Anda di halaman 1dari 34

SESI III/9

Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Desentralisasi Fiskal, Karakteristik Pemerintah Daerah dan Tingkat


Korupsi Pemerintah Daerah pada Tahun 2008 dan 2010

RUDY HARTANTO
AGUNG NUR PROBOHUDONO
Universitas Sebelas Maret

Abstract: This study aimed to determine the effect of fiscal decentralization and local
characteristics of the level of corruption in local government. Regional characteristics used
in this study include the size of local government, population, local government human
resource cost allocation, local tax revenues, and Human Develompent Index (HDI) in each
local government. Whereas for the levels of corruption, in this study used the Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) and the data from the Supreme Court (Mahkamah Agung Republik Indonesia/
MA RI).Data used in this research that Local Government Finance Report (Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah/ LKPD) in 2008 and in 201. This research analised 202 local
government in Indonesia.
Results of this study indicate that the level of corruption in Indonesia is influenced by
factors of population and local tax revenue. Local tax revenue significantly affect the IPK
effect on the level of corruption.Sensitivity analysis to the measurement of curruption based
on MA RI in not significanty affect any independen variables.

Keywords: Local Government, Corruption, Fiscal Decentralization, Local Government


Characteristics.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3614
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

A. PENDAHULUAN

Sejak berlakunya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tentang pemerintah daerah

pada era reformasi, telah membuat perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dimana

tata kelola pemerintahan yang tadinya bersifat sentralisasi berubah menuju desentralisasi.

Latar belakang terbitnya kebijakan desentralisasi sendiri dimulia dengan adanya situasi

politik pasca 1998 di mana adanya tuntutan demokrasi disegala aspek negara, dimana

pendekatan partisipatif merupakan pendekatan yang sesuai dengan tuntutan pembangunan

saat ini (Defis, 2012).

UU No. 22/1999 selanjutnya disempurnakan dengan dikeluarkannya UU No. 32/2004

tentang pemerintah daerah. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa dengan adanya

desentralisasi fiskal maka akan memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus kepentingan dan urusan rumah tangganya sendiri dan memiliki

diskersi (kebebasan) dalam membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-

masing darah.

Pergeseran struktur organisasi dalam pemerintahan dengan berjalannya desentralisasi

berubah dari organisasi yang hirarkis dan bengkak berubah menjadi organisasi yang datar dan

langsing, dimana pengawasan Pemerintah terhadap kebijakan daerah berubah dari preventif

dan represif, kini hanya secara represif (Hoessein, 2002). Dengan bergulirnya kebijakan

desentralisasi fiskal yang sudah tidak asing lagi dimana tingkat perkembangan pemekaran

daerah di Indonesia berkembang dengan cepat, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya

perbandingan jumlah kabupaten dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2007 sudah sangat

jauh. Berikut ini merupakan grafik tingkat pemekaran daerah yang diperoleh dari BPS dari

tahun 1999 sampai dengan tahun 2007:

Insert Gambar 1

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3615
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Terjadinya pemekaran daerah telah menimbulkan pro dan kontra, dimana ada yg

berpendapat bahwa pemekaran terjadi bukan karena desakan kebutuhan bersama, akan tetapi

dikarenakan adanya kebutuhan sekelompok individu atau golongan yang menginginkan

kekuasaan dan jabatan. Akan tetapi dilain sisi ada yang berpendapat bahwa dengan adanya

pemekaran maka jarak anatara pemerintah dan masyarakat akan terpisah yang pada akhirnya

akan meningkatkan pemerataan bangunan (Bapennas,2008). Sasana (2006) menyebutkan

bahwa alasan pentingnya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dikaranakan beberapa hal,

diantaranya adalah:

1. Adanya perwujudan fungsi dan peran negara modern yang bertujuan untuk

kesejahteraan umum.

2. Adanya otonomi daerah, dalam perspektif politik menyebabkan negara sebagai

organisasi yang memiliki kekuasaan pada tingkat suprastruktur dan infrastruktur

diperlukan pemencaran kekuasaan agar tidak disalahgunakan.

3. Dilihat dari perspektif manajemen, maka dengan adanya kewenangan yang diberikan

keapda daerah, menyebabkan daerah bisa mewujudkan adanya efisiensi dan

efektivitas pelayanan kepada masyarakat sehingga terwujudnya kesejahteraan umum.

Dalam pembentukan suatu daerah otomom diperlukan syarat yang harus dipenuhi,

syarat tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 129/2000 dan telah diganti

dengan PP No. 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan

Daerah. Didalam peraturan tersebut terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu: syarat

administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Syarat teknis untuk pembentukan daerah terdapat

11 faktor dengan 35 indikator teknis. Selain itu terdapat empat faktor dominan yang minimal

harus dipenuhi yaitu, kependudukan, kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan kemampuan

keuangan (Juanda dan Masrizal, 2012).

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3616
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Dengan semakin bertambahnya daerah yang ada di Indonesia yang terjadi karena

adanya otonomi daerah sendiri telah menyebabkan keunikan-keunikan dari masing-masing

daerah yang telah terbentuk. Keunikan atau karakteristik yang terbentuk disetiap daerah bisa

disebabkan oleh kondisi geografis, kebudayaan ataupun kondisi sosial dan ekonomi yang

sudah terbentuk sejak lama.

Menurut laporan KPK, terdapat 10 daerah dengan laporan dugaan kasus korupsi

tertinggi di Indonesia, hal tersebut tidak hanya terjadi di pulau Jawa, tetapi juga terjadi di

Sumatera (4 provinsi), Sulawesi, dan Kalimantan. Berikut merupakan tabel 10 daerah dengan

laporan dugaan korupsi tertinggi di Indonesia (Diansyah, 2011):

Insert Tabel 1

UU No. 32/2004 yang mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah di mana setiap pemerintah daerah diwajibkan untuk melaporkan pengelolaan

keuangannya dalam bentuk laporan keuangan pemerintah daerah. Laporan keuangan

pemerintah daerah yang telah di keluarkan oleh setiap pemerintah daerah selanjutnya akan

dilakukan pemeriksaan keuangan oleh BPK RI, yang kemudian akan dikeluarkan opini atas

kewajaran laporan keuangan tersebut. Sampai dengan tahun 2010, jumlah laporan keuangan

pemerintah daerah yang mendapatkan opini wajar dengan pengecualian sangat sedikit

jumlahnya.

Laporan BPK mencatat bahwa hanya 32 pemerintah daerah tahun anggaran 2010 yang

memperoleh opini wajar tanpa pengecualian atau hanya sekitar 9% dari 358 laporan

keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa (bpk.com, 2011). Jumlah laporan keuangan

pemerintah daerah sendiri yang telah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian

dinyatakan masih rendah. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan

bahwa sampai dengan tahun 2010 telah terdapat 448 kasus korupsi. Menurut data Komisi

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3617
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai dengan oktober 2012 tercatat 170 kepala daerah

tersangkut korupsi, lebih jauh lagi disebutkan bahwa kasus korupsi di daerah paling banyak

dilakukan di sektor infrastruktur, keuangan daerah dan pengadaan barang dan jasa, selain itu

dikatakan bahwa desentralisasi yang terjadi sejak tahun 1999 memunculkan raja-raja kecil di

daerah, di mana raja-raja kecil ini banyak yang koruptif (Rimanews.com, 2013).

Penelitan mengenai sebab-sebab terjadinya korupsi telah dilakukan oleh beberapa

peneliti, Tokes (2011) memperoleh hasil bahwa kelemahan kelembagaan dan efek dari

interaksi sosial telah mempengaruhi tingkat korupsi. Hasil penelitian yang sama juga telah

dilakukan oleh Lambsdorff SF (2006), dimana selain kelemahan lembaga, faktor lain seperti

ukuran pemerintahan dan desentralisasi, level kompetisi di sektor privat, perekrutan dan gaji,

kebebasan berpendapatan dan keadilan, demokrasi dan sistem politik.

Goel, et al. (2010) berpendapat bahwa faktor historis, pengaruh geografis dan

pemerintahan berpengaruh terhadap tingkat korupsi. Penelitian tersebut dilakukan dengan

menggunakan data kasus korupsi yang terjadi dibeberapa negara, hal itu sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Fisman (2000); Lecuna (2011); Fan et al (2009) yang

menggunakan data cross country. Desentralisasi fiskal yang telah bergulir di beberapa negara

juga telah mempengaruhi tingkat korupsi yang terjadi, hal tersebut sejalan dengan berbagai

penelitian yang dilakukan diantaranya oleh Fisman (2000), Antonio (2012), Rajeev dan

Michael (2010). Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa besarnya desentralisasi fiskal

berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi. Dimana dengan adanya desentralisasi fiskal

maka tingkat korupsi cenderung turun.

Sasana (2009) mengatakan bahwa desentralisasi fiskal yang terjadi di negara-negara

berkembang apabila tidak berpegang pada standar teori desentraliasai, hasilnya akan

merugikan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi. Dimana akan menyebabkan terjadinya

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3618
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

korupsi pada level pemerintah daerah disebakan oleh adanya pertimbangan politik dan

birokrat lokal.

Penelitian diatas merupakan hasil penelitian yang dilakukan diluar negeri, sedangkan

penelitian disektor publik yang dilakukan didalam negeri hampir sebagian besar terkait

dengan desentralisasi untuk menguji besarnya kinerja pemerintah daerah (Sasana, 2009).

Menurut hasil reviu dari peneliti, di Indonesia masih sangat jarang yang melakukan penelitian

tentang faktor yang mempengaruhi tingkat korupsi, terutama dengan semakin banyaknya

daerah pemekaran dikarenakan diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal.

Penelitian ini menguji tentang pengaruh desentralisasi fiskal dan karakteristik

pemerintah daerah terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah di Indonesia. Tingkat korupsi

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menggunakan Indeks Persepsi Korupsi di

Indonesia yang telah di lakukan oleh lemabaga survei Transparansy Index. Transparancy

Index Indeks Persepsi Korupsi Indonesia adalah sebuah instrumen pengukuran tingkat

korupsi kota-kota di seluruh Indonesia yang dikembangkan oleh Transparency International

Indonesia, selain itu dalam penelitian ini juga menggunakan data korupsi tahun 2008 dan

2010 yang telah tersedia di Mahkamah Agung (MA) melalui website resminya.

Penelitian ini menggunakan acuan penelitian yang dilakukan oleh Lecuna (2012) yang

berfokus pada besarnya desentralisasi dan tingkat korupsi, dimana dalam penelitian ini

mengacu pada tingkat korupsi yang ada di pemerintah daerah dengan menambahkan

karakteristik yang terdapat di setiap pemerintah daerah di Indonesia.

B. TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

1. Teori Desentralisasi

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah

Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik. (UU No. 22/1999) Bastian (2006)

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3619
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

menyebutkan bahwa “pemaknaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

merupakan prinsip utama otonomi daerah, otonomi daerah juga telah membuka kesempatan

yang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara

optimal”.

Setiap daerah memiliki satu atau beberapa keunggulan tertentu relatif terhadap daerah

lainnya. Dari segi potensi, keunggulan bisa bersifat mutlak, misalnya yang berasal dari

aspek lokasi atau pun anugrah sumber. Dari hal tersebut bisa disimpulkan bahwa

desentralisasi akan terwujud dengan baik bisa dipengaruhi oleh karakteristik dari

pemerintah daerah itu sendiri.Lemans (1970) dalam Bastian (2006) menyebutkan bahwa

desentralisasi fiskal dilihat dari perspektif administrasi publik merupakan instrumen untuk

mencapai tujuan tertentu yang ingin dicapai suatu negara, yaitu pencapaian nilai-nilai dan

komunitas bangsa sehingga tercapai pemerintahan yang demokratis sebagai wujud dari

otonomi.

Tujuan utama dari desentralisasi fiskal itu sendiri terdiri dari dua hal, pertama

meningkatkan kesejahteraan lokal di dalam pemerintah daerah yang pada akhirnya akan

memberikan sumbangan pada tingkat nasional, kedua dengan keberhasilan tujan pertama

maka akan terciptanya instrumen politik pada tingkat lokal dimana masyarakat

berpartisipasi dalam kegiatan bernegara (Defis, 2012).

Pembentukan daerah sebagai perwujudan desentralisasi fiskal di Indonesia yang telah

diatur dalam UU No. 32/2004 bab II pasal 5 menyebutkan bahwa pembentukan daerah baru

harus memenuhi syarat administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Syarat tersebut adalah

sebagai berikut:

a) Syarat administratif provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan

Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD

provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3620
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

b) Syarat administratif untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD

kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi

dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

c) Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup

faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,

kependudukan, luas daerah,pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang

memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

d) Syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan

provinsi dan paling sedikit 7 (tujuh) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan

4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan

prasarana pemerintahan.

2. Teori Keagenan

Teori keagenan atau bisa disebut dengan agency theory merupakan teori yang

menjelaskan hubungan antara prinsipal dan agen dimana berakar pada pada teori ekonomi,

teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Dimana salah satu pihak baik secara implisit

maupun eksplisit membuat kontrak dengan pihak lain dimana salah satu pihak akan

melakukan pekerjaan yang diinginkan oleh pihak lain, dimana terjadi pendelegasian

wewenang dalam penyelesaian tugas tersebut (Halim dan Abdullah, 2006). Agency theory

dalam sektor publik di terapkan antara pemerintah sebagai agen dan masyarakat sebagai

prinsipal.

Penyusunan anggaran dalam sektor publik dilakukan oleh pihak agen yaitu eksekutif dan

legislatif. Masyarakat sebagai prinsipal kurang memiliki informasi dalam pengusuann

anggaran. Kurangnya informasi yang diperoleh prinsipal bisa dimanfaatkan oleh agen untuk

kepentingannya sendiri maupun untuk kepentingan kelompok. Dalam penyusunan anggaran

pihak agen cenderung akan melakukan “budgetary slack”, dimana budgetary slack tersebut

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3621
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

dilakukan bukan untuk kepentingan masyarakat, akan tetapi lebih banyak untuk kepentingan

pribadi pihak agen (Latifah, 2010). Terjadinya kekurangan informasi yang diperoleh oleh

masyarakat merupakan masalah-masalah kontraktual yang terjadi dari pembuatan dan

penerapan kebijakan publik. Hal tersebut terkait adanya moral hazard dan adverse selection

(Halim dan Abdullah, 2006).

Kondisi seperti diatas juga mengakibatkan timbulnya perilaku oportunistik bagi eksekutif

dalam proses penentuan anggaran. Proses penentuan anggaran bisa berhubungan dengan

adanya peningkatan anggaran yang akhirnya akan meningkatkan penghasilan anggota

legislatif dan juga untuk tujuan mengharumkan nama politisi di wilayah tertentu (Halim dan

Abdullah, 2006).

3. Karakteristik Pemerintah Daerah

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006) dalam sumarjo (2010), karakteristik

adalah ciri-ciri khusus; mempunyai sifat khas (kekhususan) sesuai dengan perwatakan

tertentu yang membedakan sesuatu (orang) dengan sesuatu yang lain. Penelitian tentang

karakteristik pemerintah daerah pernah dilakukan oleh Puspita dan Martani (2012),

Mustikarini dan Fitriasari (2012), Sumarjo (2010).

Penelitian karakteristik daerah yang dilakukan oleh Mustikarini dan fitriasari (2012)

menggunakan variabel ukuran pemerintah daerah, dimana ukuran pemerintah daerah

dinyatakan dalam jumlah total aset (Sumardjo,2010; Puspita dan Martani, 2012). Selain itu

Puspita dan Martani (2012) juga menggunakan total belanja pegawai untuk menggambarkan

karakteristik pemerintah daerah.

Berdasarkan penjabaran tersebut, penelitian ini menjelaskan Karakteristik daerah dengan

menggunakan ukuran pemerintah daerah yang diproksikan dengan total aset, populasi

penduduk yang diproksikan dengan total penduduk, belanja pegawai yang diproksikan

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3622
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

dengan total belanja pegawai, pajak daerah yang diproksikan dengan total penerimaan pajak

daerah, dan HDI yang diproksikan dengan indek HDI di setiap daerah.

4. Korupsi

a) Pengertian Korupsi

Korupsi menurut Transparancy Internasional adalah penyalahgunaan wewenang

untuk kepentingan pribadi (http://www.ti.or.id). Sedangkan menurut UU No. 31/1999

yang kemudian di revisi dengan UU No. 20/2000 menyebutkan bahwa korupsi adalah

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara. dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa korupsi

merupakan perbuatan yang dilakukan pribadi maupun kelompok yang merugikan

negera.

Menurut SBM (2013), Tindak Pidana Kourpsi yang diatur dalam KUHP, bisa

berupa:

1) Suap, yaitu memberikan hadiah atau janji kepada:

a) pegawai negeri atau penyelenggara negara agar melakukan tindakan sesuai

dengan kehendak pemberi suap.

b) Hakim, agar merubah keputusan dalam suatu perkara.

c) Advokat untuk mempengaruhi suatu nasehat atau pendapat yang yang akan

diajukan sesuai dengan keinginan pemberi suap.

2) Penggelapan, yaitu tindakan yang dilakukan baik oleh pegawai negeri atau

orang selain pegawai negeri yang memiliki jabatan baik secara tetap atau

sementara, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang

disimpan, baik dilakukan oleh sendiri maupun orang lain baik secara individu

maupun secara kelompok

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3623
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

3) Pemerasan, yaitu tindakan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

lain secara melawan hukum telah menggunakan kekuasaannya untuk memaksa

seseorang memberi sesuatu, atau membayar atau menerima pembayaran dengan

potongan untuk kepentingan pribadi atau golongannya sendiri.

a) Pengaduan yang berkenaan dengan Pemborong/Rekanan, yaitu merupakan

perbuatan yang dilakukukan oleh:

1) Pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan bangunan yang

melakukan pembuatan atau penyerahan pembangunan yang dapat

membahayakan orang lain

2) Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan yang dengan sengaja

membiarkan terjadinya perbuatan curang dalam penyerahan tersebut.

3) Pegawai Negeri atau penyelenggara negara baik secara langsung maupun

tidak langsung dengan sengaja ikut andil dalam perbuatan pemborongan,

pengadaan atau persewaan baik untuk keseluruhan ataupun sebagaian.

b) Sebab Terjadinya Korupsi

Desentralisasi akan berjalan dengan baik dan berhasil jika lembaga pemerintahan

yang terpusat kuat atau telah tersentralisasi dengan baik. Sebaliknya jika lembaga

pemerintahan pusat lemah, maka akan menyebabkan struktur akuntabilitas baik

vertikal maupun horisontal yang telah dirancang untuk pemantauan berbasis

masyarakat bisa berubah menjadi jaringan korupsi antara perwakilan rakyat, pejabat

lokal dan pejabat pemerintah daerah (Rene’veron, 2006).

Selain itu penyebab terjadinya korupsi juga bisa dikarenakan adanya ketertutupan

dalam pembahasan RAPBN di setiap darah. Dimana program atau kegiatan tidak

pernah secara terbuka dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Tidak adanya

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3624
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

akses masyarakat terhadap dokumen anggaran APBD bisa menyebabkan

penyalahgunaan kekuasaan oleh elit politik didaerah (HT, 2005).

Pada dasarnya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia yang telah dilakukan oleh

pihak eksekutif dan legislatif di tingkat daerah pada dasarnya berawal dari adanya

masalah yang mendasar yaitu kurangnya atau bahkan tidak adanya transparansi

manajemen anggaran daerah mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi

anggaran daerah. (HT, 2005).

5. Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian mengenai tingkat korupsi telah di lakukan baik di luar negeri

maupun di dalam negeri. Penelitian pengaruh desentralisasi terhadap tingkat korupsi pernah

(Fisman dan Gatti, 2000; Goel et al., 2010) menunjukkan hasil bahwa desentralisasi

berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi. Goel et al. (2010) melakukan penelitian

dengan menggunakan data lintas negara , dengan sampel 100 negara dengan variabel faktor

historis, geografis dan pemerintah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan

hadirnya sektor publik yang lebih besar yang pada akhirnya mencerminkaan kewaspadaan

publik terhadap perilaku atau tindakan lembaga yang kuat akan mengurangi korupsi.

Fisman dan Gatti (2000) juga melakukan penelitian terhadap desentralisasi dan korupsi

yang terjadi di berbagai negara. penelitian tersebut menggunakan beberapa literatur indeks

korupsi, indeks korupsi yang dipakai diantaranya German Exporter corruption index

(GCI), developed by PeterNeumann (1994), the World Competitiveness Report's corruption

index (WCR), a historical corruption index developed by Transparency International (TI),

the Business International corruption index (BI), and the Global Competitiveness Survey

index (GCS). Penggunaan beberapa indeks korupsi tersebut digunakan dengan tujuan untuk

memperkokoh hasil penelitian tersebut.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3625
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Simon et al. (2009). sebaliknya melakukan penelitian desentralisasi fiskal menggunakan

gabungan survei berbasis pengalaman manajer bisnis yang dilakukan di 80 negara. Survei di

lingkungan dunia bisnis mewawancarai manajer dari lebih dari 9000 perusahaan pada tahun

1999-2000. Dimana survei tersebut digabungkan dengan berbagai aspek desentralisasi yang

lain. Lambsdorff (2006) yang melakukan penelitian tentang penyebab dan konsekuensi dari

korupsi menemukan hasil bahwa korupsi sejalan dengan PDB yang rendah ketidaksetaraan

pendapatan, inflasi, kejahatan meningkat, distorsi kebijakan dan kurangnya kompetisi. Dan

juga dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa korupsi juga menurunkan daya tarik negara

lain dan investor domestik dalam melakukan investasi. Demokrasi juga memiliki hasil yang

positif terhadap tingkat korupsi, akan tetapi akan berdampak negatif jika demokrasi

memiliki tingkat paritsipasi yang tinggi.

SBM (2013), Silaen dan Sasana (2013) melakukan penelitian tentang faktor yang

mempengaruhi tingkat korupsi yang terjadi. Dimana dalam variabel jumlah penduduk

wanita, telah ditemukan pengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi yang terjadi. Semakin

besar jumlah penduduk wanita maka jumlah korupsi akan semakin rendah (Swamy, 2001).

6. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dari penelitian tentang tingkat korupsi dapat di rumuskan dalam

uraian berikut ini:

Insert Gambar 2: Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat korupsi dengan menggunakan variabel desentraliasi fiskal, ukuran pemerintah

daerah, populasi penduduk, belanja pegawai, penerimaan pajak daerah dan HDI. Penentuan

tingkat korupsi dalam penelitian ini berdasarkan pada indek korupsi yang diukur oleh

lembaga TI di Indonesia, serta dalam penelitian ini menggunakan analisis sensitifitas

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3626
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

dengan menggunakan data korupsi yang terjadi selama tahun 2010 yang tersedia di website

Mahkamah Agung. Pengukuran desentralisasi dalam penelitian ini didasarkan pada

penelitian yang dilakukan oleh Sasana (2010).

Penggunaan data untuk pengukuran karakteristik pemerintah (ukuran pemerintah daerah,

rasio desentralisasi fiskal dan belanja pegawai daerah) dan opini audit didasarkan pada

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2010 yang sudah di audit oleh Badan

Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Sedangkan untuk populasi penduduk

didasarkan pada sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik

(BPS) Indonesia.

7. Pengembangan Hipotesis

a. Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah di

Indonesia

Desentralisasi fiskal telah terjadi dibeberapa negara, baik negara maju maupun

negara berkembang. Desentralisasi fiskal di negara maju menunjukkan bahwa

desentralisasi fiskal telah memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat korupsi yang

terjadi, dimana dinyatakan bahwa desentralisasi fiskal telah menurunkan tingkat

korupsi yang terjadi di negara maju (Fisman dan Gatti, 2000; Goel et al., 2010)

Perkembangan desentralisasi fiskal di dalam negeri yang sudah terjadi sejak

keluarnya UU No. 25/1999, mengalami berbagai pro dan kontra dikarenakan

dampak yang terjadi. Penerapan desentralisasi fiskal yang terjadi di Indonesia

sebagai negara berkembang telah memberikan kekuasaan dan wewenang kepada

tingkat daerah untuk mengelola keuangannya sendiri. Dengan adanya pembagian

kekuasaan penuh kepada setiap daerah, membuat kontrol pemerintah yang dulu kuat

tidak lagi kokoh (hukumonline.com, 2007).

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3627
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Dengan adanya pergeseran kekuasaan di pemerintah daerah, seseorang yang

akan menempati posisi menjadi kepala daerah dan mempertahankan posisinya maka

harus bisa bekerjasama dengan DPRD, dimana dengan adanya hal tersebut

memungkinkan terjadinya kasus suap/ money politic (Rinaldi, 2007). Atas dasar hal

tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1= Desentralisasi Fiskal berpengaruh positif terhadap tingkat korupsi di

pemerintah daerah.

b. Pengaruh ukuran pemerintah daerah terhadap tingkat korupsi di pemerintah

daerah di Indonesia

Pengukuran dari besarnya ukuran pemerintah daerah dalam penelitian ini

menggunakan besarnya total aset yang di miliki oleh tiap pemerintah daerah, oleh

karena itu semakin besar total aset yang dimiliki oleh pemerintah daerah dapat

dikatakan semakin besar ukuran dari pemerintah daerah itu sendiri. Adanya

kepemilikan aset dari pemerintah derah, menimbulkan adanya perilaku dan

kesempatan bagi legislatif, eksekutif maupun pihak yang memiliki kewenangan dan

kekuasaan untuk melakukan kecurangan. penjabaran diatas sesuai dengna penelitian

yang dilakukan oleh Lambsdorff (2006), yang menunjukkan bahwa ukuran

pemerintah daerah yang semakin besar maka akan meningkatkan korupsi. Oleh

karena itu hipotesis dalam penelitian ini adalah.

H2= Ukuran Pemerintah Daerah berpengaruh positif terhadap tingkat

korupsi di pemerintah daerah.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3628
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

c. Pengaruh populasi penduduk terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah di

Indonesia

Peningkatan jumlah penduduk, menuntut adanya tuntutan transparansi yang

lebih tinggi dan juga adanya pengawasan yang lebih tinggi terhadap legislatif dan

yudikatif. Adanya pengawasan yang lebih ini membuat anggota legislatif dan

eksekutif di tataran pemerintah daerah cenderung untuk taat terhadap peraturan dan

kemungkinan untuk melakukan tindakan kecurang akan menjadi kecil. Lembaga

pemberantasan kasus korupsi atau yang dikenal dengan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dalam melakukan pemberantasan korupsi memerlukan peran serta

masyarakat dalam mengawasi kinerja penegak hukum dan menjadi pendukung

dalam melaksanakan koordinasi dan supervisi, sekaligus melakukan pengawasan

terhadap kerja Kepolisian Daerah dan kantor-kantor Kejaksaan di daerah dalam

rangka pemberantasan korupsi (Diansyah et al., 2011).

Sementara itu SBM (2013) melakukan penelitian tentang pengaruh populasi

penduduk dilihat dari jumlah penduduk wanita, dan hasil dari penelitian tersebut

menunjukkan bahwa jumlah penduduk wanita berpengaruh negatif terhadap tingkat

korupsi, dimana semakin besar jumlah penduduk wanita maka semakin rendah

tingkat korupsi. Oleh karena itu hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

H3= Populasi Penduduk berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi di

pemerintah daerah.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3629
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

d. Pengaruh belanja pegawai daerah terhadap tingkat korupsi di pemerintah

daerah di Indonesia

Adanya kewenangan yang diberkan dareah untuk mengurusi rumah tangganya

sendiri termasuk dalam penyususan anggaran yang diatur dalam UU No. 32/2004,

memberikan kesempatan bagi para legislatif dan eksekutif selaku prinsipal agen

akan mempunyai kesempatan untuk memprioritaskan anggaran untuk kepentingan

sendiri dan golongan daripada masyarakat (Latifah 2010). Oleh karena itu

kecenderungan setiap legislatif dan eksekutif akan memiliki kesempatan dalam

memperbesar anggaran belanja pegawai baik secara sah maupun tidak sah demi

kepentingan pribadi maupun golongan.

H4= Belanja pegawai daerah berpengaruh positif terhadap tingkat korupsi di

pemerintah daerah.

e. Pengaruh penerimaan pajak daerah terhadap tingkat korupsi di pemerintah

daerah di Indonesia

Mokhtaria (2007) melakukan penelitian tentang pengaruh korupsi terhadap

jumlah pajak di Rusia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya korupsi

menyebabkan jumlah penerimaan pajak mengalami penurunan, hal tersebut

dikarenakan adanya suap yang terjadi terhadap pemeriksa pajak. Dimana

penerimaan pajak terasebut mengarah khusus ke dalam penerimaan pajak daerah.

Temuan tersebut mengindikasikan bahwa korupsi (pencurian pajak) adalah masalah

yang signifikan dalam sistem fiskal Rusia. Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis

dalam penelitian ini adalah:

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3630
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

H5= Pajak daerah berpengaruh positif terhadap tingkat korupsi di pemerintah

daerah.

f. Pengaruh Human Development Index (HDI) daerah terhadap tingkat korupsi di

pemerintah daerah di Indonesia

Tingkat pendidikan yang diukur dengan presentasi angka melek huruf

menunjukkan hubungan yang negatif terhadap tingkat korupsi (SBM, 2013). Selain

itu menurut Paul (2010) terdapat hubungan antara pertumbuhan dengan korupsi yang

terjadi di Bangladesh, dimana korupsi tidak mendorong pertumbuhan, yang artinya

pertumbuhan akan lebih baik jika tingkat korupsi rendah. Oleh karena itu hipotesis

dalam penelitian ini adalah:

H6= Human Development Index berpengaruh negatif terhadap tingkat

korupsi di pemerintah daerah

C. METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian/Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang telah disediakan dan dipublikasikan

oleh pihak lain, baik berupa oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesi (BPK

RI), Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) maupun dari sumber terkait yang

relevan. Penelitian ini adalah penelitian pengujian hipotesis (hypothesis testing) yang

bertujuan untuk menguji hipotesis yang diajukan oleh peneliti mengenai pengaruh

desentralisasi fiskal, karakteristik pemerintah dareah (ukuran pemerintah daerah,

populasi, belanja pegawai, penerimaan pajak daerah, dan HDI).

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3631
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

2. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemerintah daerah kabupaten/kota

seluruh Indonesia yang menerbitkan laporan keuangan pemerintah daerah yang telah di

audit tahun 2008 dan 2010. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian

ini menggunakan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan menggunakan

kriteria-kriteria yang ditentukan berdasarkan kebijakan dari peneliti. Penelitian ini

menggunakan kriteria pengambilan sampel seperti berikut ini:

a) Pemerintah daerah kabupaten/Kotamadya seluruh Indonesia yang menerbitkan

laporan keuangan pemerintah pada tahun 2008 dan 2010.

b) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang telah di survei oleh lembagai Transparancy

Index (TI) di Indonesia (http://www.ipkindonesia.org/).

c) Laporan keuangan pemerintah daerah yang mencantumkan seluruh data dan informasi

yang dibutuhkan dalam pengukuran variabel dan analisis data untuk pengujian

hipotesis dalam penelitian.

3. Data Dan Sumber Data

Data dan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh cari

catatan dan uraian lengkap dari basis data yang terpercaya baik dari data yang tersedia di

media cetak maupun media elektronik. Pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan tekhnik data sekunder (secondary data). Data sekunder tersebut terdiri dari

data berikut ini:

a) Laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2008 dan 2010.

b) Perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait dengan kebijakan desentralisasi

fiskal, otonomi daerah, korupsi dan kebijakan keuangan yang terkait dengan

pemerintah daerah.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3632
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Data yang dibutuhkan dalam penelitian tersebut dikumpulkan dari catatan atau basis

data baik berupa hardcopy maupun softcopy yang diperoleh dari hasil download pada

website dan dokumentasi arsip-arsip Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia

(BPK RI) dan sumber lain yang terkait.

4. Definisi Operasional Variabel

a) Variabel Dependen

Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat korupsi

dipemerintah daerah tahun 2008 dan 2010. Tingkat korupsi dalam penelitian ini

didefinisikan sebagai besarnya kasus korupsi pada saat terjadinya yaitu tahun 2008 dan

2010 oleh pemerintah daerah yang telah disingkan oleh pengadilan dibawha lignkup

Mahkamah Agung dan kasus korupsi berdasarkan Indeks Prestasi Korupsi di Indonesia

yang diterbitkan oleh lembaga Transparancy Index (TI) di Indonesia. Pengukuran

tingkat korupsi yang dilakukan TI di Indonesia dilakukan berdasarkan survei,

sedangkan untuk pengukuran kasus korupsi yang telah dilaporkan di Mahkamah Agung

dalam penelitian ini diambil jumlah kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2008 dan

2010 dengan menganalisis hasil keputusan MA pada kejadian yang terjadi hanya di

tahun 2008 dan 2010.

Pengukuran tingkat korupsi dalam TI menggunakan indek rentang dari 0 sampai

dengan 10, 0 berarti sangat korup, sedangkan 10 sangat bersih. Berikut merupakan

penjelasan rinci kriteria pengukuran survei yang dilakukan oleh TI di Indonesia yang

diakses pada website (www.ipkindonesi.org/metodesurvei):

1. IPK Indonesia menggunakan metode survei persepsi dengan pendekatan

kuantitatif. Metode pengambilan sampel menggunakan quota sampling. Total

sampel ditentukan secara sengaja (purposive), kemudian dibagi secara proporsional

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3633
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

berdasarkan tingkat populasi masing-masing kota. Pemilihan kota yang di surrvei

berdasarkan kota-kota yang disurvei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk survei

inflasi tahunan.

2. Indeks diambil berdasarkan pengukuran yang didasari persepsi responden, terhadap

beberapa variabel-variabel jenis korupsi. Variabel-variabel ini merupakan konsep

turunan dari jenis-jenis korupsi yang terdapat di Undang-Undang No. 31/2009

junto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengukuran

menggunakan skala antara 0-10, dengan indikator pengukuran yaitu:

a. Lazim atau tidaknya tindak pidana korupsi tertentu terjadi di kota yang

bersangkutan.

b. Serius atau tidaknya pemerintah daerah dan penegak hukum setempat dalam

pemberantasan korupsi.

Untuk tujuan sensitivity analysis variabel pengukuran, pengukuran tingkat korupsi

dalam penelitian ini menggunakan dua pengukuran, yaitu dengan menggunakan IPK

Indonesia dan data kasus korupsi yang terjadi di tahun 2008 dan 2010 yang telah

terdapat dalam website MA. Tujuan dari penggunaan analisis sensitifitas ini adalah

untuk memperoleh tingkat keyakinan yang cukup bagi peneliti dalam menguji pengaruh

variabel dependen terhadap variabel independen, dimana dari dua pengukuran tersebut

yang merupakan faktor penentu yang paling berkorelasi dengan tingkat korupsi (Tokes

2011).

b) Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah desentralisasi fiskal, karakteristik

pemerintah daerah, dan opini audit BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah.

Berikut variabel-variabel independen yang akan digunakan dalam penelitian ini:

1) Desentralisasi Fiskal

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3634
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Merupakan besarnya desentralisasi setiap daerah, Pengukuran desentralisasi fiskal

dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Sasana

(2009) yang mendasarkan pada penelitian Zang dan Zou pada tahun 1998. Berikut

penjabaran pengukuran variabel yang dilakukan untuk mengukur tingkat

desentralisasi fiskal di setiap daerah:

Dimana:

DF = Desentralisasi Fiskal

PAD = Pendapatan Asli Daerah

BH Pajak & Non Pajak = pendapatan bagi hasil pajak dan non pajak

= merupakan besarnya pengeluaran beban dalam satu

periode

2) Ukuran Pemerintah Daerah

Menurut Mustikarini (2011) Untuk memberikan pelayanan yang baik, harus

didukung oleh aset yang baik pula. Oleh karena itu, diperlukan sumber daya dan

fasilitas yang memadai untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam

Puspita (2011) Besarnya aset yang dimiliki Pemda akan menggambarkan seberapa

besar ukuran Pemda tersebut (Sumarjo, 2010). Oleh karena itu dalam penelitian ini

besarnya pemerintah daerah kabupaten/kota yang diukur dengan total aset yang

dimiliki oleh tiap daerah.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3635
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

3) Populasi Penduduk

Merupakan besarnya jumlah penduduk setiap kabupaten/ kota berdasarkan sensus

penduduk yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baik BPS pusat maupun

BPS daerah. Penelitian menggunakan jumlah penduduk sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Dong (2011) mengenai jumlah penduduk. Dong (2011)

menggunakan jumlah populasi penduduk untuk mengukur pengaruhnya terhadap

tingkat korupsi yang terjadi di China.

4) Belanja Pegawai

Merupakan besarnya total belanja pegawai yang dikeluarkan oleh tiap

kabupaten/kota di setiap daerah. Besarnya belanja pegawai setiap kabupaten/kota

berbeda-beda tergantung dari kebutuhan setiap daerah. Semakin banyak pegawai

daerah maka akan semakin besar tingkat belanja pegawai yang dilakukan di setiap

daerah.

5) Pajak Daerah

Merupakan besarnya jumlah penerimaan pajak kabupaten/kota berdasarkan

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2010 dan tahun 2008.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Silaen dan Sasana (2013) yang

menggunakan variabel jumlah pajak daerah.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3636
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

6) Human Development Index (HDI)

Konsep pengukuran HDI merupakan besarnya Human Development Index (HDI)

setiap kabupaten/ kota berdasarkan sensus penduduk yang dikeluarkan oleh Badan

Pusat Statistik (BPS) baik BPS pusat maupun BPS daerah. SBM (2013) dalam

penelitiannya menggunakan variabel pendidikan dengan proksi tingkat melek huruf

sedangkan pengukuran HDI yang dillakukan oleh BPS sendiri didasarkan pada empat

indikator yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan

kemampuan daya beli (BPS, 2008). Oleh karena itu dalam penelitian ini

menggunakan HDI yang diharapkan memiliki tingkat pengukuran yang lebih baik

daripada hanya menggunakan angka tingkat melek huruf. Penelitian ini mengacu pada

penelitian Akçay (2006) yang menggunakan Indeks HDI untuk mengukur

pengaruhnya terhadap tingkat korupsi. Maka dalam penelitian ini pengukuran yang

dipakai adalah sebagai berikut:

5. Alat Statistik

Sesuai dengan kerangka pemikiran dan pengajuan hipotesis di atas maka hipotesis akan

diuji dengan persamaan regresi seperti berikut ini:

TK = β0 + β1 DF + β2 TA + β3 PP+ β4 BP + β5 PD + β6 HDI + ε

Keterangan :

TK = Tingkat Korupsi

DF = Desentralisasi Fiskal

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3637
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

TA = Jumlah Aset Pemerintah Daerah

PP = Populasi Penduduk Pemerintah Daerah

BP = Belanja Pegawai Daerah

PD = Pendapatan Pajak Daerah

HDI = Human Development Index

β1 –β6 = koefisien regresi

ε = error term

D. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

1. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kotamadya di Indonesia. Sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan

metode purposive sampling. Metode pengambilan sampel ini menggunakan kriteria dari

peneliti yaitu kabupaten/kotamadya yang telah di survei oleh lembaga Transparancy

Index. Oleh karena itu sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Insert Tabel 2

2. Data dan Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini adalah laporan keuangan pemerintah daerah

kabupaten/kotamadya di Indonesiayang dipublikasi melalui websiteresmi Badan

Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia yaitu www.bpk.go.id.Laporan keuangan yang

maksud terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas

laporan keuangan

3. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif memberikan gambaran umum mengenai variabel penelitian data

keuangan berupa rasioyang dihitung dari komponen dalam laporan keuangan pemerintah

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3638
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

daerah yang menjadi sampel dalam penelitian baik laporan realisasi anggaran, neraca,

laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Variabel penelitian dalam penelitian

ini adalah adalah tingkat korupsi yang ada di pemerintah daerah dan karakteristik

pemerintah daerah. Karakteristik pemerintah daerah ini meliputi Total Aset Pemerinah

Daerah, Populasi Penduduk Pemerintah Daerah, Belanja Pegawai Daerah, Pendapatan

Pajak Daerah, dan Human Development Index (HDI) di setiap daerah.

Variabel dependen dalam penelitian ini didasarkan pada tingkat korupsi

menggunakan IPK di Indonesia dan juga data kasus korupsi yang terjadi di Indonesia pada

tahun 2008 dan tahun 2010. Gambaran mengenai data penelitian yang dimaksud dapat

dilihat dalam tabel berikut ini:

Insert Tabel 3 (a,b)

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda, berikut

hasil analisis regresi berganda dari penelitian ini:

Insert Tabel 4 (a,b)

Berdasarkan tabel 4a bahwa nilai adjusted R2 sebesar 0,103. Hal ini berarti 10,3%

tingkat korupsi berdasarkan IPK dipengaruhi oleh variabel desentralisasi fiskal dan

karakteristik pemerintah daerah (Ukuran pemerintah daerah, jumlah penduduk, belanja

pegawai, pendapatan pajak daerah, HDI), dimana hasil tersebut menunjukkan pengaruh

yang signifikan antar variabel. Sebaliknya berdasarkan tabel 4b nilai adjusted R2 hanya

sebesar 0,008 yang berarti hanya 0,8% tingkat korupsi berdasarkan kasus korupsi yang

masuk di MA tahun 2008 dan 2010 dipengaruhi oleh variabel desentralisasi fiskal dan

karakteristik pemerintah daerah (Ukuran pemerintah daerah, jumlah penduduk, belanja

pegawai, pendapatan pajak daerah, HDI), dimana hasil tersebut menunjukkan tidak adanya

pengaruh yang signifikan antar variabel.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3639
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

5. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian diatas dapat disimpulkan bahwa ukuran pemerintah

daerah, desentralisasi fiskal, belanja pegawai dan HDI di setiap daerah tidak berpengaruh

terhadap tingkat korupsi yang terjadi. Hal tersebut bertolak belakang dengan hipotesis

yang telah diajukan dalam penelitian ini. Sedangkan untuk jumlah penduduk dan pajak

daerah berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi. Jumlah penduduk berpengaruh

positif dengan tingkat korupsi yang diukur melalui IPK atau dengan kata lain berpengaruh

negatif terhadap tingkat korupsi yang terjadi. Untuk pajak daerah yang diterima

berpengaruh negatif dengan IPK atau dengan kata lain berpengaruh positif terhadap

tingkat korupsi yang terjadi, hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Silaen dan Sasana (2013).

Sementara itu untuk hasil pengujian dengan menggunakan data di MA menunjukkan

bahwa variabel desentralisasi fiskal dan karakteristik pemerintah daerah (tidak

berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah, hal tersebut

kemungkinan terjadi dikarenakan tingakt transparansi dan pengungkapan informasi

mengenai kasus korupsi yang telah disidangkan oleh Mahkamah Agung masih relatif

kurang. Berikut merupakan tabel ringkasan hasil pengujian yang telah dilakukan:

Insert Tabel 5

E. PENUTUP

1. Simpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal dan

karakteristik pemerintah daerah (Ukuran pemerintah daerah, jumlah penduduk, belanja

pegawai, pendapatan pajak daerah, HDI) terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3640
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya jumlah penduduk dan penerimaan pajak

daerah yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi yang terjadi di pemerintah

daerah. Sedangkan hasil dari variabel Ukuran pemerintah daerah, belanja pegawai dan

HDI disetiap daerah tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi yang terjadi di pemerintah

daerah.

2. Keterbatasan

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah adanya kasus korupsi di tahun 2008 dan

2010 yang sudah terjadi akan tetapi belum terdeteksi oleh Mahkahamah Agung sehingga

untuk menentukan hubungan dan korelasi dari penyebab korupsi sulit ditemukan. Adanya

pemakaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang digunakan untuk mengukur tingkat

korupsi dan juga pengukuran desentralisasi yang terbatas hanya memakai satu model

pengukuran.

3. Saran

Diharapkan untuk penelitian selanjutnya menggunakan pengukuran yang lebih tepat

lagi dalam mengukur tingkat korupsi dan tingkat desentralisasi fiskal di daerah serta dapat

juga menambahkan beberapa variabel lagi untuk menguji faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat korupsi yang terjadi di pemerintah daerah di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Aidt. The Cause of Corruption. 2011. Corruption: what and where. CESifo Dice Report 2/2011.
Akçay, Selçuk. Corruption and Human Develompment. Cato Journal Vol. 26: 1. Cato Institute. All rights
reserved.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENNAS) bekerjasama dan United Naations Developnemnt
Programme (UNDP). 2008. BRIDGE (Building and Reinventing Decentralised Governance). Jakarta.
Bastian, I. 2006. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta: BPFE. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta:
Erlangga.
BPK.com. 91% Laporan keuangan pemda buruk. http://www.bpk.go.id/web/?p=10013 (Diakses pada tanggal 6
Juni 2013).
Diansyah, Febri. et al. 2011. Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Cetakan Pertama. Indonesia Corruption Watch (ICW)

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3641
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Dong, Bin. 2011. The cause and consequences of corruption. School of economics and finance faculty of
business quensland university of technology gardens point campus brisbane australia.
Fan, C Simon et al. 2009. Political decentralization and corruption: Evidence from around the world. Journal of
Public Economics, 93 (2009): 14–34.
Fisman, Raymond and Gatti, Roberta. 2000. Decentralization and Corruption:Evidence across Countries?.
Conference of the Italian Society of Public Economics and the World Bank.
Gedeona, Hendrikus T. 2005. Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah: Sebuah Alternatif Pemberantasan
Korupsi di Tingkat Daerah. Jurnal Ilmu Administrasi. Vol.2.3.
Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Cetakan IV Penerbit UNDIP.
Goel, Rajeev K and Nelson, Michael A. 2010. Causes of corruption: History, geography and government.
Journal of Policy Modeling. 32 (2010): 433–447.
Halim, Abdul dan Abdullah, Syukriy. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintah Daerah (Sebuah
Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi). Jurnal Akuntansi Pemerintah. Vol 2: 53-64.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2010. http://www.ipkindonesia.org/. (Diakses pada tanggal 6 Juni 2013).
Juanda, Bambang dan Masrizal. 2012. Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB): Tinjauan Dari Aspek
Keuangan. Policy Brief. Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Katalog BPS. 2008. Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta
Lambsdorff, Johann Graf. 2006. Consequences and Causes of Corruption – What do We Know from a Cross-
Section of Countries?. Diskussionsbeitrag Nr. V-34-05.
Lecuna, Antonio. 2012. Corruption and size decentralization. Journal of Applied Economics. Vol XV, No. 1:
139-168.
Media. 2012. Media Komunikasi dan Informasi Desentralisasi Fiskal (defis). Edisi 1. Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan. Jakarta.
Mokhtaria, M and Grafova, I. 2007.Corruption: Theory and evidence from the Russian Federation. Economic
Systems 31:412–422. Elsevier B.V. All rights reserved
Mustikarini, Widya A & Fitriasari Debby.2011. Pengaruh Karakteristik pemerintah daerah dan temuan audit
BPK terhadap kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia. Skripsi Sarjana FE Universitas
Indonesia.
Mustikarini, Widya Astuti dan Fitriasari, Debby. 2012. Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah dan Temuan
Audit BPK Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun Anggaran
2007. Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XV.
Nugroho SBM. 2013. Korupsi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Indonesia. Fakultas Ekonomika
dan Bisnis Undip Semarang. Jurnal Ilmiah Dinamika Ekonomi dan Bisnis. Vol. 1.1
P, Nurul Latifah. 2010. Adakah Perilaku Oportunistik Dalam Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik?. Fokus
Ekonomi Vol. 5. 2. Desember 2010 : 85– 94.
Paul, Biru Paksha. 2010. Does corruption foster growth in Bangladesh?. International Journal of Development
Issues Vol. 9. 3:246-262 q. Emerald Group Publishing Limited
Puspita, Rora dan Martani Dwi. 2011. Analisis Pengaruh Kinerja dan Karakteristik Pemerintah Daerah
Terhadap Tingkat Pengungkapan dan Kualitas Informasi Dalam Website Pemerintah Daerah. FE
Universitas Indonesia.

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3642
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Puspita, Rora dan Martani, Dwi. 2012. Analisis Pengaruh Kinerja dan Karakteristik Pemda Terhadap Tingkat
Pengungkapan dan Kualitas Informasi Dalam Website Pemda. Simposium Nasional Akuntansi (SNA)
XV.
Rimanews.com. Korupsi Didarah Semakin Tidak Teratasi, Desentralisasi Daerah Suburkan Praktek Korupsi,
Kebijakan Pemerintah Gatot?http://www.rimanews.com/read/20121205/84028/korupsi-didaerah-
semakin-tidak-teratasi-desentralisasi-daerah-suburkan-praktek(Diakses pada tanggal 6 Juni 2013).
Sasana, Hadi. 2009. Peran Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 10. 1: 103 – 124.
Silaen, Friska Y dan Sasana, Hadi. 2013. Analisis Determinan Korupsi di Era Otonomi Daerah di Indonesia
(Studi Kasus Provinsi Jawa Tengah).Volume 2. 1:1-6.
Smoke, Paul and Lewis, Bland D. 1996. Fiscal Decentralization in Indonesia: A New Approach to an Old
Idea. World Development, Vol. 24, No. 8, pp. 1281-1299.
Sumarjo, Hendro. 2010. Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia). FE Jurusan
Akuntansi. Universitas Sebelas Maret.
Swamy, Anand et al. 2001. Gender and corruption. Journal of Development Economics Vol. 64: 25–55. Elsevier
Science B.V. All rights reserved
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara. Jakarta.
Veron, R and Williams, G. 2006. Decentralized Corruption or Corrupt Decentralization? Community
Monitoring of Poverty-Alleviation Schemes in Eastern India. WorldDevelopmentVol. 34,No. 11, pp.
1922–1941, 2006 Elsevier Ltd. All rights reserved.

LAMPIRAN
Gambar I: jumlah kabupaten/ kota dan Provinsi dari tahun 1999-2007
(bapennas, studi evaluasi dampak pemekaran daerah ;2008)

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3643
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Gambar 2: Kerangka Pikir Penelitian

Desentralisasi Fiskal (-/+)

Karakteristik Pemerintah Daerah:


TINGKAT
Ukuran Pemerintah daerah (+)
KORUPSI DI
PEMERINTAH Populasi Penduduk (+)
DAERAH
Belanja Pegawai (+)

Pajak Daerah (+)

Human Development Indeks (-)

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3644
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Tabel 1: Tabel jumlah 10 propinsi dengan jumlah laporan kasus korupsi terbesar di Indonesia

No. Propinsi Jumlah Laporan


1. DKI Jakarta 7329
2. Jawa Timur 3966
3. Sumatera Utara 3587
4. Jawa Barat 3100
5. Jawa Tengah 2675
6. Sumatera Selatan 1929
7. Sulawesi Selatan 1346
8. Riau 1306
9. Kalimantan Timur 1286
10. Jambi 875

Tabel 2: Sampel dan observasi dalam penelitian

Jumlah Observasi dalam penelitian dengan menggunakan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 100

tahun 2010 dan 2008

Jumlah Laporan Keuangan Pemerintah daerah dan data outlier serta data terkait yang tidak (28)

lengkap

Jumlah observasi akhir yang dipakai dalam penelitian 72

Jumlah Obsevasi dalam penelitian yang menggunakan putusan MA tahun 2010 dan 2008 202

Tabel 3a: Statistik Deskriptif Tingkat Korupsi dengan IPK (Indeks Persepsi Korupsi)

Variabel N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


TK 72 3,29 7,03 5,2108 ,74311
Total_aset 72 467658,73 8634479,11 2264149,3898 1627222,01786
Jml_penduduk 72 84444,00 1553778,00 475452,7778 353886,18908
Desen_fiskal 72 8,56 67,55 24,3156 14,15913
Belanja_Peg 72 34738,36 977070,40 387784,4144 195462,63599
pajak_daerah 72 1858,66 177680,37 41106,2822 40199,30305
HDI 72 71,41 79,52 76,1163 1,79864

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3645
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Tabel 3b: Statistik Deskriptif Tingkat Korupsi dengan data MA (Mahkamah Agung)

Variabel N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


Putusan_MA 200 ,00 2,00 ,0900 ,33535
Total_aset 200 36205,14 32621984,27 2079196,2379 3245534,19904
Jumlah_penduduk 200 29221,00 2765908,00 499228,6250 457389,20282
Desen_Fiskal 200 2,68 164,54 20,3051 17,49907
Belanja_pegawai 200 27956,07 1433022,73 363544,5649 217062,61510
Pajak_daerah 199 265,36 525403,48 28407,2002 59624,41109
HDI 200 65,59 79,52 73,3862 3,05048
kab_kota 200 ,00 1,00 ,5600 ,49763

Tabel 4a: Analisis Regresi Berganda dengna menggunakan IPK (Indeks Persepsi Korupsi)

Model R R Square Adjusted R Square


1 ,423a ,179 ,103

Variabel Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.


Coefficients
B Std. Error Beta
Total_aset -1,067E-008 ,000 -,023 -,111 ,912
Jml_penduduk 2,140E-006 ,000 1,019 3,334 ,001
Desen_fiskal ,009 ,008 ,164 1,075 ,286
Belanja_Peg -2,079E-006 ,000 -,547 -1,947 ,056
pajak_daerah -1,222E-005 ,000 -,661 -2,945 ,004
HDI ,043 ,058 ,104 ,739 ,462

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3646
SESI III/9
Rudy Hartanto dan Agung Nur Probohudono

Tabel 4b: Analisis Regresi Berganda dengan menggunakan data MA (Mahkamah Agung)

Model R R Square Adjusted R Square


1 ,423a ,179 ,103

Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.


Variabel Coefficients
B Std. Error Beta
Total_aset 1,376E-008 ,000 ,133 ,924 ,357
Jumlah_penduduk 1,086E-007 ,000 ,148 ,874 ,383
Desen_Fiskal ,001 ,002 ,069 ,860 ,391
Belanja_pegawai -7,106E-008 ,000 -,046 -,293 ,770
Pajak_daerah -5,506E-007 ,000 -,098 -,570 ,569
HDI -,014 ,009 -,128 -1,507 ,133

Tabel 5: Resume hasil analisis regresi berganda dan tingkat signifikasi variabel dalam penelitian:

Variabel IPK MA
Ukuran pemerintah daerah Tidak berpengaruh dan Signifikan Tidak berpengaruh dan Tidak
Signifikan
jumlah penduduk Negatif dan Signifikan Tidak berpengaruh dan Tidak
Signifikan
belanja pegawai Tidak berpengaruh dan Signifikan Tidak berpengaruh dan Tidak
Signifikan
pendapatan pajak daerah Positif dan Signifikan Tidak berpengaruh dan Tidak
Signifikan
HDI Tidak berpengaruh dan Signifikan Tidak berpengaruh dan Tidak
Signifikan

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI XVI


Manado, 25-28 September 2013 3647

Anda mungkin juga menyukai