Anda di halaman 1dari 21

BEDAH KARYA BANGUNAN GEDUNG SATE DAN MUSEUM

FATAHILLAH

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6

Alvie Aditya Ramdani 41220010027


Alya Lanniswa Ramdhani 41220010019
Hasrat Damai Hati Gulo 41220010014

MATA KULIAH :
TEORI ARSITEKTUR

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Ir. Primi Artinigrum, M.Arch

UNIVERSITAS MERCU BUANA


FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
SEPTEMBER 2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Bedah karya
Bangunan Gedung Sate dan museum Fatahilah” tepat pada waktunya. Adapun
tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Teori Arsitektur oleh ibu Dr.Ir. Primi Artiningtum, M.Arch. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang arsitektur kolonial pada bangunan
Gedung Sate dan Museum Fatahilah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr.Ir Primi Artiningrum, M.Arch
selaku dosen mata kuliah Teori Arsitektur yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Jakarta, 29 September 2021

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................ 3
BAB I.......................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................6
1.3 Manfaat Penulisan.........................................................................................6
1.4 Sistematika Pembahasan...............................................................................6
BAB II......................................................................................................................... 7
KAJIAN PUSTAKA....................................................................................................7
2.1 Penerapan Langgam Timur dan Barat/Arstektur Kolonial..............................7
2.2 Bagaimana Perbedaan dan Persamaan Aliran Langgam Timur dan
Barat/Arsitektur Kolonial Pada Kedua Bangunan...............................................10
2.3 Ciri-Ciri Bangunan yang Menerapkan Aliran Langgam Timur dan
Barat/Arsitek Kolonial.........................................................................................11
BAB III...................................................................................................................... 13
METODE PENELITIAN............................................................................................13
3.1 Jenis Penelitian............................................................................................13
3.2 Metode Pengumpulan Data..........................................................................13
BAB IV..................................................................................................................... 14
BEDAH KARYA BANGUNAN GEDUNG SATE.......................................................14
4.1 Deskripsi Kasus Studi..................................................................................14
4.2 Analisis dan Pembahasan............................................................................15
BAB V...................................................................................................................... 17
BEDAH KARYA BANGUNAN MUSEUM FATHILLAH............................................17
5.1 Deskripsi Kasus Studi..................................................................................17
5.2 Analisis dan Pembahasan............................................................................18
BAB VI..................................................................................................................... 20
PENUTUP................................................................................................................. 20
6.1 Kesimpulan..................................................................................................20
6.2 Saran........................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................21

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sejarahnya dan


peninggalan-peninggalannya yang tercermin dari peninggalan bangunan-
bangunannya. Tentu saja tidak sedikit bangunan bersejarah yang menyimpan cerita
penting dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Bahkan hampir di setiap daerah
yang memiliki sejarah dan bangunan bersesjarah dan menjadi icon atau identitas
daerah tersebut, contohnya Kota Bandung dan Jakarta.
Bandung sebagai kota yang direncanakan untuk menjadi Ibu Kota Hindia
Belanda (Voskuil,1996). Pada tahun 1908, Gubernur Jendral Hindia Belanda kota
Hermen Willem Daendels, semasa pemerintahannya banyak melihat potensi yang
besar dimana Eek (nama lama kota Bandung) dapat dikembangkan menjadi kota
yang direncanakan secara matang. Bandung yang merupakan kota ketiga tersebar di
Indonesia telah mengalami pembangunan yang berkembang sejak dulu oleh para
pemerintah Belanda. Hal tersebut yang memunculkan sederetan karya arsitektur di
Bandung. Salah satunya adalah Gedung Sate yang merupakan ikon Kota bandung
yang saat ini telah menjadi icon atau identitas bersejarah bagi masyarakat Jawa
Barat.
Gedung Sate, dengan ornamen khasnya yang berupa tusuk sate merupakan
suatu icon atau identitas Kota Bandung yang sudah dikenal di seluruh penjuru Tanah
Air. Umurnya yang sudah memasuki 1 abad (mulai dibangun tanggal 27 Juli 1920)
memiliki nilai sejarah tersendiri bagi masyarkat Jawa Barat Khususnya Kota
Bandung. Ornamen-ornamen pada gedung ini memiliki perpaduan nilai Arsitektur
Eropa dan Arsitektur Nusantara (atau bisa disebut arsitektur Indo-Eropa/indo
Eropeeschan architecture stijl) yang menarik dan anggun. Badan dari gedung itu
sendiri juga mengingatkan kita pada gaya arsitektur Italia di zaman Renaissance,
sedangkan atap bertingkat yang tegak berdiri mirip dengan Pagoda. Bangunan ini
merupakan ungkapan arsitek yang berhasil menghasilkan keharmonisan antara
langgam Timur dan Barat.
Seiring berjalannya waktu perkembangan Kota Bandung tidak dapat
dihindarkan, demikian pula pada kawasan Gedung sat yang merupakan kawasan
konservasi.

4
Jakarta adalah ibu kota dan kota terbesar Indonesia. Terletak
di estuari Sungai Ciliwung, di bagian barat laut Jawa, daerah ini telah lama
menopang pemukiman manusia. Bukti bersejarah dari Jakarta berasal dari abad ke-4
M, saat ia merupakan sebuah permukiman dan pelabuhan Hindu. Kota ini telah
diklaim secara berurutan oleh kerajaan bercorak India Tarumanegara, Kerajaan
Sunda Hindu, Kesultanan Banten Muslim, dan oleh pemerintahan Belanda, Jepang,
dan Indonesia. Hindia Belanda membangun daerah tersebut sebelum direbut
oleh Kekaisaran Jepang semasa Perang Dunia II dan akhirnya menjadi merdeka
sebagai bagian dari Indonesia.
Jakarta telah dikenal dengan beberapa nama. Ia disebut Sunda
Kelapa selama periode Kerajaan Sunda dan Jayakarta, Djajakarta,
atau Jacatra selama periode singkat Kesultanan Banten. Setelah itu, Jakarta
berkembang dalam tiga tahap. "Kota Tua Jakarta", yang dekat dengan laut di utara,
berkembang antara 1619 dan 1799 pada era VOC. "Kota baru" di selatan
berkembang antara 1809 dan 1942 setelah pemerintah Belanda mengambil alih
penguasaan Batavia dari VOC yang gagal yang sewanya telah berakhir pada 1799.
Yang ketiga adalah perkembangan Jakarta modern sejak proklamasi kemerdekaan
pada 1945. Di bawah pemerintahan Belanda, ia dikenal sebagai Batavia (1619–
1949), dan Djakarta (dalam bahasa Belanda) atau Jakarta, selama pendudukan
Jepang dan masa modern.
Jakarta sendiri banyak memiliki peninggalan kolonialisme contohnya adalah
museum Fatahillah. Museum Fatahillah dahulu adalah sebuah balai kota (bahasa
Belanda: stadhuis) yang menjadi pusat pemerintahan kota dan milisi warga. Latar
belakang sosial, budaya, ekonomi, dan politik pada masa itu telah memberikan suatu
pengaruh gaya arsitektur dan tata ruang pada museum Fatahillah. Bangunan
bergaya neoklasik ini ternyata memiliki fungsi yang berbanding terbalik dengan
keindahan dan kemegahannya. Sebagai pusat pemerintahan dan milisi warga,
segala keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diambil oleh para
penguasa kota dari balik gedung itu. Dilengkapi dengan ruang penjara bawah tanah,
pelataran stadhuis juga berfungsi sebagai pengadilan terbuka untuk menghukum
para pelanggar aturan yang dibuat oleh VOC. Fungsi bangunan yang telah
disebutkan tadi, seolah menggiring persepsi pada kekejaman penjajah masa lampau.

Penelitian ini akan membahas bangunan-bangunan kolonial serta aliran-


aliran yang terdapat pada bangunan tersebut.

5
1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan pada kedua bangunan ini, adalah sebagai berikut :


a. Bagaimana penerapan aliran langgam Timur dan Barat/Arsitektur Kolonial
bangunan tersebut ?
b. Bagaimana perbedaan dan persamaan pada penerapan aliran langgam
Timur dan Barat/Arsitektur Kolonial kedua bangunan tersebut ?
c. Apa ciri-ciri bangunan yang menerapkan aliran langgam Timur
danBarat/Arsitektur Kolonial ?

1.3 Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah ilmu pembaca mengenai


Langgam Timur dan Barat/Arsitektur Kolonial pada bangunan Gedung Sate dan
Museum Fatahillah. Selain itu, pembaca diharapkan dapat lebih memahami tentang
Teori Arsitektur.

1.4 Sistematika Pembahasan

I. Pembahasan mengenai contoh aliran arsitektur kolonial di Indonesia.


II. Pembahasan Mengenai aliran Teori Arsitektur.
III. Penyajian Metode Penulisan.
IV. Pembahasan Bedah Karya.
V. Pembahasan Bedah Karya.
VI. Kesimpulan dan Saran.

6
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penerapan Langgam Timur dan Barat/Arstektur Kolonial

Gaya arsitektur kolonial di Indonesia menurut Handinoto (2012) terbagi


menjadi tiga yaitu; Indische Empire (abad 18-19), Arsitektur Transisi (1890-1915),
dan arsitektur kolonial modern (1915-1940). 1
1) Gaya Arsitektur Indische Empire Style (Abad 18-19)
Menurut Handinoto(2008), gaya arsitektur ini diperkenalkan oleh Herman
Willen Daendels saat bertugas sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-
1811). Indische Empire Style (gaya Imperial) merupakan gaya arsitektur yang
berkembang pada pertengahan abad ke-18 sampai akhir abad ke-19.2 Gaya
arsitektur ini dimulai pada daerah pinggiran kota Batavia (Jakarta), munculnya gaya
tersebut akibat dari suatu kebudayaan di Belanda yang bercampur dengan
kebudayaan Indonesia dan sedikit kebudayaan China.
2) Gaya Arsitektur Transisi (1890-1915)
Menurut Handinoto (2012), arsitektur transisi di Indonesia berlangsung
sangat singkat yaitu pada akhir abad 19 sampai awal abad 20 antara tahun 1890
sampai 1915. Peralihan dari abad 19 ke abad 20 di Hindia Belanda dipenuhi oleh
perubahan dalam masyarakatnya dikarenakan modernisasi pada penemuan baru
dalam bidang teknologi dan kebijakan politik pemerintah kolonial.3
3) Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915-1940)
Menurut Handinoto (1993), arsitektur modern merupakan sebuah protes yang
dilontarkan oleh arsitek Belanda setelah tahun 1900 atas gaya Empire Style. Arsitek
Belanda yang berpendidikan akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda,
mereka mendapatkan suatu gaya arsitektur yang cukup asing, karena gaya arsitektur
Empire Style yang berkembang di Perancis tidak mendapatkan sambutan di
Belanda.

1
Sub Bagian Gaya Arsitektur Kolonial.
2
Gaya Arsitektur Indische Empire Style
3
Gaya Arsitektur Transisi

7
Dari penjelasan di atas mengenai sub bagian/macam-macam gaya arsitektur
lokal, selanjutnya akan menjelaskan penerapan langgam Timur dan Barat/Arsitektur
Kolonial pada bangunan, salah satunya Gedung Sate :
A. Fasad
Dilihat dari tampak bangunannya, Gedung Sate memiliki tugas untuk
mencerminkan kemegahan Bandung dalam desain arsitekturnya. Kesan megah
sangat ingin ditampilkan oleh Gerber dalam setiap elemen bangunannya, terlebih
Gedung sate ini memang direncakanan sebagai Gedung pusat pemerintahan. Oleh
karena itu, gaya arsitektur Renaissance Perancis yang sangat megah diambil dan
diaplikasikan kedalam fasad Gedung Sate ini. Gaya ini diambil dalam bentuk
penggunaan busur berulang dan pengerjaannya yang benar-benar rapi dengan
ukiran yang halus tiap busurnya.

Gambar 1. Foto tampak depan Gedung Sate Sumber : http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?


t=1157395

Pada bagian tengah fasad, terdapat suatu ornamen yang meyerupai candi
yang kontras dan menarik. Bentuknya yang berundak menyerupai gunung disebut
Kori Agung. Kori Agung atau Paduraksa adalah jenis pintu gerbang yang ditutup
dengan atap yang menjulang tinggi yang dapat ditemukan di pulau Jawa dan Bali,
Indonesia. Ciri arsitektural ini banyak dijumpai pada bangunan-bangunan dari
periode klasik Hindu-Budha Indonesia. Paduraksa menandai ambang ke ruang
paling suci (tempat suci batin) di dalam kompleks keagamaan, kuburan, atau istana.4
Orientasi fasad Gedung Sate juga sangat diperhitungkan. Dengan Mengikuti
sumbu poros utara-selatan (yang juga diterakan di Gedung Pakuan, yang
menghadap Gunung Malabar di selaran), Gedung Sate justru sengaja dibangun
menghadap Gunung Tangkuban Perah di utara. Jadi, Gedung Sate tidak hanya di
desain secara sendiri namun melainkan melihat lingkungan di sekitarannya. Konsep
kesimetrisan sumbu tersebut terlebih dulu diterapkan oleh perancang Eropa

4
Definisi Paduraksa atau Kori Agung

8
dalam membangun sederetan bangunan seperti La Defense (sentra bisnis Paris), Ar
de Triomphe de L’Etoile (gapura kemenangan utama), Champs Elysses (salah satu
jalan paling glamour di dunia).
B. Atap
Pada Gedung Sate ini, terdapat 2 bentuk atap yang digunakan. Pada puncak
atap yang menaungi bagian depan bangunan dan berbentuk perisai, terdapat
ornamen atap yang berciri tradisional dan merupakan perpaduan ragam hias Hindu,
Buddha, dan India.

Gambar 2. Foto Detail Atap Gedung Sate


Sumber : http://rezaong11.blogspot.com/2018/01/sejarah-gedung-sate.html
Sedangkan pada atap yang terletak paling tinggi dan menonjol dari
bangunan ini menggunakan atap pura/tumpang seperti meru di Bali atau Pagoda
di Thailand. Lalu, pada puncaknya terdapat icon/identitas dari Gedung Sate yang
terkenal yaitu “tusuk sate” dengan 6 buah ornamen sate yang konon
melambangkan 6 juta gulden (jumlah biaya yang digunakan untuk membuat
gedung sate). Terlihat jelas bahwa pada elemen ini Gerber ingin memasukan
aliran Arsitektur Nusantara.

Gambar 3. Foto Atap Gedung Sate


Sumber: http://anyerpanarukan.blogspot.co.id/2010/12/ge dung-sate.html

C. Jendela

9
Untuk mendukung fasad bangunan yang bergaya Renaissance ini, Gerber
mengambil tema Moor Spanyol untuk jendelanya, Jendela ini berbentuk seperti
busur yang terbuat dari material bata plester yang condong ke arah luar dan
dilengkapi dengan kaca berkusen kayu pada bagian dalamnya. Di sekeliling, bata
plester ini diukir secara sederhana mengikuti bentuk busur jendela tersebut.

Gambar 4. Foto Jendela Gedung Sate


Sumber : Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1, A321-326

2.2 Bagaimana Perbedaan dan Persamaan Aliran Langgam Timur dan


Barat/Arsitektur Kolonial Pada Kedua Bangunan

Pada konsepnya aliran langgam Timur dan Barat/arsitektur Kolonial


merupakan perpaduan antara budaya barat dan timur yang hadir melalui karya-
karya arsitek Belanda yang diperuntukkan bagi bangsa Belanda di Indonesia pada
masa sebelum kemerdekaan. Meskipun bangunan Gedung Sate dan Museum
Fatahillah di bangun pada masa gaya indische empire style, tetapi masing-masing
bangunan memiliki perbedaan dan persamaan, sebagai berikut :
 Perbedaan
Museum Fatahillah yang berada di kawasan Kota Tua Jakarta.
Museum Fatahillah merupakan bangunan berarsitektur Neo Klasik , memiliki bentuk
jendela dan pintu sama yaitu persegi dengan warna yang sama yaitu hijau, susunan
jendela pun berirama atau memiliki jarak yang sama antar jendela baik jendela lantai
satu maupun lantai dua. Arsitektur Neoklasik (klasik modern) adalah sebuah
gaya arsitektur yang dihasilkan oleh gerakan neoklasik yang dimulai pada
pertengahan abad ke-18. Dalam bentuk termurninya, gaya arsitektur tersebut
merupakan gaya yang secara prinsip berasal dari arsitektur zaman klasik.
Gedung Sate sebagai pusat pemerintahan empunyai gaya arsitektur
yang memadukan 2 gaya arsitektur yaitu, Eropa dan Indonesia. Bangunan ini
bergaya Arsitektur Renaissance, Arsitektur Renaisans adalah arsitektur pada periode

10
antara awal abad ke-15 sampai awal abad ke-17 di wilayah Eropa, ketika terjadi
kelahiran kembali budaya klasik terutama budaya Yunani kuno dan budaya Romawi
kuno. yang disebut Renaisans.

 Persamaan
Dari kajian mengenai Arsitektur Kolonial dan pelestariannya di atas dapat
dirangkum hasil pembahasan sebagai berikut:
1. Asitektur kolonial merupakan salah satu gaya arsitektur yang ada di
Indonesia sejak masa penjajahan Belanda dimana gaya, karakter, dan ciri arsitektur
kolonial dipengaruhi oleh perpaduan antara budaya Belanda dan budaya Indonesia.
Salah satu faktor yang paling mempengaruhi ciri khas dari arsitektur ini ialah
perpaduan antara bentuk bangunan di Belanda dan iklim tropis yang ada di
Indonesia. Ciri dan karakter ini dapat dilihat pada beberapa contoh bangunan seperti,
Gedung Sate yang memiliki khas sendiri pada bagian atapnya, ataupun Museum
Fatahillah yang berkesan megah.
2. Walaupun bangunan kolonial memiliki bentuk dan karakter yang berbeda
pada tiap periode tetapi memiliki satu kesamaan yaitu bangunan yang merupakan
paduan antara budaya Belanda dan budaya Indonesia dengan menyesuaikan iklim
tropis.
3. Metode konservasi yang dapat dilakukan sebagai bentuk pelestarian
bangunan kolonial terbagi menjadi dua yaitu teknik konservasi bersifat fisik
(preservasi, restorasi, dan rekonstruksi) dan non fisik.

2.3 Ciri-Ciri Bangunan yang Menerapkan Aliran Langgam Timur dan Barat/Arsitek
Kolonial

Ciri Arsitektur Kolonial Menurut Handinoto dalam bukunya (1996) tentang ciri
ciri bangunan kolonial sebagai berikut :
1. Gable/gevel, berada pada bagian tampak bangunan, berbentuk segitiga
yang mengikuti bentukan atap.
2. Tower/Menara, variasi bentuknya beragam, mulai dari bulat, kotak atau segi
empat ramping, segi enam, atau bentukbentuk geometris lainnya.
3. Dormer/Cerobong asap semu, berfungsi untuk penghawaan dan
pencahayaan. Di tempat asalnya, Belanda, dormer biasanya menjulang tinggi
dan digunakan sebagai ruang atau cerobong asap untuk perapian.

11
4. Tympannon/Tadah angin, merupakan lambing masa prakristen yang
diwujudkan dalam bentuk pohon hayat, kepala kuda, atau roda matahari.
5. Ballustrade, ballustrade adalah pagar yang biasanya terbuat dari beton cor
yang digunakan sebagai pagar pembatas balkon, atau dek bangunan.
6. Bouvenlicht/Lubang ventilasi, bouvenlicht adalah bukaan pada bagian
wajah bangunan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan
kenyamanan termal.
7. Windwijzer (Penunjuk angin), merupakan ornament yang diletakkan di atas
nok atap. Ornamen ini berfungsi sebagai penunjuk arah angin.
8. Nok Acroterie (Hiasan puncak atap), terletak di bagian puncak atap.
Ornamen ini dulunya dipakai pada rumah-rumah petani di Belanda, dan
terbuat dari daun alang-alang.
9. Geveltoppen (Hiasan kemuncak atap depan); - Voorschot, berbentuk
segitiga dan terletak di bagian depan rumah.

12
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif


kualitatif. Deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam
konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi
yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Penelitian yang
dimaksud deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu
objek secara sistematis, faktual dan akurat. Pendekatan kualitatif digunakan sebagai
pemahaman tentang aspek-aspek yang mengandung suatu ciri dalam desain pada
bangunan tersebut. Penelitian ini merupakan studi yang bersifat observasi,
dokumentasi dan eksplorasi. Penelitian ini dimaksud untuk memahami hasil kajian
arsitektur pada bangunan bersejarah pada Gedung Sate dan Museum Fatahillah.
Tujuan utama pada penelitian ini adalah sebagai upaya mempertahankan dan
memahami unsur Arsitektur Kolonial pada bangunan Gedung Sate dan Museum
Fatahillah.
Dalam studi ini, peneliti melakukan pengumpulan data dengan mengamati
dan mencatat kemudian mendeskripsikan hasil penelitian tersebut menggunakan
pendekatan deskriptif. Studi ini mendeskripsikan tentang arsitektur pada bangunan
bersejarah berdasarkan pemahaman Arsitektur Kolonial dengan fokus pada segi fisik
bangunan arsitektur kolonial agar dapat mengetahui karakteristik fisik arsitektur
kolonial Belanda yang terdapat pada Gedung Sate dan Museum Fatahillah, maka
dari itu penelitian ini menggunaan metodologi kualitatif meliputi penelitian, telaah
dokumen, dan menghasilkan data deskriptif.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data bertujuan untuk memperoleh data dengan


menggunakan sumber data yang didapat melalui lisan dan tertulis. Pada penelitian
ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data yaitu studi literatur. Dalam hal
ini, peneliti hanya mengumpulkan data langsung mengenai studi literatur untuk
mengetahui tentang bangunan kolonial yaitu Gedung Sate dan Museum Fatahillah
Data-data yang didapat berupa data sejarah bangunan, riwayat fisik bangunan serta
gambar arsitektur bangunan dahulu dan saat ini dikumpulkan dengan menyesuaikan
dengan metode pengumpulan data.

13
BAB IV

BEDAH KARYA BANGUNAN GEDUNG SATE

4.1 Deskripsi Kasus Studi

i. Lokasi Gedung Sate


Lokasi museum gedung sate berada di Jalan Diponegoro No.22, Citarum, Bandung
Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40115. Tata letak Bangunan Gedung Sate
memiliki bentuk yang simetris, dan orientasi bangunan mengarah ke utara-selatan.
Tampak depan bangunan Gedung Sate memiki axis terhadap Lapangan Gasibu.

ii. Waktu pembangunan


Pembangunan Gedung sate memakan kurun waktu 4 tahun lamanya. Dan berhasil di
selesaikan pembangunan induk nya pada bulan September 1924 dan dimulai pada
tahun 1920.

iii. Arsitek gedung sate


Gedung sate sebagai pusat pemerintahan mempunyai gaya arsitektur yang
memaduka 2 gaya arsitektur yaitu gaya arsitektur Eropa dan dan Indonesia dan
dibangun oleh arsitek ir.J.Gerber tahun 1920. Dengan masukan dari maestro arsitek
Belanda yaitu Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitek
tradisional Nusantara.

iv. Luas bangunan


Luasan lahan museum Gedung Sate yaitu 27.990,859 m2 dan luas bangunan yaitu
10.877,734 m2 dengan batasan wilayah di arah utara yaitu Jl.Diponegoro, di arah
barat dan selatan Jl.Cimandiri, dan diarah timur Jl.Cilaki

v. Aliran kolonialisme dalam bangunan Gedung Sate


Sebagai bagian dari kota kolonial pada zamannya, Bandung memiliki banyak
bangunan kolonial salah satu nya yaitu Gedung Sate. Tidak dapat dipungkiri bahwa
arsitektur kolonial selalu terkait konsep dan makna yang melatar belakangi

14
pembangunannya. Meskipun bangunan itu sudah beralih fungsi namun tetap
memiliki ingatan dan kenangan di dalamnya.
Gedung sate sebagai pusat pemerintahan mempunyai gaya arsitektur yang
memaduka 2 gaya arsitektur yaitu gaya arsitektur Eropa dan dan Indonesia dan
dibangun oleh arsitek ir.J.Gerber tahun 1920. Objek yang terkesan kecil dan tidak
bermakna sebenarnya menjadi sangat penting apabila kita mengetahui konsep dan
makna yang melatarbelakanginya. Hal inilah yang membuat arsitektur bangunan
kolonial tidak lekang oleh zaman, dan sangat relevan dengan pernyataan Konrad
Smingliesky, yaitu “City without memory is like a man without memory” yang dikutip
Nahrul Ulum.

4.2 Analisis dan Pembahasan

i. Fasad
Dilihat dari tampak bangunannya, Gedung sate memiliki tugas untuk mencerminkan
kemegahan Bandung dalam arsitekturnya. Kesan megah sangat ingin ditampilkan
oleg Gerber dalam setiap elemen bangunannya, Gedung sate ini di rancang sebagai
pusat pemerintahan maka, gaya arsitektur Reinaissance Perancis yang elegan dan
megah diambil di aplikasikan pada fasad Gedung Sate ini.
Pada bagian tengah fasad, terdapat sebuah ornament yang menyerupai bentuk
candu yang kontras dan menarik. Bentuknya yang berundak menyerupai gunung ini
disebut Kori Agung. Ornamen yang juga sering disebut dengan Paduraksa ini
biasanya digunakan sebagiman pembatas sekaligus gerbang akses penghubung
antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus.

ii. Ornamen
Ornamen yang ada pada Gedung Sate mengambil gaya arsitektur Moor Spanyol
dengan bentuk kotak pada bagian atas dan bentuk melengkung pada bagian bawah.
Material yang digunakan adalah kaca dan memiliki roaster atau lubang venstilasi
untuk mengalirkan udara kedalam ruangan gedung.
Ornamen bangunan Gedung Sate terdiri dari ornament jendela, kolom bangunan dan
oranmen yang ada oada puncak menara gedung. Pada bagian kolom bangunan
Gedung Sate mengambil gaya arsitektur Reinaissance Italia. Sedangkan ornament
pada Menara bangunan Gedung Sate mengambil gaya arsitektur local yang
mengadopsi gaya atap pura bali. Dan pada puncak menara terdapat 6 buah
ornament berbentuk jambu air seperti tusuk sate.

15
iii. Ruang Dalam
Gedung Sate semenjak tahun 1980 diketahui dengan istilah Kantor Gubernur sebab
selaku pusat kegiatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang tadinya Pemerintahaan
Provinsi Jawa Barat menempati Gedung Kerta Mukti di Jalur Braga Bandung.
Ruang kerja Gubernur ada di lantai II bersama dengan ruang kerja Wakil Gubernur,
Sekretaris Wilayah, Para Assisten serta Biro.
Di bagian timur serta barat ada 2 ruang agung yang hendak menegaskan pada
ruang dansa( ball room) yang kerap ada pada kontruksi warga Eropa. Ruangan ini
terus menjadi kerap diketahui dengan istilah aula barat serta aula timur, kerap
digunakan kegiatan formal. Di sekitar kedua aula ini ada ruangan- ruangan yang
diduduki sebagian Biro dengan Stafnya.

Di lantai paling atas ada yang dinamakan Tower Gedung Sate, lantai ini tidak bisa
dilihat dari bawah, Jika ingin pergi ke lantai paling atas memakai bisa menggunakan
Lift ataupun dengan menaiki tangga kayu.

16
BAB V

BEDAH KARYA BANGUNAN MUSEUM FATHILLAH

5.1 Deskripsi Kasus Studi

i. Lokasi bangunan Museum Fatahillah


Lokasi Museum Fatahillah atau lebih dikenal secara resmi sebagai Museum Sejarah
Jakarta adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fathillah no.1 Jakarta
Barat.

ii. Waktu pembangunan


Museum Fatahillah dulunya yaitu gedung balak kota Batavia. Bangunan ini didirikan
pada tahun 1707 sampai 1712 atas perintah Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn.

iii. Arsitek Museum Fatahillah


Model bangunan ini bergaya neo klasisk yang didesain mirip dengan Istana Dam di
Amsterdam. Perancangnya yaitu W.J.van de Velde dan J.Kremmer.
Susunan bangunan utama museum Fatahillah ini memiliki dua sayap ruang di bagian
barat dan timur. Dan dilengkapi juga dengan bangunan sanding yang digunakan
untuk ruangan pengadilan, kantor, dan beberapa ruang bawah tanah yang biasanya
dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, bangunan ini diresmikan
dengan nama Museum Fatahillah yang di mulai di era Batavia.

iv. Luas bangunan


Luasan lahan museum ini lebih dari 13.388m2. dengan luas bangunan nya sekitar
1300m2 dengan menghadap ke utara dengan sebagaian besar bukaan berada di
fasad sebelah utara-selatan.

17
v. Aliran kolonialisme dalam bangunan Museum Fatahilah
Berbagai bangunan khas kolonial belanda berada di Kota Tua salah satu nya
bangunan Museum Fatahillah ini, Lingkungan di daerah kota tua harus tetap dijaga
seperti pada jamannya. Kontekstual kawasan Kota Tua harus tetap memiliki ciri khas
bangunan kolonial Belanda.

5.2 Analisis dan Pembahasan

i. Fasad
Museum Fatahillah ini memiliki pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah
kolam dihiasi beberapa pohon tua. Arsitektur bergaya era Kolonial ini di cat dengan
cat kuning tanah, kujsen pintu dan jendela dengan bahan kayu jati yang berwarna
hijau tua, dan bagian atap memiliki penunjuk arah mata angin yang mempertegas
sisi solid dari bangunan ini.
Lantai pada bangunan museum Fatahillah ini menggunakan lantai kayu. Kolom yang
di tampilkan dalam bangunan ini sangat kokoh dnegan tiang-tinag tinggi yang berada
dosa,ping sepanjang bangunan tersebut dengan warna hitam serta cat dinding
dengan warna putih. Jendela yang berwarna hijau dengan bahan kayu jati dan
kualitas baik wlaaupun terdapat beberapa kerusakan akibat kondisi alam. Plafond
nya pun menggunakan bahan kayu.

ii. Ornamen
Ornamen yang ada pada Museum Fatahillah ini yaitu terlihat di fasad depan dengan
detail-detail pada bagian ornament lingkaran, pada bagian atap penunjuk arah mata
angin.

iii. Ruang Dalam


Bangunan Museum Fatahillah ini terbentuk menjadi dua lantai dengan ruang bawah
tanah yang berisi banyak peninggalan bersejarah,
Di lantai bawah berisi peninggalan VOC seperti patung, keramik-keramik, barang
jerajinan seperti prasasti, gerabah, dan penemuan batuan yang di temukan para
arkeolog. dilantai bawah tanah ini terdapat pula penunggalan kerjinan asli Betawi
seperti dapur khas Betawi tempo dulu.

18
Di lantai dua terdapat perabotan aset para bangsa Belanda mulai dari tempat tidur
serta lukisan- lukisan, lengkap dengan jendela besar yang menghadap alun- alun.
Konon, jendela besar inilah yang digunakan buat memandang hukuman mati para
tahanan yang dicoba di tengah alun- alun.
Dan yang terakhir Ruang bawah tanah berisi penjara bawah tanah para tahanan
yang melawan pemerintahan belanda.

19
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Pada konsepnya aliran langgam Timur dan Barat/arsitektur Kolonial


merupakan perpaduan antara budaya barat dan timur yang hadir melalui karya-
karya arsitek Belanda yang diperuntukkan bagi bangsa Belanda di Indonesia pada
masa sebelum kemerdekaan. Salah satu penerapan langgam Timur dan
Barat/Arsitektur Kolonial pada bangunan di Indonesia yaitu Gedung Sate dan
Museum Fatahillah.
Peninggalan Gedung Sate merupakan salah satu bangunan bersejarah di
Indonesia yang saat ini masih berdiri dengan kokoh meskipun sudah berumur lebih
dari 100 tahun. Bahkan, bangunan tersebut saat ini aktif menjadi kantor pusat
pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Gedung sate sebagai pusat pemerintahan
mempunyai gaya arsitektur yang memaduka 2 gaya arsitektur yaitu gaya arsitektur
Eropa dan dan Indonesia dan dibangun oleh arsitek ir.J.Gerber tahun 1920.
Berbagai bangunan khas kolonial Belanda berada di Kota Tua salah satu nya
bangunan Museum Fatahillah. Museum Fatahillah dulunya yaitu gedung balak kota
Batavia. Bangunan ini didirikan pada tahun 1707 sampai 1712 atas perintah
Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn. Pada tanggal 30 Maret 1974 dan bangunan ini
diresmikan dengan nama Museum Fatahillah yang di mulai di era Batavia. Model
bangunan ini bergaya neo klasisk yang didesain mirip dengan Istana Dam di
Amsterdam. Perancangnya yaitu W.J.van de Velde dan J.Kremmer.

6.2 Saran

Diharapkan agar bangunan Gedung Sate dan Museum Fatahillah ini tetap
terjaga dan mempertahankan fungsinya sebagai bangunan besejarah peninggalan
Langgam Timur dan Barat/Arsitektur Kolonial sehingga bangunan ini tetap
terlestarikan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Aditya Wicaksono, A. W. (2017). SIMULASI BANGUNAN PINTAR DENGAN ASPEK


PENCAHAYAAN PADA BANGUNAN MUSEUM FATAHILLAH JAKARTA.
Simulasi Bangunan Pintar dengan Aspek Pencahayaan pada Bangunan
Museum Fatahillah, 1-6.
Ahkamal, U. Y. (2017). ARSITEKTUR KONTEKSTUAL BANGUNAN MUSEUM
TERHADAP BANGUNAN KOLONIAL DI KAWASAN KOTA TUA JAKARTA.
Arsitektur Kontekstual Bangunan Museum Pada Kawasan Kota Tua Jakarta,
1-6.
Dr. Ir. Purnama Salura, M. M. (2012). SINTESIS ELEMEN ARSITEKTUR LOKAL
DENGAN NON LOKAL. jurnal arsitektur elemen lokal dan non lokal, 1-37.
Handinoto, S. I. (2012). PEMBERIAN CIRI LOKAL PADA ARSITEKTUR KOLONIAL
LEWATORNAMEN PADA AWAL ABAD KE-20. DIMENSI(Journal of
Architecture and Built Environment),, 1-13.
Meidiria, I. G. (2017). Gedung Sate, Keindahan Ornamen Arsitektur Indo-Eropa.
Arsitektur, Perencanaan dan Perancangan Kota,, 1-6.
MUHAMMAD SADLI, C. J. (2015). ADAPTASI BANGUNAN BARU TERHADAP
BANGUNAN LAMA. Jurnal Reka Karsa © Jurusan Teknik Arsitektur Itenas, 1-
17.
MUHAMMAD SADLI, C. J. (2015). ADAPTASI BANGUNAN BARU TERHADAP
BANGUNAN LAMA DI KAWASAN KONSERVASI GEDUNG SATE
BANDUNG. Jurnal Reka Karsa, 1-17.
Nadhil Tamimi, I. S. (2020). TIPOLOGI ARSITEKTUR KOLONIAL DI INDONESIA.
arsitektur kolonial, 1-8.
Ramli, S. (2020). SIGNIFIKANSI ELEMEN ARSITEKTUR BANGUNAN KOLONIAL.
Signifikansi Elemen Arsitektur Bangunan Kolonial Bergaya Art Deco, 1-16.
Sofyan, A. (2019). Dari Societeit Concordia Menuju Gedung Merdeka:. Indonesian
Historical Studies,, 1-12.

21

Anda mungkin juga menyukai