka berpendapat seperti ini karena:
Pertama, Mengcounter golongan Al-Musyabbihah dan Al-Mujassimah
yang meyerupakan Allah dengan makhluk dan menyamakan Allah dengan
makhluk. Kedua, Menolak pendapat agama Thanawi yaitu agama yang
menduakan Allah yang keduanya adalah azali dan qadim. Muktazilah
berpendapat bahwa menetapkan ma‟na (setiap yang ada pada zat dan
wajib baginya dari segi hukum) akan menisbahkan dua Tuhan.
Muktazilah menafikan semua sifat Allah SWT, tetapi yang
dinafikan adalah ma‟na yang terkandung di dalam nama-nama itu yang
dianggap akan membawakan penisbahan berbilangnya qadim. Ketiga,
Menolak pendapat Kristen yang menganggap bahwa Tuhan ada oknum
oknum yaitu Bapak, Anak dan Ruh Kudus. Keempat, Menolak pendapat
Yahudi yang menggambarkan Allah SWT seperti makhluk.32
As-Sahrastani menjelaskan beberapa faktor terjadinya perbedaan
pandangan yang menyebabkan lahirnya sekte atau golongan dalam Islam:

32
Mudasir bin Rosder, Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah, Jurnal Islamiyyat,
Vol.15 No.3-14, h. 4

23
1. Pertama, masalah sifat dan keesaan Allah SWT, termasuk sifat azali-
Nya, sebagian ada yang menerima atau mengakui sifat Allah dan
sebagian ada yang menolaknya. Begitu juga tentang sifat yang wajib,
mustahil dan jaiz. Masalah ini menjadi ajang perdebatan di antara
golongan Asyariyah, Karamiyah, Mujassimah dan Muktazilah.
2. Kedua, masalah qadha, qadar, keadilan Allah, jabar dan kasab,
keinginan berbuat baik dan jahat dan masalah yang berada di luar
kemampuan manusia. Masalah ini diperdebatkan oleh Qadariyah,
Najariyah, Asyariyah dan Karamiyah.
3. Ketiga, masalah janji (wa’ad), wa’id (ancaman) dan asma Allah.
Masalah ini diperdebatkan oleh Murji‟ah, Wa‟diyah, Muktazilah,
Asyariyah dan Karamiah.
4. Keempat, masalah wahyu, akal, kenabian dan imamah. Sebagian
golongan menyatakan imam sudah ditunjuk oleh Nabi dan sebagian
yang lain menyatakan imam harus dipilih, sementara mengenai cara
penggantian imam, ada yang mengatakan melalui penunjukan dan ada
yang mengatakan melalui pemilihan. Masalah ini diperdebatkan oleh
Syiah, Khawarij, Muktazilah, Karmiyah dan Asyariyah.
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu‟tazilah
berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah
yang tidak dapat dijangkau akal. Mereka mempercayai kemampuan dan
kekuatan akal. Setiap masalah yang timbul mereka hadapkan kepada akal.
Yang dapat diterima akal, mereka terima, dan yang tidak dapat diterima
akal mereka tolak.
Muktazilah sering disebut filosof Islam karena banyak dipengaruhi
oleh pemikiran filsafat Yunani dan logika dalam menemukan landasan-
landasan paham mereka. Penyebabnya adalah karena mereka menemukan
dalam filsafat Yunani, keserasian dengan kecenderungan pemikiran
mereka, kemudian mereka jadikan sebagai metode berpikir dan
berargumentasi. Dan ketika pihak dari luar Islam berusaha meruntuhkan

24
dasar ajaran Islam dengan argumentasi logis, Muktazilah dengan gigih
menolak mereka dengan menggunakan metode diskusi dan debat.33
Menurut pemuka Mu‟tazilah, Abu al-Husain al-Khayyat,
seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Mu‟tazilah kecuali jika
sudah mengakui dan menerima lima dasar ajaran Mu‟tazilah (al-ushul al-
khamsah). Sehingga Mu‟tazilah adalah aliran yang mendasarkan faham
keagamaan mereka pada lima ajaran ini. Lima ajaran ini adalah : 1) “at-
tauhid” keesaan Tuhan, 2) “al-adl” keadilan Tuhan, 3) “al-wa’du wal
wa’id” janji dan ancaman 4) “al-manzilah bainal manzilatain” posisi
antara dua posisi dan 5) “amar makruf nahi mungkar” (menyuruh berbuat
kebaikan dan melarang segala kemungkaran).
a. Keesaan Tuhan (At-Tauhid)
Al-Quran menurut Muktazilah kedudukannya sebagai pelengkap
dari kekuatan akal manusia, menurut mereka akal mempunyai kekuatan
luar biasa yang memungkinkan melakukan empat hal penting dalam
kehidupan meskipun tidak mendapatkan bimbingan wahyu, yaitu 1) akal
manusia dapat mengetahui Tuhan, 2) akal manusia bisa berterima kasih
kepada Tuhan atas apa yang diberikan Tuhan, 3) akal manusia dapat
mengetahui mana yang baik dan mana yang burukk, 4) dengan akal
manusia bisa mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Imam Al Asy‟ari dalam kitabnya: Maqolat al Islamiyyin,
menyebutkan pengertian Tauhid menurut Mu'tazilah sebagai berikut :
Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda) bukan
pribadi (syahs), bukan jauhar (substansi), bukan aradl (non essential
property), tidak berlaku padanya masa. Tiada tempat baginya, tiada bisa
disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukkan
ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya, tiada melahirkan dan tiada
dilahirkan, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa

33
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu
Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 94

25
digambarkan dengan akal pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa
dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain-
Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.
Dari pengertian di atas, nampak jelas bahwa pikiran-pikiran
Mu'tazilah mengambil istilah-istilah filsafat seperti syahs, jauhar, aradl,
teladan (contah/idea) dan sebagainya. Prinsip Tauhid ini dipertahankan
dan diberi argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul betul murni.
Pemahaman Tauhid di atas juga berimplkasi pada pernyataan
kemakhlukan Al-Quran sebagai konsekuensi peniadaan tajsim dan nafyus
shifat karena dianggap mengotori keesaan Allah.
Beberapa contoh pendapat Mu‟tazilah terkait konsep Tauhid
pendapat Muktazilah tentang ayat yang menunjukkan Tuhan punya
tangan, tangan di sini diartikan kekuasaan dan dalam ayat yang
menunjukkan Tuhan bertempat dalam Arsy‟ diartikan bahwa Tuhan
menguasai dan sebagainya. Alasan Mu'tazilah menta‟wilkan ayat-ayat
tersebut, karena apabila diartikan secara harfiah tidak masuk akal dan
bertentangan dengan ayat yang lain serta akan mengurangi kesucian Tuhan
sendiri. oleh sebab itu di dalam menjabarkan Tuhan Yang Maha Esa ini
mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif) seperti tidak berjisim,
tidak berarah, tidak berupa, tidak dan sebagainya yang pada prinsipnya
tidak sama dengan sifat makhluk. Contoh lainnya dalam masalah melihat
Tuhan. dikatakan bahwa Tuhan tidak berjisim, maka juga tidak berarah.
Jika Tuhan tidak berarah, maka manusia tidak dapat melihat-Nya karena
setiap sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada pada suatu tempat atau
arah, disamping dibutuhkan beberapa syarat seperti adanya cahaya, warna
dan sebagainya, dan yang demikian itu mustahil bagi Allah.
b. Keadilan Tuhan (Al-Adl)
Keadilan Tuhan bagi Mu'tazilah erat hubungannya dengan keesaan
Tuhan (At-Tauhid). Kalau At-Tauhid adalah mensucikan Tuhan dari
adanya persamaan dengan makhluk, maka Al-Adl adalah mensucikan
Tuhan dari perbuatan dhalim. Keadilan Tuhan adalah salah satu sendi

26
pokok setalah keesaan Tuhan dalam pokok ajaran Muktazilah. Mereka
bangga menamakan diri sebagai ahlul ‘adl wat tauhid. Meskipun seluruh
kaum muslimin mengakui bahwa Allah adalah Maha Adil, namun
Muktazilah memberi penekanan khusus pada keadilan Tuhan.
Ada tiga hal pokok yang menjadi penekanan Muktazilah
sehubungan dengan prinsip keadilan yaitu: Pertama, Allah mengarahkan
makhluknya kepada suatu tujuan dan bahwa Allah menghendaki yang
terbaik bagi hamba-Nya. Kedua, Allah tidak menghendaki keburukan,
maka dari itu tidak memerintahkan yang buruk. Ketiga, Allah tidak
menciptakan perbuatan hamba-Nya yang baik maupun yang buruk;
manusia itu bebas dan ia menciptakan perbuatannya dan itu menjadi dasar
adanya pahala dan hukuman.
Menurut Muktazilah, Tuhan yang Maha Bijaksana tidak akan
bertindak secara semena-mena, akan tetapi dalam tindakan-Nya itu
terkandung kebijaksanaan dan tujuan. Orang bijak mungkin berbuat untuk
kepentingan dirinya atau untuk kepentingan orang lain, akan tetapi Tuhan
mustahil berbuat untuk kepentingan diri-Nya sendiri karena mengejar
kepentingan diri sendiri adalah pertanda kekurangan. Oleh karena itu
pastilah Tuhan berbuat baik untuk kepentingan orang lain dalam hal ini
makhluk-Nya. Maka kebaikan dan kemaslahatan makhluk adalah tujuan
yang terkandung dalam perbuatan Tuhan. Demi keadilan-Nya Allah tidak
akan pernah berbuat buruk atau dzalim terhadap makluk-Nya. Bahkan
menurut suatu pandangan Muktazilah, Tuhan wajib melakukan yang
terbaik bagi hamba-Nya.
Konsekuensi lanjut dari keadilan menurut Muktazilah bahwa
manusia menciptakan perbuatannya. Penegasan ini untuk menjelaskan arti
tanggung jawab manusia. Menurut mereka, tidak adil jika manusia tidak
menciptakan perbuatannya sehingga Tuhan menghukumnya atas sesuatu
yang ia tidak berdaya apa apa terhadapnya. Konsekuensi selanjutnya
Muktazilah memberikan penghargaam yang tinggi kepada kemampuan
manusia dan kompetensi akalnya untuk mengetahui yang baik dan yang

27
buruk. Menurut Muktazilah baik dan buruk itu bersifat dzati (objektif),
padanya terdapat suatu kualitas yang dapat dipatoki untuk menentukan
baik dan buruk.
c. Janji dan Ancaman (Al-Wa’du dan Al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan kelanjutan dari prinsip keadilan.
Mereka yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala berupa syurga
dan ancaman akan menjatuhkan siksa yaitu neraka sebagai yang
disebutkan di dalam Al- Qur‟an, pasti dilaksanakan karena Tuhan sendiri
sudah menjanjikan hal yang demikian itu. Siapa yang berbuat baik akan
dibalas kebaikan dan siapa yang akan berbuat jahat akan dibalas pula
dengan kejahatan. Siapa yang keluar dari dunia penuh dengan ketaatan dan
taubat, ia berhak akan pahala dan mendapatkan tempat di
syurga..Sebaliknya siapa yang keluar dari dunia sebelum taubat dari dosa
besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan diabadikan di dalam neraka.
Namun demikian menurut Mu'tazilah, siksa yang diterimanya akan lebih
ringan jika dibandingkan dengan yang kafir sama sekali.
d. Posisi antara dua posisi (Al-Manzilah bainal Manzilatain)
Al-Manzilah baina al-Manzilatain merupakan ajaran dasar pertama
yang lahir di kalangan Muktazilah. Ini adalah satu istilah khusus yang
digunakan oleh kaum Mu‟tazilah untuk merespon fenomena yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat pada masa pemerintahan Amirul Mukmini
Ali bin Abi Thalib. Yakni ketika terjadi selisih paham antara kaum
khawarij dan Murjiah menyangkut perkara kafir dan mengkafirkan orang
muslim yang kedapatan telah melakukan dosa besar (fasik).
Bagi kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa
digolongkan kedalam orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka
sama saja dengan orang kafir. Atau tegasnya, menurut kaum khawarij
mereka itu adalah kafir. Sebaliknya, menurut kelompok murjiah,
sepanjang imannya masih utuh walaupun seseorang telah melakukan
kejahatan dan berdosa besar maka dia masih tetap dianggap orang muslim.
Alasan kelompok ini sederhana, bahwa urusan hati siapa yang tahu. Dan

28
iman adalah urusan hati. Jadi sepanjang hatinya masih beriman maka dia
adalah tetap orang muslim. Kaum Mu‟tazilah tampil ditengah-tengah
mereka dengan mengatakan bahwa untuk perkara seperti itu maka
manzilah wal manziltain- lah dia. Orang yang melakukan perbuatan dosa
besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni antara kafir dan muslim.
Orang yang melakukan perbuatan fasik itu bukanlah termasuk kedalam
golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk kedalam golongan
kafir, mereka ada diantara dua posisi itu. Doktrin inilah yang kemudian
melahirkan aliran Mu‟tazilah yang digagas oleh Washil ibn Atha. Wasil
memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak
mukmin tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang
berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah
orang mukmin dan di atas orang kafir. jalan tengah ini diambilnya dari:
1. Ayat-ayat Quran dan hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil
jalan tengah dalam segala sesuatu.
2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa ke-utamaan
(fadilah) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan
buruk.
e. Amar Makruf Nahi Mungkar
Ajaran ini berhubungan dengan pembinaan moral, dimana dalam
membina moral umat, Muktazilah berpendapat bahwa amar ma‟ruf nahi
mungkar sebagai suatu bentuk dari kontrol sosial wajib dijalankan. Kalau
dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau terpaksa dengan kekerasan.
Sejarah mencatat, Mu'tazilah pernah memakai kekerasan dalam
menyiarkan ajarannya yang menyangkut seorang ulama besar, yakni
Ahmad ibn Hambal terpaksa masuk penjara karena berbeda pendapatnya
mengenai status Al-Qur‟an, dalam peristiwa “Mihnah”, semacam ujian
monoloyalitas bagi pejabat pejabat negara.

29
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa:
Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia
tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang
menentukan segala-galanya.
Takdir adalah sesuatu yang harus kita imani, dan ini merupakan salah satu
rukun dari enam rukun iman.
Agama kita adalah agama rasional, sesuai dengan sabda Rasulullahi Saw:
“Laa diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya yang bisa kita terima
dengan akal, ada beberapa hal yang harus kita terima dengan iman. Imam ‘Ali
pernah berkata: “Seandainya semua hal dalam agama ini bisa diakali, pastilah
telapak khuf lebih utama untuk disapu.”
Pendapat yang mengatakan bahwa nama Mu‟tazilah mulai muncul sejak
peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan al-Bashri, di mana dari Hasan
Bashri muncul ucapan “I’tazala ‘Anna”. Dari kata-kata tersebut muncullah
kemudian sebutan Mu‟tazilah bagi Washil dan para pengikutnya. Pendapat
mayoritas ini dipegang oleh penulis buku buku firaq seperti Al-Baghdadi dan As-
Sahrastani. Mereka meriwayatkan bahwa Wasil bin Atha‟ telah berbeda dengan
gurunya Hasan Bashri. Washil bin Atha‟ ber-pendapat bahwa bagi orang yang
melakukan dosa besar sedang ia tidak bertaubat, maka pada hari akhirat kelak ia
berada di antara dua tempat (antara surga dan neraka) yang diistilahkan dengan
Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain. Washil bin Atha‟ kemudian memisahkan diri
dari gurunya dan diikuti oleh beberapa murid Hasan Bashri, seperti „Amr ibn
„Ubayd. Atas peristiwa ini Hasan al-Bashri mengatakan: “Washil menjauhkan diri
dari kita (I’tazala ‘anna)”. Kemudian mereka digelari kaum Mu‟tazilah.

30
DAFTAR PUSTAKA

AB Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran


Islam. 2008. Banjarmasin: Antasari Press.
Ahmad Amin, Fajr Islam. 1965. Kairo: al-Nahdhah.
Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. 1958. Kairo:t.t.
Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta.
Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.
Aziz Dahlan, Sejarah Pemikiran Perkembangan dalam Islam. 1987.
Jakarta: Beunneubi Cipta.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, 1986. Jakarta: UI-Press, Cet ke-5.
Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII. 2006. Jakarta:
Gramedia.
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna.
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari
Mabahits fi Ulum al-Qur'an. 2004. Jakarta: Litera AntarNusa.
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal.
Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah.
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2.
Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali.
Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam, Cet. Ke- 8. 1980. Jakarta : Penerbit
Wijaya.
Tim, Enseklopedi Islam, Jabariyah. 1997. Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeve, Cet ke-4.

31

Anda mungkin juga menyukai